MAKALAH
HAK ASASI MANUSIA
Diajukan untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang Diampu oleh : Sri Wahyuni Tahnzil S.Pd., M.Pd
Disusun Oleh :
Kelompok 1
ANISA PUTRI ALDAWIYAH (1602023)
YULIA NURWULAN (1602155)
DEWI JANTI S (1602173)
NIDZAR FAKHSY MUZAKKI (1600271)
MUHAMMAD ZANDY P (1603809)
RAIS RAHAYU (1600320)
RICKY SETIAWAN P (1603850)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang HAM, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi serta referensi.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya bagi penulis. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah ini di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Bandung, November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Pengertian HAM 4
2.2 Penyebab terjadinya kasus Pelanggaran HAM 4
2.3 Perkembangan HAM di Indonesia saat ini 6
2.4 Macam – macam Pelanggaran HAM 8
2.5 Genosida kejahatan terjahat 9
BAB III PENUTUP 20
Kesimpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
Diskusi Tanya Jawab 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumbangnya rezim Orde Baru yang sangat refresif setelah berkuasa selama 30 tahun, telah menimbulkan kesadaran akan pentingnya penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM). Tuntutan agar dilakukan peradilan terhadap pelanggar-pelanggar HAM masa lalu kian merebak, sementara pelanggaran-pelanggaran HAM berlangsung dalam berbagai bentuk, pola, dan aktor yang berbeda. Isu HAM seringkali digunakan oleh sekelompok masyarakat untuk kepentingan politik, maupun ekonominya, sementara aparat enggan bertindak karena khawatir ditutup melanggar HAM.
Pelanggaran tidak saja dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat, melainkan juga terjadi dalam hubungan antara sesama anggota masyarakat. Dalam suasana reformasi, tidak jarang wacana HAM memicu debat publik yang tidak berkesudahan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah sebagaiberikut:
1. Apa itu HAM?
2. Mengapa bisa terjadi kasus pelanggaran HAM?
3. Bagaimana perkembangan HAM di Indonesia hingga saat ini?
4. Apa saja yang termasuk pelanggaran HAM?
5. Bagaimana masyarakat Indonesia menanggapi kasus genosida sebagai kasus pelanggaran HAM?
1.3 Tujuan
1. Diharapkan mahasiswa dapat memehami dasar pemikiran bahwa sesungguhnya HAM telah dikenal dan bukan merupakan suatu hal baru bagi bangsa Indonesia.
2. Dapat memperoleh data mengenai hal-hal yang diatur, perlu diatur, serta yang perlu dilengkapi.
3. Menganalisis kasus pelanggaran HAM dan mencari solusinya.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian HAM
Menurut Drs. Marbangun Hardjowirogo, bahwa Hak-hak asasi manusia ialah hak-hak yang diperlukan manusia bagi kelangsungan hidupnya didalam masyarakat dan hak-hak itu meliputi hak-hak ekonomis, sosial, san kulturil. Demikian pula hak- hak sipil dan politik.
Menurut Undang-Undang No:39 tahun 1999 tentang HAM dalam pasal 1 Hak asasi manusia adalah:
‘’Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia’’.
Sejumlah hak universal atau yang umum dimiliki oleh setiap manusia yaitu diantaranya hak hidup, kebebasan dan keamanan. Hak-hak tadi dimiliki oleh setiap manusia tanda memandang ras, suku, budaya, agama, warna kulit, jenis kelamin, pendapat politik, asal kebangsaan, status sosial atau latar belakang lainnya.
Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu berada dalam situasi hommo homini luppus bellum omnium comtra omnes. Sementara Jhon Lock memandang masyarakat bernegara merupakan kehendak manusia yang diwujudkan dalam dua bentuk perjanjian, yakni pactum unionis, perjanjian antar anggota masyarakat untuk membentuk masyarakat politik dan negara, dan pactum subjectionis, perjanjian antara rakyat dengan penguasa untuk melindungi hak-hak rakyat yang tetap melekat ketika berhadapan dengan kekuasaan sang penguasa.
2.2 Penyebab Terjadinya Kasus Pelanggaran HAM
Dalam buku Penghilangan Paksa karangan Hendardi dikatakan bahwa, ‘’
Hak-hak positif ;’, atau hak-hak ekonomi, sosial budaya, sebenarnya lebih merupakan rumusan mengenai kebutuhan-kebutuhan asasi manusia (human needs).
Setiap manusia didalama dirinya memiliki kebutuhan-kebutuhan asasi, misalnya untuk makan , berpakaian, atau mendapat pendidikan. Untuk memuaskan setiap kebutuhan itu, mutlak diperlukan materi-materi tertentu. Orang hanya bisa memuaskan rasa laparnya dengan makanan; untuk membalut tubuhnya ia perlu pakaian; untuk pendidikan ia perlu sekolah. Jika materi –materi itu tidak tersedia, kebutuhan-kebutuhan tadi tidak bisa dipuaskan. Tanpa makanan, orang bisa menderita kelaparan; tanpa pendidikan, orang bisa menderita buta aksara. Tetapi,
untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya, orang perlu uang. Dan untuk mendapatkan uang ia harus bekerja. Demikian seterusnya.
Jadi, kebutuhan-kebutuhan hak asasi manusia sangat tergantung pada materi- materi pemuasannya. Norma-norma hak asasi manusia menugaskan negara untuk mengatur keadaan-keadaan yang diperlukan bagi penyedian materi-materi itu.
Karena itu, dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, suatu ‘’ Pelanggaran HAM ‘’
terjadi akibat penyangkalan (denial) oleh negara terhadap kewajibannya untuk mengatur penyediaan materi-materi itu.
