PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN DALAM SEKOLAH JESUIT DI SMA KOLESE DE BRITTO YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Elisabeth Sri Widayanti NIM 13110244018
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
ii
PERSETUJUAN
Skripsi yang berjudul “PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN DALAM SEKOLAH
JESUIT DI SMA KOLESE DE BRITTO YOGYAKARTA” yang disusun oleh
Elisabeth Sri Widayanti, NIM 13110244018 ini telah disetujui oleh pembimbing
untuk diujikan.
Yogyakarta, 19 April 2017 Dosen Pembimbing,
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya
sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang
ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan
mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.
Tandatangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah
asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode
berikutnya.
Yogyakarta, 19 April 2017 Yang menyatakan,
iv
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN DALAM SEKOLAH JESUIT DI SMA KOLESE DE BRITTO YOGYAKARTA” yang disusun oleh
Elisabeth Sri Widayanti, NIM 13110244018 ini telah dipertahankan di depan
Dewan Penguji pada tanggal 7 April 2017 dan dinyatakan lulus.
DEWAN PENGUJI
Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal
Lusila Andriani P., M.Hum. Ketua Penguji ……… ………
Ariefa Efianingrum, M.Si. Sekretaris Penguji ……… ………
Dr. Cepi Safruddin Abdul J., M.Pd. Penguji Utama ……… ………
Yogyakarta, ... Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Dekan,
Dr. Haryanto, M.Pd
v MOTTO
Lakukanlah segala hal yang terbaik, tetapi jangan merasa jadi yang terbaik (Elisabeth Sri Widayanti)
Jadilah orang yang pintar, berjiwa pendekar, dan berhati baik (Albertus Ngadiman)
vi
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap puji syukur kepada Allah Bapa yang Maha Kasih, berkat
segala kasih-Nya yang berlimpah sehingga karya skripsi ini bisa terselesaikan,
maka karya ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta, Ayah Albertus Yohanes Ngadiman, Alm. Ibu
Anna Maria W., dan Mas Lukas Firmantoyo yang telah memberikan kasih
sayang, doa, dan dukungan yang tak pernah terputus untuk keberhasilan
puterimu ini.
2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta
3. Dosen Pembimbing Ibu Lusila Andriani, M.Hum. yang telah sabar
membimbing saya dalam mengerjakan skripsi ini, beserta seluruh dosen yang
telah mendidik saya selama kuliah di UNY.
4. Kepala Sekolah SMA Kolese De Britto Yogyakarta beserta keluarga yayasan
SMA Kolese De Britto Yogyakarta yang telah memberikan doa dan
dukungan terhadap penelitian ini.
5. Teman-teman Program Studi Kebijakan Pendidikan yang telah memberikan
dukungan dan tenaganya dalam membantu menyelesaikan skripsi ini.
6. UKM IKMK dan UKM PSM “SW” sebagai tempat saya mengolah bakat dan belajar organisasi di UNY.
7. Bagi masyarakat Indonesia, untuk mendukung kemajuan kualitas pendidikan
vii
PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN DALAM SEKOLAH JESUIT DI SMA KOLESE DE BRITTO YOGYAKARTA
Oleh
Elisabeth Sri Widayanti NIM 13110244018
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) Komponen-komponen pendidikan kepemimpinan dalam sekolah Jesuit di SMA Kolese De Britto Yogyakarta; (2) Proses Pendidikan Kepemimpinan dalam Sekolah Jesuit di SMA Kolese De Britto Yogyakarta; (3) Faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pendidikan kepemimpinan di SMA Kolese De Britto Yogyakarta; (4) Hasil penerapan pendidikan kepemimpinan dalam Sekolah Jesuit di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Kolese De Britto Yogyakarta pada bulan Januari 2017 sampai Maret 2017. Subjek penelitian ini yaitu Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Guru, Siswa, dan Alumni. Informan penelitian yaitu Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah (bidang kesiswaan, kurikulum, humas), siswa berprestasi, siswa yang aktif organisasi, alumni, guru pendidikan nilai. Teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini menggunakan teknik
analisis data model “Miles and Hubberman” yang terdiri dari reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Keabsahan data menggunakan triangulasi sumber.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Komponen pendidikan kepemimpinan di SMA Kolese De Britto terdiri dari tujuan pendidikan De Britto dalam visi misi menjadi kader pemimpin pengabdi, peran pendidik (Kepala Sekolah, pamong sekolah, guru, karyawan) menjadi teladan, memberikan materi, dan menjadi fasilitator pendidikan untuk siswa disertai lingkungan sebagai sarana prasarana; (2) Proses pendidikan kepemimpinan yaitu menginputkan value
kepemimpinan Ignasian melalui pengalaman, pembiasaan refleksi, dan aksi dalam setiap pendidikan akademik dan non akademik yang menekankan nilai 3C+1L dalam tiap jenjang kelas seperti live in,pendidikan nilai spiritualitas Ignasian, latihan kepemimpinan, ekstrakurikuler, presidium, pembinaan rohani, dan sebagainya; (3) Faktor pendukung pendidikan kepemimpinan di De Britto yaitu dukungan dari setiap elemen sekolah yang memahami visi sekolah dan ikut menghidupi dan melaksanakan setiap program kegiatan sekolah, dan faktor penghambat secara teknis seperti keluhan orangtua, kesulitan mencari tempat kegiatan, dan kurangnya keselarasan program sekolah dan dinas; (4) Hasil pendidikan kepemimpinan di SMA Kolese De Britto yaitu perkembangan pola pikir untuk berbuat baik, keberanian mengemukakan pendapat, kebebasan yang bertanggungjawab, kepedulian dengan sesama, selalu refleksi diri, dan berjiwa pemimpin yang melayani.
viii
KATA PENGANTAR
Berkah Dalem,
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus
yang telah memberikan berkat karunia dan kasih-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi dengan judul “Pendidikan Kepemimpinan dalam Sekolah
Jesuit di SMA Kolose De Britto Yogyakarta”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Kebijakan
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulis menyadari, bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari
kerjasama, bantuan, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk belajar di Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
memberikan ijin dalam melakukan penelitian ini.
3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan
dorongan dan ijin dalam pembuatan skripsi ini.
4. Ibu L. Andriani Purwastuti., M.Hum., selaku pembimbing skripsi yang penuh
sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Ibu Ariefa Efianingrum selaku Pembimbing Akademik yang telah
ix
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, Program
Studi Kebijakan Pendidikan, terimakasih atas bekal ilmu pengetahuan dan
bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.
7. Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, karyawan, siswa, alumni, dan
segenap keluarga besar SMA Kolese De Britto Yogyakarta yang telah
memberikan ijin, bantuan, dan kerjasamanya untuk kelancaran skripsi ini.
8. Kedua orang tua saya Albertus Yohanes Ngadiman dan Alm. Anna Maria W.,
serta segenap keluarga besar saya, terimakasih atas doa, perhatian, cinta
kasih, semangat, motivasi, dukungan, dan pengorbanan yang telah diberikan
dengan penuh ketulusan.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan Kebijakan pendidikan angkatan 2013,
terimakasih atas doa dan dorongannya untuk kelancaran skripsi ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu terimakasih telah
memberikan informasi, bantuan, dan kerjasamanya.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, masukan
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat dan dapat dijadikan bahan referensi bagi
penelitian selanjutnya.
