PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
i
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR:
PENEMUAN JATI DIRI
MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
EDITOR:
WIDIASTUTI
PENERBIT
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
iv
SEKAPUR SIRIH
Dalam proses bimbingan mahasiswa Pascasarjana pada Program Magister Arsitektur, seringkali karyasiswa mengalami kebingungan baik ketika memilih judul, menyusun proposal maupun pada penulisan Tesis. Salah satu masalah yang sering dihadapi mahasiswa adalah ketika memilih metoda penelitian. Pada umumnya karyasiswa memilih metoda kualitatif. Namun pemahaman tentang metoda tersebut perlu ditingkatkan lagi.
Dalam rangka memperingati ulang tahun emas (ke 50 tahun) Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, tercetus ide untuk mengumpulkan tulisan alumni yang terserak dan tak terdokumentasi dengan baik dan penulis ditugaskan untuk menindak lanjuti ide tersebut. Karya Tesis/Disertasi ini adalah salah satu upaya penemuan jatidiri alumni dalam menapaki perjalanan yang masih panjang.
Berangkat dari dua keperluan tersebut penulis menyatukannya dalam buku ini. Sistematika ringkasan Tesis dan Disertasi ini disusun dengan cara: pertama adalah kelompok Tesis dan kedua adalah kelompok Disertasi. Dari kedua kelompok tersebut diurutkan lagi berdasar tahun penyelesaian.
Penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dekan Fakultas Teknik dan Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Udayana atas dukungannya. Terimakasih juga disampaikan kepada seluruh alumni yang telah menyumbangkan tulisannya.
Tiada gading yang tak retak. Dengan waktu yang sangat terbatas penyelesaian buku ini tentu jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mohon maaf kepada seluruh penyumbang bila ada tulisannya yang berubah. Semoga tulisan ini memberi manfaat bagi pembacanya dan menjadi titik awal untuk mendokumentasikan Tesis dan Disertasi alumni secara berkesinambungan.
Selamat Ulang Tahun Jurusan Arsitektur Universitas udayana. Semoga tetap menjadi institusi yang menghasilkan arsitek handal di masa depan.
Denpasar, 21 September 2015
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
v
DAFTAR ISI
PENGANTAR DEKAN ... ii
PENGANTAR KETUA JURUSAN ... iii
SEKAPUR SIRIH ... iv
DAFTAR ISI ... v
TENTANG PENYUMBANG ... vii
PENDAHULUAN
PENELITIAN KUALITATIF PADA TESIS DAN DISERTASI ARSITEKTUR ... 1Oleh: Syamsul Alam Paturusi REFORMASI NILAI-NILAI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA ARSITEKTUR KONTEMPORER DI BALI . STUDI KASUS BANGUNAN FASILITAS UMUM ... 22
Oleh:I Wayan Gomudha MAKNA DALAM ARSITEKTUR UMAH BALI ... 124
Kasus Desa Tengkudak – Bali Oleh; I Nyoman Gde Suardana PENGELOLAAN KONSERVASI PADA PURI AGUNG UBUD, GIANYAR SEBAGAI OBYEK WISATA BUDAYA ... 182
Oleh: Nyoman Ratih Prajnyani Salain KAJIAN PROPORSI PADA CANDI TEBING GUNUNG KAWI DI TAMPAKSIRING – GIANYAR ... 190
Oleh: Anak Agung Gede Raka Gunawarman ADAPTIVE REUSE BANGUNAN BERCORAK ARSITEKTUR CHINA DI SAMPANGAN, PEKALONGAN, JAWA TENGAH ... 221
Oleh: Anis Yunanistya BALINESE TRADITIONAL ARCHITECTURAL PRINCIPLES IN HOTEL BUILDING ... 261
vi SISTEM SPASIAL DESA PEGUNUNGAN DI BALI
DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA ... 386
Oleh: I Wayan Runa
ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
PADA MASJID AL HIKMAH DI KERTALANGU, DENPASAR... 419 Oleh: Putu Rumawan Salain
PAMESUAN DALAM ARSITEKTUR BALI SUATU KAJIAN TERITORI ARSITEKTUR
DENGAN (PENG-)UNGKAPAN MAKNA ... 434
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
vii
TENTANG PENYUMBANG
EDITOR
WIDIASTUTI, adalah dosen di Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan studi “3 di Universite De Pau et De L’Adour, Pau, Prancis pada September 2002.
PENYUMBANG TEORI
SYAMSUL ALAM PATURUSI, adalah dosen Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan studi S3 di Universite De Pau et De L,Adour, Pau, Prancis pada Desember 2000. Saat ini adalah Sekretaris Jurusan Program S2 Kajian Pariwisata, Program Pascasarjana Unud, serta mengajar di S2 dan S3 Kajian Pariwisata, S2 Magister Lingkungan Universitas Udayana
RINGKASAN TESIS
I WAYAN GOMUDHA, adalah dosen Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana. Menyelesaikan studi S2 diProgram Studi Arsitektur, Bidang Studi Perancangan dan Kritik Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, pada tahun 1999
viii
NYOMAN RATIH PRAJNYANI SALAIN, adalah Arsitek Profesional . Menyelesaikan S2 di Program Magister
Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, pada 26 Januari 2010
ANAK AGUNG GEDE RAKA GUNAWARMAN, adalah dosen Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Warmadewa. Menyelesaikan S2 di Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, pada tahun 2014
YUNANISTYA RAHMADHIANI, adalah Arsitek Profesional. Menyelesaikan S2 di Program Magister
Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, pada 19 Agustus 2015
RINGKASAN DISERTASI
PENELITIAN KUALITATIF DALAM ARSITEKTUR: PENEMUAN JATI DIRI MELALUI KARYA TESIS/DISERTASI
ix
I WAYAN RUNA, adalah Guru Besar Program Studi Arsitektur, Universitas Warmadewa. Menyelesaikan pendidikan di S3 Arsitektur, Universitas Gajahmada pada tahun 2004. Sedang menjabat Wakil Direktur I Pasca Sarjana Universitas Warmadewa
PUTU RUMAWAN SALAIN, adalah Guru Besar Program Studi Arsitektur, Universitas Udayana Menyelesaikan pendidikan di S3 Kajian Budaya, Program Pasca Sarjana, universitas Udayana pada tahun 2011. Selain di S1 dan S2 Arsitektur, beliau mengajar juga di S2 Kajian Budaya Unud. Pernah menjabat Pembantu Rektor Universitas Udayana pada periode 2002 s/d 2006
295
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM
PERANCANGAN KOTA.
KASUS STUDI: PEMPATAN AGUNG DI BALI, INDONESIA
RINGKASAN DISERTASI
INSTITUT DE RECHERCHE SUR LES SOCIETES ET DE L’AMENAGEMENT
UNIVERSITE
DE PAU ET DE PAYS DE L’ADOUR, PAU PERANCIS, 2002
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
296
ABSTRAK
Ruang bagi masyarakat Bali adalah tiruan dari Cosmos. Ini mencerminkan baik mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (dunia / alam). Ruang merupakan transformasi kosmologis dari tata nilai sakral dan profan. Pempatan Agung adalah pusat dari Cosmos di mana pembagian ruang atas sakral dan profan diterapkan. Ia menyatukan kekuatan agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Semua prosesi keagamaan, sosial-budaya, kekuasaan politik berkaitan dengan titik ini karena semua kekuatan dewata terkonsentrasi. Ia adalah kerangka kerja untuk kehidupan sehari-hari orang Bali Hindu dalam perilaku mereka, di lingkungan mereka, karena Bali percaya bahwa Pempatan Agung memimpin mereka untuk kemakmuran dan hidup kekal (Moksha). Perluasan desa dan pertumbuhan penduduk telah dicampur comologiques referensi. Batas kosmologis telah menjadi kabur, sentralitas Pempatan Agung melemah, nilai-nilai sakral dan sekuler telah bercampur di kota Bali saat ini. Tapi kehidupan sehari-hari orang Bali semakin sangat religius untuk memenuhi nilai-nilai sosial budaya dan agama. Apa dampak memiliki perubahan spasial perilaku penduduk? Apakah ada spirit Pempatan Agung untuk melestarikan pembagian ruang tradisional dalam pengembangan saat ini? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi spirit Pempatan Agung dan mengusulkan, dengan pendekatan budaya, model konservasi kota untuk melestarikan spirit ini, dari nilai-nilai sosial budaya dan agama, pada pengembangan tata ruang kontemporer dari rancang kota (urban design).
297
Hanya mempengaruhi pinggiran budaya, tetapi tidak kernel. Ketika spasial perubahan, konservasi sangat penting untuk melestarikan nilai-nilai budaya. Pengalaman konservasi yang dilakukan oleh kota-kota Eropa di berbagai skala (Barcelona, Paris dan Sarlat) digunakan untuk membantu merumuskan usulan untuk tindakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konservasi spasial, terutama ruang publik, berhasil mempertahankan spirit budaya tertentu. Peran negara, pemisahan yang jelas antara modernitas dan tradisi, sistem sirkulasi dan ruang publik adalah elemen yang memungkinkan untuk untuk mengusulkan solusi.