Lain halnya dengan hak-hak sipil dan politik. Orang pada dasarnya tidak butuh materi apapun untuk bebas berbicara, untuk bebas mendapatkan informasi, untuk menentukan pilihan politiknya, atau untuk tidak merasa nyeri. Karena itu, untuk pemenuhan hak-hak ini, peranan negara tidak dibutuhkan. Dasar kebebasan adalah, otonomi, dan dengan itu ia menutupi dirinya sendiri.
Kebebasan ini harus dapat jaminan untuk tidak diinterfensi oleh pihak dari luar dirinya sesuatu yang bisa membuatnya terluka atau disakiti. Jaminan itu harus dipastikan oleh hukum, menjadi hak yang dilindungi. Negara harus tunduk kepada hukum yang melindungi hak hak itu dan pada saat bersamaan wajib menegakkan hukum tanpa pandang buluh. Begitulah, hak hak sipil dan politik adalah wilyah dimana individu menikmati kebebasan dari paksaan dan intervensi dari manapun.
Karena itu, dalam urusan hak hak sipil dan politik ini, suatu pelanggaran
“hak asasi manusia” terjadi benar benar akibat pelanggaran oleh negara terhadap apa yang kepadanya diharamkan yakni mengintervensi hak dan kebebasan individu.
Dalam pengertian inilah pelanggaran hak asasi manusia sepenuhnya berarti politik kekerasan negara. Ia berlangung dalam dua cara, yang pertama lazim disebut
“pelanggaran karena tindakan” dan kedua pelanggaran karena “pembiaran atau kelalaian”. Yang pertama menjelaskan aksi intervensi negara itu sendiri yang kedua terjadi karena negara membiarkan suatu perbuatan melanggar hukum.
Pelanggaran karena tindakan terjadi, misalnya ketika negara memerintahkan aparatnya untuk membubarkan demonstrasi damai. Atau ketika ia membrendel koran yang dianggapnya menyerang kebijaksaaan politiknya itu artinya negara telah mengintervensi hak warganya atas kebebasan berkumpul dan berpendapat dan mengintervensi hak warganya atas kebebasan mendapatkan informasi.
Contoh yang paling baik mengenai pelanggaran karena pembiaran (atau kelalaian) adalah apa yang terjadi dalam peristiwa kerusuhan dan penjarahan 13-15 Mei 1998. Adalah kewajiban negara untuk melindungi keamanan warganya dari tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang membahayakan keselamatan diri atau harta bendanya. Tetapi, dalam kerusuhan dan penjarahan bulan Mei itu, aparat keamanan negara justru tidak menjalankan kewajiban dengan baik. Mereka tidak
hadir ditempat saat mereka dibutuhkan ketika massa merusak dan menjarah, bahkan ada yang memperkosa. Kalaupun aparat keamanan hadir, mereka tidak berusaha mencegah, malah diam menyaksikan pembakaran gedung dan penjarahan. Dengan kata lain, pelanggaran HAM ketika itu terjadi karena aparat negara lalai mencegah, bahkan membiarkan, kerusuhan dan penjarahan berlangsung.
2.3 Perkembangan HAM di Indonesia Saat Ini
Runtuhnya rezim orde baru berarti memasuki era reformasi bagi bangsa Indonesia. B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden RI tidak punya pilihan lain selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik, dan sebagainya. Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen- instrumen internasional hak asasi manusia.
Hasil pemilihan umum 1999 berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar.
Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia. Selain keberhasilan memasukkan Hak Asasi Manusia ke dalam Undang-
Undang Dasar, pemerintah era reformasi juga berhasil merumuskan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak- hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat adat (indigenous people).
Penambahan rumusan HAM serta jaminan penghormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan pemajuannya ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 bukan semata-mata karena kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang makin menganggap penting HAM sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat negara hukum. Dalam UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 2 dinyatakan Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Dengan adanya rumusan HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka secara konstitusional hak asasi setiap warga negara dan penduduk Indonesia telah dijamin.
Dalam hubungan tersebut, bangsa Indonesia berpandangan bahwa HAM harus memperhatikan karakteristik Indonesia dan sebuah hak asasi juga harus diimbangi dengan kewajiban sehingga diharapkan akan tercipta saling menghargai dan menghormati akan hak asasi tiap-tiap pihak. Dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Dasar 1945 terdapat dua pasal yang saling berkaitan erat, yaitu Pasal 28I dan Pasal 28J. Keberadaan Pasal 28J dimaksudkan untuk mengantisipasi sekaligus membatasi Pasal 28I. Pasal 28I mengatur beberapa hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk di dalamnya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Sedangkan Pasal 28J memberikan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Rumusan HAM yang masuk dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dibagi ke dalam beberapa aspek, yaitu : 1. HAM berkaitan dengan hidup dan kehidupan 2. HAM berkaitan dengan keluarga 3. HAM berkaitan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi 4. HAM berkaitan dengan pekerjaan 5. HAM berkaitan dengan kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan, kebebasan bersikap, berpendapat, dan berserikat 6. HAM berkaitan dengan informasi dan komunikasi 7. HAM berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia 8.
HAM berkaitan dengan kesejahteraan social 9. HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan 10. HAM berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain Jika rumusan HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945 diimplementasikan secara konsisten, baik oleh negara maupun oleh rakyat, diharapkan laju peningkatan kualitas peradaban, demokrasi, dan kemajuan Indonesia jauh lebih cepat dan jauh lebih mungkin dibandingkan dengan tanpa adanya rumusan jaminan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan HAM dalam Undang-Undang 1945.
