• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Jus at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Jus at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pola Asuh

Pola pengasuhan anak adalah pengasuhan anak dalam pra dan pasca kelahiran, pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhan bermain (Hamzat A, 2000). Menurut Jus’at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial.

Pengasuhan anak adalah aktivitas yang berhubungan dengan pemenuhan pangan, pemeliharaan fisik dan perhatian terhadap anak (Haviland,1988 dan Bahar, 2002). Berdasarkan pengertian tersebut "pengasuhan" pada dasarnya adalah suatu praktik yang dijalankan oleh orang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan/gizi, perawatan dasar (termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau tempat yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih, 1995).

Secara spesifik Latham (2007) mendefinisikan pola pengasuhan anak balita sebagai perilaku pengasuhan yang meliputi pemberian ASI, diagnosa penyakit, pemberian makanan tambahan, stimulasi bahasa dan kemampuan kognitif lainnya serta pemberian dukungan emosional pada anak.

(2)

2.1.1. Peranan Ibu dalam Pola Asuh

Peranan pengasuhan pertama kali diindentifikasi dalam Joint Nutrition Support Program in Iringa, Tanzania dan kemudian digunakan pada berbagai studi PD di berbagai negara. Peranan determinan pola asuhan terhadap pertumbuhan bayi cukup besar, dimana pola asuhan yang baik dapat meningkatkan tingkat kecukupan gizi dan kesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan bayi (Engel, 1996).

Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak berupa sikap dan praktik pengasuhan ibu dalam kedekatannya dengan anak, merawat, cara memberi makan serta kasih sayang. Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai kelompok sosial dan kelompok budaya. Perananan ibu dalam pola asuh juga meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pemberian makanan, mandi, menyediakan dan memakaikan pakaian buat anak. Termasuk di dalamnya adalah monitoring kesehatan si anak, menyediakan obat, dan merawat serta membawanya ke petugas kesehatan profesional. Tambahan lain adalah diterimanya fungsi hiburan, pendidikan, sosialisasi, penerimaan informasi pandangan serta nilai dari pengasuh mereka (O'Connel, 1994 dan Bahar, 2002).

Sesuai dengan yang diajukan oleh Mosley dan Chen 1988 dalam (Bahar, 2002) pengasuhan anak meliputi aktivitas perawatan terkait gizi/penyiapan makanan dan menyusui, pencegahan dan pengobatan penyakit, memandikan anak, membersihkan pakaian anak, membersihkan rumah. Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat penting karena akan memengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola

(3)

pengasuhan anak berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan, sikap dan praktik tentang pengasuhan anak (Suharsih, 2001).

International Conference on Nutrition (1992) mendefinisikan pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam tumbuh kembang anak dan anggota keluarga lainnya (Engel et al. 1996).

2.1.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Asuh Gizi

Menurut Zeitlin (1990) keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan pengolahan makanan yang bergizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan aktivitas. Masalah gizi yang merupakan masalah kesehatan masyarakat, dipengaruhi beberapa faktor antara lain : penyakit infeksi, konsumsi makanan, tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi, pelayanan kesehatan, budaya pantang makanan, dan pola asuh gizi. Selain itu status gizi juga dapat dipengaruhi oleh praktik pola asuh gizi yang dilakukan dalam rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.

Faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh gizi menurut Farida, dkk (2004) antara lain:

1) Tingkat pendapatan keluarga

Keadaan ekonomi keluarga relatif lebih mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, dimana konsumsi pangan pada balita ditentukan dari pola

(4)

asuh gizi, terutama pada keluarga golongan miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan.

Perubahan pendapatan dapat memengaruhi perubahan pola asuh gizi yang secara langsung memengaruhi konsumsi pangan pada balita. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan penurunan kuantitas pangan yang dibeli (Farida B, dkk 2004).

2) Tingkat pendidikan ibu

Menurut Hadikusumo (2000) yang dikutip dalam Hardianto (2001) tingkat pendidikan adalah jenjang aktifitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) dan jasmani (panca indera dan keterampilan) melalui pendidikan formal. Adapun tingkat pendidikan di negara kita meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik/cara mempraktikkan pola asuh dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana cara menjaga kesehatan anak, pendidikannya dan sebagainya. Semakin tinggi pendidikan ibu

(5)

semakin baik praktik pola asuh dan berdampak baik terhadap status gizi anak (Soetjiningsih, 2005).

Sesuai dengan penelitian Tarigan (2003) yang dikutip dari Turnif (2008) menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya gizi kurang pada anak dengan ibu yang pendidikannya rendah 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan anak dengan ibu yang mempunyai pendidikan tinggi.

3) Tingkat pengetahuan ibu

Menurut Suharjo (2006) suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :

1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan

2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan dan energi

3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi. Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum disetiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Lain sebab yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi, dengan pengetahuan yang kurang dapat menentukan pola asuh gizi yang dilaksanakan sehari-hari yang akhirnya berdampak pada status gizi anak.