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
298
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
a. Budaya sebagai identitas kota
Pada tahun tujuh puluh limaan, seorang arsitek terkenal, Le Corbusier, mengatakan bahwa suatu hari akan ada arsitektur tunggal terlepas dari lokasinya. Visinya didasarkan pada fenomena perkembangan arsitektur modern yang memperhitungkan hanya fungsi, efisiensi dan ekonomi. Arsitektur akan tergantung pada teknologi dan proses industri. Akibatnya, dekorasi yang meningkatkan bangunan dan memberikan napas pada budaya lokal, akan hilang. Spirit integrasi dengan PBB sedang mencoba untuk meminggirkan peran politik kota dan globalisasi tumbuh untuk beradaptasi sistem (Prevelakis, 1999: 2-4). Menjadi warga dunia dipahami modern, serta menjadi modern dipahami Amerika atau Eropa. Oleh karena itu, semua kapal uniformiseraient. Kota dunia akan seperti perlahan (Danisworo 1994: 1). Tapi di sisi lain, keinginan untuk mengekspresikan identitas lokal ditegaskan, termasuk di tingkat kota. Untuk menjadi warga dunia, itu tidak akan diperlukan untuk melihat satu sama lain, karena orang bisa hidup rukun dalam perbedaan. Dalam gelombang modernitas yang memperkuat kesamaan, ada karena itu adalah kesempatan menegaskan kekhususan dalam penciptaan kota? Eksplorasi positif dari aset alam dan sosial-budaya telah menjadi kaya kemungkinan tindakan.
299
yang berbeda dari kota (Rapoport, 1980: 38-44). mengamati bahwa penting untuk memberikan karakter unik untuk setiap tempat untuk "roh." Dengan memahami interaksi antara aspek lingkungan dan ekspresi budaya, seseorang dapat merasakan arah kota dan dengan demikian dapat berusaha untuk memanfaatkan ini "roh" dari kota (Garnham, 1985).
Robert Rotenberg dan Gary MCDONOGH (1993) setuju dengan antropolog (Bourdieu 1971; Fernandez, 1977; Richardson, 1980,1982), sosio-psikolog (Altman, 1975; Goffman, 1971), pengembang (Perin, 1977 ), dan arsitek (Broadbent, Bunt dan Llorens, 1980; Oliver, 1969; Rapoport, 1969) tentang pentingnya hubungan antara budaya dan bentuk dibangun. Setiap perusahaan memiliki nilai-nilai yang menciptakan model yang berbeda dari kota. Darnton menunjukkan (1990: 330) bahwa orang-orang membangun makna berdasarkan pengalaman yang berbeda: misalnya, jika ideogram tradisional Cina tidak memiliki kata yang berarti "pribadi", mereka memiliki yin dan konsep jika jia zhou bu KE Yang wai untuk menentukan urusan keluarga dan hubungan seksual di rumah mereka (Pellow, 1993). Jepang Shitamachi, mantan distrik komersial Tokyo, memiliki rasa alun-alun kota yang menghapus kepentingan individu dan mempromosikan nilai-nilai bersama. Budaya kelompok yang berbeda sesuai dengan mereka campuran provinsi dengan interaksi antara orang dan lembaga di seluruh stereotip positif dan negatif (Berque, 1982 Bestor, 1993). Untuk Hiss dan Alexander (1979: 92) orang, budaya, bangunan dan rencana semua dimensi kota. Tidak ada dikotomi antara bentuk dan budaya dibangun. Jadi, bagaimana melestarikan "roh" dari sebuah kota dalam globalisasi dunia?
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
300
...bentuk kota, posisinya saat ini, ide-ide dan nilai-nilai yang telah menciptakan orang-orang, menulis fenomena unik. Oleh karena itu, sejarah kota tidak dapat ditulis hanya untuk menentukan distribusi pola grid persegi panjang [...] atau sepenuhnya untuk mengkoordinasikan kekuatan impersonal dari negara dan pasar [...] Seseorang harus memasukkan pengalaman saat kotak atau dalam perjalanan pengalaman sehari-hari mereka. (Lynch, 1981: 36).
Tapi semuanya berubah, tidak ada yang abadi. Berkat perkembangan ekonomi dan pendidikan berkembang, membangun gedung-gedung baru, kota baru dengan teknologi baru dan baru "roh". Setiap warisan generasi ulang dengan kebebasan besar pikiran. Konservator telah banyak menghancurkan atas nama kehendak untuk mengembalikan. Jadi bagaimana dan di mana salah satu mulai menciptakan "roh" dari kota?Kelangsungan pikiran dan budaya di situs dirasakan oleh permainan lapisan budaya untuk Andrea Bruno, seorang arsitek Italia. Dia pikir terbaik untuk melestarikan keaslian dan terutama masa lalu untuk masa depan, seperti Palang Merah yang mengkompensasi kehilangan kaki kruk. Dalam konteks ini, mengacu pada kata-kata "restorasi, konservasi, pelestarian dan keaslian" (Bruno, 1998: 6). Inilah sebabnya mengapa sekolah arsitektur harus mengajarkan "roh" dari tempat. Interaksi antara budaya dan kota menciptakan identitas ruang kota atau "roh" dari kota atau lokus Genius. Spirit kota hadir dalam bahasa arsitektur, benda, ruang dan lingkungan yang diciptakan oleh budaya yang kuat dan identitas etnis dalam individu sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah. Pengolahan dan pelestarian budaya sebagai makna dan identitas kota tidak keberatan; sebaliknya, arsitektur yang diawetkan hanya jika mereka tetap hidup, yaitu untuk mengatakan digunakan.
b. Pembangunan kota-kota di Indonesia dan di Bali
"kota-301
negara" yang di pusat kota diwakili oleh puri dan kuil. Negara pertama yang mengambil équipementss perkotaan Trowulan ke Majapahit (abad XIV). Kota ini dibangun di Jawa berdasarkan dasar-dasar agama Hindu dan Buddha. Batas negara tidak hanya fisik tetapi juga tergantung pada pusatnya, yaitu kapasitas daya. Kota, yang adalah kekuatan kosmik, dibangun sesuai dengan pola ritual dengan inti yang terdiri dari puri, kuil dan pasar. Puri adalah pusat budaya dan prosesi ritual. Pasar adalah tempat umum dan pasar sebagai Agora pada zaman Yunani kuno. Macapat Konsep ini dikembangkan untuk dengan mudah mengembangkan desa. Dalam konsepsi ini, unit ekonomi terdiri dari lima desa, setiap desa memiliki pasar, dan hari setiap kegiatan dihitung setelah kalender Hindu.
Islam telah berkembang di Mataram kerajaan era (abad kelima belas), dengan ibukotanya Kota Gede, melalui pertukaran ekonomi dengan Cina, Gujarat (India) dan Persia. Perannya adalah untuk menetapkan aturan organisasi pasar dalam bentuk kota. Pasar, bagian dari kegiatan sosial-ekonomi, yang menyebabkan banyak kota. Di pulau Jawa, sistem ini telah dikenal sebagai Peken Kuta (pasar kota), di Aceh sebagai Uroe Gantoe, Pekan Baru dan di mana pasar ini terletak di sebelah sungai (pada tahun 1787). Pada saat itu, Esplanade (Alun-alum) diwakili pusat orientasi kota. Masjid, puri, pasar dan rumah-rumah yang dibangun di atas itu semua sekitar.
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
302
dari pemerintah kolonial, barat diawetkan masjid, timur dan utara rumah Eropa dan asing lainnya (Cina, India dan Arab) dan pasar dikeluarkan dari daerah. Kota ini telah kehilangan arti dari pusat didedikasikan untuk prosesi ritual dan konteks kegiatan sosial-ekonomi. Penduduk pemisahan politik (Eropa, non-Eropa dan pribumi) menghancurkan rasa kota tradisional, sedangkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia masih sangat ditandai oleh spirit keagamaan. Beberapa arsitek Eropa telah mencoba untuk menerapkan konsep dan nilai-nilai dalam proyek-proyek lokal mereka. Wolf Schoemaker yang dikandung dekorasi lokal, Eduard Cuypers, AF Albers, HP Berlage, Maclaine Pont dengan konsep adaptasi dan kedaerahan Thomas Karsten Herman adalah contoh. Di antara mereka, Thomas Karsten telah paling mempromosikan integrasi semua penduduk, berusaha untuk menghapus kebijakan segregasi di kota Indonesia.
Selama Perang Dunia II, Belanda telah membuat Jepang yang menduduki Indonesia dari tahun 1942 sampai 1945. Ketika itu mengambil kemerdekaannya (17 Agustus 1945) perkembangan kota terus pertumbuhan ekonomi mewakili faktor yang paling penting. Perencanaan ini kemudian diadopsi sebagai kebijakan pemerintah. Fungsi tradisional wajib untuk memodernisasi pasar digantikan oleh supermarket, bangunan tua dengan set besar (super blok). Modernisasi diterima sebagai standar internasional yang mewakili kekayaan dan kemajuan, lebih tepatnya dilambangkan dengan "Amerikanisasi". Kekuatan ekonomi sebagai mesin pembangunan, menciptakan kota berjiwa. Selain itu, konservasi dan pelestarian warisan nasional diperhitungkan dalam bentuk materi mereka. Fenomena ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia, termasuk Bali.
303
hubungan vertikal dan horizontal), korespondensi antara yang ilahi dan diri, antara alam dan manusia (Budihardjo, 1985 Gelebet, 1985 Sularto, 1987 Saliya, 1975 Parimin, 1986). Prinsip-prinsip ini ditransmisikan dalam urutan hubungan sakral-profan (Utama, Madya dan Nista) dan mendirikan hirarki struktur spasial (Sanga Mandala dan Tri Angga) desa tradisional Bali (Desa adat atau desa adat). Hirarki ini didasarkan pada jaringan candi teritorial. Yang pertama adalah jaringan dari candi daerah, maka itu dari desa-desa tradisional (desa adat), akhirnya kuil keluarga (Dadia).
