• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume XI No. 4, Agustus 2017 ISSN: FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN DI KABUPATEN BANYUWANGI ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Volume XI No. 4, Agustus 2017 ISSN: FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN DI KABUPATEN BANYUWANGI ABSTRAK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

107

FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN DI KABUPATEN BANYUWANGI

Dr. Sunariyanto, S.Sos.,MM1

Dosen Fakultas Ilmu Administrasi, dan Magister Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang, Jl. MT Haryono 193 Malang, 65144, Indonesia

LPPM Unisma Jl. MT Haryono 193 Malang, 65144, Indonesia

ABSTRAK

Pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi harus dilaksanakan secara transfaran dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, sehingga masyarakat dengan mudah dapat mengetahui mengenai perizinan. Idealnya mengurus perizinan tidak perlu menghabiskan banyak waktu, apalagi di Banyuwangi, dimana Satuan Kerja Perangkat Daerah perizinannya sudah satu pintu dan terkoneksi dengan jaringan teknologi informasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara, dokumentasi dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh pada pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi, meliputi: faktor pendukung dan penghambat pelayanan perizinan. Faktor pendukungnya, antara lain: (1) Peraturan perundang-undangan tentang pelayanan perizinan terus disempurnakan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; (2) Peraturan perundang-undangan khusus tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang terus disempurnakan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; (3) Meningkatnya kesadaran masyarakat melakukan permohonan perizinan sehingga pemerintah secara terus-menerus harus berinovasi sehingga penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) menjadi model penyelenggaraan pelayanan perizinan yang lebih baik; (4) Kemauan baik dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Banyuwangi yaitu melimpahkan seluruh kewenangannya kepada lembaga Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan perizinan kepada masyarakat. Sedangkan faktor penghambatnya yaitu: Pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi masih memerlukan rekomendasi dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya sebagai berkas persyaratan pelayanan perizinan. Ada beberapa pelayanan jenis perizinan memerlukan persyaratan teknis tertentu yang masih menjadi kewenangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait lain di luar Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kabupaten Banyuwangi dalam bentuk rekomendasi, kajian teknis atau bentuk lainnya yang sejenis.

kata kunci: faktor pendukung, faktor penghambat, pelayanan, perizinan.

(2)

108

1. PENDAHULUAN

Salah satu dari tujuan otonomi daerah adalah penyelenggaraan pelayanan perizinan yang semakin baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat, termasuk pelayanan perizinan di Banyuwangi juga harus terlaksana dengan optimal. Namun secara empirik pelayanan perizinan di Banyuwangi masih kurang optimal, hal ini terlihat dari beberapa fakta dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan di Banyuwangi, diantaranya adalah:

1. Masyarakat Banyuwangi merasakan bahwa waktu penyelesaian perizinan dan non perizinan yang masih terlalu lama.

2. Sebagian masyarakat juga mengungkapkan bahwa untuk mengurus suatu perizinan tertentu mereka masih mengalami kesulitan;

3. Masyarakat masih kurang maksimal dalam mendapatkan informasi;

4. Akhirnya masyarakat memiliki kesan bahwa pelayanan perizinan dan non perizinan tidak ada kepastian mengenai waktu, biaya, persyaratan dan prosedur pelayanan;

5. Masyarakat (khususnya pelaku usaha) merasakan lebih senang dalam mengurus perizinan melalui makelar izin atau oknum petugas perizinan.

Pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi harus dilaksanakan secara transfaran dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, sehingga masyarakat dengan mudah dapat mengetahui mengenai perizinan. Idealnya mengurus perizinan tidak perlu menghabiskan banyak waktu, apalagi di Banyuwangi dimana Satuan Kerja Perangkat Daerah Perizinannya sudah satu pintu dan terkoneksi dengan jaringan teknologi informasi. Dalam pelaksanaan pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi tersebut ada beberapa faktor yang mendukung diantaranya adalah:

1) Peraturan perundang-undangan;

2) Peraturan perundang-undangan khusus;

3) Meningkatnya kesadaran masyarakat;

4) Kemauan baik dari Pemerintah Daerah.

Selain faktor pendukung tersebut, ada pula faktor yang masih menghambat dalam pelaksanaan pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi, diantaranya adalah bahwa pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Kantor PTSP di Kabupaten Banyuwangi masih memerlukan rekomendasi dari beberapa SKPD lainnya dalam bentuk rokemendasi, bentuk kajian teknis atau bentuk lainnya yang sejenis, antara lain:

1) Rekomendasi kesesuaian tata ruang/

Advice Planning;

2) Site Plan/ Rencana Tapak dan Gambar Teknis Bangunan;

3) Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN);

4) Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL/UKL) dan UPL/SPPL;

5) Alih Fungsi Lahan;

6) Uji Laboratorium Kesehatan;

7) Informasi Klarifikasi Konstruksi/ sepadan jalan;

8) Informasi batas sepadan air.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah faktor pendukung dan penghambat dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi?. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pelayanan Publik (Public Service) Mulyadi (2015:188-189) berpendapat bahwa yang dimaksud mengenai pelayanan secara garis besarnya menurutnya adalah Pemberian layanan (melayani) kebutuhan orang atau masyarakat yang memiliki keperluan pada institusi pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlakuk maupun SOP yang telah ditetapkan. Kalau pengertian pelayanan publik secara luas diartikan sebagai kegiatan-kegiatan dan obyek tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum (the

