• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802009013 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802009013 Full text"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

Ika Agustina Murpratiwi

Krismi Diah Ambarwati

Heru Astikasari

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

evaluasi menyeluruh mengenai kehidupan pernikahan yang dijalani berdasarkan area-area yang ada di dalam pernikahan, termasuk di dalamnya adalah kehadiran anak. Ketika anak tersebut belum hadir di tengah-tengah keluarga tentunya hal ini akan mempengaruhi kondisi rumah tangga yang selama ini dijalani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepuasan pernikahan pada pasangan yang belum memiliki anak. Partisipan penelitian adalah 2 pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak sepanjang pernikahan mereka. Karakteristik lain dari partisipan penelitian adalah usia pernikahan minimal lima tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menujukkan bahwa area komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, hubungan seksual, hubungan keluarga dan teman, dan kesetaraan peran dalam rumah tangga dirasa sudah cukup memuaskan bagi partisipan, sedangkan area yang masih perlu ditingkatkan dalam menjalankan kehidupan pernikahan adalah area penerimaan terhadap sifat dan kebiasaan pasangan serta pengelolaan keuangan. Kedua pasang partisipan merasa puas dengan kehidupan pernikahan mereka berdasarkan area-area dalam pernikahan namun tetap merasa bahwa pernikahan mereka belumlah lengkap tanpa kehadiran anak. Hasil lain yang didapatkan dari penelitian ini adalah konflik menantu- mertua yang ternyata mempengaruhi kepuasan pernikahan pada partisipan.

(6)

about marriage life that is walked on marriage areas, include a child presence. When a child didn’t present yet in a family, of course it will influence a walking on household condition. The goal of this research is to find out a marital satisfaction in a couple that

not having child yet. The research participants are two couples of husband and wife that didn’t have a child yet in their marriage. The other characteristic of the participants is five years minimaly on marriage old. This research is done using

qualitative method which is an interview and an observation become a method to get

data from the partisipants. The result of this research shows that area of

communication, leisure activity, religious orientation, conflict resolution, sexual

orientation, famiy and friend relationship, and equalitarian role have satisfaction for

the participant. Meanwhile, area which need a more phase in walk on marriage life is

an acceptance area toward characteristic, couple habbit, and finance management. Both of two participants feel satisfied with areas of their marriage life but they don’t feel satisfied yet without a child presence. Other result of this research is child in law –

parents in law conflict also influence the marital satisfaction for the participants.

(7)

PENDAHULUAN

Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Setiap manusia akan mengalami banyak perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, sampai pada kematian. Di antara masa-masa tersebut ada masa yang disebut dengan dewasa awal. Santrock (2002) mendefinisikan individu dewasa awal sebagai individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dewasa lainnya.

Masa dewasa awal dimulai pada usia 20-40 tahun yang ditandai dengan selesainya pertumbuhan pubertas, organ kelamin berkembang dan mampu bereproduksi. Salah satu tugas perkembangan yang ada dalam masa dewasa awal adalah tercapainya pernikahan dan kehidupan berkeluarga. Dengan kata lain, individu dewasa awal dituntut untuk mempersiapkan diri untuk menyandang status sebagai orang tua (Santrock, 2002). Pernikahan sendiri merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang Hampir setiap orang mempunyai keinginan untuk menjalani hal tersebut. Dalam UU perkawinan (UU No 1 tahun 1974), perkawinan (pernikahan) merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Olson (2003) pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara 2 orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab dan sumber pendapatan.

(8)

pernikahan. Kriteria itu adalah (a) awetnya suatu pernikahan, (b) kebahagiaan suami dan istri, (c) kepuasan pernikahan (d) penyesuaian seksual, (e) penyesuaian pernikahan, dan (f) kesatuan pasangan (Burgess dan Locke dalam Ardhianita & Andayani, n.d). Dari sini terlihat bahwa kepuasan pernikahan menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu pernikahan. Kepuasaan pernikahan dinilai sebagai faktor penentu keberhasilan suatu pernikahan karena kepuasan pernikahan lebih banyak mempengaruhi kebahagiaan hidup bagi kebanyakan individu dewasa daripada hal lain seperti pekerjaan, persahabatan, hobi, dan aktivitas komunikasi (Newman & Newman, 2006).

Kepuasan pernikahan menurut Fowers dan Olson (1989; 1993) merupakan sebuah evaluasi menyeluruh mengenai kehidupan pernikahan yang dijalaninya. Olson dan Fowers (1989) mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat area-area dalam pernikahan yaitu komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran. Dalam konteks budaya Indonesia, perkawinan yang memuaskan akan tercapai apabila kebutuhan materi tercukupi, adanya anak yang hormat pada orangtua, hubungan yang harmonis dengan pasangan, saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, dan hubungan yang baik dengan keluarga besar (Wismanto, 2004).

(9)

5/XV/2003). Oleh karena itu, belum hadirnya anak di tengah-tengah keluarga seringkali berpotensi menjadi masalah besar bagi keluarga tersebut.

Pada masyarakat Indonesia, kelengkapan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak menjadi gambaran ideal sebuah keluarga. Sesuai dengan latar belakang budaya dan religiusitas masyarakatnya, anak memiliki nilai tersendiri di dalam masyarakat, diantaranya (1) anak memberikan status kematangan dan identitas sosial, (2) anak sebagai fungsi reproduksi manusia, (3) kehadiran anak untuk memberikan kesempatan kepada orang tua untuk menunjukkan tingginya moralitas, (4) anak mengukuhkan ikatan pernikahan suami istri, (5) anak menciptakan pengalaman-pengalaman baru (menambah variasi kehidupan, menumbuhkan minat, serta melupakan kesulitan- kesulitan hidup), (6) anak menjadi sarana unjuk status kekuatan antar orang tua, misalnya bersaing dari sisi kecerdasan atau kesuksesan hidup yang diperoleh anak- anaknya, (7) anak meningkatkan kepuasan hidup melalui kreativitas, kesuksean, dan kemampuan anak, serta (8) anak sebagai tempat bergantung secara ekonomi di masa tua (Sumapraja dalam Hidayah, n.d).

(10)

Griel (dalam Hidayah, n.d) melaporkan bahwa ketidakhadiran anak terutama karena infertilitas akan meningkatkan ketegangan dalam perkawinan. Banyak perkawinan yang terancam ketahanannya dalam menghadapi krisis ini. Hal ini dipengaruhi oleh ketidakmampuan dalam mengekspresikan kemarahan, rasa sakit, dan kekecewaan sehingga menimbulkan frustrasi.

