• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Provinsi Dalam Meningkatkan Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Kesehatan Jiwa Jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tenta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Provinsi Dalam Meningkatkan Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Kesehatan Jiwa Jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tenta"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

Bagi Penderita Gangguan Jiwa Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2018 Tentang Kesehatan Jiwa Jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Oleh Tirto Wahono1

110120120093 ABSTRAK

Kesehatan merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi setiap masyarakat dalam mencapai kesejahteraannya. Kesehatan, termasuk kesehatan jiwa merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki oleh manusia pada umumnya dan warga negara Indonesia pada khususnya yang perwujudan pemenuhannya dilindungi dan diatur dalam Undang-Undang. Pelayanan kesehatan jiwa sebagai bagian dari pelayanan kesehatan merupakan upaya untuk menciptakan derajat kesehatan yang optimal, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Pelayanan kesehatan jiwa akan dapat terlaksana secara optimal apabila didukung salah satunya dengan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. Pemerintah daerah provinsi mempunyai kewajiban dalam penanganan masalah kesehatan jiwa, khususnya dalam penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Tanggung jawab ini telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Terkait dengan pelimpahan wewenang pemerintahan, maka urusan kesehatan menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

ABSTRACT

Health is one of the indispensable element for every community in achieving well-being. Health, including mental health is one of the rights possessed by human beings in general and citizens of Indonesia in particular the fulfillment embodiment protected and regulated in the Act. Mental health services as part of health care is an attempt to create optimal health status, both promotive, preventive, curative, and rehabilitative conducted by the government, local government, and / or community. Mental health services can be optimally implemented if supported one of them with the implementation of mental health care facilities are inadequate. The provincial government has a duty in handling mental health problems, especially in the provision of mental health care facilities. This responsibility has been defined in the Act No. 18 2014 About Mental Health. Associated with the delegation of authority of government, the health affairs must become a business under the authority of the provincial government and local government district / city.

1

(2)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Didalam dokumen internasional disebutkan bahwa hak atas pemeliharaan dan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak asasi manusia yaitu dalam Pasal 25 United Nations Universal Declaration of Human Right.2 Pengertian kesehatan berdasarkan organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai berikut: “Kesehatan individu yang tidak hanya bergantung pada tidak adanya penyakit tetapi juga

keseimbangan psikologis dan fungsi sosialnya” (Health is a state of complete physical,

mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity, WHO).3

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga memberikan pengertian kesehatan sebagai berikut:“Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual

dan social, yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Didasarkan dari pengertian-pengertian tersebut, maka kesehatan jiwa harus

dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh, sehingga indikator “sehat” tidak saja didasarkan pada keadaan fisik yang sehat semata tetapi juga sehat secara mental/jiwa, spiritual dan sosial dengan porsi yang seimbang. Dengan demikian tersirat bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan (integral) dari kesehatan secara umum dan merupakan salah satu unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup setiap manusia. Dalam hal pelayanan kesehatan, menurut Veronica Komalawati dalam arti luas meliputi upaya promotif (peningkatan kesehatan), preventif (pencegahan penyakit), kuratif (penyembuhan penyakit) dan rehabilitatif (pemulihan

2

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Surabaya: Airlangga University Press, 1984, hlm. 25

3

(3)

kesehatan) sedangkan dalam arti sempit hanya meliputi upaya kuratif (penyembuhan penyakit) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan).4

Untuk melakukan pelayanan kesehatan khususnya kesehatan jiwa diperlukan adanya sumber daya kesehatan, salah satunya adalah fasilitas pelayanan kesehatan. Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab terhadap penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.5Pemerintah sampai saat ini masih menganggap kesehatan jiwa tidak lebih penting dibanding kesehatan fisik. Hal ini, antara lain dibuktikan dengan jumlah anggaran untuk kesehatan jiwa yang dialokasikan oleh pemerintah setiap tahunnya, sangat kecil. Saat ini anggaran untuk layanan kesehatan mental sangat terbatas yaitu hanya 1% dari seluruh total anggaran.6 Hal tersebut mengakibatkan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwapun sangat minim. Kurangnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro pada kesehatan jiwa berdampak pada kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah kesehatan jiwa. Soewargono dan Djohan menyatakan bahwa salah satu fungsi utama dari pemerintah yaitu membuat kebijakan publik.7 Minimnya perhatian secara otomatis berdampak pada pendanaan yang minim, dan kurangnya tindakan nyata di tingkat akar rumput yang memperhatikan kesehatan jiwa masyarakat.

