• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI DAYA HASIL 29 GENOTIPE KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) DAN HUBUNGANNYA DENGAN KADAR KLOROFIL DAUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EVALUASI DAYA HASIL 29 GENOTIPE KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) DAN HUBUNGANNYA DENGAN KADAR KLOROFIL DAUN"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DAYA HASIL 29 GENOTIPE KACANG TANAH

(Arachis hypogaea L.) DAN HUBUNGANNYA DENGAN KADAR KLOROFIL DAUN

Oleh

ANGGA YUDO PRASETIYO A34403063

PROGRAM STUDI

PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

i

RINGKASAN

ANGGA YUDO PRASETIYO. Evaluasi Daya Hasil 29 Genotipe Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) dan Hubungannya dengan Kadar Klorofil Daun. Dibimbing oleh YUDIWANTI W. E. KUSUMO dan HENI PURNAMAWATI.

Penelitian bertujuan memperoleh informasi daya hasil genotipe, informasi kadar klorofil daun, menentukan parameter genetik peubah kuantitatif, dan menentukan hubungan daya hasil dan kadar klorofil daun. Bahan kegenetikaan tanaman berjumlah tiga puluh meliputi 21 varietas unggul nasional, delapan galur generasi lanjut, dan satu varietas lokal.

Rancangan lingkungan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan faktor tunggal. Tiga puluh genotipe yang diuji masing- masing diulang tiga kali sehingga terdapat 90 satuan percobaan. Genotipe Gajah digunakan sebagai pembanding. Satu galur generasi lanjut, yaitu GWS-145, tidak dimasukkan dalam pengamatan karena jumlah tanaman tidak representatif.

Sidik ragam memperlihatkan peubah bobot polong isi dan total tidak berbeda nyata antar genotipe, sedangkan jumlah polong isi dan total berbeda nyata. Jumlah polong isi dan total hampir semua genotipe lebih besar daripada Gajah, kecuali Panther, Jepara, Biga, Sima, Kidang, Macan, Badak, Mahesa dan Simpai (hanya jumlah polong isi), dan Zebra.

Sidik ragam menunjukkan bahwa kadar klorofil daun pada 4 MST tidak berbeda nyata antar genotipe, sedangkan kadar klorofil daun pada 10 MST berbeda nyata. Meskipun demikian, uji t-Dunnett menunjukkan bahwa kadar klorofil daun 10 MST pada semua genotipe tidak berbeda nyata terhadap Gajah.

Populasi yang diteliti menunjukkan heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi dan variabilitas genetik luas berdasarkan peubah tinggi tanaman, ginofor total, ginofor non-aerial, jumlah polong total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, dan bobot polong hampa. Nilai h2bs yang tinggi menunjukkan bahwa keragaan sifatnya lebih dipengaruhi oleh faktor genotipik tanaman daripada lingkungan tumbuh, dan variabilitas genetik yang luas menandakan keragaman genetik yang besar pada populasi.

(3)

ii Kadar klorofil daun 10 MST berkorelasi positif dengan bobot polong isi, bobot polong total, jumlah polong isi, dan jumlah polong total, tetapi tidak nyata.

Kadar klorofil daun 10 MST sangat nyata berkorelasi positif dengan jumlah dan bobot polong hampa. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyaluran fotosintat untuk pengisian polong kurang efisien.

(4)

iii Judul : EVALUASI DAYA HASIL 29 GENOTIPE KACANG

TANAH (Arachis hypogaea L.) DAN HUBUNGANNYA DENGAN KADAR KLOROFIL DAUN

Nama : Angga Yudo Prasetiyo NRP : A34403063

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Yudiwanti W. E. Kusumo, MS Ir. Heni Purnamawati, MSc. Agr.

NIP. 131 803 645 NIP. 131 918 505

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr.

NIP. 131 124 019

Tanggal lulus:

(5)

EVALUASI DAYA HASIL 29 GENOTIPE KACANG TANAH

(Arachis hypogaea L.) DAN HUBUNGANNYA DENGAN KADAR KLOROFIL DAUN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ANGGA YUDO PRASETIYO A34403063

PROGRAM STUDI

PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(6)

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta Pusat pada tanggal 23 Oktober 1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bambang Suyanto dan Sukiraheti. Tahun 1990 penulis masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kenari 12 Pagi Jakarta Pusat dan lulus tahun 1996. Pada tahun 1996 penulis masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 216 Jakarta Pusat dan lulus tahun 1999. Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) 77 Jakarta Pusat dan lulus tahun 2002.

Pada tahun 2003, penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan tingkat tinggi melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada program studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(7)

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Penulis sangat bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan segala puji bagi-Nya yang telah memberikan nikmat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian berjudul ”Evaluasi Daya Hasil 29 Genotipe Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) dan Hubungannya dengan Kadar Klorofil Daun” dan bertujuan memperoleh informasi daya hasil genotipe dan kadar klorofil daun, menentukan parameter genetik peubah kuantitatif, dan menentukan hubungan daya hasil dengan kadar klorofil daun.

Penulis mengucapkan jazakumullahu khair (semoga Allah azza wa jalla membalas kebaikan kalian) kepada :

1. Sukiraheti dan Bambang Suyanto, kedua orang tua penulis, yang telah membesarkan dengan kasih sayang, kesabaran, dan doa sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan tingkat tinggi.

2. Dr. Ir. Yudiwanti W. E. Kusumo, MS. dan Ir. Heni Purnamawati, MSc. Agr.

selaku dosen pembimbing skripsi atas dukungan moral dan materi penelitian.

3. Tim pengajar mata kuliah Teknik Penulisan Ilmiah (TPI) 2006 dalam memberikan tata cara penulisan skripsi.

4. Pak Argani, Pak Sarta, dan pegawai kebun lain yang membantu dalam pelaksanaan teknis penelitian.

5. Rekan mahasiswa PMT 40 (Tri, Tedi, Andari, Ria, Wage, Rachmawati, Zahroul, Nanda, Reydiana, Yudi, Sumiyati, Bambang, Dzikri, Pulungan, Anto, Dian Y., dan lainnya), Sugeng (TEP 38), Affandi (Manajemen 40), Faiz (TPT 40), Tohir (AGB 40), Yogi (Ilkom 40), Rachmat dan Maulana (Ilkom 41), Ardi (ISDL 41), Dicka (TIN 41), Wiyanto (AGB 42), dan lainnya.

Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2008 Penulis

(8)

vi

DAFTAR ISI

Halaman PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan Percobaan... 2

Hipotesis... 2

TINJAUAN PUSTAKA... 3

Botani ... 3

Morfologi ... 3

Fase Pertumbuhan ... 5

Klorofil ... 7

Variabilitas dan Koefisien Keragaman Genetik ... 8

Heritabilitas ... 8

Korelasi ... 9

BAHAN DAN METODE... 10

Waktu dan Tempat ... 10

Bahan dan Alat ... 10

Metode Penelitian ... 10

Pelaksanaan Penelitian ... 11

Pengamatan ... 11

Analisis Data ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN... 16

Kondisi Umum ... 16

Keragaan Genotipe ... 18

Kadar Klorofil ... 23

Hubungan Kadar Klorofil dan Daya Hasil ... 25

Parameter Genetik ... 25

KESIMPULAN DAN SARAN... 29

Kesimpulan ... 29

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

LAMPIRAN... ... 34

(9)

vii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Analisis Komponen Ragam... 14 2. Rekapitulasi Uji-F Beberapa Peubah pada 29 Genotipe

Kacang Tanah ... 19 3. Bobot Polong Isi dan Bobot Polong Total 29 Genotipe Kacang

Tanah... 21 4. Jumlah Polong Isi, Jumlah Polong Total, dan Jumlah Polong

Hampa 29 Genotipe Kacang Tanah... 22 5. Kadar Klorofil Daun 29 Genotipe Kacang Tanah pada 4 MST dan

10 MST... 24 6. Parameter Genetik Beberapa Peubah pada 29 Genotipe Kacang

Tanah... 26

Lampiran

1. Sidik Ragam Beberapa Peubah pada 29 Genotipe Kacang Tanah 35 2. Hasil Analisis Tanah... 36 3. Kriteria Penilaian Data Analisis Sifat Kimia Tanah... 36 4. Koefisien Korelasi (nilai atas) dan Peluangnya (nilai bawah) antar Peubah pada 29 Genotipe Kacang Tanah... 37 5. Alat Khusus Analisis Kadar Klorofil Daun... 38 6. Deskripsi Beberapa Varietas Kacang Tanah... 39

(10)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Buku Kacang Tanah (lingkaran merah)... 12 2. Ginofor Kacang Tanah. Ginofor aerial (lingkaran hitam) dan

non-aerial (lingkaran biru)... 12 3. Daun Tetrafoliate Kacang Tanah Untuk Analisis Kadar Klorofil

Daun 4 MST (lingkaran merah)... 13 4. Penyakit pada Kacang Tanah... 17 5. Daun Kacang Tanah Sehat dan Daun Terinfeksi Bercak serta

Karat Daun... 18

Lampiran

1. Alat Khusus Analisis Kadar Klorofil Daun... 38

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang tanah merupakan tanaman kacang-kacangan terpenting kedua setelah kedelai (Saleh, 2002). Tanaman kacang tanah umumnya dibudidayakan pada lahan kering dan lahan bekas areal persawahan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), produktivitas kacang tanah dari tahun 2002 hingga tahun 2006 berkisar 1.1 ton per hektar. Produktivitas kacang tanah dapat ditingkatkan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi.