Bagi mereka yang pada akhirnya berhasil memiliki keturunan, hal ini tentunya menjadi suatu kebahagiaan yang tidak terkira bagi keluarga tersebut. Namun bagi mereka yang belum berhasil memiliki keturunan, kemungkinan hal ini dapat menimbulkan masalah di dalam keluarga, mengingat seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa keturunan (anak) merupakan salah satu faktor utama terwujudnya suatu kepuasan pernikahan. Ditambah lagi biasanya lingkungan memberikan tekanan tersendiri bagi pasangan yang belum memiliki keturunan, dengan terus menerus bertanya tentang kapan pasangan tersebut akan memiliki momongan. Selain itu menurut Taher (2007) pasangan yang mengalami infertilitas akan memiliki tekanan secara psikologis dan mereka akan merasa cemas memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan keturunan.

(11)

Menurut Sugiharto (2005) ada 5 faktor penyebab infertilitas yaitu usia, frekuensi hubungan seksual, lingkungan, gizi dan nutrisi, serta stres psikis. Alam dan Hadibroto (2007) menambahkan beberapa faktor infertilitas yang perlu diperhatikan, yaitu penyakit menahun (terutama kelainan hormonal dan infeksi yang cukup parah yang dapat mempengaruhi kesuburan), kurang seringnya berhubungan seks dalam hal ini hubungan seks yang dilakukan kurang dari tiga kali seminggu sperma kurang mendapat kesempatan untuk bertemu sel telur di dalam saluran telur, serta gangguan pada alat reproduksi.

Penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai perbedaan kepuasan pernikahan anatara wanita yang mengalami infertilitas primer dan infertilitas sekunder yang dilakukan oleh Hidayah dan Hadjam (2006) memperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan wanita dengan infertilitas primer maupun sekunder. Perbedaan antara kedua kelompok ini terletak pada obyek kesedihan. Pada pasangan infertil primer kesedihan yang dialami tidak terfokus karena tidak dapat dipusatkan pada seseorang maupun peristiwa tertentu. Adapun pasangan infertil sekunder memiliki obyek kesedihan yang jelas berupa bayi yang gagal lahir ke dunia dengan selamat.

(12)

bahwa pasangan yang congruence dalam menghadapi infertilitas, tanpa memperhatikan jenis infertilitas yang dialami, mengalami kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan pasangan yang kurang congruence dalam menghadapi infertilitas.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri yang belum memiliki anak.

METODE

Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif mengingat tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali secara lebih mendalam dan mendeskripsikan gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri yang tidak memiliki anak.

Partisipan

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan suami istri yang tidak memiliki anak, maka karakteristik partisipan pada penelitian ini adalah :

1. Pasangan suami istri yang belum memiliki anak selama mereka menjalani pernikahan

2. Usia pernikahan minimal 5 tahun

3. Individu yang bersedia menjadi partisipan dan memiliki latar belakang yang berbeda, seperti :

Identitas Pasangan I Pasangan II

Nama Samaran K (istri) & H (suami) T (istri) & L (suami)

(13)

Lama Menikah 6 tahun 8 tahun

Alamat Salatiga Salatiga

Usia 46 th & 47 th 34th & 40 th

Agama Kristen Protestan Kristen Protestan

Riwayat Kehamilan 2x Mengalami kehamilan, dan keduanya mengalami

keguguran

Pernah diperiksa dan terdapat gumpalan di kandungan yang belum bisa

terdeteksi gumpalan apa, namun pada akhirnya juga

harus luruh

a. Partisipan yang pertama ini telah melakukan pemeriksaaan organ reproduksi mereka, baik pada suami, maupun pada sang istri. Mereka berdua dinyatakan sehat dan siap memiliki keturunan. Akan tetapi pasca mengalami keguguran yang kedua, tanda-tanda kehamilan belum dirasakan lagi oleh sang istri. Di sisi lain, pasangan ini juga memiliki pertimbangan-pertimbangan terkait dengan hadirnya anak di usia mereka yang tidak muda lagi.

b. Pasangan ini mengaku bahwa pada awal pernikahan, mereka sempat menunda untuk memiliki momongan. Akan tetapi setelah masa penundaan selesai, mereka terus berusaha untuk segera memiliki anak. Pasangan ini mengaku bahwa sejauh ini hanya sang istrilah yang menjalani pemeriksaan organ reproduksi, sedangkan sang suami belum melakukannya. Dari hasil pemeriksaan istri, diketahui bahwa ada kista yang tumbuh di rahim sang istri.

Metode Pengumpulan Data

(14)

wawancara digunakan untuk memperoleh data yang dapat diaplikasikan ke dalam bentuk naskah wawancara atau verbatim. Wawancara yang digunakan dalm penelitian ini adalah wawancara mendalam yang bertujuan untuk mengungkap secara mendalam hal-hal yang bersifat personal/sensitif. Kedua metode pengumpulan data ini digunakan dengan tujuan dapat mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena yang ada secara mendalam, rinci dan tuntas. Selain itu media elektronik seperti handphone digunakan peneliti sebagai alat untuk merekam semua hasil wawancara dengan kedua partisipan. Peneliti juga menggunakan buku kecil dan pulpen untuk menulis semua aktivitas yang sedang dilakukan oleh partisipan.

Proses Pengambilan Data

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengurus surat perizinan secara formal agar dapat melakukan penelitian dan pengambilan data dari pihak fakultas Psikologi dengan persetujuan dari kedua dosen pembimbing dan kaprogdi. Surat izin yang diberikan oleh pihak fakultas ditunjukkan kepada partisipan untuk meminta kesediaannya dalam proses pengambilan data. Pada awalnya, peneliti membangun rapport kepada kedua partisipan dan kemudian dilanjutkan proses wawancara

(15)

adik partisipan pertama dan ibu dari partisipan kedua sebagai sarana pengujian keabsahan data (triangulasi data).

Analisis Data

Analisis data yang digunakan oleh peneliti mengacu pada langkah- langkah analisis data yang dikemukakan oleh Poerwandari (2007). Pertama, peneliti mengorganisasikan data kualitatif dalam bentuk verbatim dengan rapi, sistematis, dan selengkap mungkin. Kemudian peneliti membubuhkan kode-kode pada materi-materi yang diperoleh (koding). Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistemasi data secara detail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Selanjutnya, melakukan pemadatan faktual dan menemukan tema-tema. Setelah itu, peneliti mencoba memikirkan hubungan tema-tema tersebut sehingga tersusun kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut disusun sehingga menampilkan hubungan antar kategori. Terakhir adalah menarasikan kategori-kategori tersebut.

HASIL

(16)

yang memiliki anak, sifat dan kebiasaan pasangan, pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga, serta konflik menantu mertua terutama pada partisipan kedua.