Yogyakarta. 19 April 2017
Penulis
x DAFTAR ISI
hal
COVER ... i
PERSETUJUAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi Masalah ... 12
C. Batasan Masalah ... 14
D. Rumusan Masalah ... 14
E. Tujuan ... 14
F. Manfaat Penelitian ... 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka ... 17
1. Kebijakan tentang Pendidikan Kepemimpinan ... 17
a. Hakikat Kebijakan Pendidikan Kepemimpinan ... 17
b. Komponen – Komponen Pendidikan ... 19
c. Pendidikan Kepemimpinan ... 21
d. Keterkaitan Kebijakan Kepemimpinan dengan Kepemudaan ... 29
xi
a. Pendidikan Ignasian ... 35
b. Paradigma Pedagogi Ignasian ... 41
c. Kepemimpinan Jesuit ... 44
B. Penelitian yang Relevan ... .. 50
C. Kerangka Pikir ... 52
D. Pertanyaan Penelitian ... 53
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 54
B. Setting Penelitian ... 55
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 55
D. Teknik Pengumpulan Data ... 56
E. Instrumen Penelitian ... 59
F. Teknik Analisis Data ... 62
G. Keabsahan Data... 64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 66
B. Hasil Penelitian ... 75
C. Pembahasan ... 105
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 122
B. Saran ... 127
DAFTAR PUSTAKA ... 129
xii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Perbedaan Kepemimpinan dan Manajemen menurut John P. Kotter . 23
Tabel 2. Perbedaan Kepemimpinan dan Manajemen menurut Hughes, Ginet, dan Curphy ... 24
Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Observasi ... 60
Tabel 4. Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 61
Tabel 5. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi ... 62
Tabel 6. Data Siswa SMA Kolese De Britto ... 72
Tabel 7. Data Tenaga Pendidik SMA Kolese De Britto ... 72
Tabel 8. Data Program 3C+1L ... 86
Tabel 9. Program Antar Angkatan ... 86
Tabel 10. Komponen Nilai 3C+1L Kelas X ... 87
Tabel 11. Komponen Nilai 3C+1L Kelas XI ... 89
Tabel 12. Komponen Nilai 3C+1L Kelas XII ... 90
Tabel 13. Cabang Ekstrakurikuler ... 92
Tabel 14. Aktualisasi Program Rutin Pendidikan Kepemimpinan ... 92
Tabel 15. Syarat-syarat 3C+1L ... 101
Tabel 16. Rapor Nilai Kepemimpinan ... 102
Tabel 17. Komponen Pendidikan Kepemimpinan SMA Kolese De Britto ... 108
Tabel 18. Penerapan Program Pendidikan Kepemimpinan... 110
Tabel 19. Proses Pendidikan Kepemimpinan di SMA Kolese De Britto ... 112
xiii
DAFTAR GAMBAR
hal Gambar 1. Bagan Keseimbangan Softskills dan Hardskills berdasarkan
Jenjang Pendidikan ... 3
Gambar 2. Bagan Pengembangan Kepemimpinan menurut Zaini ... 34
Gambar 3. Bagan Kerangka Pikir Penelitian ... 52
Gambar 4. Proses Pengambilan Sampel Sumber Data ... 55
Gambar 5. Analisis Data Model “Miles and Hubberman” ... 64
Gambar 6. Struktur Organisasi SMA Kolese De Britto ... 74
Gambar 7. Kegiatan Interaksi Pendidik dan Siswa dalam Pelajaran ... 84
Gambar 8. Kegiatan Siswa untuk Berkarya Menyablon Kaos ... 91
Gambar 9. Kegiatan Orasi Siswa Sebagai Bekal Calon Presidium ... 96
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 132
Lampiran 2. Pedoman Dokumentasi ... 133
Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 134
Lampiran 4. Catatan Lapangan ... 142
Lampiran 5. Transkrip Wawancara ... 154
Lampiran 6. Proses Reduksi Data ... 176
Lampiran 7. Analisis Data... 184
Lampiran 8. Jadwal Pelajaran ... 196
Lampiran 9. Foto-foto ... 197
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu sektor kehidupan yang mempengaruhi
perkembangan bangsa. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses
pembentukan jiwa atau kepemimpinan pribadi siswa agar mampu berperan
positif di lingkungan. Hal ini telah diamanahkan melalui kebijakan dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 juga menjelaskan
bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
3b dnegara yang demokrasi serta bertanggungjawab (Republik Indonesia,
2003). Hal ini juga selaras dengan arah pendidikan dalam UU RI No.20
Tahun 2003, tentang Sisdiknas pasal 1 ayat 1 yaitu:
“Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dalam hidupnya.”
Berdasarkan uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa pendidikan bangsa
berupaya membentuk kepribadian dan jiwa kepemimpinan siswa sebagai
generasi bangsa Indonesia. Pembentukan kepribadian kepemimpinan dalam
lingkup pendidikan, terwujud dalam setiap program sekolah dalam
pembelajaran dan pendidikan karakter melalui ekstrakurikuler. Seperti yang
2
membahas pendidikan melalui jalur formal, nonformal, dan informal yang
harus saling melengkapi dan lebih membentuk karakter dan kepribadian
kepemimpinan siswa sebagai generasi bangsa Indonesia.
Dalam kurikulum 2013 dinyatakan bahwa untuk membentuk karakter
dan kepribadian siswa sebagai manusia yang seutuhnya. Kebijakan kurikulum
pendidikan ini bersumber dari kurikulum sebelumnya yaitu kurikulum KTSP.
Berbagai kebijakan pendidikan tentang pendidikan kepemimpinan dalam
upaya pembentukan karakter kepribadian siswa selalu bersumber kebijakan
pendidikan sebelumnya. Kebijakan pendidikan pembentukan karakter di
Indonesia dari dulu sebenarnya sudah tertera dalam UU No.4 Tahun 1950 dan
UU No.12 Tahun 1954 (dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah), UU
No.2 Tahun 1989, dan UU No.20 Tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam hal kepemimpinan, perlu pendidikan kepada
siswa sejak dini melalui pendidikan formal. Hal itu bertujuan agar siswa
mempunyai pedoman yang benar, agar bisa diterapkan di lingkungan
masyarakat.
Melihat situasi perkembangan jaman di negara Indonesia, pendidikan
kepemimpinan sangat dibutuhkan pada siswa usia remaja menuju dewasa.
Rita Eka (2013:122) berpendapat bahwa usia remaja menuju dewasa kira-kira
minimal usia 16 tahun, dan usia itu setara jenjang pendidikan SMA. Usia
siswa di jenjang SMA merupakan usia dimana siswa sedang mencari identitas
diri, bermasalah, dan mencoba hal baru. Rita Eka (2013:132) berpendapat
3
sebagai berikut; lekas marah, balas dendam, suka menyendiri, gelisah, cemas,
sentimen, emosi, memberontak, agresi yaitu melalui serangan fisik ataupun
kata-kata kasar. Berdasarkan data dari Marzano (1985), dan Brumer (1960)
tentang keseimbangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk mendidik
softskills dan hardskills yaitu sebagai berikut:
PT
SMA/SMK
SMP
SD
Knowledge Skill Attitude
Gambar1. Bagan Keseimbangan Softskills dan Hardskills Berdasarkan Jenjang Pendidikan
Berdasarkan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
jenjang sekolah formal, maka tingkat attitude siswa semakin berkurang. Hal
tersebut dikarenakan faktor pergaulan yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian dan karakter. Pada realita pendidikan sekolah tingkat menengah
(SMA/SMK), banyak terjadi permasalahan karakter kepribadian siswa. Jika
di tinjau dari pemberian pendidikan dari pemerintah dan sekolah tentang
pendidikan karakter memang sudah terlaksana. Pendidikan di Indonesia
sampai sekarang berupaya mengembangkan potensi kecerdasan siswa dalam
pendidikan formal, namun output siswa justru berkurang dalam hal perilaku
dan kepribadian. Hal itu disebabkan para siswa juga kurang dalam hal
4
mendasar yaitu banyak masyarakat memahami kepemimpinan sebagai
manajer, dimana menjadi pemimpin itu menduduki kursi jabatan, tidak sudi
turun ke bawah dan mengerjakan sesuatu yang akan merendahkan jabatannya.
Padahal sangat jelas perbedaan antara kepemimpinan sebagai manajer dan
leader. Kepemimpinan juga merupakan upaya nilai 18 karakter yang
diungkapkan dalam Sisdiknas.
Dalam dunia pendidikan seorang guru juga berperan sebagai seorang
pemimpin untuk para siswanya. Permasalahan kepemimpinan pada siswa
lebih terlihat pada kurangnya karakter kepribadian siswa. Permasalahan
degradasi moral karakter siswa pada tahun 2016 bisa terlihat sebagai berikut;
1. Pada berita di KR Jogja (14/12/2016) terjadi tindak kekerasan antar
pelajar SMA. Berdasarkan data dari Kapolda DIY, Brigjen Pol Prasta
Wahyu Hidayat (Harian Jogja/06/09/2016), terdapat beberapa jumlah
geng pelajar yang bermunculan di sekolah tingkat menengah (SMP dan
SMA).
2. Dalam koran Tribunjogja.com, (12/06/2016) Terdapat 28 pemuda
diamankan Polsek karena membawa senjata tajam dan hendak tawuran.