2.4 Macam – macam Planggaran HAM
Bentuk pelanggaran HAM yang sering muncul biasa terjadi dalam 2 bentuk, yakni sebagai berikut :
Diskriminasi. Yakni suatu pembatasan, pelecehan atau bahkan pengucilan secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia, atas dasar agama, suku, ras, kelompok, golongan, jenis kelamin, etnik, keyakinan beserta politik yang selanjutnya berimbas pada pengurangan, bentuk penyimpangan atau penghapusan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik secara individu, maupun kolektif di dalam berbagai aspek kehidupan.
Penyiksaan. Yakni perbuatan yang dilakukan secara sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit yang teramat atau penderitaan baik itu jasmani maupun rohani pada seseorang untuk mendapat pengakuan dari seseorang ataupun orang ketiga.
Berdasarkan sifatnya, pelanggaran dapat dibedakan menjadi 2 yakni :
Pelanggaran HAM berat. Yakni pelanggaran HAM yang bersifat berbahaya, dan mengancam nyawa manusia, seperti halnya pembunuhan, penganiayaan, perampokan, perbudakan, penyanderaan dan lain sebagainya.
Pelanggaran HAM ringan. Yakni pelanggaran HAM yang tidak mengancam jiwa manusia, namun berbahaya apabila tidak segera diatasi/ditanggulangi. Misal, seperti kelalaian dalam memberikan pelayanan kesehatan, pencemaran lingkungan secara disengaja oleh masyarakat dan sebagainya.
Pelanggaran HAM berat, menurut Undang-Undang RI nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dapat diklasifikasikan menjadi 2 yakni :
Kejahatan Genosida. Merupakan setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh maupun sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, maupun agama dengan cara:
o Membunuh setiap anggota kelompok;
o Mengakibatkan terjadinya penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok;
o Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang bisa mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
o Memindahkan paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke dalam kelompok yang lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan. Merupakan suatu tindakan/perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa :
o Pembunuhan;
o Pemusnahan;
o Perbudakan;
o Pengusiran atau pemindahan penduduk yang dilakukan secara paksa;
o Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain dengan sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
o Penyiksaan;
o Permerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau segala bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara;
o Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu maupun perkumpulan yang didasari dengan persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lainnya yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
o Penghilangan orang secara paksa;
o Kejahatan apartheid, yakni sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh suatu pemerintahan bertujuan untuk melindungi hak istimewa dari suatu ras atau bangsa.
Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di atas pada dasarnya adalah bentuk pelanggaran kepada hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Selain itu pula, pelanggaran HAM berat merupakan bentuk penghinaan terhadap harkat, derajat dan martabat manusia.
Maka dari itu, kalian wajib untuk menghindarkan diri dari segala penyebab yang bisa mendorong kalian untuk melakukan tindak pelanggaran HAM tersebut.
2.5 Genosida Kejahatan Terjahat
Kejahatan genosida, merupakan kejahatan yang berkaitan dengan pemusnahan etnis (ethnical cleansing). Komite Keenam (Sixth Commitee) dari Majelis Umum PBB menyimpulkan bahwa kejahatan
genosida juga mencakup kejahatan terhadap kelompok-kelompok politik (political
groups), karena dalam pandangan komite, kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok yang tidak dengan udah diidentifikasi (non readily identifiable), termasuk kelompok-kelompok politik yang akan menyebabkan gangguan internasional dalam masalah-masalah politik dalam negeri suatu negara. Oleh sebab itu, kejahatan genosida mencakup pula bentuk-bentuk lain yang sama dengan kejahatan genosida, yaitu “ethonocide” dan “politicide” (Louis S. Beres, 1998). Bahkan menurut Troboff, kejahatan genosida (mungkin) dapat mencakup “commission ofecocide”, sebagaimana kejahatan perang yang dilakukan Amerika Serikat di Vietnam. Bahkan Jones dan Wareen menyebut bahwa “By analogy, gendercide would be the deliberate extermination of persons of a particular sex (of gender). Other terms, such as “gynocide” and “femicide,” have been used to refer to the wrongful killing of girls and women.
Mereka kemudian memberikan contoh dengan mengutip suatu kondisi di Indonesia, yang menyebutkan …”I was told that in Cerewek, Gabus, and Sulur (Indonesia, after the 1965-66 genocide) 701 M.C. Bassiouni (et.al), ILC Draft Statute for an International Criminal Court Wit Suggested Modifications, Chicago, Maret 1996, hlm. 28. Lihat juga pembahasan ini dalam Devy Sondakh, Peradilan Mahkamah Internasional AD Hoc Den Haag Para Penjahat Perang Di Wilayah Bekas Yugoslavia Dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Tesis, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999, hlm. 53.2 Louis R. Beres, Gnocide And Gnocide-Like Crimes, dalam M.C. Basiouni (Ed),International Criminal Law, (Crimes), Volume I, Transnational Publishers, Inc. Dobbs & Ferry,1987, hm. 271.3 Peter D. Trooboof, Law And Responsibility In Warfare, The Vietnam Experience, The University of North Carolina Press, Chapel Hill, 1975, hlm. 23.4 Adam Jones & Mary Anna Warren, “Gendericide As A Part of Genocide”, Journal of Genocide Research, 2:2 (June 2000), hlm. 185.6 percent of the population are widows. Some people even said that in Banjardowo it was very hard to find a single adult male. Where could they have gone to?”5
Secara yuridis, genosida didefinisikan sebagai suatu tindakan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, rasa, etnis, atau agama. Definisi ini tertuang dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuma terhadap Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), Tahun 1948, yang kemudian diabsorbsi oleh Statuta ICC, dan juga kemudian dimasukkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kelompok bangsa dimaksudkan sekumpulan individu-individu yang memiliki identitas berbeda, yang identitasnya ditetapkan melalui suatu tanah air bersama dari bangsa atau asal usul bangsa.