Inilah sebabnya mengapa tata ruang tradisional dibangun sebagai berikut: regional (Bali), desa adat (desa adat), dusun adat (banjar adat) dan level terendah diwakili oleh rumah. Oleh karena itu jelas bahwa dalam pendekatan kosmologis, kota tidak ada. Dan bahkan jika kata-kata kuta, kutanegara, kata Sanskerta atau pura murni untuk benteng (tapi itu hanya sebuah puri) ada. Pergi ke kota dipahami untuk pergi ke pusat kekuasaan. Kota tua Bali adalah sebuah kota kecil dalam tradisi Anglo-Saxon, dilihat sebagai situs pasar periodik (mingguan) (Wiryomartono 1995). Rotasi ini diterapkan di lima desa adat dalam suatu sistem yang disebut Mancapat atau Manca Agung, yang meliputi sistem pertahanan dan aspek sosial-budaya dengan pusat sebagai gatra modal. Ini adalah pusat desa tradisional yang telah muncul sebagai yang paling kuat dari mereka.
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
304
Desa adat (desa adat), sebuah kata Sansekerta, juga tidak ada hubungannya dengan pertentangan antara perkotaan dan pedesaan di peradaban Barat. Ini adalah unit teritorial, komunitas dan jaringan candi di beberapa dusun adat (banjar adat). Secara fisik, istilah ini tidak berarti ukuran yang tepat. Banjar Adat Beberapa sangat besar dengan sangat banyak orang tetapi ada juga kecil. Penerapan konsepsi kosmologi ditransmisikan dalam hirarki spasial desa adat: paling suci (the Utama) untuk candi asli (Pura Puseh), rata-rata (Madya) untuk fasilitas perumahan dan publik yang Nista (paling haram) untuk pemakaman dan kuil kematian (Pura Dalem). Persimpangan suci (Pempatan Agung) berada di pihak Madya.
Kota Bali dibangun dari model desa adat. Yang terakhir merupakan komponen penting perkotaan dan memiliki posisi yang unik dalam masyarakat Bali. Ini adalah cikal bakal pusat kota dan simbol kekuatan ekonomi dan orang-orang. Sebagai bagian dari habitat, memiliki hubungan yang sangat kuat dengan pusat kekuatan ekonomi dan politik. Dalam Pempatan Agung kita menemukan peralatan sehubungan dengan hierarki sakral dan profan, pasar (Peken), puri (puri), kuil (pura), dan esplanade (alum tawas). Masyarakat Bali berlatih kegiatan sosial dan keagamaan di tempat-tempat ini. Singkatnya, Pempatan Agung constutue citra budaya Bali. Model ini khas dari kota tua menjadi pusat kekuasaan politik dan ekonomi: Denpasar, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Mengwi, Tabanan dan Bangli.
305
Meskipun kondisi ini, orang Bali selalu mengikuti prinsip-prinsip kosmologis dalam proses pengembangan desa tradisional mereka dan rumah mereka. Mereka menggunakan tujuh aturan tradisional, ditulis dari abad kesepuluh kesebelas dalam pelajaran Wiswakarma Asta Bumi, Kosali Asta, Asta Kosala, Janantaka Brahma Kerti, Dewa Tattwa, Padma Bhumi.
Pendekatan ini dihormati sampai sekarang. Tapi secara fisik, kota administrasi kontemporer Bali telah disesuaikan dengan kondisi hidup modern. Secara bertahap, desa-desa ad inistratif telah enelan desa adat, anjar ad inistrasi
enelan anjar adat. Fungsi tradisional sekitar Pe patan Agung eru ah.
Penciptaan lembaga baru dan fungsi, seperti pusat perbelanjaan, pusat rekreasi, mengubah mantan penggunaan lahan. Lokasi strategis Pempatan Agung membuat tanah yang paling dicari dari daerah lain. Kondisi ini menempatkan tekanan untuk mengubah fungsi sistem tertentu. Daerah perumahan daerah pusat perdagangan atau pusat administrasi. Pertumbuhan perkembangan kehidupan modern yang dihasilkan oleh pariwisata menciptakan komponen perkotaan baru yang merusak pola tanah tradisional Bali dan akhirnya mengubah arah tanah. Desa adat telah kehilangan ekspresi nilai-nilai spasial mereka dalam kehidupan sehari-hari yang masih mempertahankan nilai-nilai lainnya. Jadi apa yang telah menjadi desa adat dengan puri sebagai pusat? Dalam kehidupan sehari-hari, baik sosial dan keagamaan, masih berfungsi dengan baik. Memang, 85% dari populasi terdiri dari desa-desa adat dari anggota yang mematuhi Peraturan adat (awig-awig) lebih dari pada hukum. Mereka masih percaya bahwa pusat desa adalah pusat adat upacara di mana yang baik dan yang jahat dan menetralisir tempat takhta Siwa. Ini adalah pusat energi spiritual desa. Singkatnya, desa adat sebagai model organisasi masih hidup dalam semua sosial, budaya, ritual dan ruang.
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
306
membingungkan warga dan pengembang. Saling adaptasi antara dua pendekatan ini sulit karena ini sesuai dengan dua kutub yang sama sekali berbeda. Selain itu, kota dan desa tradisional merata diwakili dalam stratifikasi spasial modern. Tapi keinginan dan desakan untuk memulihkan rasa kota, diwakili oleh kesatuan sosial budaya desa adat dalam pendekatan teritorial kontemporer Bali masih sangat kuat
1.2 RUMUSAN MASALAH
Pembangunan fisik (berkat pertumbuhan ekonomi, teknologi dan politik) kota-kota di Bali dengan pusat Pempatan Agung, sangat cepat.Selain itu kehidupan budaya Bali menolak dan menyesuaikan, yang mengatakan, perubahan budaya mengerem. Pertanyaan besar adalah: melakukan perubahan fisik, termasuk Pempatan Agung, menganggap kehidupan budaya Bali? Apa perkembangan terbaik untuk melestarikan kehidupan budaya Pempatan Agung Bali di masa depan? Bagaimana menjaga spirit Pempatan Agung Bali dalam mengembangkan kota?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Untuk enja a hipotesis hipotesis ah a spirit dari kota-kota di Bali adalah dari pusat desa adat (Pempatan Agung) dan perencanaan tata ruang inti, penelitian ini difokuskan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
Apa makna Pempatan Agung untuk masyarakat Bali?
Apa saja perubahan yang terjadi diPempatan Agung (morfologis, spiritual dan simbolis)?
Apa harapan masyarakat untuk Pempatan Agung di masa depan?
307
Dalam penelitian ini akan diusulkan model perubahan Pempatan Agung seperti yang diinginkan oleh masyarakat Bali untuk kota mereka di masa depan dan secara umum, model konservasi kota bersejarah. Usulan model ini diharapkan berguna untuk pemerintah Bali dalam proses pembangunan kota dan membantu mengurangi kontradiksi antara pembangunan modern dan nilai-nilai lokal
1.4 Pendekatan
a. Domain penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian terapan. Dalam pendekatan diekplorasi hubungan antara budaya dan kota menurut para geograf, ahli sejarah, arsitek dan arsitek perkotaan (urban designer). Dalam penelitian ini, difokuskan pada rancang kota, terutama dengan pendekatan budaya. Untuk memahami asal-usul dari bentuk materi, studi ini akan fokus pada sejarah politik dan morfologi kota, mengingat berikut:
1. Sebuah kota membutuhkan karakter tertentu sebagai tengara dan setiap tempat memiliki diprediksi, makna dan identitas yang makhluk disimpan dalam proses pembangunan, khususnya konservasi.
2. Perkembangan kota ini berkaitan dengan sangat kompleks multi-dimensi, sosial, budaya, politik, ekonomi, teknologi dan alam. Meskipun kontradiksi antara nilai-nilai budaya dan ekonomi, orang Bali selalu menerima pembangunan, termasuk pariwisata, karena merupakan sumber penciptaan dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pembangunan harus dilakukan oleh keseimbangan antara nilai-nilai lokal dan kepentingan politik-ekonomi untuk menciptakan kota yang berkelanjutan untuk budaya, tata ruang, politik dan ekonomi
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
308
dalam kehidupan sehari-hari saat ini Bali dan menyesuaikan dengan tempat ide, waktu, keadaan (desa, kala, patra). Dengan kata lain: budaya Bali menolak dan sekaligus menerima pembangunan. Untuk ini, pengembangan apapun harus memperhitungkan faktor budaya .
b. Beberapa studi tentang Bali
Bali adalah salah satu laboratorium yang sangat baik dari studi untuk memahami hubungan antara budaya dan kota, terutama untuk pikiran oriental kontemporer. Kota pertama Bali yang dibangun di atas fondasi tradisional yang berkaitan dengan agama dan adat istiadat orang Bali Hindu. Imam adalah pemimpin agama dan raja adalah pemimpin negara-negara tradisional (Negara). Sebagai pemimpin negara, raja dapat memobilisasi semua orang termasuk imam untuk upacara dan ritual keagamaan untuk melawan musuh (Nordholt, 1991; Geertz, 1980). Pedanda hanya berkaitan dengan urusan agama, sedangkan raja berurusan dengan urusan politik. Akibatnya, wilayah agama selalu terpisah dari puri. Selain itu, desa adat Bali (negara) adalah otonom. Memiliki wilayah penduduk dan peran sendiri. Meskipun terletak di pusat kota, selalu bernama Desa Adat. Beberapa desa adat membentuk sebuah kota, bahkan jika semua kondisi ini masih hadir dalam morfologi kota Bali. Selama sejarah panjang, bentuk pemerintahan berubah di setiap zaman dan bentuk kota telah beradaptasi. Dalam situasi yang meminta campuran kelompok etnis Indonesia, pertanyaan yang paling penting adalah bagaimana kota mengakomodasi kepentingan yang berbeda dari orang. Akhirnya, kekuatan ekonomi saat ini yang dominan, terutama di sektor pariwisata dan komersial. Dalam proses perencanaan kota Bali, dominasi ekonomi ini menciptakan konflik antara pembangunan tata ruang dan pemeliharaan nilai-nilai budaya.