Saat ini hanya ada 32 rumah sakit jiwa milik pemerintah dan 16 rumah sakit jiwa swasta. Belum semua provinsi memiliki rumah sakit jiwa. Dari 1.678 rumah sakit umum yang terdata, sekitar 2 persen yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Hanya 15 rumah

4

Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989, hlm. 26

5

Pasal 77 Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa 6

Irmansyah. 2009. Undang Undang Kesehatan Jiwa, Kebutuhan yang Mendesak. http://noriyu.wordpress.com/2009/01/20/undang-undang-kesehatan-jiwa-kebutuhan-yang-mendesak/, diunduh pada tanggal 17/02/2014 pukul 20.15

7

(4)

sakit dari 441 rumah sakit umum daerah milik pemerintah kabupaten/kota yang memiliki layanan psikiatri. Kondisi sama terjadi pada puskesmas, hanya 1.235 puskesmas yang memberikan layanan kesehatan jiwa dari sekitar 9.000 puskesmas. Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut, akan semakin memarginalkan layanan kesehatan jiwa dan akhirnya akan membawa banyak masalah psikososial di komunitas seperti yang ditunjukkan dengan meningkatnya insiden bunuh diri, adiksi zat psikoaktif, kekerasan, banyaknya penderita psikotik kronik yang menggelandang serta penderita psikotik yang di pasung oleh keluarganya.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa didasarkan hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimanakah tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dalam meningkatkan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa dihubungkankan dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Jo. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah?

II. METODE PENELITIAN

(5)

pustaka8, yang menitikberatkan pada penggunaan bahan atau materi penelitian data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, dengan melakukan kajian terhadap beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan yang terkait lainnya. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan cara studi dokumen dan penelitian lapangan dianalisis secara normatif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Didalam konsideran Undang-Undang Kesehatan Tahun 2009 dijelaskan bahwa kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat, yang merupakan hak bagi setiap warga Negara dan pemenuhannya dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu, perbaikan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu investasi sumber daya manusia untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Pemerintah harus dapat menjamin hak masyarakat untuk sehat (right for health) dengan memberikan pelayanan kesehatan secara adil, merata, memadai, terjangkau, dan berkualitas. Jaminan hak masyarakat untuk sehat ini tentu saja termasuk sehat jiwa. Dengan demikian orang yang menderita gangguan jiwa juga mempunyai hak yang sama atas pelayanan kesehatan.

A. Pemenuhan Hak atas Pelayanan Kesehatan bagi Penderita Gangguan Jiwa didasarkan Hukum Positif di Indonesia.

Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan bahwa salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum, salah satu unsurnya adalah terpenuhinya hak atas pelayanan kesehatan bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk untuk penderita gangguan jiwa. Untuk melakukan pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa pemerintah termasuk pemerintah harus menyediakan fasilitas

8

(6)

pelayanan kesehatan jiwa yang memadai baik fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas), Pelayanan kesehatan spesialis (RSU), dan pelayanan kesehatan sub spesialis (RSJ). Pemerintah harus dapat menyediakan fasilitas-fasilitas kesehatan tersebut dengan kuantitas dan kualitas yang memadai.

Ketersediaan fasilitas-fasilitas kesehatan tersebut salah satunya untuk mengurangi perlakuan terhadap penderita gangguan jiwa berat yang dikurung bahkan dipasung. Orang Dengan Gangguan Jiwa mempunyai hak yang sama dengan manusia lainnya. Oleh karena itu, negara juga harus memenuhi hak mereka tanpa terkecuali dan tanpa diskriminasi, apalagi melakukan penyiksaan terhadap mereka. Perlakuan diskriminasi dan penyiksaan termasuk kepada penderita gangguan jiwa merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

(7)

kriteria-kriterianya maka orang yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik, artinya kesejahteraan sosialnya tidak terpenuhi.