(6)

Berdasarkan penelitian Turnif (2008) di Kecamatan Sidikalang menyebutkan bahwa dari 64 ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik terdapat 92,05% memiliki anak dengan status gizi baik. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu status gizi anak juga semakin baik.

4) Jumlah anggota keluarga

Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap pembagian pangan pada masing-masing anggota keluarga (Chaterine Lee, 1989). Pada keluarga yang memiliki balita, dengan jumlah anggota keluarga yang besar bila tidak didukung dengan seimbangnya persediaan makanan di rumah maka akan berpengaruh terhadap pola asuh yang secara langsung memengaruhi konsumsi pangan yang diperoleh masing-masing anggota keluarga terutama balita yang membutuhkan makanan pendamping ASI.

Program Keluarga Berencana telah mencanangkan bahwa jumlah anggota keluarga yang paling ideal adalah 4 orang. Program pemerintah ini bertujuan agar anggota keluarga dengan jumlah sekian diharapkan dapat lebih memudahkan keluarga tersebut mencukupi semua kebutuhan anggota keluarganya, tanpa menanggung beban kebutuhan anggota keluarganya yang banyak. Namun program pemerintah ini belum 100% berhasil. Terbukti dengan masih banyaknya keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari empat. Hal ini lebih banyak dilihat pada keluarga yang tinggal di pedesaan.

Menurut Sukarni (1994) penelitian di suatu negara Colombia menunjukan bahwa dengan kenaikan jumlah anak, jumlah makanan per orang akan menurun

(7)

sehingga terjadi pertambahan kasus kurang gizi pada anak-anak dibawah lima tahun. Jika jarak kelahiran pendek, akan memengaruhi status kesehatan dan gizi baik bagi bayi yang baru lahir ataupun pada anak sapihan, sehingga angka kematian anak kurang dari dua tahun akan meningkat. Ada pengaruh status gizi anak dan masyarakat pada jumlah keluarga. Dengan adanya perbaikan status gizi anak dan ibu akan meningkatkan tekanan penduduk sehingga dengan demikian program ditujukan pada pembatasan pertumbuhan penduduk.

5) Budaya pantang makanan

Pola asuh dan pola konsumsi makanan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus-menerus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat tersebut. Pola asuh ini diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi sekarang dan generasi-generasi yang akan datang. Pendapat masyarakat tentang konsepsi kesehatan dan gizi sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan. Salah satu pengaruh yang sangat dominan terhadap pola konsumsi adalah pantangan atau tabu.

Terdapat jenis-jenis makanan yang tidak boleh dimakan oleh kelompok umur tertentu atau oleh perempuan remaja atau perempuan hamil dan menyusui. Larangan ini sering tidak jelas dasarnya, tetapi mempunyai kesan larangan dari penguasa supernatural, yang akan memberi hukuman bila larangan tersebut dilanggar. Namun demikian, orang sering tidak dapat mengatakan dengan jelas dan pasti, siapa yang melarang tersebut dan apa alasannya (Sediaoetomo, 1999).

(8)

Sesuai dengan hasil penelitian Harnany (2006) menyebutkan bahwa sebanyak 60,8% ibu hamil di kota Pekalongan masih melaksanakan praktek tabu makanan yang merupakan sumber protein hewani seperti cumi, udang, ikan sembilan, lele (semua ikan yang berpatil) dan juga buah serta sayuran seperti nenas, durian, jantung pisang. Adanya budaya pantang makan akan memengaruhi pola konsumsi makanan, dimana zat-zat gizi tertentu tidak terpenuhi yang mengakibatkan kekurangan gizi seperti kurang energi dan protein (KEP).

Terdapat beberapa elemen di dalam pola pengasuhan anak terutama peran ibu dalam mengasuh anak yang akan menentukan tumbuh kembang anak. Perilaku ibu dalam menyusui atau memberi makan, cara makan yang sehat, memberi makanan yang bergizi dan mengontrol besar porsi yang dihabiskan akan meningkatkan status gizi anak. Beberapa elemen di dalam pola pengasuhan anak menurut Zeitlin (1990) yang dikutip dalam Husaini (2000) sebagai berikut :

1. Pengasuhan Makan Anak

Untuk kebutuhan pangan/gizi, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam mengatur dietnya selama kehamilan, masa neonatal berupa pemberian ASI, menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak. Status sakit, pola aktivitas, asupan gizi rendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan anak melalui status gizi ibu (pengasuhan makanan anak terdiri atas hal yang berhubungan dengan menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak).

(9)

Pengasuhan makanan anak fase 6 bulan pertama adalah pemenuhan kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk pemberian ASI atau makanan pendamping/pengganti ASI pada anak. Dinyatakan cukup bila diberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensi kapan saja anak minta dan dinyatakan kurang bila tak memenuhi kriteria tersebut. Pengasuhan makanan anak pada fase 6 bulan kedua adalah pemenuhan kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu, dinyatakan cukup bila anak diberikan ASI plus makanan lumat yang terdiri dari tepung-tepungan dicampur susu, dan atau nasi (berupa bubur atau nasi biasa) bersama ikan, daging atau putih telur lainnya ditambah sayuran (dalam bentuk kombinasi atau tunggal) diberi dalam frekuensi sama atau lebih 3 x per hari, dan kurang bila tidak memenuhi kriteria tersebut (Bahar, 2002).