Intensifikasi melalui penyediaan varietas unggul atau benih bermutu, cara budidaya, pengendalian hama dan penyakit, dan penanganan pasca panen.

Ekstensifikasi melalui perluasan lahan penanaman pada lahan sawah irigasi teknis dan tadah hujan. Kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi kacang tanah adalah varietas unggul yang kurang terpakai, teknik budidaya yang tidak sesuai anjuran, serangan hama dan penyakit utama, dan pengusahaannya bukan usaha komersial.

Umumnya varietas unggul kacang tanah diharapkan berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit, mutu panen baik, tahan penyimpanan, beradaptasi dengan lingkungan marjinal, responsif teknologi budidaya, toleran kekeringan, tahan rebah, umur genjah, dan masak serempak (Kasno, 1993). Pemuliaan kacang tanah terutama dilakukan dengan introduksi, seleksi, dan mutasi bua tan. Salah satu tahap pemuliaan kacang tanah adalah uji daya hasil. Uji daya hasil dilakukan untuk menilai potensi setiap genotipe atau galur bahan seleksi untuk menghasilkan produksi per satuan luas. Informasi genetik suatu genotipe menjadi tolok ukur dalam melakukan seleksi.

Disamping peubah komponen hasil dan hasil, salah satu peubah yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi adalah kadar klorofil daun. Kadar klorofil total yang tinggi secara teoritis mendukung kapasitas fotosintesis yang tinggi sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil biji per tanaman. Korelasi positif kadar klorofil total dengan bobot biji per tanaman pada kacang tanah dilaporkan oleh Yudiwanti et al. (2006) yaitu sebesar 0.718.

(12)

2 Genotipe kacang tanah galur harapan dan varietas unggul nasional sebagai pembanding dianalisis peubah-peubahnya dan dihubungkan dengan peubah kadar klorofil daun. Menurut Gomez dan Gomez (1995), pengujian pengaruh perlakuan terhadap peubah tertentu dilakukan menggunakan sidik ragam dan jika pengaruh perlakuan nyata maka dilanjutkan dengan uji nilai tengah.

Heritabilitas merupakan kuantifikasi peran faktor genetik tanaman (mewaris) dibanding faktor lingkungan dalam memberikan pengaruh terhadap keragaan akhir (Allard, 1960). Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik relatif lebih berperan dibanding faktor lingkungan.

Variabilitas genetik merupakan perbedaan keragaan tanaman dalam suatu populasi akibat perbedaan genetik. Keragaman genetik yang besar dari suatu peubah diharapkan dapat memberikan peluang seleksi terhadap peubah tersebut.

Ukuran keragaman genetik dalam suatu populasi dapat diketahui melalui koefisien keragaman genetik. Koefisien keragaman genetik yang tinggi menggambarkan keragaman yang tinggi. Terdapatnya keragaman dalam populasi sangat penting karena seleksi berperan atas adanya keragaman.

Korelasi adalah ukuran derajat bervariasinya dua peubah secara bersama- sama atau ukuran keeratan hubungan antara kedua peubah tersebut. Korelasi digunakan sebagai indikator seleksi untuk peubah lain yang mempunyai hubungan dengan peubah hasil.

Tujuan

1. Memperoleh informasi daya hasil dan kadar klorofil bahan kegenetikaan yang dipelajari.

2. Menentukan parameter genetik karakter-karakter kuantitatif dari bahan kegenetikaan yang dipelajari.

3. Menentukan koefisien korelasi antar karakter kuantitatif yang dipelajari.

Hipotesis

1. Terdapat genotipe yang berdaya hasil lebih tinggi daripada varietas pembanding.

2. Terdapat korelasi positif nyata antara daya hasil dengan kadar klorofil total.

(13)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani

Trustinah (1993) menyatakan bahwa kacang tanah termasuk subfamili Papilionidae, famili Leguminosae atau Fabaceae, ordo Polypetales, subdivisi Angisopermae, dan divisi Spermatophyta. Tanaman kacang tanah mempunyai nama latin Arachis hypogaea L. Genus Arachis merupakan tanaman herba, daunnya terdiri dari 3-4 helaian daun, memiliki daun penumpu, bunga berbentuk kupu-kupu dengan tabung hipantium, dan buah atau polong tumbuh di dalam tanah.

Menurut Gibbons et al. dalam Trustinah (1993) spesies A. hypogaea L.

dibagi menjadi dua subspesies, yaitu subspesies hypogaea dan subspesies fastigata. Subspesies yang pertama terdiri dari varietas hypogaea dan varietas hirsuta, sedangkan subspesies yang kedua terdiri dari varietas fastigata (tipe Valencia) dan va rietas vulgaris (tipe Spanish).

Subspesies hypogaea memiliki percabangan menjalar (procumbent), menjalar dengan ujung mengarah ke atas (decumbent), atau tegak (erect). Cabang dan bunganya terbentuk secara berselang-seling pada cabang primer atau sekunder, pembungaan sederhana dan biasanya bunga tidak muncul pada batang utama, dua hingga empat biji per polong dengan polong berparuh, biasanya biji memiliki masa dorman, dan daun berwarna hijau gelap. Subspesies fastigata pertumbuhannya tegak hingga menjalar agak tegak, bunganya sederhana atau majemuk, dan muncul tidak hanya pada cabang tetapi juga batang utama.

Umumnya biji tidak mengalami dormansi dan warna daun lebih terang dibandingkan subspesies hypogaea.

Morfologi

Menurut Trustinah (1993) berdasarkan bentuk atau letak cabang lateral tipe pertumbuhan kacang tanah dapat dibedakan menjadi tipe menjalar yang meliputi runner, trailing, procumbent, dan prostate, sedangkan tipe tegak meliputi upright, erect, dan bunch. Tipe menjalar mempunyai percabangan lebih panjang daripada tipe tegak dan tumbuh ke samping (hanya bagian ujung yang mengarah

(14)

4 ke atas), dan umur nya dapat mencapai enam bulan. Tipe tegak mempunyai percabangan tegak agak melurus ke atas, dan umurnya genjah (100 hari hingga 120 hari).

Trustinah (1993) melanjutkan bahwa posisi cabang primer terhadap batang utama membedakan kacang tanah menjadi enam tipe, yaitu procumbent 1 (batang utama tegak, cabang menjalar), procumbent 2 (batang utama dan cabang menjalar), decumbent 1 (batang utama tegak, cabang menjalar dengan ujung agak sedikit ke atas), decumbent 2 (batang utama tegak, cabang menjalar dengan pertengahan cabang menuju ke atas), decumbent 3 (batang utama tegak, cabang lateral membelok ke atas), dan erect (batang utama tegak, cabang lateral panjang lurus ke atas).

Menurut Rao (1988) perakaran tanaman kacang tanah berupa akar tunggang dan lateral yang berkembang baik dalam tanah karena termasuk herba semusim. Akar tunggang biasanya dapat masuk ke dalam tanah sampai kedalaman 90 cm dan sistem perakarannya terpusat pada kedalaman 15-25 cm. Untuk akar lateral, panjangnya sekitar 15-20 cm dan terletak tegak lurus pada akar tunggangnya.

Trustinah (1993) membagi kacang tanah berdasarkan pola percabangan berdasarkan buku subur pada batang utama dan susuna n buku subur pada cabang lateral. Tipe percabangan Virginia mempunyai ciri-ciri batang menjalar, percabangan lebih panjang daripada batang utama dan berseling atau alternate (cabang dan bunga terbentuk berselang-seling pada cabang primer atau sekunder dan batang utama umumya tidak ada bunga), umur panennya berkisar 4 hingga 5 bulan, polong terletak pada ruas cabang, setiap polong hanya mempunyai dua biji besar (1,2 cm), memiliki dormansi (sekitar 2 bulan), dan umumnya beradaptasi di daerah tropis. Tipe percabangan Spanish-Valensia mempunyai ciri-ciri batang tegak, percabangan sama tinggi dengan batang utama dan sequential (buku subur terdapat pada batang utama, cabang primer maupun cabang sekunder), bunganya terbentuk pada batang utama dan ruas cabang yang berurutan, setiap polong mempunyai lebih daripada dua biji, bijinya kecil (0.3-0.7 cm), umur panen berkisar 90-110 hari dan beradaptasi di daerah tropis. Tipe Spanish-Valensia adalah tipe kacang tanah yang paling banyak berkembang di Indonesia.

(15)

5 Trustinah (1993) menunjukkan bahwa daun kacang tanah mempunyai empat helai daun yang disebut tetrafoliate, berbentuk agak bervariasi (bulat, elips, agak lancip), bagian atas dan pada batang utama tanaman berukuran lebih besar daripada bagian bawah dan cabang, dan terdapat bulu daun.

Trustinah (1993) menyatakan bahwa kacang tanah termasuk tanaman menyerbuk sendiri, yaitu bunga kepala putik diserbuki sendiri oleh tepung sari dari bunga yang sama dan penyerbukan terjadi sesaat sebelum bunga mekar.

