• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS STATUS GANDA PERBANKAN SYARIAH DALAM AKAD MUDHARABAH MENURUT HUKUM EKONOMI SYARIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III ANALISIS STATUS GANDA PERBANKAN SYARIAH DALAM AKAD MUDHARABAH MENURUT HUKUM EKONOMI SYARIAH"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

ANALISIS STATUS GANDA PERBANKAN SYARIAH DALAM AKAD MUDHARABAH MENURUT HUKUM EKONOMI SYARIAH

A. Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam.1

Secara istilah, syariah berarti peraturan, undang-undang dan hukum, serta jalan yang jelas dan terang, syariat Islam ada untuk tegaknya kemaslahatan dan terhapusnya kemudharatan dari kehidupan manusia.2

Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu tentang manusia yang meyakini nilai-nilai hidup islam, ilmu ekonomi islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam.3

Ekonomi syariah mempunyai beberapa prinsip, diantaranya:4

1. Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Allah yang harus dimanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan bersama, untuk dirinya dan orang lain. kegiatan itu akan dipertanggung-jawabkan di akhirat.

2. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.

3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama. Seorang Muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah Subhanahu Wataala dalam Al Qur‟an:

1 https://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_syariah. diakses pada 20 Januari 2017.

2 Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2013), 147.

3 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2012), 71.

4 Lihat Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 74-75.

(2)































 ....

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu ... (Q.S. An-Nissa/4:29).

4. Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur‟an mengungkapkan bahwa,















































...

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu...(Q.S. Al-Hasyr/59:7).

Oleh karena itu, sistem skonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja.

Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. 5 Prinsip ini didasari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam

ْنَع ُّ ِنِاَبْ يَّشلا ٍبَشْوَح ِنْب ِشاَرِخ ُنْب َِّللَّا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح ٍديِعَس ُنْب َِّللَّا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح لاَق ٍساَّبَع ِنْبا ْنَع ٍدِهاَُمُ ْنَع ٍبَشْوَح ِنْب ِماَّوَعْلا َُّللَّا ىَّلَص َِّللَّا ُلوُسَر َلاَق

َلاَق ماَرَح ُهُنََثََو ِراَّنلاَو َِلََكْلاَو ِءاَمْلا ِفِ ٍث َلََث ِفِ ُءاَكَرُش َنوُمِلْسُمْلا َمَّلَسَو ِهْيَلَع َ ِراَْاا َءاَمْلا ِ ْعَ ٍديِعَس وُبَ

5 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta: Azkia Publisher, 2009), 17.

(3)

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani dari Al Awwam bin Hausyab dari Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata,

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram."

Abu Sa'id berkata, "Yang dimaksud adalah air yang mengalir." (H.R. Ibnu Majjah no. 2463)6

5. Orang Muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur‟an sebagai berikut:

































Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Q.S. Al-Baqarah/2:281).

Oleh karena itu Islam mencela perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.

6. Seorang Muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya, yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

7. Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya.7

Riba dalam bahasa Arab berarti “bertambah”, sedangkan menurut istilah, riba berarti: menambahkan beban kepada pihak yang berhutang (dikenal dengan riba dayn) atau menambahkan takaran saat melakukan tukar menukar 6 komoditi (emas, perak, gandum, sya’ir8, kurma dan garam) dengan jenis yang

6Muhammad bin Yazid bin Mâjah, Kitab as-Sunan, diakses dari Buku Elektronik, Lidwa Pusaka i-Software Kitab 9 Imam Hadits pada 29 Januari 2017.

7 Lihat Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 74-75.

8 Gandum yang kualitasnya lebih rendah

(4)

sama atau tukar menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai (dikenal dengan riba ba’i).9

Al Qur‟an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang riba. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur‟an secara berturut-turut,

























 ...

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.... (Q.S. Ar- Ruum/30:39)































Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (Q.S. An-Nissa/4:161)



























Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda10 dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S.

Al-„Imran/3:130)

9 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2012), 335.

