STUDI PENGENDALIAN GULMA DENGAN MENGGUNAKAN
HERBISIDA PADA BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR
DI LAHAN PASANG SURUT
ACHMAD YOZAR PERKASA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Pengendalian Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di Lahan Pasang Surut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Achmad Yozar Perkasa NIM A252120261
RINGKASAN
ACHMAD YOZAR PERKASA. Studi Pengendalian Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di Lahan Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI dan DWI GUNTORO.
Salah satu masalah dalam budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut adalah gangguan gulma. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut pada tanah mineral di Desa Banyu Urip dan tanah mineral bergambut di Desa Muliasari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan pada bulan Juli sampai Desember 2013.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok satu faktor yaitu jenis herbisida. Percobaan terdiri atas delapan perlakuan dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diuji yaitu kontrol (P0), penyiangan manual 4 minggu setelah tanam (MST) (P1), paraquat 2 l/ha 4 MST (P2), glifosat 3 l/ha 4 MST (P3), oksifluorfen 2 l/ha 3 hari sebelum tanam (HSbT) (P4), oksifluorfen 2 l/ha 3 HSbT di ikuti aplikasi paraquat 2 l/ha4 MST (P5), oksifluorfen 2 l/ha 3 HSbT di ikuti aplikasi glifosat 3 l/ha4 MST (P6), aplikasi herbisida penoksulam 1 l/ha 2 MST (P7).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gulma golongan teki Cyperus iria adalah gulma paling dominan pada lahan percobaan dengan NJD 37.77% di tanah mineral sedangkan di tanah mineral bergambut sebesar 26.43%. Herbisida yang paling efektif menekan gulma di tanah mineral adalah paraquat yang ditunjukkan dengan hasil bobot kering gulma total paling rendah pada 4, 6, dan 8 MST. Herbisida yang paling efektif menekan gulma di tanah mineral bergambut adalah oksifluorfen yang ditunjukkan dengan hasil bobot kering gulma total paling rendah pada 4 dan 8 MST. Herbisida yang paling baik untuk produksi kedelai di tanah mineral adalah glifosat ditunjukkan dengan produktivitas sebesar 3.76 ton/ha. Herbisida yang paling baik untuk produksi kedelai di tanah mineral bergambut yaitu paraquat yang ditunjukkan dengan produktivitas sebesar 1.5 ton/ha. Aplikasi herbisida pre emergence sebaiknya dilakukan sebelum tanam kedelai. Aplikasi herbisida post emergence harus dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan sungkup nozzle untuk mencegah keracunan pada tanaman. Kata kunci: budidaya jenuh air, kedelai, lahan pasang surut, pengendalian gulma.
SUMMARY
ACHMAD YOZAR PERKASA. Study of Weed Control by Herbicides under Soybean Saturated Culture in Tidal Swamp. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI and DWI GUNTORO
One of the problem on soybean saturated culture in tidal swamp is weed. The objective of this study was to obtain the most effective herbicide for weeds control on soybean saturated culture in tidal swamp. The research was conducted between July - December 2013, in tidal swamp of mineral soil at Banyu Urip and peaty mineral soil at Muliasari village, Tanjung Lago Districs, Banyuasin, Palembang, South Sumatera.
The study was conducted using a randomized block design which one factor were the type of herbicides. The experiment consisted of eight treatments with three replications. The treatments were: control (P0), manual weeding at 4 weeks after planting (P1), paraquat 2 l/ha at 4 weeks after planting (P2), glyphosate 3 l/ha at 4 weeks after planting (P3), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting (P4), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting followed application of paraquat 2 l/ha at 4 weeks after planting (P5), oxyfluorfen 2 l/ha at 3 days before planting followed application of glyphosate 3 l/ha at 4 weeks after planting (P6), application penoxulam 1 l/ha at 2 weeks after planting (P7).
The results showed that Cyperus iria were the most dominant weeds in the field with SDR 37.77% on mineral soil whereas 26.43% on peaty mineral soil. Paraquat herbicide effectively suppressed total dry weight of weeds on mineral soils at 4, 6, and 8 weeks after planting. Glyphosate herbicide effectively suppressed total dry weight of weeds on peaty mineral soil at 4 and 8 weeks after planting. The best herbicide for soybean production on mineral soils was glyphosate 3.76 tons/haproductivity. Whereas paraquat was the best herbicide for peaty mineral soil which was indicated by the productivity of 1.5 tons/ha. Pre-emergence herbicide should be applicated before soybeans planting. Post-emergence herbicide application must be done carefully by using a nozzle lid to prevent toxicity in plants.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
STUDI PENGENDALIAN GULMA DENGAN MENGGUNAKAN
HERBISIDA PADA BUDIDAYA KEDELAI JENUH AIR
DI LAHAN PASANG SURUT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli - Desember 2013 ini adalah Studi Pengendalian Gulma dengan Menggunakan Herbisida pada Budidaya Kedelai Jenuh Air di Lahan Pasang Surut.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS dan Dr Dwi Guntoro, SP, MSi selaku komisi pembimbing penelitian yang telah banyak memberikan saran dan dukungan materi dan nonmateri bagi kesempurnaan penelitian dan karya ilmiah ini.
2. Dr Ir Iskandar Lubis dan Dr Dewi Sukma, SP, MSi selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana penelitian yang telah diberikan.
4. Keluarga tercinta Ayah, Ibu, Kakak dan saudara-saudara atas doa, bantuan, dukungan, perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.
5. Keluarga Bapak Suaji dan Wakidi serta petani Desa Banyu Urip dan Muliasari atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian.
6. Teman-teman Pascasarjana AGH atas segala doa dan bantuan yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, Juni 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Hipotesis 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut 3
Budidaya Jenuh Air pada Tanaman Kedelai 3
Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai 4
Herbisida 4
METODE 8
Tempat dan Waktu 8
Bahan dan Alat 8
Metode 8
Pelaksanaan 9
Persiapan Lahan 9
Penanaman dan Pemupukan 9
Aplikasi Herbisida 9
Pemeliharaan dan Panen 9
Pengamatan 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Hasil 13
Pembahasan 23
KESIMPULAN DAN SARAN 28
Kesimpulan 28
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 28
LAMPIRAN 33
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan hasil analisis tanah awal 13
2 Data analisis air 14
3 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral 15 4 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral 15 5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah
mineral 16
6 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di
tanah mineral 17
7 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di
tanah mineral 17
8 Pengaruh perlakuan terhadap tingkat keracunan tanaman di tanah
mineral 18
9 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral bergambut 19 10 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral
bergambut 19
11 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah
mineral bergambut 20
12 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di
tanah mineral bergambut 21
13 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di
tanah mineral bergambut 21
14 Pengaruh perlakuan terhadap tingkat keracunan tanaman di tanah
mineral bergambut 22
DAFTAR GAMBAR
1 Struktur kimia glifosat 5
2 Struktur kimia paraquat 6
DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi varietas Tanggamus 33
2 Gambar petakan 34
3 Data curah hujan (mm/bulan) daerah penelitian tahun 2013 35
4 Data suhu 0C daerah penelitian tahun 2013 36
5 Kelembaban nisbi (%) daerah penelitian tahun 2013 37 6 Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah
mineral 38
7 Pengaruh perlakuan terhadap jenis gulma dan dominasinya di tanah
mineral bergambut 39
8 Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada
tanah mineral 40
9 Koefisien komunitas antar petak perlakuan sebelum percobaan pada
tanah mineral bergambut 41
10 Jenis - jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral 42 11 Jenis - jenis gulma di lahan pasang surut pada tanah mineral
bergambut 43
12 Analisis usahatani untuk perlakuan kontrol
(tanpa pengendalian gulma) di tanah mineral 44
13 Analisis usahatani untuk perlakuan penyiangan manual
di tanah mineral 45
14 Analisis usahatani untuk perlakuan herbisida glifosat
di tanah mineral 46
15 Analisis usahatani untuk perlakuan kontrol
(tanpa pengendalian gulma) di tanah mineral bergambut 47 16 Analisis usahatani untuk perlakuan penyiangan manual
di tanah mineral bergambut 48
17 Analisis usahatani untuk perlakuan herbisida paraquat
di tanah mineral bergambut 49
18 Perbandingan analisis usahatani/ha untuk masing-masing perlakuan tanah mineral dan tanah mineral bergambut
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai telah lama dibudidayakan di Indonesia, namun perkembangan luas areal tanam sangat lambat dan petani lebih mengutamakan menanam padi dan jagung sehingga kedelai tidak pernah menjadi tanaman utama. Produksi kedelai Indonesia pada tahun 2013 hanya 851 647 ton biji kering dan produktivitas 1.3 ton/ha, sementara kebutuhan kedelai nasional sebanyak 2.3 juta ton. Kekurangan kebutuhan kedelai nasional dipasok melalui impor dari Amerika Serikat dan Brazil sebanyak 1.4 juta ton (BPS 2014).