Pola komunikasi yang dilakukan bersama dengan pasangan

Kedua pasangan partisipan pada penelitian ini sama- sama menggunakan prinsip saling terbuka di dalam pola komunikasi mereka. Hal ini diungkapkan kedua partisipan dalam beberapa kutipan berikut :

Tabel 1 : Keterbukaan dalam sistem komunikasi

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 “Iya….kita ini memang terbiasa aaaa terbuka satu sama lain”

 “Yo karena kita semua apapun itu ngga pernah ada yang ditutup-tutupi”

 “Ya, karena kita terbiasa terbuka satu sama lainya selalu kita jujur apapun itu”  Iya,puas…karena nggak pernah ok ada

hal- hal yang kita tutup-tutupi dari awal

Suami

 Oooo sering…sering karena kita punya komitmen waktu kita masih dalam taraf perkenalan itu kita harus terbuka, jujur Tapi yang penting kan ada komunikasi  Nah dengan cara…aaaa apa, dengan

kita buat jujur, buat terbuka gitu kan harus ada komunikasi

Istri

 Hmmm ya ya, kalo saya orangnya maunya trebuka ya dalam setiap berumah tangga ya mbak, hal terkecil maupun terbesar saya maunya terbuka. Bagi saya nggak ada, aaaa kalo

menurut saya ya mbak ya, saya nggak ada yang saya sembunyikan sama suami saya. Saya inginnya aaaa kejadian apapun itu hahahahah kadang hal sepele pun saya bercerita dengan dia

Suami

 Iya, pasti...Jadi kalau ada apa-apa ya saya ngomong apa adanya gitu..

Kegiatan yang biasa dilakukan oleh pasangan saat memiliki waktu luang

(17)

Tabel 2 : Kegiatan yang dilakukan pada saat pasangan memiliki waktu luang

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 ya seringlah karena kita memang butuh refreshing itu….untuk mengurangi kejenuhan karena, ya kan mungkin semua..semua orang ya yang mengalami hal- hal seperti saya Mungkin itu ada hubungannya dengan kita belum punya momongan kan ya,,

 Ya iya..biasanya kalau misalnya santai-santai seperti ini seperti udah aaaa besok libur itu ya kita kadang-kadang sepakat, “dhek besok kita jalan-jalan kemana yo dhek yo”, gitu

 Ya paling bersih-bersih bersama..

Kehidupan beragama dalam rumah tangga

(18)

Tabel 3 : Gambaran kehidupan beragama dalam rumah tangga

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri :

 Heeeem, harus itu. selama kita itu tidak ada kegiatan yang mendesak dan itu penting sekali, kita utamakan beribadah dulu

 Tapi ya wis gimana kalau itu sudah jalan dan kehendaknya, kalau belum diberi ya mau gimana lagi, kita harus menjalani hidup ini ya dengan pasrah. Walaupun saya nggak pernah berhenti berharap dan kalaupun itu masih diberi kesempatan yah kita siap kapan saja

Suami

 Ya sering,,, sering lah ya,, kalo ada undangan PA ya mengikuti…mengikuti lah….

 Ya…ya itu tadi baik senang, kita kan punya keinginan punya anak, ternyata belum, belum ada, ya, yaaa wajar kan umurnya berapa itu?Nah itu, buktinya dikasih momongan ya? Itu...pedoman saya itu mbak. Itu kan dia itu selalu

 Iya mbak.. he em..kita berdua..Kadang-kadang kita hampir sering itu ke Kerep, Ambarawa. Itu dari dulu sebelum sebelum ada kegiatan buat rumah ini ya hampir ya 2 minggu sekali kita ke sana…aaaa sambil kita refreshing juga berdoa gitu aaaa mungkin, mungkin pelayanan saya terhadap Tuhan mungkin kurang, seperti itu

Konflik yang pernah dialami oleh pasangan

(19)

pihak luar. Konflik yang muncul dalam rumah tangga pasangan dipicu oleh adanya masalah ekonomi, faktor anak, komentar-komentar dari pihak luar mengenai keadaan keluarga yang belum memiliki anak, serta kebiasaan-kebiasaan yang terkadang belum bisa diterima sepenuhnya oleh pasangan masing-masing. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara sebagai berikut :

Tabel 4 : Konflik dalam rumah tangga

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 Sebenarnya bukan masalah pribadi, masalah keluarga…tapi ya bisa diatasi jadi yo nggak….tpi itu ya, masalah pribadi, ya memang sewaktu saya mengalami aaaaa keguguran itu…kita tidak saling menyalahkan karena kita juga tahu sikon, tahu masing- masing perlakuannya terhadap istri, mungkin ya kebiasaan- kebiasaan, kebiasaan sehari- hari

Istri

 Hmmmm, ekonomi ya mbak ya.... kebutuhan ekonomi itu kadang sok itu aaaa apa mendadak gitu lho mbak...kadang aaaa ya kebutuhannya lebih banyak daripada penghasilannya gitu. Mungkin saya agak konfliknya di kamu anu belum dikasih momongan”  Bagi saya orang lain. Orang lain itu kan

intinya kayak menuntut. Bahkan ada yang bilang itu mandul ada

Suami

 Biasanya keluarga, maksudnya kadang-kadang juga mertua, kadang-kadang-kadang-kadang orang tua sini, kadang-kadang saudara, gitu mbak..itu yang menjadi konflik kami

“Pirang taun tokok ora, ora lek dikei, ora lek nduwe momongan, kan gitu, kadang gitu. Sok kadang kan ada yang nylekit juga

Penyelesaian konflik dalam rumah tangga

(20)

mengomunikasikan hal-hal yang menjadi pemicu konflik dalam keluarga mereka, bersama-sama mencari solusi bagi permasalahan tersebut, dan tidak segan untuk meminta maaf kepada pasangan jika memang melakukan kesalahan ataupun sekedar untuk meredakan suasana. Usaha partisipan untuk menyelesaikan konflik mereka diungkapkan dalam cuplikan wawancara sebagai berikut:

Tabel 5 : Penyelesaian konflik dalam rumah tangga

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 Karena ngga perlu lah masalah itu jadi permasalahn yang besar sehari misalkan, ada sesuatu yang kurang mengenakkan misalkan, ya kita langsung ngomong misalnya om, om itu misalnya saya kurang setuju, itu nak saya ya langung tak tegur, bilang saya ndak suka…ya solusinya gini, jadi ngga pernah panjang permasalahan ituya kadang, der der der der, tapi setelah itu, selesai nggak maksudnya nggak sampai berhari-hari gitu nggak..nggak mbak..  Iya mbak.. paling nanti saya kalau

ngomong walaupun saya nggak merasa salah tapi terus saya ya minta maaf mbak karena tadi udah sampe rame-rame gitu, seperti itu