10 Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Lihat Al Quran Al Karim yang diterbitkan oleh Al Fatih telah ditashih oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al Qur‟an Kementrian Agama RI tahun 2009.

(5)

































































Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Q.S. Al-Baqarah/2:278-279)11

Pada ayat ini, dinyatakan bahwa pemakan riba adalah orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah juga telah mengumandangkan peperangan dengannya.

Teks Al-Quran diatas begitu jelas menyatakan bahwa riba diharamkan. Dan tidak mungkin seorang muslim meragukannya12

Berdasarkan dalil-dalil diatas, dapat diketahui bahwa syariat islam telah mengatur segala hal termasuk dalam bermuamalah. Dan salah satu hal yang dilarang adalah riba.

B. Perbedaan Antara Riba dengan Keuntungan Menurut Hukum Ekonomi Syariah

Sebuah perniagaan atau kerjasama dagang didalamnya pasti ada istilah yang disebut “keuntungan”. Namun terkadang istilah ini digunakan untuk menamai sesuatu yang sejatinya adalah sebuah bentuk riba. Untuk itu harus dapat membedakan mana yang dikatakan sebagai “keuntungan” dan mana yang sejatinya adalah “riba” yang diberi nama “keuntungan”. Ini biasanya terjadi dalam kerjasama penanaman modal/investasi atas suatu usaha. Untuk itu 2 prinsip

11 Lihat Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta: Azkia Publisher, 2009), 16-19.

12 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2012), 340.

(6)

berikut ini harus dipahami dengan baik oleh para pelaku usaha maupun para investor.

1. Tanggung Jawab Atas Kerugian Usaha

ِناَمَّللِ ُااَرَاا

“Hak mendapatkan hasil itu disebabkan keharusan menggganti kerugian”

(H.R. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).13

Seorang Investor wajib bertanggung jawab atas kerugian suatu usaha yang dia menanam modal di dalamnya, sebagaimana dia juga berhak mendapatkan keuntungan. Jika suatu perjanjian investasi tidak mewajibkan investor menanggung kerugian usaha, maka bisa dipastikan hasil keuntungannya adalah riba dan dalam mudharabah kerugian harus ditanggung oleh pemodal bukan oleh pengusaha14

2. Pemodal Adalah Pemilik Usaha

ُّ ِعِااَّشلا َلاَق ( )

ِييِ َّللا ِ ْلِمْلا ِفِ ِناَمَّللِ ُ َّلَ ْلا ُ َلُْ اََّ ِ َو : ....

Imam Syafii Berkata: Sesungguhnya keuntungan suatu harta hanya dapat dimiliki seseorang bila ia siap bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, sebagai konsekwensi atas kepemilikannya yang sah terhadap harta tersebut...15

Ketika seseorang menanamkan modal dalam suatu usaha, maka dia adalah pemilik usaha tersebut atau mempunyai bagian kepemilikan dalam usaha tersebut sebesar presentasi modalnya dan kepemilikan ini membawa konsekuensi mendapat keuntungan dan menanggung kerugian.

Dibawah akan dijelaskan beberapa perbandingan dan konsekuensi akad untuk memudahkan dalam mengetahui mana yang namanya keuntungan dan mana yang riba. 16

13 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah terj. Wahyu Setiawan, (Jakarta: Amzah, 2015), 24.

14 Lihat Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid 7 (Riyadh: Dar „Alamul Kutub, 1997), 176.

15 Imam Syafi‟i, Al Umm, Jilid 4 (Beirut: Darul Ma‟rifat, 1990), 4.

(7)

1. Antara Tabungan dengan Piutang Perbedaan dari keduanya antara lain :

Tabel 3.1 Perbedaan Tabungan dan Piutang

Tabungan Piutang

Tidak Digunakan Boleh Digunakan

Tidak Pindah Kepemilikan Pindah Kepemilikan Untung Milik Penabung Untung Milik Debitur Resiko Tidak Ditanggung Resiko Ditanggung

2. Antara Bagi Hasil dengan Upah

Perbedaan dari keduanya antara lain :17

Tabel 3.2 Perbedaan Bagi Hasil dan Upah

Bagi Hasil Upah

Prosentase18 Nominal Tertentu

Partner Usaha Kontrak Kerja (Pegawai)