Menurut Agus (2001), pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat.

Berdasarkan penelitian Perangin-angin (2006), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara praktik pemberian makan dengan status gizi anak. Dari 36 anak yang mempunyai status gizi baik terdapat 26 anak (72,2%) dengan praktik pemberian makan yang baik dan 10 anak (27,8%) dengan praktik pemberian makan yang tidak baik.

Pada prinsipnya pemberian makanan kepada bayi bertujuan untuk mencukupi zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi. Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), jumlah zat gizi terutama energi dan protein yang harus dikonsumsi bayi usia

(10)

6-12 bulan adalah 650 Kalori dan 16 gram protein. Kandungan gizi Air Susu Ibu (ASI) adalah 400 Kalori dan 10 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 6 gram protein, sedangkan kebutuhan gizi anak usia 12 – 24 bulan adalah sekitar 850 Kalori dan 20 gram protein. Kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 Kalori dan 8 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gram protein (Depkes RI, 2006). Berikut adalah jadwal pemberian makanan berupa ASI dan MP-ASI bagi anak usia 0 – 23 bulan :

Tabel. 2.1. Jadwal Pemberian ASI dan MP-ASI

Umur Macam Makanan Berapa Kali Sehari

0 - 6 bulan ASI Sesuka bayi

6 - 7 bulan ASI dan bubur susu/ jus buah

Sesuka bayi

2 kali 40-50 g bubuk 1-2 kali 50 – 100 ml 7 – 9 bulan ASI dan

Bubur susu/ Nasi tim Jus buah Sesuka bayi 2 kali 40 – 50 g bubuk 1 kali 40 – 50 g bubuk 1 – 2 kali 50 – 100 ml 9 - 11 bulan Mulai dengan bubur

halus, lembut, cukup kental, dilanjutkan bertahap menjadi lebih kasar

2-3 kali/ hari, ASI tetap sering diberikan tergantung nafsu makannya, dapat diberikan 1-2 kali

11-12 bulan Makanannya dicincang halus atau disaring kasar, ditingkatkan semakin kasar sampai makanan bisa dipegang

3-4 kali/ hari, ASI tetap diberikan. Tergantung nafsu makannya, dapat diberikan 1-2 x selingan

12-23 bulan Makanan keluarga, bila perlu masih dicincang atau di saring kasar

3-4 x/ hari, ASI tetap diberikan. Tergantung nafsu makannya, dapat diberikan 1-2 x selingan Sumber : (Pudjiadi, 2005).

(11)

2. Pengasuhan perawatan dasar anak

Pengasuhan perawatan dasar anak meliputi perawatan terhadap anak sakit dan perawatan pencegahan agar anak tidak jatuh sakit. Untuk itu diperlukan kemampuan ibu untuk mengenali dan merawat anak yang sakit. Termasuk kemampuan mengenali penyakit menjadi progresif yang butuh perawatan lanjut. Kemampuan merawat penyakit dimaksudkan sebagai kemampuan merawat ISPA dan diare, dua penyakit yang sering menyerang anak (Bahar, 2002).

Sulistijani (2001) mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut :

1. Mandi 2 kali sehari.

2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan. 3. Makan teratur 3 kali sehari.

4. Menyikat gigi sebelum tidur.

5. Buang air kecil pada tempatnya / WC.

Awalnya mungkin anak keberatan dengan berbagai latihan tersebut. Namun dengan latihan terus-menerus dan diimbangi rasa kasih sayang dan dukungan orang tua, anak akan menerima kebijaksanaan dan tindakan disiplin tersebut. Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang terdekat.

(12)

Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap penyakit seperti flu, diare atau penyakit infeksi lainnya. Jika anak sering menderita sakit dapat menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa penyebab seorang anak mudah terserang penyakit (Soetjiningsih, 1995), yaitu :

1. Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu makan menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan terhadap penyakit

2. Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan dan perilaku yang sehat

3. Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak oleh karena itu perlu memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak secara teratur sesuai dengan tahapan usianya dan segera memeriksakan kedokter jika anak menderita sakit.

Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat memengaruhi status gizi anak kearah membaik. Status kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk menjaga status gizi anak, menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta yang dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Status kesehatan ini meliputi hal pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit.

Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara memerhatikan keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak

(13)

berada, serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak apabila anak sakit. Jika anak sakit hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain (Zeitlin et al, 1990).