(3)

109

general public)atau memberikan dukungan terhadap upaya meningkatkan kenikmatan dan kemudahan (comfort and convenniences) bagi seluruh masyarakat. Di dalam hukum administrasi negara Indonsesia, istilah pelayanan publik diartikan sebagai segala pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang masyarakat, intansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Secara garis besarnya Pelayanan publik yang didasarkan pada UU Nomor 25 Tahun 2009, merupakan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Menurut Bharata sebagaimana dikutip oleh Mulyadi (2015:195) menyatakan bahwa:

“Ada empat unsur penting dalam proses pelayanan publik, yaitu : 1) Penyedia layanan, yaitu pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services), 2) Penerima layanan, yaitu mereka yang disebut konsumen (customer) atau customer yang menerima bermacam-macam layanan yang dilakukan oleh penyedia layanan, 3) sedangkan mengenai Jenis layanan, didefinisikan bahwa layanan yang bisa diperuntukkan bagi pihak yang membutuhkan layanan dari penyedia layanan 4) Kepuasan pelanggan, dalam memberikan layanan penyedia layanan harus mengacu pada tujuan utama pelayanan, yaitu kepuasan pelanggan. Empat poin tersebut penting sekali dilakukan mengingat tingkat kepuasan yang diperoleh para pelanggan itu sangat berhubungan dengan standar kualitas barang dan atau jasa yang mereka nikmati.”

Menurut Sianipar (1998:5) Pelayanan adalah cara melayani, membantu

menyiapkan, mengurus dan menyelesaikan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang artinya obyek yang dilayani adalah individu, pribadi dan kelompok organisasi. Sedangkan menurut Luthans dalam Moenir (1995:17) Konsep pelayanan dapat diberi pengertian sebagai proses menunjuk kepada segala upaya pencapaian tertentu. Begitu pelayanan diikuti kata publik (pelayanan publik) merupakan terjemahan dari public servce, menimbulkan berbagai interpretasi, karena kata publik memiliki berbagai arti. Publik dimaknai pula sebagai masyarakat, sedangkan public service tidak diterjemahkan sebagai pelayanan masyarakat, melainkan pelayanan kepada masyarakat. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkannya dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pola pelayanan publik dilihat dari penyelenggaraan tatalaksana pelayanan publik sesuai dengan bentuk dan sifatnya, antara lain:

1. Pola pelayanan fungsional;

2. Pola pelayanan satu pintu;

3. Pola pelayanan satu atap;

4. Pola pelayanan secara terpusat;

5. Pola pelayanan gugus tugas.

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu merupakan aktivitas penyelenggaraan jasa perizinan dan non perizinan, yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan izin dokumen, dilakukan secara terpadu dalam satu tempat. Pelayanan perizinan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service) ini membuat waktu pembuatan izin menjadi lebih singkat.

Pengurusan administrasi dengan memanfaatkan teknologi informasi, dalam memasukkan data cukup dilaksanakan sekali saja administrasi dapat dilaksanakan simultan. Dengan adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh

(4)

110

perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota dapat terlayani dalam satu lembaga. Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil dan menangah. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas layanan publik. Oleh karena itu diharapkan terwujud pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau disamping untuk meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan pihak masyarakat terhadap pelayanan perizinan.

Dibidang penanaman modal merupakan kebijakan yang diformulasikan pula dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 mengenai Penanaman Modal. Berdasarkan undang undang tersebut, PTSP dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. Kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang memperoleh pendelegasian kewenangan dari instansi yang mempunyai kewenangan, yang proses implementasinya diawali dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilaksanakan dalam satu tempat, ini merupakan PTSP yang termuat dalam undang-undang pelayanan publik.

Pengertian ini tidak sama dengan pengertian Pelayanan Terpadu Satu Atap, yang merupakan pelayanan yang dilaksanakan dalam satu tempat untuk berbagai jenis pelayanan yang tidak memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu, sedangkan Pelayanan Satu Pintu merupakan pola pelayanan yang dilakukan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.

Bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian dari lembaga yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/ kota, yaitu Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM) atau Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD). Pemerintah mengkoordinir kebijakan penanaman modal antar berbagai unit kerja. Dalam melaksanakan koordinasi BKPM wajib mengikutsertakan perwakilan dengan langsung setiap sektor maupun daerah terkait bersama pejabat yang memiliki kemampuan maupun kewenangan (Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003).