Tidak Pasti Pasti Dapat

Bila Ada Keuntungan Tidak Ada Kaitan Dengan Keuntungan

Fluktuatif Biasanya Tetap

3. Antara Hutang Piutang dengan Mudharabah

Dalam prakteknya disebut mudharabah, padahal kenyataannya adalah sebuah piutang. Berikut ini perbedaan dari keduanya:

Tabel 3.3 Perbedaan Piutang dan Mudharabah19

16 Muhammad Arifin Baderi, “Kajian Intensif Muscat-1 Ekonomi Islam”, diakses dari www.pustakaalatsar.wordpress.com, pada 2 November 2016.

17 Muhammad Arifin Baderi, “Kajian Intensif Muscat-1 Ekonomi Islam”, diakses dari www.pustakaalatsar.wordpress.com pada 2 November 2016.

18 Muhammad Bin Umar Nawawi Al Jawi, Nihayatuz Zain Fi Irsyadil Mubtadi’in (Beirut:

Darul Kutub Al Ilmiyah, 2002), 250.

19 Muhammad Arifin Baderi, Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syariah (Bekasi: Rumah Ilmu, 2016), 166-167

(8)

Hutang Piutang Mudharabah Uang sepenuhnya menjadi milik

penghutang (debitur), sehingga ia memiliki hak penuh untuk menggunakan uang tersebut sesuai dengan yang ia kehendaki

Modal sepenuhnya milik pemodal.

Pengusaha berkewajiban untuk menjaganya dan menggunakannya dalam usaha yang telah disepakati

Kreditur bukan sebagai pemilik saham

Perusahaan (saham perusahaan) milik pemodal dan pelaku usaha hanya berhak mendapatkan bagian keuntungan saja. (pemilik modal adalah pemilik saham perusahaan/bank (Unit Usaha Milik Pemodal20)

Pemberi piutang (kreditur) tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam pengelolaan uang yang telah ia piutangkan

Pemilik modal dibenarkan untuk mengawasi pemakaian modal yang ia berikan kepada pelaku usaha. Apabila pelaku usaha menyelisishi kesepakatan maka pemilik modal berhak menghentikan perjanjian.

Bila debitur mengizinkan kepada kreditur untuk mengelola uang

Pemilik modal diizinkan untuk ikut serta mengelola modalnya, dan

20 Di antara hal yang membuktikan bahwa kepemilikan unit usaha pada akad mudharabah adalah milik pemodal ialah: Pelaku usaha tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan kecuali setelah modal secara utuh dikembalikan kepada pemodal, yaitu setelah tutup buku. Dan keuntungan usaha sebelum tiba saatnya tutup buku merupakan cadangan bagi modal usaha.

Dengan demikian bila setelah mendapat keuntungan terjadi kerugian, maka keuntungan yang telah diperoleh wajib digunakan untuk menutupi kerugian yang terjadi setelahnya. Demikianlah seterusnya hingga tiba saatnya tutup buku. Saat itulah, pelaku usaha berhak mengambil bagi hasil yang telah disepakati., Imam Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menjelaskan:

ِلاَمْلا َسْ َر َِفِْوَ ْسَ َّ َح حٌيْبِر ِ ِراَلُمْلِل َ ْيَلَو ( )

ِهِّبَر َإ ِلاَمْلا َسْ َر َمِّلَسُ َّ َح ِيْبِّرلا ْنِ ٍءْ َش َ ْخَ ُّ ِ َ ْسَ َ ُهَّ َ ِ ْعَ

...

(dan Pelaku usaha tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan Sampai modal terpenuhi) Berarti bahwa Mudharib tidak layak mengambil sedikitpun dari keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemiliknya. Lihat Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid 7 (Riyadh: Dar

„Alamul Kutub, 1997), 175.

(9)

tersebut, maka pada keadaan ini kreditur berstatus sebagai pegawai.

statusnya tidak pernah berubah, yaitu sebagai pemilik modal.

