• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran dalam perspektif: analisis budaya dan perubahan morfolog

BAGIAN KEDUA SPIRIT BUDAYA PADA PEMPATAN AGUNG Seperti telah disebutkan di Pendahuluan, metode penelitian yang digunakan

A. Deskripsi Umum Pempatan Agung

2.4 Pembelajaran dalam perspektif: analisis budaya dan perubahan morfolog

Nilai-nilai sosial dan budaya sangat mempengaruhi morfologi desa adat Bali yang saat ini merupakan kota. Analisis spasial sebelumnya menunjukkan evolusi morfologi yang mengubah kerangka kosmologis, telah disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari dengan tetap menjaga prinsip-prinsip budaya Bali. Beberapa fasilitas tetap bertahan dan sebagian lagi berubah. Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Kecenderungan berubah, tetap,adaptasi atau penciptaan baru Pempatan Agung

Fasilitas Total Berubah Tetap Adaptasi Baru

Titik PA 27 16 (59,26%) 11 (40,74%) Wantilan 17 7 (41,17%) 4 (23,53%) 6 (35,30%) Lapangan 17 4 (23,53%) 11 (67,70%) 2 (11,77%) Puri 22 3 (13,64%) 15 (68,18%) 4 (18,18%) Pura 19 1 (5,26%) 18 (94,74%) 1 Pasar 19 4 (21,05%) 11 (57,89%) 4 (21,05%) 1 Pohon berimgin 19 3 (26,32%) 14 (73,68%) Bale Banjar 8 2 (25%) 5 (62,5%) 1 (12,5%) 3 Rumah keluarga raja 34 21 (61,76%) 13 (38,24%)

Kecenderungan perubahan pertama adalah terhadap fungsi yang terjadi di PA tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin sakral fungsi maka

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

336

mereka cenderung bertahan, namun semakin profan atau komersial cenderung berubah. Pura A Pohon beringin B Puri C Lapangan D Bale Banjar E Pasar

F Titik 0 Pempatan Agung G Wantilan

H Rumah

Gambar 7 Kecenderungan berubah

Kecenderungan kedua menyangkut komposisi Pempatan Agung. Seperti diketahui, lokasi terbaik puri terletak timur laut atau barat daya. Oleh karena itu jelas bahwa lokasi ini akan sangat penting untuk menempatkan peralatan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% dari puri yang terletak di timur laut, 36,36% di barat daya dan 13,64% tenggara (Gambar 8). Dari gambar ditunjukkan pada Gambar. 3.3, perubahan berasal dari lokasi Pura, karena secara teoritis itu harus ditempatkan di timur laut. Sudut timur laut dipertanyakan. Sudut Ini menjadi alternatif untuk alun-alun, pura, pasar dan beringin. Penempatan Puri dan transformasinya mencerminkan bahwa kekuasaan raja mampu menentukan organisasi wilayahnya lebih dari kekuasaan ritual (pedanda).

Berubah A

B

C D E

F

G

Bertahan

H

337

Gambar 8. Variasi Aplikasi Spasial Pempatan Agung

Di antara komposisi Pempatan Agung urban, Pempatan Agung dari Denpasar dan Bangli yang paling berubah, sementara di Karangasem dan Jembrana cenderung bertahan. Kecenderungan ketiga menyangkut "perkotaan dan pedesaan". 27 Pempatan Agung yang diamati, 10 adalah perkotaan, semi-perkotaan 9 dan 8 adalah pedesaan. Lokasi yang dipilih adalah berdasarkan posisi dalam hirarki wilayah administratif (ibukota kabupaten/kota, kecamatan dan desa administratif). Beberapa fasilitas masih ada sekitar Pempatan perkotaan Agung, di antaranya Wantilan, alun-alun, puri, pohon beringin, rumah-rumah bangsawan dan pasar (abesn di 2 Pempatan Agung urban, tapi ada dekatnya). Di Pempatan Agung di semi-urban dan ruarl, beberapa fasilitas ini tidak ada. Kesimpulannya, Agung Pempatan menjadi pusat perkotaan berkat adanya enam fasilitas di atas

Palais : 13,64% Wantilan : 23,53% Esplanade : 23,53% Temple : 5,26% Marché : 15,79% Banian : 42,10% Bale Banjar : 12,5% Palais : 50% Wantilan : 17,65% Esplanade : 5,9% Temple : 26,37% Marché : 15,79% Banian : 5,26% Bale Banjar : 12,5% Palais : 0% Wantilan : 23,53% Esplanade : 41,17% Temple : 36,84% Marché : 47,37% Banian : 26,37% Bale Banjar : 0% Palais : 36,36% Wantilan : 35,29% Esplanade : 29,41% Temple : 26,37% Marché : 21,05% Banian : 21,05% Bale Banjar : 50% Nord Est Ouest Temple :5,26 % Sud

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

338

Mengalami perubahan fisik di pempatan Agung terjadi beberapa perubahan perilaku masyarakat. Yang pertama adalah Ngaben. Kekosongan titik nol Pempatan Agung, diterapkan dari abad kesepuluh di bekas kerajaan Bali Bedahulu melambangkan ruang netral di mana mitos cosmo-logis kekuatan positif dan negatif yang dinetralkan. Ini mengakomodasi upacara ritual, seperti ngaben dan mecaru, atau Caru yang membutuhkan ruang yang cukup besar. Penambahan kudus, dimulai dengan kerajaan Klungkung pada abad ketujuh belas, menyebabkan perubahan sebagian Pempatan Agung fasad. Akibatnya, ritual harus beradaptasi dengan perubahan ruang. Yang pertama adalah ngaben. Biasanya Baden "menyala sendiri" kiri di titik nol Pempatan Agung untuk jiwa Turun almarhum, memurnikan dan menyatukan makrokosmos. Kehadiran tempat kudus pada saat ini tidak mampu melakukan ritual ini. Orang Bali telah kemudian diadaptasi upacara dengan "berbalik" tempat kudus dari kiri. Adaptasi yang sama ditemukan dalam upacara Ngerupuk sehari sebelum tahun baru, ketika Bali membawa adat Ogoh-ogoh di sekitar desa, yang memutar sekitar Pempatan Agung kemudian memimpin mereka di plaza atau ke pemakaman untuk membakar (melambangkan kehancuran roh jahat).