Meskipun sudah didirikan PTSP, pemerintah harus memotivasi mengenai implementasi pelayanan publik di masing- masing daerah yang nyatanya hingga saat ini belum secara utuh dilakukan. Kendala yang ada salah satunya adalah pendelegasian kewenangan Kepala Daerah dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang melaksakan perizinan dan non perizinan kepada lembaga PTSP. Oleh karena itu harus pula didorong mengenai percepatan pembangunan di bidang pelayanan publik diantaranya adalah:

perbaikan citra layanan, peningkatan kualitas SDM, training/bimtek dan magang, survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang dilaksanakan secara berkala. Pelaksanaan PTSP meliputi: 1) Pelaksanaan pelayanan perizinan dan non perizinan dari proses awal penyerahan dokumen, penandatanganan dokumen oleh kepala PTSP hingga penyerahan dokumen yang dilakukan pada satu pintu; 2) Ketersediaan Sumber Daya Manusia (kompetensi dan kemampuan teknis); 3) Sarana dan Prasarana (gedung beserta peralatan pendukung perkantoran, komputerisasi dan aplikasi perizinan/non perizinan); 4) Adanya sarana memperoleh informasi (telepon/fax, media touch screen dan website); 5) Standar Pelayanan, SOP, Pelaksanaan IKM serta memiliki mekanisme Front Office dan Back Office), selain itu juga ada mekanisme kerja (Visi/Misi, Maklumat/Janji Layanan,; 6) Ketersediaan Layanan pengaduan/Help Desk (SOP, media pengaduan dan pengelolaan pengaduan berbasis database); 7) Keberadaan SPIPISE

(5)

111

(bagi yang melaksanakan perizinan bidang Penanaman Modal).

Adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tanggal 6 Juli 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, diharapkan bisa mendorong insiatif pembentukan unit- unit PPTSP. Dengan terbitnya PERMENDAGRI ini dapat memperluas akses masyarakat mengenai pelayanan perizinan yang berkualitas dan mendorong peningkatan investasi, dengan penyederhanaan proses-proses perizinan.

Kualitas Pelayanan Publik

Pelayanan publik pada prinsipnya berbeda dengan pelayanan swasta, tetapi terdapat persamaan diantara keduanya, yaitu:

a) Keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan kepercayaannya;

b) Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi.

Karakteristik khusus pelayanan publik yang membedakannya dengan pelayanan swasta adalah:

a) layanan pemerintah tersebut sebagian besar berupa barang tak nyata dan jasa.

Berupa antara lain transportasi, peraturan, perijinan, sertifikat, informasi keamanan, ketertiban, kebersihan dan lain sebagainya;

b) Selalu terkait dengan jenis pelayanan- pelayanan yang lain, dan membentuk sebuah jalinan sistem pelayanan yang berskala regional, atau bahkan nasional;

c) Dalam sektor publik, Pelanggan internal cukup menonjol dikarenakan tatanan organisasi pemerintah yang cenderung birokratis;

d) Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan

petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal;

e) Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan peningkatan mutu pelayanan;

f) kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan semakin tinggi apabila pelayanan bagi masyarakat semakin bermutu.;

g) Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung, yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan saja, akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat;

h) terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing merupakan tujuan akhir dari pelayanan publik adalah. (Barata, 2003 : 11).

Menurut pendapat Mulyadi (2015:191), mengenai kualitas pelayanan publik dapat disimak sebagai berikut:

“Jika dihubungkan dengan administrasi publik, pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat. Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari yang konvensional hingga yang lebih strategis. Pada prinsipnya, pelayanan publik senantiasa harus selalu ditingkatkan kinerjanya sesuai dengan keinginan masyarakat sebagai pemakai jasa.

Akan tetapi kenyataannya untuk mengadakan perbaikan terhadap kinerja pelayanan publik bukanlah suatu yang mudah. Banyaknya jenis pelayanan umum di negeri ini dengan macam-macam persoalan dan penyebab yang sangat bervariasi antara satu dengan yang lainnya, sehingga perlu dicari suatu metode yang mampu menjawab persoalan tadi.”

Masih menurut pendapat Mulyadi (2015:173), menguraikan pandapatnya bahwa:“Disadari atau tidak, setiap warga negara selalu berhubungan dengan aktivitas birokrasi pemerintah, sehingga

(6)

112

keberadaannya menjadi suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi..”

Pemerintahan modern pada hakekatnya memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Keberadaan pemerintahan haruslah dapat memberikan pelalayanan yang sebaik- baiknya kepada masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya dalam mencapai kemajuan bersama.

Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Mulyadi (2015:174), yaitu:

“Pemerintahan modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya dalam mencapai kemajuan bersama.”

Pernyataan diatas sesuai dengan amanat undang-undang tentang otonomi daerah bahwa Pemerintah Daerah harus selalu meningkatkan kualitas pelayanan publiknya.

Mengenai kualitas, menurut pendapat Sedarmayanti (2013:252)adalah sebagai berikut:

“Kualitas berarti: 1).Kesesuaian dengan persyaraatan/ tututan, 2) Kecocokan untuk pemakaian. 3) pembenahan berkelanjutan, 4) tidak cacat, 5) tersedia kebutuhan pelanggan setiap saat, 6) Melakukan sesuatu secara benar di awal, 7) Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan. Sehingga kualitas pelayanan mengacu pada pengertian:

1) kualitas meliputi sejumlah keistimewaaan produk, baik langsung maupun aktraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan memberi kepuasan atas penggunaan produk itu, 2) kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas kekurangan/ kerusakan.”