Peningkatan produksi kedelai harus terus diusahakan melalui upaya pengembangan lahan pertanian potensial, salah satunya lahan rawa pasang surut. Kelebihan air di lahan rawa pasang surut merupakan kendala dalam penanaman kedelai (Sabran et al. 2000). Namun kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat apabila dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan lainnya, dan cepat memperbaiki pertumbuhannya setelah air berkurang (Stanley et al. 1980).
Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman dengan memberikan air secara terus-menerus dan membuat tinggi muka air di bawah permukaan tanah tetap sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air (Hunter et al. 1980). Penelitian Ghulamahdi et al. (2009) membuktikan bahwa produktivitas kedelai kuning varietas Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton/ha dengan teknik budidaya jenuh air (BJA). Sagala et al. (2013) juga berpendapat teknologi budidaya jenuh air dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut salin.
Karakteristik lahan rawa apabila dikeringkan akan mengoksidasi pirit yang dapat menyebabkan rendahnya pH tanah. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah yaitu sekitar 800 kg/ha. Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh kemasaman tanah yang tinggi sehingga kelarutan Fe, Al, dan Mn menjadi tinggi, serta rendahnya ketersediaan P dan K (Suastika dan Sutriadi 2001).
Kendala peningkatan produksi kedelai di lahan pasang surut selain masalah biofisik tanah yang menyebabkan produksi kedelai rendah juga disebabkan adanya gulma. Gulma di lahan pasang surut masih menjadi faktor pembatas produksi dan menjadi penting karena investasinya cukup besar, pertumbuhannya sangat cepat dan subur. Gulma perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan kerugian. Penelitian Nurjanah (2003) menyatakan terjadi penurunan jumlah polong dan jumlah polong isi pada kedelai tanpa olah tanah pada perlakuan tanpa pengendalian gulma.
Pengendalian gulma pada tanaman palawija di Indonesia umumnya dilakukan secara manual. Faktor yang menjadi kendala dalam pengendalian gulma yaitu ketersediaan tenaga kerja, biaya dan luasnya pertanaman. Pada areal yang luas dan tenaga kerja relatif mahal, penggunaan herbisida merupakan cara yang efektif dan efisien serta mengurangi gangguan terhadap struktur tanah. Herbisida juga dapat mengurangi biaya produksi dalam sistem usahatani akibat upah tenaga kerja dalam menyiang gulma yang relatif mahal, selanjutnya herbisida akan menguntungkan petani kedelai di lahan pasang surut karena dapat menghemat waktu dan tenaga dalam upaya pengendalian gulma. Penelitian ini penting untuk
2
dilakukan mengingat terdapat beberapa jenis herbisida di lapangan yang digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman kedelai, tetapi belum ditemukan jenis herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat jenis herbisida yang paling efektif untuk mengendalikan gulma pada budidaya kedelai jenuh air di lahan pasang surut.
2. Terdapat jenis herbisida yang berpengaruh baik pada pertumbuhan dan produksi kedelai budidaya jenuh air di lahan pasang surut.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah diperolehnya cara pengendalian gulma yang efektif dan efisien sehingga dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut
Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut) yaitu antara daratan dan laut atau di daratan sendiri yaitu antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai atau danau. Karakteristik lahan ini adalah tergenang dangkal, selalu jenuh air atau mempunyai air tanah yang dangkal sepanjang tahun atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (Subagyo 2006).
Menurut Noor (2004), lahan rawa pasang surut dibagi menjadi empat tipe luapan yaitu tipe A, B, C dan D. Tipe A merupakan daerah yang diluapi baik oleh air pasang besar maupun kecil. Tipe B merupakan daerah yang hanya diluapi oleh air pasang besar. Sementara tipe C dan D tidak mengalami luapan air pasang namun muka air tanah berada pada kedalaman kurang dari 50 cm untuk tipe C dan lebih dari 50 cm untuk tipe D.
Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut yang dapat diklasifikasikan menurut posisi bahan sulfidik di dalam tanah. Tanah dengan reaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah sulfat masam (acid sulphate soils). Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit pada jeluk > 50 cm yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah tidak dapat digunakan untuk pertanian (Suriadikarta 2005).
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut juga merupakan bagian dari lahan pasang surut. Tanah gambut merupakan lapisan bahan organik dengan kadar C-organik > 18% serta ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum lapuk secara sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara (Agus dan Subiksa 2008).
Lahan pasang surut juga diketahui memiliki permasalahan pada tanah gambut yang tergolong tanah suboptimal dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Gambut jika dikelola dengan sistem sawah juga akan menghasilkan asam-asam organik meracun terutama derivate asam-asam fenolat seperti p-kumarat, p-hidroksibenzoat, vanilat, dan asam ferulat (Sabiham 1997). Asam-asam fenolat tersebut merupakan hasil biodegradasi anaerob dari senyawa lignin dalam bahan asal kayu-kayuan. Asam-asam organik yang bersifat fitotoksik diduga merupakan permasalahan utama yang harus ditanggulangi sebelum mengatasi masalah lainnya seperti pH dan unsur hara essensial bagi tanaman (Tsutsuki dan Kondo 1995).
Budidaya Jenuh Air pada Tanaman Kedelai
Pengelolaan air di lahan pasang surut bertujuan untuk menyediakan air untuk kebutuhan evapotranspirasi tanaman, membuang kelebihan air, mencegah terjadinya elemen toksik dan leaching elemen toksik serta mencegah penurunan muka tanah. Pengelolaan air di lahan pasang surut dapat berupa irigasi, drainase, konservasi, atau intersepsi. Sifatnya dapat berupa pengelolaan air bawah tanah atau pengelolaan air permukaan (Sarwani 2001). Menurut Ghulamahdi (2011),
4
pengelolaan air di lahan pasang surut lebih tepat menggunakan budidaya jenuh air untuk meningkatkan produksi kedelai di lahan pasang surut. Teknik budidaya ini juga berguna untuk mengatasi kendala di lahan pasang surut seperti adanya pirit.
Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus-menerus dan membuat kedalaman muka air tetap, sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Kedalaman muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Troedson et al. 1983). Budidaya jenuh air dilakukan dengan membuat kondisi bedengan jenuh air secara terus menerus sejak 2 minggu setelah tanam (MST) sampai masak fisiologis. Cara pemberian air pada budidaya jenuh air adalah dengan mengalirkan air melalui saluran di antara petak-petak percobaan dengan tinggi genangan dipertahankan maksimum 20 cm dibawah permukaan tanah (Sagala, 2010). Pembuatan saluran dengan kedalaman muka air 20 cm akan lebih mudah dan lebih murah dibandingkankan dengan saluran dengan kedalaman 30 cm dan 40 cm dibawah permukaan tanah. Oleh karena itu kedalaman 20 cm merupakan kedalaman muka air yang paling cocok untuk penanaman kedelai dengan teknologi BJA di lahan pasang surut yang mempunyai kandungan liat tinggi (Sagala, 2010).
Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai
Gulma adalah tumbuhan yang merugikan tanaman budidaya melalui kompetisi ruang, waktu, dan sumber nutrisi. Pengendalian gulma dilakukan dengan tujuan untuk membatasi investasi gulma sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan efisien serta tidak merugikan secara ekonomi. Gulma pada tanaman kedelai menimbulkan persaingan dalam pemanfaatan faktor-faktor tumbuh seperti cahaya, air, unsur hara, dan ruang untuk tumbuh serta menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman tertentu (Krauz, Kapusta, dan Mathews 1994). Pengendalian gulma sudah merupakan suatu keharusan pada budidaya kedelai di rawa pasang surut. Umumnya petani mengendalikan gulma secara manual dengan menggunakan tangan sehingga sangat mahal dan tidak efisien (Sasmita et al., 2005). Kendala yang dihadapi petani kedelai di lahan pasang surut adalah masih tingginya biaya yang dikeluarkan petani untuk mengendalikan gulma. Saat ini, metode pengendalian yang paling banyak dilakukan adalah secara kimiawi dengan menggunakan herbisida (Barus, 2003). Pengendalian kimia dinilai lebih efektif untuk mengurangi populasi gulma dibandingkan dengan pengendalian lainnya. Penggunaan herbisida sebagai salah satu cara dalam usaha pengendalian gulma mempunyai dampak positif yakni gulma dapat dikendalikan dalam waktu yang relatif singkat dan mencakup areal yang luas.
Herbisida
Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil (Djojosumarto 2008). Bahan kimia herbisida dapat berupa senyawa organik maupun anorganik, kandungan senyawa dalam herbisida akan
5 menentukan efektifitas dan daya kerja herbisida tersebut. Herbisida yang diabsorbsi oleh akar atau masuk melalui organ lain akan ditranslokasikan ke dalam tumbuhan menuju titik peka dari tumbuhan atau diakumulasikan pada bagian tertentu dari tubuh tumbuhan.