Gambar 9. Perubahan kegiatan rangkaian Ngaben sebelum dan sesudah perubahan PA

(Sumber: wawancara dan survei lapang, 2001)

Bade diputar di titik PA Bade mengelilingi Tugu

Bade

Bade

339

Adaptasi kedua karena kehadiran tugu adalah mecaru, yang dirayakan setiap Tahun Baru. Semua orang yang hadir pada upacara tersebut, membawa banyak sesajen. Mereka membutuhkan ruang yang besar. Keberdaaan Tugu mencegah sebagian orang untuk berpartisipasi dalam upacara di persimpangan jalanhal itu menjadi alasan untuk mengubah lokasi. Ini adalah kasus desa adat Denpasar menyelenggarakan upacara ini sebelum ada tugu (bersatu dengan pura desa) atau di alun-alun.

Gambar 10. Adaptasi Upacara Mecaru di Pempatan Agung Denpasar

Kompromi terlihat di Pempatan Agung Mengwi sejak tugu dibangun di salah satu jalan (lihat Gambar. 11). Dengan cara ini, Pempatan Agung bebas untuk Bali digunakanupacara ritual dengan sempurna. Tugu dibangun untuk menandakan identitas desa adat dan memenuhi keinginan rakyat untuk menempatkan sesaji di tempat tertentu

Gambar 11. Pempatan Agung yang diadaptasi Alun-alun

Pura

Alun-Alun

N

SPIRIT KOTA. PENDEKATAN BUDAYA DALAM PERANCANGAN KOTA

340

Perubahan lainnya adalah berubahnya nilai kesucian zona tertentu akibat pembangunan. Vertikal disebelah Pura. Pada bangunan yang lebih tinggi dari pura terdapat toilet yang secara vertikal mengurangi kesucian pura. Perubahan fungsi di lingkaran inti pempatan Agung juga merusak kerangka nilai magis religius Pempatan agung. Berubahnya puri menjadi kantorpenguasa penjajah dan perumahan para prajuritnya merubah pula tatanan yang diperhitungkan secara kosmologis sebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut pada akhirnya merubah tingkat kesucian di kawasan pempatan Agung. Untuk orang Bali yang memahami konsepsi kosmologi Pempatan Agung, perubahan fisik ini secara otomatis mengubah spirit asli Pempatan Agung. 68,8% responden setuju dengan pernyataan ini. Pempatan Agung cenderung berubah karena alasan ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai spiritual. Bangunan baru dan tugu mengurangi dimensi ruang ritual. Orang-orang tidak dapat mengatur upacara ritual. Akibatnya ruang kosmologis kehilangan perannya "mitis, sakral, magis dan pusat". Perubahan fungsi puri juga dapat mengubah segalanya. Puri ini sama dengan Pempatan Agung, jika satu berubah, kesatuan spasial Pempatan Agung juga berubah.

Perubahan ini tentu dimungkinkan asalkan kontinuitas dipertahankan. Perubahan yang radikal mengubah spirit Pempatan Agung. Perubahan untuk fungsi yang setara - disebut, adaptasi - lebih diterima karena simbol-simbol asli dipertahankan. Tapi masyarakat Bali ingin mempertahankan simbol agama. Tindakan ini menunjukkan upaya mereka untuk melestarikan simbol agama (pura) dan masyarakat (Bale Banjar, puri). Mereka selalu setia mematuhi nilai- nilai kosmologis dan agama dan bertahan dalam kepercayaan mereka yang akan memimpin mereka untuk kesempurnaan yang kekal (Moksha).

341

2.5 Simpulan

Setelah mempelajari konsepsi kosmologi Pempatan Agung, aplikasi morfologinya di 27 desa tradisional Bali dan transformasi di unit administratif kontemporer, dapat disimpulkan tentang Pempatan Agung, khususnya pada perspektif rancang kota. Dalam komposisi perkotaan, PA menawarkan makna religius, yang mencerminkan perilaku sosial-budaya dan merupakan transformasi spasial dari kekuasaan. Studi tentang makna Pempatan Agung dalam hal kosmologis dan dalam konsepsi kota membantu untuk memahami bagaimana orang Bali melihat dunia dan menerapkan konsepsi ini untuk perancangan kota. Transformasi spasial dari dinamika budaya berkait dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali kontemporer, organisasi masyarakat, stratifikasi sosial dan peraturan adat. Tampaknya bahwa masyarakat Bali sangat konsisten untuk menerapkan nilai-nilai kosmologis dalam perencanaan tata ruang. Pempatan Agung adalah pusat kekuatan supranatural kosmik dari lima dewa mitos yang berkait dengan kekuatan duniawi, ekonomi, politik dan sosial, dan diwujudkan dalam nilai-nilai masing-masing fungsi. Ini berarti bahwa setiap fungsi memiliki nilai dan lokasi di mana Bali mencapai kemakmuran.