• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasonal Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Istidlal Fatwa Dewan Syariah Nasonal Tentang Jual Beli Emas Tidak Tunai."

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

27

BAB II

TEORI ISTIDLAL DAN ISTINBATH HUKUM ISLAM

A. Konsep Dan Teori Istidlal

1. Pengertian Istidlal

Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata istadalla yang berarti: minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti

istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta.1Dalam

proses pencarian, Alqur‟an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, ijma menjadi yang ketiga dan qiyaspilihan berikutnya.Apabila keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, Mashlahah Mursalah, dan lain-lain.Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil tersebut.2

Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum yang

dikemukakan oleh „Abd al-Wahhab Khallaf yaitu “sesuatu yang dijadikan landasan

berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara‟ yang bersifat praktis.” Jadi dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum islam dalam menetapkan suatu

1 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN Sunan

Ampel Press, 2011), h. 50. 2

(2)

ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat qath‟i (pasti) atau zhanni (tidak pasti).3

Definisi di atas menunjukan bahwa seorang mujtahid dalam memutuskan sesuatu keputusan hukum hendaklah mendahulukan Alquran, kemudian As-Sunnah, lalu al-„Ijma selanjutnya Al-qiyas. Dan jika Ia tidak menemukan pada Alquran, As-Sunnah, Al-„Ijma dan Al-Qiyas, maka hendaklah mencari dalil lain ( Istidlal ).

2. Macam-Macam Istidlal

Istidlal terdiri dari dua macam, yaitu Istidlal Qiyasi dan Istidlal Istiqra‟i

(istiqra‟i disebut juga istinbathi) :4

a. Istidlal Qiyasi

Kata qiyas berasal dari bahasa Arab yang berarti ukuran.Miqiyas berarti alat mengukur. Maksudnya di sini adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Menurut Al-Jurzany, pengertian Qiyas adalah sebagai berikut:

“penuturan yang tersusun dari keputusan-keputusan (qadhiyah), yang jika

keputusan-keputusannya benar, mesti melahirkan suatu kesimpulan (natijah).

Jika dikaitkan dengan ilmu mantiq, Qiyas adalah ucapan atau kata yang tersusun dari dua atau beberapa qadhiyah, manakala qadhiyah-qadhiyah tersebut benar, maka akan muncul dari padanya dengan sendirinya qadhiyah

3 Muhammad Al-Amin Asy-Syintiqhi, Mudzakkirah Ushul Al-Fiqh. (Madinah: Al-Maktabah

As-Salafiyah, 1393 H). h 314-315.

4 Sukriadi Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset,

(3)

benar yang lain yang dinamakan natijah. Tetapi perlu dicatat bahwa, bila qadhiyahnya tidak benar, bisa saja natijahnya benar.Tetapi benarnya itu adalah kebetulan.5

Qiyas memiliki empat rukun yaitu Ashl (wadah hukum yang diterapkan

melalui nash atau ijma‟), far‟u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat

(motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid ashl), dan hukum

al-asl(hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma‟).

Contoh :6

- Tiap bid‟ah itu sesat

- Tiap yang sesat dalam neraka. Jadi tiap bid‟ah dalam neraka. 1) Pembagian Istidlal Qiyasi

Menurut penelitian ahli mantiq, qiyas ada dua macam :Pertama, qiyas iqtirani, kedua, qiyas istisna‟i.

Qiyas istiqrani adalah: suatu qiyas yang dua muqadimahnya mengandung natijah secara implicit (bil kuwah), tidak eksplisit (bil fi‟il). Dan ada bentuk hamli ada yang syarthi.7

5

Al-Khatib Al-Baghdadi, Ahmad bin ali bin Tsabit. Al-Faqih Wa Al-Mutafaqqih. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-„Ilmiyyah, 1400 H) Juz 1 h 206.

(4)

Skemanya sebagai berikut :

Contoh Hamliyah :

Manusia adalah hewan, tiap hewan perlu air. Jadi: tiap manusia perlu air. Contoh Syartiyah :

Apabila Ali masuk, Muhammad keluar, jadi bila Ali masuk, umar masuk. Bila disimpulkan, baik hamli maupun syarti, natijahnya dikandung oleh muqadimah-muqdimahnya secara implicit (bil quwah).

Qiyas istisnai‟ adalah qiyas yang natijahnya telah disebutkan atau naqidnya dengan nyata (bil fi‟li).

Qiyas istisna‟i hanya tersusun dari dua qadiyah syarthiyah. Qiyas istisna‟i

mempunyai ciri pada kedua qadhiyahnya yaitu terdapatnya adat istisna‟i,

yakni “lakin” yang artinya akan tetapi istisna‟i ada yang ittishal artinya

(terikat) ada yang infishal (artinya tidak terikat). Bentuk yang ittishal ada dua :8

Pertama, bila diitsbatkan muqaddam, maka natijahnya adalah tali itsbat.

Kedua, bila talinya naïf, maka akan melahirkan natijah muqaddam naïf.

8

Al-Khatib Al-Baghdadi, Ahmad bin ali bin Tsabit. Al-Faqih Wa Al-Mutafaqqih, h 208.

Iqtirani

(5)

Bila diskemakan sebagai berikut :9

Contoh yang Ittishal :10

Jika matahari terbit, maka siang ada

- Akan tetapi matahari terbit = maka siang ada

- Akan tetapi matahari tidak terbit = maka siang tidak ada

Contoh yang Infishali (yakni qiyas yang muqadimah kubranya terdiri dari qadhiyah syarthiyah munfashhilah) : suatu negara adakalanya aman, adakalanya perang.

Tetapi negara sedang perang = negara tidak aman.

Akan tetapi negara tidak perang = negara aman.

Bila dicermati, kalau pada qiyas iqtirani baik hamli maupun syarti, muqadimah-muqadimahnya mengandung natijah secara implicit.Sedang

pada qiyas istisna‟I natijahnya telah disebut dengan nyata, yakni eksplisit

(bil fi‟il).11

9

Sukriadi Sambas, Mantik Kaidah Berpikir Islam, h.115. 10

Ibid. 11

Ibid, h. 116.

Istisna‟i

(6)

b. Istidlal Istiqra‟i

Secara lughawi, istiqra berarti penyelidikan dan penelitian sesuatu; sedangkan secara istilah, pengertian istiqra adalah sebagai berikut :12

“Menetapkan sesuatu atas keseluruhan berdasarkan adanya sesuatu pada banyak fakta”

Menurut Muhammad Nur Ibrohim :

“penalaran yang didasarkan atas fakta-fakta secara teliti dan mengkajinya

secara cermat sehingga dapat ditarik suatu keputusan umum secara

rasional”.