Kelompok ras berarti sekumpulan individu-individu yang identitasnya ditetapkan melalui sifat-sifat atau ciri-ciri fisik secara turun-temurun. Kelompok etnis merujuk pada kumpulan individu-individu yang memiliki satu bahasa bersama, serta tradisi atau kebudayaan yang turun-temurun serta satu warisan bersama. Sedangkan kelompok agama adalah sekumpulan individu yang identitasnya ditetapkan melalui
keyakinan-keyakinan agama, ajaran-ajaran, ibadah-ibadah atau ritual-ritual bersama.Selanjutnya menurut ketiga produk hukum tersebut, kejahatan genosida
termasuk didalamnya :
a) Membunuh anggota kelompok tersebut;
b) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok;
c) Menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik baik seluruh atau sebagainya;
d) Memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau
e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Membunuh anggota-anggota kelompok, termasuk pembunuhan langsung dan tindakan-tindakan yang menyebabkan kematian. Dalam elemen-elemen kejahatan genosida (yang dihasilkan oleh Komisi Persiapan Mahkamah Pidana Internasional) menyebutkan bahwa istilah “membunuh” dalam poin (a) tersebut di atas, adalah istilah yang dapat digunakan secara bergantian dengan istilah “menyebabkan kematian”. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok, termasuk menyebabkan trauma atas anggota-anggota kelompok melalui penyiksaan, perkosaan dan kekerasan seksual yang meluas, pemaksaan penggunaan obat-obat dan multilasi.
Selanjutnya, pengertian “dengan sengaja menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik baik seluruh atau sebagiannya”, termasuk dengan sengaja menghilangkan sumber-sumber yang digunakan untuk kelangsungan hidup seperti air bersih, makanan, pakaian, tepat perlindungan atau perawatan medis. Penghilangan sumber-sumber kelangsungan hidup dapat dilakukan melalui pengambilan hasil panen, pemblokiran bahan makanan, penahanan didalam kamp-kamp, atau pemindahan atau pengusiran secara paksa. Sedangkan pencegahan kelahiran termasuk sterilisasi diluar kemauan, penguguran secara paksa, larangan kawin, dan pemisahan pria dan wanita dalam jangka waktu lama yang dimaksudkan untuk mencegah perkembangbiakan kelompok.Pemindahan secara paksa terhadap anak-anak, dapat dilakukan melalui paksaan secara langsung atau melalui rasa takut adanya kekerasan, paksaan, penangkapan, tekanan psikologi atau metode-metode paksaan lainnya.
Kejahatan genosida berbeda dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Perbedaannya adalah, pertama korban kejahatan genosida ditetapkan sebagai bagian dari satu keempat jenis kelompok (bangsa, etnis, ras atau agama), sedangkan para korban
“kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah biasanya warga negara, dan penduduk sipil. Kedua, disatu pihak, genosida mensyaratkan “maksud untuk menghancurkan, keseluruhan atau sebagian” satu dari keempat jenis kejahatan tersebut di atas, sedangkan di lain pihak, tidak ada syarat untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Keharusan mengadili pelaku kejahatan perang (termasuk genosida) yang dilakukan
selama Perang Dunia II, oleh karena kejahatan tersebut yang belum pernah terjadi sebelumnya dan bertentangan dengan persyaratanpersyaratan mendasar dari ketentuan hukum perang. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap etnis Yahudi di negara-negara dibawah kekuasaan negara poros (yang membantai lebih dari 9 juta kaum Yahudi).Juga, selain melanggar ketentuan tentang hukum dan kebisaan perang di darat, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemausiaan, juga merupakan pelanggaran berat (frave breaches)sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.8 Gregory Stanton 9 mengemukakan tujuh langkah untuk mencegah kejahatan genosida.
1. Klasifikasi:
Bangsa yang dibagi ke dalam “kita dan mereka”. Tindakan pencegahan utama pada tingkat awal ini adalah mengembangkan lembaga-lembaga yang universalistik yang transendental (to develop universalistic institutions that transcends).
2. Simbolisasi:
Ketika dikombinasikan dengan kebencian, simbol-simbol akan dipaksakan atas ketidakmauan anggota-anggota kelompok lain. Untuk melawan atau memberantas simbolisasi, simbol-simbol kebencian dapat dilarang secara hukum (to combat symbolization, hate symbols can be legally forbidden).
3. Organisasi:
Kejahatan genosida yang terorganisir. Unit-unit tentara khusus atau milisi sering dilatih dan dipersenjatai. Karenanya,anggota-anggota unit atau milisi ini harus dilarang (membership in these militias should be outlawed).
4. Polarisasi:
Kelompok-kelompok yang menyiarkan/menabur kebencian melalui propaganda. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perlindungan keamanan kepada pemimpin-pemimpin moderat atau 6 Timothy L. H. McCormack
& Gerry Simpson (Ed), The Law of War Crimes, National & International Approaches, Kluwer Law International, The Hangue, 1997, hlom. 14.7 Peter I. Rose, They and W, Ricial And Ethnic Relations In The United States, Fifth Edition, The McGraw-Hill Companies Inc., New York. 1997, hlm. 159.8 Maria-Cloaude Roberge, “Jurisdiction of the Ad Hoc Tribunal for the Former Yugoslavia And Rwanda Over Crimes Against Hunanity And Genocide”, dalam International Review of the Red Cross, Nomor 321, November-Desember, 1997, hlm. 651.9 Gregory Stanton. The Seven Stages of Genocide, Washington, D.C. 1998, hlm. 8.9 bantuan bagi kelompok-kelompok HAM. (security protection for moderate leaders or assistance to human rights groups).