3. Pengasuhan higiene perorangan anak dan kesehatan lingkungan

Pengasuhan anak dari aspek higiene perorangan, kesehatan lingkungan dan keamanan anak berkenaan dengan kemampuan ibu menjaga anak agar tetap segar dan bersih, anak mendapat lingkungan yang sehat, serta terhindar dari cedera atau kecelakaan. Untuk itu dibutuhkan kemampuan orang tua untuk memandikan anak. Menjaga kebersihan pakaian bayi dan membersihkan bagian tubuh anak, ganti popok ketika akan tidur malam hari. Dibutuhkan pula kemampuan ibu untuk menjaga kebersihan pada tempat tidur anak, kamar anak dan lingkungan tempat anak diasuh. Diperlukan kemampuan ibu untuk mencegah anak dari terkena luka dan kecelakaan. Praktik pengasuhan higiene perorangan anak terkait perhatian khusus pada kebersihan daerah lipatan kulit, daerah anogenital (terutama tiap selesai berkemih atau buang air besar), kebersihan kuku dan gigi (bagi anak yang telah tumbuh gigi). Perhatian juga ditujukan pada kebersihan tali pusat, apakah sudah mengering atau malah infeksi (tali pusat lazimnya mengering 24 jam dan akan lepas 4-10 hari). Higiene perorangan anak juga meliputi perawatan terhadap rambut dan kulit kepala anak. Mungkin ada cradle cap (ekzema dengan kerak kotor di kulit kepala yang dapat dirawat dengan menyabuni kepala atau kerak dilepas dengan memberi oleum cocos). Penjagaan kebersihan mulut anak termasuk perhatian terhadap adanya moniliasis dalam mulut ditandai bercak putih pada mukosa mulut dan atau lidah.

(14)

Lingkungan terdekat yang harus sehat bagi anak adalah tempat tidur anak dan tempat bermain anak. Pada tempat tidur, ada bantal dan kasur serta sarung bantal yang perlu dibersihkan secara rutin. Gunakan kelambu bagi bayi siang maupun malam bila anak tidur, untuk mencegah anak digigit nyamuk (Bahar, 2002).

Widaninggar (2003) menyatakan kondisi lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain anak), pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah/limbah, kamar mandi dan jamban/WC dan halaman rumah. Kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare dan cacingan. Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit saluran pernafasan, saluran pencernaan, serta penyakit yang ditularkan melalui nyamuk. Oleh karena itu penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang anak sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu atau pengasuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan.

Menurut Soetjiningsih (1995), keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya akan menjamin keselamatan dan kesehatan penghuninya yaitu ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tidak sesak, cukup leluasa bagi anak untuk bermain dan bebas polusi.

(15)

2.1.3. Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi

Menurut Soekirman (2000) pola asuh gizi anak adalah sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebabkan anak tidak suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat memudahkan terjadinya penyakit infeksi yang kemudian dapat berpengaruh terhadap status gizi anak.

Pola asuh gizi pada balita terdiri dari praktik pemberian makanan/minuman prelaktal, pemberian kolostrum, pemberian ASI, pemberian MP-ASI dan penyapihan. Savage (2004) menjelaskan adanya hubungan antara praktik pemberian makanan/minuman prelaktal dengan status gizi, yang mana makanan/minuman prelaktal tersebut memang tidak seharusnya diberikan karena saluran pencernaan bayi belum cukup kuat untuk mencerna makanan selain ASI dan apabila dipaksakan dapat menimbulkan terjadinya penyakit infeksi yang dapat memengaruhi status gizi bayi.

Menurut penelitian Hafrida (2004), dari 40 ibu yang diteliti terdapat 30 (75%) ibu dengan pola asuh yang baik mempunyai balita dengan status gizi baik dan 10 (25%) ibu dengan pola asuh tidak baik mempunyai balita dengan status gizi kurang. Kesimpulan yang diperoleh adalah semakin baik pola asuh ibu terhadap anak maka akan semakin baik status gizi anak. Dengan kata lain, jika pola asuh anak di dalam keluarga semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan anak juga akan semakin baik dan akhirnya akan memengaruhi keadaan gizi anak.

(16)

Menurut Suhardjo (2004) kolostrum dapat memengaruhi status gizi balita, karena kolostrum mengandung lebih banyak protein, mineral serta sedikit karbohidrat dari pada air susu ibu sesudahnya. Kolostrum juga mengandung beberapa bahan anti penyakit yang dapat membantu bayi menyediakan kekebalan terhadap penyakit infeksi yang memengaruhi status gizi.

Penelitian yang dilakukan oleh Jauhari (2000) yang dikutip oleh Hafrida (2004), menyatakan bahwa di Jakarta, Bogor dan Lombok Timur terdapat perbedaan kelompok dengan keadaan status gizi kurang dan gizi baik. Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan pola pengasuhan anak. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pemberian kolostrum pada bayi segera setelah lahir dan pemberian ASI saja kepada bayi sampai usia 6 bulan termasuk ke dalam kelompok anak dengan keadaan status gizi baik, sedangkan anak yang sewaktu lahir tidak diberi kolostrum dan sebelum usia 6 bulan sudah tidak diberi ASI lagi ternyata berada dalam keadaan status gizi kurang. Anak-anak yang selalu diupayakan untuk mengonsumsi makanan, mendapatkan respon ketika berceloteh, selalu mendapat senyum dari ibu, keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang mendapat perhatian orang tua.