Bunga kacang tanah terdiri daripada kelopak bunga (calyx), tajuk atau mahkota bunga, benang sari (anter), kepala putik (stigma). Mahkota bunga berwarna kuning (lima helai), putik berwarna hijau muda, dan jumlah benang sari sekitar sepuluh. Bunga muncul dari ketiak daun dan sempurna (alat kelamin jantan dan betina dalam satu bunga).

Ginofor merupakan bakal buah atau reseptakel bunga kacang tanah yang memanjang setelah bunga dibuahi dan bersifat geotropik. Ginofor yang letaknya lebih daripada 15 cm umumnya mati sebelum menyentuh tanah. Gregory et al.

dalam Trustinah (1993) mengemukakan bahwa warna ginofor umumnya hijau dan berwarna putih bila mencapai tanah. Perubahan warna ginofor disebabkan klorofil melakukan fotosintesis saat di atas tanah dan berfungsi menjadi akar saat di dalam tanah. Pemanjangan ginofor akan sampai ke dalam tanah dan berkembang membentuk polong kacang tanah.

Fase Pertumbuhan

Boote (1982) menggunakan pertumbuhan jumlah buku pada batang utama, perkembangan bunga hingga masak menjadi polong, dan buku-buku pada batang utama yang mempunyai daun sebagai dasar fase tumbuh kacang tanah. Ia menyatakan bahwa perkembangan fase tumbuh kacang tanah dibagi menjadi fase vegetatif dan generatif (reproduktif). Fase vegetatif dimulai sejak perkecambahan hingga awal pembungaan (26 hingga 31 hari setelah tanam). Fase vegetatif dibagi menjadi tiga stadia, yaitu perkecambahan, pembukaan kotiledon, dan perkembangan daun tetrafoliate. Proses perkecambahan hingga munculnya kotiledon ke permukaan tanah disebut stadia VE yang berlangsung 4-6 hari, dan sehari kemudian kotiledon telah membuka yang disebut stadia VK. Daun muncul

(16)

6 dari buku pada batang utama atau cabang. Pengamatan vegetatif didasarkan jumlah buku karena bersifat permanen (buku ada meskipun daun telah gugur).

Perkembangan jumlah buku dihitung ketika daun tetrafoliate pada batang utama berkembang penuh. Fase reproduktif ditandai oleh bunga buah, dan biji. Fase reproduktif dibagi menjadi sembilan stadia, yaitu awal berbunga (R1), pembentukan ginofor (R2), pembentukan polong (R3), polong masak (R4), pembentukan biji (R5), pengisian biji hingga penuh (R6), awal pemasakan biji (R7), pemasakan panen (R8), dan polong lewat masak (R9).

Rao (1988) menambahkan bahwa pembungaan pada kacang tanah (stadia R1) dimulai sekitar 27-32 hari setelah tanam (HST). Banyaknya bunga dipengaruhi varietas, suhu, dan kelembaban. Shear dan Miller (1955) menyatakan bahwa bunga yang menjadi polong hanya sekitar 10-20 % daripada jumlah total bunga.

Stadia pertumbuhan ginofor (R2) umumnya membutuhkan kelembaban tanah yang tinggi, terutama untuk membantu ginofor masuk ke dalam tanah.

Cox et al. dalam Trustinah (1993) mengemukakan bahwa stadia R2 aktif menyerap kalium dan kalsium dari media sekitar polong. Ginofor terbentuk sekitar 55 % dari total bunga, dan ginofor yang dihasilkan setelah pembungaan maksimum tidak mempengaruhi produksi (Shear dan Miller, 1955).

Stadia pembentukan polong (R3) dimulai saat ujung ginofor mulai membengkak, yaitu 40-45 HST. Pembentukan polong merupakan periode yang sangat peka terhadap kekurangan air karena mempunyai laju akumulasi bahan kering maksimum. Kekurangan air pada R3 akan mengurangi pembungaan, pembentukan polong, dan hasil akhir (Boote, 1982). Polong penuh (R4) diperoleh sekitar 44-52 HST.

Stadia pembentukan biji (R5) dimulai saat polong mencapai keadaan maksimum, yaitu sekitar 52-57 HST. Stadia R5 dapat membedakan setiap varietas karena perbedaan warna kulit ari biji. Pengisian polong dimulai dari pangkal menuju ujung hingga bagian dalam terisi penuh (biji penuh). Biji penuh (R6) dicapai sekitar 60-68 HST. Stadia R5 dan R6 telah memperlihatkan perubahan warna kulit bagian luar daripada putih menjadi kuning kecoklatan, guratan pada kulit polong bagian luar, dan permukaan polong sudah kasar. Kekurangan air

(17)

7 selama periode pengisian polong menurunkan hasil secara drastis karena meningkatnya jumlah biji yang keriput dan gugur.

Stadia pematangan biji (R7) sekitar 68-75 HST (5-6 minggu setelah ginofor menembus tanah). Keadaan ini dicirikan oleh bintik-bintik hitam pada kulit polong bagian dalam, warna polong semakin gelap, guratan polong sangat nyata, dan perubahan morfologi di dalam atau luar polong. Pemasakan biji (R8) dicapai saat 85 HST dan umur lebih lanjut didapatkan biji yang semakin berat.

Waktu panen terbaik sekitar 75 % polong memperlihatkan bintik-bintik hitam pada bagian dalam kulit. Trustinah (1986) menyatakan bahwa panen sekitar 80-100 HST terdapat polong-polong yang hampir sama tingkat kematangannya.

Beberapa ginofor serta polong pada waktu panen baru mencapai stadia awal pembentukan polong (R2, R3) dan hampir tidak ditemukan stadia polong penuh (R4), awal pembentukan biji (R5), dan biji penuh (R6). Hal tersebut disebabkan polong-polong yang terbentuk pada stadia awal akan menghambat pertumbuhan polong-polong berikutnya.

Klorofil

Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa protoplastid merupakan asal pembentukan struktur kloroplas, tidak atau sedikit berwarna karena sedikit pigmen klorofil, dengan sedikit membran dalam. Protplastid berkembang menjadi plastida dan lebih khusus menjadi kloroplas. Kloroplas bermembran ganda, banyak enzim-enzim untuk fotosintesis sebagai katalisator proses CO2 menjadi karbohidrat (pati), dan terdapat pigmen fotosintesis yaitu klorofil. Membran tilakoid sebagai salah satu bagian kloroplas adalah tempat klorofil bekerja dalam proses fotosintesis.

Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa berdasarkan susunan kimia, fungsi, dan warnanya, pigmen klorofil terbagi menjadi lima macam, yaitu klorofil a, klorofil b, klorofil c, klorofil d, dan klorofil e. Klorofil a dan b adalah terpenting dibandingkan klorofil lainnya karena sebagian besar tanaman tingkat tinggi mempunyai klorofil tersebut. Klorofil a dan b berstruktur kimia empat cincin pirol dengan atom Mg (magnesium) di tengah. Rumus kimia klorofil a

(18)

8 adalah C55H72 O5N4Mg dengan gugus metil, sedangkan klorofil b adalah C55H70 O6N4Mg dengan gugus aldehid.

Faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan klorofil yaitu genetik tanaman dan lingkungan (Salisbury dan Ross, 1995). Faktor genetik tanaman menentukan ada tidaknya gen-gen yang berekspresi menghasilkan pigmen klorofil, jika berekspresi maka pigmen muncul (daun berwarna hijau), dan jika tidak berekspresi maka pigmen tidak muncul (daun berwarna putih pucat). Faktor lingkungan adalah kadar karbondioksida (CO2) sebagai bahan fotosintesis, nitrogen (N) dan magnesium (Mg) sebagai penyusun kimia klorofil, besi (Fe) sebagai enzim ferredoksin dan transfer elektron fotosintesis, belerang (S), tembaga (Cu), seng (Zn), kalium (K), suhu lingkungan (optimal sekitar 270-300 C) dan cahaya.

Variabilitas Genetik dan Koefisien Keragaman Genetik

Variabilitas genetik merupakan perbedaan keragaan tanaman dalam suatu populasi akibat perbedaan genetik. Variabilitas genetik diketahui melalui evaluasi ragam genotipik dengan standar deviasi ragam genotipik suatu peubah (Anderson dan Bancroft dalam Ruchjaniningsih et al., 2000). Variabilitas genetik yang luas menggambarkan keragaman genetik yang besar sehingga memberikan peluang seleksi yang besar.

Koefisie n keragaman genetik adalah nisbah akar kuadrat ragam genetik dengan nilai tengah peubah yang bersangkutan. Koefisien keragaman genetik menggambarkan besaran nilai genetik yang beragam dalam populasi. Nilai koefisien keragaman genetik membantu pengukuran diversitas genetik pada suatu karakter (Miller et al. dalam Purwaningsih, 2002). Nilai keragaman genetik yang tinggi diharapkan dapat membuka peluang usaha perbaikan yang lebih baik melalui seleksi karena terdapat keragaman yang tinggi pada peubah yang bersangkutan.

Heritabilitas

Allard (1960) menyatakan bahwa nilai heritabilitas merupakan kuantifikasi peran faktor genetik (mewaris) dibandingkan faktor lingkungan dalam

(19)

9 memberikan pengaruh pada keragaan akhir suatu peubah. Heritabilitas dapat juga diartikan ukuran keragaman teramati yang disebabkan oleh sifat mewaris.