5. Identifikasi:
Korban-korban diidentifikasi dan dipisahkan karena identitas etnik atau agama mereka (victims are identified and separated out because of their ethnic or religious identity).
6. Pemusnahan:
Pada langkah ini, hanya intervensi militer yang cepat dan besar dapat menghentikan genosida (only rapid and overwhelming armed intervention can stop genocide).
7. Penyangkalan:
Pelaku-pelaku menyangkal bahwa mereka telah melakukan kejahatan.
Respons bagi penyangkalan adalah penghukuman melalui suatu Mahkamah internasional atau nasional (the response to denial is punishment by an international tribunal orational courts). (Gregory Stanton, 2004).
Genosida adalah pembunuh besar-besaran secara berencana dan sistematis terhadap suatu suku bangsa atau ras tertentu. Maka fenomena ini dapat disebut sebagai kejahatan paling keji terhadap hak hidup manusia. Karenanya, sukar untuk dibayangkan betapa besar tanggung jawab moral masayarakat internasional. Inilah salah satu batu ujian terbesar bagi efektif tidaknya Perserkatan Bangsa-bangsa , lebih daripada mencegah dan menghukum para biang keladi pelaku genosida, sehingga bencana seperti ini takkan pernah terulang kembali dalam sejarah manusia.
Hal ini bersumber dari kenyataan bahwa, diantara semua hak manusia, posisi hak untuk hidup adalah nomor satu, suatu kondisi sin qua yang menjadi tempat bergantung sehala hak asasi lain yang menjadi ikutannnya.
Semua hak manusia menampilkan dirnya lewat pelaksanaan rasa tanggung jawab secara timbal balik. Hak seseorang atau suatu bangsa untuk tidak dibunuh (atau sengaja dibiarkan mati mengenaskan, padahal kita bisa menolongnya) tergantung pada sejajarnya kewajiban orang lain untuk memberikan perlindungan dan pertolongan untuk menghindari hal ini. Belakangan ini, konsep tanggung jawab dan saling tergantung secara moral dalam masyarakat manusia ini telah semakin menjadi perhatian internasional, misalnya dalam kasus kelaparan-kelaparan massal.
Maka kewajiban untuk memelihara kehidupan dewasa ini dianggap bukan saja mencakup urusan satu pemeritahan atau kelompok negara-negara kawasan tertentu saja, akan tetapi juga menyangkut tanggung jawab masyarakat global internasional.
Masalah-masalah yang lebih sukar timbul apabila pihak ynag mengancam dengan teror kematian itu ()atau ikut serta didalamnya) adalah negara itu sendiri.
Korban potensial dalam kasus-kasus seperti itu lalu terpaksa mencari perlindungan, bukan kepada pemerintah mereka sendiri lagi, akan tetapi pada masyarakat internasional. Mmaka kelompok masyarakat yang menghadapi bahaya terkikis habis berhak untuk menerima – di akhir abad ke – 20 ini – dan ucapan belasungkawa saja dari bagian dunia yang lain.
Oleh karena itu segala tindakan yang dianggap perlu atas nama Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa secara istimewa diberi wwenang oleh Konvensi Genosida yahun 1948 bahwa: negara berkewajiban – disamping untuk tidak melakukab genosida – juag untuk mencegah dan menghukum para pelanggarnya.
Dan kalau ini gagal, konvensi meegaskan bahwa boleh dilakukan intervensi asing guna mencegah atau meredam tindakan seperti itu dan untuk menghukum mereka yang bertanggung jawab “ terlepas dari apakah mereka secara konstitusioanl adalah penguasa yang bertanggung jawab, pejabat pemerintahan atau pribadi sipil saja”.
Kovensi tentang Genosida telah disetujui secara aklamasi Sidang Umum PBB tanggal 9 Desember 1948, dan karena itu muncul lebih dahulu meskipun hanya satu hari saja – dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia itus sendiri.
Dikatakannya dengan tegas bahwa orang – orang yang tidak belajar dari sejarah dihukum bila menglanginya kembali, hal ini amat relevan dalam sejarah dihukum bila mengulanginya kembali. Menurut catatans ejarah, perang telah menjadi biang keladi utama terjadinya pembunuhan massal terhadap kelompok- kelonpok nasional, etnis, rasial, atau keagamaan. Tidak adanya toleransi agama, penjajahan, dan rasisme telah mencatat kejadian – kejadian tragis dimasa lalu dibanyak kawasan dunia.
Namun, genosida, jauh dati hanya sekedar persoalan studi kesejarahan, adalah suatu penyelewengan yang tetap merupan bahaya sekarang ini. Tidak ada bukti lain yang lebih kuat bahwa masalah genosida itu, sebab genosida bukannya berkurang, malah menjadi semakin relevan, melihat kenyataan bahwa bukti terdokumentasi yang paling kawat adalah bukti yang paling baru, dan lagi pila dilakukan oleh suatu bangsa yang sangat tinggi peradabannya dan an menamakan dirinya dunia maju itu.
Lagi pula,s erentetan kemajuan dalam teknologi mesin-mesin pembunuh telah makin menggarisbawahi lagi kebutuhan akakn tidakan initernasional. Menentang genosida sekarang ini lebih terasa urgensinya dibanding masa-masa sebelumnya.
Diperkirakan bahwa Holocaust alias teror Nazi di Eropa membunuh kira-kira 6 juta orang Yahudi, 5 juta umat Protestasn, 3 juta umat Katolik Roma, 500.000 orang gipsi, *sebagaimana juga orang Ukraina, homo seksual, polandia, Slovakia dan lain- lain yang tidak terhitung julahnya. Toynbee mengomentari bahwa “ ciri khas genosida abad ke-20 adalah bahwa para komplotan pelakunya menggunakan segala sumber daya tenologi da organisasi modern untuk menjadikan pembunuhan massal yang mereka rencanakan berjalansistematis dna sempurna”.
