• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usaha meningkatkan penghayatan kebahagiaan sejati Fransiskan para suster yunior Fransiskanes Santa Elisabeth melalui katakese Shared Christian Praxis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Usaha meningkatkan penghayatan kebahagiaan sejati Fransiskan para suster yunior Fransiskanes Santa Elisabeth melalui katakese Shared Christian Praxis."

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul USAHA MENINGKATKAN PENGHAYATAN KEBAHAGIAAN SEJATI FRANSISKAN PARA SUSTER YUNIOR FRANSISKANES SANTA ELISABETH MELALUI KATEKESE SHARED CHRISTIAN PRAXIS, berawal dari ketertarikan penulis merenungkan tentang kebahagiaan. Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dihidupi, hal ini mendorong penulis untuk mendalami kebahagiaan sejati Fransiskan yang merupakan bagian dari semangat hidup penulis sebagai seorang Fransiskan. Skripsi ini akan mendalami kebahagiaan sejati Fransiskan seturut semangat St. Fransikus dari Assisi. Salah satu tujuan pembinaan yunior adalah memiliki kebahagiaan sejati sebagai Fransiskan. Akan tetapi menurut hasil kapitel IV tujuan tersebut belum tercapai. Untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya maka penulis melakukan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para suster yunior FSE sebagian besar belum memahami dan menghayati kebahagiaan sejati Fransiskan. Hal ini disebabkan karena semangat untuk melakukan latihan rohani masih rendah serta kurangnya pemahaman tentang kebahagiaan sejati Fransiskan. Namun sebagian kecil para suster yunior sudah memahami dan menghayati kebahagiaan sejati Fransiskan.

Maka penulis mengusulkan katekese model SCP untuk membantu para suster yunior FSE dalam penghayatan kebahagiaan sejati Fransiskan. Penulis melihat model SCP sangat cocok untuk para suster yunior karena banyak nilai yang dapat ditemukan. Melalui kegiatan ini para suster mempunyai kesempatan yang banyak untuk mengungkapkan pengalamannya, sekaligus untuk menghilangkan budaya bisu yang sering terjadi dalam setiap pertemuan. Para suster sungguh sebagai subyek, sehingga para suster semakin mampu menghargai pengalaman setiap pribadi. Pada akhir kegiatan SCP para suster yunior diharapkan sampai pada tindakan konkret.

(2)

ABSTRACT

The thesis entitled AN EFFORT ON IMPROVING THE APPRECIATION TO FRACISCAN TRUE BEATITUDE OF YUNIOR FRANCISCAN SISTERS OF SAINT ELIZABETH USING SHARED CHRISTIAN PRAXIS, began by the writer’s interest in contemplating happiness. Moved by an adage that life which is not lived seriously is something unworthy to be lived, the writer intended to study deeper what Franciscan true beatitude is, as a part of the writer’s spiritual passion as a Franciscan. This thesis would study the Franciscan true beatitude in line with the spiritual guidance of St. Francis of Assisi. One of the purposes of junior formation (initial formation) is empowering every sister to have true beatitude as a Franciscan. However, based on the result of the Congregation General Council IV, it can be concluded that the purpose does not come into being yet. In finding the adequate fact, the writer did a research.

The research has dragged a fact out into evidence that a big number of FSE junior sisters do not yet grasp and take a deep consideration toward the Franciscan true beatitude. Yet, some of the sisters have already grasped and taken a deep appreciation of the Franciscan true beatitude.

In accordance to the result of the research, the writer proposes a SCP model of catechesis to help FSE junior sisters in taking a deep appreciation of Franciscan true beatitude. The writer sees SCP model as an appropriate model for junior sisters regarding many worthwhile values which can be picked in this process.

SCP model of catechesis would be applied in the form of recollection based on a planned program. The theme which has taken into arrangement is related to the result of the research and the true beatitude which St. Francis of Assisi himself meant for us. Through SCP activity, FSE junior sisters are expected to grasp and to take the Franciscan true beatitude deeper.

(3)

USAHA MENINGKATKAN PENGHAYATAN

KEBAHAGIAAN SEJATI FRANSISKAN

PARA SUSTER YUNIOR FRANSISKANES SANTA ELISABETH

MELALUI KATEKESE SHARED CHRISTIAN PRAXIS

Skripsi

Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Betaria Br Sinuhaji

NIM : 081124025

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada Yesus sumber kebahagiaan sejati yang telah memperkenankan aku berkenalan dengan kepahitan, agar aku mengenal manisnya hidup.

Dia yang telah menganugerahkan “kasih” agar aku mengalami kebahagiaan dan kebahagiaanku akhirnya hanya dalam Kasih

Untuk ibuku yang telah menuntunku menuju kebahagiaan yang telah membuatku terpesona atas kesabaran dan kelembutanmu dalam merangkul kehidupan.

Untuk para dosenku yang telah bersedia menggoreskan ilmu, cinta yang menumbuhkan harapan dan cita-cita.

Untuk para susterku, sahabat dan teman-temanku

(7)

MOTTO

(8)
(9)
(10)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul USAHA MENINGKATKAN PENGHAYATAN KEBAHAGIAAN SEJATI FRANSISKAN PARA SUSTER YUNIOR FRANSISKANES SANTA ELISABETH MELALUI KATEKESE SHARED CHRISTIAN PRAXIS, berawal dari ketertarikan penulis merenungkan tentang kebahagiaan. Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dihidupi, hal ini mendorong penulis untuk mendalami kebahagiaan sejati Fransiskan yang merupakan bagian dari semangat hidup penulis sebagai seorang Fransiskan. Skripsi ini akan mendalami kebahagiaan sejati Fransiskan seturut semangat St. Fransikus dari Assisi. Salah satu tujuan pembinaan yunior adalah memiliki kebahagiaan sejati sebagai Fransiskan. Akan tetapi menurut hasil kapitel IV tujuan tersebut belum tercapai. Untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya maka penulis melakukan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para suster yunior FSE sebagian besar belum memahami dan menghayati kebahagiaan sejati Fransiskan. Hal ini disebabkan karena semangat untuk melakukan latihan rohani masih rendah serta kurangnya pemahaman tentang kebahagiaan sejati Fransiskan. Namun sebagian kecil para suster yunior sudah memahami dan menghayati kebahagiaan sejati Fransiskan.

Maka penulis mengusulkan katekese model SCP untuk membantu para suster yunior FSE dalam penghayatan kebahagiaan sejati Fransiskan. Penulis melihat model SCP sangat cocok untuk para suster yunior karena banyak nilai yang dapat ditemukan. Melalui kegiatan ini para suster mempunyai kesempatan yang banyak untuk mengungkapkan pengalamannya, sekaligus untuk menghilangkan budaya bisu yang sering terjadi dalam setiap pertemuan. Para suster sungguh sebagai subyek, sehingga para suster semakin mampu menghargai pengalaman setiap pribadi. Pada akhir kegiatan SCP para suster yunior diharapkan sampai pada tindakan konkret.

(11)

ABSTRACT

The thesis entitled AN EFFORT ON IMPROVING THE APPRECIATION TO FRACISCAN TRUE BEATITUDE OF YUNIOR FRANCISCAN SISTERS OF SAINT ELIZABETH USING SHARED CHRISTIAN PRAXIS, began by the writer’s interest in contemplating happiness. Moved by an adage that life which is not lived seriously is something unworthy to be lived, the writer intended to study deeper what Franciscan true beatitude is, as a part of the writer’s spiritual passion as a Franciscan. This thesis would study the Franciscan true beatitude in line with the spiritual guidance of St. Francis of Assisi. One of the purposes of junior formation (initial formation) is empowering every sister to have true beatitude as a Franciscan. However, based on the result of the Congregation General Council IV, it can be concluded that the purpose does not come into being yet. In finding the adequate fact, the writer did a research.

The research has dragged a fact out into evidence that a big number of FSE junior sisters do not yet grasp and take a deep consideration toward the Franciscan true beatitude. Yet, some of the sisters have already grasped and taken a deep appreciation of the Franciscan true beatitude.

In accordance to the result of the research, the writer proposes a SCP model of catechesis to help FSE junior sisters in taking a deep appreciation of Franciscan true beatitude. The writer sees SCP model as an appropriate model for junior sisters regarding many worthwhile values which can be picked in this process.

SCP model of catechesis would be applied in the form of recollection based on a planned program. The theme which has taken into arrangement is related to the result of the research and the true beatitude which St. Francis of Assisi himself meant for us. Through SCP activity, FSE junior sisters are expected to grasp and to take the Franciscan true beatitude deeper.

(12)

KATA PENGANTAR

Syukur dan pujian kepada Bapa sumber kebahagiaan sejati atas kasih dan rahmat-Nya yang memampukan penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul

USAHA MENINGKATKAN PENGHAYATAN KEBAHAGIAAN SEJATI

FRANSISKAN PARA SUSTER YUNIOR FRANSISKANES SANTA

ELISABETH MELALUI KATEKESE SHARED CHRISTIAN PRAXIS

Penulis menyadari skripsi ini berhasil ditulis berkat dukungan dan uluran tangan kasih banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada:

1. Rm. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed. selaku pembimbing utama sekaligus pembimbing akademik, yang dengan teliti. sabar, setia dan penuh kasih membimbing dan mencurahkan pikiran pada penulisan skripsi ini.