Pemuda tersebut berencana membalas lawan yang telah membacok
temannya.
3. Dalam koran Tempo (Jumat,16/12/2016) Adanya geng sekolah yang
mulai marak, sehingga kota Yogyakarta menjadi darurat “klithih”.
5
SMP Kota Yogyakarta, yang telah mengalami trauma kekerasan senjata
tajam di jalan.
Berdasarkan realita kriminal yang ada memperlihatkan bahwa pelaku
adalah mayoritas siswa SMA. Hal ini jelas menjadikan sebuah keprihatinan
dalam pendidikan. Berdasarkan berita yang memprihatinkan mengenai
kerusakan moral siswa dengan perilaku kriminal memang butuh tindak lanjut
dari pihak berwenang. Kepala Disdikpora DIY, Kadarmanta Baskara Aji
memberi kebijakan agar pelajar yang diduga sebagai pelaku klithih bisa
dikeluarkan dari sekolah (Tribun Jogja, Senin, 19/09/2016). Kebijakan
dilakukan melalui pemberlakuan akumulasi poin pelanggaran dan drop out
kepada siswanya. Namun melihat realita yang ada justru pelaku kekerasan
yang terlibat pelaku sebagai pelajar semakin banyak, tentu menjadi
kebingungan dari berbagai elemen. Para siswa seolah tidak jera dengan
adanya peraturan dan sanksi yang berlaku di sekolah. Para siswa yang banyak
melakukan tindak kekerasan (kriminal) mayoritas berada di tingkat SMA.
Para siswa usia SMA banyak yang sedang berusaha mengaktualisasikan
keberanian diri dengan mengikuti gerombolan geng. Dengan mengikuti geng
dan tawuran, seolah siswa sudah merasa unggul dan diakui keberadaannya.
Usia SMA menjadi masa dimana siswa sedang mencari hal baru dan mencari
jati diri. Hal ini menjadi keprihatinan, bahwa terjadi kesalahpahaman
aktualisasi jati diri pada siswa. Hal ini juga disebabkan karena kurangnya
pemahaman siswa tentang jati diri dan karakter yang baik. Tentu siswa yang
6
Untuk beberapa tahun ini, Dinas Pendidikan sedang menggiatkan
pendidikan karakter melalui kurikulum 2013. Namun realita yang ada
karakter siswa sangat memprihatinkan, terutama dikalangan SMA/SMK yang
dapat dikatakan usia proses menginjak dewasa. Hal ini membuktikan secara
tidak langsung adanya kebijakan pendidikan pembentukan karakter siswa di
negara Indonesia masih jauh dari harapan. Output siswa dengan kepribadian
yang tidak sesuai harapan kebijakan kurikulum cenderung masih banyak. Hal
itu bisa terlihat berdasar berita dengan adanya kenakalan remaja tingkat
sekolah menengah atas tergolong tinggi. Berdasarkan realita permasalahan
yang menimpa generasi bangsa khususnya pemuda, tentu butuh solusi dalam
kebijakan pendidikan. Banyak warga negara Indonesia yang belum paham
arti kepemimpinan yang sebenarnya, hal itu juga terlihat dalam sektor
birokrasi yaitu adanya perpecahan di setiap pemilihan calon pemimpin. Di
lingkup masyarakat, masih banyak keprihatinan dan krisis dalam sifat
kepemimpinan. Seperti dalam berita di Harian Jakarta Post, 18 Februari 2005
tentang protes di kota Solo yang berbunyi “Mencari pemimpin yang
melayani” (Subarto Zaini, 2011:243). Banyaknya masyarakat yang mudah
terpancing amarah, anarkis, dan menyerobot hak oranglain yang dominan
muncul dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Seperti dalam hal bisnis pun,
masih banyak perebutan kekuasaan untuk menjadi pemimpin. Dari berbagai
keprihatinan terkait kepemimpinan, negara Indonesia sedang butuh pemimpin
yang mau berkorban, peduli dengan oranglain, dan bersifat melayani. Namun
7
menimbulkan permasalahan dan perlawanan antar golongan. Konflik yang
ada juga melibatkan orang-orang yang berpendidikan tinggi, dan terlihat
bahwa pendidikan kepemimpinan di Indonesia kurang maksimal dan
berdampak pada karakter bangsa yang jauh dari harapan. Edy Suandi (2013)
mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia tentu butuh sosok pemimpin
yang menjadi teladan, namun dalam fenomena dan realita yang terjadi justru
masyarakat Indonesia melihat berita tentang pemimpin yang terlilit berbagai
kasus seperti korupsi, dan kejahatan lainnya. Dalam pendidikan, berbagai
sekolah sudah mengupayakan pendidikan pembentukan kepribadian namun
moral siswa masih jauh dari harapan (http://Edysuani.staff.uii.ac.id).
Untuk menanggapi solusi permasalahan yang menimpa generasi bangsa
khususnya dalam ranah pemuda, tentu butuh pendidikan pembentukan
kepribadian. Dikatakan oleh dosen fakultas hukum Universitas Widya
Mataram, Teguh Imam Sationo, SH, M.Sc dalam pembinaan pemuda pada 8
Desember 2016 di Balai Kota Yogyakarta. Beliau mengatakan pemuda
seharusnya berperan dan dapat diandalkan sebagai agen perubahan, kontrol
sosial, dan moral. Kepemudaan juga terkait dengan berbagai hal yang
berkaitan dengan kepribadian, potensi, tanggungjawab, kepemimpinan, hak,
aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda. Hal ini menjelaskan bahwa sangat
dibutuhkan pendidikan khusus pemuda agar membuka wawasan dan bisa
melakukan perubahan dalam membangun generasi bangsa. Hal berikut juga
8
Pendidikan dan Kebudayaan yaitu nilai tanggungjawab yang bersifat
kepemimpinan.
Berdasarkan UUD Pasal 27 ayat 3 yang mengatakan bahwa “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam bela negara”, tentunya mengutamakan pemuda untuk mengaktualisasikan diri dalam memperbaiki
kualitas bangsa. Berdasarkan UU No.40 Tahun 2009, pemuda sebagai warga
negara Indonesia yang memasuki pertumbuhan dan perkembangan usia 16-30
tahun. Berdasarkan BPS tahun 2009, pemuda Indonesia berusia 16-30 tahun,
dan kurang lebih berjumlah 62.985.401 jiwa (27%) dari jumlah penduduk
Indonesia. Berdasarkan data tentang kondisi umum pemuda Indonesia
sekarang ini, bahwa indeks pembangunan Indonesia masih rendah dibanding
negara tetangga di kawasan negara ASEAN. Indonesia berada di peringkat
108 di dunia. Bahkan Angka Patisipasi Kasar (APK) pendidikan kurang dari
20%. Banyak pemuda Indonesia yang berpendidikan hanya berpendidikan
akhir ditingkat SMA ke bawah. Jumlah pemuda yang menganggur di
Indonesia kurang lebih berjumlah 12 juta jiwa (17%). Melihat realita
permasalahan pemuda Indonesia yang ada, potensi pemuda yang ada hanya
mencapai 29,5% dari total penduduk. Harapan pemuda yang seharusnya
menjadi pelaku perubahan bangsa, tentu butuh pemikiran dan solusi yang
banyak. Pemuda sebagai generasi bangsa yang perlu digali potensinya agar
berkembang. Kepemimpinan tidak hanya diartikan sebagai pemimpin dalam
9
berpikir dan berperilaku seseorang. Karakter kepemimpinan pemuda sebagai
salah satu aspek kepribadian yang menunjukkan identitas pribadi manusia.
Pada dasarnya kepemimpinan itu dapat diperoleh melalui pendidikan,
yaitu pendidikan bagaimana cara menjadi seorang pemimpin. Di sekolah,
siswa dapat dididik dengan prinsip kepemimpin yang membantu siswa
bertanggungjawab atas kehidupan mereka, bekerja dengan orang lain secara
secara efektif, dan melakukan hal yang benar meskipun tak seorang pun
memperhatikan (Corvey,2009:14). Pendidikan kepemimpinan perlu di
internalisasikan kepada anak sejak dini dari pendidik yang bisa menjadi
teladan kepemimpinan. Sebagai generasi bangsa, khususnya pemuda bisa
diberikan pendidikan sejak sekolah menengah (SMA/SMK). Dalam upaya
untuk mendidik karakter pribadi generasi bangsa, maka penerapan kebijakan
pendidikan kepemimpinan perlu lebih ditekankan dan dikembangkan. Di
negara Indonesia khususnya kota Yogyakarta, pendidikan kepemimpinan ini
sudah diterapkan di SMA Kolese De Britto Yogyakarta sejak tahun 1948.
