KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI INDONESIA TAHUN 2010-2019
Maya Arisanti1*, Nungki Hapsari Suryaningtyas1
1Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Baturaja
Jl. A.Yani KM.7 Kemelak Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, Indonesia
*Korespondensi penulis pertama: e-mail [email protected] Naskah masuk: 29-09-2021; Revieu: 04-10-2021; Layak Terbit: 18-10-2021
Abstract
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) control focuses on preventation efforts with the mosquito nest eradication movement (PSN). The larva free number (ABJ) is an indicator of the success of PSN and early prevention by ensuring a negative house with Aedes sp. This research is descriptive used secondary data on Indonesia’s health profile in 2010-2019. This study describes cases of DHF, incidence rate and larva free rate (ABJ) for 10 years. The results showed that DHF cases in Indonesia from 2010-2019 fluctuating where the higehest cases occurred in 2016 which was 204.171 cases and the lowest occurred in 2018 which was 65.602 cases. The highest incidence of DHF occurred in 2016 which was 78,85 per 100.000 population.
Indonesia’s ABJ for 10 years is still below the target <95% in the range 24,1-80,2%.
Transmission of DHF still occurs in Indonesia, this can be seen from the still finding cases of DHF every year and indicators of morbidity due to DHF which is still high above 49 per 100.000 population. The low ABJ affects the occurrence of dengue cases in Indonesia.
Keywords: DHF, incidence rate, ABJ, Indonesia.
THE EVENT OF DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN INDONESIA 2010 - 2019
Abstrak
Gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) merupakan upaya pencegahan yang diutamakan dalam pengendalian demam berdarah dengue (DBD). Angka bebas jentik (ABJ) indikator keberhasilan kegiatan PSN dan pencegahan awal dengan memastikan rumah negatif dengan larva Aedes sp. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder profil kesehatan Indonesia tahun 2010-2019. Penelitian ini menggambarkan kasus DBD, angka Incidence Rate dan ABJ di Indonesia selama 10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan kasus DBD di Indonesia dari tahun 2010-2019 mengalami perubahan fluktuatif dimana kasus paling tinggi terjadi pada tahun 2016 yaitu 204.171 kasus dan paling rendah terjadi pada tahun 2018 yaitu 65.602 kasus. Puncak insiden tertinggi DBD terjadi pada tahun 2016 yaitu 78,85 per 100.000 penduduk. ABJ Indonesia selama 10 tahun masih di bawah target (<95%) yaitu
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes sp. Kasus DBD banyak ditemukan pada musim penghujan ketika muncul banyak genangan air dari wadah/media yang menampung air hujan menjadi tempat perindukan nyamuk.
Sampai dengan saat ini jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD di Indonesia sebanyak 477 kabupaten/kota atau sebesar 92,8% dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Jumlah ini cenderung meningkat sejak tahun 2010 sampai dengan 2019.1
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 92 tahun 1994 mengatur tentang pengendalian DBD yang dititikberatkan pada upaya pencegahan dengan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Pada tahun 2015 diluncurkanlah Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J) dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk menurunkan angka penderita dan angka kematian akibat DBD melalui pembudayaan kegiatan PSN 3M Plus.2
Indikator keberhasilan PSN ditentukan berdasarkan angka bebas jentik (ABJ) sebagai upaya pencegahan awal penularan DBD dengan memastikan ada/tidaknya larva Aedes sp. pada tiap rumah.3Nilai ABJ
≥ 95% merupakan sasaran program pengendalian DBD di Indonesia sebagai upaya untuk membatasi penularan DBD.4 Selain itu, sasaran program pengendalian juga menitikberatkan peningkatan
persentase kabupaten/kota yang mencapai angka kesakitan incidence rate (IR) ≤ 49 per 100.000 penduduk. Pada awal tahun 2020 sebanyak 73,35% (377 kab/kota) telah mencapai IR ≤ 49 per 100.000 penduduk.1 Data 10 tahunan dibutuhkan untuk melihat sejauh mana program yang telah dilaksanakan berdampak pada penurunan kasus dan pencapaian target ABJ nasional.