2. Drs. L. Bambang Hendarto Y., M. Hum selaku dosen penguji kedua yang dengan tulus memberi sapaan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Y.H. Bintang Nusantara, SFK.,M. Hum selaku penguji ketiga yang dengan penuh perhatian menyapa dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Segenap staf dosen dan karyawan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan

Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

(13)

6. Para suster FSE secara khusus komunitas St. Yohanes Don Bosco Yogyakarta yang menjadi teman seperjuangan dan sehabat yang setia selama perkuliahan samapai dengan penyelesaian skripsi ini.

7. Para pembimbing junior Sr. M. Felixia FSE, Sr. M. Ignatia FSE, Sr.M. Roberta FSE, Sr. M. Patricia FSE, Sr. M. Gabriel FSE yang telah mendukung penulis dan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

8. Para suster yunior FSE dari setiap perwakilan komunitas-komunitas yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Terimakasih atas waktu dan keterbukaannya yang sekaligus menjadi teman belajar penulis untuk semakin memahami dan mengalami kebahagiaan sejati Fransiskan.

9. Rm. Vitalis OFM yang setia mendukung dan membagikan pengalamannya seputar kebahagiaan seorang Fransiskan yang menjadi inspirasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman angkatan 2008 terimakasih atas kesetiaan kita untuk tetap saling mendukung dan berbagi kegembiraan bersama.

11. Sahabat dan teman-teman: Dina Sembiring dan Bernadetta Sinuhaji yang dengan setia meluangkan waktu dan memberikan semangat kepada penulis.

12. Staf perpustakaan Prodi IPPAK yang telah murah hati melayani penulis dalam meminjamkam buku-buku yang diperlukan penulis dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.

(14)
(15)

DATAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .. ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO. ... v

PERNYATAAN KEASLIANKARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB II. KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH DAN KEBAHAGIAAN SEJATI FRANSISKAN .... ... 9

A. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth ... 9

1. Sejarah Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Dunia ... 9

2. Selayang Pandang Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Indonesia ... 12

3. Spiritualitas Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth... 14

B. Kebahagiaan ... 19

(16)

a. Kebahagiaan Menurut Kitab Suci ... 20

b. Kebahagiaan Menurut Pendapat Tokoh-tokoh ... 29

C. Kebahagiaan Sejati Fransiskan ... 38

1. Kebahagiaan Masa Muda Santo Fransiskus ... 38

2. Tuhan Menuntun Fransiskus Menuju Kebahagiaan Sejati ... 40

3. Kebahagiaan Sejati Fransiskus ... 44

4. Ciri- ciri Orang yang Berbahagia Menurut Santo Fransiskus Asisi ... 48

BAB III. PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN KEBAHAGIAAN SEJATI FRANSISKAN PARA SUSTER YUNIOR FRANSISKANES SANTA ELISABETH ... 51

A. Gambaran Suster Yunior Kongregasi FSE ... 51

B. Penelitian Tentang Pemahaman dan Penghayatan Kebahagiaan Sejati Fransiskan Para Suster Yunior FSE ... 54

1. Metodologi Penelitian ... 55

a. Latar Belakang Penelitian ... 55

b. Tujuan Penelitian ... 56

c. Jenis Penelitian ... 56

d. Instrumen Penelitian... 57

e. Tempat dan Waktu Penelitian ... 57

f. Responden ... 58

g. Variabel Penelitian ... 58

2. Hasil Penelitian ... 59

a. Hasil penelitian: Para Suster Yunior ... 60

b. Hasil Penelitian: Pembimbing Yunior ... 82

c. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 91

BAB IV.SUMBANGAN KATEKESE SHARED CHRISTIAN FRAXIS SEBAGAI USAHA UNTUK MENINGKATKAN PENGHAYATAN KEBAHAGIAAN SEJATI FRANSISKAN SUSTER YUNIOR FSE ... 95

A.Katekese Model Shared Christian Praxis ... 95

(17)

2. Tiga Komponen dalam Model Shared Christian Praxis ... 97

3. Langkah-Langkah Katekese Model SCP ... 98

B. Usulan Program katekese Model Shared Christian Praxis dalam Meningkatkan Penghayatan kebahagiaan Sejati Fransiskan Bagi Para Suster Yunior FSE ... 102

1. Usulan Program ... 102

2. Alasan Pemilihan Program ... 102

3. Alasan Pemilihan Tema dan Tujuan ... 103

4. Perumusan Tema dan tujuan ... 104

5. Gambaran Pelaksanaan Program ... 106

6. Matrix Program Pembinaan ... 107

7. Contoh Persiapan Rekoleksi Suster Yunior FSE ... 110

BAB V. PENUTUP ... 130

A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 133

LAMPIRAN ... 133

1. Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian ... . (1)

2. Lampiran 2: Surat Pengantar dan Daftar Pertanyaan Penelitian Kepada Pembimbing Yunior ... (2)

3. Lampiran 3: Contoh Hasil Penelitian dari Pembimbing Yunior ... (5)

4. Lampiran 4: Daftar Pertanyaan Kepada Suster Yunior ... (7)

5. Lampiran 5: Contoh Hasil Penelitian dari Suster Yunior ... (10)

6. Lampiran 6: Daftar Lagu-lagu Rekoleksi ... (13)

7. Lampiran 7: Teks kisah “ Kegembiraan Sempurna” ... .. (15)

(18)

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Deuterokanonika, penerbit Lembaga Alkitab Indonesia, terjemahan diterima dan diakui oleh Konferensi wali Gereja Indonesia, Jakarta: 1999.

Gal : Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia Kor : Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus Luk : Lukas

Mat : Matius Mrk : Markus

Rm : Surat Paulus kepada Jemaat di Roma Yoh : Yohanes

Kis : Kisah Para Rasul Yak : Surat Yakobus Sir : Yesus Bin Sirakh

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

Kan : Kanon

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Cononici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II Tanggal 25 Januari 1983

C. Singkatan Lain

(19)

Bdk : Bandingkan Cel : Celano

FAK : Fransiskus dan Karya-karyanya FSE : Fransiskanes Santa Elisabeth

Hal : Halaman

Konst : Konstitusi

KGK : Katekismus Gereja Katolik KWI : Konferensi Wali Gereja K3S : Kisah Tiga Sahabat

No : Nomor

Pth : Petuah-petuah St. Fransiskus Psl : Pasal

SCP : Shared Christian Praxis

Sr : Suster

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Setiap orang ingin hidupnya bahagia dan berhak untuk mengusahakannya. Maka dapat diterima bila berbagai cara dilakukan orang untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah berbagai cara yang dilakukan tersebut sungguh menghantar orang kepada kebahagiaan?. Dengan demikian sangat wajar setiap orang kembali mempertanyakan makna dan arti kebahagiaan tersebut. Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi, demikian ungkapan seorang filsuf. Bagi penulis kebahagiaan itu juga patut dipertanyakan dan menarik untuk direnungkan.

Dalam Kitab Suci digambarkan tujuan hidup manusia adalah untuk bahagia, walaupun tidak diungkapkan secara langsung. Hal ini dapat dilihat mulai dari kisah penciptaan hingga kedatangan Yesus ke dunia. Berkaitan dengan tujuan hidup manusia Leteng mengungkapkan bahwa manusia dipanggil tidak hanya untuk tumbuh dan berkembang secara jasmani, melainkan juga secara spiritual. Pertumbuhan dan perkembangan yang dimaksud apabila pertumbuhan spiritual manusia baik dan benar maka situasi alam ciptaan akan berjalan dengan baik, benar, harmonis dan menyenangkan. Hal ini sangat jelas sejak awal manusia dipanggil untuk hidup nyaman yang tidak terlepas dengan relasi seluruh alam ciptaan (Leteng, 2012: 6).

(21)

yang belum bebas. Rasa tertekan tersebut dapat berupa rasa takut, cemas, ragu, kemiskinan, penindasan dan berbagai macam bentuk penderitaan lainnya. Situasi yang demikian ternyata semakin menguasai hidup manusia. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah penderita depresi atau stress, baik pada tingkat nasional maupun internasional yang diperkirakan pada tahun 2020 akan menempati peringkat kedua di bawah penyakit jantung koroner (Kompas 2012, 8 Oktober). Situasi ini menandakan bahwa manusia belum mencapai tujuannya untuk hidup bahagia.

Pada kehidupan menggereja, pencarian kebahagiaan tersebut tampak dari banyaknya umat yang berusaha berkonsultasi dengan Romo bagian konsultasi keluarga. Pada umumnya Romo juga sungguh berusaha membantu pemahaman umat yang berkonsultasi tentang kebahagiaan dan membantu mereka memperjuangkan kebahagiaan yang pada awalnya tidak mereka pahami. Diharapkan dengan konsultasi tersebut, pemahaman umat tentang kebahagiaan menjadi baru. Pemahaman baru maksudnya umat semakin memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terbatas pada kehormatan, kekayaan, ketenaran, kekuasaan, kesehatan, kenikmatan, dan seluruh ciptaan, tapi hanya pada Allah (Hidup 2012, 21 Oktober).

(22)

sebagai kaum religius akan terlupakan karena lebih banyak waktu yang dipakai untuk mengurus situs jejaring sosial tersebut. Pada dasarnya, komunitas bagi kaum religius merupakan tempat yang tepat untuk menemukan kebahagiaan dan menuangkan segala pengalaman suka duka dalam hidup. Namun kenyataannya pada jaman sekarang keberadaan dunia maya membuat banyak kaum religius mencari kebahagiaan melalui hal tersebut. Bahkan ada pengakuan dari seorang religius, bahwa dia menemukan cinta sejati melalui facebook (Rohani, No : 02, Februari 2011).