Konsumsi makanan yang diperoleh bayi umur 0-12 bulan berasal dari pola asuh .gizi yang salah satunya adalah praktik pemberian ASI. ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi dan anak dibawah umur 2 tahun. ASI mengandung zat gizi yang lengkap dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi sampai dengan umur 6 bulan, sehingga ASI adalah makanan tunggal yang seharusnya diberikan kepada bayi

(17)

umur 0- 6 bulan. Selain itu ASI mengandung zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. ASI juga merupakan makanan yang bersih, praktis dengan suhu yang sesuai dengan bayi/anak serta dapat meningkatkan hubungan psikologis serta kasih sayang antara ibu dan anak. Dengan demikian jelas bahwa ASI mempunyai hubungan terhadap status gizi, semakin baik praktek pemberian ASI maka semakin baik pula status gizi bayi (Depkes RI,2002).

Sebagaimana dijelaskan oleh Soekirman (2000) bahwa salah satu faktor langsung yang memengaruhi status gizi adalah asupan makanan, maka secara tidak langsung praktik pemberian MP-ASI merupakan salah satu faktor yang memengaruhi status gizi pada bayi.

Pengaruh praktik penyapihan terhadap status gizi bayi dijelaskan oleh Depkes RI (1999) bahwa bayi yang sehat pada usia penyapihan akan tumbuh dengan pesat dan sehat, sehingga kekhawatiran terjadinya gizi kurang akibat penyakit infeksi dapat dihindari. Sedangkan menurut (Savage, 2004) masa penyapihan adalah proses dimana seorang bayi secara perlahan-lahan memakan makanan keluarga ataupun makanan orang dewasa sehingga secara bertahap bayi semakin kurang ketergantungannya pada ASI dan perlahan-lahan proses penyusuan akan terhenti. Dengan demikian praktik penyapihan secara langsung memengaruhi konsumsi makanan pada bayi dimana konsumsi makanan tersebut merupakan faktor langsung dari status gizi.

Selain ketersediaan pangan, masalah gizi juga dipengaruhi oleh faktor perilaku ibu, dukungan keluarga dan petugas kesehatan. Adanya pengaruh perilaku untuk menaggulangi masalah gizi pada anak adalah adanya tindakan PD. Menurut Zeitlin

(18)

(1990) PD dipakai untuk menjelaskan suatu keadaan penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak tertentu dengan anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama.

PD di dasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menentukan cara-cara yang lebih baik. Berbagai stimulus yang rutin diberikan oleh ibu atau pengasuh terhadap bayi, baik stimulus visual, verbal dan auditif akan dapat menyebabkan stimulasi hormon pertumbuhan, metabolisme energi menjadi normal dan imun respon lebih baik.

Terdapat beberapa perilaku menyimpang ibu di dalam pola pengasuhan anak yang berkaitan dengan status gizi, berdasarkan hasil penelitian Zuldesni (2007) menjelaskan bahwa perilaku menyimpang ibu di dalam memenuhi kebutuhan gizi anak dilakukan dengan berbagai cara seperti pemberian makanan dan cairan misalnya pisang, air gula, madu, air teh, air tajin, dan kopi. Adapun alasan ibu memberikan makanan atau cairan tersebut antara lain adalah untuk menambah daya tahan tubuh anak ibu memberikan cairan madu, air gula dan teh manis, agar anak tidak cengeng dan merengek ibu memberikan makanan selingan seperti pisang, bubur nasi dan air teh, dan untuk mencegah panas yang tinggi (step) pada anak ibu memberikan air kopi.

(19)

Apabila ibu bekerja, ibu selalu berusaha untuk menyusui anaknya terlebih dahulu sebelum berangkat ke luar rumah. Air tajin sering dibekali ibu kepada anak sebagai pengganti ASI karena dianggap kandungan gizinya bagus. Selain itu ibu juga mampu melakukan tindakan yang baik di dalam pemberian makanan anak dan mengetahui makanan tertentu yang bergizi yang dibutuhkan oleh anak. Makanan yang diberikan adalah berasal dari bahan makanan yang terjangkau dan tersedia untuk seluruh masyarakat. Selanjutnya ibu juga mampu mengatur frekuensi pemberian makanan dan jenis makanan yang dipilih. Ibu membeli bahan makanan yang lagi musim sebagai strategi untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, karena harganya relatif lebih terjangkau. Supaya anak mau makan ibu menerapkan prinsip tidak membolehkan anak jajan sebelum makan. Karena jika anak sudah dibiasakan jajan terlebih dahulu, maka anak akan susah untuk makan.