Terdapat dua macam heritabilitas, yaitu heritabilitas arti luas dan arti sempit (Hanson, 1963). Heritabilitas arti luas adalah nisbah antara ragam genetik total (dominan, aditif, dan epistasis) dengan ragam fenotipenya. Heritabilitas arti sempit adalah nisbah ragam aditif dengan ragam fenotipenya. Sifat aditif merupakan sifat yang diwariskan pada keturunannya.

Warner dalam Hayes et al. (1995) mengemukakan tiga metode pendugaan nilai heritabilitas, yaitu: (1) regresi parent-offspring, (2) analisis komponen ragam, (3) pendugaan ragam tidak diwariskan dari populasi yang homogen untuk menduga ragam genetik total. Pemilihan metode tergantung pada cara perkembangbiakan tanaman.

Heritabilitas dinyatakan dalam bilangan desimal antara nol dan satu (Poespodarsono, 1988). Heritabilitas nol berarti keragaman fenotipik seluruhnya disebabkan oleh faktor lingkungan, sedangkan heritabilitas satu berarti keragaman fenotipik seluruhnya disebabkan oleh faktor genetik. Nilai duga heritabilitas yang tinggi efektif untuk seleksi karena faktor genetik lebih berpengaruh dibandingkan faktor lingkungan. Nilai duga heritabilitas yang rendah kurang efektif untuk seleksi karena faktor lingkungan lebih berpengaruh dibandingkan faktor genetik.

Korelasi

Korelasi adalah ukuran derajat bervariasinya kedua peubah secara bersama-sama atau ukuran keeratan hubungan antara kedua peubah tersebut.

Korelasi menggambarkan sifat bersama yang dimiliki kedua peubah dan tidak berkaitan denga n hubungan sebab-akibat (Gomez dan Gomez, 1995). Korelasi antar dua peubah dapat bersifat korelasi positif dan korelasi negatif.

Hubungan antar peubah mempunyai arti penting dalam seleksi. Seleksi berjalan efektif jika terdapat hubungan antara sifat penduga dan sifat yang dituju.

Seleksi melalui peubah lain yang berkorelasi erat dan positif dengan peubah hasil akan membantu perbaikan hasil. Menurut Kasno et al. (1983) korelasi dapat dijadikan petunjuk bagi sifat yang mungkin digunakan sebagai indikator bagi peubah-peubah yang dikehendaki.

(20)

10

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang di Kabupaten Bogor dengan ketinggian tempat sekitar 190 m dpl. Penelitian dilakukan pada pertengahan Juni 2007 sampai akhir September 2007. Penetapan kadar klorofil daun dan pengujian pascapanen dilakukan di laboratorium Pusat Studi Pemuliaan Tanaman dan laboratorium Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman adalah tiga puluh genotipe kacang tanah yang terdiri atas 21 varietas unggul nasional, delapan galur generasi lanjut, dan satu genotipe lokal.

Dua puluh satu varietas unggul nasional adalah Panther, Turangga, Biawak, Kancil, Gajah, Jepara, Biga, Sima, Bidua, K idang, Macan, Mahesa, Rusa, Pelanduk, Simpai, Landak, Badak, Zebra (putih), Jerapah, Tapir dan Kelinci.

Delapan galur generasi lanjut adalah GWS-18, GWS-27, GWS-72, GWS-52, GWS-532, GWS-04, GWS-145, dan GWS-139. Satu genotipe lokal adalah Lokal-III. Varietas Gajah digunakan sebagai varietas pembanding. Bahan lain yaitu pupuk anorganik (urea, SP-36, KCl), pestisida (Furadan 3G, Dithane, Decis 2.5 EC), kapur dolomit, dan aseton 80 % untuk analisis kadar klorofil. Alat yang digunakan selain peralatan untuk produksi tanaman juga digunakan oven untuk pengering, serta peralatan untuk menetapkan kadar klorofil daun yang terdiri atas spektrofotometer UV-V15 1201, mortar, tabung reaksi 10 ml, labu ukur 5 ml, kertas saring, termos es, pelubang daun, microtube dan sentrifuge.

Metode Penelitian

Rancangan lingkungan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT), dengan perlakuan faktor tunggal yaitu 30 genotipe kacang tanah. Setiap genotipe diulang tiga kali sehingga jumlah satuan percobaan adalah 90. Model linier aditif yang dipakai berdasarkan model matematik oleh Gomez dan Gomez (1995) :

(21)

11 Yij = u + si + ßj + eij

i = 1,2,3,...,29.

j = 1,2,3.

Yij = Respon pengamatan akibat perlakuan ke- i dan ulangan ke-j.

u = Rataan umum.

si = Pengaruh perlakuan ke-i.

ßj = Pengaruh ulangan ke-j.

eij = Galat percobaan pada perlakuan ke- i dan ulangan ke-j.

Pelaksanaan Penelitian

Tanah lahan kering diolah sampai kedalaman 15-20 cm, kemudian dibuat petak ulangan dengan jarak antar petak dalam ulangan dan antar ulangan sekitar 30 cm. Petak memiliki panjang 4 m dan lebar 1.6 m. Kapur sebanyak 0.32 kg per petak diberikan seminggu sebelum tanam. Pupuk anorganik yang digunakan yaitu urea, SP-36, dan KCl berturut-turut dengan dosis 100 kg/ ha, 278 kg/ ha, dan 83 kg/ha. Semua pupuk langsung diaplikasikan pada saat tanam dan diberikan secara larikan, yaitu dengan cara alur 10 cm di samping lubang tanam. Furadan 3G diberikan bersamaan dengan penanaman benih. Satu butir benih ditanam pada tiap lubang tanam berkedalaman 5 cm dengan jarak 40 cm x 20 cm, kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah. Penyulaman dilakukan pada 7 HST. Pengairan secara tadah hujan dan penyiangan gulma dilakukan saat diperlukan. Analisis kadar klorofil daun dilakukan pada saat 4 MST dan 10 MST. Seluruh bagian tanaman contoh dipanen berdasarkan ulangan dan nomor petak pada saat 14 MST.

Pengamatan

Tanaman contoh diambil dari dua baris tanaman yang kompetitif masing- masing sepanjang 0.8 m yang ditentukan secara acak pada tiap petak.

Peubah kuantitatif yang diamati pada saat fase vegetatif dan generatif adalah : 1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang hingga titik tumbuh saat 14

MST (dua atau tiga hari sebelum panen).

2. Jumlah semua buku tanaman saat 14 MST (panen). Buku merupakan tempat munculnya daun tetrafoliate, bunga, dan ginofor (Gambar 1).

(22)

12

Gambar 1. Buku Kacang Tanah (lingkaran merah)

3. Ginofor adalah pemanjangan struktur fungsional yang muncul dari bunga.

Pengamatan meliputi jumlah ginofor non-aerial (ginofor yang masuk ke dalam tanah), jumlah ginofor aerial (ginofor yang tidak masuk ke dalam tanah), dan ginofor total saat panen. Ginofo r aerial ditandai oleh ujung ginofor yang masih hijau atau belum menyentuh tanah, sedangkan ginofor non-aerial ditandai oleh berubahnya warna ujung ginofor menjadi putih kecoklatan (Gambar 2).

Gambar 2. Ginofor Kacang Tanah. Ginofor aerial (lingkaran hitam) dan non-aerial (lingkaran biru)

4. Bobot kering (gram) dan jumlah polong setelah dioven pada suhu 600 C selama 3 hari, meliputi jumlah polong total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, bobot polong total, bobot polo ng isi, dan bobot polong hampa.

5. Penentuan kadar klorofil daun pada 4 MST diambil satu daun (dua helai dari empat helai anak daun) pada Gambar 3 dan 10 MST pada dua daun (empat helai dari delapan helai anak daun). Daun yang diambil adalah daun ke dua atau tiga dari pucuk tanaman. Daun segar diambil saat pagi hari antara jam 08.00-09.00 WIB sebelum matahari terik.

(23)

13

Gambar 3. Daun Tetrafoliate Kacang Tanah untuk Analisis Kadar Klorofil Daun 4 MST (lingkaran merah)

Kadar klorofil daun diukur pada saat mulai pembungaan (4 MST) dan pemasakan biji (10 MST) dalam mg/g bobot basah daun. Analisis klorofil di laboratorium dilakukan dengan cara sebagai berikut: contoh daun pada 4 MST dan 10 MST dengan luas 0.95 cm2 digerus dengan mortar, kemudian ditambah aseton 80 % secukupnya untuk memudahkan penggerusan, selanjutnya ekstrak klorofil pada mortar dipindahkan ke dalam microtube, lalu disentrifugasi menggunakan sentrifugator, kemudian hasil sentrifugasi dituangkan dalam tabung reaksi, selanjutnya microtube diberikan aseton 80 % untuk dilakukan sentrifugasi kembali sampai microtube cukup bersih dari klorofil, kemudian ekstrak klorofil dalam tabung reaksi diencerkan dengan aseton 80 % hingga 10 ml, dan ekstrak klorofil dipindahkan ke wadah spektrofotometer yang akan diukur oleh spektrofotometer. Penetapan kadar klorofil daun pada 4 MST dan 10 MST dengan spektrofotometer berdasarkan rumus:

Klorofil a terukur (mg/l) = (0.0127 x D663 – 0.00269 x D645) Klorofil b terukur (mg/l) = (0.0229 x D645 – 0.00468 x D663) Klorofil a (mg/g) = [Klorofil a terukur (mg/l) x FK] / bobot basah(g) Klorofil b (mg/g) = [Klorofil b terukur (mg/l) x FK] / bobot basah(g)

Klorofil total (mg/g) = Klorofil a + Klorofil b

FK = Faktor Koreksi sebesar [10 ml x 1 L / 1000ml]; D645= Panjang gelombang 645 nm (nanometer) ; D663= Panjang gelombang 663 nm (nanometer).