Pada tahun 2011, banyak usaha yang telah dilakukan oleh kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth untuk menyegarkan semangat yunior sebagai orang yang terpanggil. Usaha tersebut antara lain melalui weekend tentang spiritualitas religius dalam menggunakan teknologi komunikasi, secara khusus penggunaan internet dan situs jejaring sosial facebook. Internet dan facebook dianggap sebagai salah satu penyebab keruhnya penghayatan yunior sebagai seorang Fransiskan, serta membuat keinginan tidak teratur dari para suster yunior. Pada pertemuan tersebut para suster yunior diminta membatasi diri menggunakan fasilitas internet, serta menutup akun facebook jika ada.

(23)

diharapkan sudah memiliki cinta bakti dan penyerahan diri, serta hidup sederhana dan rendah hati.

Namun dari pendalaman bahan kapitel umum IV tahun 2012 yang lalu, berdasarkan hasil evaluasi hidup para suster FSE, diketahui bahwa para suster yunior belum mempunyai semangat mencintai sebagai saudara dan juga belum memiliki kegembiraan sejati Fransiskan. Mereka cenderung bercermin kepada hal-hal yang kurang baik, serta lebih banyak menuntut dan membanding-bandingkan diri dengan suster yang sudah berkaul kekal.

Menurut para pembina, adapun faktor-faktor penyebab kurang tercapainya tujuan pembinaan tersebut adalah jaman yang serba instan, konsumerisme, hedonisme, pergaulan bebas serta keadaan keluarga yang kurang mendukung sehingga nilai-nilai religius dan daya juang rendah. Para pembina mengakui kesulitan membina para calon yang baru masuk biara.

Generasi muda jaman ini tidak luput dari pengaruh konsumerisme. Banyak hal yang menjadi pergulatan generasi muda, baik dari situasi keluarga, cara memandang kehidupan, serta gaya hidup yang instan, sehingga kehilangan wawasan ke depan (Darminta, 2006: 110-111). Hal tersebut mengakibatkan kaum religius generasi muda kesulitan untuk menghayati panggilannya sehingga membuat kaum religius tidak bahagia dalam panggilan.

(24)

Katekese merupakan komunikasi iman antar peserta yang berpangkal dari pengalaman peserta. Katekese Shared Christian Praxis merupakan salah satu model katekese yang menekankan proses berkatekese yang bersifat dialogal dan partisipatif, sehingga peserta terdorong mengkonfrontasikan nilai “tradisi” dan “visi” peserta dengan nilai “Tradisi” dan “Visi” Kristiani. Dengan demikian peserta baik secara pribadi maupun bersama mampu mengadakan penegasan dan mengambil keputusan demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah (Sumarno Ds, 2011: 14).

Menurut penulis, katekese model SCP cocok untuk membantu para suster yunior mengolah pengalaman aktual dan harapan mereka. Hal ini sekaligus dapat membantu para suster untuk menghilangkan budaya bisu yang tidak jarang terjadi dalam pertemuan-pertemuan. Katekese model Shared Christian Praxis ini diharapkan membantu mereka untuk berani mengungkapkan pengalamannya dan menghargai pengalaman saudari yang lain. Dengan sikap terbuka dan menghargai pengalaman setiap saudari, mereka bersama-sama dapat saling meneguhkan dan memiliki semangat baru untuk mengusahakan praxis ke depan yang lebih baik. Adapun Praxis yang diusahan di sisni adalah mengarah pada pengahayatan kebahagiaan sejati Fransiskan, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Santo Fransiskus dari Assisi. Maka penulis mengangkat judul “Usaha Meningkatkan Penghayatan Kebahagiaan Sejati Fransiskan Para Suster Yunior

(25)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah pada karya tulis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan kebahagiaan sejati Fransiskan?

2. Sejauh mana kebahagiaan sejati Fransiskan telah dihayati oleh para suster yunior Fransiskanes Santa Elisabeth?

3. Bagaimana Katekese Model Shared Christian Praxis dapat digunakan untuk meningkatkan penghayatan kebahagiaan sejati Fransiskan para suster yunior Fransiskanes Santa Elisabeth?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut

1. Menggali serta memahami arti dan makna kebahagiaan sejati Fransiskan. 2. Menemukan gambaran penghayatan para suster yunior Fransiskanes Santa

Elisabeth dalam menghayati kebahagiaan sejati Fransiskan.

3. Menggambarkan sejauh mana katekese Model Shared Christian Praxis dapat digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan penghayatan kebahagiaan Fransiskan sejati para suster yunior Fransiskanes Santa Elisabeth dalam hidup panggilan setiap hari.

D. Manfaat Penulisan

(26)

a. Untuk mengetahui sejauh mana para suster yunior Fransiskanes Santa Elisabeth sudah menghayati kebahagiaan sejati Fransiskan.

b. Agar para suster Fransiskanes Santa Elisabeth semakin menghayati kebahagiaan sejati Fransiskan.

2. Bagi Penulis

a. Untuk semakin memperluas wawasan dan ketrampilan tentang katekese metodel shared christian praxis sebagai seorang katekis di tengah umat. b. Agar semakin menghayati kebahagiaan sejati Fransiskan dalam panggilan

sebagai seorang biarawati.

3. Dapat menambah khasanah pengetahuan di kampus IPPAK-USD mengenai katekese metodel shared christian praxis dalam membantu umat dalam menghayati hidupnya pada mata kuliah tertentu.

E.Metode Penulisan

(27)

F. Sistematika Penulisan

Bab I. Bab ini berisi gambaran umum tentang isi skripsi, yang meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II. Bagian pertama bab ini membahas seputar sejarah Kongregasi di dunia, dan di Indonesia serta bagaimana situasi dan perjuangan pendiri Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth. Bagian kedua menjelaskan beberapa hal tentang kebahagiaan menurut Kitab Suci dan tokoh-tokoh, serta mengungkapkan kebahagiaan sejati menurut Santo Fransiskus dan ciri-cirinya.

Bab III. Bagian pertama bab ini menguraikan gambaran suster yunior FSE.

Bagian kedua membahas penelitian tentang pemahaman dan penghayatan kebahagiaan sejati Fransiskan para suster yunior. Bagian selanjutnya akan memaparkan pembahasan hasil penelitian.

Bab IV. Bab ini akan menguraikan seputar katekese dan usulan program katekese model SCP, agar membantu para suster yunior Fransiskanes Santa Elisabeth dalam menghayati kebahagiaan sejati Fransiskan dalam hidup harian secara konkret. Bab ini juga akan membuat contoh persiapan rekoleksi untuk melaksanakan program tersebut bagi para suster yunior FSE.

(28)

BAB II

KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH DAN KEBAHAGIAAN SEJATI FRANSISKAN

Pada bab ini akan diuraikan sejarah kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di dunia dan di Indonesia. Situasi dan perjuangan hidup pendiri hingga terjadinya kongregasi baru serta semangat dan pergulatan yang dilalui pendiri akan dipaparkan pada bab ini. Kemudian akan dijabarkan seputar kebahagiaan dari Kitab Suci maupun dari tokoh-tokoh, secara khusus kebahagiaan sejati Fransiskan yang merupakan semangat hidup Santo Fransiskus Assisi, yang menjadi semangat kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth.

A. Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth

Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth dikenal melalui sejarah, semangat pendiri dan spiritualitas kongregasi. Kongregasi FSE didirikan pada tahun 1880 di Breda oleh Sr Mathilda Leenders. Spiritualitas Kongregasi FSE adalah menghayati dan mengikuti semangat Santo Fransiskus Assisi sebagaimana yang telah diwariskan oleh ibu pendiri. Berikut akan dipaparkan tentang kedua hal tersebut secara lebih jelas.

1. Sejarah KongregasiFransiskanes Santa Elisabethdi Dunia

(29)

yang tidak mampu membayar biaya opname, serta tidak tersedianya tempat di rumah sakit untuk menampung pasien yang membutuhkan waktu perawatan yang lama. Dilatarbelakangi oleh masalah sosial di atas, sebuah kongregasi yang berasal dari negara Belgia dari kota Antwerpen menghubungi Uskup Breda pada saat itu, Mgr Henricus Van Beek, untuk membuka biara di kota tersebut dengan tujuan agar bisa merawat orang sakit dari rumah ke rumah. Namun setelah diadakan perundingan dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat, diusulkan agar uskup mencari kongregasi atau tarekat yang berasal dari dalam negeri saja.

Mgr Henricus Van Beek, yang akhirnya menjadi inspirator kongregasi FSE, meyakini bahwa pelayanan terhadap orang-orang sakit tersebut adalah hal yang memang sangat dibutuhkan pada saat itu. Namun beliau masih mencari kongregasi atau tarekat di Breda yang rela memberikan pelayanan yang seperti itu. Keuskupan Breda memiliki beberapa tarekat suster Peniten Rekolektin yang bergerak dalam bidang pelayanan orang sakit. Namun semua tarekat ini hidup dalam klausura, sehingga mustahil untuk meminta mereka melayani di luar biara. Meskipun menyadari hal ini, Mgr. Henricus Van beek, tetap memutuskan untuk meminta kepada para Suster Fransiskanes rumah sakit di Haagdijk. Biara Peniten Rekolektin ini bernama Mater Dei, dengan motto Alles Voor Allen (Semuanya Untuk Semua).