Perilaku dan kebiasaan keluarga penyimpang positif dalam pola pengasuhan adalah seperti memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak, adanya peranan ayah dalam pengasuhan, melibatkan keluarga luas seperti nenek, kakak dan tetangga dalam pengasuhan, berhubungan baik dengan tetangga. Perilaku dan kebiasaan keluarga penyimpang positif dalam kebersihan seperti mencuci tangan sebelum makan, menutup makanan dengan tudung saji, memotong kuku 1x seminggu. Kebiasaan-kebiasaan menuju sehat adalah kebiasaan-kebiasaan yang berhubungan dengan kesehatan seperti memberikan imunisasi, pengobatan penyakit pada masa kanak-kanak dan pencarian bantuan professional pada waktu yang tepat dapat memainkan peran penting dalam membantu memelihara kesehatan anak.

(20)

Tempat berobat yang digunakan oleh ibu-ibu jika anaknya sakit diare, cukup beragam dan tergantung lamanya sakit. Untuk anak yang sakit diarenya hanya satu hari, kebanyakan ibu-ibu tidak mengobatinya karena mereka menganggap mencret sehari biasa terjadi pada anak-anak. Bahkan ini dianggap sebagai tanda bahwa anak bertambah usia/besar dan bertambah “kepandaian”. Sedangkan untuk sakit diare yang lebih dari dua hari, kebanyakan ibu-ibu memilih puskesmas dan bidan sebagai tempat berobat. Perilaku dan kebiasaan keluarga PD dalam perilaku menuju sehat diantaranya adalah imunisasi yang lengkap, rajin ke posyandu, membuat makanan khusus ketika anak sakit.

2.2. Status Gizi

Menurut Soekirman (2000) status gizi berarti keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau dua kombinasi dari ukuran–ukuran gizi tertentu. Suhardjo (1986) mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh konsumsi penyerapan dan penggunaan makanan.

Menurut Gibson (1989) dalam Turnif (2008) status gizi adalah tanda-tanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Status gizi masyarakat yang utama digambarkan oleh status gizi anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu, sasaran utama dari program perbaikan gizi makro berdasarkan siklus kehidupan adalah dimulai dari wanita usia subur, ibu hamil, bayi baru lahir, balita dan

(21)

anak sekolah. Menurut berbagai pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, status gizi merupakan keadaan atau tingkat kesehatan seseorang pada waktu tertentu akibat pangan pada waktu sebelumnya.

2.2.1 Penilaian Status Gizi

Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan secara teratur. Ada beberapa cara menilai status gizi yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia dan biofisik yang disebut dengan penilaian status gizi secara langsung. Pengukuran status gizi anak berdasarkan antropometri adalah jenis pengukuran yang paling sederhana dan praktis karena mudah dilakukan dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Indeks antropometri yang dapat digunakan adalah Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur (TB/U), Berat Badan per Panjang Badan (BB/TB), (Depkes RI, 2005).

Sampai saat ini, ada beberapa kegiatan penilaian status gizi yang dilakukan yaitu kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG), kegiatan bulan penimbangan dan dalam kegiatan penelitian. Jenis pengukuran yang paling sering dilakukan adalah antropometri, karena mudah, prosedurnya sederhana dan dapat dilakukan berulang serta cukup peka untuk mengetahui adanya perubahan pertumbuhan tertentu pada anak balita.

Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penentuan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk

(22)

melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (Khumaidi, 1994).

Berikut penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB standar baku antropometri menurut WHO 2005 :

Tabel 2.2. Penilaian Status Gizi Berdasarkan Indeks BB/U, TB/U, BB/TB Standar Baku Antropometri Menurut WHO 2005.

No Indeks yang

dipakai Status Gizi

Keterangan

1 BB/U Berat Badan Normal Berat Badan Kurang

Berat Badan Sangat Kurang

Z score ≥ -2 sampai 3 Z score < -2 sampai -3 Z score < -3 2 TB/U Normal Pendek Sangat Pendek Z score ≥ -2 sampai 3 Z score <- 2 sampai -3 Z score < - 3 3 BB/TB Sangat Gemuk Gemuk Resiko Gemuk Normal Kurus Sangat Kurus Z score > 3 Z score > 2 sampai 3 Z score > 1 sampai 2 Z score ≥ -2 sampai 1 Z score < - 2 sampai - 3 Z score < -3

Sumber : Interpretasi Indikator Pertumbuhan Depkes, 2008

Menurut Soekirman (2000), status gizi anak balita dibedakan menjadi : 1) Status gizi baik

Status gizi baik yaitu keadaan dimana asupan zat gizi sesuai penggunaan untuk aktivitas tubuh. Refleksi yang diberikan adalah keselarasan antara pertumbuhan berat badan dengan umurnya. Adapun ciri-ciri anak berstatus gizi baik dan sehat menurut Departemen Kesehatan RI, dalam Soegeng Santoso dan Lies (2003) adalah sebagai berikut :

(23)

a. Tumbuh dengan normal

b. Tingkat perkembangannya sesuai dengan tingkat umurnya c. Mata bersih dan bersinar

d. Bibir dan lidah tampak segar e. Nafsu makan baik

f. Kulit dan rambut tampak bersih dan tidak kering g. Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan 2) Status Gizi lebih