Dari kedua definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa istidlal Istiqra‟i

adalah proses berpikir dengan cara menarik suatu kesimpulan umum berdasarkan fakta-fakta setelah terlibih dahulu dilakukan penelitian yang

cermat dan tepat. Istilah lain untuk istidlal istiqra‟I ini adalah Istinbathi

(induktif). Contoh :13

Setiap hewan menggerakkan rahang bawah ketika menguyah makanan

Jika penarikan kesimpulan umum (generalisasi) berdasarkan hasil penelitian berlaku kepada semua individu atau satuan dari fakta-fakta yang padanya ditetapkan suatu keputusan, maka disebut Istidlal Istiqra‟I Tam.Sedangkan

12Iyadl bin Nami As-Silmy, Ushul Fiqh Alladzi La Yasa‟ Alfaqihu Jahlahu, h 442.

13

(7)

jika tidak artinya masih terdapat individu yang dikecualikan dikarenakan penetapan umum tersebut tidak diberlakukan kepadanya maka disebut Istidlal Istiqra‟I Naqis, dan termasuk bagian dari Lawahiq qiyas.

Contoh Istidlal Istiqra‟I Tam :

Jumlah hari pada setiap bulan komariah adalah tidak lebih dari tiga puluh

hari

Contoh Istidlal Istiqra‟I Naqish:Setiap orang yang sedih atau sakit, menangis.

Sedangkan Para ulama ushul fiqih, menjelaskan istidlal itu ada beberapa macam, antara lain :14

- Istishab

- Maslahatul Mursalah

- Istihsan

- Sadduz Zara‟i

- Ilham

Para ulama ushul fiqih, menjelaskan istidlal itu ada beberapa macam, antara lain :

1) Istishab

Kata Istishab berasal dari kata suhbah artinya 'menemani' atau 'menyertai'. Atau al-mushahabah: menemani, juga istimrar al-suhbah: terus menemani. Dalam istihnya: “Saya membawa serta apa yang telah ada pada waktu yang lampau.” Menurut Istilah ilmu Ushul fiqih yang dikemukakan Abdul Hamid

Hakim: “Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada pada sejak semula

(8)

tetap berlalu sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah.” Imam al-Syaukani memberi definisi, Yaitu “menetapkan ( hukum) sesuatu sepanjang tidak ada yang merubahnya”.15

Istilah Istishab memiliki beberapa contoh, antara lain :

- Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisan, hibah atau wasiat, maka pemilikan tersebut terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukan perpindahan pemilikan pada orang lain.

- Orang yang hilang tetap dipandang hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukan bahwa dia meninggal dunia.

- Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami istri sampai ada bukti lain yang menunjukan bahwa mereka telah bercerai.

- Tetap dipandang sah punya wudlu bagi yang yakin sebelumnya telah berwudlu, dan tidak hilang karena keragu-raguan.

- Menetapkan utang atas seseorang, berdasarkan persaksian dua orang sebelumnya, sampai adanya bukti pembayaran.

Macam-macam Istishab :16

a) Istishab Al-Bara'ah al-Ashliyah

Terhadap istishab ini Ibnu Qayyim menyebutnya Bara'ah 'Adam

al-Asliyah.Istishab ini adalah terlepas dari tanggung jawab atau terlepas dari

15 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 205. 16

(9)

suatu hukum, sehingga ada dalil yang menunjukan.Terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya.Misalnya, Anak kecil sampai datangnya baligh.Tidak ada kewajiban dan hak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya akad nikah. Tidak adanya kewajiban shalat yang ke lima waktu. Tidak adanya shaum Sya'ban.

b) Istishab yang ditunjukan oleh al-syar‟u atau al-aqlu

Yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkannya hukum yang berbeda dengan hukum itu.Misalnya, seseorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah melunasinya. Hak milik suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi kepemilikan, yaitu akad, sampai adanya sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah tangan kepada orang lain. Contoh lain, hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya, hingga apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau telah batal maka berdasarkan istishab wudhunya dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang.17

17

(10)

c) Istishab al-Hukmi / Dalil umum

Yaitu sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum itu terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram. Dengan kata lain sampai adanya dalil yang mengkhususkan atau yang membatalkannya. Dan asal dalam sesuatu (mu'amalah) adalah kebolehan.Misalnya, kewajiban menginfakan hasil usaha manusia dan hasil eksploitasi alam. Berdasarkan ayat yang umum (Al-Baqarah : 267), kandungan ayat umum tersebut tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.18

d) Istishab Washfi

Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan kepada orang yang hilang. Misalnya, Apabila seseorang dalam keadaan hidup meninggalkan kampung halamannya, maka orang ini oleh semua madzhab dianggap tetap hidup sampai ada bukti-bukti yang menunjukan bahwa ia telah meninggal dunia, oleh karena itu pemilikannya dipandang tetap, misalnya hak memiliki waris.19

e) Istishab hukum yang ditetapkan ijma lalu terjadi perselisihan

Istishab seperti ini diperselisihkan ulama tentang kehujahannya.Misalnya, para ulama fiqih menetapkan berdasarkan Ijma, Bahwa tatkala tidak ada

18 Ibid. 19

(11)

air, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat. Apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apa shalatnya harus dibatalkan, untuk kemudian berwudhu atau shalat itu ia teruskan?.Ulama Malikiyah dan Syafi'iyyah menyatakan tidak boleh membatalkan shalatnya, karena ada Ijma yang menyatakan salahnya sah bila dilakukan sebelum melihat air. Tapi ulama Hanafiyah dan Hambaliyah menyatakan ia harus membatalkan shalatnya.20

Kehujahan Istishab :

Mayoritas pengikut Maliki, Syafi'i, Ahmad dan sebagian ulama Hanafi menyatakan bahwa istishab dapat jadi hujah, selama tidak ada dalil yang merubah.Dan sebagian besar dari ulama mutaakhirin juga demikian. Sementara segolongan dari ulama Mutakallimin, seperti ' Hasan al-Basri', menyatakan bahwa istishab tidak bisa jadi hujah, karena untuk menetapkan hukum yang lama dan sekarang harus berdasarkan dalil.21

2) Maslahatul Mursalah

Kata tersusun dari dua kata yaitu al-mashlahah dan al-Mursalah. Kata

al-Mashlahah dari kata sama dengan beres. Bentuk mashdarnya = keberesan,

kemaslahatan. Yaitu sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Kata mursalah, dari kata sama dengan mengutus. Bentuk isim maf'ulnya = diutus, dikirim, dipakai, dipergunakan. Perpaduan dari dua kata menjadi mashlahah mursalah,

20

Ibid, h.209. 21

(12)

berarti prinsip kemaslahatan, kebaikan yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam.Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat.22

Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, bermakna: “Maslahah

Mursalah adalah sesuatu yang mengandung kemaslahatan, dirasakan oleh

hukum, sesuai dengan akal dan tidak terdapat pada asal.