SMA Kolose De Britto Yogyakarta mempunyai visi dalam membentuk
karakter kepemimpinan pemuda bangsa yang beradab. Sebagai lembaga
pendidikan salah satu sekolah Jesuit, SMA Kolese De Britto Yogyakarta turut
membentuk kepribadian siswa dalam memperbaiki kualitas bangsa Indonesia
dalam bentuk pendidikan kepemimpinan. Di Indonesia terdapat tiga sekolah
kolese yang merupakan rintisan dari tokoh bernama Santo Ignatius Loyola
yang menekankan pendidikan Ignasian. Kolese merupakan lembaga
10
pemuda agar memiliki kecakapan intelektual dan siap menjadi pemimpin di
berbagai hal. Daftar sekolah kolese di Indonesia khususnya di Jawa yang
dikelola Jesuit yaitu SMA Kolese Loyola (Semarang), Kolese Kanisius
(Jakarta), dan SMA Kolese De Britto (Yogyakarta). SMA Kolese De Britto
Yogyakarta merupakan sekolah kolese yang menekankan nilai pendidikan
kepemimpinan dalam kebijakan sekolah. Pendidikan kepemimpinan di
sekolah ini secara khusus hanya ada di sekolah kolese yang dikelola Jesuit.
SMA Kolese De Britto Yogyakarta sebagai sekolah dengan pedoman
prinsip yang berbeda dari sekolah negeri pada umumnya, dengan menerapkan
kurikulum KTSP 2006. SMA Kolese De Britto Yogyakarta berperan
membentuk karakter kepribadian dengan pendidikan kepemimpinan. Sekolah
SMA Kolese De Britto Yogyakarta mempunyai motto sebagai roadmap yaitu
“center for leardership learning”, yang berarti “pusat untuk pendidikan kepemimpinan”. Hal ini membuktikan bahwa banyak pendidikan yang
mengutamakan dan membentuk pribadi kepemimpinan siswa. Penerapan
pendidikan ini dengan harapan mampu memperbaiki kualitas siswa sebagai
generasi calon pemimpin bangsa. Hasil pendidikan yang tercermin dalam
pribadi siswa melalui pendidikan kepemimpinan di SMA Kolese De Britto
Yogyakarta dapat dilihat dari beberapa tokoh di Indonesia, antara lain Y.B.
Margantoro (Pemimpin Redaksi Harian Bernas Yogyakarta), Susilo Nugroho
“Den Baguse Ngarso” (Seniman), Herry “Gendut” Janarto (Penulis cerpen „Sang Presiden‟), serta masih banyak alumni lainnya yang tentu memiliki ciri
11
pendidikan kepemimpinan Ignasian yang ada di sekolah yang dikelola Jesuit
ini. SMA Kolese De Britto Yogyakarta mempunyai komunitas yang
mewadahi alumni diseluruh dunia, untuk tetap menjalin komunikasi antar
generasi dalam berkarya. Komunitas ini sebagai organisasi, yang merupakan
bentuk hasil kepemimpinan yang diterapkan secara konsisten oleh siswa dan
alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Para siswa yang bersekolah di SMA Kolese De Britto Yogyakarta ini
merupakan siswa pilihan hasil seleksi yang terdiri dari seleksi kompetensi,
fisik, dan wawancara. Siswa yang bersekolah di SMA Kolese De Britto
mayoritas dari kalangan sosial menengah ke atas, namun tetap ada beasiswa
untuk yang membutuhkan. SMA Kolese De Britto Yogyakarta menganut
pendidikan homogen, yaitu dalam arti semua siswa yang bersekolah adalah
putra. Siswa homogen ini menjadi cirikhas suasana dan hasil pendidikan
kepemimpinan di SMA Kolese De Britto. Homogen di sekolah ini semua
siswa adalah laki-laki. Berdasarkan wawancara dengan alumni Sekolah SMA
Kolese De Britto Yogyakarta, bahwa dengan semua siswa laki-laki membuat
siswa lebih percaya diri. Melihat observasi hal tersebut juga terdapat persepsi
masyarakat bahwa terdapat kejadian bullying antarsiswa dan pendidikan yang
terlalu bebas. Masyarakat menilai dengan penampilan bebas berambut
panjang siswa dinilai kurang sopan santun dan berkarakter tidak baik. Dalam
ranah kebijakan pendidikan, Sekolah SMA Kolese De Britto Yogyakarta
menerapkan kurikulum KTSP, ditengah maraknya upaya penerapan
12
ini lebih berlandaskan pada yayasan dan kebijakan pendidikan Ignasian. SMA
ini memang selalu mempunyai kebijakan sendiri sebagai hasil kebijakan
otonomi dan desentralisasi pendidikan (Student Handbook JB 2013-2014).
Pendidikan kepemimpinan di SMA Kolese De Britto Yogyakarta ini
diharapkan bisa menjadi solusi dalam kebijakan pendidikan Indonesia pada
umumnya, dan pemberdayaan pemuda Indonesia pada khususnya. Sekolah
SMA Kolese De Britto Yogyakarta perlu diteliti dan digali lebih dalam
tentang pendidikan kepemimpinan sebagai sekolah Jesuit yang di rintis oleh
rohaniwan bernama Ignatius Loyola. Sekolah ini perlu di jadikan tempat
penelitian agar di ketahui landasan pendidikan, implementasi, dan dampak
sebagai hasil pendidikan kepemimpinan yang sudah diterapkan untuk
membentuk generasi bangsa sebagai pemimpin yang berkualitas.
Peneliti berharap dengan hasil penelitian ini bisa menjadi informasi dan
rekomendasi untuk kebijakan dalam rangka memperbaiki kualitas bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian di sekolah ini
dengan judul “Pendidikan Kepemimpinan dalam Sekolah Jesuit di SMA
Kolese De Britto Yogyakarta”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka indentifikasi permasalahan
sebagai berikut:
1. Konflik yang ada selalu melibatkan orang-orang yang berpendidikan
13
maksimal dan berdampak pada karakter bangsa yang jauh dari harapan.
Banyaknya masyarakat yang mudah terpancing amarah, anarkis, dan
menyerobot hak oranglain yang dominan muncul dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
2. Berdasarkan data Polda DIY tentang realitas kekerasan pelajar SMA di
kota Yoyakarta, menjelaskan bahwa di kota Yogyakarta terdapat geng
pelajar yang masih eksis berjumlah kurang lebih 79 geng pelajar.
Berdasarkan data di atas bisa disimpulkan bahwa pernasalahan pelajar
juga dikarenakan siswa kurang mampu memimpin diri sendiri.
3. Dinas Pendidikan sedang menggiatkan pendidikan karakter melalui
kurikulum 2013. Hal yang menjadi keprihatinan bangsa Indonesia, yaitu
para generasi bangsa banyak yang mengalami permasalahan karakter
kepribadian.
4. Masyarakat Indonesia butuh sosok pemimpin yang menjadi teladan,
namun dalam fenomena dan realita yang terjadi justru masyarakat
Indonesia melihat berita tentang pemimpin yang terlilit berbagai kasus
seperti korupsi, dan kejahatan lainnya. Dalam hal pemilihan pemimpin di
Indonesia juga selalu menimbulkan permasalahan dan perlawanan antar
golongan.
5. Terdapat persepsi masyarakat bahwa ada kejadian bullying antarsiswa
dan pendidikan yang terlalu bebas di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Masyarakat menilai dengan penampilan bebas berambut panjang siswa
14 C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diidentifikasi
di atas, dikarenakan adanya keterbatasan waktu, teori, dan dana maka tidak
semua permasalahan diteliti. Melihat luasnya permasalahan terkait
kepemimpinan dalam pribadi generasi muda yang melekat pada pribadi, perlu
difokuskan dalam akar permasalahannya. Akar permasalahan ini yaitu
kurangnya penanaman nilai kepemimpinan dalam membentuk karakter
generasi muda Indonesia. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibatasi dan
difokuskan pada Pelaksanaan Pendidikan Kepemimpinan dalam Sekolah
Jesuit di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka
rumusan masalah dari penelitian ini adalah;
1. Bagaimana pelaksanaan pendidikan kepemimpinan dalam sekolah Jesuit
di SMA Kolese De Britto Yogyakarta?
2. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pendidikan
kepemimpinan di SMA Kolese De Britto Yogyakarta?
E. Tujuan
Berdasarkan pokok permasalahan yang diangkat dan dengan mengacu
15
penelitian ini untuk mendeskripsikan pelaksanaan pendidikan kepemimpinan
dalam sekolah Jesuit di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini di harapkan mempunyai manfaat secara praktis maupun
teoretis, yaitu:
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi referensi ilmiah dan
wacana yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan kepemimpinan
serta implementasinya.
b. Dengan adanya penelitian ini bisa memperkaya pengetahuan dan
mengubah pola pikir masyarakat mengenai kepemimpinan dalam
sekolah Jesuit di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
c. Membuka wawasan masyarakat khususnya orangtua untuk
memperhatikan dan menjadikan rujukan pilihan untuk menyekolahkan
anaknya di sekolah Jesuit ini, karena memiliki ciri khas yang bisa
diunggulkan dalam pembentukan pribadi kepemimpinan dibandingkan
dengan sekolah reguler lainnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk
sekolah terutama Pamong Sekolah, Kepala Sekolah, Kurikulum, Guru,
16
agar bisa mengembangkan kebijakan dan program tentang pendidikan
kepemimpinan agar lebih meningkatkan potensi siswa agar berprestasi
di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
b. Bagi Peneliti
Penelitian ini bisa memberikan pengalaman berharga dalam
menganalisis penerapan pendidikan kepemimpinan dalam sekolah
Jesuit di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Penelitian ini juga
meneguhkan peneliti bahwa pendidikan kepimimpinan memang butuh
dianalisis agar bisa bermanfaat bagi pembuat kebijakan pendidikan
untuk sekolah di Indonesia.
c. Bagi Dinas Pendidikan
Hasil penelitian dengan judul Pendidikan Kepemimpinan dalam
Sekolah Jesuit di SMA Kolese De Britto Yogyakarta memberikan
informasi tentang penerapan kebijakan, kurikulum, dan program
sekolah untuk Dinas Pendidikan. Informasi ini bisa menjadi gambaran
dan masukan rekomendasi kebijakan bagi pihak Dinas Pendidikan agar
diterapkan di sekolah reguler lainnya dalam upaya memperbaiki
17 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Kebijakan tentang Pendidikan Kepemimpinan a. Hakikat Kebijakan Pendidikan Kepemimpinan
Pendidikan kepemimpinan tentu berdasar pada sebuah
kebijakan. Pendidikan kepemimpinan dalam sekolah Jesuit di SMA
Kolese De Britto Yogyakarta telah dilakukan sejak didirikan sekolah
tersebut. Pendidikan kepemimpinan ini merupakan sebuah kebijakan
sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kebijakan
Pendidikan dalam pandangan Rusdiana (2015:36) merupakan bagian
dari kebijakan publik yaitu kebijakan publik dalam bidang pendidikan.
Dengan demikian, kebijakan pendidikan adalah kebijakan yang
difokuskan untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa dalam
bidang pendidikan, sebagai salah satu dari tujuan pembangunan
bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kebijakan pendidikan di negara
Indonesia selalu didasari tujuan dan cita-cita nasional yaitu
mencerdaskan kehidupan bamgsa yang tertera dalam pembukaan
UUD 1945. Dalam UU No.20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 5, juga
menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Tokoh Pendidikan Pemuda, Driyarkara (Hasbullah, 2006:2)
18
muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Berdasarkan
tujuannya, Langeveld (Barnadib, 2013:20) menjelaskan bahwa
pendidikan perlu diajarkan sampai anak mencapai kedewasaan secara
jasmaniah dan rohaniah. Hal tersebut hampir sama dengan pendapat
Ahmad D. Marimba (Hasbullah, 2006:3), yang menjelaskan bahwa
pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik untuk perkembangan jasmani maupun rohani sehingga
terbentuk kerpibadian yang utuh. Unsur dalam pendidikan ini yaitu;
pendidik, pimpinan (bimbingan), peserta didik, alat untuk mendidik,
isi bimbingan. Terkait dengan ilmu pendidikan, Imam Barnadib
(2013:9) menjelaskan bahwa lapangan ilmu pendidikan yaitu dalam
pergaulan, khususnya pada orang dewasa dalam masa
perkembangannya.
Pendidikan merupakan proses membangun jiwa kepemimpinan
dalam diri peserta didik agar mampu berperan positif dalam
lingkungan masyarakat. H.A.R. Tilaar (2008:19) mengungkapkan
bahwa salah satu makna dalam proses pendidikan yaitu pendidikan
sebagai salah satu proses pemberdayaan. Hal tersebut telah
diamanahkan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 3 Undang-undang
Sisdiknas menjelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman
19
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab (RI, 2003). Dalam pendidikan
nasional menjelaskan bahwa proses pendidikan yang diselenggarakan
bangsa bertujuan dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan
watak kepribadian bangsa, memajukan kehidupan bangsa, serta
mencapai tujuan nasional (Hasbullah, 2006:122).
Berdasarkan teori dari beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa
hakikat kebijakan pendidikan kepemimpinan adalah kebijakan dalam
usaha membentuk kepribadian manusia yang utuh secara jasmani dan
rohani. Dalam rangka membentuk manusia yang utuh, maka
diperlukan kerjasama dari berbagai pihak dalam pendidikan.
Kebijakan mengenai pendidikan kepemimpinan bertujuan untuk
memperbaiki kualitas generasi bangsa khususnya bagi generasi muda.
b. Komponen-komponen Pendidikan
Dalam pendidikan tentu sangat bergantung pada
komponen-komponen didalamnya yang saling berkaitan dan mendukung.
Hasbullah (2006:123) menjelaskan bahwa sistem pendidikan terdiri
dari komponen-komponen pendidikan sebagai berikut; tujuan, peserta
didik, pendidik, alat pendidik, dan lingkungan. Komponen pendidikan
juga bisa disebut faktor-faktor pendidikan. Imam Barnadib (2013:26)
mengungkapkan bahwa faktor-faktor pendidikan yaitu;
20
Dalam pendidikan, segala hal harus bertujuan meningkatkan
tingkat kesusilaan peserta didik. Hal tersebut dapat terlihat dari
dasar adanya sebuah pendidikan, isi, dan tujuan dari sebuah
pendidikan tersebut. Tanpa ada tujuan, maka pendidikan tidak
dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
2) Faktor pendidik
Pendidik yaitu orang yang lebih dewasa sehingga mampu
mendidik dan membawa anak menuju ke tingkat kedewasaan.
Dewasa yang dimaksud yaitu sudah mencapai umur tertentu, dan
memiliki kedewasaan secara mental atau rohani. Seorang pendidik
tentu harus memiliki kewibawaan dan keteladanan dalam
mendidik.
3) Faktor anak didik
Anak didik dalam arti pendidikan yaitu orang yang menerima
pengaruh dari orang lain yang menjalankan kegiatan pendidikan,
sehingga anak dinilai sebagai orang yang belum dewassa perlu
diberi pendidikan oleh orang yang lebih dewasa (pendidik). Dalam
proses pendidikan, anak didik menjadi sangat penting karena anak
menjadi tanggungjawab pendidik. Anak perlu diberikan pendidikan
karena anak adalah makhluk susila, sehingga anak didik
21
4) Faktor alat-alat
Dalam kegiatan pendidikan tentu sangat berkaitan dengan
alat atau media pendidikan. Alat pendidikan merupakan perbuatan
atau situasi yang direncanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Alat pendidikan yaitu sebagai berikut; perintah, larangan, teladan,
hadiah, hukuman, dorongan, hambatan, dan sebagainya. Alat
pendidikan juga dapat di sebut sarana prasarana pendidikan.
5) Faktor alam sekitar (milieu)
Faktor alam sekitar (milieu) atau yang sering disebut dalam
pergaulan atau lingkungan. Hal tersebut sangat menjadi faktor
utama perkembangan anak melalui pengalamannya. Ahli pendidik
mengungkapkan bahwa milieu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu;
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat.