Adalah penting (dan juga buktinya pasti bahwa perhatian internasionaltidak isa ditipu) bahwa genosida Kerajaan Usmanitahun 1915-1916 terhadap orang Armenia dilakukan dengan bantuan Kamp konsentrasi, kamar gas, dan percobaan obat-obatan yang kemereka. Dan penyelewengan Nazi itu sama sekali bukan hal yang unik dalam abad ke-20 ini.
Diantara conto-contoh utama lain, di samping pembunuhan Usmani terhadap lebih dari satu juta orang Armenia, adalah pogrom Ukraina, pembunuhan massal orang Tutsi terhadap orang Hutu di Burundi, pembantaian Khmer Merah di Kamboja, dan di era 90-an ini pembantaian etnis Bosnia oleh Serbia. (Namun, ketika pemerintah jerman bersatu yang ada sekalag ini secara ksatria mengakui dan mengutuk HolocaustNazi agar jangan terulang kemabli, sikap pejabat Turki yang ada sekarang sayangnya tetap menolak kebenaran sejarah ini).
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa sekarang ini mendefinisikan genosida sebagai tindakan-tindakan tertentu “ yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial atau keaagamaan”. Dalam mempertimbangkan apakah definisi diatas akan diperluas atau direvisi kembali, maka disatu pihak adalah penting bagi kita semua untuk tidak mengurangi nilai konsep genosida dengan membesar-besarkannya berdasarkan suatu penafsiran baik mengenai skalanya yang seimbang maupun mengenai jumlah keseluruhannya. Namun ada argumen kuat untuk menambahkan sekurang- kurangnya kelompok-kelompok politik dan jenis kelamin kepada definisi PBB itu.
Sebab, dalam beberapa kasus kriminalitas massal, tidak gampang untuk menentukan mana dari faktor-faktor politik, ekonomi, rasial, sosial atau keagamaan yang slaing bertumpang-tindih itu yang merupaakn faktor penentu dan merupakan motor penggeraknya.
Misalnya, apakah apartheid itu pada pokok bersifat rasial, politik, atau ekonomi? Atau apakah genosida selektif yang terjadi baru-baru ini di Burundi dan Kamboja pada dasarnya mempunyai maksud politik atau etnis? Kebanyakan genosida (termasuk yang dilakukan Nazi) sekurang-kurangnya memiliki warna politis tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa membiarkan kelompok politik atau kelompok lain-lain berada diluar perlindungan konvensi, membuka suatu celah yang luas dan berbahaya yang akan mengekibatkan suatu dalih hal itu dilakukan karena alasan politik.
Demikian pula, tampaknya logis untuk mnambahkan bahwa”tindakan-tindakan penghapusan secara tidak sengaja” menjadi sama tercelanya dengan tindakan yang sengaja dilakukan, karena menyia-nyiakan dan membiarkan begitu saja bentuk malapetaka yang diperhitungkan mungkin dapat menghancurkan suatu kelompok sasaran secara keseluruhan atau sebagian, misalnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit.
Saya percaya bahwa juga amat penting untuk digarisbawahi prinsip tanggung jawab kriminal individual, yang telah diterapkan dalam bnyak kasus kejahatan perang internasional, sekurang-kurangnya sejak Perang Dunia II, dan karena itu perlu ditambahkan kepada konvensi (pour encourager les autres), kata-kata seperti ini: “Dalam mempertimbangkan kesalahan, alasan perintah atasan bukanlah merupakan alasan yang meringankan”.
Demikian pula, kaidah ini harus dipublikasikan secara meluas dalam kode nasional untuk menilai tingkah-laku angkatan bersenjata, petugas penjara, perwira polisi, dokter dan lain-lain; memberi nasihat dan peringatan kepada mereka bahwa bukan hanya hak mereka untuk tidak mematuhi perintah yang melanggar hak-hak asasi manusia ( seperti perintah untuk melaksanakan genosida atau penyiksaan), tetapi juga adalah kewajiban mereka untukntidsk mematuhi perintah yang melanggar prikemanusiaan. Namun kesalahan individual dalam kasus-kasus tertentu tiak menghapus tanggung jawab kolektif sebuah negara juga terhadap para korban, termasuk pertanggungjawaban terhadap kerugian dan penggantian.
Meskipun konvensi itu telah menarik semakin banyak jumlah negara penandatanganan (sampai sekarang ini hampir 100 negara anggota PBB telah meratifikasinya), namun sejalan dengan itu jelas pula terlihat kurangnya pengaruh praktisnya dalam pelaksanaan. Sangat diperlukan upaya untuk lebih memperkuatnya. Salah satu cara adalah dengan menggelar pengadilan pidana internasional, karena para pelaku tindakan genosida itu seringkali adalah pejabat resmi pemerintahan yang kepada mereka itu sedikit sekali kemungkinannya dilaksanakan yurisdiksi perundang-undangan nasional.
Didirikannya International Court of Justice dna the Euro-pean Court of Human Rights memperlihatkan bahwa dibentuknya pengadilan-pengadilan internasional adalah mungkin meskipun tidak gampang. Disitu setiap negara, misaknya dapat mengambil prakarsa meminta pengadilan untuk mendengarkan kasus-kasus tentang genosida yang dituduhkan diwilayah sebuah negara menjadi anggota Konvensi Genosida.
Alternatif yang lain ialah mendirikan suatu badan penyelidik internasional yang dapat bertindak atas prakarsanya sendiri dalam kasus-kasus dimana terdapat bukti bahwa genosida sedang atau akan dilakukan. Kemungkinan yang lain lagi adalah dengan menjadikan pengadilan semua negara meiliki kompetensi untuk mengadili para pelaku genosida yang melarikandiri keluar negeri; atau mengubah pengampunan International Court of Justice untuk memberikan yurisdiksi pidananya dalam kasus-kasus besar seperti itu.