(24)

14 Analisis Data

Analisis data untuk peubah tinggi tanaman, jumlah buku, jumlah ginofor aerial, jumlah ginofor no n-aerial, dan jumlah ginofor total dilakukan terhadap rata-rata tanaman contoh. Untuk peubah bobot polong isi, bobot polong total, bobot polong hampa, jumlah polong isi, jumlah polong total, dan jumlah polong hampa analisis data dilakukan terhadap total bobot dan jumlah polong tanaman contoh setiap ulangan.

Tahapan analisis data sebagai berikut:

1. Sidik ragam atau uji F dilakukan pada taraf nyata (a) 5 %.

2. Uji lanjut menggunakan t-Dunnett dilakukan jika pengaruh perlakuan nyata.

3. Anderson dan Bancroft (1952) dalam Ruchjaniningsih et al. (2000) menyatakan bahwa variabilitas genetik dikategorikan luas jika s2g = 2(ss2

g) dan sempit jika s2g < 2(ss2

g). Menurut Petersen (1994), pendugaan nilai variabilitas menggunakan analisis komponen ragam, yaitu ragam genetik (s2g).

Tabel 1. Analisis Komponen Ragam

Ragam lingkungan : KT galat (s2)

Nilai duga ragam genetik (s2g)= (M2-M1)/r Nilai duga ragam fenotipik (s2p)= ((s2)/r) + s2g

Standar deviasi ragam genotipik:

s s2

g = 



+ +

+ 2

) (

2 )

2 ( 2 2

2

galat genotipe genotipe

galat

db KT db

KT r

s s2

g= Standar deviasi ragam genotipik; r= ulangan; g=perlakuan

4. Pendugaan nilai heritabilitas dalam arti luas menggunakan analisis komponen ragam menurut Allard (1960) yaitu :

Sumber Keragaman Derajat Bebas (db)

Kuadrat Tengah (KT)

E (KT) Faktor Koreksi (FK) 1

Ulangan r-1 M3

Perlakuan g-1 M2 s2 + rs2g

Galat g(r-1) M1 s2

Total gr

(25)

15 h2bs = (s2g / s2p) x 100 %

h2bs= Nilai duga heritabilitas arti luas; s2g= Nilai duga ragam genotipik;

s2p= Nilai ragam fenotipik.

Berdasarkan Mc Whirter (1979), nilai duga heritabilitas dikategorikan tinggi jika nilai h2bs = 50 %, sedang jika nilai h2bs antara 20 % hingga 50 %, dan rendah jika nilai h2bs = 20 %.

5. Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG):

KKG =

( )

u

g

σ2

x 100%

(

σ2g

)

= nilai duga ragam genotipik, u = rataan umum peubah.

Kriteria nilai KKG (Murdaningsih et al. dalam Sutina, 2003) : 0 < x =10.94 = sempit.

10.94 < x = 21.88 = agak sempit.

21.88 < x = 32.83 = agak luas.

32.88 < x = 43.77 = luas.

43.77 < x = sangat luas.

6. Korelasi linier sederhana antara karakter komponen hasil dan hasil dihitung menurut Goulden (1959) :

r =

∑ ∑

=

) . (

) (

2 2 2 1 1

2 1

x x

x x

n

i

r = koefisien korelasi.

x = selisih antara peubah x yang diamati dengan rataannya. 1

x = selisih antara peubah y yang diamati dengan rataannya. 2

(26)

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Tanaman kacang tanah mempunyai kebutuhan air yang spesifik akibat sifatnya yang unik, yaitu bunganya yang tumbuh di atas tanah, sedangkan polong dan bijinya berkembang di dalam tanah. Prinsip pengelolaan air bagi tanaman kacang tanah adalah mengendalikan secara seimbang antara penyerapan air dan kehilangan air (Suyamto, 1993). Penyerapan air dari dalam tanah terkait dengan tersedianya air tanah dalam jumlah yang mencukupi.

Pengairan pada petak percobaan dilakukan secara alamiah melalui hujan (irigasi tadah hujan) karena tanah lapang secara fisik tidak pernah terlalu kering.

Hal tersebut diketahui dengan memirid tanah sampai kedalaman 10 cm dan tanah masih dalam keadaan basah. Berdasarkan catatan BMG Lokal Darmaga, curah hujan total selama penelitian adalah 656 mm, dan curah hujan rata-rata adalah 215 mm/bulan. Menurut Docrenbos dan Kassam dalam Suyamto (1993) kebutuhan air selama pertumbuhan tanaman kacang tanah yang bergantung iklim berkisar 500-700 mm. Dengan demikian curah hujan total pada lahan penelitian masih mencukupi untuk pertumbuhan kacang tanah.

Catatan BMG Lokal Darmaga menunjukkan bahwa suhu rata-rata selama penelitian berkisar 26-27 oC/bulan. Adisarwanto et al. (1993) menyatakan bahwa suhu antara 27-30 oC adalah suhu optimal pertumbuhan kacang tanah. Menurut Sumarno dan Slamet (1993) pertumbuhan vegetatif dan generatif lebih dipengaruhi suhu daripada panjang hari penyinaran.

Dari awal masa tanam hingga akhir pengisian biji (11 MST), tanama n tumbuh normal, tetapi satu dan dua minggu jelang panen (13-14 MST) angin kencang disertai hujan deras menerpa sebagian lahan sehingga beberapa genotipe pada ulangan 1, 2, dan 3 sebagian rebah. Meskipun demikian, kerebahan tersebut tidak mempengaruhi proses pengisian polong karena kerebahan terjadi saat pemasakan biji (akhir stadia R8). Trustinah (1993) menyatakan bahwa proses pengisian polong atau pembentukan biji berlangsung mulai sekitar 7 MST pada stadia R4 hingga sekitar 11 MST pada stadia R6.

(27)

17 Lampiran 2 menunjukkan bahwa tekstur tanah pada tempat penelitian adalah liat (lempung liat) dengan pH 5.00. Kacang tanah dapat tumbuh baik pada tanah dengan tekstur dan pH tersebut. Adisarwanto et al. (1993) mengemukakan bahwa tanah berjenis lempung berpasir, liat berpasir, atau lempung liat adalah jenis tanah yang baik untuk pertumbuhan kacang tanah. Foth dan Ellis dalam Ispandi (2002) menyatakan bahwa pH tanah yang optimal untuk kacang tanah antara 5.5-6.5, sedangkan Adisarwanto et al. (1993) mengemukakan bahwa kacang tanah tumbuh baik pada lingkungan ber-pH 6.5-7.0.

Lahan tempat penelitian mempunyai kadar Ca 4.16 me/100 g, kadar N 0.08 %, kadar P 6.3 ppm, dan kadar K 0.11 me/100 g (Lampiran 2). Berdasarkan data pada Lampiran 3, unsur N tempat penelitian tergolong sangat rendah, sedangkan unsur Ca, P, dan K tergolong rendah. Oleh karena itu, pupuk N, P, K, dan kapur diaplikasikan pada lahan penelitian untuk menambah kadar N, P, K, dan Ca tanah.

Penyakit utama yang terlihat menyerang sejumlah tanaman yaitu jamur busuk batang (Phytium spp.), layu bakteri (Xanthomonas spp.), sapu setan, bercak daun (Cercospora spp. atau Cercosproidium spp.), virus belang (Peanut Stripe Virus), dan karat daun (Puccinia spp.). Penyakit tersebut di atas (kecuali karat dan bercak daun) menyerang pada pertengahan penanaman dan beberapa tanaman contoh.

a b

c d

Gambar 4. Penyakit pada Kacang Tanah. Gejala penyakit (lingkaran hijau) layu bakteri (a), virus belang (b), hawar daun (c), dan bercak daun (d)

(28)

18 Karat daun dan bercak daun menyerang seluruh tanaman contoh saat masa generatif akhir atau menjelang panen. Daun kacang tanah yang sehat tidak terdapat bercak-bercak coklat dan kuning pada daunnya, sedangkan daun yang terinfeksi penyakit bercak dan karat daun terdapat bercak-bercak coklat dan kuning (Gambar 5).

Gambar 5. Daun Kacang Tanah Sehat dan Daun Terinfeksi Bercak serta Karat Daun

Saleh (2002) menyatakan bahwa penyakit bercak dan karat daun sering menyerang tanaman pada saat yang bersamaan. Saleh (2002) melanjutkan bahwa aplikasi mankozeb, benomil, klorotanil, dan bitertanol sebanyak enam kali ketika tanaman berumur 4-14 minggu dengan interval dua minggu dapat menekan intensitas serangan penyakit bercak dan karat tersebut masing- masing 55%-90%

dan 28%-89%.