(21)

Hubungan antara partisipan dengan keluarga

Partisipan menceritakan bagaimana hubungan mereka dengan keluarga mereka, baik keluarga kandung mereka sendiri maupun keluarga pasangan setelah mereka memutuskan untuk menikah. Perhatian partisipan kepada keluarga mereka masing- masing ternyata berkurang semenjak mereka memiliki keluarga sendiri. Mereka menyadari bahwa mereka juga harus berbagi perhatian pada keluarga pasangan serta memberikan perhatian yang lebih bagi keluarga mereka sendiri. Partisipan pertama mampu untuk menjalin dan mempertahankan hubungan baik dengan keluarga besar mereka, sedangkan partisipan yang kedua mengaku memiliki masalah saat proses masuk ke dalam keluarga pasangannya. Hal ini terungkap dalam cuplikan wawancara berikut :

Tabel 6 : Hubungan antara partisipan dengan keluarga

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 Ya tidaklah ya, ya tetep yang paling utama ya untuk keluarga sendiri  Ya kita berusaha untuk bisa untuk

menyamakan…aaaaa itu keluargaku adalah keluarga om, keluarga om adalah keluargaku juga seperti itu  Ya sepertinya begitu, ya kita kan ngga

tahu, tapi sepertinya ya begitu karena aaa apapun aaaa masalah ataupun apapun itu urusan dalam aaaa dalam akhirnya saya berpikiran elek meneh yaaku ya, aku jadi bisa merubah sikapku sendiri, aku nggak nggak nggak hidup sendiri sekarang, aku hidupnya aaaa bersama orang lain, yang di mana hidup itu waktu besar. Nggak nggak dari awal kecil, besarnya to mbak ketemunya, waktu dewasanya saja harus gimana caranya membaur. Akhirnya ya itu sampai sekarang ini saya nikmati

(22)

Suami

 Ya tentunya perhatiannya agak berkurang.ya kita punya keluarga ya harus kita, nomor satukan bagaimana pun juga harus, istri atau suami, otomatis itu…kan harus, ya perhatian ke keluarga kan ya otomatis berkurang. Itu otomatis itu, nggak mungkin sama dengan waktu kita masih belum menikah itu bohong itu

 Tetep… tetep. Kita masing- masing ya tetep ada waktu. Istilahnya apa ya, ya kita menyibukkan dengan keluarga istri, menyibukkan dengan keluarga saya ya tetep

 Hubungannya baik- baik aja, dari istri ke keluarga saya ya baik- baik saja. Nggak ada masalah

lah, apapun itu. Meskipun itu nggak nggak sesuai keinginannya pun  Jadi nya kurang deket. Jadinya saya

 Ya sedikit berubahlah, karena perhatiannya juga udah lain lagi to...  Ya yang jelas saya tetep saya datang

ke sana, istilanya, nitip awak ya mbak ya. Nitip awak di sana, ya yang jelas saya juga baik-baik kepada mertua, kepada saudara-saudara istri, gitu. Nggak nggak, saya nggak buat masalah, seperti itu

Hubungan partisipan dengan teman-teman

Kedua partisipan memiliki kedekatan yang berbeda dengan teman-teman mereka pasca menikah. Partisipan pertaama tetap berusaha untuk menjalin relasi dengan teman-teman mereka dan saling mengenalkan teman-teman mereka pada pasangannya, sedangkan partisipan kedua cenderung membatasi hubungan mereka dengan teman mereka masing- masing. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara berikut :

Tabel 7 : Hubungan partisipan dengan teman-teman

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 Masih, biasa aja..Kayaknya enggak, karena tante berusaha sebagaimana mestinya kita apa menjaga,

Istri

(23)

maksudnya nggak….kita dekat dengan teman trus dengan seenaknya kita menyampingkan keluarga  Ya sebisanya aaa tante menempatkan

diri, maksudnya ya mengenal lah..mengenal, kita saling

mengenalkan teman masing-masing aaa misale gini…teman tante ke om, gitu ya saya kenalkan ke om, “ini teman saya paling deket” atau ya ini,yang ini…selalu kita ngomong gitu lho, dan missal kalo dating ke rumah, ya kenal tante ya kenal om, gitu.. Sebaliknya juga om, teman-temannya ya pasti dikenalkan

Suami

 Masih…masih walaupun nggak seperti dulu ya. Mungkin sekarang kan sudah yaaaaa sudah menyadari punya itri yaaa harus banyak- banyak dikurangi, gituuu, walaupun

pertemanan itu penting

 Ooohh iya…ya ya… saling menyadari bahwa itulah. Kalo cewek ya, ya itu tadi cewek… seperti itu gitu lho, memang sifat- sifat cewek itu pada umumnya seperti itu… Ya kita paling say hello, ngomong- ngomong bentar. Teman- temn saya cowok pun ya kayak gitu, ya inilah cowok., namanya cowok tempat temen yang sana, kadang-kadang males, ke sana males, kan gitu. “Yo kowe nak arep dolan, dolan dewe kono”, kan gitu mesti.

 Ya dia itu memang kalau tak jak main-main ke temen gitu memang ini mbak

Pengaturan keuangan dalam rumah tangga

(24)

kedua mengakui bahwa himpitan ekonomi membuat mereka harus berhutang kepada tetangga mereka. Hutang ini jugalah yang membuat partisipan kedua ini memutuskan untuk menunda memiliki anak di awal pernikahan mereka. Hal ini diungkapkan kedua partisipan dalam kutipan wawancara sebagai berikut :

Tabel 8 : Pengaturan keuangan di dalam rumah tangga

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 Ini jujur ya, karena om ini penghasilannya ngga tentu, nggak mesti, dan yang mesti itu, yang rutin

 Seringnya…seringnya begitu kita selalu ngomong-ngomong ya pengen beli ini kontrakkan, nah setelah itu mungkin mungkin tabungannya itu nggak saya buat ini itu yang aneh- aneh. Mungkin

(25)

Suami

 Ooohhh,ke tante semua… ke tante semua

 Heeem yang kontrol tante…ya mungkin gini, kalo saya punya penghasilan ya saya serahkan…terserah mengaturnya bagaimana memberanikan diri untuk pinjam uang mbak memang

 Bersama-sama, tapi kadang-kadang ada ada yang disembunyikan oleh istri  Dia itu diem-diem itu masih punya

simpenan gitu lho mbak

 Untuk yang lain mbak kalau saya mbak, terutama untu rumah ini mbak, dengan harapan nanti misalnya rumah ini jadi, dikontrakkan kan gitu lumayan punya tanggungan berapa ratus ribu gitu, tapi walaupun beberapa ratus ribu tapi waktu itu kan hitungannya juga banyak dan apa ya karena penghasilannya belum, belum cukup kan jadi sepertinya itu banyak banget kan gitu

Pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga

(26)

Mereka menerapkan prinsip keterbukaan saat mengungkapkan keinginan atau bahkan menolak untuk melakukan hubungan seksual. Hal ini diungkapkan oleh kedua partisipan dalam kutipan wawancara berikut :

Tabel 9 : Pemenuhan kebutuhan seksual dalam rumah tangga

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 Ya kalo menurut saya ya sudah karena seringnya, seringya ka seorang laki- laki yang sering menuntut itu, menurut saya kalo perempuan itu seringnya nggak..nggak punya aaaa apa itu..keinginan seperti itu duluan itu, pasti kan laki- laki sering menuntut hal menjalankan bagaimana ya suami yang normal…ya normal- normal lah kebetulan itu kamarnya berdekatan  Kalo misalnya hubungan waktu kita itu

memenuhi kewajiban kita sebagai istri, ya sebagai suami, kadang itu memang kurang bebas mbak

 Tapi ini tuntutan ya mbak ya, saya harus memenuhi kewajiban saya sebagai istri, dia juga harus memenuhi kewajiban dia sebagai suami

(27)

minta maaf lah, sebaliknya, dia juga mungkin yaaa capek ya saling menyadari masing- masing lah karena memang aaakita lihat sendiri karena mungkin kita capek…kita masing- masing capek, gitu…

 Yaaaaa dengan kita berkomunikasi, komunikasi,,, kita sambil…yaaa sambil gimana caranya lah untuk membuat…membangkitkan gairah… Ya iya… tetep harus gitu…ya nanti malah kita… dia lagi capek dipaksa, kita marah, nanti tersinggung

kebutuhan seksual om?? Iya...

Dan om sendiri juga sudah memenuhi kebutuhan seksual dari tante??

Iya mbak...sudah memenuhi itu

 Sementara ini saya belum pernah menolak itu mbak, malah kadang-kadang istri yang menolak, “mas kesel ek mas”, “yowes nak kesel yo rapopo”, saya kan juga gitu mbak nggak akan memaksa, karena walaupun saya memaksa mesti dia itu juga mesti ada seperti ada yang ngganjel...nggak nggak nggak plong lah istilahe, hmm istilahnya gitu. Ada keterpaksaan walaupun sedikit keterpaksaan kan tetep nggak nggak nyaman

Ungkapan keinginan pasangan untuk memiliki anak

Kedua partisipan mengungkapkan keinginan mereka untuk memiliki anak dalm rumah tangga mereka. Mereka juga telah menempuh usaha-usaha baik medis maupun tradisional agar segera diberi keturunan. Berikut ini adalah kutipan wawancara yang menunjukkan bahwa kedua pasangan ini sangat mendambakan kehadiran anak dalah kehidupan rumah tangga mereka :

Tabel 10 : Ungkapan keinginan pasangan untuk memiliki anak

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 Dengan keadaan kita yang sekarang ini kita harus bisa aaaa berpikir positif dan kalopun kita juga tidak..tidak segan- segan…tidak bosan- bosannya memohon pada Tuhan kalau memang akhirnya Tuhan menghendaki kita diberi momongan yang sudah kita damba- dambakan kita akan siap

(28)

damai damai saja tapi kan kadang kalo pas apa itu…sendiri gitu kan merasakan kesepian, dan rindu akan keberadaan seorang anak ya, yang aaaa dapat mempercayakan pada kita. Kemarin mungkin ada satu peristiwa yang mungkin kita saking pengennya itu sampai pengen mengadopsi anak utu, ad satu keinginan untuk mengadopsi anak itu tapi itu ya tetep ada pertimbangan nggak boleh grusah grusuh normalnya perempuan itu melahirkan, eehhh mengandung baru melahirkan ya, tapi memang saat ini saya belum

Kecemburuan yang dirasakan partisipan pada pasangan lain yang memiliki anak

(29)

Tabel 11 : Kecemburuan yang dirasakan partisipan pada pasangan lain yang kantor duh…rasanya yahhhh, tidak bisa digambarkan tetap berusaha dengan cara apapun ya, ,,, ya rasanya sekedar pengen gitu, ya ngliatnya seneng, seneng, soalnya dasarmnya memang suka sama anak- anak kecil sih,,, itu lihat mereka, bapak ibu sama anaknya pergi bersama ke mana gitu, kadang iri…ya manusiawi ya

Istri

 Waktu itu tu dia dateng, sama anaknya, cemburunya mungkin ya karena dia sudah mempunyai momongan, saya belum. Mungkin cemburunya di situ saya. Dia ngeliatnya mantannya itu bawa anak, dia agak gimana gitu latihan jaan itu lho dirumput-rumput biar kalau jatuh kan nggak sakit. Pada jalan-jalan gitu kan wes, saya lihat juga lucu gitu lho. Terus kadang-kadang kepikiran, “dhek, besok kalau kita punya kita bawa ke sini, seperti itu ya”, ya gitu

Sifat dan kebiasaan pasangan

(30)

Tabel 12 : Sifat dan kebiasaan pasangan

Kekurangannya aaa agak ndableg ya untuk masalah mengurangi rokok , susah om itu malah cuma dimanfaatkan aja, nggak aaa apa itu, nggak merasa aaa perlu, ya udah nggak di gagas lagi, kadang saya yang kurang, kurang, kurang setuju dengan sikapnya, orangnya sabar dan terlalu baik

Suami

 Ya itu tadi, emosional, dia selalu, apaaa terus terang, nggak bisa mendem, dia memang nggak bisa mendem, seringnya nggak bisa mendem. Kebaikannya ya yaaaa mungkin kalo….merasa, merasa salah gitu…dia berusaha untuk minta maaf dengan berbagai macam cara, yaaaa cepet melupakan kesalahan itu.  Menyikapinya yaaaa, itulah istri saya,

harus menerima, kekurangan dan kelebihannya. Menerima…ya saya menerima

Istri

 Kekurangannya ya kadang sok nyepelekke gitu. Kekuranganne nyepelekke. Saya sering emosi kalau dia nyepelekke hahahha emosi tingkat tinggi

 Ya saya terima kekurangannya ya mbak. Menurut saya kekurangan kelebihannya dia ya memang dia seperti itu hahahahah. Sya seperti itu. Saya nggak menyalahkan, saya nggak mempermasalahkan itu. Bagi saya seperti itu