(30)

Meskipun Mgr Henricus Van Beek menjelaskan bahwa Anggaran Dasar Ordo III tidak bertentangan dengan permintaan yang diajukan, namun Kongregasi Mater Dei di Haagdijk tidak dapat mengabulkan permintaan untuk menugaskan anggotanya untuk merawat orang sakit dari rumah ke rumah.

Setelah melihat bahwa tarekat yang sudah ada tidak mungkin melakukan pelayanan merawat orang sakit dari rumah ke rumah, maka para tokoh agama dan tokoh masyarakat menyarankan kepada uskup untuk mendirikan tarekat baru, dengan meminta beberapa suster untuk berpindah ke kongregasi yang akan didirikan. Sr Mathilda dikenal dikenal baik oleh warga dan dipandang mampu menjadi perintis. Sr Mathilda berasal dari kota Nijmegen, lahir pada tanggal 21 Desember 1825 dari keluarga Leenders dengan nama baptis Wilhelmina. Pada waktu dia diminta melaksanakan tugas tersebut beliau sudah berusia 55 tahun. Demi nama Tuhan dan dengan permenungan yang mendalam akhirnya Sr Mathilda setuju untuk meninggalkan biara lama dan masuk ke biara baru dengan tetap hidup sebagai religius yang taat pada kaul kebiaraan dan memenuhi permintaan uskup dan menyuarakan kebutuhan umat.

(31)

Heilige Franciscus Van Assisi, dan dipercayakan di bawah perlindungan Santa Elisabeth dari Hongaria, karena santa ini dipercaya Gereja Katolik sebagai pencinta orang miskin dan menderita, khususnya orang-orang sakit. Secara otomatis Sr. Mathilda Leenders menjadi pemimpin kelompok baru tersebut. Tidak lama setelah kongregasi berdiri ada dua suster datang dari biara Alles Voor Allen

untuk membantu, yakni Sr Yuliana dan Sr. Berta, namun setelah sembilan bulan kembali ke biara asal di Haagdijk. Kemudian ada dua orang suster yang masuk menjadi anggota baru sebagai novis, yaitu Sr. Perpetua dan Sr. Camila, dan pada tahun 1883, ada seorang gadis yang melamar menjadi postulan yang kemudian akan menjadi Sr. Bernarda. Demikianlah akhirnya, seiring perkembangan jumlah anggota kongregasi, maka pembagian tugas mulai diorganisir lebih jelas. Sr. Mathilda Leenders ditugaskan sebagai Pemimpin Umum, Sr. M. Anna Van Dun sebagai Wakil Pemimpin dan Sr. Perpetua sebagai Magistra Novis (Simbolon, 2009:176-191).

2. Selayang PandangKongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Indonesia.

(32)

Belanda melalui Mgr. Petrus Hoopmans. Beliau memilih Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Breda, karena kongregasi ini memiliki rumah sakit dan sudah berpengalaman dalam pelayanan kesehatan.

Setelah melalui proses panjang, pada tanggal 13 Januari 1925 Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Breda memutuskan dan mengumumkan nama keempat suster yang akan berangkat ke daerah misi, yaitu Sr. M. Pia Van Blaricum, Sr. M. Philotea Biemans, Sr. M. Gonzaga Van Gorp dan Sr. M. Antoinette Plug. Keempat suster ini beraangkat dari Belanda pada tanggal 29 Agustus 1925 dengan kapal Johan de Witt. Mereka tiba di Medan pada tanggal 29 September 1925. Kemudian para suster tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jl. Wasir No.8 (Sekarang Jl. Kolonel Sugiono Medan).

(33)

Pada tanggal 11 Februari 1929, dibangunlah rumah sakit yang berdampingan dengan rumah suster di Jl. Imam Bonjol Medan. Rumah ini kelak akan menjadi rumah induk Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Indonesia.

Dari tahun ke tahun Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth semakin berkembang, baik dari jumlah anggota maupun dalam karya dan pelayanan. Karya pelayanan semakin bertumbuh dan beragam, mulai dari rumah peristirahatan penderita TBC di Berastagi yang selanjutnya akan menjadi rumah retret Maranatha. Kemudian, karena calon suster FSE semakin banyak, maka sebagai langkah awal dibangun rumah pembinaan di Jalan Slamet Riyadi Medan.

Dalam masa pembinaan ini, kepada para calon mulai dikenalkan tentang kongregasi FSE, juga ditanamkan tentang semangat pendiri, serta spiritualitas FSE sebagai pengikut Santo Fransiskus Assisi. Sebagai pengikut Santo Fransiskus Assisi, para suster FSE dipanggil untuk hidup dalam kebahagiaan sejati Fransiskan yang nyata dalam karya pelayanan dan persaudaraan. Maka dari awal berdirinya kongregasi, semangat kebahagiaan sejati Fransiskan sudah ditanamkan dari awal masa pembinaan, dan diharapkan meskipun masih dalam masa pembinaan sudah memiliki semangat kebahagiaan sejati Fransiskan (Kons. No. 12-16).

3. Spiritualitas Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth

(34)

cara hidup Ordo Ketiga Regular yang disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 08 Desember 1982 serta kharisma Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth.

Sebagai pengikut Santo Fransiskus Assisi dengan cara hidup peniten rekolek, kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth mengikat diri seumur hidup pada cita-cita Injili dengan hidup dalam ketaatan, dalam kemiskinan, dan kemurnian (AD III Reg.1) dalam kesatuan persaudaraan. Mereka dijiwai oleh semangat doa dan samadi, semangat pengabdian dan pengorbanan, semangat tapa dan matiraga selaku peniten rekolek (Kons, No 3).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat bahwa semua anggota kongregasi FSE menjalani hidup seturut cita-cita Injili dengan hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian, yang diikrarkan dalam kaul-kaul suci. Para suster FSE juga diharapkan hidup dalam semangat pengabdian dan pengorbanan, semangat tapa dan matiraga sebagai angggota peniten rekolek.

(35)

Menjadi penyembuh merupakan salah satu bagian dari semangat hidup Yesus. Karya penyembuhan itu nyata dalam pelayanan FSE baik karya maupun persaudaraan. Untuk itu sebagai anggota FSE, pertama-tama setiap pribadi sudah menjadi penyembuh bagi dirinya sendiri. Hal ini nyata dalam sikap menerima diri dan mensyukuri segala keberadaanya. Dengan demikian juga mampu menerima setiap saudari yang dianugerahkan kepadanya serta memiliki semangat pengampunan, baik terhadap diri sendiri maupun kepada sesama. Maka untuk mendukung rahmat pengampunan, setiap saudari melakukan pengakuan dosa minimal sekali sebulan, dan melakukan ibadat tobat pada Kamis Putih dan akhir tahun sebelum perayaan Ekaristi (Statuta. No.15).

Unsur ketiga kharisma FSE adalah keberpihakan kepada orang kecil. Orang kecil yang dimaksud di sini bukan hanya yang miskin atau sakit secara fisik, melainkan juga orang yang haus akan kasih dalam hidupnya. Orang kecil pada jaman ini dipahami semakin luas mencakup dalam karya pelayanan, dan juga di tengah-tengah persaudaraan. Orang sakit yang datang ke rumah sakit ada kalanya tidak menemukan solusi kesembuhan karena dia tidak membutuhkan resep dari dokter, tetapi ia membutuhkan lawatan hati. Demikian juga dengan orang kecil, mereka butuh didengarkan, butuh dipahami, dan butuh diperhatikan. Demikian juga dalam persaudaraan tidak jarang saudari mengalami rasa minder, dan tidak diterima banyak orang. Seharusnya hal ini menjadi perhatian utama bagi anggota persaudaraan kongregasi FSE (Kons. No. 7)

(36)

pernah terlepas dari salib, maka bersedia memanggul salib merupakan semangat pengorbanan demi cinta pada Kristus. Semangat pengorbanan yang dilakukan merupakan kesempatan untuk membagikan kasih kepada sesama (Statuta. No. 2.2)

Sebagai Peniten Rekolek (pertobatan terus-menerus), FSE hidup dalam semangat pertobatan kepada Allah dan sesama. Bersedia membagaikan kasih Allah dalam semangat pengosongan diri, serta penuh kegembiraan dalam pengabdian kepada orang sakit dan menderita. Mencintai Yesus melalui orang sakit dan menderita merupakan cita-cita Injili yang menjadi semangat pendiri (Kons. No. 9)

Melayani Yesus dalam diri orang sakit tertuang dalam motto kongregasi yaitu” ketika Aku sakit kamu melawat Aku” (Mat. 25:36). Seorang FSE lebih mengutamakan apa yang diutamakan Yesus, yaitu orang yang miskin dan menderita. Yesus menyamakan diri-Nya dengan orang yang miskin dan menderita. Seperti yang tertulis dalam Kitab Suci, apa yang kamu perbuat bagi saudara-Ku yang paling hina ini kamu lakukan untuk Aku (Mat. 25:40).

Orang yang dipandang hina, orang miskin dan tertindas sesungguhnya lebih mudah mengalami rasa sakit dan penderitaan daripada orang yang sakit secara fisik. Maka bagi seorang anggota FSE, melayani Yesus akan menjadi nyata melalui pelayanan yang merangkul dengan penuh kasih dan kegembiraan pada diri orang menderita.