Untuk memudahkan memahami maslahatul mursalah ini, dapat dilihat dari beberapa contoh :23

-Kebijaksanaan Abu Bakar ra. dalam memushhafkan Alquran, memerangi orang yang membangkang membayar zakat, menunjuk Umar ra. menjadi khalifah.

-Putusan Umar bin Khatab tentang mengadakan peraturan dan berbagai pajak, dan putusan beliau tidak menjalankan hukum potong tangan terhadap pencuri, yang mencuri karena lapar dan masa paceklik.

-Putusan Usman bin Affan ra. tentang menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu mushaf, menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain.

Di antara para ulama ushul ada yang menerima dan ada pula yang menolak berhujah dengan mashlahatul mursalah :24

22ibid, h 207.

23

Ibid, h.208. 24

(13)

-Ulama-ulama Syafi‟iyyah, Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah tidak menjadikan mashlahatul mursalah sebagai hujah.

-Menurut sebagian ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi‟iyyah, tetapi

harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

-Di antara ulama yang paling banyak menggunakan mashlahatul mursalah ialah Imam Malik. Untuk ini Imam Al-Qarafi berkata “Sesungguhnya berhujah dengan mashlahatul mursalah dilakukan oleh semua madzhab,

karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan pranata satu

dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang

mengikat”.25

3) Istihsan

Dilihat dari asal bahasa Istihsan dari kata bahasa arab artinya mencari kebaikan. Al-Hasan menyebutakn makna istihsan secara bahasa dengan ungkapan artinya mencari yang lebih baik.

Untuk memudahkan memahami Istihsan berikut adala beberapa contoh yang terkait :26

-Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bila seorang anak menitipkan barang kepada bapaknya, kemudian barang tersebut digunakan oleh bapaknya untuk membiayai hidupnya, maka

25

Ibid, h.209. 26

(14)

berdasarkan Istihsan si bapak tidak diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.

-Seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum, apabila ia sudah dewasa dan berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh ibunya kewarung untuk membeli sesuatu?, Berdasarkan Istihsan anak kecil tersebut boleh membeli barang-barang yang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan kemafsadatan.27

Istihsan terbagi menjdai dua bagian :28

a) Mengutamakan qiyas khafi (yang samar-samar) dari pada qiyas jalli (yang jelas) berdasarkan dalil. Misalnya, tentang wanita, bahwa wanita itu aurat (aib, cela) harus tertutup karena akan membawa pada fitnah. Dalam qiyas

jalli. Memandang aurat wanita diqiyaskan kepada „wanita itu aurat‟ dilihat

dari sama – sama akan membawa fitnah, maka hukumnya haram. Dalam qiyas khafi diperbolehkan melihat sebagian aurat wanita karena adanya hajat/keperluan, jika tidak dilakukan akan membawa kesulitan. Maka qiyas khafinya, mengqiyaskan melihatnya seorang dokter pada sebagian aurat wanita saat mengobati/memeriksa, kepada melihat aurat wanita karena ada hajat, dari sisi adanya keperluan dan jika tidak, menimbulkan

27Ibid, h 208. 28

(15)

masyaqqah. Maka hukumnya boleh. Istihsannya, mengutamakan qiyas khafi dari qiyas jalli.

b) Mengecualikan hukum juz‟i (bagian atau khusus) dari pada hukum kulli (umum). Misalnya :

-Dalam hukum yang bersifat umum, tidak sah jual beli pada saat terjadi,

barang belum ada, termasuk pada jenis jual beli Gharar. Hukum yang juz‟i,

dibolehkannya jual beli salam(jual beli dengan pembayaran lebih dahulu, tapi barangnya dikirim kemudian), dibolehkan ijarah = sewa menyewa, dibolehkan muzar‟ah = menengah sawah. Istihsannya, karena sangat

dibutuhkan dan telah jadi kebiasaan. Maka diambil hukum yang juz‟i.29

-Orang yang mencuri harus dipotong tangannya, Umar menyatakan, kecuali pencurian itu dilakukan pada saat kelaparan. Maka diambil hukum yang kedua.

-Orang yang di bawah perwalian tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri kaarena takut hancur. Jika Ia mewakafkan hartanya untuk kekekalan, maka boleh . Istihsannya untuk kelangsungan harta dan tidak hancur.

-Dilarang mendekati zinah, termasuk di dalamnya memandang wanita. Pada saat khithbah diperbolehkan memandang wanita yang dikhithbah untuk mengekalkan pada perjodohan. Maka Istihsannya mengambil hukum yang ke dua.30

29

Ibid, h.300. 30

(16)

Imam Asy-Syatibi berpendapat, barangsiapa beristihsan tidaklah berarti bahwa ia memulangkannya kepada perasaan dan kemauan hawa nafsunya,

tetapi ia memulangkannya kepada maksud syar‟i yang umum dalam peristiwa

-peristiwa yang dikemukakan.31

4) Sadduz Zara‟i

Kata Dzara’i artinya media, atau jalan.Dalam bahasa syariat Dzariah berarti

“apa yang menjadi media/jalan kepada yang diharamkan atau yang

dihalalkan”.Dan kata Saddu artinya mencegah atau menyumbat jalan.32

Dengan kata lain, dzariah adalah washilah yang menyampaikan kepada tujuan, atau, jalan untuk sampai kepada yang diharamkam atau yang dihalalkan. Jalan yang menyampaikan kepada halal hukumnya halal pula, dan jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan kepada wajib, wajib pula.33

Terdapat definisi lain yang menyebutkan, “Dzariah adalah media yang

dhahirnya mubah, mendorong kepada perbuatan yang terlarang.””

Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang

dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.34

Untuk memperjelas Saddu dzariah dan fathu dzariah, dapat dilihat dari beberapa contoh berikut ini :

31 Ibid. 32

Ibid, h.303. 33

Ibid. 34

(17)

a) Contoh Saddu Dzariah

-Menebang dahan pohon yang meliuk di atas jalan umum, dapat mengakibatkan timbulnya gangguan lalu lintas.35

-Wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu berdandan sedang dia dalam keadaan Iddah, maka akan mendorong pada perbuatan yang terlarang.

- Melihat aurat perempuan dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinahan.36

b) Contoh Fathu Dzariah 37

-Meninggalkan jual beli pada waktu shalat jum‟at, agar dapat melakukan

shalat jum‟at karena wajib.

-Berusaha agar dapat melakukan ibadah haji, adalah diperintah dan hukumnya wajib pula.