Debitur berkewajiban untuk mengembalikan uang yang ia hutang dengan utuh pada tempo yang telah disepakati, tanpa peduli sedikitpun apakah ada kesalahan yang dilakukan oleh penghutang dalam merawat/menyimpan atau tidak

Pengusaha tidak berkewajiban untuk mengembalikan modal bila uang hilang misalnya jika uang dicuri orang, dengan catatan tidak ada kesalahan dari pengusaha dalam merawat/menyimpan modal tersebut.

Bila debitur menggunakan uang hutangnya untuk usaha kemudian terjadi kerugian, maka seluruh kerugian sepenuhnya menjadi tanggungjawab debitur. Adapun kreditur tidak berkewajiban untuk ikut menanggung kerugian sedikitpun dan dalam bentuk apapun.

Bila pengusaha merugi dalam usahanya, maka pemodal harus ikut menanggung kerugian tersebut.

Pemodal menanggung seluruh kerugian finansial, sedangkan pengusaha menanggung kerugian tenaga dan seluruh jerih payahnya (non finansial).

(Ibnu Qudamah menjelaskan :

َناَمَض ِ ِراَلُمْلا ىَلَع َطَرَش َ َ ُهَّ َ ُهُ َلُْجَُو حٌ ِ َ ُطْرَّشلاَا ِ َعيِضَوْلا ْنِ امًمْ َس ْوَ ِلاَمْلا .

امًا َلَِخ ِهيِا ُمَلْعَ َ

Bila disyaratkan agar pelaku usaha agar menjamin modal atau turut menanggung sebagian dari kerugian, maka persyaratan ini batal (tidak sah).

Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang hukum ini). 21

Bila debitur menggunakan uang itu untuk usaha dan ia mendapat

Bila dari modal, pengusaha mendapatkan keuntungan, maka

21Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid 7 (Riyadh: Dar „Alamul Kutub, 1997), 176.

(10)

keuntungan, maka keuntungan itu seutuhnya milik debitur.

keuntungan menjadi milik bersama, pemodal dan pengusaha sesuai dengan perjanjian.

Kreditur diharamkan untuk mensyaratkan keuntungan apapun dari piutang yang ia berikan

Pemodal dihalalkan untuk mensyaratkan keuntungan dari modal yang ia berikan kepada pengusaha.

Bila telah jatuh tempo dan debitur dalam keadaan kesusahan, maka pemilik uang diwajibkan untuk menunda tagihan, dan status akad hutang piutang tetap seperti sedia kala.

Bila telah jatuh tempo, usaha yang dijalankan oleh pengusaha merugi, maka pemilik modal dibenarkan untuk menarik seluruh modalnya, dengan ketentuan akad mudharabah antara mereka terputus (selesai)

Riba dalam piutang senantiasa menyesuaikan dengan jumlah besarnya piutang dan tempo pembayaran, tanpa peduli akan apa yang didapat dan terjadi pada debitur.

Bagi hasil benar-benar sesuai dengan keuntungan bersih yang berhasil didapatkan oleh pelaku usaha. Bahkan bila terjadi kerugian, maka dana pemodal dapat berkurang atau bahkan mungkin saja hangus.

C. Tinjauan Hukum Adanya Status Ganda dalam Akad Mudharabah di Perbankan Syariah

Sebuah teori atau model disusun sesempurna mungkin dengan tujuan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya kecurangan. Sayangnya,

“kesempurnaan” penyusunan model ini dihancurkan oleh fenomena penyimpangan teori syariah dalam praktik di lapangan.22

Melalui proses pengkajian yang mendalam berdasar kepada sejumlah literatur fikih muamalah syari‟ah, peraturan perbankan syariah dan implementasi prakteknya maka penulis medapati temuan ketidaksesuaian praktek akad

22 Virginia Nur Rahmanti, “Mengapa Perbankan Syariah Masih Disamakan Dengan Perbankan Konvensional?”. Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi Islam IMANENSI, Vol 1, No 1 (2013), 68.