(37)

usaha membuat anggotanya suci. Hal ini dilakukan lewat pelayanan kepada sesama, khususnya kepada orang sakit. Demikian juga dalam persaudaraan, adanya kesatuan saling menerima keunikan masing-masing dengan gembira merupakan suatu rahmat dan pemberian Allah (Kons. No. 7).

Konstitusi No.78 menyatakan bahwa:

Hidup sebagai saudara merupakan sumber kegembiraan yang dapat dinikmati setiap hari sebagai anugerah Allah. Di dalamnya Tuhan menantang kita untuk secara aktif menerima saudara yang diberikan Tuhan (bdk. Was. 14), menerima dan menghargai perbedaan guna saling melengkapi, saling mendengarkan, saling mempercayai, saling mengampuni dan menghargai misteri perjalanan hidup masing-masing dalam rangka menuju Tuhan yang satu dan sama. Kegembiraan itu kita alami lebih-lebih bila kita berhasil meringankan beban dan menanggung bersama kesulitan yang kita jumpai (bdk. AD III.Reg.23).

Berdasarkan kutipan di atas kita dapat melihat bahwa sebagai suster FSE, yang menjadi wadah kebahagiaan adalah persaudaraan. Dalam persaudaraan dianugerahkan saudari yang berbeda sebagai tantangan untuk mewujudkan kebahagiaan. Namun pada akhirnya kebahagiaan bukan hanya dalam hal memberi dan menerima tetapi juga dalam hal pengorbanan diri dan menanggung kesulitan bersama untuk menuju Tuhan sang sumber kebahagiaan.

Agar persaudaraan yang membahagiakan dapat terpelihara dengan baik, maka setiap saudari secara pribadi maupun bersama harus menjalin persaudaraan sejati.

(38)

Berdasarkan kutipan di atas kita dapat melihat bahwa sebagai suster FSE Persaudaraan yang dibangun, tidak terbatas hanya persaudaraan dalam kongregasi saja, tetapi membangun persaudaraan dengan siapa saja.

B. Kebahagiaan

1. Definisi Kebahagiaan

Kebahagiaan berasal dari kata bahagia. Kebahagiaan biasanya sangat berdekatan dengan suasana hati, yang di dalamnya ada rasa damai dan tenang. Bahagia merupakan kata yang tidak pernah bosan di telinga setiap orang. Arti kebahagiaan sendiri sangat luas, bahkan setiap orang bebas untuk mengungkapkan pendapatnya. Arti kebahagiaan tergantung dari pemahaman dan pengalaman setiap pribadi.

(39)

Satu hal yang dapat diterima bersama bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan, dan semua orang berhak untuk mendapatkannya. Demikian pula cara untuk memperoleh kebahagiaan tidak mempunyai suatu patokan. Untuk memperoleh kebahagiaan, kadang-kadang orang tidak memikirkan kebahagiaan orang lain. Namun agar kita bahagia kita harus hidup beragama (Kasim, 1964: 28).

Kebahagiaan merupakan antonim dari penderitaan, namun keduanya adalah gambaran suasana batin dalam menghadapi kehidupan. Ukuran kebahagiaan untuk setiap orang tidak dapat ditentukan. Hal ini tergantung dari sikap setiap pribadi dalam menghadapi situasi hidupnya. Artinya kebahagiaan untuk orang tertentu, belum tentu menjadi kebahagiaan bagi orang yang lain. Dengan kata lain, penderitaan dan kebahagiaan lebih bersifat subjektif. Sesuatu yang bagi seseorang tampaknya seperti penderitaan, namun dapat terjadi hal yang sama justru merupakan kebahagiaan bagi orang lain (Riyanto, 2008: 24).

Maka berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kebahagiaan merupakan suasana hati yang nyata dalam diri seseorang yang mampu mengelola perasaannya untuk tetap merasa damai dan nyaman terlepas dari segala situasi yang sedang terjadi. Dalam hal ini ukuran kebahagiaan tersebut tergantung dari pemahaman dan penghayatan setiap pribadi.

a. Kebahagiaan Menurut Kitab Suci

(40)

sebagaimana yang termuat dalam Kitab Suci, sabda bahagia akan diulas secara khusus. ”Sabda bahagia sesuai dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan. Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena hanya Allah dapat memenuhinya” (KGK art: 1718). Dalam arti ini semakin kita jauh melihat ke dalam, maka semakin disadari bahwa Allah memanggil manusia untuk berbahagia. Panggilan menuju kebahagiaan sebagai umat Kristen tertuang dalam sabda bahagia. Umat kristen dipanggil untuk hidup dalam kebahagiaan, dan kerinduan itu pertama-tama datang dari pihak Allah sendiri.

Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan, membahagiakan manusia yang tertindas oleh dosa. Hal itu dilakukan-Nya tidak hanya dengan tindakan dan teladan tetapi juga dengan ajaran. Wejangan-Nya tentang kebahagiaan dapat ditemukan dalam kitab Injil, terutama Injil Santo Matius 5:3-12. Berikut adalah kutipan Sabda bahagia sebagaimana terungkap dalam kotbah Yesus di bukit.

Ayat 3. Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Ayat 4. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.

Ayat 5. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.

Ayat 6. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.

Ayat 7. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.

Ayat 8. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.

Ayat 9. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.

Ayat10. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

(41)

Ayat 12. Bersukacita dan bergembiralah karena upahmu besar di Sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu”.

Kebahagiaan berhubungan dengan Allah. Orang yang dipuji bahagia dalam kotbah itu adalah orang yang berhubungan dekat dengan Allah. Orang itu miskin di hadapan Allah (ayat 3). Miskin di hadapan Allah arti aslinya adalah miskin dalam Roh, dalam bahasa Yunani hoi ptokhoi to pneumati. Orang demikian adalah sederhana dan penuh hormat terhadap hal-hal yang rohani. Mereka hidup dalam kerendahan hati karena menyadari bahwa hidup spiritual mereka bukan apa-apa (Leks, 2003: 120). Mereka rendah hati dan tidak menggantungkan dirinya pada hal pemilikan materi. Maka sangat penting menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk diri sendiri merupakan milik Allah. Kesadaran akan segala sesuatu milik Allah menghantar orang semakin dekat dengan Allah itu sendiri. Sikap ini merupakan langkah awal menuju kebahagiaan (Wesley, 2010: 42).

(42)

Berhubungan dengan apa yang telah diungkapkan di atas, orang tersebut suci hatinya (ayat 8). Adapun yang dimaksudkan dengan orang yang suci hatinya adalah orang yang bermotivasi murni dan lurus. Karena kesucian itu keinginaan orang tersebut hanya untuk menyenangkan Allah. Apa yang menjadi kepentingannya dipadukan dengan kepentingan Allah (Leks, 2003: 124). Kesucian hati membuat orang memiliki pandangan yang jernih dan jelas, sehingga orang mampu melihat Allah dibalik segala sesuatu ( Anand Krisna, 2001: 32). Maka orang demikian mengalami persekutuan dengan Allah yang membuat ia mampu melihat Allah melalui hal-hal yang sangat sederhana sekalipun. Apa yang dilakukan Allah dapat dilihat sebagai kemurahan hati Allah baik untuk dirinya, sesama dan dunianya (Wesley, 2010: 78).

Orang yang suci hatinya ini dapat juga dikatakan sebagai orang yang lapar dan haus akan kebenaran (ayat 6). Kebenaran adalah apa yang dikehendaki Allah untuk dilakukan. Kebenaran juga ada dalam diri manusia yaitu ketika orang menyadari keilahian dalam dirinya sendiri. Untuk mengalami kesadaran itu orang harus berkorban banyak dengan tidak mau berkompromi dengan sesuatu yang nilainya rendah, kecuali kebenaran itu sendiri. Maka orang tersebut akan selalu instrospeksi atau bertanya diri apa yang dikehendaki Tuhan untuk dia lakukan. Orang tersebut akan menemukan apa yang dirindukannya (Leks, 2003: 122; bdk Anand Krisna: 2001: 29).

(43)

Yesus itu sendiri. Orang berdukacita karena menyadari bahwa tidak mengalami kehadiran Allah, hidupnya berlalu tanpa mengalami Allah. Dukacita karena alasan demikian akan mendapat hiburan dari Dia sendiri, dan tidak mencari hiburan duniawi (Anand Krisna, 2001: 24).

Dengan penghiburan yang diterima dari Tuhan sendiri tidak berarti bahwa orang tidak akan pernah mengalami pengalaman jatuh lagi. Perlu tetap disadari bahwa semua perihal dukacita dan kemiskinan roh merupakan kebodohan bagi dunia. Hal ini sekaligus menjadi kekuatan dan penghiburan bagi mereka yang berdukacita karena Allah ( Wesley, 2010: 52).

Kebahagiaan karena dekat dengan Allah, menggantungkan hidup pada Allah dan terarah kepada Allah, membuat orang akan membawa damai dalam relasi dengan sesama. Karena itu membawa damai menjadi identitasnya sebagai anak Allah (ayat 9). Pembawa damai adalah orang yang melakukan hal yang baik kepada orang lain dalam segala kesempatan. Perbuatan baik tidak terbatas pada orang tertentu dan iman tertentu, tetapi juga terhadap dunia sekitarnya bahkan musuhnya sendiri. Menyediakan waktu dan membeli setiap kesempatan, karena semua orientasinya seolah-olah untuk Tuhan bukan untuk manusia. Sikap yang demikian dipakai Allah dalam pekerjaan iman dan kasih maka mereka disebut anak-anak Allah (Wesley, 2010: 82-84).