Penggunaan herbisida pada budidaya tanaman ditunjukkan untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan gulma dan mencegah timbulnya gulma yang berasal dari biji. Saat ini banyak herbisida yang digunakan memiliki selektivitas tinggi, tetapi karena tanaman budidaya (padi, jagung, dan kedelai) sangat rentan terhadap herbisida, maka timbul masalah dalam penggunaanya (De Datta 1995).
Perubahan komposisi jenis gulma terjadi dihampir semua cara pengendalian gulma. Perubahan yang jelas terjadi karena penggunaan herbisida. Perubahan spektrum gulma kemungkinan karena kemampuan herbisida yang tinggi terhadap komunitas gulma jika dibandingkan dengan cara non herbisida (Utomo et al. 1955).
Penggunaan herbisida harus dilakukan secara bijaksana dengan pengertian tepat, aman, dan benar. Hal ini mengingat bahwa selain dapat memberikan manfaat, herbisida juga dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan diantaranya timbulnya keracunan pada manusia dan organisme bukan sasaran, serta resistensi hama, pencemaran lingkungan, dan adanya residu herbisida terutama di pertanaman (Daryanto 1996).
Glifosat
Glifosat (Etilen diamine), nama kimiawi N-(phosphonomethyl) glycine merupakan herbisida sistemik non selektif yang diaplikasikan melalui daun, mempunyai spektrum luas, bersifat translokatif kuat, tidak aktif dalam tanah, cepat terdegradasi dan mempunyai kemampuan mengendalikan gulma annual, biennial, dan perennial dari jenis rumput, teki, dan berdaun lebar. Gejala kematian gulma terlihat pada 2 - 4 minggu setelah aplikasi (Lamidet al.1998).
Herbisida glifosat bekerja dengan menghambat sintesis protein, yaitu menghentikan penggabungan asam amino aromatik, fenil alanin, triptofan, dan tirosin (Ashton and Craft 1981). Moenandir (1990) berpendapat bahwa gejala umum yang terlihat pada gulma setelah aplikasi glifosat adalah klorosis yang diikuti dengan nekrosis. Pertumbuhan kembali gulma berdaun lebar dan berkayu menunjukkan gejala tidak normal pada daun dengan adanya bintik-bintik putih bergaris.
Gambar 1 Struktur kimia glifosat (Franz 1985)
Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan glifosat berpengaruh baik terhadap pengendalian gulma dan pertumbuhan serta produksi tanaman. Mawardi (2005) melaporkan aplikasi herbisida glifosat dengan dosis 1 440 g/ha dan 1 920 g/ha mampu menekan pertumbuhan gulma. Penelitian
6
Suwarni et al. (2000) menyatakan herbisida glifosat sampai dosis 4.5 l/ha menunjukkan hasil tertinggi pada kacang tanah.
Paraquat
Paraquat atau 1.1-dimethyl-4, 4-bipyridynium (kation) dichloride, termasuk herbisida pasca tumbuh yang bersifat kontak. Herbisida ini tidak dapat diserap oleh bagian tumbuhan yang tidak berwarna hijau seperti batang dan akar, serta hanya mematikan bagian tumbuhan yang terkena butir semprot secara langsung, sedangkan bagian lain yang tidak terkena semprot akan tetap normal (Moenandir 1990). Menurut Vencill et al. (2002) lipid hidroperoksida yang merupakan cara kerja herbisida paraquat akan menghancurkan membran sel yang menyebabkan pecahnya sitoplasma menjadi bagian-bagian interseluler sehingga daun akan menjadi layu dan menguning dengan cepat. Rao (2000) menjelaskan paraquat merupakan herbisida kontak dan bila molekul herbisida ini terkena sinar matahari setelah berpenetrasi ke dalam daun atau bagian lain yang berwarna hijau, maka molekul ini akan bereaksi menghasilkan hydrogen peroksida yang dapat merusak membran sel dan seluruh organ tumbuhan.
Penelitian Adnan et al. (2012) menyatakan herbisida paraquat pada pengamatan 14 hari setelah aplikasi (HSA) pada dosis 0.75, 1.50, dan 2.25 kg bahan aktif/ha telah mampu mengendalikan gulma pada tanaman kedelai sebesar 100%. Juleha (2002) melaporkan bahwa herbisida pra tumbuh paraquat mampu meningkatkan jumlah polong isi dan berat kering berangkasan tanaman kedelai pada penerapan budidaya kedelai dengan teknologi konvensional dan olah tanah konservasi pada beberapa cara pengendalian gulma.
Gambar 2 Struktur kimia paruquat Vencill et al. (2002)
Penoksulam
Penoksulam merupakan herbisida golongan sulfonilurea yang dapat digunakan sebagai herbisida pasca tumbuh, setelah mempunyai 3 - 4 daun (Brown 1989; Hay 1990). Herbisida ini mempunyai spektrum yang luas dan mempunyai sifat yang selektif (Mobreg dan Cross 1990). Penoksulam bekerja menghambat enzim acetolactate synthase (ALS) merupakan enzim yang terbentuk saat awal pembentukan rantai cabang asam amino (valin, isolisin dan lisin). ALS Menghambat sintesis DNA tanaman akibat produksi asam amino terganggu. Penoksulam memiliki spektrum luas, diabsorbsi oleh gulma terutama melalui daun dan sebagian kecil melalui akar, kemudian ditranslokasikan. Rumus kimia dari herbisida penoksulam adalah C16H14F5N5O5S. Penoksulam merupakan
herbisida post emergence yang digunakan pada tanaman gandum, barley, padi, jagung, dan kedelai untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan gulma air tertentu (Weed Science 2011). Penelitian Guntoro et al. (2013) menyatakan bahwa aplikasi herbisida penoksulam mulai dosis 0.60 l/ha hingga 1.125 l/ha pada
7 saat 14 hari setelah transplanting dapat mengendalikan gulma umum pada budidaya tanaman padi sawah pasang surut pada pengamatan 1 minggu setelah aplikasi (MSA) hingga 4 MSA. Gulma dominan yang dapat dikendalikan oleh aplikasi herbisida penoksulam antara lain Fimbristylis littoralis (golongan teki), Ludwigia octovalvis (gulma golongan berdaun lebar), dan Cyperus iria (gulma golongan teki).
Oksifluorfen
Oksifluorfen merupakan herbisida pra tumbuh yang bersifat selektif dan efektif untuk mengendalikan gulma golongan berdaun lebar dan golongan rumput pada kedelai (Moenandir 1990). Herbisida oksifluorfen ini dapat membunuh biji-biji gulma yang akan berkecambah, sehingga biji-biji-biji-biji gulma tersebut tidak bisa tumbuh dan berkembang. Herbisida ini menyebabkan perobekan sel dan berpengaruh terhadap fotosintesa setelah jaringan layu. Oksifluorfen juga menghambat perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem, kerusakan jaringan lebih banyak terjadi pada bagian tajuk daripada akar (Moenandir 1990).
Gambar 3 Struktur kimia oksifluorfen (Moenandir 1990)
Ashton dan Craft (1981) menambahkan bahwa persistensi oksifluorfen dalam tanah yaitu sekitar 2 - 3 bulan. Herbisida ini sangat kuat diabsorbsi oleh koloid tanah sehingga pencucian oleh air hujan sangat kecil. Oksifluorfen di dalam tanah tahan terhadap dekomposisi oleh cahaya matahari, tetapi jika di dalam air akan lebih cepat terdekomposisi. Oksifluorfen juga tahan terhadap dekomposisi yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Herbisida oksifluorfen tidak menimbulkan keracunan (0%) pada takaran satu kg produk/ha pada tanaman kedelai (Yih 1975). Tanggap tanaman kedelai terhadap herbisida oksifluorfen terlihat pada perbaikan pertumbuhan tanaman kedelai (tinggi tanaman, jumlah daun trifoliate, indeks luas daun, nisbah tajuk akar, laju asimilasi bersih, laju pertumbuhan relatif dan laju pertumbuhan tanaman) dibandingkan dengan kontrol (Soertojo 1992).
8
METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut pada tanah mineral di Desa
Banyu Urip dan tanah mineral bergambut di Desa Muliasari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan pada bulan Juli sampai Desember 2013.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan adalah benih kedelai varietas Tanggamus (Lampiran 1), herbisida dengan bahan aktif paraquat, glifosat, oksifluorfen, dan penoksulam. Pupuk Urea, SP-36, KCl, Marshall, insektisida dengan bahan aktif klorantraniliprol 50 g/lair dan fipronil 50 g/l air, semi automatic knapsack sprayer bertekanan 1 kg/cm2 (15 - 20 psi) volume semprot 400 l/ha, nozzel T-jet warna kuning lebar semprot 0.5 m, sungkup plastik botol air mineral, kuadran berukuran 0.5 m x 0.5 m dan alat penunjang lainnya.