309
sehingga sebagai makrokosmos, mereka memiliki atmosfer (diwakili oleh udara dan Gunung Suci), litosfer (diwakili oleh tanah dan rumah ) dan hidrosfer (diwakili oleh laut). Konsepsi ini masih berlaku dengan skala membaca apapun, bangunan kecil seperti terbesar, kota dan seluruh pulau Bali.
Banyak studi ilmiah telah dilakukan pada Bali atau oleh para peneliti lokal atau oleh orang asing. Satu catatan studi tentang dampak sosial-budaya pariwisata (MacKean 1978 Noronha, 1980; Picard, 1992; Bandem, 1993 Pisau, 1993; Paturusi, 2000) dan beberapa karya Ilmiah Pusat Universitas Udayana ( Bali) pada dampaknya sosio-ekonomi (Erawan, 1987) dan dampak fisik pada lingkungan (Mardani, 1984).
Kekuasaan politik sebagai aktor budaya Bali telah menjadi subyek dari penelitian yang luas oleh Nordholt (1986,1991,1996), hubungannya dengan arsitektur oleh Putra (1998) dan hubungannya dengan budaya dan sosiologi di desa-desa Bali oleh Geertz (1959,1966,1980), Goris (1935) dan Belo (1970); hubungannya dengan agama, simbol-simbol yang dipelajari oleh Cohen (1969.1974) dan Forge (1980).
Identifikasi bentuk dan masalah arsitektur telah diteliti oleh Salija (1975) Sularto (1980), Budihardjo (1985), Gelebet (1986), Pardiman (1986), Paturusi (1989) Sulistyawati (1995 ) Lancret (1997). Ardi Pardiman Parimin jelas menunjukkan bahwa rumah tradisional Bali terletak pada empat atribut yaitu:
sosiologis, dengan sistem hubungan Bali ditandai dengan sistem desa adat banjar, subak, Sekehe, Dadia, perbekelan;
morfologi terkait dengan perumahan tradisional (inti dan pinggiran); fungsional, yang berkaitan dengan praktek-praktek sosial dan keagamaan; simbolik, berhubungan dengan arah dan sumbu kosmologis.
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
310
umum di daerah suci (peralatan agama, kuil atau keluarga atau kolektif) (Paturusi, 1989). Menurut Sulistyawati, perubahan peralatan non-sakral telah disesuaikan dengan peraturan publik. Tapi penelitian ini tidak memperhitungkan fitur arsitektur: tidak ada penelitian telah dilakukan pada Pempatan sebagai embrio pusat Agung Bali kota, perkembangannya diversifikasi, hubungan budaya dan perannya dalam kehidupan Bali kontemporer.
c. Spirit pusat kota di Bali: sebuah hipotesa
Menurut Bagus Wiryomartono, beberapa fenomena terjadi dalam
perke angan kota konte porer Indonesia: enurunn a pusat , enga urkan
perbedaan antara kota dan desa, kurangnya budaya urban, kurangn a agora
dan keberadaan kelurahan (desa kota / kampung kota) (Wiryomartono 1995: 171-182). Kota Bali juga dipengaruhi oleh perkembangan ini. Kota tumbuh lebih dan lebih karena pertumbuhan penduduk, yang heterogenitas diperlukan karena migrasi. Kegiatan ekonomi telah bergeser dari pertanian ke industri, terutama pariwisata.
311
Variabel yang perubahan yang lambat adalah Hindu, struktur sosial tradisional, peraturan adat dan tanah tradisional Bali:
Hindu menjiwai semua kehidupan sehari-hari orang Bali. Bahkan jika perubahan pendidikan di bawah pengaruh nilai-nilai dan standar eksternal, mereka hanya mempengaruhi unsur perifer agama (misalnya: bahan dan cara Upacara).
Struktur sosial tradisional dibagi antara sistem kasta (didukung oleh agama Hindu) dan adat setempat.
Kebiasaan tradisional Hindu hasil menetapkan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.
Akhirnya, regulasi publik telah disesuaikan norma-norma dan nilai-nilai tradisional dalam pengembangan organisasi. Meskipun peraturan hanya mempengaruhi apa yang material, upaya ini cukup signifikan untuk mengurangi konflik antara kebutuhan untuk memodernisasi dan memerlukan identitas lokal (lihat Gambar 1).
Sebaliknya, variabel lain mendukung perubahan: Pariwisata telah menjadi suatu kegiatan penting dalam kehidupan sehari-hari Bali. Untuk sampai sekarang budaya Bali terutama yang berbasis pertanian. Perubahan aktivitas juga mengubah kehidupan sehari-hari orang Bali.
Sistem politik kerajaan mendominasi transformasi spasial desa tradisional Bali. Transisi dari monarki ke kolonisasi dan republik juga dipengaruhi transformasi spasial, termasuk peran kekuatan kosmik dari pusat.
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
312
Variabel terikat : 1. Struktur umum :
Parhyangan : Pura Pawongan : Masyarakat Palemahan : wilayah 2. Struktur spasial
a. Desa Adat Pura Puseh Permukiman
Pura Dalem dan kuburan b. Pempatan Agung :
Pura Desa Bale Kul-kul Puri
Bale Banjar/Wantilan Pohon beringin Pasar Alun-alun
Variabel bebas perubahan: 1. Pariwisata
2. Sistem politik 3. Teknologi
Variabel bebas keberlanjutan: 1. Agama Hindu
2. Struktur social tradisional 3. Adat istiadat
4. Hukum nasional
Perubahan
1. Sistem
Pembangunan 2. Profesi pariwisata 3. Sistem Politik
Keberlanjutan 1. Kehidupan beragama
2. Kekerabatan dan aktifitas sosial 3.Aturan adat (awig-awig) Hasil Spasial
1. Tradisi Vs modernitas 2. Pelemahan “pusat”
3. Kaburnya batas sacral dan profan 4. Pertumbuhan kota
5. Kampung-kota
Hipotesis
Spirit kota-kota di Bali berasal dari “pusat” desa adat yaitu Pempatan Agung yang mengandung tata cara pengaturan ruang
313
Dalam konteks spasial, variabel-variabel ini sehingga mengubah morfologi dan tipologi desa tradisional Bali menjadi besar sebagai kota tradisional. Kota-kota baru melemahkan kekuatan pusat tradisional pertumbuhan mereka. Fungsi sekuler dan bergerak mendekati fungsi sakral, sehingga batas antara sakral dan profan menghilang. Konflik antara modernitas dan tradisi yang rumit. Orang Bali percaya bahwa kota masih mencerminkan makrokosmos dan mikrokosmos yang adalah terjemahan dari nilai-nilai tradisional dan norma agama. Morfologi dan tipologi kota dan persepsi telah berubah. Jika perubahan ini terutama mempengaruhi pinggiran, yang mengatakan, ruang sekuler, pusat tahan terhadap perubahan budaya.
Antara tradisi (kecenderungan untuk kelangsungan dan modernitas (kecenderungan untuk berubah) dalam komposisi spasial desa tradisional Bali pada akar kota hari ini, spirit yang terkait dengan pusat kekuasaan (yang Pempatan Agung) adalah titik penyatuan antara dua kutub ini. Kami akan mencari spirit ini dan menggunakannya untuk memberikan perencanaan tata ruang kota Bali saat ini
1.5 METODE PENELITIAN
Menurut Susanne Almeida-Klein (1994: 193) tidak ada metodologi kuantitatif yang pasti dan cukup relevan untuk menilai dimensi budaya dalam pembangunan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk penelitian ini dan penelitian yang paling sosial. Penelitian ini menggunakan metode EC (Environment-Compertement) yang secara sistematis mengamati kegiatan dan interaksi dari orang di lingkungan mereka (di sini: Desa Adat kota) dan pada saat yang sama mengamati kemampuan kota untuk mengelola kegiatan ini (Zeisel, 1981). Kami akan mempertanyakan pada:
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
314
hasil dari tindakan ini dalam rekonstruksi morfologi (hubungan spasial).
Komentar dan survei penduduk adalah dua metode yang dominan. Pengamatan lingkungan didasarkan pada tiga elemen: Bahan (benda, ruang, hubungan antara ruang, kualitas), administrasi (formal dan informal regulasi) dan perilaku (karakteristik masyarakat, kegiatan mereka, antar hubungan mereka: konflik, aliansi , asosiasi). Didedikasikan untuk roh dari kota budaya Bali, penelitian ini akan mempelajari evolusi spasial (morfologi dan atribut simbolik) dari Pempatan Agung, peraturan pemerintah dan, peraturan administrasi adat dan karakteristik demografi, agama dan kepercayaan, sistem sosial kekerabatan, perilaku orang dalam kegiatan sehari-hari mereka. Pencarian jawabannya akan dengan mempelajari reaksi penduduk terhadap lingkungannya. Apa yang ada di konsep lingkungan, apa pengetahuan, nilai apa, apa yang terjadi di kehidupan sehari-hari, tindakan apa untuk mempertahankan lingkungan ini?