(44)

hidupnya di atas bumi ini sehingga seluruh isi bumi pun ikut berpihak kepadanya. Maka orang tersebut hidup harmoni dengan bumi, tanpa ada pertentangan (Leks, 2003: 122; bdk. Anand Krisna, 2001: 26).

Orang yang bersikap seperti yang telah dijelaskan di atas akan memperoleh kemurahan(ayat 7). Orang yang murah hati mengalami kebahagiaan karena memperoleh kemurahan. Sikap murah hati berarti sikap mengasihi orang lain seperti dirinya sendiri. Kasih menghantar orang semakin rendah hati, dan menghancurkan kecongkakan. Tindakan kasih yang dilakukan merupakan ungkapan kemuliaan Allah, sehingga segala kesulitan yang ia tanggung tidak menghancurkan kasihnya, justru bagi dia kasih merupakan bukti untuk semua. Maka dengan sendirinya ia menerima kemurahan ribuan kali lipat. Sabda Yesus dalam perumpamaan talenta, menyatakan bahwa jika seorang hamba memanfaatkan talenta, maka semakin besar pula ditambahkan kepadanya. Ini sungguh menjadi alasan untuk berbahagia, karena ia akan menerima lebih daripada yang telah diberikannya (Wesley, 2010: 54-58).

(45)

Tidak jarang karena memberi kesaksian tentang Yesus, timbul pertentangan bahkan pemberitaan yang jahat dari dunia. Ketika mengalami penganiayaan dan tetap bertahan dalam penganiayaan tersebut demi iman, mereka akan sungguh berbahagia. Yesus sendiri menerima penganiayaan dari orang-orang yang mau diselamatkan dan dibahagiakan oleh-Nya. Dalam situasi itu, Dia tetap kuat karena berdamai dengan Bapa-Nya. Maka berbahagialah orang yang tetap setia ketika mengalami hal yang sama dengan yang dialami Yesus. Hal itu akan menghantar dia kepada kebahagiaan bersama Yesus (bdk. Wesley, 2012: 35-93).

Sabda bahagia yang telah diulas secara sederhana di atas, menunjukkan bahwa kebahagiaan pada akhirnya adalah ikut mengalami apa yang dialami oleh Yesus sendiri. Kebahagiaan yang termuat dalam kotbah di bukit, mengarah pada konsekuensi akan iman kepada Yesus Kristus. Sehingga orang yang mengalami apa yang dialami oleh Yesus, akan menjadi seperti Yesus sendiri. Dapat dikatakan bahwa kebahagiaan merupakan persatuan dengan Dia yang menganugerahkan kebahagiaan itu sendiri.

Selain kebahagiaan yang terungkap dalam sabda bahagia, beberapa kebahagiaan lain juga terungkap dalam kutipan Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Berikut adalah beberapa kutipan tentang kebahagiaan berdasarkan kutipan dari Alkitab.

1) Amsal 28:15

Berbahagialah orang yang senantiasa takut akan Tuhan, tetapi orang yang mengeraskan hatinya akan jatuh ke dalam malapetaka.

(46)

orang tersebut ada pada perintah Tuhan itu sendiri maka perintah tersebut sungguh dijaga dan dipelihara dalam diri serta sungguh menghormatinya. Tetapi orang yang tidak suka dan tidak memelihara perintah Tuhan tidak akan mendapatkan kebahagiaan.

2) Yohanes 20:29

Kata Yesus kepadaNya: ”Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya”.

Kepercayaan kepada Tuhan membawa kebahagiaan karena terlaksana apa yang dikehendaki Tuhan dalam dirinya. Percaya walaupun tidak melihat dengan mata kepala sendiri, itu merupakan anugerah. Hal ini terjadi karena orang tersebut bersedia membuka hatinya kepada Allah. Rahmat ini lebih istimewa dibandingkan dengan orang yang percaya setelah ia dapat melihat secara fisik.

3) Mazmur 65:5

Berbahagialah orang yang Engkau pilih dan yang Engkau suruh mendekat untuk diam di pelataran-Mu kiranya kami menjadi kenyang dengan segala yang baik di rumahMu, di bait-Mu yang kudus

Hidup bersama dengan Allah mengalami kebahagiaan karena hidup dalam kelimpahan. Segala yang baik ada di dalam Tuhan sendiri dan itulah yang memuaskan mereka. Hal ini nyata bagi orang-orang pilihan Allah.

4) Kis 20:35

Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus sebab Ia telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima

(47)

memberi akan ditambahkan kepadanya, sebagaimana perumpamaan talenta (bdk Mat 25:29). Artinya, kita memberi karena kita sudah menerima sebelumnya. Pada akhirnya kita memang diberi untuk memberi.

5) Yak 1:2-3

Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.

Pencobaan yang dialami merupakan suatu kebahagiaan sebab hal itu merupakan jalan menuju pemurnian iman. Peristiwa ini juga membuat orang semakin bertekun. Maka pencobaan itu bukan hal yang mesti dihindari, karena ia ibarat jalan menuju pada kesempurnaan. Maka pencobaan itu bukanlah beban tetapi tantangan dari konsekuensi dalam mencapai tujuan.

6) Sir 14:20

Berbahagialah orang yang merenungkan kebijaksanaan serta menimbang-nimbang dengan pengertian.

Merenungkan kebijaksanaan merupakan hal yang membahagiakan, sebab segala kebijaksanaan berasal dari Tuhan. Dengan demikian kebijaksanaan itu menjadi milik orang yang sungguh menaruh perhatian kepada kebijaksanaan itu.

(48)

Akan tetapi rasa bahagia itu merupakan pemberian dari Allah. Sebab kemurahan hati Allah yang membuat manusia mampu mengalami kebahagiaan, walaupun ada unsur usaha yang dilakukan oleh manusia. Hal ini dapat dilihat dari salah satu contoh sikap manusia, yaitu memberi. Manusia mampu memberi jika ia terbiasa melatih dirinya memberi. Namun pada akhirnya memberi menjadi hal yang membahagiakan, karena rahmat Allah yang mengubah hatinya.

b. Kebahagiaan Menurut Pendapat Tokoh-tokoh

Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa pemahaman tentang kebahagiaan sangat luas. Kebahagiaan dapat dipahami dari mentalitas orang dalam menghadapi situasi hidupnya. Berikut adalah pendapat beberapa tokoh terkait dengan pandangan mereka tentang kebahagiaan.

1) Gobind Vashdev

Vashdev adalah seorang pencinta alam dan sekitar dua puluh tahun hidup sebagai vegetarian. Bagi Vashdev, alam merupakan guru yang sangat baik pada manusia sehingga patut dihormati dan dipelihara. Bahkan ia tidak menggunakan sabun, sampo, pasta gigi, atau bahan-bahan yang membebani alam ini.

(49)

tidak perlu mencarinya di luar, bahkan tidak perlu usaha keras (Vashdev, 2012: 228).

Bagi tokoh ini satu-satunya hal yang membuat orang bahagia adalah dengan bersyukur. Kebahagiaan seseorang tergantung dari rasa syukur yang dimilikinya. Bersyukur merupakan kunci membuka pintu kebahagiaan. Namun kenyataanya banyak orang tidak mendapatkan kebahagiaan. Hal ini terjadi karena tidak terbiasa memberi melainkan menerima.

Memberi sama dengan melepaskan, melepaskan artinya bukan melepaskan keinginannya tetapi melepaskan hasilnya, sebab kita tidak dilarang untuk menginginkan atau mengharapkan sesuatu. Melepaskan apa yang diharapkan dan bersyukur atas apa yang telah terjadi.

Dalam kebahagiaan, seseorang akan memperoleh ketenangan, maka rasa takut merupakan hal yang perlu dilepaskan untuk mengalami kebahagiaan. Di dunia ini tidak ada orang yang jahat, melainkan orang yang ketakutan. Takut akan masa depan, hari tua, penghasilan, takut tidak dicintai dan seterusnya dan hal ini membuat manusia tidak bahagia (Vashdev, 2012: 217-231).

2) Andrew Matthews

(50)

Kedewasaan diri dibutuhkan agar bertanggung jawab atas kebahagiaan itu sendiri dan mampu memilih untuk berkonsentrasi dari apa yang kita miliki, bukan yang tidak dimiliki. Yang mengendalikan kita bahagia atau tidak adalah keputusan kita dalam berpikir. Jika mengikuti pikiran yang membahagiakan maka akan bahagia demikian juga sebaliknya (Matthews, 2000: 52).

3) Franz Magniz-Suseno

Magnis Suseno menghubungkan kebahagiaan dengan etika, dari pemikiran Robert Spaemann, seorang filosof Jerman tentang dasar moralitas. Magniz Suseno menganggap pemikiran Spaemann yang mengidentifikasikan kebaikan hati dan persahabatan sebagai fenomena moral paling dasar, serta bagaimana moralitas dapat diketahui secara intuitif dalam pengalaman cinta yang menyatukan kembali kebahagiaan, kewajiban dan kebaikan hati, sebagai sumbangan yang paling penting dalam etika.