Metode
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok satu faktor, yaitu jenis herbisida. Percobaan terdiri dari 8 perlakuan masing-masing diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 24 petak percobaan (Lampiran 2). Jenis perlakuan yang diberikan yaitu:
Kontrol atau tanpa pengendalian gulma (P0), penyiangan manual 4 minggu setelah tanam (MST) (P1), aplikasi paraquat 4 MST 2 l/ha(P2), aplikasi glifosat 4 MST 3 l/ha(P3), aplikasi oksifluorfen 3 hari sebelum tanam (HSbT) 2 l/ha(P4), aplikasi oksifluorfen 3 HSbT 2 l/ha diikuti aplikasi paraquat 4 MST 2 l/ha(P5), aplikasi oksifluorfen 3 HSbT 2 l/hadiikuti aplikasi glifosat 4 MST 3 l/ha(P6), serta aplikasi penoksulam 2 MST 1 l/ha (P7).
Model rancangan yang digunakan adalah : Yijk = µ + τi + βj + εij
Keterangan :
Yijk = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
µ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Data dianalisis menggunakan analisis ragam (Analysis of variance), dengan uji lanjut jarak berganda Duncan (Duncan multiple range test) pada taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan yang dicobakan (Gomez dan Gomez 1995).
9
Pelaksanaan Persiapan Lahan
Lahan percobaan yaitu lahan pasang surut. Satuan petak berukuran 2 m x 3 m. Setiap ulangan dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan kedalaman 25 cm, dengan demikian kondisi petakan akan selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Air irigasi diberikan sejak tanam dengan ketinggian muka air 15 cm di bawah permukaan tanah. Sebelum persiapan lahan, terlebih dahulu dilakukan analisis vegetasi gulma menggunakan kuadran berukuran 0.5 m x 0.5 m untuk mengetahui komposisi dan dominansi gulma yang terdapat di areal percobaan.
Penanaman dan Pemupukan
Benih kedelai yang telah diberi insektisida berbahan aktif karbosulfan
25.53% 15 g/kg (untuk menghindari serangan lalat bibit) dan inokulan Rhizobium sp. sebanyak 5 g/kg benih ditanam dengan cara ditugal dengan jarak tanam 40 cm x 12.5 cm dan ditanam sebanyak 2 benih per lubang tanam (populasi 400.000 tanaman/ha) kedalaman tugal dangkal 1 - 2 cm lalu ditutup dengan tanah. Pada saat tanam diberikan pupuk 200 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Pupuk diberikan pada larikan 5 - 7 cm dari lubang tanam. Urea dengan konsentrasi 10 g/l air dalam volume semprot 400 l/ha diberikan pada 3, 4, dan 6 minggu setelah tanam (MST).
Aplikasi Herbisida
Herbisida diaplikasikan sesuai dengan perlakuan yang dicobakan. Aplikasi herbisida dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 - 08.00 WIB dan disesuaikan dengan kondisi angin dan curah hujan. Pada saat aplikasi herbisida pasca tumbuh, sprayer yang digunakan disungkup dengan botol air mineral plastik yang sudah di modifikasi untuk menghindarkan tanaman kedelai dari resiko terkena semprotan paraquat dan glifosat. Penyemprotan dilakukan secara hati-hati dengan jarak rendah dari permukaan tanah pada jalur antar baris tanaman kedelai. Aplikasi perlakuan herbisida dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan tanah yang cukup kering dan angin yang tenang.
Pemeliharaan dan Panen
Penyulaman dilakukan pada minggu pertama dan kedua setelah tanam. Pengendalian gulma dilakukan sesuai dengan perlakuan yang dicobakan. Penyiangan secara manual menggunakan alat bantu berupa sabit atau parang. Pengendalian hama dilakukan pada saat tanaman terlihat gejala serangan hama dan adanya kerusakan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif klorantraniliprol 50 g/l air dan fipronil 50 g/lair. Tanaman kedelai dipanen saat berumur 12 minggu setelah tanam ketika daun dan polong sudah berwarna coklat dan kering.
10
Pengamatan
Pengamatan penelitian terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu : 1. Pengamatan Gulma
Pengamatan terhadap gulma meliputi: analisis vegetasi (jenis gulma, kerapatan, frekuensi, bobot kering, nilai jumlah dominansi), serta koefisien komunitas. Pengamatan dilakukan menggunakan metode kuadran dengan petak contoh berukuran 0.5 m x 0.5 m. Pengambilan sampel gulma dengan cara gulma yang masih segar dipotong tepat setinggi permukaan tanah, kemudian dipisahkan setiap spesies. Bobot kering gulma diperoleh setelah dioven pada suhu 105 0C selama 24 jam. Pengamatan gulma dilakukan 4 kali yaitu 2, 4, 6, dan 8 MST. Pengamatan ini bertujuan untuk melihat gulma-gulma yang dominan pada tiap-tiap pengamatan dan pada setiap-tiap perlakuan, dengan rumus sebagai berikut (Moenandir 1990):
Kerapatan mutlak (KM) = Jumlah individu jenis tertentu dalam petak contoh Kerapatan relatif (KR) = KM jenis tertentu
Jumlah KM semua jenis x 100%
Bobot kering mutlak = Bobot kering (biomass) setiap spesies gulma (BKM)
Bobot kering relatif = Jumlah nilai bobot kering mutlak semua jenisbobot kering (biomass ) setiap spesies gulma x 100% (BKR)
Frekuensi mutlak (FM) = Jumlah petak contoh yang berisi spesies tertentuJumlah semua petak contoh yang diambil Frekuensi relatif (FR) = Jumlah nilai FM semua jenisNilai FM jenis tertentu x 100%
Nilai penting (NP) = KR+BKR+FR Nilai jumlah dominansi = Nilai penting3
(NJD)
Koefisien komunitas (C) = a+b2w x 100% dimana :
w = jumlah terkecil dari dua komunitas a = jumlah total kuantitas dari komunitas 1 b = jumlah total kuantitas dari komunitas 2
11 2. Pengamatan Tanaman Kedelai
Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman berumur 2 MST. Variabel pengamatan yang diamati adalah:
1. Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai titik tumbuh. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu mulai 2 MST.
2. Jumlah daun trifolia yang telah membuka sempurna pada seluruh tanaman, trifolia daun dihitung sebagai satu unit daun dilakukan setiap minggu mulai 2 MST.
3. Jumlah cabang yang muncul dari batang utama diamati saat panen. 4. Indeks luas daun (ILD), pengukuran dilakukan pada 2, 4, 6, dan 8
MST luas daun dihitung dengan metode gravimetri.
5. Laju asimilasi bersih (LAB), merupakan hasil asimilasi bersih dari hasil asimilasi per satuan luas daun dan waktu yang diukur dengan pengamatan destruktif yaitu pada 2, 4, 6, dan 8 MST. Rata-rata laju asimilasi bersih dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Gardner et al. 1991): 𝐿𝐴𝐵 = 𝑊2− 𝑊1 𝐴2 − 𝐴1 𝑥 ln 𝐴2− ln 𝐴1 𝑡2− 𝑡1 Keterangan:
LAB = Laju asimilasi bersih (g/cm2/hari) W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g)
W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g)
A1 = luas daun total pada waktu t1 (cm2)
A2 = luas daun total pada waktu t2 (cm2)
t1 = waktu pengamatan awal (hari)
t2 = waktu pengamatan akhir (hari)
6. Laju tumbuh relatif (LTR). Rata-rata laju tumbuh relatif (Relative growth rate/LTR) yang diukur pada pengamatan destruktif yaitu pada 2, 4, 6, dan 8 MST. Perhitungan LTR menggunakan rumus berikut (Gardner et al. 1991):
𝐿𝑇𝑅 = ln 𝑊2− ln 𝑊1 𝑡2− 𝑡1
Keterangan:
LTR = Laju tumbuh relatif (g/hari)
W1 = bobot kering tanaman pada waktu t1 (g)
W2 = bobot kering tanaman pada waktu t2 (g)
t1 = waktu pengamatan awal (hari)
t2 = waktu pengamatan akhir (hari)
7. Jumlah polong isi, merupakan polong bernas yang dihitung per tanaman.
8. Jumlah polong hampa, merupakan polong yang tidak ber isi dihitung per tanaman.
9. Umur 50% berbunga, diamati ketika 50% populasi tanaman mulai berbunga.
12
10. Umur panen, diamati ketika 85% daun telah menguning dan rontok serta polong berwarna kecoklatan.
11. Bobot biji per ubinan, dihitung dari hasil ubinan yang berukuran 1 m x 1 m di setiap petak perlakuan.
12. Fitotoksisitas tanaman kedelai
Pengamatan fitotoksisitas terhadap tanaman kedelai pada saat 1 sampai 5 minggu setelah aplikasi dengan cara skoring :
0 = tidak ada keracunan, 0-5% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal;
1 = keracunan ringan, > 5-10% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal;
2 = keracunan sedang, > 10-20% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal;
3 = keracunan berat, > 20-50% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal;
4 = keracunan sangat berat, > 50% bentuk daun atau warna daun dan atau pertumbuhan tanaman tidak normal sampai tanaman mati. 13. Analisis tanah sebelum tanam
Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu, dan liat), pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K,
Na, dan KTK, kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, dan
Mn, serta pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah (pH) ditentukan dengan ekstrak 1:5 menggunakan H2O dan KCl. C organik ditentukan dengan metode kurmis. N
ditentukan dengan metode Kjeldahl. P2O5 ditentukan dengan metode
Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan. Kation dan unsur hara
mikro dengan metode AAS, KTK dengan metode titrasi (Hardjowigeno 1989).