Diperlukan kaidah dan tindakan baru, karena pengalamn dalam belakangan ini telah memperlihatkan bahwa para pelaku pembunuhan massal kerap memperoleh suaka dinegara-negara ynag bersimpati, dimana mereka disembunikan dan selamat.
Banyak perjanjian bilateral atau hukum nasional yang tidak menyatakan genosida sebagai suatu pelanggaran yang tidak diekstradiksikan; lagi pula kebanyakan negara tiak ingin menginzinkan ekstradiksi warga negara mereka itu sendiri. Oleh karena itu genosida harus dijadikan suatu masalah yurisdiksi universal, sam akeadannya pelaku pembajakan pesawat terbang (aut dedere aut punire; atau negara-negara penandatanganan hars diminta mengubah hukum dalam negeri mereka sehingga membolehkan ekstradiksi jika mereka tidak menindak sendiri para pelanggar hukum itu. Karena genosida mungkin dianggap menjadi suatu masalah yang kurang
seriusnya darupada penyiksaan, maka jelas bahwa sekurang-kurangnya diperlukan ketentuan yang serupa dengan yang terkandung dalam pasal 8 Konvensi tentang Penyiksaan.
Hukuman setelah kejadian, bagaimanapun beratnya, tidak menggantikan tantangan prioritas untuk mencegah genosida. (mereka yang secara psikologis bersedia melakukan genosida tampaknya tidak selalu merasa terhalang oleh hukuman, sekurang-kurangnya di dunia ini). Tindakan pencegahan dapat dilakukan ditiga tahap: mengantisipasi kejadian genosida; dengan mengadakan peringatan dini akan terjadinya; dan sejak awal sudah mencegahnya. Para pendamai dan penengah internasional yang berpengalaman, seperti dari PBB atau dari badan-badan lain seperti Komite Internasional Palang Merah misalnya, dapat berfungsi sebagai perena ketegangan.
Penelitian antar-disiplin ilmu sosial dapat memberi wawasan utuh tentang kondisi psikoligis dan motivasi dari orang-orang yang melakukan genosida yang sebagaimanjuga tindakan yang bersifat psikopat yang melecehkan kemanusiaan yang dilakukan terhadap golongan minoritas yang rentan sebagai kambing hitam.
Dalam semua masalah kemanusiaan, adalah penting sekali bagi kita untuk tidak hanya bertindak sebatas mengutuk pelanggaran dan melanjutkan menganalisa sebabnya. Hasilnya dapat membantu perencanaan pendidikan seluruh dunia, yang dimulai sejak dini disekolah-sekolah. Tanpa adanya dasar kuatnya dukungan publik internasional, maka konvensi yang keputusan-keputusannya terumuskan dalam bentuk yang paling sempurna pun akan sedikit sekali nilainya.
Hanya sistem peringatan dini yang efektif sajalah yang mungkin dapat menolong menyelamatkan beberapa ribu jiwa. Secara keseluruhan, diperlukan adanya suatu badan internasional baru yang independen, di dalam atau diluar PBB, yang perhatian khususnya adalah menangani segala aspek genosida mungkin sebagai bagian dari United Nations High Commisioner (Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa- Bangsa bagi Hak-hak Asasi Manusia) yang sudah lama dinanti-nantikan, dan /atau suatu mahkamah atau pengadilan internasional yang akan mengadili perkara-perkara tindak pidana besar yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Reformasi-reformasi seperti itu, mungkin halnya dengan banyak hal yang bernilai dalam kemajuan manusia, mungkin tidak mudah dicapai. Namun tindakan reformasi seperti itu merupakan tugu peringatan yang hidup dan paling baik atas semua korban genosida dimasa lalu. Sebaliknya, apabila tidak ada ada tindakan yang dilakukan, maka ini merupakan undangan bagi kita
untuk ikut serta dalam membantu timbulnya korban- korban baru dii masa depan.
Berikut ini adalah beberapa kasus Genosida yang pernah
terjadi didunia:
1. Eliminasi suku Tutsi oleh suku Hutu di Rwanda (est 500.000-1.000.000 jiwa)
Pembantaian yang terjadi di Rwanda dilakukan oleh suku yang berkuasa di pemerintah(Hutu), Interahamwe, dan milisi impuzamugambi. Pembantaian ini tidak pandang bulu, laki2, perempuan, dan anak2 dibantai di lokasi mereka berada, di jalan, rumah, sekolah, tempat persembunyian, Gereja. Mayat mereka dibiarkan tergeletak dan menjadi sumber penyakit setelah membusuk. Sebagai gambaran,
agan2 bisa nonton film Hotel Rwanda.
2. Holocaust oleh NAZI Germany
Holocaust tidak hanya memakan korban keturunan Yahudi, tetapi juga warga sipil dan tahanan perang Rusia. Diperkirakan 6juta Yahudi dan 11juta orang Rusia menjadi korban Hitler dan SS. Aktivitas pembantaian ini berusaha dibendung beberapa petinggi Wehrmacht(angkatan darat Jerman) yang menghormati hukum perang bahwa orang sipil, dan musuh yang menyerah tidak boleh dibunuh.
Pembantaian sistematis dengan cara memasukan tahanan ke kamar gas, incinerator, maupun disuruh menggali lubang kubur kemudian ditembak oleh anggota Waffen SS.