(8)

ini menyebabkan mereka masih sulit mengakses pelayanan publik yang ada, bahkan mereka dikucilkan dan tidak diberikan pelayanan dengan optimal.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur kesehatan jiwa dalam bab tersendiri (bab IX) dimulai dari Pasal 144 sampai dengan Pasal 151. Ketentuan Pasal 144 ayat (1) menjelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin agar setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Upaya kesehatan jiwa terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial yang menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, termasuk jaminan upaya kesehatan jiwa di tempat kerja (Pasal 144 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 145).

Bagi penderita gangguan jiwa berat yang memerlukan perawatan maka digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus (Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Tentang Rumah Sakit). Rumah Sakit Umum Sebagaimana dimaksud pada ayat(1) memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit (Pasal 19 Ayat (2)). Berdasarkan Pasal 19 Ayat (2) ini maka Rumah Sakit Umum juga harus dapat memberikan pelayanan bagi penderita gangguan jiwa baik dengan menyediakan poli rawat jalannya maupun ruang rawat inapnya. Rumah Sakit Khusus yang dimaksud salah satunya adalah rumah sakit jiwa.

(9)

Jaminan ini menyangkut kegiatan-kegiatan upaya kesehatan jiwa, sistem pelayanan kesehatan jiwa, sumber daya dan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, perbekalan dan pendanaannya, tugas dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, serta ketentuan pidana terhadap perlakuan penderita gangguan jiwa. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan masyarakat khususnya penderita gangguan jiwa akan mendapat akses yang besar terhadap pelayanan kesehatan jiwanya yang masih sulit terlebih di daerah.

B. Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Provinsi dalam Meningkatkan Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan bagi Penderita Gangguan Jiwa

(10)

pelayanan kesehatan yang menangani gangguan jiwa berat. Puskesmas sebagai pusat pelayanan primer dan RSU sebagai pusat pelayanan sekunder seharusnya dapat dioptimalkan perannya dalam menangani permasalahan gangguan jiwa ini.

Pengaturan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa saat ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah, hal ini dikarenakan pada Pasal 49 UU No. 18 Tahun 2014 ditegaskan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan jiwa. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dimaksud yaitu Puskesmas dan jejaring, Klinik Pratama, Praktik dokter dengan kompetensi pelayanan kesehatan jiwa, RSU, RSJ, dan Rumah Perawatan. Artinya bahwa fasilitas kesehatan dari mulai tingkat pertama, kedua, dan ketiga diharuskan menyelenggarakan pelayanan kesehatan jiwa. Terkait tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi terhadap pengelolaan upaya kesehatan perorangan dan masyarakat tingkat daerah provinsi/lintas kabupaten/kota termasuk didalamnya penyelenggaraan dan pengelolaan fasilitas kesehatan bagi penderita gangguan jiwa, baik pelayanan kesehatan sekunder dan tersier. Artinya bahwa Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai kewajiban untuk melakukan pengelolaan pelayanan kesehatan di tingkat RS Umum dan RS Khusus.

Berdasarkan hal-hal tersebut penulis berpendapat bahwa Pemerintah provinsi dalam melakukan pengelolaan pelayanan kesehatan rujukan sekunder (RSU) harus mengeluarkan kebijakan tentang kewajiban penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa di RSU kelas B baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Hal ini merupakan salah satu wujud amanat dari Undang-Undang No. 18 Tahun 2014, dan merupakan bentuk penyelenggaraan otonomi daerah di bidang kesehatan.

(11)

provinsi/lintas kabupaten/kota dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi adalah penerbitan izin rumah sakit kelas B dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat daerah provinsi. Untuk memenuhi kewajibannya terhadap para penderita gangguan jiwa dalam hal fasilitas pelayanan kesehatannya, seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya Pemerintah Daerah Provinsi dapat mengeluarkan kebijakan terkait penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa di RSU Kelas B. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya yang memiliki tugas untuk mengembangkan peraturan yang berpihak pada kesehatan jiwa.