-Mencari dana untuk membuat masjid, agar masjid dapat dibangun, hukumnya wajib.

Dengan demikian yang dilihat dari dzariah ini adalah perbuatan-perbuatan yang menyampaikan kepada terlaksananya yang wajib atau mengakibatkan kepada terjadinya yang haram.

Pada dasarnya dzariah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dapat dibagi pada empat macam: 38

35

Ibid, h.305. 36

Ibid. 37

Ibid, h.306. 38

(18)

a) Dzariah yang akibatnya menimbulkan kerusakan atau bahaya secara pasti. Misalnya, menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh ke dalamnya. Berzina menjadi perantara adanya percampuran dan ketidak pastian status nasab seseorang. Meminum khamer mengakibatkan hilangnya akal.

b) Dzariah yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Misalnya, berjualan

makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuatkan khamer. Ini halal karena untuk dibuat khamer adalah jarang.

c) Dzariah yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak

diyakini dan tidak pula dianggap jarang. Dalam keadaan ini dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup jalan adalah wajib sebagai ikhtiar untuk berhati-hati terhadap terjadinya kerusakan. Misalnya, menjual senjata di waktu perang, ini akan menimbulkan fitnah. Menjual anggur pada pabrik pembuat khamar.39

d) Dzariah yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum

mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu. Misalnya, Jual beli yang menjadi sarana bagi riba.Menghibahkan sebagian hartanya kepada seseorang di akhir tahun zakat untuk menghindari kewajiban zakat. Nikah Tahlil misalnya, yaitu akad nikah yang dilakukan oleh orang ke tiga terhadap janda yang ditalak tiga, pernikahan itu tidak berlangsung lama,

39

(19)

lalu diceraikan oleh orang ketiga dengan keadaan belum dicampuri, dengan tujuan istri yang baru dicerai itu halal dikawini kembali oleh bekas suaminya yang pertama. Bentuk dzariah ini pandangan Imam Malik dan Ahmad adalah haram dan harus disumbat.

Kehujjahan Saddu Zara‟I, diantaranya :

-Ayat-ayat Alqur‟an

Dalam QS. Al-An’am : 07 AllahSWT melarang orang mu‟min memaki -maki orang musyrik atau Tuhan yang mereka sembah, karena perbuatan yang demikian itu menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki AllahSWT. Dalam QS. Al-Baqarah : 104 AllahSWT melarang kaum

mu‟minin berkata pada Rasulnya kata ra‟ina, sekalipun kata itu bagus

maknanya bagi orang mu‟min yaitu „Sudikah kiranya engkau

memperhatikan kami‟. Namun bagi orang Yahudi menjadikan kata itu

sebagai media untuk mengejek Rasulullah SAW dengan arti bahasa mereka,

yang artinya „bodoh sekali kamu‟. Karena itu dilarang oleh AllahSWT.Agar

yang haram tidak muncul.40

-Sunah Rasulullah

Dalam sebuah hadist menunjukan bahwa orang mu‟min dilarang mencaci

-maki ayah seseorang, lalu nanti orang yang dicaci -maki ayahnya itu berganti

40

(20)

mencaci-maki ayahnya, demikian juga jika mencaci-maki ibu orang lain. Larangan itu untuk menjaga supaya yang diharamkan tidak muncul.41

-Pandangan Para Imam

Pada dasarnya para fuqaha memakai dasar ini, jika merupakan satu-satunya washilah kepada ghayah/tujuan. Imam Malik dan Imam Ahmad banyak berpegang pada dzari‟ah, sedang Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah tidak seperti mereka, walaupun mereka tidak menolak dzariah secara keseluruhan

dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Syafi‟i,

dzariah masuk ke dalam qiyas, dan menurut Abu Hanifah dzariah masuk

kedalam Istihsan.42

Ada ulama ushul yang menyebutkan :

-Saddu Dzara‟i digunakan apabila menjadi cara untuk menghindarkan dari mafsadat yang telah dinashkan dan tertentu.

-Fathhu dzara‟i digunakan apabila menjadi cara atau jalan untuk sampai kepada maslahat yang dinashkan. Karena maslahat dan mafsadat yang dinashkan adalah qath‟i, maka dzariah dalam hal ini berfungsi sebagai pelayan terhadap nash.

41

Ibid, h.310 42

(21)

-Tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan amanat (tugas-tugas keagamaan) telah jelas bahwa kemadharatan meninggalkan amanat, lebih besar daripada pelaksanaan sesuatu perbuatan atas dasar saddu dzariah.43 Jadi, tidak memelihara harta anak yatim karena takut dhalim atas dasar saddu

dzariah, jelas menyebabkan terlantarnya harta-harta anak yatim. Contoh lain,

menolak jadi saksi karena takut dusta, menyebabkan hilangnya kemashlahatan untuk manusia. Karena itu prinsip saddu dzara‟i tidak hanya melihat kepada niat dan maksud perorangan, tetapi juga melihat kepada kemanfaatan umum dan menolak kemafsadatan yang bersifat umum pula.44

5) Ilham

Secara bahasa Iham artinya = memberitahukan dan menempatkan. Secara

istilah menurut ulama Ushul Fiqih antara lain : “Ilham adalah sesuatu yang di

tuangkan ke dalam hati berupa ilmu yang mendorong untuk beramal tanpa

petunjuk ayat dan tanpa memperhatikqan hujah.” Terdapat definisi lain yang

di ungkapkan oleh imam al-Jurjani yaitu “Ilham adalah sesuatu yang

dilontarkan ke dalam hati dengan jalan di tuangkan.45

6) Qiyas

Arti Qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas memiliki empat rukun yaitu Ashl (wadah hukum yang diterapkan melalui nash atau

43

Ibid, h.312. 44

Ibid. 45

(22)

ijma‟), far‟u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum

yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid ashl), dan hukm al-asl (hukum yang

telah ditentukan oleh nash atau ijma‟).46

7) Ijma

Menurut bahasa, Ijma‟ berarti kesepakatan atau konsensus.Ijma‟ terbagi

menjadi dua bentuk yaitu Ijma‟ sharih dan Ijma‟ sukuti.Ijma‟ sharih adalah

kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan

terhadap hukum masalah tertentu.Ijma‟ sukuti adalah pendapat sebagian

mujtahid tentang hukum masalah dan tersebar luas, sementara sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang lainnya, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.47

8) „Urf

Menurut bahasa, „Urf berarti “yang kenal”. Definisi „Urfialah “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”. Lebih lengkapnya „Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan, atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.48

Urf dibagi menjadi 2 macam yaitu „urf shahih dan „urf fasid.„Urf shahih

adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan dalil syara‟ serta tidak

menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. „Urf

46 Ibid. 47

Ibid, h.313. 48

(23)

fasid adalah tradisi yang berlawanan dengan syara‟ atau menghalalkan yang

haram dan menggugurkan kewajiban.49

B. Konsep dan Teori Istinbath hukum

1. Pengertian Istinbath

Istinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula

memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti

istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.50 Setelah dipakai

sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus

istinbath adalah teks suci ayat-ayat al-Qurân dan hadis-hadis Nabi s.a.w..Karena itu,

pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.51

Kata istinbath bila dihubungkandengan hukum seperti dijelaskan oleh Muhammad Bin Ali al-fayyumi ahli bahasa arab dan fiqh, berarti upaya menarik hukum dari Al-quran dan Assunnah dengan jalan ijtihad.52

Ayat-ayat al-quran dalam menunjukkan pengertianya menggunakan berbagai cara ada yang tegas dan ada yang tidak tegas ada yang melalui arti bahasanya dan ada

49

Ibid, h.314.