(11)

mudharabah bank syariah dengan akad mudharabah yang syar‟i sesuai literatur fikih muamalah syari‟ah. Ini bisa ditinjau dari hal-hal sebagai berikut:

1. Status Ganda Perbankan Syariah Menyalahi Ketentuan Akad Mudharabah Syar’i yang Dipahami Para Ulama Fikih Muamalah Islam

Telah diketahui, lembaga perbankan syariah dalam melakukan akad mudharabah dengan para nasabahnya, lembaga tersebut mempunyai status ganda, dimana ketika bank menghimpun dana dari nasabah yang kelebihan dana (shahibul maal) yang mana saat itu posisi bank adalah sebagai mudharib.

Setelah itu maka pihak bank menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang membutuhkan dana, yang mana bank mengaku sebagai shahibul maal dan pihak yang membutuhkan dana bertindak sebagai mudharib.23

Menyimak skenario status ganda bank syariah tersebut maka diketahui terjadi dua akad mudharabah yang dilakukan bank syariah tersebut.

a. Pertama, mudharabah pada pelaksanaan deposit nasabah (penghimpunan dana), maka nasabah sebagai penyandang dana berindak sebagai shahibul maal dan bank sebagai mudharib (pengelola dana/pelaku usaha) dengan menjanjikan keuntungan bagi hasil.

b. Kedua, pada skim pembiayaan, bank bertindak sebagai shahibul maal dan pengelola usaha (nasabah) betindak sebagai mudharib.24

Mudharabah yang dilakukan oleh bank syariah tersebut tidak sempurna dalam memenuhi hal-hal yang diatur dalam rukun mudharabah. Praktek mudharabah yang dilakukan bank syariah saat ini jelas menyelisihi konsep mudharabah yang dipahami oleh para ulama terdahulu sebagaimana dijelaskan pada sejumlah kitab-kitab fikih klasik.

Imam An-Nawawi berkata,

23 Norsain. “Tinjauan Kritis Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah Mandiri Sumenep”.

Performance Jurnal Bisnis & Akuntansi, Vol 3. No 2 (2013), 4.

24 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 85.

(12)

ِنِاَّللا ُمْكُْاا ُ َرْ يَ ِ ِ اَعْلا ِ َضَراَ ُ ُ ْنَ :

َنِ َاَرَخَو ِ ِلاَمْلا ِنْذِِبِ َضَراَق ْوَلَ ا .

ُلَّوَْلْا ُ ِ اَعْلا َطُرْشَ ْنَ ُزوَُيَ َ َو َّيَص ِنِاَّللا ِ َضَراَ ُ ِفِ مًلَيِكَو َراَصَو ِنْ َّدلا ِيْبِّرلا َنِ امً ْ يَش ِهِسْ َ نِل ِنِاَّللا ُضاَرِ ْلا َدَسَا َ َعَ ا ْوَلَو .

....

Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi, ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua batil...25

Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali, ia berkata,

حٌ ْلَا مً َبَراَلُ َرَخ َإ ِلاَمْلا ُ ْاَ ِ ِراَلُمْلِل َ ْيَلَو :

ِفِ ُدَْحَْ ِهْيَلَع َّصَ .

َلاَق َِّللَّا ِدْبَعَو ٍ ْرَحَو ِمَرْ ثَْلْا ِ َ اَوِر َلََا َّ ِ َو ِلاَمْلا ُّ َر ُهَل َنِذَ ْن :

َاَّرَخَو .

ِ ِّكَوُمْلا ِنْذ ِْ َ ْنِ ِ يِكَوْلا ِ يِكْوَ ىَلَع مًءاَنِب َ ِلَذ ِزاَوَ ِفِ امً ْ َو ِضاَ ْلا .