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Umum Penelitian
Kondisi umum tanaman kedelai selama penelitian menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Kondisi cuaca dari awal penanaman sampai panen sangat bervariasi. Pengukuran suhu, kelembaban dan curah hujan dilakukan selama penelitian. Data pengukuran didapat dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Palembang (Lampiran 3, 4, dan 5).
Rata-rata curah hujan selama penelitian yaitu 17 hari hujan/bulan dan suhu harian rata-rata saat penelitian sekitar 27.42 oC dengan suhu harian rata-rata maksimum dan minimum masing-masing 32.78 oC dan 24.15 oC. Menurut Prihatman (2000) selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100 - 200 mm/bulan atau 3.33 - 6.66 mm/hari. FAO (2011) melaporkan bahwa suhu rata-rata bulanan pada kedelai berkisar antara 27.3 oC - 29.35 oC. Suhu minimum pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai sekitar 10 oC - 15 oC, namun pada suhu di bawah 18 oC dapat menurunkan pertumbuhan kedelai dan apabila suhu lebih dari 37 oC menyebabkan tanaman kedelai berbunga lebih awal, jumlah polong meningkat namun ukuran biji menjadi lebih kecil. Penyinaran matahari rata-rata 55.25% dan tekanan udara 1009.27 mb. Kelembaban di daerah penelitian rata-rata berkisar 83.5%. Arah angin terbanyak menuju tenggara (SE) dengan kecepatan angin rata-rata 3.75 km/jam yang termasuk kecepatan angin tinggi (Lampiran 3, 4, dan 5). Berdasarkan data lingkungan dan syarat tumbuh kedelai, maka lokasi tersebut sesuai untuk budidaya kedelai.
Tabel 1 Perbandingan hasil analisis tanah awal
Parameter Nilai
Tanah mineral Tanah mineral bergambut pH H2O 5.00 (masam) 4.30 (masam)
pH KCl 4.10 (masam) 3.40 (masam)
C-Organik 3.44 % (mineral) 33.18 % (mineral bergambut) N total 0.22 % (sedang) 0.48 % (sedang)
P tersedia 7.6 ppm (sedang) 23.2 ppm (sangat tinggi) Ca 4.55 me/100 g (rendah) 3.91 me/100 g (rendah) Mg 1.83 me/100 g (sedang) 5.40 me/100 g (tinggi) K 0.28 me/100 g (rendah) 0.10 me/100 g (rendah) Na 0.60 me/100 g(sedang) 0.70 me/100 g (sedang) KTK 24.60 me/100 g (tinggi) 30.01 me/100 g (tinggi) Al 1.06 me/100 g(cukup) 4.12 me/100 g (tinggi) Zn 1.82 me/100 g(cukup) 5.26 me/100 g (tinggi) Fe 24.25 me/100 g(tinggi) 17.02 me/100 g (tinggi) Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB 2013.
Hasil analisis tanah pada Tabel 1, menunjukkan bahwa tanah mineral bergambut mempunyai pH tergolong masam (4.30) dan pH pada tanah mineral juga tergolong masam (5.00). Menurut Prihatman (2000), toleransi kemasaman tanah sebagai syarat tumbuh bagi kedelai adalah 5.8 - 7.0 tetapi pada pH 4.5 kedelai masih dapat tumbuh. Kandungan C-organik pada tanah mineral sebesar
14
3.44% sedangkan pada tanah mineral bergambut lebih besar yaitu sebesar 33.18%. Hasil analisa tanah pada Tabel 1, menunjukkan bahwa kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah mineral bergambut dan tanah mineral tergolong tinggi masing-masing sebesar 30.01 me/100 g dan 24.60 me/100 g.
Analisis tanah menunjukkan bahwa Al pada tanah mineral bergambut tergolong tinggi sebesar 4.12 me/100 g sedangkan pada tanah mineral tergolong cukup sebesar 1.06 me/100 g. Analisis tanah memperlihatkan bahwa kandungan Fe pada tanah mineral bergambut dan tanah mineral tergolong tinggi masing-masing sebesar 17.02 me/100 g dan 24.25 me/100 g (Tabel 1). Tanaman kedelai pada konsentrasi Al sebesar 8 ppm telah menghambat pertumbuhan akar (Koecihan 1995). Berdasarkan data analisis tanah, maka dapat disimpulkan tanaman kedelai cukup sesuai ditanam di areal tersebut.
Tabel 2 Data analisis air
No Parameter
Jenis air
Air mineral Air mineral bergambut
1 C 172.8 ppm 175.6 ppm 2 N 27.86 ppm 27.86 ppm 3 P 1.72 ppm 0.38 ppm 4 K 12.13 ppm 1.63 ppm 5 Ca 2.59 ppm 1.43 ppm 6 Mg 12.69 ppm 0.44 ppm 7 Fe 0.90 ppm 0.76 ppm 8 Cu 0.09 ppm Tr 9 Zn 0.10 ppm 0.04 ppm 10 Mn Tr Tr 11 pH 6.40 ppm 4.30 ppm 12 Na 14.0 ppm 4.0 ppm 13 NH4 1.80 ppm 1.80 ppm 14 NO3 31.0 ppm 31.0 ppm 15 C/N 6.20% 6.30%
Keterangan : Tr = tidak terbaca oleh alat.
Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB 2013.
Kandungan mineral K dan Mg pada air mineral mempunyai kandungan yang cukup tinggi yaitu 12.13 ppm dan 12.69 ppm apabila dibandingkan dengan kandungan K dan Mg pada air mineral bergambut yang hanya mengandung masing-masing sebesar 1.63 ppm dan 0.44 ppm. Air mineral memiliki kemasaman yang tinggi dengan pH 4.30 sedangkan untuk air mineral bergambut memiliki nilai pH 6.40 yang tergolong pH netral (Tabel 2). Menurut Prihatman (2000), toleransi kemasaman air sebagai syarat tumbuh bagi kedelai adalah 5.8 - 7.0 tetapi pada pH 4.5 kedelai masih dapat tumbuh.
Kecambah kedelai mulai muncul di permukaan tanah pada umur 5 hari setelah tanam (HST), tetapi pertumbuhan kurang serempak. Daun trifolia pertama terbentuk sempurna pada umur 14 HST, pada pertanaman di tanah mineral terdapat tanaman yang terkena pengaruh herbisida namun efek keracunan dalam skala ringan, begitu juga pada tanah mineral bergambut tanaman kedelai mengalami sedikit keracunan sehingga terdapat beberapa tanaman yang rusak.
Pada 21 HST mulai terlihat gejala daun menguning, terutama terjadi pada daun yang muda tetapi pada daun tua tetap berwarna hijau. Gejala daun
15 menguning tersebut berangsur-angsur berkurang setelah pemberian N 100% melalui daun pada umur 30 HST. Tanaman mulai muncul bunga pada kisaran umur 40 HST.
Hama yang menyerang tanaman kedelai yaitu ulat grayak (Spodoptera litura), serta belalang (Valanga nigricornis). Saat dilaksanakan penelitian, penyakit yang menyerang adalah karat daun (Phakopspora pachyrhizi Syd.). Pada stadia generatif mulai muncul serangan kepik hijau Nezara viridula. Gulma yang banyak tumbuh di pertanaman secara keseluruhan adalah gulma golongan teki yaitu jekeng (Cyperus iria), kemudian golongan rumput yaitu Axonopus compresus (papahitan), Cynodon dactylon (rumput grinting) dan gulma golongan berdaun lebar yaitu Eclipta prostata (urang-aring). Keberadaan penyakit di lahan pertanaman kedelai yaitu penyakit karat daun pada beberapa tanaman dan bisa diatasi dengan mencabut beberapa tanaman yang terinfeksi kemudian membuangnya ke luar areal percobaan.
Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral
Hasil analisis vegetasi sebelum perlakuan pada lahan percobaan menunjukkan gulma golongan teki yaitu Cyperus iria nilai jumlah dominansi (NJD) sebesar 37.77% diikuti oleh golongan rumput yaitu Axonopus compressus 15.44% dan Cynodon dactylon 9.56%, jenis gulma yang mendominasi selanjutnya adalah golongan berdaun lebar diantaranya Borreria alata 13.85%, Phylanthus urinaria 12.87%, dan Melastoma affine 10.51% (Tabel 3).