50

Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung : Mizan Anggota IKAPI, 1996), h. 25.

(24)

pula yang melalui maksud hukumnya disamping itu disatukali terdapat pula perbenturan antara satu dalil dengan lain dalil yang memerlukan penyelesaian ushul fiq menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam al-quran dan sunnah rasullah.53

Upaya istinbath tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum.

Menurut „Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,54

melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaedah-kaedah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath atau ijtihad adalah sebagai berikut :55

1) Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qurân yang berhubungan dengan masalah hukum.

2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi s.a.w. yang berhubungan dengan masalah hukum.

3) Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma‟. 4) Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya

untuk istinbath hukum.

53

Ibid, h.26.

54 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di

Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 110-118. 55

(25)

5) Mengetahui ilmu logika, agar dapat mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.

6) Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qurân dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dan lain-lain.56

2. Kontruksi Hukum dengan Analisa Tata Bahasa

Maksud analisa tata bahasa adalah memahami bahasa teks yang tampak.Teks ini bisa diucapkan, ditulis, dan dipahami pengertiannya.57

Sasaran kajian teks ini adalah ayat-ayat al-Qur‟an dan Sunnah Nabi yang termaktub dalam kitab-kitab hadis.Teks tersebut ditulis dalm bahasa Arab, sehingga penalarannya juga menggunakan kajian bahasa Arab.

Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus.Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang

umum adalah tanpa pengecualian.Ungkapan “barangsiapa” berarti menunjuk kepada

siapapun, jenis kelamin apapun, generasi manapun tanpa pembatasan.Sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para pakar studi hukum islam sepakat bahwa pernyataan hukum yang khusus bersifat final dan pasti sehingga menutup pengertian yang lain. Namun demikian, pernyataan hukum yang khusus ini ada yang bersifat mutlak tanpa pembatasan dan ada pula yang dibatasi.58

56Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan..., h. 29.

(26)

Suatu pernyataan dianggap mutlaq jika tidak ada pembatasan sama sekali yang mempersempit keluasan pengertiannya. Sebaliknya pernyataan dianggap terbatas karena ada pembatasan yang mempersempit pengertiannya.

Dalam al-Qur‟an, banyak terjadi pengulangan kata, baik yang mutlak maupun maupun terbatas.Para studi hukum Isam membuat rumusan mengenai hal ini.Jika kata yang diulangi bermakna mutlak semua, maka maknanya juga mutlak dan sebaliknya.59

Akan tetapi jika pengulangan itu membuat kata yang mutlak dan terbatas dalam tempat yang berlainan, maka terdapat dua kemungkinan makna, Pertama, kata yang mutlak diberi pembatasan sesuai kata yang terbatas.Kedua, kata yang mutlak tidak dibatasi sebagaimana kata yang terbatas, jika masing-masing berbeda dalam hukum dan sebabnya.60

Selain mutlak dan terbatas, pernyataan hukum yang khusus juga disertai perintah dan larangan.Perintah adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah.Larangan adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya.61

Perintah menuntut pelaksanaan, bukan perdebatan.Begitu pula, larangan mengharuskan untuk ditinggalkan. Ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah mendapatkan pahala dan sebaliknya penentangannya akan mendapatkan dosa.

59

Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan.,h.30. 60

Ibid, h. 31.

61

(27)

3. Konstruksi Hukum dengan Analisis Makna

Pernyataan hukum tentu mengandung makna yang dapat dikonstruksikan. Ada empat teknik analisis untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisis makna terjemah („ibarah nash), analisis pengembangan makna

(dilalah al-nash), analisis kata kunci dari suatu pernyataan (isyarah al-nash), dan

analisis relevansi makna (iqtidha‟ al-nash). Untuk menerapkan keempat teknik analisis tersebut, dapat dikemukakan contoh penggalan QS an-Nisâ‟, 4: 23, yang bisa diterjemahkan: “Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian dan putri-putri kalian..”.62

Ternyata, terjemahan ini tidak bisa dipahami, sehingga muncul pertanyaan,

“Dalam hal apakah, orang laki-laki diharamkan atas ibunya dan puterinya?‟Agar bisa

dipahami perlu tambahan kata yang relevan pada penggalan ayat di atas.Relevansinya didasarkan pada ayat sebelum dan sesudahnya, sehingga kata yang relevan sebagai

tambahan adalah “menikahi”.Inilah konstruksi hukum dengan analisis relevansi

makna (istidhâ‟ al-nash).Penting dicatat bahwa tambahan ini bukan berarti menambahi ayat al-Quran, apalagi mengubahnya, melainkan memudahkan pemahaman saja. Karena penggalan ayat tersebut bisa dipahami jika terjemahnya berbunyi: “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu dan putri-putri kalian..”.63

Terjemah penggalan ayat tersebut memberikan dua pengertian yaitu orang laki-laki dilarang menikahi ibunya dan putri kandungnya.Pengertian sederhana ini merupakan hasil analisis makna terjemah („ibarah al-nash).Jika makna ini diperluas

62 Abu Muhammad Ali Ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut :

Dar al-Jil, 1987), Juz I, h. 22. 63

(28)

lagi, maka muncul banyak kesimpulan hukum.Perluasan makna ini merupakan analisis pengembangan makna (dilalah al-nash).Kata kunci dari penggalan ayat

tersebut adalah “diharamkan atas kalian”. Ketika keharaman itu disertai dengan kata

kunci “atas kalian” maka hal itu akan menunjukkan bahaya dan kerusakan bila

hukum haram itu dilakukan. Pemahaman ini adalah hasil dari analisis kata kunci

“(isyarah al-nash).64

4. Bentuk-bentuk Istinbath Hukum Islam

1) Metode Bayani

Dalam khasanah ushul fiqh, metode ini sering disebut dengan al-qawa

idal-lugawiyyah, atau dilalat al-lafz. Inilah yangdisebut dengan metodebayani,

yaitu metode istinbath melalui penafsiran terhadapkata yang digunakan dalam nashdan susunan kalimatnyasendiri. Sehingga kaidah-kaidahyang dipakaisebagaimana yang digunakanoleh ulama pakar bahasaArab.65