Ini berarti kualitas atau mutu pelayanan mengandung pengertian berupa produk pelayanan tersebut harus sempurna menurut ukuran-ukuran pemberi layanan dan penerima layanan, serta peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Menurut Fitzsimmons dalam Sedarmayanti (2013:253-254), mengenai dimensi kualitas pelayanan adalah:

“Demensi kualitas pelayanan, antara lain:Reliability (handal), kemampuan untuk memberi secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/ pelanggan, Responsiveness (pertanggung jawaban), kesadaran/ keinginan membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat, Assurance (jaminan), pengetahuan/ wawasan, kesopanan santunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan, respek terhadap konsumen, Emphati (empati), kemampuan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, berusaha mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen, Tangibles (terjamah), penampilan pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti: peralatan/

perlengkapan yang menunjang pelayanan.”

Menurut pendapat Mulyadi (2015:215) bahwa pelayanan publik yang baik hanya dapat diwujudkan apabila adanya prioritas utama dalam posisi tawar pengguna jasa.

Mulyadi (2015:215) menambahkan mengenai kualitas pelayanan adalah sebagai berikut:

“Tuntutan pada era reformasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Apabila permasalahan di atas dapat terselesaikan maka Pemerintah dianggap ada sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dasri sisi makro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi maslah- masalah tersebut antara lain:Penetapan standar pelayanan, standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan- harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan, Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP), yaitu untuk memastikan bahwa proses pelayanan

(7)

113

dapat berjalan secara konsisten, Pengembangan survey kepuasan pelanggan.”

Selanjutnya menurut Sedarmayanti (2013:252):

“Demensi kualitas pelayanan yaitu: 1.

pelayanan publik yang baik hanya akan dapat diwujudkan apabila penguatan posisi tawar pengguna jasa pelayanan mendapatkan prioritas utama. 2. Sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa, 3. Kultur pelayanan dalam organisasi penyelenggara pelayanan, 4. Sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan pengguna jasa.

3. METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif.

Penentuan jenis penelitian ini sesuai dengan pendapat Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2002:4-8), yang mendefinisikan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data dengan ciri-ciri:1) latar alamiah, karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya; 2) manusia sebagai alat, dimana peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama; 3) menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dan responden serta lebih peka maka dengan metode kualitatif ini lebih dapat menyesuaikan dengan kondisi lapangan akan lebih mudah, apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; 4) analisis data secara induktif dimana unsur ini dapat mempertajam hubungan-hubungan; 5) penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantif yang berasal dari data; 6) data yang dikumpulkan berupa kata- kata bukan angka-angka; 7) lebih mementingkan segi proses daripada hasil; 8) Dengan adanya fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian sebagai batas dalam penelitian; 9) mendefinisikan validitas, realibilitas dan obyektifitas dalam versi lain dibandingkan dengan cara yang lazim digunakan dalam penelitian klasik; 10) menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan; 11) menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh manusia dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sumber data.

Pendapat diatas diperkuat oleh Miles dan Huberman (1997:1-2) yang menyatakan:

”Dimana data-data kualitatif merupakan sumber dari deskripsi yang luas dan mempunyai landasan yang kokoh, memuat penyelarasan tentang proses-proses yang

(8)

114

terjadi dalam lingkup setempat, dapat menjelaskan dan memahami alur peristiwa”.

Penelitian ini secara spesifik lebih mengarahkan pada penggunaan metode studi kasus (case study) yang mana menurut Lincoln dan Guba (dalam Mulyana, 2002:194) bahwa penelitian yang mendalam dan mendetail tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan subyek penelitian.

Lincoln dan Guba (dalam Mulyana, 2002:201) juga memaparkan mengenai keistimewaan penelitian jenis studi kasus ini, antara lain:

1. dapat menyajikan pandangan subyek yang diteliti merupakan penelitian studi kasus yang merupakan sarana utama bagi penelitian;

2. Penelitian studi kasus menyajikan uraian menyeluruh tentang suatu fenomena yang terjadi sehari-hari;

3. Penelitian studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti dan informan;

4. Penelitian studi kasus memberikan uraian lengkap yang diperlukan bagi penelitian atas tranferibilitas;

5. pemaknaan atas fenomena dalam konteks penelitian dengan studi kasus ini lebih terbuka bagi penelitian atas konteks yang turut berperan;

6. Pendekatan terpenting dalam penelitian studi kasus adalah dengan pendekatan kualitatif.

Hakekatnya dalam penelitian ini adalah peneliti meneliti berbagai fenomena terjadi mengenai faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi yang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Nomor 24 Tahun 2006 mengenai Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini, meliputi kegiatan pengamatan (observasi),

wawancara mendalam (indepth interview) serta dokumentasi.

a. Wawancara

Peneliti dalam penelitian ini, menggunakan teknik wawancara tak terstruktur. Berdasarkan pendapat Mulyana (2010:180) wawancara mendalam (openended interview) merupakan percakapan informal dengan tujuan untuk memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua informan, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap informan. Wawancara ini bersifat luwes, susunan pertanyaannya dapat diubah saat wawancara, disesuaikan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial-budaya (agama, suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan sebagainya) responden yang dihadapi.

Peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam ini, dengan harapan bahwa pertanyaan yang diajukan lebih fokus pada permasalahan yang diteliti sehingga data yang dikumpulkah lebih lengkap dan mendalam tentang faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi.

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti diusahakan dalam situasi keterbukaan yang mengarah pada kelonggaran informasi sehingga mampu mengorek kejujuran dan keobyektifan informan dalam memberikan data yang sebenarnya. Wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti tidak hanya dikantor tetapi juga dilakukan dirumah maupun ditempat lainnya yang disepakati bersama.

b. Dokumentasi

Teknik ini dilakukan oleh peneliti untuk melengkapi data yang diperoleh melalui teknik wawancara dan teknik pengamatan (observasi). Dokumentasi yang diteliti antara lain peraturan-peraturan yang terkait penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) berupa Undang Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Surat Keputusan Kepala BKPM, Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi, Peraturan Bupati Banyuwangi,

(9)

115

surat dinas, buku-buku pedoman, brosur, laporan atau catatan resmi, resume rapat dinas dan foto-foto kegiatan dan dokumen lainnya yang terkait dengan faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi.

c. Observasi

Dalam rangka memperoleh data penelitian yang dibutuhkan, peneliti juga melakukan pengamatan (observasi).

Pengamatan atau observasi menurut pendapat Moleong (2007:174) adalah kegiatan yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh data dengan cara peneliti berperan aktif dalam lokasi studi sehingga benar-benar terlihat di dalam kegiatan yang diteliti.

Peneliti dalam hal ini melakukan pengamatan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh informan. Peneliti melakukan pengamatan secara langsung (terlibat aktif) dan tidak langsung dalam kegiatan-kegiatan yang berlangsung di lapangan terhadap sikap, perilaku dan aktivitas informan dan selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dan disimpulkan untuk memperkuat data-data penelitian yang telah diperoleh melalui wawancara kepada informan mengenai faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi.

Analisa Data

Peneliti menganalisis data yang telah diperoleh dalam penelitian faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi dengan menggunakan model analisis interaktif, hal ini sesuai dengan pendapat dari Miles dan Hubberman (1997:20), yang menyatakan bahwa analisis data dalam model interaktif dilakukan melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Masalah reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan atau verifikasi merupakan rangkaian kegiatan

analis yang saling susul-menyusul dan dapat memberikan kesimpulan yang akurat. Model ini juga menganjurkan agar peneliti dalam melakukan kegiatan pengumpulan data, baik selama proses pengumpulan data berlangsung maupun saat proses pengumpulan selesai tetap mempertimbangkan tiga komponen analisis tersebut yang meliputi:

a. Reduksi Data

Reduksi data yang dilakukan menghasilkan data kualitatif dapat disederhanakan, ditransformasi dalam beragam cara, diantaranya melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat. Data lapangan yang diperoleh dilokasi penelitian dituangkan dalam suatu bentuk uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan tersebut oleh peneliti direduksi, dirangkum, diseleksi hal- hal yang mendasar, difokuskan pada hal-hal yang mendasar, difokuskan pada hal-hal penting dan yang mempunyai keterkaitan erat, kemudian dicari polanya melalui proses penyuntingan, pengkodean dan pentabelan.

Reduksi data ini dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung.

b. Penyajian data

Penyajian data merupakan pengorganisasian data kedalam suatu bentuk tertentu sehingga kelihatan sosoknya lebih jelas dan utuh. Penyajian data diwujudkan dalam bentuk tabel, dengan demikian peneliti memperoleh gambaran mengenai faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi secara jelas dan utuh.

c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi Penarikan kesimpulan merupakan konfigurasi utuh selama penelitian berlangsung, sedangkan verifikasi merupakan kegiatan pemikiran kembali yang melintas dalam pemikiran peneliti selama pencatatan berlangsung atau peninjauan kembali tahun catatan-catatan yang diperoleh selama dilapangan.

(10)

116

Keabsahan Data

Keabsahan data adalah derajat kepercayaan atau kebenaran hasil penelitian.

Setiap penelitian kualitatif memerlukan standar untuk melihat derajat kepercayaan atau kebenaran hasil penelitian, sehingga data

yang dikumpulkan dapat

dipertanggungjawabkan. Menurut Moleong (2002:175), keabsahan data dapat dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) kriteria yaitu: (a) derajat kepercayaan (credibility), (b) keteralihan (transferability), (c) ketergantungan (dependability), (d) kepastian (confirmability), yang lebih lanjut dijelaskan, sebagai berikut:

1. Derajat kepercayaan (credibility)

Derajat kepercayaan pada dasarnya sering disebut sebagai validitas internal dari penelitian non kuantitatif, kriteria ini berfungsi agar tingkat kepercayaan penemuan data dapat dicapai serta memenuhi syarat kredibilitas. Derajat kepercayaan ini dapat dilakukan dengan cara, antara lain:

a. Memperpanjang masa observasi b. Pengamatan yang terus menerus

Pengamatan yang terus-menerus dilakukan oleh peneliti diharapkan dapat memperoleh data yang benar-benar akurat, terperinci dan mendalam.