METODE
Penelitian ini adalah analisis secara deskriptif dengan menggunakan data sekunder profil kesehatan Indonesia tahun 2010-2019. Penelitian ini menggambarkan kasus DBD, angka incidence rate dan angka bebas jentik di Indonesia selama 10 tahun. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah kasus DBD, IR, dan angka bebas jentik. Kasus DBD per tahun dalam penelitian ini adalah kasus DBD yang terjadi selama satu tahun berdasarkan laporan dari sarana pelayanan kesehatan.
HASIL
Pada gambar 1 dapat dilihat kasus DBD di Indonesia selama 10 tahun terakhir.
Pola kasus DBD terjadi kecendrungan peningkatan dari tahun 2011 sampai tahun 2016. Di tahun 2017-2019 kasus DBD cenderung menurun. Kasus paling tinggi terjadi pada tahun 2016 yaitu 204.171 kasus dan paling rendah terjadi pada tahun 2018 yaitu 65.602 kasus.
Sumber : Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011-2020
Gambar 1. Grafik kasus DBD di Indonesia tahun 2010-2019 Angka kesakitan akibat DBD dapat
digambarkan dengan menggunakan indikator IR per 100.000 penduduk. Pada gambar 2 dapat dilihat IR paling tinggi terjadi pada tahun 2016 yaitu 78,85 per 100.000 penduduk. Di tahun 2017 dan 2018
IR Indonesia sudah sesuai harapan yaitu dibawah 49,0 per 100.000 penduduk.
Namun tahun 2019 terjadi peningkatan angka kesakitan menjadi 51,5 per 100.000 penduduk.
Sumber : Ditjen P2P Kemenkes RI tahun 2020
Gambar 3. Grafik ABJ di Indonesia tahun 2010-2019 BAHASAN
Hasil menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir (2010-2019) masih ditemukan kasus DBD. Pola kasus DBD terjadi kecendrungan peningkatan terutama di tahun 2016 terjadi peningkatan paling tinggi. Hal ini dikarenakan terjadi anomali iklim yang menyebabkan kemarau basah dan peningkatan suhu udara dengan nilai anomali sebesar 0,80C.5,6 Kemarau basah merupakan fenomena tingginya intensitas curah hujan pada musim kemarau. Hujan yang turun dengan curah hujan tinggi, tapi durasinya singkat menyebabkan timbulnya genangan air. Hujan yang turun secara tiba- tiba lalu reda disertai panas menjadi hal yang paling disukai nyamuk untuk bertelur.
Genangan-genangan air inilah yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk dan pertumbuhan nyamuk cenderung banyak.7 Penelitian di Kecamatan Sawahan Surabaya menyatakan bahwa di tahun 2016 terjadi kenaikan kasus DBD yang cukup tinggi hal ini disebabkan adanya perubahan iklim yang ekstrem.5
Kelangsungan hidup nyamuk Aedes sebagai vektor penyebab DBD dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembapan, arah udara sehingga berdampak terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap perkembangbiakan vektor penyakit terutama nyamuk Aedes. Curah
nyamuk.8 Penelitian di Kota Banjarbaru menyatakan bahwa curah hujan memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap kejadian DBD.9 Penelitian di Kota Banjarbaru menyatakan secara langsung curah hujan berpengaruh positif terhadap kejadian DBD yaitu 0,098 artinya tinggi rendahnya kejadian DBD dipengaruhi oleh curah hujan sebesar 9,8%.10Suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk adalah 25-270C. kelembapan ideal untuk nyamuk dapat berkembangbiak secara optimal adalah 70-98%. Pada kelembapan 60%
Aedes aegypti tidak dapat menularkan virus dengue karena nyamuk akan terlebih dahulu mati sebelum virus dengue sampai di kelenjar liurnya.5
Kepadatan penduduk di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan kepadatan penduduk pada tahun 2015, 2016, 2019 sebesar 134 jiwa/km2, 135 jiwa/km2, 140 jiwa/km2.11 Kepadatan penduduk menunjukkan tingkat persebaran penduduk. Angka kepadatan penduduk menunjukkan rata-rata jumlah penduduk per 1 kilometer persegi. Semakin besar angka kepadatan penduduk menunjukkan bahwa semakin banyak penduduk yang mendiami wilayah tersebut.12 Kepadatan penduduk dapat meningkatkan penularan kasus DBD.