Tabel 3 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral
No Spesies Golongan NJD (%)
1 Cyperus iria Teki 37.77
2 Axonopus compressus Rumput 15.44
3 Borreria alata Daun Lebar 13.85
4 Phylanthus urinaria Daun Lebar 12.87
5 Melastoma affine Daun Lebar 10.51
6 Cynodon dactylon Rumput 9.56
Perlakuan berpengaruh terhadap bobot kering gulma pada 4, 6, dan 8 MST. Herbisida paraquat paling efektif menekan gulma ditunjukkan dengan bobot kering gulma paling rendah pada 4, 6, dan 8 MST (Tabel 4).
Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral
Perlakuan Bobot kering gulma total (g/0.25 m
2
)
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST Kontrol 46.49a 57.27a 69.34a 50.06a Penyiangan manual 44.75a 18.92bc 31.25bc 16.05bc Paraquat 38.23a 13.72c 9.34c 6.67c Glifosat 47.43a 27.23bc 24.22bc 16.55bc Oksifluorfen 29.50a 25.07bc 37.40b 23.20b Oksifluorfen-paraquat 38.42a 11.98c 13.73bc 12.72bc Oksifluorfen-glifosat 28.77a 21.55bc 27.72bc 18.99bc Penoksulam 46.95a 39.59ab 34.56bc 19.54bc Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.
Perlakuan berpengaruh terhadap bobot kering gulma masing-masing spesies. Bobot kering gulma spesies Cyperus iria terlihat paling tinggi apabila
16
dibandingkan dengan bobot kering gulma spesies lainnya, penyiangan menggunakan herbisida paraquat mampu menurunkan bobot kering spesies Cyperus iria pada akhir pengamatan (Tabel 5).
Tabel 5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah mineral Perlakuan Waktu (MST) Cyp eru s ir ia A xo n o p u s co mp ress u s B o rr eria a la ta P h yla n th u s u rin a ria Mela sto ma a ffin e C yn o d o n d a ctylo n Bobot kering (g/0.25 m2)
Kontrol 0 38.07a 1.33bc 4.34a 3.12a 3.97ab 2.91a 2 32.00a 1.43a 3.69a 3.63ab 3.04a 2.68a 4 39.62a 3.66a 2.16a 3.02a 4.00a 3.12a 6 48.28a 3.65a 1.65a 4.28a 6.72a 4.75a 8 35.19a 2.23a 1.53a 3.43a 4.60a 4.64a Manual 0 35.00a 3.33a 2.47a 2.41ab 2.67ab 1.97a 2 32.47a 3.14a 1.75ab 2.76ab 2.63a 1.98a 4 14.56ab 0.98bc 0.63b 0.78b 0.71b 1.24ab 6 25.22ab 1.95b 0.62b 1.70b 1.01b 0.74b 8 17.17b 1.22bc 0.53c 1.11b 0.56b 0.47b Paraquat 0 32.67a 2.66abc 2.29a 2.07ab 2.00ab 2.00a 2 28.56a 2.68a 1.44ab 1.36ab 2.43a 1.75a 4 10.29b 0.52c 0.00b 1.89ab 0.20b 0.81ab 6 5.94b 1.58b 0.07b 1.21bc 0.32b 0.21b 8 3.59b 1.38ab 0.06c 1.20b 0.26b 0.20b Glifosat 0 41.33a 3.00ab 3.00a 1.23ab 1.97ab 3.96a 2 37.31a 1.67a 2.61ab 1.41ab 1.08ab 3.33a 4 20.28ab 1.05bc 0.78b 1.26ab 1.86b 2.65ab 6 19.80ab 1.03b 0.85ab 0.66cd 0.50b 1.36b 8 14.86b 1.00bcd 0.81b 0.36b 0.40b 1.23b Oksifluorfen 0 25.33a 1.67abc 1.67a 1.00b 0.74b 3.00a 2 26.74a 1.47a 0.64b 0.41b 0.23b 0.39a 4 22.68ab 0.55bc 0.12b 0.58b 0.53b 0.60ab 6 34.51ab 0.76b 0.00b 0.05d 0.69b 1.38b 8 8.40b 0.40cd 0.00c 0.33b 0.43b 1.20b Oksifluorfen-paraquat 0 30.33a 0.83c 3.00a 1.33ab 1.41ab 3.80a 2 29.81a 0.82a 1.43ab 2.25ab 1.53ab 2.58a 4 10.08b 0.27c 0.00b 0.43b 0.18b 1.01ab 6 9.98b 0.30b 0.22b 0.70cd 0.80b 1.71b 8 10.52b 0.26d 0.19bc 0.70b 0.97b 0.68b Oksifluorfen-glifosat 0 51.00a 1.40bc 1.33a 0.87b 1.78ab 2.73a 2 22.21a 1.52a 0.44b 1.45ab 1.10ab 1.67a 4 18.51ab 0.86bc 0.45b 1.05ab 0.38b 0.39b 6 24.87ab 0.28b 0.40b 1.07bc 0.73b 0.37b 8 10.71b 0.23d 0.28bc 0.83b 0.51b 0.27b Penoksulam 0 34.67a 1.23bc 1.85a 1.97ab 6.00a 2.15a 2 35.14a 0.87a 1.49ab 5.85a 1.89ab 1.47a 4 31.13ab 1.88b 1.24ab 2.44ab 1.90b 1.06ab 6 29.48ab 0.39b 0.63b 1.68b 1.32 2.10b 8 16.66b 0.39cd 0.53bc 1.18b 1.15b 0.78b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.
Analisis vegetasi pada 2, 4, 6, dan 8 MST menunjukkan jenis herbisida mempengaruhi nilai jumlah dominansinya pada setiap perlakuan tetapi tidak
17 terjadi pergeseran jenis gulma dominan. Dominasi gulma golongan teki Cyperus iria lebih tinggi di setiap petak percobaan (Lampiran 6).
Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral
Perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai diantaranya tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun trifolia dan umur berbunga, tetapi tidak berpengaruh terhadap fisiologi tanaman kedelai yaitu ILD, LAB, dan LTR. Aplikasi herbisida oksifluorfen yang diikuti dengan aplikasi herbisida paraquat menghasilkan tinggi tanaman paling rendah. Pengendalian gulma menggunakan herbisida glifosat berpengaruh meningkatkan jumlah daun trifolia (jumlah daun trifolia paling banyak). Herbisida oksifluorfen menyebabkan umur berbunga tanaman kedelai menjadi lebih lama (Tabel 6).
Tabel 6 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di tanah mineral
Perlakuan TT JC JDT UB ILD LAB LTR cm buah helai hst g/cm2/hari g/m2/hari Kontrol 72.80ab 5.20abc 27.80ab 39.00bc 0.623a 0.25x10-3a 0.041a Manual 79.00a 5.60ab 27.40ab 37.66c 0.543a 0.17x10-3a 0.032a Paraquat 69.20ab 5.73a 29.66a 38.66bc 0.436a 0.14x10-3a 0.026a Glifosat 74.20ab 4.33c 30.06a 38.66bc 0.540a 0.13x10-3a 0.026a Oksifluorfen 61.66ab 4.86abc 16.93c 43.33a 0.516a 0.21x10-3a 0.038a Oksifluorfen-paraquat 58.33b 4.86abc 20.00bc 40.00b 0.596a 0.23x10-3a 0.037a Oksifluorfen-glifosat 67.53ab 4.40bc 21.40bc 39.66bc 0.646a 0.14x10-3a 0.025a Penoksulam 72.93ab 4.26c 26.33ab 39.00bc 0.570a 0.21x10-3a 0.037a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf
5%. TT (tinggi tanaman), JC (jumlah cabang), JDT (jumlah daun trifolia), UB (umur berbunga), ILD (indeks luas daun), LAB (laju asimilasi bersih), LTR (laju tumbuh relatif), hst (hari setelah tanam).
Analisis data pada Tabel 7 menunjukkan perlakuan berpengaruh terhadap peubah hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di tanah mineral.
Tabel 7 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di tanah mineral
Perlakuan JPH JPI UP BPPU BPPH BSB buah buah hst g /m2 ton/ha g Kontrol 12.53a 85.00a 105.00a 261.00b 2.16b 10.56a Manual 8.60ab 93.80a 104.33a 348.67ab 2.90ab 10.30a Paraquat 8.46ab 105.13a 101.66a 386.67ab 3.23ab 10.19a Glifosat 4.46b 94.33a 103.66a 453.00a 3.76a 10.80a Oksifluorfen 5.40b 97.87a 103.66a 262.00b 2.16b 10.85a Oksifluorfen-paraquat 9.53ab 96.93a 103.66a 352.67ab 2.93ab 10.82a Oksifluorfen-glifosat 8.60ab 102.87a 104.33a 393.33ab 3.26ab 10.84a Penoksulam 6.60b 87.13a 101.66a 315.67ab 2.63ab 10.50a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf
5%. JPH (jumlah polong hampa), JPI (jumlah polong isi), UP (umur panen), BPPU (bobot produksi per ubinan), BPPH (bobot produksi per hektar), BSB (bobot seratus biji), hst (hari setelah tanam).