1.6 Tahapan penelitian
Untuk menjawab pertanyaan ini, pekerjaan ini dibagi menjadi lima tahap:
Tahap I: Studi tentang kota dan budaya
Fase ini ingin mendefinisikan konsep budaya kota, spirit kota dan semua pertanyaan tentang masalah identitas dan citra kota dalam hubungannya dengan budaya. Penelitian ini merupakan penelitian literatur berbasis.
Tahap II: Studi kasus
315 Tahap III: Analisis perubahan
Kami akan menganalisis perubahan yang diamati dan kami akan mencari konsekuensi budaya mereka. Kami akan membandingkan struktur spasial oleh "layering" untuk menemukan tingkat perubahan morfologi dan simbolik. Berdasarkan hasil ini, kita akan menyoroti perubahan dalam "spirit" dari Pempatan Agung diamati oleh orang atau lembaga yang bertanggung jawab. Hasil yang diharapkan adalah jawaban hipotesis, masalah dan kesempatan untuk mengembangkan Pempatan Agung dalam proyek perkotaan (urban design).
Tahap IV: Pencarian untuk pelajaran
Untuk lebih memahami metode pelestarian spirit kota, kita akan mempelajari kasus kota-kota Eropa. Dari sejarah morfologi dan disiplin dari proyek perkotaan, kita akan memilih beberapa elemen penting dari pusat kota Paris (Place des Vosges, Champs-Elysées, Bastille), Barcelona (Ramblas, Plaza Catalonia, Diamond Place, Place Royale ) dan Sarlat.
Tahap V: Rekomendasi: pelestarian spirit kota Bali
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
[image:32.516.111.447.68.224.2]316
Gambar 2. Tahapan Penelitian
1.7 STRUKTUR DISERTASI
Disertasi ini terdiri atas tiga bagian. Pertama melihat kota dan "spirit" berdasarkan faktor budaya. Akan dieksplorasi teori dan konsep dari kota, budaya, spirit kota dan proyek perkotaan. Pendekatan ini diharapkan menghasilkan kerangka teoritis dan konseptual interaksi antara kota dan budaya. Hal ini dilakukan melalui studi bibliografi, penelitian lebih yang telah dilakukan dan sumber tertulis lainnya.
317
atau lembaga yang bertanggung jawab (pemerintah, tokoh adat, arsitek, guru, dll) dengan informasi yang dikumpulkan dengan teknik wawancara.
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
318
BAGIAN PERTAMA: BUDAYA, KOTA, DAN SPIRIT: TEORI
DAN KONSEP
1.1 Konsep dan Teori Kota
Apa yang saat ini diketahui tentang hubungan antara budaya dan kota? Apa ide-ide, konsep dan hubungan tentang kota dan budaya? Apa hasil dari hubungan antara kota dan budaya? Bagaimana menerapkan konsepsi budaya dalam rancangan kota? Apakah masalah-masalah yang harus dihindari? Bagian ini akan melihat evolusi hubungan antara budaya dan kota dalam konteks proyek perkotaan. Pertanyaan-pertanyaan di atas dihubungkan dengan pembangunan karena pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan perubahan struktural dan menimbulkan masalah sosial budaya di negara-negara Timur. Lebih penting lagi, perlu dipahami perubahan dan implikasi budaya di kota.
319
mulai dari jaman antik sampaia sekarng. Dari perbandingan tersebut disimpulkan bahwa walaupun pada awalnya memiliki pendekatan yang sama, dalam evolusinya dua dunia tersebut memiliki perbedaan pendekatan dalam perancangan kota. Dimensi sosial budaya menjadi pendekatan yang utama dalam perancangan kota-kota dunia timur.
1.2 Budaya dan Pendekatan Budaya
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
320
1.3 Spirit Kota dan Pembangunan
Perkembangan teoritis kota menunjukkan bahwa dari awal, dan untuk waktu yang lama, kota memiliki dimensi kosmologis. Kota dianggap sebagai tiruan dari makrokosmos, surga atau dunia ilahi diselenggarakan dengan sumbu batas dan simbol ajaib (Cardo dan Decumanus Romawi, dinding dan portal Cina, axis mundi India, kolam Angkor) di mana pusat adalah pusat dunia (Kota Terlarang di China, Borobudur, Ziggurat) (Eliade, 1949,1952,1963, Mangunwidjaya, Rapoport, 1980, 1985; Wheatley, 1971). Untuk memahami kota semacamini, salah satu harus memahami proses dimana bentuk-bentuk geometris dan kebiasaan sosial telah memberikan makna, rendering itu dipahami budaya lain (Eliade, 1952, 1965, Rapoport, 1969, 1986 Wheatley 1971). Aspek agama atau kosmologis ini tidak pernah dimasukkan dalam pendekatan modern.
Pendekatan ilmiah "modern" kota dapat dikaitkan dengan rencana yang dikembangkan oleh Hippodamus di Yunani kuno yang mendekati kota oleh nya fungsi ekonomi, politik, militer, dengan pusat keagamaan. Hal itu juga dikembangkan oleh Vitruvius memegang firmitas trilogi, dan Utilitas vesnustas dan oleh Bernini master, Brunelleschi, Michelangelo, Leonardo, Christopher Wren, Inigo Jones, Mansard, Fountain. The kotak-kotak, zonasi, membatasi ketinggian bangunan dan kepadatan penduduk yang digunakan di Kekaisaran Romawi untuk perencanaan kota. Esplanade dan ruang terbuka memfasilitasi promenade penduduk, sering di bawah perlindungan sebuah gereja (Piazza San Marco di Venesia). Pola Kotak-kotak melambangkan pembagian dunia dalam keteraturan, keseimbangan estetika, dan monumentalitas kekuasaan (Washington, Versailles, Paris) (Benevolo, 1983; Delfante, 1997).
321
Ruskin di Inggris. Ini memicu gerakan pembaruan terinspirasi oleh para utopian (Ebenezer Howard, Patrick Geddes, Tony Garnier) dan pada Walter Gropius, Mies van der Rohe, Le Corbusier). Mereka adalah perencana-arsitek yang mendekati kota dengan kriteria Hiegenis dan humanistik. Mereka menggabungkan seni, teknologi dan ekonomi dengan unit administrasi, pusat bisnis, pusat politik, hutan properti. Kota ini menjadi akumulasi teknologi tinggi, gaya baru, mesin, sistem yang kompleks dari perkotaan, budaya yang beragam (New York, Nanterre, Tokyo, Hong Kong, Singapura, dll).
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
322
BAGIAN KEDUA SPIRIT BUDAYA PADA PEMPATAN AGUNG
Seperti telah disebutkan di Pendahuluan, metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif naturalistik, dengan pendekatan EC (perilaku ligkungan) atau "studi EB" oleh John Zeisel (1981:10), kemudian digabungkan dengan studi aspek-aspek fundamental rumah Bali oleh Parimin (1986) yaitu: sosiologis, morfologi, fungsional dan simbolis. Pada bagian ini diekplorasi spirit budaya Pempatan Agung melalui komposisi spasial, organisasi sosial-budaya dengan latar belakang agama, pengembangan dan konsekuensinya untuk Pempatan Agung.2.1 Penelitian lapangan: Metodologi
Budaya Bali sangat berdasarkan Hindu yang memerintah kehidupan sehari-hari. Seluruh hidup orang Bali tampaknya didedikasikan untuk para dewa dan leluhur dan roh-roh sihir luar yang menemukan diri mereka dalam tradisi dan kepercayaan, ritual, seni dan hiburan, organisasi masyarakat dan kota, hak adat. Kota Bali dibangun dari titik disebut Pempatan Agung, konsepsi kosmologis disucikan oleh tradisi dan agama. Baru-baru ini kedatangan pariwisata di Bali telah memperkaya kehidupan sehari-hari kontemporer dan mempengaruhi sifat kota Bali.
Budaya dalam pendekatan teoritis perancangan kota merupakan cakrawala yang sangat luas terbuka bagi penelitian dan dapat dikembangkan dalam banyak dimensi. Untuk penelitian ini tidak terlalu jauh, dibatasi objek penelitian dan penggunaan konsep dan teori yang telah dibahas sebelumnya sebagai instrumen pengamatan untuk studi lapangan.
323
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA 324
S
T
U
D
I
P
E
N
D
E
K
A
T
A
N
B
U
D
A
Y
A
Budaya
Tradisi dan Kepercayaa n Agama Tradisi Adat BudayaSeni pertunjukan
Hak Dasar
Warisan keluarga
Fungsi sosial
Aturan Kekuasaan
Manajemen konflik
Pengaturan aktivitas dan alam
Sistem Nilai Pandangan ttg dunia Etika
Dimensi Misits
Makna Hidup
Struktur Sosial dan Politik
Gaya Hidup Produksi Alat Adat
Makanan
Seni dan Sastra Bahasa Arsitektur
etc. Subjek
disertasi: Spirit kota
Kehidupan budaya
Anthropologis Perencana Architek te Perancang KotaStudi campuran Pandangan Ahli
Sintesis Berkelanjutan
S
T
U
D
I
P
E
M
B
A
N
G
U
N
A
N
K
O
T
A
Penduduk Ruang : AturanKota
Politique Social Religieux Économie Morphologie & typologie Technologie ArtOrganisasi Ruang
Karya
Preteks ekonomi
Peraturan
Perubah Arsiitektur
Perencana an
Perubahan morfologis
[image:40.729.98.674.67.458.2]Urban disain
325 A. Teknik pengumpulan data
Terdapat dua jenis data. Data sekunder yang dikumpulkan sebelumnya oleh para peneliti dan terkait sosial, budaya, agama dan segala sesuatu tentang latar belakang bentuk spasial; data mentah yang dikumpulkan oleh pengamatan lingkungan (komposisi ruang, peraturan) dan analisis respon (perilaku dan reaksi dari orang-orang di kota untuk menjawab pertanyaan tentang kemampuan kota untuk mengakomodasi kegiatan mereka). Untuk memfasilitasi pengumpulan, data mentah telah disederhanakan sebagai: perilaku, ruang dan reaksi.