Dengan semakin banyak manusia maka peluang nyamuk Aedes menggigit semakin besar mengingat kemampuan terbang
terhadap perkembangbiakan nyamuk DBD.
Area dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi/daerah sangat padat masuk kedalam area rawan kasus DBD. Pertumbuhan breeding place di wilayah Kabupaten Bantul sangat erat hubungannya dengan wilayah yang padat permukiman.15 Penelitian di Jambi menyatakan kepadatan penduduk memiliki hubungan dengan kejadian DBD, semakin bertambah kepadatan penduduk semakin tinggi kemungkinan bertambahnya kejadian DBD.16 Penelitian di Kota Palembang menyatakan bahwa kepadatan penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap kasus DBD. Meskipun demikian, nyamuk Aedes berkembang biak di wilayah permukiman penduduk dimana daerah yang terjangkit DBD umumnya adalah kota/wilayah yang padat penduduknya.13 Penelitian di Kota Bogor menyatakan faktor- faktor yang berpengaruh terhadap jumlah penderita DBD adalah kepadatan penduduk, mobilitas penduduk.17 Penelitian di Puskesmas Gamping Kabupaten Sleman menyatakan bahwa ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian DBD.18
Mobilitas penduduk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian DBD di suatu wilayah. Mobilitas yang tinggi memudahkan penyebaran penyakit dari satu tempat ke tempat lainnya. Seseorang yang mempunyai mobilitas tinggi dapat menularkan DBD di tempat baru atau sebaliknya orang tersebut dapat terkena DBD di tempat baru tersebut.19Penelitian di wilayah Puskesmas Hajimena, Lampung Selatan menyatakan bahwa mobilitas penduduk mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD, mobilitas penduduk yang tinggi memberi peluang untuk terjadinya penularan DBD di daerah lain.20 Penelitian di Kupang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi
fluktuatif dan di tahun 2019 masih berada di angka 51,53 per 100.000 penduduk. Artinya untuk angka Indonesia sendiri pun masih tidak sesuai target. Sama halnya yang terjadi di Malaysia, IR dari tahun 2011-2016 pun bersifat fluktuatif dimana di tahun 2016 terdapat 328,3 per 100.000 penduduk.21 DBD diperkirakan akan masih cenderung meningkat dan meluas sebarannya. Hal ini disebabkan karena vektor penular DBD tersebar luas baik di tempat permukiman maupun di tempat umum, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk serta urbanisasi yang semakin meningkat.22,23
Hasil ABJ Indonesia selama 10 tahun terakhir masih di bawah target ABJ yaitu
<95%. Angka ABJ merupakan indikator keberhasilan dilakukannya PSN. Program G1R1J merupakan kebaruan dari program PSN. Program ini menitikberatkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam melaksanakan PSN. Kegiatan ini melibatkan setiap anggota keluarga untuk melakukan pemeriksaan, pemantauan dan pemberantasan jentik nyamuk. Surveilans berbasis masyarakat merupakan suatu upaya untuk mengidentifikasi dan melaporkan situasi kesehatan di lingkungannya dalam rangka pengawasan kesehatan masyarakat. Data yang diperoleh nantinya dapat menjadi bahan early warning system DBD di wilayah tersebut.24 Keberhasilan pengendalian dan pencegahan DBD dengan G1R1J sangat bergantung pada besarnya partisipasi aktif masyarakat.25 Penelitian di Desa Watudambo Kecamatan Kauditan menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna dan signifikan antara tindakan pemberantasan sarang nyamuk dengan kejadian kasus demam berdarah dengue. Semakin tinggi tindakan masyarakat dalam PSN maka akan mengurangi kasus atau kejadian DBD di
DBD adalah dengan dilakukannya pemicuan. Pemicuan berfokus pada pemberdayaan masyarakat secara penuh dan mandiri. Penelitian di Kelurahan Rahandouna Kota Kendari menyatakan bahwa terdapat pengaruh pemicuan terhadap ABJ, dimana terdapat peningkatan proporsi ABJ pada daerah intervensi setelah dilakukan pemicuan.29 Tingkat pengetahuan yang baik juga akan mempengaruhi tindakan dan motivasi seseorang dalam melakukan pencegahan terhadap DBD.24
KESIMPULAN
Masih ditemukannya kasus DBD setiap tahunnya dan indikator angka kesakitan akibat DBD masih tinggi yaitu di atas 49 per 100.000 penduduk. Sejak tahun 2010-2019 target ABJ belum tercapai, masih di bawah 95%, hal ini bisa menjadi salah satu penyebab penularan kasus DBD terus terjadi di Indonesia.