Spaemann menelusuri arti kebahagiaan dari sejarah etika, serta menunjukkan arti dan sebab dari etika pada hakekatnya harus eudemonistik berdasarkan pemikiran dari beberapa tokoh berikut.

a) Plato

Menurut Spaemann, Plato sudah merumuskan dengan tepat pertanyaan dasar para filosof tentang “Apa itu yang baik?”. Plato ingin mempertahankan cita-cita kalonkagatgon. Kalon artinya yang baik atau pantas dicari, dan agathon

artinya yang indah atau luhur. Plato berpendapat bahwa kebahagiaan manusia adalah apabila kebahagian tersebut berpatokan kepada Yang Baik. Antara kalon

(51)

keterpisahan. Artinya bahwa kebahagiaan itu merupakan keutamaan. Plato ingin memperlihatkan bahwa yang indah, juga baik untuk dirinya sendiri. Hal ini tidak berkaitan dengan kebiasaan manusia, melainkan merupakan kepentingan manusia yang bersifat luhur. Bagi yang mencintai kebijaksanaan, tak ada perpisahan sama sekali antara yang baik pada diri sendiri dan yang baik baginya (Magnis,2005: 247). Artinya adalah bagi orang bijaksana akan mampu memahami segala sesuatu yang baik dan luhur untuk dirinya.

b) Aristoteles

Menurut Aristoteles, hidup yang bijaksana adalah hidup yang menghasilkan kebahagiaan atau eudaimonia, dan kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia adalah theoria yaitu memandang hal-hal yang abadi. Etika Aristoteles adalah etika seorang yang realistis. Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan yang dialami manusia dalam hidup bersama selalu hanya bersikap kurang lebih. Karena manusia tidak dapat menghasilkan kebahagiaan yang sebenarnya tetapi hanya dapat mendekatinya. Hal ini desebabkan karena dalam hidup tidak ada yang abadi baik kesuksesan maupun kegagalan (Magnis, 2005: 249).

c) Stoa

(52)

kebahagiaan atau sesuatu yang dapat diasimilasikan secara “stoikal”, jalan terkahir yang dilakukan untuk mempertahankan ataraxia adalah dengan bunuh diri. Dalam etika Stoa bunuh diri adalah pilihan terakhir yang paling rasional untuk bahagia (Magnis, 2005: 249). Artinya lebih baik tidak mengalami kehidupan daripada menghidupi yang tidak dihendaki, cara menghindari apa yang tidak dikehendaki dengan mengahiri hidup itu sendiri.

d) Epikorus

Menurut Spaemann, ketajaman pemikiran Epikuros sangat menentukan letak persoalan dasar kebahagiaan. Epikuros yang adalah seorang tokoh hedonis mempunyai pemikiran yang canggih dengan cita-cita apathia, yaitu suatu keadaan dimana kita tidak menderita.

Epikuros menyadari bahwa dengan menjadi seorang hedonisme yang mencari kenikmatan sebanyak-banyaknya, tidak akan menghasilkan kebahagiaan jika masih terkekang faktor waktu masa lalu dan masa depan. Patokan Epikuros adalah berpeganglah pada saat ini. Lupakan masa lampau yang sering membuat kita merasa sedih, dan jangan pikirkan masa depan yang sering membuat kita merasa takut, artinya hiduplah semata-mata untuk saat ini (Magnis, 2005: 248) e) Etika Kristiani

(53)

menjamin kita hidup bermoral. Maka hidup bermoral di dunia terletak pada kebahagiaan di alam sana sebagai ganjaran.

Titik tolak kritik Spaemann adalah masukan dari dua filosof. Yang pertama adalah Leibniz yang menunjuk pada cinta kasih: cinta adalah delectatio in felicitate alterius, “kebahagiaan karena kebahagiaan orang lain”. Filosof kedua yaitu Aristoteles yang mengatakan bahwa puncak kebahagiaan dialami manusia dalam persahabatan.

Cinta adalah kebahagiaan dalam kebahagiaan dia yang dicintai. Artinya letak kebahagiaan nyata dalam relasi persahabatan. Cinta tidak egoistik, karena tindakan cinta yang membahagiakan adalah demi yang dicintai bukan yang mencintai. Cinta adalah kebahagiaan tertinggi tetapi tidak mementingkan diri sendiri dan jauh melebihi segala pertimbangan kewajiban. Hal ini membuat kita menyadari akan kewajiban terhadap yang dicintai. Pengalaman cinta adalah pengalaman kehidupan yang berhasil. Apa yang memotivasi tindakan moral-cinta adalah sekaligus apa yang menjadi pemenuhannya dipikirkan sebagai kebahagiaan (Magnis, 2005: 252-254).

(54)

4) Gede Prama

Gede prama adalah seorang pecinta keheningan, dan seorang vegetarian. Gede Prama seorang meditatif tetapi juga seorang penulis yang telah banyak menerbitkan buku dan menulis ribuan artikel. Dari sekian banyak tulisannya ia mengupas salah satu secara lebih dalam tentang kebahagiaan.

Menurut Gede Prama kebahagiaan tidak pernah terlepas dari penderitaan. Bahkan Gede Prama pernah mengungkapkan bahwa orang tidak akan dapat mengenal kebahagiaan jika tidak pernah mengenal penderitaan.

Gede Prama membagi kebahagiaan menjadi dua, yaitu kebahagiaan yang berakar ke luar dan kebahagiaan yang berakar ke dalam. Kebahagiaan yang berakar ke luar biasanya dicari melalui hal-hal yang berupa materi, seperti uang, rumah, profesi dan sebagainya. Dengan tercapainya hal-hal tersebut, kebahagiaan yang berakar ke luar dapat segar dan berbuah. Namun ketika musim layu tiba, yaitu ketika hal-hal tersebut tidak tercapai maka kebahagiaan itu juga segera hilang. Kebahagiaan jenis ini cepat layu dan diterbangkan oleh angin kehidupan itu sendiri.

(55)

dengan kebahagiaan yang tanpa melewati kesedihan. Maka sesungguhnya kebahagiaan berhutang pada kesedihan (Gede Prama, 2007: 40-46).

Sehingga bisa dimaklumi kenapa kebahagiaan jadi barang langka di jaman ini, karena manusia di dalamnya serba penuh (ego, keinginan, kebencian, kemarahan, permusuhan, persaingan). Disinari cahaya-cahaya bambu seperti inilah, kemudian layak dipertimbangkan untuk lebih menggali sumber-sumber kebahagiaan di dalam. (Gede Prama, 2007: 47).

Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa kenyataannya pada jaman sekarang, banyak orang tidak sampai pada kebahagiaan walaupun telah mengalami kesedihan dan air mata. Hal ini karena orang tersebut belum mengosongkan dirinya. Ia lebih memilih untuk egois pada dirinya sendiri, artinya semangat matiraga masih sangat jauh dan lebih dikuasai oleh nafsu belaka. Maka kesedihan tersebut malah dilampiaskan dengan kebencian, kemarahan, frustrasi, sakit hati, bahkan tidak sedikit orang mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.

Ada beberapa hal yang dapat menghantar kesedihan menjadi kebahagiaan. Pada situasi sekarang manusia tetap mengalami kegelisahan jika ada orang yang melebihi dirinya, khususnya yang berkaitan dengan harta duniawi. Namun akan melelahkan jika selalu berusaha untuk lebih dari orang lain. Karena sekaya apapun orang tersebut, dia tetap merasa miskin. Sangat dibutuhkan untuk berkata cukup pada diri sendiri serta mengarahkan pikiran secara bijaksana, agar kebahagiaan bukan lagi jadi hal yang langka dalam hidup. Dengan demikian meskipun miskin, orang akan tetap merasa cukup bahkan merasa berkelimpahan.

(56)

tidak sedikit orang yang berharap, justru menjadi putus asa karena apa yang dia harapkan tidak menjadi kenyataan. Maka dalam hal ini mengelola harapan artinya menempatkan harapan sebagai sumber energi. Kita tetap memiliki harapan namun membebaskan diri dari hasil yang diharapkan dengan menerima kenyataan sekarang, bukan apa yang diharapkan sebelumnya (Gede Prama, 2007:53-59).

Berdasarkan pandangan dari tokoh-tokoh di atas dapat disimpulkan tentang kebahagiaan sebagai berikut:

1) Kebahagiaan itu terletak dari rasa syukur dan melepaskan diri dari rasa takut serta membiasakan diri untuk memberi. Kebahagiaan itu sangat sederhana, tapi banyak orang tidak bahagia karena tidak terbiasa memberi.

2) Kebahagiaan adalah sebuah keputusan dari cara kita berpikir. Jika berpikir yang membahagiakan akan bahagia, demikian juga sebaliknya. Namun mengusai pikiran tidak mudah dan membutuhkan latihan.

3) Kebahagiaan merupakan suatu tindakan yang disadari untuk membahagiakan yang dicintai bukan sekedar tangungjawab moral melainkan jauh melebihi segala pertimbangan kewajiban. Hal ini diwujudkan dalam persahabatan sebagai puncak kebahagiaan manusia. Cinta yang dimaksudkan di sini tidak egoistik melainkan tindakan cinta yang membahagiakan demi yang dicintai bukan yang mencintai.

(57)

maka perlu diolah supaya pengalaman sulit tidak mengantar pada sikap putus asa melainkan pengalaman yang membahagiakan.