Kumpulan data pertama yang dikumpulkan selama wawancara dengan ahli budaya Bali, para pemimpin desa adat, penduduk setempat maupun melalui pengamatan langsung dari kegiatan sehari-hari warga di Pempatan Agung. Untuk data aktivitas, kuesioner yang diberikan kepada pendudk sekitar pempatan agung. Responden dapat memilih lebih dari satu respon yang disesuaikan dengan kondisi mereka. Kelompok kedua dari data yang berasal dari pengamatan langsung di lapangan, penyusunan dokumen resmi, wawancara langsung terstruktur dengan tokoh dari desa-desa tradisional untuk mendapatkan data morfologi. Kelompok ketiga data didasarkan pada wawancara dengan penduduk setempat. Kebanyakan kuesioner memberi kesempatan bagi responden untuk memilih lebih dari satu jawaban disesuaikan dengan kondisi, pendapat, persepsi, pesan pribadi, yang memungkinkan mereka untuk memberikan pendapat pribadi mereka pada pengembangan desa mereka.
B. Pemilihan sampel
a. Pempatan Agung
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
326
bahwa struktur spasial asli dari desa Bali adalah homogen. Seperti kita ketahui, pembangunan membawa perubahan. Dipercaya bahwa pengembangan kota mengubah desa tradisional Bali. Hasil penelitian ini digunakan untuk memilih sampel penelitian. Dalam tata ruang yang sangat homogen, bisa dipilih sampel dalam jumlah kecil. Tapi untuk lebih memahami perkembangan, area yang dipilih harus ditingkatkan. Penelitian ini menggunakan metode sampling kuota (quota sampling) untuk stratifikasi sampel (stratified sampling), yang yang menggunakan
cara hierarki administrasi.
Provinsi Bali terdiri dari 9 Daerah Tingkat II (Dati II departemen) dibagi dalam 1 kota (Denpasar) dan 8 kabupaten. Penelitian ini berfokus pada wilayah-wilayah administratif. Di setiap kabupaten dan kota dipilih tiga Pempatan Agung sesuai dengan lokasi mereka. Lokasi Pempatan Agung dibagi menjadi tiga jenis:
di ibukota kabupaten/kota (disebut Pempatan Agung urban, PAU): ada 9 bagian kabupaten, ditambah kotamadya Denpasar.
di ibukota kecamatan (diesbut Pempatan Agung semi-urban, PASU) : dipilih 9 kecamatan dengan masing-masing 1 kabupaten/kota satu kecamatan di desa administratif (disebut Pempatan Agung rural, PAR): dari 51
kecamatan di Bali yang terdapat 1371 desa tradisional Bali dan 658 kelurahan.
Semua PAU kabupaten/kota diteliti sehingga, ada 9 PAU, 9 PASU, dan 9 PAR. Karena di Denpasar tidak ada PAR, maka di Denpasar ditambahkan 1 PAU jadi ada PAU 10, 9 PASU dan 8 PAR.
Untuk mencapai sampel tersebut beberapa asumdi yang digunakan adalah::
327
PASU yang dipilih harus berada di tengah-tengah ruang didefinisikan wilayah departemen. RAP yang dipilih harus berada, dari kerajaan kuno di departemen.
[image:43.516.201.393.178.324.2] Persimpangan yang dipilih harus persimpangan suci desa adat.
Gambar 4. Skematik pemilihan sampel
b. Responden
Seperti dalam kasus tata ruang, penduduk Bali relatif homogen. Suku Bali adalah kelompok etnis mayoritas. Pada tahun 2000 mayoritas oarng Bali beragama Hindu 2.830.561 atau sekitar 91% dari seluruh penduduk. Dalam penelitian ini kehidupan sosial-budaya dan politik sehari-hari dianggap homogen. Untuk pendekatan ini, digunakan metode yang sama, yaitu metode quota (quota sampling) dengan sampel yang representatif (stratified sampling) untuk memilih orang-orang untuk diwawancarai. Jadi ada tiga tingkatan orang untuk wawancara.
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
328
perkembangan budaya. Hasil wawancara ini diberlakukan dengan seluruh Pempatan Agung dalam arti spiritual dan spasial.
Kedua adalah pemimpin lokal yang dipilih desa-desa tradisional, anggota keluarga kerajaan, pedanda, guru, pejabat, dll. Sebagai budaya Bali yang diselenggarakan secara kolektif, survei dilakukan melalui kepala adat kota tuan rumah pertemuan tersebut. Peserta adalah relawan. Akibatnya, jumlah mereka adalah variabel (lihat Lampiran 2. Informan). Untuk seluruh bagian dari penyelidikan, kami bertemu dengan 59 peserta. Pertanyaan-pertanyaan fokus pada sejarah lokal baik secara politik dan morfologi dan dianalisis dalam konsepsi Pempatan Agung.
Ketiga terdiri dari masyarakat. Kami memilih secara acak (random sampling). Setiap desa adat menawarkan penduduknya kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam survei ini. Budaya Bali dan orang-orang relatif homogen, sehingga tidak perlu sampel besar. Karena waktu dan dana yang sangat terbatas, diputuskan untuk mengadakan pertemuan 5 individu untuk setiap desa. Untuk 27 desa tradisional, sehingga dpiilih 135 orang. Pertanyaan adalah pribadi: kegiatan mereka di Pempatan Agung, persepsi dan pandangan pada konsepsi dan pengembangan Pempatan Agung pada umumnya dan desa adat mereka pada khususnya.
C. Teknik Analisis
Analisis pertama menyangkut konsepsi Pempatan Agung dikumpulkan melalui wawancara dan kuesioner (analisis perilaku). Dilakukan pengelompokkan opini yang objektif tentang Agung Pempatan menjadi tiga kelompok yaitu untuk mengetahui dasar kosmologis,fungsinya menurut masyarakat desa, dan perannya dalam pembangunan saat ini dan masa depan.
329
kosmologi dalam morfologi asli dari desa adat. Kemudian diteliti perubahan akibat pembangunan. Dari lokasi puri di Pempatan Agung, dianalisis spirit budaya Pempatan Agung dan tingkat kekuatan kosmik puri. Kemudian dianalisis morfologi Pempatan Agung: berubah, beradaptasi dan berkelanjutan . Analisis dengan menggunakan teknik "layering" untuk membandingkan struktur spasial. Tingkat perubahan diukur berdasarkan tiga klasifikasi "berubah, berkesinambungan dan beradaptasi" tergantung morfologi dan simbolik atribut (orientasi, lokasi peralatan) dalam aplikasi dan dalam transformasi pembangunan. Akhirnya, berdasarkan hasil ini, dicari perubahan dalam spirit Pempatan Agung, dengan mempertimbangkan pandangan individu atau pemuka/ tokoh masyarakat.
Dari dua analisis tersebut (perilaku dan ruang), diidentifikasikan tren dalam berubah, berkesinambungan dan beradaptasi" Pempatan Agung untuk menentukan nilai-nilai tata ruang, konsekuensi dari pengembangan lahan, politik dan ekonomi di perilaku masyarakat, kelemahan dan kekuatan budaya Bali dan akhirnya menemukan spirit budaya Pempatan Agung. Digunakan hasil analisis ini untuk membantu dalam pelestarian spirit Pempatan Agung Bali dalam mengembangkan kota-kota masa depan.
Analisis perubahan morfologi akan dibuat dari pendekatan budaya Bali untuk menyoroti spirit Pempatan Agung. Dari sintesis dan dengan studi banding tentang Konservasi kota-kota Eropa, kemudian diusulkan Model konservasi Pempatan Agung di proyek perkotaan. Konseptualisasi tentang budaya, kota, spirit kota dan proyek rancang kota dalam proses pembangunan yang digunakan untuk mengatur penelitian. Pada bagian ini, akan dipelajari unsur budaya dan kota dalam konteks Bali, khususnya spirit Pempatan Agung dari tiga pendekatan budaya:
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
330
bentuk perilaku seluruh kegiatan budaya, sosial dan keagamaan dari aktor yang dihasilkan konsepsi ini;
bentuk materi budaya melalui morfologi desa adat Bali, transformasi dan adaptasi mereka untuk proses pembangunan.