2) Metode Ta‟lili

Metode ini diigunakanuntuk mengali danmenetapkan hukum terhadapsuatu kejadian yang tidakditemukan dalilnya secaratersurat dalamnashbaiksecara

qath‟i maupun zhanni dan tidak juga ada ijma‟ yangmenetapkan

hukumnya,namun hukumnya tersiratdalam dalil yang ada, berdasarkan kegunaan dan kedudukannya, illatdibagi menjadi illat tasyri dan illat qiyasi.66

64

Abu Muhammad Ali Ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, h. 23

65 Abdul Wahab Khlaf, Ilmu Uul al-Fiqh, terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang:

Dina Utama. 1994), h 1. 66

(29)

3) Metode Istislahi

Dimaksudkan dengan istislahi adalah penetapansuatu ketentuan berdasarkanasas kemaslahatan yangdiperoleh dari dalil-dalilumum, karena untuk masalahtersebut tidak ditemukandalil-dalil khusus.Jadibiasanya, metode ini barudigunakan bila metode bayani dan ta‟lili tidak dapatdilakukan.

Dalam menggunakan metode ini ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: kategori pertama, sasaran-sasaran (maqasid) yang ingin dicapai dan dipertahankan oleh syariat melalui aturan-aturan yang dibebankan kepada manusia. Dalam hal ini ada tiga kategori, yaitu daruriyah, hajiyyah, dan tahsiniyah.67

C. Definisi Jual Beli

1. Pengertian Jual Beli

Secara bahasa adalah mengambil sesuatu dan menyerahkan sesuatu yang lain.

Mereka mengambil istilah dari kata ba-a‟ (

عاب

, artinya: lengan) yang dijulurkan,

untuk menyatakan persetujuan atau untuk memegang barang yang dijual belikan baik berupa harganya atau barang yang dihargai.68

67 Abdul Wahab Khlaf, Ilmu Uul al-Fiqh, terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, h 313.

68 Abdullah Bin Abdurrahman, Taisirul Allam Syarah „Umdatul Ahkam, terj. Fathul

(30)

Kata bai‟ (

عيب

) dimutlakkan pula penggunaannya untuk pembelian, sehingga

istilah ini termasuk istilah yang saling berlawanan. Demikian pula dengan kata syira‟(

ءارش

) juga termasuk kata yang saling berlawanan. Akan tetapi apabila dikatakan

ba‟i‟ (

عئاب

) maka yang segera akan terlintas dalam benak adalah orang yang

menyerahkan barang yang diperjualbelikan ( penjual).69

Dalam bahasa arab jual beli disebut dengan

ةراجتلا

/

ءارشلا

/

عيبلا

yang berarti

tukar menukar.70 Atau dapat diartikan bahwa jual beli adalah menukar harta dengan harta.71

Adapun secara istilah, bai‟ bermakna pertukaran harta dengan harta yang lain dengan tujuan kepemilikan.72Para ulama‟ berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

- Menurut ulama‟ Hanafiyah :

“Jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara

khusus (yang dibolehkan)”.73

- Menurut Imam Nawawi :

“Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.74

69Ibid, h. 92.

70 Imam Ahmad bin Husain, Fathu al-Qorib al-Mujib, (Surabaya : Al-hidayah), h 30. 71

Abdullah Al-Mushlih dan Shah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2004), h 90.

72 Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis & Perbankan P erspektif Ulama Salafi,

(Bandung:TimToobagus, 2011), h. 3.

73

(31)

- Menurut Ibnu Qudamah :

“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta untuk menjadikannya milik”.75

Menurut Sayyid Sabiq, pengertian jual beli secara syariat Islam adalah pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduannya. Atau, dengan pengertian lain, memindahkan hak milik dengan hak milik lain berdasarkan persetujuan dan perhitungan materi.76

Dari definisi di atas dapat di pahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara dan di sepakati.

2. Hukum Jual Beli

Dasar hukum atu landasan mengenai jual beli ini disyari‟atkan berdasarkan

Al-Qur‟an, Hadits Nabi dan Ijma; para ulama‟ , dan Qiyas yakni :

a. Alqur‟an

Allah SWT berfirman dalam Surah al-baqarah ayat 275 :77

74 Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz II, h 2. 75

Ibnu Qudamah, Al-Mugni, Juz III, h. 559.

76 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj.Nor Hasanuddin “Fiqhus Sunnah”, (Jakarta: Pena Pundi

Aksara, 2006), h. 120-121.

(32)

  



“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam.dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar -benar

Termasuk orang-orang yang sesat”.

78Muhammad bin Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih Bukhari. (Beirut: Dar Ibn Katsir,

(33)

Dari al-Miqdam Ra, dari Nabi SAW bersabda: “Tidak seorang pun yang makan lebih baik dari makan hasil kerja tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah, Daud As makan dari hasil kerja tangannya sendiri”. (HR. Al-Bukhari, Abu Daud dan Nasai)

Adapun kandungan hadis diatas yaitu Bahwasanya sebaik-baik makanan yang dimakanseseorang adalah jika merupakan hasil kerja tangannya sendiri, dan usaha yang paling baik adalah pekerjaan seseorang selagi dengan tangannya sendiri.79

ملس و يلع ها ىلص ها لوسر لاق

Ulama‟ telah bersepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa

manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinyatanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti denganbarang lainnya yang sesuai.Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur‟an dan hadist, hukum jual beli adalah Mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itu bisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.81

Hikmah diperbolehkannya jual beli adalah menghindarkan manusia dari

kesulitan dalam bermu‟amalah.82

79CD Room Hadis, ”

Shahih al-Bukhari”, hadis no. 1930 dalam Mausū‟at al-Hadīts al-Syarīf, edisi 2, Global Islamic Software Company, 1991-1997.

80Ibid, h.117.

81

Ibid, h.118.

(34)

d. Qiyas

Dibolehkannya jual beli adalah perkara yang sesuai dengan qiyas, yaitu karena kebutuhan manusia mengajak mereka untuk melakukannya. Sehingga seseorang tidak bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan apabila berada di tangan orang lain kecuali dengan cara ini.83

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan -ketentuan dalam jual beliyang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara‟ (hukum Islam), diantaranya : 84

a. Rukun Jual Beli

1). Adanya „aqid (دقاع) yaitu penjual dan pembeli.

2). Adanya ma‟qud „alaih ( هيلع دوقعم) yaitu adanya harta (uang) dan barang yang

dijual.