3. Pemusnahan bangsa Midian dan Amalek
Kejadian ini terjadi pada zaman Musa. Pasukan Israel membunuh seluruh laki2 dari bangsa ini dan membiarkan hidup
tahanan perempuan dan anak2. Namun pada akhirnya seluruh tawanan baik itu perempuan, anak laki2 dan anak perempuan dimusnahkan.
Kejadian ini tidak banyak diketahui orang, namun terekam di Kitab Bilangan: 31 di Perjanjian Lama.
4. Genosida Aborigin Australia
Analoginya mungkin kalo tau2 penghuni Papua jadi Bule semua.
Seyogyanya setiap manusia menghormati hak hidup orang lain, namun sepertinya hal itu tidak berlaku bagi mereka yang buta mata hatinya dan merampok kehidupan bangsa lain, Saya gak dapet jumlah pasti berapa korbannya, menurut beberpa sumber jumlahnya tidak akan diketahui pasti karena jumlah kematian tidak pernah
tercatat dan cenderung ditutup-tutupi.
5.ArmenianGenocide
Pembantaian Etnis Armenia oleh Pemerintah Ottoman pada April 1915.
Jumlah korban berkisar antara 1-1.5 juta orang. Pembantaian dan kerja paksa dilakukan kepada seluruh laki2 berbadan sehat, sedangkan wanita, anak2, dan orang
tua dibuat mati perlahan dengan melakukan perjalanan panjang ke Gurun Siria.
System Of A Down, band Amerika yang personilnya merupakan keturunan armenia sering mengangkat tema genosida bangsanya dalam berbagai kesempatan.
6.pembantaian penduduk asli Amerika
Semboyan "Liberty and Justice For All" malah tidak berlaku bagi SUku Indian Amerika pemilik asli tanah yang dibantai di tanah kelahirannya sendiri. Para Penjelajah Eropa menganggap bahwa Bangsa Indian kejam, kanibal, dan tidak beradab serta berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka. Jujur, menurut saya bangsa mana yang akan senang hati tatanan hidupnya diganggu dan tanahnya direbut, dan reaksi perlawanan Pendduduk Asli Amerika adalah wajar, kita aja gak bakal diem aja kalo ada orang yang gak jelas siapa ngusir keluarga kita dari ruma dan tanah nenek moyang yang diwarisin turun temurun
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Hak Asasi Manusia adalah Hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warganegar yang bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable) artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut.
Saran
Sebagai manusia biasa yang mempunyai kodrat yang sama untuk bertahan hidup dan menjalankan kehidupan, alangkah baiknya jika kita bisa saling menghormati hak hidup orang banyak. Karena, kita sebagai manusia yang sifatnya homo socius, pastilah akan selalu berinteraksi untuk menjalani kehidupan ini, tanpa harus membeda-bedakan ras, suku, bangsa, bahasa, maupun agama.
DAFTAR PUSTAKA
Hendardi. 1998. Penghilangan Paksa. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
http://www.kompasiana.com/trianunganindita/perkembangan-ham-di- indonesia_55187c31a333119306b666e8
Meilabalwell.wordpress.com
Referensi Prof. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2009 Rayna Dalinta G. Makalah : Pemahaman Tentang Hak Asasi Manusia. Universitas Gunadarma. 2010 Sekretariat Jendral MPR RI. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta. 2008 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia http://pusham.uii.ac.id/ham/11_Chapter5.pdf
DISKUSI TANYA JAWAB Kelompok 1 PKN 1. Pertanyaan dari Satria:
Bagaimana cara penyelesaian permasalahan tentang kasus Genosida?
Jawab: Menurut kami, PBB dirubah jangan di Amerika karena Amerika mempunyai hak veto yang dapat merubah hasil voting yang ada,sedangkan Amerika sendiri yang menyokong negara yang melakukan genosida seperti Israel dan ISIS.
2. Pertanyaan dari Faj’al:
Kenapa masih muncul peperangan didunia, padahal sudah ada PBB?
Jawab: Karena PBB tidak menyelesaikan semua masalah dan PBB itu sendiri berada di amerika yang merupakan negara adidaya yang memegang kekuasaan dunia ini, sebagaimana contohnya adalah peperangan antara Palestine dan Israel dimana Israel sendiri disokong dengan kuat oleh pihak Amerika.
3. Pertanyaan dari Eka:
Solusi untuk pelaku genosida?
Jawab: Dihukum dengan peraturan yang ada, aturan mengenai genosida pun sudah ada dan bisa dibaca.
4. Pertanyaan dari Vini:
- Kejadian Genosida di Indonesia dan di dunia?
- Apakah PBB pernah menyelesaikan kasus seperti genosida?
- Bagaimana cara PBB menyelesaikan kasus genosida itu?
Jawab: Kejadian genosida yang ada di indonesia contohnya adalah kejadian di Poso.
PBB telah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan permasalahan genosida, diantaranya adalah dengan dibuatnya peraturan genosida yang disebut dengan konvensi genosida. Dengan adanya berbagai peraturan yang dibuat juga dengan adanya konvensi genosida
5. Pertanyaan dari Anisya:
Bagaimana cara mengantisipasi kasus Genosida?
Jawab: Meningkatkan rasa toleransi antar sesama, menigkatkan kualitas dari militer negara itu sendiri, mempertegas hukum hukum ham dalam dunia internasional.
6. Pertanyaan dari Dudi:
Bagaimana jika ada perbudakan yang dibayar, tetapi malah disiksa?
Jawab: 8
Perbudakan yang diperlakukan oleh sang majikan tidaklah termasuk kedalam pelanggaran HAM karena pada dasarnya sang budak bekerja dan dibayar selayaknya oleh majikan. Namun, ketika terjadi penyiksaan secara fisik maupun psikis itulah yang dimaksudkan dengan pelanggaran HAM itu sendiri.