اََّ ُهَّ َ اَُهُُدَحَ ؛ِْيَْ ْ َوِل حٌ ِنَ ُْمُ ِ يِكَوْلا ىَلَع ُهُساَيِقَو ُج ِرْخَّ لا اَ َه ُّيِلَ َ َو ِهِ ْوَك ْنَع ُاُرَْيَ مً َبَراَلُ ِ ِْ َ َإ ِهِعْاَدِبَو ِهِب َ ِراَلُيِل اَنُهاَه َلاَمْلا ِهْيَل َ َاَ

ِ يِكَوْلا ِ َلَِِ ِهِب مً ِراَلُ

َ َو ِ ِْ َ ِل اِّ َح ِلاَمْلا ِفِ ُبِ وُ اَ َه َّنَ ِنِاَّللا .

َ َو ُّ ِعِااَّشلاَو َ َ يِنَح وُبَ َلاَق اَ َِبَِو ِهِ ْذ ِْ َ ِب ٍناَسْ ِلاَ ِفِ ٍّ َح ُ اَيَ ُزوَُيَ

ْمُ َ ا َلَِخ ْمِهِْ َ ْنَع ُ ِرْعَ

.

Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad sebagaimana diriwatkan oleh Al Atsram, Hareb dan Abdullah. Ia (Atsram) menuturkan: bila pemodal mengizinkan maka boleh namun bila tidak mengizinkan maka tidak boleh. Al Qadhi (Abu Ya'la) menarik satu kesimpulan (Takhrij) bolehnya penyaluran modal kepada pihak ketiga ini sabagai satu pendapat dalam mazhab hambali. Kesimpulan beliau ini dianalogikan kepada

25 Abu Zakaria An Nawawi, Raudhatut Thalibin Wa Umdatul Muftin, Jilid 5 (Beirut:Al Maktab Al Islami, 1991), 132.

(13)

blehnya seorang wakil untuk mewakilkan kepada orang lain tanpa seizin pihak yang memberinya kepercayaan (menunjuknya sebagai perwakilan). (Ibnu Qudamah menanggapi analogi ini dengan berkata): kesimpulan beliau ini tidak benar dan analogi ini juga tidak dapat dibenarkan, karena dua alasan:

Alasan pertama: Pada masalah ini, pemodal menyerahkan modalnya kepada pelaku usaha agar ia yang mengelolanya. Sedangkan bila ia menyalurkannya kepada pihak ketiga maka pelaku usaha pertama keluar dari statusnya sebagai pelaku usaha, berbeda halnya dengan seorang perwakilan.

Alasan kedua: sikap pelaku usaha menyerahkan modal kepada pihak ketiga ini menyebabkan ada pihak asing yang turut mengambil bagian dari harta pemodal, padahal kita tidak boleh menyebabkan adanya pihak asing (ketiga) yang turut serta mengambil bagian dari harta seseorang tanpa seizin darinya.

Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, as-Syafi'i dan aku tidak mengetahui ada ulama' lain yang menyelisihinya."26

Ibnu Qudamah juga menjelaskan,

ْلَا َ ِلَذ َزاَ مً َبَراَلُ ِلاَمْلا ِ ْاَ ِفِ ِلاَمْلا ُّ َر َنِذَ ْنِ َو :

ِهْيَلَع َّصَ .

امًا َلَِخ ِهيِا ُمَلْعَ َ َو ُدَْحَْ

َ ِلَذ ِفِ ِلاَمْلا ِّ َرِل مًلَيِكَو ُلَّوَْلْا ُ ِ اَعْلا ُنوُكَ َو . .

امً يِ َص َناَك ِيْبِّرلا ْنِ امً ْ يَش ِهِسْ َ نِل ْطُرْشَ َْلََو َرَخ َإ ُهَعَ اَ اَذِإَا ْنِ َو .

حٌ َمَع َ َو حٌلاَ ِهِ َ ِ ْنِ َ ْيَل ُهَّ َِلْ ؛َّيِلَ َْلَ ِيْبِّرلا ْنِ امً ْ يَش ِهِسْ َ نِل َطَرَش اَمُ ْ نِ ِدِحاَوِب ُّ َ َ ْسُ اََّ ُيْبِّرلاَو .

Bila pemodal mengizinkan pelaku usaha untuk menyalurkan modalnya kepada pihak ketiga dengan skema mudharabah maka hal ini dibenarkan.