Keragaan Genotipe

Uji asumsi kenormalan sebaran galat percobaan dilakukan untuk memenuhi syarat sidik ragam. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, peubah yang tidak memenuhi asumsi menyebar normal adalah jumlah buku, bobot polong hampa, jumlah ginofor total, jumlah ginofor aerial, jumlah ginofor non-aerial, dan jumlah polong hampa. Transformasi data dilakukan menggunakan log a dan log (a+1) untuk memenuhi asumsi tersebut. Meskipun demikian peubah jumlah buku tetap tidak memenuhi asumsi tersebut sehingga analisis dilakukan terhadap data awal.

(29)

19 Tabel 2. Rekapitulasi Uji-F Beberapa Peubah pada 29 Genotipe Kacang Tanah

Peubah F hit

Perlakuan

Pr>F Koefisien Keragaman (%)

Tinggi Tanaman (cm) 2.50** 0.0018 18.64

Jumlah Buku 1.25tn 0.2341 15.52

Kadar Klorofil Daun 4 MST (mg/g bb)

1.18tn 0.2921 14.32 Kadar Klorofil Daun 10

MST (mg/g bb)

1.82* 0.0467 15.99 Jumlah Ginofor Totalht 3.20** 0.0001 7.44 Jumlah Ginofor Aerialht 1.59tn 0.0713 28.15 Jumlah Ginofor

Non-aerialht

2.46** 0.0021 9.57 Bobot Polong Hampaht

(gram)

2.18** 0.0067 35.35 Bobot Polong Isi (gram) 1.44tn 0.1242 26.79 Bobot Polong Total

(gram)

1.53tn 0.088 25.78 Jumlah Polong Hampaht 2.37** 0.003 20.47 Jumlah Polong Isi 3.47** 0.0001 24.45 Jumlah Polong Total 4.03** 0.0001 22.42

Keterangan:* Berbeda nyata pada taraf 5 % ; ht Hasil transformasi ** Berbeda nyata pada taraf 1 % ; tn Tidak berpengaruh nyata

Hasil sidik ragam pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa bobot polong isi, bobot polong total, jumlah ginofor aerial, jumlah buku, dan kadar klorofil daun 4 MST tidak berbeda nyata. Semua peubah di atas secara statistika tidak dipengaruhi oleh genotipe-genotipe yang diujikan.

Koefisien keragaman bobot polong isi, bobot polong total, dan jumlah ginofor aerial melebihi nilai 20 %. Gomez dan Gomez (1995) menyatakan bahwa percobaan dengan Koefisien Keragaman (KK) sampai 20% menandakan ketepatan percobaan cukup akurat, sedangkan KK percobaan yang lebih daripada 20 % ketepatannya tidak cukup akurat. Nilai KK lebih daripada 20 % menandakan pengaruh lingkungan di luar perlakuan cukup mempengaruhi hasil pengamatan.

(30)

20 Tiga baris petak ulangan 1, 2, dan 3 arah timur ternaungi pepohonan yang tumbuh di luar areal penelitian. Sinar matahari terhalang masuk ke petak tersebut mulai terbit matahari sampai sekitar jam 09.30 WIB. Menurut Sumarno dan Slamet (1993) biji kacang tanah mengandung lemak 50% dan protein 20%

sehingga memerlukan energi tinggi atau radiasi matahari yang cukup pada masa generatifnya. Sumarno dan Slamet (1993) melanjutkan bahwa rendahnya radiasi matahari mengubah pembentukan biomassa total tanaman. Biomassa total tanaman (tajuk, akar, polong, biji) tersusun sebagian besar dari senyawa karbon yang dihasilkan pada proses fotosintesis. Karmana (2000) mengemukakan bahwa fotosintesis membutuhkan cahaya dalam proses penyusunan senyawa karbohidrat, cahaya merupakan sumber energi alami pada fotosintesis, dan pigmen-pigmen klorofil menangkap cahaya tersebut untuk dikonversikan menjadi senyawa karbohidrat.

Bobot polong hampa, jumlah ginofor total, jumlah ginofor non-aerial, jumlah polong total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, tinggi tanaman, dan kadar klorofil daun pada 10 MST genotipe-genotipe yang diuji nyata dipengaruhi perlakua n. Jumlah polong total, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, dan bobot polong hampa pada genotipe yang diujikan mempunya i nilai KK lebih dari 20 %.

Berdasarkan uji t-Dunnett, tanaman Turangga dan Sima nyata lebih tinggi dari Gajah. Tinggi tanaman tertinggi ditunjukkan oleh Turangga (58.92±7.65), sedangkan terendah Rusa (30.08±0.72).

Jumlah ginofor non-aerial Zebra (55.78±14.49) nyata lebih banyak dibanding Gajah (21.51±7.76) dan jumlah ginofor total Zebra (68.26±16.68) juga nyata lebih banyak dibanding Gajah (28.93±4.38). Jumlah ginofor non-aerial terendah ditunjukkan oleh Jepara (17.77±10.30) dan jumlah ginofor total terendah ditunjukkan oleh Macan (23.64±7.68).

Genotipe GWS-139 memiliki bobot polong isi dan bobot polong total tertinggi, sedangkan Zebra terendah. Tabel 3 menunjukkan bobot polong isi dan bobot polong total semua genotipe kacang tanah yang diuji.

Hasil uji t-Dunnett memperlihatkan bahwa jumlah polong isi GWS-52 dan GWS-139 lebih banyak dibandingkan Gajah. Jumlah polong isi tertinggi

(31)

21 ditunjukkan oleh GWS-52 (199.33±36.91), sedangkan terendah Zebra (85.67±2.309). Untuk jumlah polong total, hasil uji t-Dunnett menunjukkan tidak terdapat genotipe yang berbeda nyata dari Gajah. Jumlah polong total tertinggi ditunjukkan oleh GWS-52 (217±42.58), sedangkan terendah Biga (97.33±6.506).

Tabel 3. Bobot Polong Isi dan Bobot Polong Total 29 Genotipe Kacang Tanah

Genotipe Bobot Polong Isi (g)

Bobot Polong Total (g)

Genotipe Bobot Polong Isi (g)

Bobot Polong Total (g) Badak 115.6±49.9 119.7±50.7 Sima 125.4 ± 48.0 134.5±48.8 Biawak 151.6±26.3 156.4±25.3 Simpai 128.6 ± 47.6 131.8±46.2 Bidua 118.5±34.4 121.6±34.3 Tapir 177.4 ± 16.4 183.6±13.4 Biga 105.6±7.8 108.0±8.6 Turangga 116.1 ± 45.5 119.7±46.1 Jepara 103.3±62.1 106.2±61.9 Zebra 84.5 ± 5.7 96.8±9.6 Jerapah 133.2±21.6 134.2±21.9 GWS-04 133.8 ± 31.8 136.5±29.0 Kancil 149.2±37.9 150.6±37.3 GWS-18 176.4 ± 18.4 179.8±15.9 Kelinci 122.9±41.5 129.9±44.8 GWS-27 154.5 ± 10.2 175.4 ±6.7 Kidang 134.9±65.9 139.7±65.9 GWS-52 179.8 ± 31.3 188.3±32.2 Landak 153.2±63.9 159.9±62.9 GWS-72 174.6 ± 11.7 179.3±12.8 Macan 116.1±27.4 120.5±29.3 GWS-139 185.9 ± 31.9 193.4±30.2 Mahesa 128.8±24.8 131.5±26.4 GWS-532 140.4 ± 42.3 145.7±42.8 Panther 117.4±40.3 119.5±40.8 Gajah 133.2 ± 44.5 139.2±41.5 Pelanduk 139.0±11.6 141.7±10.6 Lokal III 161.5 ± 28.1 165.3±28.6 Rusa 119.6±11.4 124.9±14.1

Keterangan : Gajah sebagai genotipe pembanding

Nilai tengah tiap peubah adalah jumlah dari 7-8 tanaman contoh tiap ulangan

Semua galur generasi lanjut GWS mempunyai jumlah polong isi dan jumlah polong total yang lebih tinggi daripada Gajah. Genotipe lain yang mempunyai jumlah polo ng isi lebih tinggi dari Gajah yaitu Turangga, Biawak, Kancil, Bidua, Mahesa, Rusa, Pelanduk, Simpai, Landak, Jerapah, Kelinci, Tapir, dan Lokal III. Sedangkan untuk jumlah polong total yaitu Biawak, Kancil, Bidua, Rusa, Pelanduk, Landak, Jerapah, Kelinci, Tapir, dan Lokal III.

Hasil uji t-Dunnett pada jumlah polong hampa memperlihatkan bahwa tidak terdapat genotipe yang berbeda nyata dari Gajah. Jumlah polong hampa tertinggi ditunjukkan oleh GWS-27 (49.67±27.502), sedangkan terendah Jerapah (4.67±2.082) dan Kancil (4.67±0.577). Genotipe GWS-04, GWS-18, GWS-52, GWS-72, dan GWS-532 mempunyai jumlah polong hampa lebih rendah dari Gajah. Tabel 4 menunjukkan jumlah polong isi, jumlah polong total, dan jumlah polong hampa semua genotipe kacang tanah yang diujikan.