Perlakuan berpengaruh terhadap peubah jumlah polong hampa, bobot produksi per ubinan, dan bobot produksi per hektar tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah polong isi, umur panen, dan bobot seratus biji. Perlakuan
18
menggunakan herbisida glifosat menghasilkan jumlah polong hampa paling rendah jika dibandingkan dengan kontrol dan herbisida lainnya. Herbisida glifosat lebih memiliki hasil tertinggi dengan bobot produksi per ubinan 453.00 g/m2 dan bobot produksi per hektar 3.76 ton/ha.
Tingkat Keracunan Tanaman Kedelai di Tanah Mineral
Tanaman kedelai pada stadia muda sampai fase vegetatif awal mengalami keracunan yang disebabkan penggunaan herbisida paraquat, glifosat, oksifluorfen dan penoksulam. Keracunan herbisida oksifluorfen mulai terlihat pada umur 7 HST atau 4 hari setelah aplikasi (HSA), tingkat keracunan masih dalam skala ringan ditandai dengan pertumbuhan kedelai yang daunya kurang normal. Penggunaan herbisida paraquat mulai terlihat keracunan dengan skala sedang pada umur 21 HST atau 7 HSA ditandai dengan adanya beberapa tanaman yang daunya terbakar. Penggunaan herbisida glifosat mulai menampakkan gejala keracunan dengan skala sedang pada umur 35 HST atau 21 HSA ditandai dengan adanya beberapa tanaman yang daunnya mengalami klorosis, sedangkan gejala keracunan herbisida penoksulam pada tanaman kedelai umur 35 HST atau 14 HSA ditunjukkan adanya beberapa tanaman kedelai yang daunnya mengalami nekrosis (Tabel 8).
Tabel 8 Tingkat keracunan tanaman kedelai pada perlakuan jenis herbisida di tanah mineral
Perlakuan jenis herbisida 7 HST 14 HST 21 HST 35 HST Skor Kontrol 0 0 0 0 Penyiangan manual 0 0 0 0 Paraquat - - 2 1 Glifosat - - 1 2 Oksifluorfen 1 1 1 0 Oksifluorfen-paraquat 1 1 2 1 Oksifluorfen-glifosat 1 1 1 2 Penoksulam 0 0 2 2
Keterangan : Skala penilaian kualitatif berdasakan metode scoring yang dikembangkan Truelove (1977). 0= Tingkat keracunan (bentuk dan warna daun tidak normal 0-5%); 1=Ringan (5-10%); 2=Sedang (>10-20%); 3=berat (>20-50%); dan sangat berat (>50%).
Analisis Usahatani Kedelai di Tanah Mineral
Produktivitas yang dicapai pada penelitian ini melebihi produktivitas rata-rata nasional. Pada penelitian ini didapatkan hasil produktivitas sebesar 3.76 ton/ha. Pada tingkat petani, produktivitas yang diperoleh diperhitungkan sekitar 85% dari produktivitas penelitian. Perhitungan tersebut didasarkan pada hasil produktivitas ha-1 setelah dikurangi saluran sebesar 15%. Pendapatan petani didapat dengan mengalikan produktivitas dengan harga jual kedelai. Keuntungan didapat dengan mengurangi pendapatan dengan total biaya yang dikeluarkan. Harga jual kedelai di lokasi penelitian yaitu sekitar Rp 7 500/kg (Kementerian Perdagangan 2014). Perlakuan herbisida glifosat 3 l/ha (P3) menghasilkan keuntungan tertinggi yaitu Rp 16 141 500 dengan B/C rasio sebesar 3.06 (Lampiran 18). Keuntungan paling rendah di dapat pada perlakuan herbisida
19 oksifluorfen 2 l/ha diikuti aplikasi herbisida paraquat 2 l/ha (P4) dengan keuntungan mencapai 5 929 000 dan B/C rasio sebesar 1.75 (Lampiran 18).
Pertumbuhan Gulma di Tanah Mineral Bergambut
Analisis vegetasi sebelum perlakuan menunjukkan lahan percobaan ditumbuhi oleh 6 spesies gulma terbagi atas 4 spesies gulma golongan berdaun lebar dan 2 spesies masing-masing 1 spesies golongan teki dan 1 spesies golongan rumput (Tabel 9). Nilai jumlah dominansi sebesar 43.71% dari lahan percobaan didominasi oleh 2 spesies gulma yang mempunyai NJD di atas 15% yaitu Cyperus iria (26.43%) dan Eclipta prostata (17.28%). Nilai jumlah dominansi kurang dari 15% ditemukan pada 4 spesies lainnya diantaranya Diodia sarmentosa (13.90%), Borreria alata (11.26%), Chromolaena odorata (11.03%), dan Cynodon dactylon (10.40%).
Tabel 9 Kondisi vegetasi awal lahan percobaan di tanah mineral bergambut
No Spesies Golongan SDR (%)
1 Cyperus iria Teki 26.43
2 Eclipta prostata Daun Lebar 17.28
3 Diodia sarmentosa Daun Lebar 13.9
4 Borreria alata Daun Lebar 11.26
5 Chromolaena odorata Daun Lebar 11.03
6 Cynodon dactylon Rumput 10.40
Terjadi perubahan NJD setelah aplikasi perlakuan jenis herbisida dengan NJD yang beragam. Aplikasi herbisida penoksulam ternyata mampu menekan golongan gulma daun lebar yaitu Diodia sarmentosa dan Chromolaena odorata sehingga gulma tersebut tidak mampu tumbuh kembali. Pada pengamatan 2 MST penyiangan menggunakan herbisida oksifluorfen juga mampu menekan pertumbuhan gulma berdaun lebar. Pada akhir pengamatan tidak ditemukan adanya gulma baru. Secara umum dominasi gulma masih tetap didominasi oleh Cyperus iria (Lampiran 7).
Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total di tanah mineral bergambut
Perlakuan jenis herbisida Bobot kering gulma (g/0.25 m
2
)
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST Kontrol 42.12a 19.77a 22.70a 20.85a Penyiangan manual 28.65bc 18.58a 21.18a 21.25ab Paraquat 31.22ab 15.85a 23.46a 23.79a Glifosat 34.87ab 19.82a 21.97a 21.64a Oksifluorfen 15.68d 5.79b 8.40b 9.07c Oksifluorfen-paraquat 16.57d 4.98b 9.80b 10.47bc Oksifluorfen-glifosat 18.24cd 7.41b 8.10b 8.77c Penoksulam 14.07d 6.61b 10.27b 13.60abc Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma total diperlihatkan oleh aplikasi herbisida penoksulam yang menghasilkan bobot kering gulma total paling rendah pada umur 2 MST, sedangkan pada umur 4 MST aplikasi menggunakan herbisida oksifluorfen yang diikuti aplikasi herbisida paraquat efektif menghasilkan bobot kering gulma lebih rendah dari perlakuan lainnya.
20
Selanjutnya pada umur 6 dan 8 MST bobot kering gulma total paling rendah diperlihatkan pada perlakuan herbisida oksifluorfen yang diikuti aplikasi herbisida glifosat (Tabel 10).