2.2 Dasar-Dasar sosial budaya dan spasial
2.2.1 Asal Budaya dan sejarah
2.2.2. Kehidupas sehari-hari (tradisi dan agama, ritual, seni, pariwisata) 2.2.3 organisasi kemasyarakatan
2.2.4 Stratifikasi sosial 2.2.5 Awig-Awig
2.2.6 Konsepsi Kosmologis
2.2.7 Konsepsi Spasial dan Arsitektural
2.3 Pempatan Agung : Konsepsi dan Aplikasi spasial
2.3.1 Konsepsi
A. Deskripsi Umum Pempatan Agung
Secara fisik Pempatan Agung adalah persimpangan besar berorientasi dari timur ke barat, utara ke selatan. Pempatan Agung terletak di pusat desa adat tradisional Bali. Ini adalah titik nol desa tradisional Bali. Beberapa desa tradisional menjadi kota berkat posisi strategis mereka. Dalam perspektif masyarakat Bali, persimpangan jalan ini adalah tempat simbolis suci. Ia lahir dari konsepsi Catus Patha yang dipahami sebagai pertemuan empat arah (Timur, Selatan, Barat dan Utara). Konsepsi ini berasal dari dua budaya, Bali kuno (Bali Aga) dengan konsepsi Nyegara gunung (arah laut ke pegunungan) atau Ulun teben. Arah gunung adalah
331 B. Peran dan Fungsi
Seperti tubuh manusia, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, masing-masing bagian desa memiliki peran yang berkaitan dengan hubungan, ritus, tempat sosial dan budaya desa adat. Keterkaitan ini memastikan kehidupan desa yang berkelanjutan. Jika salah satu bagian tubuh yang rusak, seluruh desa tidak akan berjalan dengan baik. Menurut Lontar Catur Bhuwana Pempatan Agung adalah takhta Shang Hyang Catur Bhuwana, yang didedikasikan untuk Siwa. Ini adalah pusat dari lima kekuatan dalam empat arah: utara didedikasikan untuk Wisnu (dewa penjaga), timur didedikasikan untuk Içwara, Selatan didedikasikan untuk dewa penciptaan (Brahma) dan Barat didedikasikan untuk Mahadewa, pusat didedikasikan untuk Ciwa. Kekuasaan ini menciptakan keseimbangan alam (makrokosmos dan mikrokosmos) melalui mana kemakmuran diberikan kepada empat tujuan hidup: hidup kekal (Moksha, untuk akhirat, tercermin persimpangan), kehidupan budaya ( kama, tercermin puri, banjar bale, Wantilan), sosial ekonomi (arta, tercermin pasar) dan kehidupan rohani (dharma, tercermin dari Pura) (wawancara dengan kepala PHDI, Februari 2001) .
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
332
[image:48.516.163.396.285.418.2]kehidupan. 25% dari mereka percaya bahwa itu adalah takhta Ciwa (dewa kehancuran). 16% memaknai Pempatan Agung adalah pusat pertemuan desa dan 14% menganggapnya hanya sebagai persimpangan jalan. Hanya 5% Pempatan Agung adalah tempat komunikasi antara raja dan rakyat, dan 4% melihatnya sebagai tempat rekreasi. Survei ini menunjukkan bahwa spirit Pempatan Agung adalah pusat energi dan tahta Ciwa. Ini adalah bukti bahwa agama adalah nilai yang paling penting bagi masyarakat Bali kontemporer. Makna sosial Pempatan Agung lebih kuat dari pada sekedar makna fungsional (lalu lintas). Semakin kecil peran Pempatan Agung sebagai pusat kerajaan menunjukkan melemahnya peran raja di kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.
Tabel 1 : Makna Pempatan Agung
Makna %
Hanya persimpangan jalan 14 Energi spiritual desa adat 95 Pusat pertemuan anggota desa 16
Takhta çiwa 25
Tempat berkomunikasi raja-rakyat 5 Tempat rekreasi penduduk 4 (Sumber : Wawancara, Januari-Maret 2001)
333
Tabel 2 : Fungsi Pempatan Agung
Fungsi %
Sebagai jalur sirkulasi 41
Pusat upacara ritual 92
Pusat administrasi 12,8
Pusat kegiatan sosial desa 22
Pusat ekonomi 8
(Sumber : Wawancara, Januari-Maret 2001)
Dengan demikian, Pempatan Agung bagi masyarakat Bali merupakan tempat yang memiliki nilai sakral karena disanalah banyak upacara penyucian alam dilaksanakan. Hal itu juga ditunjukkan dengan konsepsi spasial Pempatan Agung yang secara teoritis adalah sebagai berikut.
[image:49.516.99.470.326.565.2]SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
334 2.3.2 Tipologi Kota-kota di Bali
2.3.3 Denpasar (PA Denpasar, Pemecutan, Kesiman)
[image:50.516.183.377.249.434.2]Aplikasi dari konsepsi tersebut beragam. Terutama setelah terjadi pengembangan kota. Penelitan ini telah mengindentifikasi perkembangan morfologi di 27 pempatan agung baik yang urban, semi urban dan rural. Contohnya adalah pada Pempatan Agung Denpasar sebagai berikut.
Gambar 6.Morfologi Pempatan Agung Denpasar
Kiri atas: Pempatan Agung jaman kerajaan, kanan atas: jaman penjajahan, kiri bawah: awal kemerdekaan, dan kanan bawah adalah tahun 2000.
335
2.3.4 Pempatan Agung Badung (Mengwi, Taman, Gerana) 2.3.5 Tabanan (Tabanan, Kerambitan, Belayu)
2.3.6 Gianyar ( Gianyar, Ubud, Apuan) 2.3.7 Bangli ( Bangli, Temukus, Apuan)
2.3.8 Klungkung ( Semarapura, Gel-Gel, Takmung) 2.3.9 Karangasem (Amlapura, Ulakan, Belong) 2.3.10 Buleleng ( Paket Agung, Sukasada, Banyuning) 2.3.11 Jembrana ( Batu Agung, Negara, Yeh Embang)
2.4 Pembelajaran dalam perspektif: analisis budaya dan
perubahan morfologi
[image:51.516.83.479.418.574.2]Nilai-nilai sosial dan budaya sangat mempengaruhi morfologi desa adat Bali yang saat ini merupakan kota. Analisis spasial sebelumnya menunjukkan evolusi morfologi yang mengubah kerangka kosmologis, telah disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari dengan tetap menjaga prinsip-prinsip budaya Bali. Beberapa fasilitas tetap bertahan dan sebagian lagi berubah. Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Kecenderungan berubah, tetap,adaptasi atau penciptaan baru Pempatan Agung
Fasilitas Total Berubah Tetap Adaptasi Baru
Titik PA 27 16 (59,26%) 11 (40,74%)
Wantilan 17 7 (41,17%) 4 (23,53%) 6 (35,30%) Lapangan 17 4 (23,53%) 11 (67,70%) 2 (11,77%)
Puri 22 3 (13,64%) 15 (68,18%) 4 (18,18%)
Pura 19 1 (5,26%) 18 (94,74%) 1
Pasar 19 4 (21,05%) 11 (57,89%) 4 (21,05%) 1
Pohon berimgin 19 3 (26,32%) 14 (73,68%)
Bale Banjar 8 2 (25%) 5 (62,5%) 1 (12,5%) 3
Rumah keluarga raja
34 21 (61,76%) 13 (38,24%)
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
336
mereka cenderung bertahan, namun semakin profan atau komersial cenderung berubah.
Pura
A Pohon beringin B Puri
C Lapangan D Bale Banjar E Pasar
F Titik 0 Pempatan Agung G Wantilan
[image:52.516.100.477.134.390.2]H Rumah
Gambar 7 Kecenderungan berubah
Kecenderungan kedua menyangkut komposisi Pempatan Agung. Seperti diketahui, lokasi terbaik puri terletak timur laut atau barat daya. Oleh karena itu jelas bahwa lokasi ini akan sangat penting untuk menempatkan peralatan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% dari puri yang terletak di timur laut, 36,36% di barat daya dan 13,64% tenggara (Gambar 8). Dari gambar ditunjukkan pada Gambar. 3.3, perubahan berasal dari lokasi Pura, karena secara teoritis itu harus ditempatkan di timur laut. Sudut timur laut dipertanyakan. Sudut Ini menjadi alternatif untuk alun-alun, pura, pasar dan beringin. Penempatan Puri dan transformasinya mencerminkan bahwa kekuasaan raja mampu menentukan organisasi wilayahnya lebih dari kekuasaan ritual (pedanda).