(12)

pelayanan fasilitas kesehatan jiwa bagi penderita gangguan jiwa yang ada dalam Permenkes No. 340 Tahun 2010 tersebut, penulis mempunyai pendapat dalam hubungannya dengan asas penyelenggaraan otonomi daerah yaitu Asas Tugas Pembantuan. Dalam Permenkes tersebut ditegaskan bahwa Pengelolaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder skala kabupaten/kota menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pelayanan kesehatan dasar yang dimaksud adalah Puskesmas, sedangkan pelayanan rujukan sekunder skala kabupaten/kota adalah RS Umum kelas C dan D.

Pemerintah Daerah Provinsi dapat melakukan asas tugas pembantuan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam hal penyelenggaraan pelayanan fasilitas kesehatan jiwa. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah penderita gangguan jiwa yang ada di kabupaten/kota yang masuk dalam wilayah provinsi tersebut. Tugas Pembantuan tersebut yaitu dengan menyediakan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas dan RS Umum milik Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

(13)

IV. PENUTUP

Berdasarkan penelitian dan analisa terhadap permasalahan yang telah penulis uraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia hak atas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa telah nyata ditegaskan, baik tentang kegiatannya, sistem pelayanannya, sumber daya dan fasilitas kesehatannya, pendanaannya, serta ketentuan pidananya terhadap perlakuan penderita gangguan jiwa. Pada kenyataannya Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah belum mampu mewujudkan hak atas pelayanan kesehatan tersebut bagi penderita gangguan jiwa secara komprehensif, hal ini dikarenakan masih banyaknya masyarakat yang mengalami gangguan jiwa belum mendapatkan pelayanan yang semestinya.

(14)

rujukan tersier bagi penderita gangguan jiwa berat yang membutuhkan perawatan secara khusus.

Bertitik tolak dari kesimpulan, maka penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Dalam rangka untuk memenuhi hak atas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa Pemerintah Daerah Provinsi dapat melakukan Tugas Pembantuan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas dan RS Umum khususnya yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

2. Pemerintah Daerah Provinsi juga sebaiknya membuat kebijakan terhadap perizinan operasional di RS Umum Kelas B untuk menyediakan pelayanan kesehatan jiwa sebagai wujud tanggung jawabnya akan pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa.

V. UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

(15)

VI. DAFTAR PUSTAKA

Chandra Budiman, Ilmu Kedokteran Pencegahan Komunitas, Jakarta: EGC, 2006, Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Surabaya: Airlangga

University Press, 1984,

Muhadam Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan (Suatu Kajian, Teori,Konsep, dan Pengembangannya), Jakarta: Raja Grafindo Persada,2010,

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009,

Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

1989

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit Irmansyah. 2009. Undang Undang Kesehatan Jiwa, Kebutuhan yang Mendesak.

Referensi

Dokumen terkait

Fumigant toxicity of plant essential oils and selected monoterpenoid components against the adult German cockroach, Blattella germanica (L.) (Dictyoptera:

Uji Aktivitas Insulin-Sensitizer Ekstrak Etanol Buah Malaka (Phyllanthus emblica L.) Pada Tikus Jantan Galur Wistar yang Diinduksi Diet Tinggi Lemak. Perbandingan Potensi

Pada saat pendaftaran, baik di rawat jalan maupun rawat inap, Petugas memberikan penjelasan kepada pasien dengan bahasa yang mudah dimengerti mengenai 18 butir hak

AGT-2A + UL 2 Pengelolaan Pasca Panen Perlindungan Tanaman 4 Pemuliaan Tanaman 2 Biologi dan Kesehatan Tanah Pemuliaan Tanaman AGT-6b AGT-6 AGT-6b TBT Hias 6 Penyuluhan dan

Setelah mengikuti pembelajaran praktek kebidanan komunitas selama 3 minggu, mahasiswa diharapkan mampu mengelola, membina dan memberikan pelayanan kebidanan di komunitas dengan

Implementasi sistem manajemen ini bertujuan (1) menciptakan ketahanan organisasi (organization resilience) yang memampukan organisasi dalam menghadapi