Demikian Imam Ahmad menegaskan, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini. Namun bila pelaku usaha menyalurkannya kepada pihak ketika maka pelaku usaha pertama berstatus sebagai wakil pemodal dalam penyaluran modalnya. Dan bila pelaku usaha menyalurkan modal tersebut kepada pihak ketiga tanpa mensyaratkan untuk dirinya bagian dari keuntungan, maka akad tersbeut sah. Namun bila ia mensyaratkan bagian dari keuntungan untuk dirinya, maka tidak sah, karena ia sama sekali tidak memiliki kontribusi dalam modal dan tidak pula pekerjaan. Sedangkan keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah dapat didapatkan akibat adanya satu dari kedua hal tersebut (modal dan pekerjaan)27

26 Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid 7 (Riyadh: Dar „Alamul Kutub, 1997), 156.

27 Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid 7 (Riyadh: Dar „Alamul Kutub, 1997), 158.

(14)

Berdasarkan perkataan ulama salaf diatas, dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini atas seizin pemodal, sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo/wakil), (kalau pun ada bagian untuk bank sebatas upah jasa makelar dan tentu bukan bank yang berhak dalam menentukan aturan nisbah bagi hasilnya). Para ulama menjelaskan bahwa, alasan hukum ini adalah karena hasil/keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.28

Hal ini juga sesuai dengan pengertian mudharabah yakni akad kerjasama usaha antara pemilik modal (shahibul maal) dengan pelaksana proyek (mudharib) dengan keuntungan akan dibagi antara kedua pihak sesuai dengan perjanjian yang dibuat.29 Disini disebutkan hanya untuk shahibul maal dan mudharib, sedangkan dalam hal ini bank bertindak sebagai wakil.

2. Adanya Status Ganda Membuat Perbankan Syariah Pada Hakikatnya Menjalankan Akad Utang Piutang Bukan Akad Mudharabah

Status ganda yang diperankan oleh perbankan membuktikan, bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang dan bukan akad mudharabah. Karena bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan amanah dari pemodal ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata (riil) yang akan mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga tidak semestinya bank kembali menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Akan tetapi bila ia berperan sebagai pemodal

28 Lihat Abu Zakaria An Nawawi, Raudhatut Thalibin Wa Umdatul Muftin, Jilid 5 (Beirut:Al Maktab Al Islami, 1991), 132. dan Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid 7 (Riyadh: Dar „Alamul Kutub, 1997), 158.

29 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 36.

(15)

(shahibul maal), maka ini mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah pada akad mudharabah pertama,

Gambar 3.1 Skema Mudharabah Bank dengan Nasabah (Mudharib)

Hal ini dibuktikan dengan pembagian bagi hasil bank dengan nasabah (mudharib) dengan menggunakan prosentase, 30 Sebagaiman yang telah diketahui prosentase merupakan konsekuensi dari akad bagi hasil (mudharabah) yang prosentase keuntungannya hanya untuk pemodal (shahibul maal) dan pengusaha (mudharib).31

Jika hal ini terjadi maka, hakikat akad antara bank dengan nasabah pemodal (shahibul maal) adalah akad piutang, hal ini karena konsekuensi akad piutang adalah kepemilikan uang berpindah kepada debitur, sedangkan akad mudharabah tidah merubah kepemilikan uang.

Jika bank bertindak sebagai shahibul maal, maka hal tersebut menunjukan bahwa modal yang diberikan nasabah pemodal berpindah kepemilikan kepada bank, dan akad tersebut adalah akad piutang.

30 Penjelasan lebih lanjut lihat Erni Susana dan Annisa Prasetyani. “Pelaksanaan dan Sistem Bagi Hasil Pembiayaan Al Mudharabah pada Bank Syariah”. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol 15, No 3 (2011).

31 Lihat Abu Zakaria An Nawawi, Raudhatut Thalibin Wa Umdatul Muftin, Jilid 5 (Beirut:Al Maktab Al Islami, 1991), 132. dan Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid 7 (Riyadh: Dar „Alamul Kutub, 1997), 158.