(32)

22 Tabel 4. Jumlah Polong Isi, Jumlah Polong Total, dan Jumlah Polong Hampa 29 Genotipe Kacang Tanah

Genotipe Jumlah Polong Isi Jumlah Polong Total Jumlah Polong Hampa

Badak 94.7 ± 26.5 108.3 ± 28.6 13.7 ± 2.1

Biawak 136.3 ± 25.8 149.0 ± 21.9 12.7 ± 4.0

Bidua 156.0 ± 35.0 169.3 ± 26.8 13.3 ± 9.3

Biga 89.0 ± 4.4 97.3 ± 6.5 8.3 ± 7.6

Jepara 97.7 ± 46.3 107.3 ± 45.2 9.7 ± 3.1 Jerapah 119.0 ± 19.9 123.7 ± 20.1 4.7 ± 2.1 Kancil 125.0 ± 19.9 129.7 ± 20.5 4.7 ± 0.6 Kelinci 102.0 ± 34.2 124.0 ± 40.9 22.0 ± 7.0 Kidang 96.7 ± 23.2 113.3 ± 20.6 16.7 ± 2.9

Landak 134.0 ± 36.8 152.7 ± 35.2 18.7 ± 2.3

Macan 92.3 ± 23.5 103.7 ± 21.5 11.3 ± 5.1

Mahesa 101.0 ± 20.1 110.7 ± 18.5 9.7 ± 2.1 Panther 94.0 ± 26.7 101.0 ± 28.0 7.0 ± 3.0 Pelanduk 110.7 ± 12.9 121.7 ± 14.2 11.0 ± 2.7

Rusa 140.3 ± 17.2 157.7 ± 24.8 17.3 ± 10.0

Sima 88.7 ± 15.5 111.0 ± 26.9 22.3 ± 20.6 Simpai 100.3 ± 28.3 109.7 ± 26.3 9.3 ± 2.1 Tapir 173.7 ± 27.1 191.0 ± 318.9 17.7 ± 8.5 Turangga 110.0 ± 73.1 119.3 ± 72.2 9.3 ± 4.0

Zebra 85.7 ± 2.3 99.3 ± 3.50 13.7 ± 4.0

GWS-04 154.0 ± 31.0 166.0 ± 26.7 12.0 ± 13.2 GWS-18 162.7 ± 46.6 176.0 ± 56.3 13.3 ± 10.0 GWS-27 139.7 ± 30.9 189.3 ± 41.5 49.7 ± 27.5 GWS-72 177.7 ± 12.1 197.0 ± 21.7 19.3 ± 11.0 GWS-52 199.3 ± 36.9 217.0 ± 42.6 17.7 ± 10.1 GWS-139 182.3 ± 26.6 210.7 ± 24.7 28.3 ± 2.3 GWS-532 127.3 ± 30.9 136.7 ± 29.9 9.3 ± 8.8 Gajah 100.0 ± 32.4 120.0 ± 26.9 20.0 ± 6.6 Lokal III 162.7 ± 30.1 179.0 ± 34.2 16.0 ± 34.2

Keterangan : Gajah sebagai genotipe pembanding

Nilai tengah tiap peubah adalah jumlah dari 7-8 tanaman contoh tiap ulangan

Korelasi jumlah polong isi dan total positif dan sangat nyata sebesar r=0.974. Korelasi jumlah polong total dan jumlah polong hampa positif dan sangat nyata sebesar r=0.509. Korelasi jumlah polong isi dan jumlah polong hampa positif, tetapi tidak nyata dengan r=0.302. Peningkatan jumlah polong total sangat nyata berkorelasi dengan peningkatan jumlah polong isi dan hampa, tetapi peningkatan jumlah polong isi tidak berkorelasi dengan jumlah polong hampa.

Data BMG Lokal Darmaga menunjukkan bahwa selama periode

pembentukan dan pengisian polong (44-52 HST) curah hujan sebesar

(33)

23 4.67 mm/hari. Menurut Stansel et al. dalam Suyamto (1993) laju kebutuhan air maksimum harian untuk kacang tanah berkisar 5-6 mm/hari.

Boote dalam Trustinah (1993) menyatakan bahwa periode pembentukan polong merupakan periode yang sangat membutuhkan air karena pertumbuhan polong pada periode tersebut memiliki laju akumulasi bahan kering maksimum.

Kekurangan air pada periode ini sangat mempengaruhi jumlah polong yang ada, baik polong isi dan hampa. Pallas et al. dalam Trustinah (1993) menyatakan bahwa kekurangan air selama periode pengisian polong dapat menambah biji keriput, biji mati (termasuk polong hampa), dan fotosintat (sukrosa) terakumulasi pada bagian buah yang belum matang. Biji tidak dapat terbentuk sempurna dan bobot biji sangat mungkin terpengaruh karena akumulasi sukrosa tersebut.

Kadar Klorofil

Kadar klorofil daun 29 genotipe kacang tanah pada 4 MST dan 10 MST terdapat pada Tabel 5. Berdasarkan uji t-Dunnett, tidak terdapat genotipe kacang tanah yang berbeda nyata dari Gajah, baik kadar klorofil daun pada 4 MST maupun 10 MST. Kadar klorofil daun pada 4 MST mempunyai rataan sebesar 3.75±0.337 mg/g bb, sedangkan 10 MST sebesar 2.78±0.346 mg/g bb.

Menurut Trustinah (1993) mulai umur 4 MST tanaman memasuki fase generatif, yaitu pembentukan bunga, pembentukan ginofor, pembentukan polong, dan pengisian polong (pembentukan biji). Boote dalam Trustinah (1993) menyatakan bahwa periode pembentukan polong (30 HST-50 HST) mempunyai laju akumulasi bahan kering yang maksimum. Akumulasi bahan kering tanaman yang maksimum sangat bergantung jumlah fotosintat yang ada dan klorofil diperlukan untuk membentuk fotosintat tersebut dalam jumlah yang banyak.

Klorofil dalam jumlah yang banyak juga dibutuhkan tanaman pada saat 4 MST. Hal ini disebabkan tanaman sedang menambah bobot biomassanya dalam rangka pemacuan pertumbuhan tanaman dan bobot biomassa tersebut tergantung bahan kering tanaman yang ada (Sumarno dan Slamet, 1993).

(34)

24 Tabel 5. Kadar Klorofil Daun 29 Genotipe Kacang Tanah pada 4 MST dan 10 MST

Genotipe Kadar Klorofil Daun 4 MST (mg/g bb)

Kadar Klorofil Daun 10 MST (mg/g bb)

Badak 3.35 ± 1.17 2.63 ± 0.81

Biawak 3.79 ± 0.72 2.51 ± 0.34

Bidua 3.38 ± 0.20 2.51 ± 0.16

Biga 3.74 ± 0.41 2.49 ± 0.52

Jepara 4.03 ± 0.43 2.41 ± 0.14

Jerapah 3.79 ± 0.41 2.95 ± 0.64

Kancil 3.60 ± 0.27 2.43 ± 0.37

Kelinci 3.71 ± 0.40 3.30 ± 0.24

Kidang 3.40 ± 0.34 2.55 ± 0.50

Landak 3.97 ± 0.23 2.38 ± 0.23

Macan 3.40 ± 0.82 2.49 ± 0.20

Mahesa 3.66 ± 0.56 2.64 ± 0.40

Panther 4.15 ± 0.41 3.15 ± 0.64

Pelanduk 3.18 ± 0.16 2.63 ± 0.42

Rusa 4.02 ± 0.73 3.10 ± 0.45

Sima 4.11 ± 0.47 3.27 ± 0.29

Simpai 4.46 ± 0.56 2.51 ± 0.33

Tapir 3.46 ± 0.07 2.60 ± 0.78

Turangga 3.43 ± 0.89 2.82 ± 0.65

Zebra 4.03 ± 0.24 3.04 ± 0.42

GWS-04 3.31 ± 1.05 2.62 ± 0.05

GWS-18 3.73 ± 0.06 3.04 ± 0.39

GWS-27 4.06 ± 0.43 3.62 ± 0.74

GWS-52 3.61 ± 0.30 2.93 ± 0.46

GWS-72 3.77 ± 0.11 2.72 ± 0.33

GWS-139 4.12 ± 0.67 3.52 ± 0.61

GWS-532 3.18 ± 0.28 2.56 ± 0.60

Gajah 4.21 ± 0.19 2.73 ± 0.12

Lokal III 3.98 ± 0.50 2.42 ± 0.39

Keterangan : Gajah sebagai genotipe pembanding

Kadar klorofil daun pada 10 MST lebih sedikit dibanding kadar klorofil daun pada 4 MST. Kadar klorofil daun pada 10 MST berada pada akhir tahap pemacuan pertumbuhan yang ditandai oleh tidak terjadinya penambahan bobot tajuk tanaman (Sumarno dan Slamet, 1993).

Tajuk tanaman yang tidak bertambah bobotnya membutuhkan fotosintat dalam jumlah sedikit. Fotosintat yang sedikit tersebut dihasilkan klorofil dalam kadar terbatas. Meskipun demikian, pada kacang tanah terjadi pengisian polong dan pemasakan biji saat 10 MST. Klorofil dalam jumlah yang cukup untuk fotosintat diperlukan tanaman dalam rangka pengisian polong tanaman.