Faktor lingkungan ini perlu dikelola oleh pendidik dalam upaya
pendidikan agar anak lebih berkembang dalam kedewasaannya.
Dalam upaya membentuk peribadian anak yang didukung
pengalaman dalam lingkungan, pendidik perlu mengarahkan
kepribadiannya. Dalam hal ini, pendidik perlu mengawasi
pergaulan anak dengan temannya dan orang-orang dewasa.
Berdasarkan teori di atas maka dapat di simpulkan bahwa
22
landasan dan tujuan adanya pendidikan, pendidik, peserta didik, dan
lingkungan dalam pendidikan yang berproses dalam pendidikan.
c. Pendidikan Kepemimpinan
Pendidikan kepemimpinan tentu berdasarkan dari teori
mengenai kepemimpinan dan pemimpin. J.M. Pfiffner (1980) (dalam
Sudarwan, 2004:55) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah
seni mengkoordinasikan dan memberi arah untuk individu maupun
kelompok untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. Sedangkan
menurut Ki Hadjar Dewantara yang disebut kepemimpinan atau
kepemimpinan Pancasila yaitu;
1) Orang yang mampu menjadikan dirinya pola panutan dan teladan sifat atau perbuatannya bagi orang-orang yang dipimpinnya (ing ngarsa sung tuladha),
2) Mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbingnya (ing madya mangun karsa), 3) Mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya berani berjalan
di depan dan sanggup bertanggungajwab (tut wuri handayani)
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli di atas, maka dapat di
simpulkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang mampu
bertanggungjawab dalam mengkoordinasi sekelompok orang dan
pribadinya menjadi teladan, penggerak, dan pengabdi bagi
sekelompok orang tersebut. Seorang pemimpin tentunya mampu
mengambil keputusan, memberi teladan dan bekerja bersama dengan
anggota mencapai tujuan bersama. Pemimpin adalah orang yang
selalu senantiasa tumbuh, mengembangkan dirinya, menciptakan
23
Kepemimpinan bukan sekedar diartikan sebagai pemimpin
dalam arti politis maupun jabatan manajer. Kepemimpinan lebih
mengedepankan kebenaran cara berpikir seseorang. Kebenaran cara
berpikit seseorang bisa diatih secara berulang-ulang. Tikno Lensuffie
(2010:16) menjelaskan bahwa kepemimpinan berbeda dengan
manajemen dan kekuasaan yang sewenang-wenang. Tikno (2010:19)
juga menjelaskan ciri-ciri khusus dalam kepemimpinan yaitu:
1) Bersedia mengambil risiko
2) Selalu menginginkan pembaharuan 3) Bersedia mengurus atau mengatur 4) Punya harapan yang tinggi
5) Menjaga sikap positif 6) Selalu berada di muka
John P.Kotter (Tikno Lensuffie, 2010:19) membedakan
kepemimpinan dan manajemen yaitu sebagai berikut:
Tabel 1. Perbedaan Kepemimpinan dan Manajemen menurut John P. Kotter
Manajemen Kepemimpinan
“Membuat instruksi dan konsistensi” “Membuat perubahan dan kemajuan”
Merencanakan dan membuat anggaran
Membentuk organisasi dan mengatur sistem kerja anak buah
Melakukan kontrol dan menyelesaikan masalah
Membentuk visi dan strategi
Meletakkan orang pada tempat yang tepat dan membuat sistem komunikasi
Memberi motivasi dan inspirasi
Pemimpin lebih berfokus pada perilaku yang benar dan
menanamkan atau mengadopsi nilai yang benar demi kemajuan
pribadi maupun kelompok. Pemimpin bukan hanya sebuah jabatan
yang memiliki wewenang untuk mengatur bawahannya. Pemimpin
[image:37.595.182.536.457.566.2]24
Beberapa tokoh bernama Hughes, Ginet, dan Curphy (Tikno
Lensuffie, 2010: 21) juga menjelaskan adanya perbedaan
[image:38.595.178.491.191.365.2]kepemimpinan (leadership) dan manajemen, yaitu sebagai berikut;
Tabel 2. Perbedaan Kepemimpinan dan Manajemen menurut Hughes, Ginet, dan Curphy
Kepemimpinan Manajemen
Membentuk visi
Memberi inspirasi
Menguatkan
Melatih
Membuat pemasukan
Memperkirakan
Membuka kemungkinan
Membuka peluang
Menyatukan kekuatan
Merencanakan
Memberi penghargaan
Memerintah
Mengajari
Mengatur pengeluaran
Mengatur anggaran
Membuat prosedur
Mengatur jadwal
Berkoordinasi
Sudarwan (2004:75-76) mengatakan bahwa ada beberapa tipe
kepemimpinan, yaitu sebagai berikut:
1) Pemimpin otokratik
Pemimpin otokratik merupakan pengkoordinasian
kelompok berdasarkan tindakan menurut kemauan sendiri.
Seorang pemimpin berdasarkan tipe ini selalu merasa berpikir
benar, keras kepala, dan berjiwa otoriter. Perkembangan suatu
organisasi hanya tergantung pada dirinya sendiri.
2) Pemimpin demokratis
Tipe kepemimpinan demokratis berusaha melibatkan
25
berdasarkan keputusan bersama, dan setiap anggota
bertanggungjawab di bidangnya sesuai kesepakatan.
3) Kepemimpinan permisif
Tipe kepemimpinan ini tidak mempunyai kepribadian yang
kuat dan membebaskan kinerja anggotanya. Akibatnya anggota
yang dipegang tidak mempunyai pegangan dan tujuan yang jelas.
Anthony D‟Souza (Gunawa, 2014:57) menjelaskan bahwa
kepemimpinan sejati pada dasarnya mempunyai tiga sifat, yaitu;
ennoble (memaknai-mengilhami), ennable (memampukan), dan
empower (memberdayakan). Tikno Lensufiie (2002:4-7) menjelaskan
bahwa sebagai pemimpin harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu
sebagai berikut;
1) Visi
Pemimpin harus visioner agar mampu mengetahui apa yang
menjadi kekuatan dan kelemahan pribadi serta tahu apa yang
harus dilakukan. Pemimpin yang baik yaitu saling berbagi dan
menjelaskan visi yaitu; refleksi diri, membuat visi, menyusun
misi dan rencana kerja, mengkomunikasikan, dan
mengkoordinasikan visi misinya, serta mewujudkan segalanya
bersama dengan semua anggotanya.
26
Pemimpin pasti harus memiliki semangat tinggi, daya
juang, energi yang besar, dan mendorong anggotanya untuk
berhasil bersama.
3) Karakter
Seorang pemimpin harus memiliki karakter yang baik dan
bisa diakui orang lain. Hal tersebut menjadikan pemimpin adalah
teladan untuk diikuti anggotanya.
4) Integritas
Integritas merupakan penyatuan diri pemimpin dengan apa
yang diyakininya untuk dilakukan sepenuhnya. Pemimpin
diharapkan memiliki integritas untuk meyakinkan pengikutnya
tentang apa yang diyakininya baik.
5) Kapabilitas
Pemimpin diharapkan memiliki pengetahuan yang baik
tentang hal-hal yang dihadapi. Pemimpin mampu peduli atas
kemampuannya dalam membuat keputusan dan mengatur.
Greenleaf (Subarto Zaini, 2011:244) juga menjelaskan tentang
pemimpin yang melayani (servant leadership). Karakteristik
pemimpin yang melayani (servant leadership), yaitu sebagai berikut;
a) Mendengarkan dan merenungkan apa yang didengar. Mencoba memahami dirinya sendiri, aspirasi, dan nilai-nilai yang diyakininya
b) Adanya empati untuk mengerti orang lain, atau disebut memanusiakan manusia
c) Lebih sadar diri dan memiliki roh yang melayani
27
e) Mampu berpikir secara konseptual
Warren Bennis dan Butt Nanus (1995) (Tikno Lensuffie,
2010:22) menjelaskan bahwa pemimpin yang baik seharusnya sebagai
berikut;
1) Pemimpin yang baik bisa menarik pengikut bukan mendorongnya 2) Pemimpin mampu memberikan inspirasi
3) Pemimpin mampu merangsang pengikutnya untuk mencapai keberhasilan dengan cara memberikan tantangan, harapan, dan penghargaan atas ketercapaian tujuan
4) Pemimpin mampu memberdayakan pengikutnya, memberi mandat, dan tidak mengingkari atau memaksa dalam melakukan tindakan.