(16)

Konsekuensi dari hal ini adalah perbankan syariah juga menanggung kerugian ketika bertindak sebagai mudharib (karena perbankan syariah menanggung kerugian ketika berstatus sebagai shahibul maal), padahal mudharib tidak menanggung kerugian modal.32

Selain itu, salah satu perbedaan antara akad piutang dengan akad mudharabah adalah dalam masalah kepemilikan unit usaha, sebagaimana yang telah diketahui dimana, dalam akad piutang unit usaha dimiliki oleh debitur, sedangkan dalam akad mudharabah unit usaha dimiliki oleh pemodal (shahibul maal), dalam kasus perbankan syariah, ketika nasabah (investor/pemodal) menyetorkan modalnya dalam akad mudharabah kepada pihak bank seharusnya konsekuensi dari akad tersebut adalah si nasabah memiliki bagian atas kepemilikan lembaga keuangan bank tersebut dan berhak ikut dalam RUPS33, tapi pada kenyataannya tidak demikian, hal ini semakin menjelaskan bahwa akad yang sebenarnya terjadi adalah akad utang piutang.

Jadi, substansi dari skenario status ganda perbankan ini ialah bank berupaya mengalokasikan dana terhimpun dari pihak lain yang dijanjikan akan kembali dananya beserta bagi hasilnya seiring waktu berjalan. Keuntungan bagi hasil dari suatu usaha kosong yang pada hakekatnya tidak pernah dilakukan oleh bank kecuali hanya menyalurkan dana kepada pihak lain serta mengambil keuntungan riba atasnya.34

Melalui kamuflase dalam akad dan istilah syar‟i oleh bank syariah tidaklah lantas merubah hakekat sesungguhnya dari susbtansi akad utang piutang yang tersisip dalam skenario status ganda bank tersebut.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam Hukum Ekonomi Syariah (HES), adanya status ganda perbankan syariah dinilai membatalkan akad mudharabah itu sendiri, hal itu karena pada hakikatnya status perbankan syariah bukanlah sebagai shahibul mal ataupun mudharib tapi statusnya hanya sebagai

32 Lihat Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid 7 (Riyadh: Dar „Alamul Kutub, 1997), 176.

33 Rapat Umum Pemegang Saham

34 Irwin Ananta Vidada. "Tinjauan Praktek Mudharabah Perbankan Syariah Di Indonesia." Moneter, Vol 2. No 1 (2016), 50.

(17)

wakil (nasabah shahibul maal) dan jika perbankan syariah masih tetap menjalankan status gandanya maka hakikat akad yang dilakukan adalah akad utang piutang bukan akad mudharabah.

Referensi

Dokumen terkait

Venancio et al pada tahun 2012 dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kurang tidur akan memicu kelainan hormonal, karena menyebabkan sindrom metabolik, yang dapat

Setelah penelitian dilakukan berdasarkan data-data yang didapatkan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Sebelum terjadi perlawanan Keratuan Islam

Maka berdasarkan hasil analisa data pada bab IV dalam penelitian ini diketahui bahwa nilai rhitung lebih besar dari rtabel padataraf signifikansi 5% dengan

Oleh karena itu perlu dilakukan isolasi vanilin dari buah vanili untuk digunakan sebagai bahan dasar sintesis dan modifikasi struktur vanilin menjadi vanililaseton, divanililaseton

Pada dasarnya cahaya dapat merambat lurus atau memantul di dalam core serat optik, pemantulan cahaya terjadi karena indeks bias core lebih besar dibandingkan indeks

Dengan adanya tuntutan untuk dimanfaatkan sebagai museum serta paparan FGD mengenai perencanaan teknis Penataan Fisik Kota Pusaka (DTRK, 2013) yang memuat strategi

Pada kegiatan observasi peserta didik, guru menilai bahwa siswa mendengarkan materi yang di sampaikan guru, siswa terlihat antusias dalam mengikuti pembelajaran IPA

Tabalong Sakti selama tahun 2016 sudah melakukan pencatatan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang diterapkan