c. Triangulasi

Triangulasi dapat dilakukan untuk mengecek kebenaran data, dengan cara membandingkan dengan data yang diperoleh dari sumber lain untuk permasalahan yang sama, pada berbagai fase penelitian dilapangan, pada kesempatan yang berbeda dan kemungkinan menggunakan metode yang berbeda. Ada 3 (tiga) cara triangulasi yaitu dengan data, sumber data dan teknik pengumpulan data. Triangulasi melalui wawancara, ditriangulasi melalui observasi dan dokumentasi. Data dari dokumen yang satu dapat ditriangulasi dengan dokumen yang lain. Prosedur triangulasi ini sangat banyak memakan

waktu, tetapi disamping mempertinggi validitas juga memberi makna kedalaman penelitian.

d. Membicarakannya dengan orang lain (peer debrieving)

Mereka yang memiliki kompetensi tentang permasalahan pokok penelitian dan metode penelitian naturalistic atau kualitatif. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh kritik, pertanyaan yang tajam dan yang menantang tingkat kepercayaan akan kebenaran hasil penelitian.

e. Menganalisa kasus negatif

Kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai dengan penelitian pada atau hingga saat tertentu. Bila ditemukan kasus-kasus demikian, maka peneliti mengadakan penelitian lanjutan sampai semua kasus tuntas tercakup dalam kesimpulan yang dirumuskan. Proses ini bisa berlangsung beberapa kali sampai dapat mengungkap semua kasus.

f. Menggunakan bahan referensi

Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan kepercayaan dan kebenaran data, dapat digunakan hasil rekaman tape dan atau bahan dokumentasi lainnya.

g. Mengadakan member check

Pada akhir wawancara, peneliti melakukan ”member check” atau mengecek ulang secara garis besar terhadap berbagai hal yang telah disampaikan oleh informan berdasarkan catatan dilapangan, dengan maksud agar informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan dalam menyusun laporan penelitian sesuai dengan makna yang dimaksud informan.

2. Keteralihan (transferability)

Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara kontek pengiriman dan penerima. Keteralihan tersebut dapat dilakukan dengan cara peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam kontek yang sama. Peneliti

(11)

117

bertanggungjawab untuk menyediakan data diskriptif secukupnya. Keteralihan hasil penelitian biasanya berkenaan dengan pertanyaan sejauh manakah hasil penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam situasi-situasi lain.

Penelitian konvensional diusahakan tercapainya generalisasi yang menunjukkan sampai dimanakah hasil penelitian itu berlaku bagi populasi tertentu. Generalisasi menunjukkan validitas eksternal.

Bagi peneliti naturalistik, keteralihan bergantung pada sipemakai, yakni hingga manakah hasil penelitian ini dapat digunakan dalam konteks dan situasi tertentu, peneliti sendiri tidak dapat menjamin ”validitas eksternal” ini, dimana keteralihannya hanya dipandang sebagai suatu kemungkinan.

Peneliti dalam hal ini berusaha memberikan deskripsi yang terinci tentang bagaimana hasil penelitian bisa dicapai. Apakah penelitian itu dapat diterapkan dan akan diserahkan kepada para pembaca atau pemakai, bila pemakai melihat dalam penelitian ini ada yang tidak cocok bagi situasi yang dihadapinya, maka bisa dimungkinkan terdapatnya keteralihan, meskipun dapat diduga, bahwa tidak ada situasi yang sama, sehingga masih perlu penyelesaian menurut keadaan masing- masing. Hal ini disebabkan situasi yang berbeda dan tempat yang berbeda bisa terjadi keadaan yang tidak sama walaupun kasusnya sama. Pemakai itu harus benar-benar memahami dan dapat memilih hasil penelitian yang relevan.

3. Ketergantungan (dependability)

Karakteristik ketergantungan merupakan substitusi istilah reliabilitas dalam penelitian yang non kualitatif yang dimaksudkan sebagai upaya yang ditunjukkan dengan jalan mengadakan replikasi studi. Dikatakan reliabilitasnya tercapai, jika dua atau beberapa kali diadakan pengulangan suatu studi dalam kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama.

Ketergantungan hasil penelitian yang

dimaksudkan dalam penelitian ini sebagai adanya karakteristik yang menonjol dari fokus penelitian yang dirumuskan yang juga berarti dapat diberlakukan pada daerah penelitian lain yang mungkin memiliki karakteristik dan kontek yang sama, sehingga unsur replikasinya dapat diterapkan.

4. Kepastian (confirmability)

Kriteria kepastian berasal dari konsep obyektifitas menurut penelitian non kualitatif. Penelitian non kualitatif menetapkan obyektifitas dari segi kesepakatan antar subyek. Penelitian ini memastikan bahwa sesuatu itu obyektif atau tidak, bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat dan penemuan seseorang. Penelitian non kualitatif lebih menekankan pada orang, sedangkan penelitian kualitatif atau alamiah menghendaki agar penekanan bukan pada orangnya, melainkan pada data, sehingga kebergantungan itu bukan terletak pada orangnya, melainkan pada datanya itu sendiri.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor yang berpengaruh pada Pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi, meliputi:

Faktor Pendukung

Pembuatan kebijakan pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam membenahi dan meningkatkan pelayanan dilaksankan dengan selalu berprinsip pada kepuasan perizinan untuk memberikan pelayanan yang baik.