Berdasarkan teori psikologi Sudarwan (2004:57) adanya potensi
jiwa kepemimpinan seseorang bisa dipersiapkan secara khusus.
Persiapan itu bisa melalui pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan
perkembangan kepribadiannya, menjadi pemimpin bisa mempelajari
subjek berupa ilmu pengetahuan, pengalaman di lingkungan terkait
dengan ilmu kepemimpinan. Di sekolah, siswa mampu dididik dengan
prinsip kepemimpinan yang membantu siswa bertanggungjawab atas
kehidupan mereka, bekerja dengan oranglain secara efektif, dan
melakukan hal yang benar meskipun tak seorang pun memperhatikan
(Corvey, 2009:14). Bennie E. Goodwin, seorang edukator kulit hitam
Amerika juga mendukung adanya pendidikan kepemimpinan dengan
ungkapan, “Meskipun calon pemimpin adalah yang dilahirkan, tetapi
28
Tikno Lensuffie (2010:55) menjelaskan bahwa ada berbagai
tahap dalam pembentukan sifat kepemimpinan dalam tahun awal
kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut;
a) Tahap pertama
Sejak hasil pembuahan, manusia sudah mempunyai bakat
untuk menjadi pemimpin, karena cikal bakal manusia terbentuk
dari pembuahan sel telur dan sperma.
b) Tahap kedua
Ketika bayi dilahirkan ke dunia nyata, bayi menangis
karena keluar dari zona nyamannya menuju dunia asing yang
berbeda ketika di dalam rahim. Pengalaman pertama itu, manusia
sudah dilatih untuk menjadi seorang pemimpin.
c) Tahap ketiga
Bayi dalam perkembangannya selalu belajar beradaptasi
dengan lingkungannya. Secara naluriah pemimpin belajar untuk
beradaptasi agar disukai sesamanya, dan tahu cara bersikap dan
membawa diri, serta sadar bahwa dirinya berharga.
d) Tahap terakhir
Dalam tahap terakhir bayi mulai belajar bergerak dengan
kegagalan. Seorang pemimpin juga dilatih untuk belajar dari
kegagalan.
Berdasarkan beberapa teori di atas maka dapat di simpulkan
29
bekerjasama, melayani dan berjiwa pemimpin. Untuk menjadi
pemimpin tentu dapat diperoleh melalui proses pendidikan. Dalam hal
ini tentu pendidikan kepemimpinan sebagai upaya mendidik generasi
muda untuk menjadi pribadi kader pemimpin yang dapat menjadi
teladan bagi oranglain.
d. Keterkaitan Kebijakan Kepemimpinan dengan Kepemudaan
1) Pengertian Pemuda
Menurut UU RI Nomor 40 Tahun 2009 pasal 1, ayat 1
tentang kepemudaan menjelaskan bahwa pemuda adalah warga
negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan
dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun. Berdasarkan
penjelasan tersebut bisa dipahami bahwa sesorang bisa disebut
pemuda setelah menginjak usia 16 tahun. Di negara Indonesia
usia 16 tahun pada umumnya sedang menginjak pendidikan
tingkat menengah yaitu SMA/SMK.
Hasbullah (2006:18) menjelaskan bahwa orang dikatakan
dewasa yang memiliki sifat melalui gejala kepribadiannya sebagai
berikut;
a) Telah mampu mandiri
b) Mampu mengambil keputusan batin sendiri atas perbuatannya
c) Memiliki pandangan hidup, dan prinsip hidup yang pasti dan tetap
d) Kesanggupan untuk ikut serta secara konstruktif pada matra sosio kultural
e) Kesadaran akan norma-norma
30
Selain melalui sifat kedewasaan, Hasbullah (2006:17-18)
menjelaskan bahwa pribadi dewasa yang susila memiliki berbagai
karakteristik sebagai berikut;
a) Sebagai individualitas yang utuh b) Memiliki sosialitas yang utuh
c) Memiliki norma kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan d) Bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku
Berdasarkan teori dari beberapa ahli di atas maka dapat di
simpulkan bahwa pengertian pemuda adalah individu yang telah
mencapai usia di atas 16 tahun. Pemuda merupakan agen
perubahan kualitas bangsa karena sebagai individu yang
menginjak usia dewasa yang mampu berkarya untuk bangsa
Indonesia.
2) Permasalahan Kepemudaan
Teguh Imam Sationo, SH, M.Sc menjelaskan bahwa negara
Indonesia masih terdapat permasalahan dalam kepemudaan yaitu:
a) Rendahnya tingkat partisipasi sekolah pemuda b) Rendahnya tingkat pendidikan pemuda
c) Masih tingginya tingkat pengangguran pemuda
d) Terbatasnya sarana dan prasarana pembangunan pemuda e) Terbatasnya anggaran pembangunan kepemudaan
f) Rendahnya tingkat kapasitas daya saing pemuda
g) Aktivitas pemuda lebih banyak di kota daripada di desa h) Kementrian dan lembaga yang mempunyai program
kepemudaan belum bekerjasama komprehensif integral i) Degradasi moral
j) Keterbatasan akses sumber daya
Berdasarkan penjelasan tersebut dan berdasarkan realita
yang ada di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa permasalahan
31
Kepribadian pemuda Indonesia kurang matang, sehingga pola
pikir dan perilaku kurang konsisten. Dengan berbagai
permasalahan yang ada pada tataran generasi muda, tentu butuh
pendidikan kepemimpinan.
3) Tujuan Pembangunan Kepemudaan
Bapak Proklamator Indonesia, Ir.Soekarno mengungkapkan
dalam pidatonya tentang kepemudaan yaitu; “Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan aku
1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”
(http://kompasiana.com). Berdasarkan pidato beberapa tahun
silam yang sudah dijelaskan oleh Presiden RI ke-1, bahwa 1
pemuda pun sudah sangat berperan dalam membuat perubahan
dunia. Hal ini membuktikan bahwa pemuda Indonesia adalah
harapan dan agen perubahan yang sangat penting dalam
menentukan masa depan negara Indonesia. Pemuda dinilai
sebagai masa emas untuk mewujudkan dan mengaktualisasikan
dirinya untuk berkarya untuk negeri. Pemuda bangsa, baik putera
maupun puteri mampu mengembangkan bakat dan potensinya
agar dikembangkan untuk menjaga nama baik banga. Hal itu bisa
terwujud melalui kompetisi yang menghasilkan prestasi seperti
perlombaan, karya seni, pendidikan, pengabdian, dan
kepemimpinan pemuda. Untuk mewujudkan prestasi itu tidak
32
No.40 Tahun 2009 pasal 3 tentang kepemudaan, dijelaskan bahwa
tujuan kepemudaan yaitu:
Terwujudnya pemuda yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam kerangka NKRI.
Berdasarkan isi undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa
pemuda tentu menjadi harapan bangsa agar mampu
mengaktualisasi jati diri. Jati diri pemuda sangat penting untuk
agen perubahan dan membangun bangsa Indonesia di berbagai
bidang. Hal yang paling penting dalam membangun bangsa, tentu
pemuda harus memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang
terwujud dalam sikap kepemimpinannya.
Dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 4, UU No 40 Tahun
2009 sebagai pemerintah dalam mengupayakan pembangunan
pemuda bangsa dengan berbagai pelayanan dan fasilitas. Fasilitas
pembangunan kepemudaan berdasar UU No.40 pasal 26, ayat 3
yaitu terwujud dalam bentuk pendidikan, pelatihan, pengkaderan
menjadi pelopor, pembimbingan, dan forum kepemimpinan
pemuda. Hal tersebut membuktikan bahwa pemerintah Indonesia
sangat mengupayakan adanya pendidikan kepemimpinan untuk
pemuda Indonesia yang umumnya sedang menempuh pendidikan
33
pemuda berupa penyadaran, pemberdayaan, pengembangan
kepemimpinan, kewirausahaan, serta kepeloporan pemuda (UU
No.40 Tahun 2009 pasal 1 ayat 3). Berdasarkan penjelasan ayat
dan pasal dalam UU kepemudaan, dapat disimpulkan bahwa
pemerintah telah menetapkan kebijakan yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi pemuda dalam bidang kepeloporan dan
kepemimpinan.