3). Adanya sighat (ةغيص) yaitu adanya ijab dan qobul. Ijab adalah penyerahan penjual kepada pembeli sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak pembeli.85

b. Syarat – syarat Jual Beli

1). Syarat bagi (دقاع) orang yang melakukan akad antara lain : Baligh (berakal), beragama islam , dan tidak dipaksa.86

83

Abdullah Bin Abdurrahman, Taisirul Allam Syarah „Umdatul Ahkam, terj. Fathul

Mujib,“Taisirul „Allam Syarhu Umdatil Ahkam”, h 93.

85 Imam Abi Zakaria al-Anshari, Fathu al-Wahab, (Surabaya: al-Hidayah), h. 157. 86

(35)

2) Syarat (هيلع دوقعم) barang yang diperjualbelikan antara lain : suci atau mungkin

disucikan, bermanfa‟at, dapat diserahkan secara cepat atau lambat, milik sendiri,

diketahui (dilihat).

3) Syarat syah ijab qabul :

- Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.

- Tidak diselingi kata-kata lain.

- Tidak dita‟likkan (digantungkan) dengan hal lain. Misal, jika bapakku mati, maka barang ini aku jual padamu.

- Tidak dibatasi waktu. Misal, barang ini aku jual padamu satu bulan saja.87

4. Macam-Macam Jual Beli

Jual beli ada 3 macam yaitu :

a. Menjual barang yang bisa dilihat: Hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual suci, bermanfaat dan memenuhi rukun jual beli.

b. Menjual barang yang disifati (memesan barang): Hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya (sesuai promo).

c. Menjual barang yang tidak kelihatan: Hukumnya tidak boleh/tidak sah. Boleh/sah menjual sesuatu yang suci dan bermanfaat dan tidak diperbolehkan/tidak sah menjual sesuatu yang najis dan tidak bermanfaat.88

(36)

Menurut para jumhur ulama jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, di lihat dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam yaitu : 89

1) Jual beli yang sah,adalah jual beli yang telah memenuhi ketentuan syara‟, baik rukun maupun syaratnya, syarat jual beli antara lain :

1. Barangnya suci 2. Bermanfaat

3. Milik penjual (dikuasainya ) 4. Bisa di serahkan

5. Di ketahui keadaannya

2) Jual beli yang batal, adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid). Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama. Adapun ulama hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah, batal, dan rusak.

3) Jual beli yang dilarang dalam islam, Jual beli yang dilarang dalam islam sangatlah banyak menurut jumhur ulama. Berkenaan dengan jual beli yang di larang dalam islam, Wahbah Al-Juhalili meringkasnya sebagai berikut :

a) Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad )90

Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dan dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf

89Moh. Rifa‟i,dkk, Terjamah khulasah kifayatul akhyar, (,Semarang : cv.Toha putra 1978), h

184.

90

(37)

secara bebas dan baik. Mereka yang di pandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini :

- Jual beli orang gila, Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lain.91

- Jual beli anak kecil. Menurut ulama fiqih jual beli anak kecil di pandang tidak sah, kecuali dalam perkara – perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama

Syafi‟iyah, jual beli anak mimayyiz yang belum baligh, tidak sah sebab tidak

ada ahliyah.92

Adapun menurut ulama Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah, jual beli anak-anak kecil dianggap sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan cara memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengamalan atas firman Allah, yang artinya :

“ dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

Kemudian jika menurut pendapat mereka telah cerdas (pandai memelihara

harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. (Q.S. An-Nisa‟ :6).

- Jual beli orang buta. Jual beli orang buta di kategorikan sahih munurut jumhur ulama jika barang yang dibelinya diberi sifat ( diterangkan sifat-sifatnya ).

91

Ibid, h. 186. 92

(38)

Menurut Safi‟iyah, jual beli orang buta tidak sah sebab ia tidak dapat

membedakan barang yang jelek dan yang baik.93

- Jual beli terpaksa. Menurut ulama Safi‟iyah dan Hanabilah, jual beli ini tidak sah , sebab tidak ada keridaan ketika akad.94

- Jual beli fudhul. Adalah jual beli milik orang tanpa seizinnya. Munurut Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli di tangguhkan sampai ada izin pemilik.

Menurut Safi‟iyah dan Hanabilah, jual beli fudhul tidak sah.95

- Jual beli orang yang terhalang. Maksudnya adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit.

b) Terlarang Sebab Ma‟qud Alaih ( barang jualan )96

Secara umum, ma‟qud alaih adalah harta yang di jadikan alat pertukaran olah

orang yang akad, yang biasa di sebut mabi‟ (barang jualan) dan harga.

- Jual-beli benda yang tidak ada atau di khawatirkan tidak ada - Jual-beli barang yang tidak dapat di serahkan

- Jual-beli gharar ataui di sebut juga dengan jual beli yang tidak jelas

(majhul)

- Jual-beli barang yang najis dan yang terkena najis.

- Jual-beli barang yang tidak ada ditempat akad (ghaib), tidak dapat dilihat.

93 Ibid. 94

Ibid. 95

Ibid, h.187.

96

(39)

c) Terlarang sebab syara97 - Jual beli riba

- Jual beli barang yang najis

Barang yang diperjual belikan harus suci dan bermanfaat untuk manusia. Tidak boleh (haram) berjual beli barang yang najis atau tidak bermanfaat seperti: arak, bangkai, babi, anjing, berhala, dan lain-lain.

- Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan . - Jual beli barang dari hasil pencegatan barang

Jual beli waktu ibadah sholat jum‟at, berdasarkan Q.S. Al Jumu‟ah ayat 9,

yaitu :

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,

Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual

beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.

- Jual beli anggur untuk dijadikan khamar - Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil - Jual beli barang yang sedang dibeli orang lain - Jual beli memakai syarat.

97

(40)

D. Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai

Jual beli secara tidak tunai/ kredit adalah cara menjual atau membeli barang dengan pembayaran tidaksecara tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).98

Menurut istilah perbankan yang dimaksud dengan tidak tunai/ kredit, yaitu menukar harta tunai dengan harta tidak tunai.99Emas merupakan komoditas unik. Emas mungkin satu-satunya komoditas yangditimbun, sementara komoditas lain diolah kembali untuk dikonsumsi.

Telah disepakati oleh sebagian besar ulama (ijma‟), dalam jualbeli, emas dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi100 dikarenakan illat-nya sama yaitu sebagaipatokan harga dan merupakan sebagai alat pembayar, yang sama fungsinya, seperti mata uang modern.101 Dan dikarenakan sebab itu emas dan perak bisa dijadikan mata uang , sehingga para ulama hadis memahami uang berasal dari emas sebagai mata uang sejenis yaitu emas dengan istilah dan ukuran yang berbeda.