(35)

25 Hubungan Kadar Klorofil dan Daya Hasil

Kadar klorofil daun pada 4 MST berkorelasi negatif dengan jumlah polong total (r=-0.024), jumlah polong isi (r=-0.104), dan bobot polong isi (r=-0.019), tetapi berkorelasi positif dengan jumlah polong hampa (r=0.296), bobot polong total (r=0.025), dan bobot polong hampa (r=0.293). Meskipun demikian, korelasi kadar klorofil daun 4 MST dengan enam peubah tersebut tidak nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya hasil tidak semata- mata ditentukan oleh kadar klorofil daun pada 4 MST.

Kadar klorofil daun pada 10 MST berkorelasi positif dengan jumlah polong isi dan jumlah polong total berturut-turut sebesar r=0.115 dan r=0.252.

Bobot polong isi dan total juga berkorelasi positif dengan kadar klorofil daun pada 10 MST berturut-turut sebesar r=0.134 dan r=0.222. Meskipun demikian korelasi tersebut tidak nyata. Peningkatan kadar klorofil daun pada 10 MST tidak berkaitan dengan jumlah polong isi, jumlah polong total, bobot polong isi, dan bobot polong total.

Kadar klorofil daun pada 10 MST sangat nyata berkorelasi positif dengan jumlah polong hampa (r=0.63) dan bobot polong hampa (r=0.613). Hal ini menunjukkan bahwa kadar klorofil daun pada 10 MST berhubungan erat dengan jumlah polong hampa dan bobot polong hampa. Peningkatan kadar klorofil daun pada 10 MST berkaitan dengan peningkatan jumlah polong hampa dan bobot polong hampa.

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa peran klorofil daun tidak optimal dalam kaitannya dengan pengisian polong kacang tanah. Kadar klorofil yang meningkat tidak diikuti oleh meningkatnya jumlah polong isi, jumlah polong total, bobot polong isi, dan bobot polong total, tetapi justru diikuti oleh meningkatnya jumlah dan bobot polong hampa.

Parameter Genetik

Parameter genetik yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi ragam genotipik, koefisien keragaman genetik (KKG), dan nilai duga heritabilitas arti luas (h2bs). Nilai parameter genetik tersebut pada semua peubah disajikan pada Tabel 6.

(36)

26 Tabel 6. Parameter Genetik Beberapa Peubah pada 29 Genotipe Kacang Tanah

Peubah Ragam

Genotipik

KKG (%) Kriteria Nilai KKG

Nilai Duga Heritabilitas

Luas (h2bs)

Kriteria Nilai Duga Heritabilitas

Luas (h2bs) Tinggi

Tanaman

29.603 6.81 Sempit 59.94 Tinggi

Jumlah Buku 13.248 4.49 Sempit 20.09 Sedang Klorofil 4

MST

0.017 3.5 Sempit 15.36 Rendah

Klorofil 10 MST

0.001 8.38 Sempit 45.16 Sedang

Ginofor Totalht

0.010 6.37 Sempit 68.71 Tinggi

Ginofor Aerialht

0.012 12.44 Agak

sempit

36.92 Sedang

Ginofor Non-aerialht

0.009 6.67 Sempit 59.28 Tinggi

Bobot Polong Hampaht

0.024 22.14 Agak luas 54.06 Tinggi

Bobot Polong Isi

196.44 10.21 Sempit 30.35 Sedang

Bobot Polong Total

238.24 10.83 Sempit 34.62 Sedang

Jumlah Polong Hampaht

0.024 13.83 Agak

sempit

57.78 Tinggi

Jumlah Polong Isi

780.172 22.18 Agak luas 71.16 Tinggi

Jumlah Polong Total

0.009 22.53 Agak luas 75.18 Tinggi Keterangan : ht hasil transformasi

KKG koefisien keragaman genetik

Bobot polong hampa, jumlah polong isi, jumlah polong total, dan jumlah polong hampa pada genotipe yang diuji memiliki nilai duga heritabilitas arti luas (h2bs) yang tinggi. Kadar klorofil daun pada 10 MST, bobot polong isi, dan bobot polong total pada genotipe yang diuji memiliki nilai duga h2bs yang sedang, sedangkan kadar klorofil daun pada 4 MST memiliki nilai duga h2bs yang rendah.

Kusumo (1996) menyatakan bahwa heritabilitas tinggi terdapat pada tinggi tanaman pada populasi varietas dan generasi lanjut dengan pendugaan menggunakan metode analisis komponen ragam. Mediawati (1999) mengemukakan bahwa tinggi tanaman, jumlah polong isi, dan jumlah polong total

(37)

27 mempunyai heritabilitas tinggi, dan ia menggunakan metode populasi tetua dan generasi F2. Suwarno (2000) dan Sutina (2003) menyatakan bahwa nilai duga h2bs

yang tinggi terdapat pada bobot polong isi dan bobot polong total.

Nilai duga heritabilitas dapat berbeda-beda untuk peubah yang sama pada lingkungan tumbuh yang berbeda. Interaksi genotipe dan lingkungan mengakibatkan nilai duga ragam genotipik sebagai komponen pendugaan nilai heritabilitas akan berbias. Pendugaan nilai heritabilitas yang tidak bias melalui analisis komponen ragam dapat berdasarkan percobaan pada banyak lokasi dan musim. Sjamsudin (1990) menyatakan bahwa pendugaan nilai heritabilitas berdasarkan satu lingkungan akan bias karena interaksi G*E (genotipik dan lingkungan) dan pengaruh aksi gen (dominan atau epistasis). Populasi tanaman dan metode pendugaan nilai heritabilitas juga bisa mempengaruhi nilai duga heritabilitas. Nilai duga heritabilitas memberikan informasi tentang peubah tanaman yang paling memberi harapan dalam usaha perbaikan tanaman.

Genotipe yang diuji memiliki variabilitas genetik sempit berdasarkan peubah kadar klorofil daun pada 4 MST dan 10 MST. Jumlah polong isi dan total pada genotipe yang diuji memiliki variabilitas genetik luas, sedangkan peubah bobot polong isi dan total memiliki variabilitas genetik sempit. Bobot polong hampa dan jumlah polong hampa pada genotipe ya ng diuji memiliki variabilitas genetik luas. Nilai variabilitas ge netik tergolong luas pada nilai h2bs yang tinggi, sedangkan sempit pada nilai h2bs yang sedang atau rendah. Ruchjaningsih et al.

(2000) mengemukakan bahwa nilai heritabilitas tinggi tidak selalu diikuti variabilitas genetik luas.

Variabilitas genetik merupakan perbedaan fenotipe tanaman dalam spesies pada satu populasi tertentu akibat perbedaan genetik. Variabilitas genetik yang luas menggambarkan keragaman genetik yang besar sehingga peluang seleksi menjadi besar.

Jumlah polong isi dan jumlah polong total pada genotipe yang diuji memiliki KKG agak luas, sedangkan bobot polong isi dan bobot polong total berkisar antara agak sempit dan sempit. Bobot polong hampa pada genotipe yang diuji memiliki KKG agak luas, sedangkan jumlah polong hampa memiliki KKG agak sempit. Kadar klorofil daun pada 4 MST dan 10 MST pada genotipe yang

(38)

28 diuji menunjukkan nilai KKG yang sempit. Koefisien keragaman genetik menunjukkan besaran ragam genetik dalam populasi. Nilai koefisien keragaman genetik membantu pengukuran diversitas genetik pada suatu karakter (Miller et al.

dalam Purwaningsih, 2002). Semakin tinggi koefisien keragaman genetik maka semakin besar peluang seleksi untuk dilakukan terhadap peubah yang bersangkutan.

Gambar

Gambar 2.  Ginofor Kacang Tanah. Ginofor aerial (lingkaran hitam) dan                               non-aerial (lingkaran biru)
Gambar 3.  Daun Tetrafoliate Kacang Tanah untuk Analisis Kadar                      Klorofil  Daun 4 MST (lingkaran merah)
Gambar 4.  Penyakit pada Kacang Tanah. Gejala penyakit                     (lingkaran hijau) layu bakteri (a), virus belang (b),                     hawar daun (c), dan bercak daun (d)
Gambar 5.  Daun Kacang Tanah Sehat dan Daun Terinfeksi                       Bercak serta Karat Daun

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berada pada persentase sebesar 57% berada pada kategori baik, perhitungan data hasil penelitian menjelaskan penilaian karyawan tentang lingkungan kerja karyawan di

Hal ini mengindikasikan keberadaan aliran sungai pada ketiga blok pengamatan jaraknya bervariasi dari yang dekat sekitar 50 m hingga sekitar 412 m dari habitat

Hal tersebut dikarenakan ada beberapa hal yang mempengaruhi motivasi siswa dalam memilih kegiatan ekstrakurikuler atletik di MTs Ali Maksum Yogyakarta, misalnya

1) Dilaksanakan pengkajian dan analisis data pada Ny”A” akseptor KB IUD dengan spotting dan erosi portio di Puskesmas Pallangga. 2) Dilaksanakan diagnosa/masalah aktual pada

Berita yang belum pasti atau rumor seringkali dijadikan salah satu pertimbangan yang diambil investor didalam membeli atau menjual saham karena investor sering

dari sebelumnya, pembelajaranpun berjalan semakin baik tampak lebih hidup dan menyenangkan. Interaksi antara guru dan siswa, antara siswa dan siswa tetap nampaak

Selanjutnya, dengan mendasarkan pada Permenakertrans Nomor 19/2012, timbul demo buruh secara nasional untuk merubah status hubungan kerja outsourcing bagi jenis pekerjaan