Dra. Adiarti Noerdin,MA dalam pelatihan kepemimpinan
pemuda dan kemasyarakatan di Jambi (30/09/2011) menjelaskan
bahwa sesuai dengan arah pembangunan nasional pengembangan
kepemudaan dalam bidang bidang kepemimpinan difasilitasi oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan organisasi
kepemudaan. Pemerintah pusat memfasilitasi kegiatan
kepemimpinan dalam forum regional dan internasional, seperti:
ASEAN, ASEAN+3, ASEAN+6, World Assembly of Youth,
World Assembly of Muslims Youth, Asia-Africa Youth Forum,
World Scout Jambore, dan pertukaran pemuda.
Melalui penjelasan teori di atas maka dapat disimpulkan
bahwa tujuan pembangunan pemuda adalah upaya memperbaiki
generasi bangsa yang bermula dari pendidikan kepemimpinan
untuk orang muda. Orang muda sebagai agen perubahan untuk
memperbaiki kualitas bangsa. Upaya ini dilakukan pemerintah
34
muda. Pendidikan kepemimpinan juga termasuk upaya yang
dilakukan di lembaga pendidikan.
4) Pengarusutamaan Pemuda
Pengarusutamaan pemuda merupakan konsep strategi yang
harus diupayakan untuk meningkatkan peran pemuda bangsa
Indonesia di berbagai bidang dengan terlibat dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi dalam
seluruh kebijakan maupun program pembangunan.
Keterkaitan kebijakan pendidikan kepemimpinan dan
kepemudaan juga disampaikan oleh Subarto Zaini (2011:174)
yaitu pemimpin yang dibutuhkan Indonesia untuk masa depan
harus memiliki kriteria yaitu; memiliki integritas, jujur, berpikir
ke depan, cerdas, rendah hati, dan komunikatif. Harapan bagi
generasi muda Indonesia dalam hal kepemimpinan adalah model
kepemimpinan transformatif, menjadi teladan, pelaku karakter
dan budaya. Berikut adalah pilar pengembangan kepemimpinan
menurut Subarto Zaini (2011:175) yaitu sebagai berikut;
VISI & MISI Menghapuskan:
Korupsi, Kemiskinan, Kebodohan
Publik Private/Dunia Usaha Media Massa Masyarakat Madani
[image:48.595.176.508.528.669.2]UUD 1945, Pancasila, dan Demokrasi
35
Pada dasarnya pengembangan kepemimpinan harus sesuai
dengan landasan negara dan nilai didalamnya. Kepemimpinan
lebih menggunakan pendekatan budaya dan perilaku pemimpin
sebagai panutan. Sebagai generasi muda Indonesia, gambaran
pemimpin lebih visioner, lebih melihat ke depan. Greenleaf
(Subarto Zaini, 2011:244) juga menjelaskan kepada pemuda
untuk menjadi pemimpin yang hebat, harus lebih dahulu melayani
orang lain. Model kepemimpinan yang tepat diterapkan dalam
kehidupan bangsa Indonesia yaitu pemimpin adalah melayani
(servant leadership).
2. Kepemimpinan sekolah Jesuit a. Pendidikan Ignasian
Pendidikan Ignasian tentu juga berdasar pada teori mengenai
pendidikan. Sindhunata (2009:27) mengatakan bahwa pendidikan
merupakan perbuatan fundamental setiap manusia. Pendidikan berarti
kebutuhan semua manusia yang paling mendasar. Driyarkara
(Sindhunata, 2009:27) seorang Jesuit menjelaskan bahwa pendidik
juga harus mendapatkan pengetahuan tentang pedagogi dan didaktik.
Pendidikan bukan saja mendapatkan ilmu, namun lebih pada
pembentukan sikap, karakter, dan nurani. Makna pendidikan dari
tokoh Jesuit lebih menekankan kualitas dari semua komponen
pendidikan termasuk pendidik dan isi pendidikan. Teilhard de Chardin
36
anak didik mampu mencapai kemandiriannya. Dalam hal ini
pendidikan sebagai upaya pendewasaan manusia yang bebas dan
bertanggungjawab. Pendidikan Ignasian mengadopsi dan diilhami dari
seorang tokoh bernama Ignatius Loyola, penjelasannya sebagai
berikut;
Ignasius Loyola merupakan seorang bangsawan muda Kristiani yang lahir pada tahun 1491 di Guipuzcoa, Baskia, Spanyol yang terlentang di puri Loyola. Pada tahun 1521 Ignatius menjalani operasi karena kaki kanannya hancur terkena peluru saat terjadi perang antara Spanyol dan Perancis. Selama di kamar sakit, Ignatius membaca buku sehingga ia menemukan arti
“kepahlawanan” yaitu perbuatan cinta-kasih, rendah hati, dan perbuatan tobat. Semua pengalaman rohani dicatat oleh Ignatius, sehingga menjadi kumpulan latihan untuk kehidupan Kristiani yang sekarang dikenal dengan nama “Latihan Rohani”. Ia
menerapkan “Latian Rohani” bersama 9 kawannya di Paris dan
mendirikan tarekat “Societas Iuesus” atau Serikat Yesus,
kemudian para anggotanya disebut Jesuit. Santo Ignatius Loyola wafat di Roma pada 31 Juli 1556, dan tanggal ini menjadi hari besar Jesuit. Kawan – kawannya tersebar di seluruh dunia
dengan semboyan “Ad Maiorem Dei Gloriam” yang isingkat “AMDG” yang berarti “Demi semakin bertambahnya kemuliaan Allah”. Semboyan ini sampai sekarang diemban oleh para Jesuit termasuk warga sekolah Kolese De Britto. (Student Handbook JB 2013-2014)
Ignatius Loyola mengehendaki agar ketaatannya menjadi
keutamaan unggul Serikat Jesuit, yaitu karakter yang paling
menentukan kualitas hidup. Ketaatan dan sikap Ignatius Loyola
bersumber dan berdasar dari teladan sikap Yesus yang dijadikan
pedoman hidup. Yesus menurut pandangan Ignatius Loyola dan umat
Kristiani adalah seorang pemimpin yang melayani dan penuh kasih.
37
kasih. Yesus mengungkapkan bahwa Kasih dalam arti sebagai
berikut;
“Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap akal budimu. Itulah
hukum yang terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama itu, ialah: kasihilah sesamamu manusis seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Kitab Suci, Matius 22:34-40). Yesus juga menjelaskan bahwa kasih yang perlu dilakukan
manusia yaitu sebagai berikut;
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan mencari keuntungan diri sendiri. Ia tiadk pemarahdan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karen ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesutu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (Kitab Suci 1 Korintus 13:4-7) Yesus juga mengajarkan seorang pemimpin yang melayani
dengan pengajarannya sebagai berikut;
“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia
menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.” (Markus 10:43-44)
Berbagai hal ajaran Yesus sebagai tokoh pemimpin umat
Kristiani, menjadikan pedoman ajaran kepemimpinan Ignastius
Loyola. Ignatius loyola memberikan pengajaran yang bersumber dari
kepemimpinan Yesus. Oleh karena itu Ignatius Loyola mendidik para
muridnya, dan para muridnya dinamakan Jesuit. Pendidikan Ignasian
juga bisa disebut pendidikan Jesuit, karena menerapkan nilai Ignasian
38
pendidikan Ignasian, para Jesuit mendirikan sekolah untuk
mengembangkan pendidikan khusus di sekolah menengah yang
disebut kolese. Kolese berasal dari bahasa Inggris yaitu college yang
berarti lembaga pendidikan.
Pendidikan Jesuit mendidik anak menjadi man for others
(manusia bagi orang lain). Anak didik bukan dipandang sebagai robot,
namun sebagai manusia yang unik dan khas. Maka pendidik harus
siap membimbing anak menjadi pribadi yang utuh. Hal itu disebut
cura personalis, yaitu pendampingan pribadi yang menjadi ciri
pendidikan Jesuit. Pendidikan Jesuit bukan sebagai pendidikan yang
elitis, tetapi memberikan diri bagi mereka yang lemah, terbatas,
bahkan mungkin tak mampu (Sindhunata, 2009:36-37).
Dalam pandangan pendidikan Jesuit, pendidikan dibuat untuk
hidup di dunia dan menyambut dunia. Driy