C.Kebahagiaan Sejati Fransiskan

Kebahagiaan sejati Fransiskan berpangkal pada kebahagiaan sejati St. Fransiskus dari Assisi. Kebahagiaan Fransiskus seharusnya menjiwai para pengikutnya dalam menjalani hidup sebagai religius Fransiskan. Kebahagiaan sejati dialami oleh St. Fransiskus sebagai buah dari proses panjang dalam pencarian kebahagiaan hidup. Dalam proses panjang itu Tuhan menuntun Fransiskus untuk bersatu dengan-Nya dalam Yesus Kristus yang merendah. Kesatuan itulah yang membahagiakan dia secara mendalam yang disebut dengan kebahagiaan sejati. Berikut adalah proses pencarian kebahagiaan yang dialami St. Fransiskus.

1. Masa Muda Santo Fransiskus

(58)

berpesta dengan teman-temannya dan ia sendiri menjadi pemimpin dalam kelompok itu.

Fransiskus merasa bahagia dengan hidup seperti itu, sering disanjung, dipuji-puji. Jelas bahwa kebahagiaan seperti itu berkaitan erat dengan kedudukan, atau kehormatan, kekayaan yang membuatnya bisa berpesta pora dengan teman-temanya. Tentu kebahagiaan yang demikian merupakan kebahagiaan yang dapat diusahakan, dikerjakan, diraih oleh manusia (Celano, 1981: 2-3; bdk. Groenen, 2000: 32).

Fransiskus semakin berpikir untuk mendapatkan kebahagian yang lebih mendalam, lebih bertahan lama yang dapat memuaskannya. Ia membayangkan bahwa kebahagiaan seperti itu akan diraih kalau ia menjadi ksatria atau pahlawan. Kesempatan untuk itupun tiba, ketika terjadi peperangan dengan kota tetangga, Perugia; karena media untuk menjadi kesatria adalah perang dan menang. Akan tetapi pada perang tersebut kota Assisi yang kalah maka Fransiskus dan kawan-kawannya menjadi tawanan perang dan dipenjara di Perugia.

(59)

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kebahagiaan yang dipahami Fransiskus pada masa mudanya berkaitan dengan apa yang dimiliki. Kebahagiaan merupakan hasil yang diperoleh manusia, seperti materi, kekayaan, kedudukan atau kekuasaan. Artinya bahwa kebahagiaan itu juga, tergantung pada kondisi hidup manusia itu sendiri.

2. Tuhan Menuntun Fransiskus Menuju Kebahagiaan Sejati

Thomas dari Celano, salah satu dari penulis-penulis biografi St. Fransiskus Assisi, berkata bahwa Tuhan campur tangan dalam kegagalan Fransiskus menjadi kesatria. Celano berkata bahwa Tuhan mengendalikan mulutnya, menyerbu inderanya, mendatangkan kegelisahan batin dan gangguan badani. Tuhan mengendalikannya justru supaya ia tidak binasa dan sebaliknya mau menuntun dia mencapai kebahagiaan sejati melalui jalan yang diinginkan Tuhan yaitu menjadi alat untuk mewartakan kemuliaan-Nya. Tentu saja campur tangan dan rencana Allah ini tidak diketahui oleh Fransiskus (Celano, 1981: 1-4). Karena kehadiran Allah tidak dapat dilihat dan didengar oleh telinga dan mata secara fisik.

(60)

yang berkata “Pulanglah ke tempatmu, di sana akan dikatakan kepadamu apa yang harus kaubuat” (Groenen, 2000:37). Maka Fransiskus kembali ke Assisi dengan gembira karena berharap bahwa kehendak Tuhan akan tersingkap baginya untuk kebahagiaannya.

Pada suatu ketika Fransiskus, tiba-tiba bertemu dengan orang kusta. Biasanya ia merasa jijik dan mau melempar uang saja kepada orang kusta, lalu melarikan diri. Tetapi tiba-tiba timbul keinginan dari dalam dirinya untuk mencoba merasakan kesusahan seperti orang kusta. Ia turun dari kuda, bergerak menuju orang kusta dan melepaskan uang pada tangannya yang tak berbentuk, dan Fransiskus merasakan sesuatu yang lain dalam dirinya. Pada saat itu Fransiskus sungguh merasakan hakekat kekristenan: Fransiskus dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap orang, bahkan dalam diri orang yang menderita, seperti orang kusta tersebut. Dalam wajah orang-orang menderita Fransiskus mampu melihat Tuhan sendiri. Karena itu memberi sedekah saja rasanya tidak cukup, maka ia memberikan ciuman damai (Groenen,2000:47-51; bdk. Celano,1981:14-15).

Kebahagiaan dalam kemanisan persaudaraan Kristiani-Injili ini terekam kuat dalam hati dan ingatan Fransiskus sampai akhir hidupnya. Hal itu tertuang dalam Wasiatnya yang didiktekannya beberapa saat sebelum meninggalnya. Peristiwa misterius itu dilihatnya sebagai pembalikan tata nilai: yang dahulu pahit, sekarang menjadi manis (Ladjar, 2006: 193).

(61)

orang. Ketika Fransiskus masuk untuk berdoa, Fransiskus berada persis didepan Salib. Secara tiba-tiba Fransiskus merasa lain. Ia melihat gambar Kristus yang tersalib memanggilnya. “Fransiskus, pergilah, perbaikilah rumahku, yang hampir roboh”. Fransiskus sangat terkejut dan takut. Sejak saat itu dalam hatinya timbul rasa iba pada Dia yang tersalib. Allah yang dialami St. Fransiskus di Kapel San Damiano adalah Allah yang bersuara dan berwajah Yesus Kristus yang tersalib. Dengan suka cita ia mengambil kain-kain dari tokoh ayahnya dan bersama kudanya dijualnya di Foligno, lalu seluruh uang diberikan kepada pastor di gereja tua itu (Groenen, 2000: 52-53)

Setelah peritiwa kedua di atas perjumpaan dengan orang kusta dan mendengar suara dari salib, maka di depan Uskup Assisi dan ayahnya, dalam sebuah Pengadilan Gereja, Fransiskus menegaskan pilihan hidup selanjutnya. Adapun pilihan hidup yang ditegaskan Fransiskus yaitu mengabdi Allah saja. Pada saat itu Fransiskus berkata demikian: Dengarlah kalian semua, sampai sekarang Pietro Bernardone adalah ayah saya, tetapi selanjutnya, Bapa kami yang ada di surga. Lalu setelah dikenakan uskup mantol kepada Fransiskus, karena ia telah melepaskan semua pakaian di badannya, ia berlari ke dalam hutan sambil bernyanyi gembira, memuji Allah. Ia berbahagia secara mendalam, justru ketika ia melepaskan semua yang diandalkannya selama ini yaitu materi, uang, kekuasaan, kemuliaan, dan hanya mengandalkan Bapa di surga (Groenen, 2000: 65-67).

(62)

Fransiskus bersorak kegirangan dan berkata: “Inilah yang kucari, inilah yang akan kulakukan dengan dengan segenap hatiku” (Celano, 1981: 18). Walaupun Fransiskus telah membuat keputusan di depan uskup Assisi yang telah diungkapakan di atas, sesungguhnya ia belum tahu bagaimana bentuk kehidupan pengabdian kepada Allah. Fransiskus telah mencoba hidup di beberapa biara, tetapi merasa bahwa bentuk kehidupan itu tidak cocok baginya. Akan tetapi setelah penjelasan yang didengarnya pada pesta Rasul Matias tersebut Fransiskus tahu apa yang harus dilakukannya. Maka Fransiskus berkeliling mewartakan Kerajaan Allah dan pertobatan tanpa membawa apa-apa sebagai bekal hidup. Ia sangat bergembira dengan penemuan ini dan dilaksanakannya tanpa menunda-nunda.

Dari penyampaian singkat proses panjang pertobatan Fransiskus di atas jelas bagaimana Allah menuntun Fransiskus secara tahap demi tahap menuju kebahagiaan sejati. Secara singkat dapat dipaparkan sebagai berikut

a) Di Spoleto Allah menuntun Fransiskus dengan dengan seruan untuk tidak meneruskan ambisinya menjadi pahlawan perang dan menyuruh dia kembali ke Assisi. Ia kembali ke Assisi dengan gembira sambil mengharapkan bahwa rencana Tuhan baginya akan tersingkap di Assisi.

(63)

c) Fransiskus segera menempatkan diri pada undangan Kristus tersalib: “Fransiskus, pergilah perbaikilah rumahku, yang hampir roboh “. Dengan suka cita ia mengambil kain-kain dari toko ayahnya dan bersama kudanya dijualnya di Foligno, lalu seluruh uang diberikan kepada pastor di gereja tua itu. Fransiskus sungguh menanggapi suara tersebut secara harafiah.

d) Keputusan definitif di depan uskup untuk mengandalkan Allah saja dan ketika melepaskan semua andalan duniawi justru membuat Fransiskus mengalami kegembiraan yang mendalam. Kebahagiaan Fransiskus terletak pada Persatuan dengan Allah sebagai jaminan kebahagiaan sejati.

e) Setelah mendapatkan penjelasan pastor tentang Injil yang dibacakan pada pesta Rasul Matias Fransiskus bersorak gembira: “Inilah yang kucari, inilah yang ingin kulakukan dengan segenap hatiku”. Ia sangat bergembira karena ia menemukan bentuk dan cara untuk mengabdi kepada Allah.

3. Kebahagiaan Sejati Fransiskus

Gambar

Tabel 3.1  Keberadaan Para Suster Yunior FSE
Tabel 3.2 Variabel penelitian
Tabel 3.3
Tabel 3.3 berisi tentang hasil wawancara dengan 20 responden.
+7

Referensi

Dokumen terkait