Suami

 Ya ada positifnya ada negatifnya mbak, kalau positifnya ya banyak, tapi kalau negatifnya itu dia itu ge er an gitu...ya gitu mbak, jadi apa-apa langsung dimasukkan ke hati

 Kebaikannya ya dia itu ramah, ramah sama orang, baik gitu mbak, jujur gitu juga mbak

 Iya he em ngeyelan...ngeyelan...kalau punya kemauan itu sak ndang sak nyat mbak, karena dia dari kecil memang seperti itu, dari kecil memang kalau punya keinginan itu ya harus, kan gitu

Pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga

(31)

membantu bahkan menggantikan peran pasangan mereka saat pasangannya tersebut sedang tidak dapat melaksanakan tugas mereka. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara berikut :

Tabel 13 : Pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga

Partisipan 1 Partisipan 2

Istri

 Kalo menurut saya, malah sebetulnya, saya itu kalo boleh jujur mengakui kurang, karena ya itu tadi sifat om yang mengalah itu tadi, karena saya dirasa kerja, capek apa apa …itu kerjaan rumah banyak dikerjakan om gitu lho, tapi ya ndak tante trus jadi enak-enak karena tante punya tanggung jawab yang lain ya, tapi sebisa mungkin kan yo tante berusaha untuk tanggung jawab kepada keluarga

 ya itu tadi, tapi mungkin itu karena tuntutan yae , tuntutan kalo masalah memenuhi aaaa kebutuhan ekonomi ya kalo dipikir kurang ya kurang gitu untuk menafkahi keluarga, tapi karena kita bisa menerima, saling menerima ya saya rasa ya kita bersyukur aja gituu

Suami

 Belum, aaaa merasa belum….Ya mungkin ada keinginan- keinginan istri yang belum terpenuhi , nah itu kan kita juga merasa juga belum, ya bisa

dikatakan belum memuaskan keinginan istri

 Ohhh iya, iya saling membantu…. Contohnya…ya karena istri saya pekerjaannnya menurut waktu ya, waktu yang ditentukan dan tetap ya, ya mungkin saya, mungkin dalam

seminggu saya mungkin banyak’an di rumah, ya saya membantu beres- beres rumah, kecuali masak..itu, yaaa kita, ya

Istri

 Itu kan ya memenuhi kebutuhan rumah tangga, memenuhi kebutuhan aaaa mencukupi kebutuhan istri. Kalau wanita sih maunya ya ini dituruti, ini

penghasilannya seperti itu saya kalau mikir terlalu berat saya takutnya malah sama diri saya sendiri mbak. Saya kebutuhan gitu lho, saya sebenernya ingin istri tu di rumah, diem, kan gitu, terus saya yang nyari uang, kan gitu. Tapi sementara ini kan belum bisa, jadi kita masih kerjasama giu lho, ya itu yang masih ada ganjelan..gitu  Gengsi gitu, gitu nggak ada mbak.

(32)

menerima aja,ya saya melakukan itu dengan enjoy Heem, kalo memang kita punya ego masing- masing kita,waahhh nggak jalan

gitu

Konflik menantu mertua

Konflik dengan mertua ini dialami oleh partisipan yang kedua. Mereka mengaku pernah memiliki konflik dengan mertua mereka. Hal ini mereka ungkapkan pada kutipan wawancara berikut :

Tabel 14 : Konflik menantu mertua

(33)

kegiatan di waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.

Setiap pasangan tentunya memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda. Pola komunikasi yang terbuka menjadi pilihan bagi pasangan dalam mengungkapkan seluruh keinginan mereka kepada pasangannya. Mereka berusaha untuk menceritakan apapun yang terjadi pada dirinya dan jujur mengenai apa yang mereka rasakan, termasuk mengenai anak yang hingga saat ini masih belum juga hadir di tengah-tengah keluarga. Dengan begitu secara tidak langsung mereka menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pasangannya masing-masing. Pola komunikasi yang terbuka ini ternyata mampu untuk membantu mencari solusi dalam permasalahan yang dimiliki oleh pasangan. Dengan pola komunikasi ini, mereka dengan bebas dapat mengutarakan kekecewaan, kemarahan, perasaan tidak enak, bahkan permintaan maaf bagi pasangan yang menyadari akan kesalahan yang dibuatnya. Dengan demikian, masalah yang ada tidak berkembang menjadi besar dan tidak berlarut-larut. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Broderick, Carlfred dan Smith (dalam Hidayah & Hadjam, 2006) bahwa komunikasi dalam perkawinan yang memuaskan adalah komunikasi yang mengandung unsur keterbukaan, kejujuran, saling percaya, empatik, dan mendengarkan secara aktif.

(34)

pasangan. Mereka mulai mengurangi kebersamaan yang biasa mereka lakukan sebelum mereka menikah. apabila sedang ingin berkumpul dengan teman-teman, mereka lebih memilih untuk mengajak teman-temannya ke rumah agar dapat diperkenalkan juga kepada pasangan mereka. Akan tetapi ada pula pasangan yang lebih memilih untuk menghindari pertemuan dengan teman-temannya karena kondisi rumah tangga yang dirasa masih belum cukup baik terlebih dengan belum hadirnya anak di dalam keluarga mereka yang membuat mereka cemas akan komentar-komentar negatif yang akan diterima dari teman-teman mereka.

Kebersamaan dengan teman maupun keluarga juga dilakukan saat pasangan memiliki waktu luang. Mereka terkadang bepergian bersama untuk mengurangi kejenuhan setelah melakukan rutinitas pekerjaan dan di sisi lain berpergian bersama keluarga maupun teman juga dapat mengobati sedikit rasa rindu para pasangan yang belum memiliki anak. Meskipun demikian, pasangan-pasangan ini juga tetap menyadari bahwa ada saatnya mereka harus mengagihkan waktu khusus bagi pasangan mereka untuk membicarakan hal-hal terkait dengan keluarga kecil mereka sekaligus untuk meningkatkan kualitas hubungan suami istri dalam rumah tangga. Pembicaraan mengenai anak juga selalu ada saat pasangan menghabiskan waktu berdua. Mereka membicarakan angan-angan mereka ketika memiliki anak, kebahagiaan saat mereka akhirnya bisa menimang seorang anak, kesedihan yang dirasakan pasangan ini sadar bahwa pada kenyataannya mereka belum diberikan keturunan, hingga penyesalan yang ada dalam hati pasangan yang mengalami keguguran.

(35)

memiliki anak. Tak heran jika suasana bahagia yang dirasakan oleh pasangan saat menghabiskan waktu berdua berubah menjadi suasana sedih saat melihat pasangan lain dapat menghabiskan waktu bersama dengan anaknya. Mereka pun sangat ingin merasakan kebahagiaan seperti yang pasangan lain rasakan. Namun pada akhirnya mereka berusaha untuk bersabar dalam menghadapi rasa sakit yang mereka rasakan tersebut.