Dalam pelayanan perizinan terdapat beberapa faktor pendukung yang penting.

Menurut Moenir (2001 : 88-123), faktor yang mempunyai pengaruh besar terhadap pelayanan perizinan : Faktor kesadaran, Faktor aturan, Faktor organisasi, Faktor pendapatan, Faktor kemampuan–

keterampilan, Faktor sarana pelayanan.

Faktor pendukung Pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi, antara lain:

(12)

118

1. Peraturan perundang-undangan tentang

pelayanan perizinan terus disempurnakan oleh Pemerintah Pusat/ Pemerintah Daerah;

2. Peraturan perundang-undangan khusus tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang terus disempurnakan oleh Pemerintah Pusat/ Pemerintah Daerah;

3. Meningkatnya kesadaran masyarakat melakukan permohonan perizinan sehingga Pemerintah secara terus- menerus berinovasi sehingga penyelenggaraan PTSP menjadi model penyelenggaraan pelayanan perizinan yang lebih baik;

4. Good will (kemauan baik) dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Banyuwangi yaitu melimpahkan seluruh kewenangannya kepada lembaga PTSP dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan perizinan kepada masyarakat.

Faktor Penghambat

Untuk faktor penghambatnya yaitu:

Pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi masih memerlukan rekomendasi dari beberapa SKPD lainnya sebagai berkas persyaratan pelayanan perizinan. Ada beberapa pelayanan jenis perizinan memerlukan persyaratan teknis tertentu yang masih menjadi kewenangan SKPD terkait lain di luar Kantor PTSP Kabupaten Banyuwangi dalam bentuk rokemendasi, kajian teknis atau bentuk lainnya yang sejenis, antara lain:

1) Rekomendasi kesesuaian tata ruang/

Advice Planning yang menjadi kewenangan BAPPEDA Kabupaten Banyuwangi untuk kelengkapan persyaratan penerbitan Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT);

2) Site Plan/ Rencana Tapak dan Gambar Teknis Bangunan yang menjadi kewenangan Dinas PU Bina Marga, Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Banyuwangi untuk kelengkapan

persyaratan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB);

3) Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN) yang menjadi kewenangan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Banyuwangi untuk kelengkapan persyaratan penerbitan Izin Gangguan (HO);

4) Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL/UKL) dan UPL/SPPL yang menjadi kewenangan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Banyuwangi untuk kelengkapan persyaratan penerbitan Izin Gangguan (HO);

5) Alih Fungsi Lahan yang menjadi kewenangan Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuwangi untuk kelengkapan persyaratan penerbitan Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT);

6) Uji Laboratorium Kesehatan yang menjadi kewenangan Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi untuk kelengkapan persyaratan penerbitan Izin Gangguan (HO);

7) Informasi Klarifikasi Konstruksi/ sepadan jalan yang menjadi kewenangan Dinas PU Bina Marga, Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Banyuwangi untuk kelengkapan persyaratan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB);

8) Informasi batas sepadan air yang menjadi kewenangan Dinas PU Pengairan Kabupaten Banyuwangi untuk kelengkapan persyaratan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pelaksanaan Pelayanan Perizinan di Kabupaten Banyuwangi masih setengah-setengah (belum sesuai dengan pedoman penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam PERMENDAGRI Nomor 24 Tahun 2006), hal ini didasarkan pada kenyataan empiris: Meskipun sudah ada lembaga penyelenggara PTSP perizinan dan non perizinan yang dibentuk oleh Pemerintah

(13)

119

Kabupaten Banyuwangi, yang secara terpisah dengan SKPD lainnya di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang dapat berfungsi sebagai lembaga penyelenggara PTSP perizinan dan non perizinan secara mandiri, tetapi hanya mendapatkan sebagian dari kewenangan pelayanan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, artinya bahwa kewenangan Kantor PTSP Kabupaten Banyuwangi hanya sebatas pada jenis perizinan yang diatur dalam PERDA Kabupaten Banyuwangi Nomor 29 Tahun 2012 dan kewenangan pelayanan perizinan dan non perizinan lainnya masih terdistribusi di beberapa SKPD teknis lainnya di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi (padahal sesuai PERMENDAGRI No.24 Tahun 2006 bahwa semua kewenangan pelayanan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi seharusnya dilimpahkan kepada lembaga PTSP Kabupaten Banyuwangi.

5. PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Faktor pendukung pelayanan di Kabupaten Banyuwangi, antara lain:

a) Peraturan perundang-undangan tentang pelayanan perizinan terus disempurnakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

b) Peraturan perundang-undangan khusus tentang Pedoman PTSP yang terus disempurnakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

c) Meningkatnya kesadaran masyarakat melakukan permohonan perizinan sehingga Pemerintah secara terus- menerus berinovasi sehingga penyelenggaraan PTSP menjadi model penyelenggaraan pelayanan perizinan yang lebih baik;

d) Good will (kemauan baik) dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Banyuwangi yaitu melimpahkan seluruh kewenangannya kepada lembaga PTSP dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Faktor penghambat pelayanan di Kabupaten Banyuwangi, yaitu: Pelimpahan kewenanganan pengelolaan dan penandatanganan jenis perizinan dan non perizinan yang masih terbatas yang diberikan kepada Kantor PTSP Kabupaten Banyuwangi artinya ada beberapa jenis perizinan dan non perizinan kewenangan pengelolaan dan penandatanganannya masih menjadi kewenangan SKPD di luar Kantor PTSP Kabupaten Banyuwangi.