Gizi lebih adalah suatu keadaan karena kelebihan konsumsi pangan. Keadaan ini berkaitan dengan kelebihan energi dalam hidangan yang dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan penggunaannya atau energy expenditure. Ada tiga zat penghasil energi utama yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Kelebihan energi dalam tubuh, diubah menjadi lemak dan ditimbun dalam tempat-tempat tertentu. Jaringan lemak ini merupakan jaringan yang relatif inaktif, tidak langsung berperan serta dalam kegiatan kerja tubuh. Orang yang kelebihan berat badan, biasanya karena jaringan lemak yang tidak aktif tersebut. Kondisi seperti ini akan meningkatkan beban kerja dari organ-organ tubuh, terutama kerja jantung (Djaeni, 2000).

3) Kurang Gizi (Status Gizi Kurang dan Status Gizi Buruk)

Status Gizi Kurang atau Gizi Buruk terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa zat gizi yang diperlukan. Beberapa hal yang menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi adalah karena makanan yang dikonsumsi kurang atau mutunya rendah atau bahkan keduanya. Selain itu zat gizi yang dikonsumsi gagal untuk diserap

(24)

dan dipergunakan oleh tubuh. Kurang gizi banyak menimpa anak-anak khususnya anak-anak berusia di bawah 5 tahun, karena merupakan golongan yang rentan. Jika kebutuhan zat-zat gizi tidak tercukupi maka anak akan mudah terserang penyakit. 2.2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Gizi

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Altmatsier, 2001).

Selain konsumsi makanan, tingkat pengetahuan ibu juga memengaruhi status gizi bayi, kebiasaan yang salah atau kurang tepat dalam pemberian makan pada bayi. Kesehatan dapat diartikan sebagai kekeliruan dalam menyajikan makanan, baik dari segi jenis, jumlah dan waktu pemberian makan. Dalam keadaan demikian diperlukan pengetahuan yang cukup tentang makanan bergizi yang dimiliki ibu, agar anak dapat terjamin kebutuhan gizinya (Burhanuddin, 2006).

Pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh, termasuk energi dan zat gizi lain nya yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI tanpa bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan sampai usia bayi sekitar 6 (enam) bulan.Setelah usia ini bayi dapat diberi makanan pendamping ASI yang dapat disesuaikan dengan tingkatan umur bayi.

(25)

Faktor yang memengaruhi status gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan untuk menilai status gizi yang dikutip dalam materi Aksi Pangan dan Gizi Nasional (Depkes RI, 2000) sebagai berikut:

1. Makanan anak dan penyakit infeksi yang diderita anak. Penyebab kurang baiknya status gizi tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit anak. Anak yang mendapatkan makanan yang baik tetapi karena sering sakit (diare atau demam) dapat mempengaruhi status gizi bayi. 2. Ketahanan pangan keluarga. Pola asuh serta pelayanaan kesehatan dan

lingkungan merupakan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang secara optimal baik fisik, mental dan sosial.

2.2.3. Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Kekurangan Gizi

Menurut kerangka yang disusun oleh WHO, terjadinya kekurangan gizi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni, penyakit infeksi dan asupan makanan yang secara langsung berpengaruh terhadap kejadian kekurangan gizi. Pola asuh serta pengetahuan ibu juga merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kekurangan gizi. Untuk menanggulangi masalah kekurangan gizi tersebut kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sesuai dengan anjuran UNICEF, dan telah dimodifikasi oleh Departemen Kesehatan RI, yaitu :

(26)

1. Makanan untuk anak harus mengandung kualitas dan kuantitas cukup untuk menghasilkan kesehatan yang baik. Kekurangan gizi akan mengakibatkan anak mudah diserang penyakit, pengetahuan gizi dan pemberian makanan bergizi disarankan untuk anak wajib diketahui bagi pendidik di Taman Kanak-Kanak. Anak membiasakan diri makan melalui makanan disekolah, anak belajar memilih makanan yang baik, jika makanan masuk kebadan adalah makanan bergizi, maka anak akan memiliki daya tahan tubuh yang kuat

2. Pengasuhan anak oleh Ibu (orang dewasa) terhadap pemenuhan kebutuhan gizi, perawatan dasar termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit, tempat tinggal yang layak, higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani, (Soetjiningsih, 1995 dalam Herwin, 2004).

Menurut Ina (2002), Kementerian Kesehatan RI dalam hal penanggulangan kekurangan gizi telah melakukan tindakan meliputi peningkatan pemberdayaan masyarakat, pelayanan kesehatan, pembiayaan pembangunan kesehatan, dan pengembangan sumber daya manusia kesehatan. Pemerintah juga melakukan upaya terobosan berupa intensifikasi dan ekstensifikasi penanganan gizi kurang dan gizi buruk dengan fokus 203 kabupaten/kota dengan prevalensi gizi kurang lebih dari 20%. Upaya terobosan meliputi pencegahan dan penanganan kasus dengan pemberian makanan tambahan bergizi berupa makanan pendamping air susu ibu bagi bayi, anak usia 6-24 bulan, balita dan makanan tambahan untuk pemulihan kondisi ibu hamil kurang energi kronis dari keluarga miskin. Akan tetapi karena program penanggulangan ini hanya dilakukan dalam jangka waktu tertentu seringkali membuat

(27)

sasaran kembali mengalami kekurangan gizi apabila program pemberian makanan sudah berhenti. Keadaan ini terjadi karena perencanaan program tidak mempertimbangkan pencapaian perubahan perilaku ke arah yang lebih baik di dalam keluarga.

Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi masalah kekurangan gizi sudah cukup besar, termasuk pengadaan MP-ASI tetapi kurang berhasil di dalam memecahkan permasalahan yang ada. Oleh karena itu program kegiatan ini walaupun sudah beberapa kali dilakukan pemerintah namun kasus kekurangan gizi belum dapat dituntaskan khususnya bagi keluarga miskin. Untuk itu upaya lain yang perlu dipertimbangkan adalah dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat di dalam menanggulangi masalah yang dihadapinya yaitu kekurangan gizi melalui peningkatan perilaku masyarakat dalam pengasuhan anak yang berawal dari keluarga khususnya ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak.

2.3. Landasan Teori

Penyebab kurang gizi dipengaruhi oleh faktor langsung yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi, sedangkan faktor tidak langsung yaitu ketahanan pangan keluarga, perawatan kesehatan, pola asuh, praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan. Menurut Husaini (2000), peran keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak akan menentukan tumbuh kembang anak. Perilaku ibu dalam menyusui atau memberi makan, cara makan yang sehat, memberi makanan yang bergizi dan mengontrol besar porsi yang dihabiskan akan meningkatkan status gizi anak.

(28)

Perawatan atau pola pengasuhan ibu terhadap anak yang baik merupakan hal yang sangat penting, karena akan memengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan ibu terhadap anaknya berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak (Suharsi, 2001).

Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, rendahnya kualitas lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, serta adanya daerah rawan gizi. Sebaliknya, masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan (Almatsier, 2001).

Peranan determinan pola asuhan terhadap pertumbuhan bayi cukup besar, dimana pola asuhan yang baik dapat meningkatkan tingkat kecukupan gizi dan kesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi. Berikut bagan penyebab kurang gizi yang dipengaruhi oleh pola asuh adalah sebagai berikut :

(29)

Gambar 2.1. Bagan Faktor Penyebab Kurang Gizi (Disesuaikan dari UNICEF, 1998 dalam Soekirman 1999/2000 dan Baliwati 2004)

KURANG GIZI

Makan

Tidak Seimbang Penyakit Infeksi

Tidak Cukup

Persediaan Pangan Pola Asuh AnakTidak Memadai

Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan

Kesehatan Dasar Tidak Memadai

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan

sumberdaya masyarakat

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial Dampak Penyebab langsung Penyebab Tidak langsung Pokok Masalah di Masyarakat Akar Masalah (nasional)

(30)

2.4. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka konsep penelitian Pola Asuh :

- Asuhan Pemberian Makan

- Asuhan Perawatan Dasar Anak

- Asuhan Higiene dan Sanitasi

Gambar

Gambar 2.1. Bagan Faktor Penyebab Kurang Gizi (Disesuaikan dari UNICEF,  1998 dalam Soekirman 1999/2000 dan Baliwati 2004)
Gambar 2.2. Kerangka konsep penelitian Pola Asuh :

Referensi

Dokumen terkait

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pupuk kandang kambing (K) dan pupuk NPK Phonska (P) berbeda sangat nyata, sedangkan interaksinya (KxP) berbeda

3. Komite Internasional dapat mengambil prakarsa kegiatan kemanusiaan yang sesuai dengan perannya sebagai suatu lembaga penengah netral yang khusus dan independen

Proses pembuatan es krim yoghurt ini dilakukan dengan cara beberapa tahap, mula-mula bahan baku berupa susu disiapkan, kemudian dipanaskan dengan suhu rendah dengan

Saya dengan ini mengaku bahawa mana-mana maklumat peribadi saya yang dikumpul atau dipegang oleh Syarikat diperuntukkan dengan keizinan saya untuk ia digunakan, diproses

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan telah ditemukan bahwa golongan jasa aeronautika tidak dimasukkan kedalam objek Pajak Penghasilan Pasal 23 atas jasa penunjang di bidang

Demster shafer (DS) kerusakan pewangi tidak turun/ larut yang dipilih dengan menggunakan nilai believe yang telah ditentukan pada setiap gejala Pl(s)= 1 – Bel(¬s)

Bahwa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Biak-Papua sebagai Lembaga pendidikan tinggi yang telah mendapat kepercayaan dari masyarakat, dipandang perlu disusun

Sumber data merupakan penduduk asli desa Tropodo yang mengidap gangguan berbahasa latah, tapi tidak mengidap penyakit lain (secara jasmani dan rohani). Terdapat