(36)

Berbeda dengan kegiatan keagamaan yang dilakukan secara bersama-sama, dalam hal pengelolaan keuangan ternyata para istri memegang peran yang lebih besar. Seluruh penghasilan yang ada di dalam rumah tangga diserahkan kepada istri dan istri yang mengelolanya. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa sang istri menguasai keuangan keluarga, akan tetapi suami pun masih diperbolehkan untuk menggunakan uang keluarga asalkan digunakan untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk kesenangan pribadi. Bagi pasangan yang memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata lebih fleksibel dalam menggunakan uang, sedangkan bagi pasangan yang memiliki penghasilan rendah harus lebih berhati-hati dalam menggunakan uang dan tidak bisa sembarangan dalam membeli barang.

Pasangan berpenghasilan rendah harus membeli kebutuhan berdasarkan kebutuhan, bukan lagi berdasarkan keinginan sendiri. Pahl dalam Parrota dan Johnson (1998) mengemukakan bahwa bagi pasangan dengan penghasilan rendah, pengelolaan keuangan akan terasa jauh lebih penting dan sulit sebab membutuhkan keterampilan yang lebih baik. Pasangan berpenghasilan rendah juga rentan terhadap fenomena “berhutang”. Selain untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, hutang tersebut juga

(37)

Dalam hal kebutuhan seksual, pasangan suami istri merasa cukup puas dengan kehidupan seksual yang selama ini mereka jalani. Hanya saja terkadang mereka merasa putus asa sehingga kurang bergairah dalam melakukan hubungan seksual karena selama ini pasangan belum juga berhasil memberikan keturunan bagi keluarga mereka. Mereka juga tidak memaksakan kehendak mereka saat pasangannya sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual. Mereka mencoba untuk memahami keadaan satu sama lain karena masing-masing dari mereka menyadari bahwa hubungan seksual akan berjalan dengan baik saat keduanya berada dalam keadaan yang nyaman dan kondisi fisik yang fit.

Pemahaman seperti ini juga mereka terapkan dalam menyikapi sifat dan kebiasaan yang dimiliki oleh pasangan masing-masing. Mereka mencoba untuk saling memahami dan menerima kelebihan serta kekurangan pasangannya tanpa adanya tuntutan yang bersifat memaksa pasangan untuk mengubah sifat dan kebiasaan buruk mereka dalam jangka waktu singkat. Masing-masing dari mereka berusaha jujur pada pasangannya bahwa mereka kurang nyaman dengan kebiasaan pasangan yang kurang baik dan berharap agar pasangannya tersebut berkenan untuk mengurangi kebiasaan buruknya serta berusaha agar dapat menghilangkannya seiring dengan berjalannya waktu. Namun pada kenyataannya memang sulit untuk bertoleransi terhadap kebiasaan buruk pasangan, sehingga tidak dapat dipungkiri kemarahanlah yang pada akhirnya muncul saat pasangan masih terus dan terus melakukan kebiasaan buruk tersebut.

(38)

melaksanakan perannya, pasangannya pun dengan senang hati membantu bahkan menggantikan peran tersebut. tidak ada rasa gengsi atau malu dalam hati mereka, karena mereka berpikir bahwa hal itu adalah kewajiban bersama yang bisa dilakukan oleh siapapun dalam rumah tangga. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Yoger dan Brecht (dalam Hidayah & Hadjam, 2006) bahwa kepuasan pernikahan pada isteri

dipengaruhi oleh keterlibatan suami dalam membantu tugas-tugas rumah tangga,

sementara kepuasan pernikahan pada suami dihubungkan dengan kesadaran istri untuk

mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dibandingkan suami. Dalam

rumah tangga, peran yang ada tidak hanya berkisar anatar peran sebagai suami istri,

tetapi juga sebagai ayah dan ibu. Namun dengan belum hadirnya anak dalam keluarga,

pasangan belum bisa menikmati peran sebagai ayah dan ibu. Ada pasangan yang dapat

mengalihkan rasa rindu mereka untuk menikmati peran sebagai ayah dan ibu dengan

bepergian bersama sekaligus melampiaskan kasih sayang kepada keponakan mereka,

akan tetapi ada juga pasangan yang lebih memilih bepergian berdua untuk mengalihkan

keinginan kuat mereka untuk menjadi ayah dan ibu yang belum tercapai.

Setiap pernikahan tentunya tidak lepas dari adanya konflik dalam rumah tangga,

entah yang disebabkan oleh suami, istri, keluarga, maupun orang lain yang ada di

sekeliling pasangan. Penyebab konflik dalam rumah tangga pasangan disebabkan oleh

beberapa faktor. Pertama, adanya konflik antara menantu dan mertua yang mungkin

sering terjadi karena menantu dan mertua masih tinggal dalam satu lingkungan yang

sama. Perbedaan sifat dan karakter antara menantu dan mertua pun juga dapat menjadi

(39)

kemungkinan timbulnya persengketaan dengan mertua akan lebih besar karena bentrokan di antara keduanya biasanya berkitan dengan masalah rumah tangga.

Kedua, masalah yang muncul melalui ucapan atau kata-kata dari keluarga maupun orang lain mengenai keadaan keluarga pasangan yang belum memiliki anak dan/atau memiliki kondisi ekonomi yang belum cukup baik. Kemudian masalah anak yang belum kunjung hadir dalam kehidupan rumah tangga menjadi suatu masalah yang sensitif dan dapat menimbulkan masalah baru bagi pasangan suami istri. Belum hadirnya anak sering dikait-kaitkan dengan masalah lain yang terjadi dalam keluarga, misalkan masalah tentang keadaan ekonomi yang hingga saat ini belum juga menjadi alasan mengapa hingga saat ini pasangan belum dikaruniai anak. Griel (dalam Hidayah, n.d) mengungkapkan bahwa ketidakhadiran anak akan meningkatkan ketegangan dalam pernikahan.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pasangan suami istri yang belum memiliki anak merasakan kepuasan dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka berdasarkan area-area pernikahan yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson (1989; 1993), akan tetapi mereka tetap merasa bahwa kehidupan rumah tangganya belumlah lengkap tanpa kehadiran seorang anak di tengah-tengah mereka. Dari segi komunikasi, pasangan menggunakan pola komunikasi terbuka untuk mengungkapkan apapun yang ingin mereka sampaikan kepada pasangan mereka, termasuk konflik yang yang sedang terjadi di antara mereka.