Saran

Berdasarkan beberapa kesimpulan yang dikemukakan diatas, maka saran yang dirasakan perlu disampaikan mencakup saran akademis atau teoritis dan saran praktis, masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Saran Akademis atau Teoritis

Berdasarkan analisis Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Kabupaten Banyuwangi, maka dapat diajukan saran akademis/ teoritik sebagai berikut:

1) Sebagai pengembangan ilmu administrasi perizinan;

2) Sebagai bahan perbandingan untuk peneliti selanjutnya.

2. Saran Praktis

Agar dapat keluar dari berbagai persoalan yang telah diidentifikasi diatas maka saran praktis peneliti, yaitu:

1. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Kabupaten Banyuwangi, harus berpedoman pada penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006.

2. Pelimpahan kewenangan kepada Kantor PTSP Kabupaten Banyuwangi yang terbatas, artinya kewenangan PTSP

(14)

120

Kabupaten Banyuwangi belum termasuk kewenangan menerbitkan rekomendasi atau kajian teknis atau sejenisnya lainnnya yang dibutuhkan oleh pemohon perizinan untuk melengkapi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang diajukan kepada PTSP Kabupaten Banyuwangi. Hal ini mengakibatkan pemohon harus mengurus sendiri di SKPD terkait sehingga pemohon masih membutuhkan periode waktu tertentu untuk keperluan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Badudu, J. S. dan Zain, Sutan Mohammad.

2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Barata, Atep Adya. 2003. Dasar-Dasar Pela- yanan Prima. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif (Dasar-Dasar dan Aplikasi).

Malang: YA3.

Grindle, Merilee S. 1994. Politics and Policy Implementation in The Third World.

New Jersey:Princnton University Press.

Keban, Yeremias T. 2007. Enam Dimensi Strategis Administrasi Perizinan.

Jogjakarta: Gava Media.

Marzali, Amri. 2012. Antropologi dan Kebijakan Perizinan. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Miles, Matthew B. danHuberman, A.

Michel.1997. Analisa Data Kualitatif.Terjemahan Tjetjep Rohidi. Jakarta: UI Press.

Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosdakarya.

Moenir, H.A.S. 1995. Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyadi, Deddy. 2015. Studi Kebijakan Perizinan dan Pelayanan Perizinan.

Bandung: Alfabeta.

Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu

(15)

121

Sosial Lainnya. Bandung:

Rosdakarya.

..., 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: Rosdakarya.

Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik.Bandung: Tarsito.

Ratminto dan Winarsi, Apik Septi. 2008.

Manajemen Pelayanan

(Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sedarmayanti. 2013. Reformasi Administrasi Perizinan, Reformasi Birokrasi dan

Kepemimpinan Masa

Depan.Bandung: Refika Aditama.

Sianipar. 1998. Manajemen Pelayanan Masyarakat. Jakarta: LAN.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung : Alfabeta.

Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Perizinan.

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Perizinan

Peraturan Presiden Reperizinan Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

Peraturan Presiden Reperizinan Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah

Peraturan Kepala BKPM Nomor 6 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

Peraturan Kepala BKPM Nomor 14 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Penanaman Modal Provinsi dan Kabupaten/ Kota.

Peraturan Kepala BKPM Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal.

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/5961/SJ, tanggal 30 Agustus 2013 tentang Kebijakan Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi.

Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi.

Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 63 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Banyuwangi.

Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 29 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Perizinan (SPP)

(16)

122

Pelayanan Perizinan pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Banyuwangi.

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan untuk mengetahui senyawa dan struktur kristal antara dua material logam yaitu raw material (tanpa perlakuan artificial aging) dan aging 200⁰C (dengan

Peralatan sterilisasi/desinfeksi harus ada pada sebuah depot air minum, dapat berupa Ultra Violet atau Ozonisasi atau peralatan desinfeksi lainnya atau bisa lebih dari satu

Taggart yang mencakup tahapan kegiatan: perencanaan (plan), pelaksanaan dan pengama- tan (act and observe), dan refleksi (reflect). Langkah pertama pada setiap siklus adalah

Gambar 22 menunjukkan bahwa kepadatan makrozoobentos pada setiap ulangan pengamatan terbanyak di stasiun 1 ulangan ke 3 yang nilainya sangat bervariasi dibandingkan dengan ulangan

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ana Galih yang menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan peer tutoring dapat meningkatkan perolehan hasil

bahwa berkenaan dengan adanya perkembangan peraturan perundang-undangan dan dalam rangka pengoptimalan pelaksanaan pelayanan di bidang perizinan dan non perizinan kepada

bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dan Peraturan Menteri Dalam

Glimepirid merupakan obat antidiabetika oral golongan sulfonilurea generasi ketiga yang termasuk dalam Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas II dengan