Syarat yang diberikan oleh Islam dalam jual beli emas (dikenal dengan istilah:

sharf) tidak bisa ditawar-tawar berdasarkan hadits berikut :

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan

gandum, sya‟ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya‟ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan)

harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta

tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut

98 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen

Pendidikan Nasional, 2008), h. 760.

99

Syuhada Abu Syakir, Ilmu Bisnis & Perbankan Perspektif Ulama Salafi, h 124.

100 Benda-benda yang telah ditetapkan ijma‟ atas keharamannya karena riba ada enam macam

yaitu: emas, perak, gandum, syair, dan kurma, dan garam. Syaikh Al-Allamah Muhammad, Fiqh Empat Mazhab, (Jakarta: Hasyimi Press, 2010), h.226.

101

(41)

dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan

gandum, sya‟ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya‟ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan)

harus sama dan dibayar kontan (tunai).Jika jenis barang tadi berbeda, maka

silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara

kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587)

Sehingga syarat jual beli emas ada 2 yaitu :

1) Jika emas ditukar dengan emas, maka syarat yang harus dipenuhi adalah (1)

yadan bi yadin (harus tunai), dan (2) mitslan bi mitslin (timbangannya sama

meskipun beda kualitas).

2) Jika emas ditukar dengan uang, maka syarat yang harus dipenuhi adalah

yadan bi yadin (harus tunai), meskipun beda timbangan (nominal).

Implementasi dalil ini dalam konteks kekinian memunculkan ragam persepsi, terutama saat emas atau perak tak lagi diposisikan sebagai media utama bertransaksi.Perbedaan pendapat pun muncul, baik di kalangan ulama salaf atapun khalaf (kontemporer).

(42)

menjualnya boleh berlebih atau berkurang. Hanya disyariatkan padanya “kontan sama

kontan, dan timbang terima di majelis akad”.102

Jual beli barang yang sejenis yang didalamnya terkena hukum riba, seperti emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, kurma dengan kurma, agar tidak terkena riba ada 3 syarat:

1) Sepadan, sama timbangannya, dan takarannya, dan sama nilainya. 2) Spontan, artinya seketika itu juga.

3) Saling bisa diserah terimakan.

Para ulama telah sepakat bahwa riba terdapat pada dua perkara, yakni pada jual beli dan pada penjualan atau pinjaman, atau hal lain yang berada dalam tanggungan.

Riba pinjaman terbagi dua yaitu riba jahiliyah dan riba utangpiutang, sedangkan riba jual beli juga terbagi dua yaitu riba fadl dan nasiah. Pada transaksi jual beli emas ini masuk kepada riba jual beli yaitu jika:

1) Riba fadl, yaitu riba dengan pelebihan pembayarannya,103 atau tambahan dalam salah satu baarang yang dipertukarkan. Illatnya menurut ibnu Taymiyyah yang dikutip oleh Saleh Al-Fauzan adalah takaran, atau timbangan.104

Makna “pelebihan pembayarannya” adalah tidak sama ukurannya, contohnya:

102

Idris Ahmad, Fiqh Menurut Mazhab Syafi‟i, (Jakarta: Widjaya Jakarta, 1974), h.50.

103 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Imam Ghazali, Achmad Zaidun, “Bidayatul

Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid”, (Jakarta: Pustaka Amani, Cet III, 2007), h.705.

104 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, Terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, et al, Al-

(43)

- menukar satu bakul kurma jenis ajwah dengan 2 bakul kurma jenis sukari dengan cara tunai.

- Menukar 100 gram emas baru dengan 200 gram emas using dengan cara tunai - Menukar Rp.10.000,- kertas dengan Rp.9800,- logam dengan cara tunai. 2) Riba nasi‟ah yaitu menukar harta riba dengan harta riba yang „illatnya

(alasannya) sama dengan cara tidak tunai,105

- Makna ”„illatnya sama “ barang yang berupa objek tukar menukar sama illatnya, seperti keduanya adalah alat tukar, atau keduanya makanan pokok yang tahan lama, baik jenisnya sama ataupun tidak.

- Maksud “tidak tunai” transaksi serah terima kedua barang dilakukan pada saat yang tidak sama, contohnya:

Menukar 1 ember kurma dengan 1 ember gandum dengan tidak tunai.

Menukar 100 gram emas dengan 100 gram emas secara tidak tunai.

Menukar SR. 100,- dengan Rp. 2.000.000,- dengan cara tidak tunai.

Selanjutnya adalah keterangan atau pendapat yang jelaskan oleh para ulama mazhab tantang jual beli emas tersebut, Para ulama mazhab merupakan satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalammenentukansebuah ijtihad berdasarkan Al-Quran dan hadis. Menurut bahasa, mazhab ( بهذم ) berasal dari shighah masdar mimy (kata sifat) dari isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi‟il madhy

(44)

“dzahaba”

ب ذ

yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra‟yu

يأرلا

yang artinya

“pendapat”.106

Sedangkan pengertian mazhab menurut istilah meliputi dua pengertian, yaitu :

a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Quran dan hadis.

b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Quran dan hadis.107

Terdapat perbedaan pandangan antara para ulama mazhab tentang jual beli emas secara tidak tunai, ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan,dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Ulama yang Tidak Membolehkan Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai

Para ulama yang mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai adalah para

Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i dan Ahmad Hanbali).

b. Ulama yang Membolehkan Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai

Para ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN-MUI diantaranya Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah

dan Syekh Ali Jumu‟ah, mufti Mesir.

106 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, Cet.I , 1997) , h. 71.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: alasan diperbolehkannya jual beli emas secara tidak tunai dalam fatwa DSN-MUI No:77/DSN- MUI/V/2010, DSN-MUI

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: alasan diperbolehkannya jual beli emas secara tidak tunai dalam fatwa DSN-MUI No:77/DSN- MUI/V/2010, DSN-MUI

perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis

Berdasarkan hasil pengamatan serta membanding pendapat DSN-MUI dan Empat Imam Mazhab, dimana DSN mengambil rujukan dari pendapat Ulama kontemporer seperti Ibnu Taimiyah,

Ansari, Abdul Ghofur, GadaiSyariah di Indonesia :Konsep, ImplementasidanInstitusionalisasi, (Yogyakarta : Mada University Press, 2006).. Bagir, HaidardanSyafiqBasri,

Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan yang terbuat dari emas atau perak tersebut, dan tidak berlaku pula riba dalam pertukaran atau jual beli antara perhiasan dengan

Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan mengkaji lebih dalam tentang pembolehan jual beli emas secara tidak tunai dalam fatwa Dewan Syari‟ah Nasional,