Berubah
A
B
C D E
F
G
Bertahan
337
Gambar 8. Variasi Aplikasi Spasial Pempatan Agung
Di antara komposisi Pempatan Agung urban, Pempatan Agung dari Denpasar dan Bangli yang paling berubah, sementara di Karangasem dan Jembrana cenderung bertahan. Kecenderungan ketiga menyangkut "perkotaan dan pedesaan". 27 Pempatan Agung yang diamati, 10 adalah perkotaan, semi-perkotaan 9 dan 8 adalah pedesaan. Lokasi yang dipilih adalah berdasarkan posisi dalam hirarki wilayah administratif (ibukota kabupaten/kota, kecamatan dan desa administratif). Beberapa fasilitas masih ada sekitar Pempatan perkotaan Agung, di antaranya Wantilan, alun-alun, puri, pohon beringin, rumah-rumah bangsawan dan pasar (abesn di 2 Pempatan Agung urban, tapi ada dekatnya). Di Pempatan Agung di semi-urban dan ruarl, beberapa fasilitas ini tidak ada. Kesimpulannya, Agung Pempatan menjadi pusat perkotaan berkat adanya enam fasilitas di atas
Palais : 13,64% Wantilan : 23,53% Esplanade : 23,53% Temple : 5,26% Marché : 15,79%
Banian : 42,10%
Bale Banjar : 12,5%
Palais : 50%
Wantilan : 17,65% Esplanade : 5,9% Temple : 26,37% Marché : 15,79% Banian : 5,26% Bale Banjar : 12,5%
Palais : 0% Wantilan : 23,53% Esplanade : 41,17% Temple : 36,84% Marché : 47,37% Banian : 26,37% Bale Banjar : 0% Palais : 36,36%
Wantilan : 35,29%
Esplanade : 29,41% Temple : 26,37% Marché : 21,05% Banian : 21,05%
Bale Banjar : 50%
Nord
Est Ouest
Temple :5,26 %
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
338
[image:54.516.135.482.435.564.2]Mengalami perubahan fisik di pempatan Agung terjadi beberapa perubahan perilaku masyarakat. Yang pertama adalah Ngaben. Kekosongan titik nol Pempatan Agung, diterapkan dari abad kesepuluh di bekas kerajaan Bali Bedahulu melambangkan ruang netral di mana mitos cosmo-logis kekuatan positif dan negatif yang dinetralkan. Ini mengakomodasi upacara ritual, seperti ngaben dan mecaru, atau Caru yang membutuhkan ruang yang cukup besar. Penambahan kudus, dimulai dengan kerajaan Klungkung pada abad ketujuh belas, menyebabkan perubahan sebagian Pempatan Agung fasad. Akibatnya, ritual harus beradaptasi dengan perubahan ruang. Yang pertama adalah ngaben. Biasanya Baden "menyala sendiri" kiri di titik nol Pempatan Agung untuk jiwa Turun almarhum, memurnikan dan menyatukan makrokosmos. Kehadiran tempat kudus pada saat ini tidak mampu melakukan ritual ini. Orang Bali telah kemudian diadaptasi upacara dengan "berbalik" tempat kudus dari kiri. Adaptasi yang sama ditemukan dalam upacara Ngerupuk sehari sebelum tahun baru, ketika Bali membawa adat Ogoh-ogoh di sekitar desa, yang memutar sekitar Pempatan Agung kemudian memimpin mereka di plaza atau ke pemakaman untuk membakar (melambangkan kehancuran roh jahat).
Gambar 9. Perubahan kegiatan rangkaian Ngaben sebelum dan sesudah perubahan PA
(Sumber: wawancara dan survei lapang, 2001)
Bade diputar di titik PA Bade mengelilingi Tugu
Bade
Bade
339
[image:55.516.113.443.227.364.2]Adaptasi kedua karena kehadiran tugu adalah mecaru, yang dirayakan setiap Tahun Baru. Semua orang yang hadir pada upacara tersebut, membawa banyak sesajen. Mereka membutuhkan ruang yang besar. Keberdaaan Tugu mencegah sebagian orang untuk berpartisipasi dalam upacara di persimpangan jalanhal itu menjadi alasan untuk mengubah lokasi. Ini adalah kasus desa adat Denpasar menyelenggarakan upacara ini sebelum ada tugu (bersatu dengan pura desa) atau di alun-alun.
Gambar 10. Adaptasi Upacara Mecaru di Pempatan Agung Denpasar
Kompromi terlihat di Pempatan Agung Mengwi sejak tugu dibangun di salah satu jalan (lihat Gambar. 11). Dengan cara ini, Pempatan Agung bebas untuk Bali digunakanupacara ritual dengan sempurna. Tugu dibangun untuk menandakan identitas desa adat dan memenuhi keinginan rakyat untuk menempatkan sesaji di tempat tertentu
Gambar 11. Pempatan Agung yang diadaptasi Alun-alun
Pura
Alun-Alun
N
[image:55.516.214.364.553.623.2]SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
340
Perubahan lainnya adalah berubahnya nilai kesucian zona tertentu akibat pembangunan. Vertikal disebelah Pura. Pada bangunan yang lebih tinggi dari pura terdapat toilet yang secara vertikal mengurangi kesucian pura. Perubahan fungsi di lingkaran inti pempatan Agung juga merusak kerangka nilai magis religius Pempatan agung. Berubahnya puri menjadi kantorpenguasa penjajah dan perumahan para prajuritnya merubah pula tatanan yang diperhitungkan secara kosmologis sebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut pada akhirnya merubah tingkat kesucian di kawasan pempatan Agung. Untuk orang Bali yang memahami konsepsi kosmologi Pempatan Agung, perubahan fisik ini secara otomatis mengubah spirit asli Pempatan Agung. 68,8% responden setuju dengan pernyataan ini. Pempatan Agung cenderung berubah karena alasan ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai spiritual. Bangunan baru dan tugu mengurangi dimensi ruang ritual. Orang-orang tidak dapat mengatur upacara ritual. Akibatnya ruang kosmologis kehilangan perannya "mitis, sakral, magis dan pusat". Perubahan fungsi puri juga dapat mengubah segalanya. Puri ini sama dengan Pempatan Agung, jika satu berubah, kesatuan spasial Pempatan Agung juga berubah.
341
2.5 Simpulan
Setelah mempelajari konsepsi kosmologi Pempatan Agung, aplikasi morfologinya di 27 desa tradisional Bali dan transformasi di unit administratif kontemporer, dapat disimpulkan tentang Pempatan Agung, khususnya pada perspektif rancang kota. Dalam komposisi perkotaan, PA menawarkan makna religius, yang mencerminkan perilaku sosial-budaya dan merupakan transformasi spasial dari kekuasaan. Studi tentang makna Pempatan Agung dalam hal kosmologis dan dalam konsepsi kota membantu untuk memahami bagaimana orang Bali melihat dunia dan menerapkan konsepsi ini untuk perancangan kota. Transformasi spasial dari dinamika budaya berkait dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali kontemporer, organisasi masyarakat, stratifikasi sosial dan peraturan adat. Tampaknya bahwa masyarakat Bali sangat konsisten untuk menerapkan nilai-nilai kosmologis dalam perencanaan tata ruang. Pempatan Agung adalah pusat kekuatan supranatural kosmik dari lima dewa mitos yang berkait dengan kekuatan duniawi, ekonomi, politik dan sosial, dan diwujudkan dalam nilai-nilai masing-masing fungsi. Ini berarti bahwa setiap fungsi memiliki nilai dan lokasi di mana Bali mencapai kemakmuran.
A. Spirit Pempatan Agung
Pertama dan yang utama dari makna Pempatan Agung adalah pusat keagamaan di mana energi spiritual desa adat. Energi ini berasal dari lima kekuatan dewa (Panca Dewata) yang berstana di empat arah sementara pusat energi kekuatan negatif dari buthakala dinetralkan. Hal ini memberikan spirit Pempatan Agung
SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA
342
tertentu. Fasilitas ini ada untuk memperkuat Pempatan Agung sebagai pusat spiritual. Pe patan Agung erupakan representasi dari spirit kolektivitas masyarakat. Ia mewujudkan kesatuan tata ruang, politik, kosmologis, sosial, budaya dan agama. Sebagai bagian pemersatu Pempatan Agung adalah titik pusat bimbingan untuk semua fungsi. Puri, pasar, perumahan, dan Wantilan, Bale Banjar diarahkan ke tempat suci ini. Dalam perencanaan kota ini, itu adalah titik
[image:58.516.196.399.229.377.2]pusat dari lalu lintas. Ini adalah pusat dari pusat, sentralitas kosmos .
Gambar 12 Spirit Pempatan Agung
B. Kosong adalah isi, isi adalah kosong
Konsepsi asli Pempatan Agung kosong. Tapi dalam kosong ini, ada konten yang sangat kuat: kekuatan supranatural positif (lima Dewa) dan negatif (buthakala). Orang Bali kuno telah ketat menerapkan konsepsi ini seperti yang tertulis dalam buku Hasta Kosali Kosali. Tapi dalam pemahaman kontemporer (sejak abad keenam belas), kosong ditafsirkan sebagai ruang di mana dapat dibangun sebuah tugu untuk menetralisir kekuatan supranatural dan menempatkan persembahan. Kekosongan dianggap sebagai "kehadiran isi dan isi tidak akan ada kecuali bila ada ruang kosong." Konsepsi ini juga dijelaskan oleh Ashihara (1974) mirip dengan konsepsi Sekala dan Niskala. Baik kosong maupun isi dapat hadir dalam dua dimensi, fisik (dalam hal ini adalah tugu Pempatan Agung) dan spiritual
Kolektifita
Pusat Kosmos
343 C. Transformasi spasial kekuatan politik
Konsepsi Pempatan Agung adalah murni agama, kosmologi, tetapi kekuasaan politiklah yang memutuskan implementasinya. Lokasi puri masih yang terbaik, dalam orientasi yang paling suci (timur laut, 41%) yang secara teoritis adalah lokasi yang dicadangkan untuk pura. Ini berarti bahwa kekuasaan politik lebih menentukan daripada agama. Hal ini bisa dimaknai bahwa puri bukan hanya memiliki kekuatan politik tetapi juga kekuatan agama. Puri dapat memobilisasi orang untuk merayakan ritual upacara wabah atau perang yang mengancam keberadaan kerajaan. Masyarakat Bali kuno menerima konsepsi ini karena mereka percaya pada konsep Tuhan Raja (Raja Dewa). Raja adalah wakil Tuhan di bumi, bagian dari dunia dewata.
D. Pempatan Agung: titik petanda, identitas, dan ruang publik masyarakat Bali
Dalam desain kota, kota-kota Eropa memiliki sejumlah tolok ukur yang memungkinkan mereka untuk menunjukkan identitas mere