(40)

mereka juga melakukannya berdua dengan pasangan mereka. Pendalaman agama diakui oleh pasangan mampu untuk meningkatkan penerimaan mereka dalam menghadapi kenyataan belum hadirnya anak di tengah keluarga mereka. Dalam hal pengelolaan keuangan, pasangan mengaku bahwa seluruh penghasilan yang ada diserahkan kepada istri namun ketika sang suami sedang membutuhkan dana, para suami ini mempunyai hak untuk meminta kepada istri mereka. Namun pada kenyataannya, ada pasangan yang harus berurusan dengan hutang piutang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Meskipun masih sering menghabiskan waktu bersama, namun intensitas pertemuan antara pasangan dengan keluarga maupun dengan teman-temannya mulai berkurang setelah pasangan ini memutuskan untuk menikah. Setiap pasangan menikah pun pasti telah merencanakan kehadiran anak dalam rumah tangga mereka. Namun ketika anak tersebut tak kunjung hadir, tentunya hal ini menjadi kerinduan tersendiri bagi pasangan. Rasa rindu dan keinginan akan hadirnya anak menjadi semakin kuat saat pasangan melihat pasangan lain menghabiskan waktu bersama anaknya. Belum hadirnya anak ternyata juga berpengaruh terhadap kehidupan seksual dari pasangan. Ada pasangan yang tetap puas dengan kehidupan seksualnya, namun ada juga pasangan yang mengaku menjadi kurang bergairah dalam melakukan hubungan seksual karena hingga saat ini belum berhasil memberikan keturunan bagi keluarga mereka.

(41)

membawa pengaruh terhadap hubungan menantu dan mertua, dan tentunya berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan pasangan.

Setelah melakukan penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran kepada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti secara lebih mendalam mengenai konflik menantu-mertua dalam kaitannya dengan kepuasaan pernikahan. Peneliti melihat adanya pengaruh antara konflik yang terjadi yang berkaitan dengan relasi mertua dan menantu dengan kepuasan pernikahan yang diraakan oleh pasangan suami istri namun belum tergali secara mendalam dalam penelitian ini.

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Alam, S. & Hadibroto, I. (2007). Infertil. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Ardhianita,I. & Andayani,B. (n.d). Kepuasan pernikahan ditinjau dari berpacaran dan tidak berpacaran. Jurnal Psikologi, Volume 32 No.2, 101-111

Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian. (1974). Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tentang Perkawinan. Jakarta: BP4 Pusat

Datta, M., Randall, L., Holmes, N., dan Karunaharan, N., (2010). Rujukan cepat obstetri & ginekologi. Alihbahasa : Priliono, T., Jakarta : EGC

Fowers, B.J. dan Olson, D.H. (1989). ENRICH marital inventory: A discriminant validity and cross-validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy, 15 (1), 65-79.

Fowers, B.J. & Olson, D.H. (1993). ENRICH marital satisfaction scale: A brief research and clinical tool. Journal of Family Psychology, 7 (2), 176-185.

Henslin, J.M. & Miller, B.C. (1985). Marriage and family in a changing society. New York : McMillan, Inc.

Hidayah,N.& Hadjam, N.R. (2006). Perbedaan kepuasan perkawinan antara wanita yang mengalami infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Humanitas; Indonesian Psychological Journal, Volume 3,7-17.

Hidayah,N.(t.t). Nilai anak, stres infertilitas, dan kepuasan perkawinan pada wanita yang mengalami infertilitas. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta : PN Balai Pustaka

Newman & Newman. (2006). Development through life. A psychological approach. USA: Thomson Wadsworth

Olson, D.H, (2003). Marriages and Families Strengths 7th ed. New York: McGraw-Hill Parrota, J.L. & Johnson, P.J. (1998).The impact of financial attitudes and knowledge on

financial management and satisfaction of recently married individuals.Financial Counseling and Planning, 9 (2), 59-75. Retrieved from http://www.afcpe.org/assets/pdf/vol927.pdf tanggal 10 Januari 2015

Peterson, B. D., Newton, C. R., dan Rosen, K. H. (2003). Family Process. Spring

(43)

Santrock, J.W. (2002). Life-span development Jilid2.(Edisi ke-5).AlihBahasa: Damanik,J. &Chusairi, A. Jakarta:Erlangga

Skogrand, L., Johnson, A.C., Horrocks, A.M. & DeFrain, J. (2010). Financial management practices of couples with great marriages. Journal Family Economy Issue, 32,27-35. DOI: 10.1007/s10834-101-9195-2. Diakses tanggal 17 Desember 2014

Sugiharto,G. (2005). Infertilitas. http:

//www.mailarcieve.com/milisnova@news.gramediamajalah.com/msg00013.html

Taher, A. (2007). Pria sebagai penyebab sulit punya anak.

http://www.kompas.com/kompascetak/ 0208/04/keluarga/pres21.html. Diakses

tanggal 20 Desember 2013

Ummi Edisi 5/XV/2003. Sabar Menanti Si Buah Hati

Wahyuningsih, H. (2002). Perkawinan: arti penting pola dan tipe penyesuaian antar pasangan. PSIKOLOGIKA : No. 14 Vol. VII, 14-24. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia

Gambar

Tabel 1 : Keterbukaan dalam sistem komunikasi
Tabel 2 : Kegiatan yang dilakukan pada saat pasangan memiliki waktu luang
Tabel 3 : Gambaran kehidupan beragama dalam rumah tangga
Tabel 4 : Konflik dalam rumah tangga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai F- hitung sebesar 21,45369 lebih besar dari nilai F- tabel pada α = 10% (6,123) = 2,95, Maka H0 ditolak dan Ha yang menyatakan bahwa kamar hotel, PDRB sektor

Rancangan pesawat terbang tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) berbasis quadcopter yang digabungkan dengan sistem penyemprotan untuk kegiatan pertanian yaitu

Jalur kereta api Kunming-Singapura dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi (Djankov, 2016). Negara- negara Asia Tenggara pasalnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang

Identifikasi adalah cara yang digunakan individu untuk menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian dari pribadi orang lain.. 28 Misalnya anak dalam menghadapi ayahnya

Hasil bordir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu seni berupa benda yang dihasilkan melalui proses atau cara dengan menambah hiasan menggunakan

Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife (1995) menyatakan bahwa pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang, dan

Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam kecuali pada kasus pajanan dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau  pajanan kronis5. Pralidoksim dapat

Perawat yang bertugas akan melakukan skrining risiko jatuh kepada setiap pasien dengan menggunakan “Asesmen Risiko Jatuh Harian”.. Setiap pasien akan dilakukan asesmen ulang