Tabel 11 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah mineral bergambut Perlakuan Waktu (MST) C yp eru s ir ia E clip ta p ro st a ta Dio d ia sa rmen to sa B o rr eria a la ta Ch ro mo la en a o d o ra ta C yn o d o n d a ctylo n Bobot Kering (g/0.25 m2)
Kontrol 0 28.59a 7.33a 6.33a 1.46ab 1.15a 3.66a 2 25.31a 6.03a 5.65a 1.24a 0.74ab 2.68a 4 10.26ab 3.65a 3.35a 1.33a 0.28bc 0.90ab 6 9.15a 5.60ab 4.13a 1.61a 0.83ab 1.37ab 8 7.13a 3.66a 3.66a 1.16a 0.53cd 0.40bc Manual 0 20.76ab 7.00a 4.54ab 2.00ab 0.23a 2.33a
2 17.76ab 4.47ab 4.21a 0.63a 0.23ab 1.33a 4 10.69ab 2.00ab 3.38a 0.00a 0.61bc 1.74a 6 6.08a 4.98ab 3.20a 0.40a 1.88ab 3.52a 8 5.40ab 4.05b 2.73ab 0.66ab 1.50ab 2.06a Paraquat 0 24.39a 5.59ab 3.44abc 3.00a 1.25a 3.00a 2 20.71a 5.32a 3.01ab 0.40a 0.40ab 1.36a 4 7.28ab 3.53a 2.02a 0.43a 1.59a 0.46a 6 7.23a 7.57a 3.46a 0.83a 2.07a 0.72ab 8 6.83a 7.23a 2.53abc 0.00c 1.82a 0.60abc Glifosat 0 24.02a 5.38ab 5.94a 0.33b 2.00a 3.66a
2 23.50a 4.14abc 4.10a 0.11a 0.91a 1.92a 4 11.72a 2.51ab 2.42a 0.00a 2.02a 1.13ab 6 8.80a 4.39b 4.11a 0.00a 2.28a 1.91ab 8 5.40ab 3.23bc 3.43a 0.00c 0.26d 1.73abc Oksifluorfen 0 12.00c 3.01c 2.33abc 0.00b 0.66a 2.33a
2 9.91b 2.28c 0.68bc 0.00a 0.00b 2.79a 4 2.78b 1.23b 0.00b 0.95a 0.00c 0.76ab 6 4.48a 0.98c 0.00b 1.05a 0.48ab 1.40ab 8 4.42ab 0.93cd 1.05bd 0.00c 0.50cd 0.76abc Oksifluorfen-paraquat 0 13.00bc 3.02c 1.00bc 0.00b 0.66a 3.33a
2 12.27b 2.16c 0.22c 1.43a 0.41ab 1.71a 4 2.82b 0.60b 0.00b 0.00a 0.82b 0.72ab 6 6.23a 1.19c 0.00b 0.57a 0.55ab 1.25ab 8 4.73ab 1.06cd 0.00d 1.00ab 0.43cd 1.92ab Oksifluorfen-glifosat 0 12.66bc 3.33bc 1.00bc 0.33b 0.00a 2.00a
2 13.05b 2.21c 0.62bc 0.33a 0.36ab 1.83a 4 5.58ab 0.72b 0.27b 0.42a 0.00c 0.00b 6 4.23a 0.76c 0.63b 1.07a 0.55ab 0.59ab 8 3.20b 0.73d 0.56cd 0.73ab 0.00a 0.23c Penoksulam 0 12.66bc 5.00abc 0.00d 0.00b 0.00a 0.00a 2 11.18b 2.89c 0.00c 0.00a 0.00b 0.00a 4 5.83ab 0.49b 0.00b 0.29a 0.00c 0.00b 6 7.27a 1.39c 0.00b 0.72a 0.00b 0.43b 8 6.30ab 1.03cd 0.00d 0.53abc 0.00d 0.40bc Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.
Hasil analisis pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma per spesies di tanah mineral bergambut menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap
21 bobot kering gulma masing-masing spesies. Bobot kering gulma teki yaitu spesies C. iria terlihat paling tinggi dibandingkan gulma spesies lainnya (Tabel 11).
Pertumbuhan, Komponen Hasil, dan Hasil Kedelai di Tanah Mineral Bergambut
Jenis herbisida berpengaruh terhadap peubah vegetatif tanaman yaitu pada jumlah daun trifolia dan umur berbunga tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan jumlah cabang sedangkan pada peubah fisiologi berpengaruh terhadap LTR, tetapi tidak berpengaruh terhadap ILD dan LAB. Penyiangan gulma menggunakan herbisida penoksulam menurunkan jumlah daun kedelai jika dibandingkan terhadap kontrol, selain itu penyiangan menggunakan herbisida penoksulam menunjukkan umur berbunga paling lama namun menghasilkan LTR paling tinggi (Tabel 12).
Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap vegetatif dan fisiologi tanaman kedelai di tanah mineral bergambut
Perlakuan TT JC JDT UB ILD LAB LTR cm buah helai hst g/cm2 /hari g/m2/hari Kontrol 48.00a 3.26a 22.66a 36.66cd 0.97a 0.36x10-3a 0.069ab Manual 52.46a 3.26a 23.33a 36.33d 1.06a 0.24x10-3a 0.046bc Paraquat 53.80a 3.33a 21.60ab 38.33b 0.97a 0.30x10-3a 0.055bc Glifosat 52.46a 3.00a 21.93a 38.00bc 1.16a 0.22x10-3a 0.043bc Oksifluorfen 51.93a 2.93a 21.60ab 38.67ab 0.82a 0.21x10-3a 0.040bc Oksifluorfen-paraquat 53.40a 3.26a 21.60ab 38.00bc 1.28a 0.38x10-3a 0.067ab Oksifluorfen-glifosat 49.93a 2.46a 21.53ab 38.00bc 0.94a 0.14x10-3a 0.029c Penoksulam 49.67a 3.26a 18.66b 40.00a 1.16a 0.50x10-3a 0.085a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf
5%. TT (tinggi tanaman), JC (jumlah cabang), JDT (jumlah daun trifolia), UB (umur berbunga), ILD (indeks luas daun), LAB (laju asimilasi bersih), LTR (laju tumbuh relatif), hst (hari setelah tanam).
Berdasarkan Tabel 13 pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai terlihat hanya pada peubah jumlah polong isi.
Tabel 13 Pengaruh perlakuan terhadap hasil dan mutu hasil tanaman kedelai di tanah mineral bergambut
Perlakuan JPH JPI UP BPPU BPPH BSB buah buah hst g /m2 ton/ha g Kontrol 2.60a 44.73ab 88.00a 150.33a 1.30a 10.23a Manual 2.26a 40.93ab 87.00a 196.67a 1.67a 10.91a Paraquat 2.26a 48.67a 88.00a 182.67a 1.50a 10.61a Glifosat 1.53a 37.60ab 87.00a 168.67a 1.40a 10.63a Oksifluorfen 1.26a 37.33ab 87.00a 178.67a 1.50a 10.64a Oksifluorfen-paraquat 1.20a 37.40ab 87.00a 179.33a 1.50a 10.78a Oksifluorfen-glifosat 2.20a 30.33b 87.00a 120.33a 1.00a 10.50a Penoksulam 1.53a 34.00ab 87.00a 143.33a 1.20a 10.51a Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf
5%. JPH (jumlah polong hampa), JPI (jumlah polong isi), UP (umur panen), BPPU (bobot produksi per ubinan), BPPH (bobot produksi per hektar), BSB (bobot seratus biji), hst (hari setelah tanam).
Pengendalian gulma menggunakan herbisida paraquat mampu menghasilkan jumlah polong isi tertinggi yaitu 48.67 buah dan menunjukkan hasil
22
kedelai yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis herbisida lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh variabel bobot produksi ubinan 182.67 g/m2 dan bobot produksi per hektar 1.5 ton/ha.
Tingkat Keracunan Tanaman Kedelai di Tanah Mineral Bergambut
Penggunaan herbisida paraquat menyebabkan kedelai keracunan pada umur 21 HST atau 7 HSA ditandai dengan daun terbakar skala ringan. Glifosat menampakkan efek toksiknya pada umur 35 HST atau 21 HSA dengan skala sedang ditandai dengan beberapa daun tanaman kedelai layu, sedangkan oksifluorfen menunjukkan gejala keracunan pada tanaman kedelai pada umur 7 HST atau 4 HSA dengan skala ringan yang ditandai oleh bentuk daun yang keriput dan warna tulang daun kemerah-merahan, kemudian berangsur pulih dengan bertambahnya umur tanaman. Penoksulam menyebabkan keracunan pada tanaman kedelai yang ditandai dengan daun menguning dan kering dengan skala keracunan sedang namun pada umur 35 HST atau 14 HSA tanaman kedelai berangsur pulih (Tabel 14).
Tabel 14 Tingkat keracunan tanaman kedelai pada perlakuan jenis herbisida di tanah mineral bergambut
Perlakuan jenis herbisida 7 HST 14 HST 21 HST 35 HST Skor Kontrol 0 0 0 0 Penyiangan manual 0 0 0 0 Paraquat - - 1 0 Glifosat - - 0 2 Oksifluorfen 1 0 0 0 Oksifluorfen-paraquat 1 1 2 1 Oksifluorfen-glifosat 1 1 1 1 Penoksulam 0 0 2 0
Keterangan : Skala penilaian kualitatif berdasakan metode scoring yang dikembangkan Truelove (1977). 0= Tingkat keracunan (bentuk dan warna daun tidak normal 0-5%); 1= Ringan (5-10%); 2=Sedang (>10-20%); 3=berat (>20-50%); dan sangat berat (>50%).
Analisis Usahatani Kedelai di Tanah Mineral Bergambut
Peningkatan produktivitas kedelai akan berpengaruh terhadap pendapatan jika metode ini diterapkan terhadap petani. Hasil analisis usahatani kedelai di tanah mineral bergambut memperlihatkan bahwa keuntungan yang didapatkan petani dengan perlakuan penyiangan manual menghasilkan keuntungan tertinggi yaitu Rp 2 367 750 dengan B/C rasio sebesar 1.28 (Lampiran 18). Perlakuan herbisida penoksulam menyebabkan kerugian mencapai - 1 616 000 dan B/C rasio sebesar 0.79 (Lampiran 18), sedangkan hasil analisis usahatani menunjukkan apabila menggunakan herbisida paraquat 2 l/ha keuntungan mencapai 1 764 000 dengan nilai B/C rasio sebesar 1.22 (Lampiran 18).