SARAN
PSN perlu dilaksanakan secara optimal oleh masyarakat supaya ABJ meningkat dan kasus DBD berkurang.
Edukasi ke masyarakat akan pentingnya PSN perlu dilakukan oleh petugas kesehatan/kader supaya meningkatkan pengetahuan dan memicu kesadaran masyarakat akan pentingnya penerapan PSN di lingkungannya. Tindakan pencegahan pun perlu dilakukan ketika masyarakat berpergian keluar rumah supaya mereka tidak tertular ketika mereka berada di daerah lain.
KONTRIBUSI PENULIS
MA dan NHS sebagai kontributor utama dalam penulisan ini yang bertanggung jawab pada konsep, analisis data, metodologi, mengkaji hasil, penelusuran referensi, kesimpulan, dan saran.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Pusdatin Kementerian Kesehatan, Kepala
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2020. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2021.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis implementasi PSN 3M-plus dengan gerakan 1 rumah 1 jumantik. Jakarta:
Kemenkes RI. 2016.
3. Alfiyanti UN, Siwiendrayanti A. Analisis spasial dan temporal kejadian dbd di kota semarang tahun 2016-2019. J Kesehat Lingkung J dan Apl Tek Kesehat Lingkung. 2021; 18(1):39.
4. Trapsilowati, SKM, M.Kes W, Anggraeni YM, Prihatin MT, Pujiyanti A, Garjito TA. Indikator entomologi dan risiko penularan demam berdarah dengue (DBD) di Pulau Jawa, Indonesia. Vektora J Vektor dan Reserv Penyakit. 2019; 11(2):79–86.
5. Fitriana B. Hubungan faktor suhu dengan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Sawahan Surabaya. Indones J Heal. 2018;
13(1):83–94.
6. BMKG. Ekstrem perubahan iklim.
[internet]. [disitasi tanggal 6 Oktober
2021]. Diakses dari
https://www.bmkg.go.id/iklim/?p=ekstre m-perubahan-iklim
7. Ruliansyah A. Perspektif informasi keruangan (geospasial) dalam melihat fenomena demam berdarah dengue.
Aspirator J Vector Borne Dis Stud.
2010; 2(1):17–22.
8. Hidayat, Nasriah. Faktor yang berhubungan dengan kejadian dbd di Pulau Balang Lompo Kabupaten Pangkep. J Sulolipu Media Komun Sivitas Akad dan Masy. 2017;
17(II):73–81.
berdarah dengue di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan selama tahun 2005-2010. J BUSKI. 2012; 4(2):59–65.
10. Zubaidah T, Ratodi M, Marlinae L.
Pemanfaatan informasi iklim sebagai sinyal peringatan dini kasus DBD di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Vektora. 2016; 8(2):99–106.
11. Badan Pusat Statistik. Kepadatan penduduk menurut provinsi (jiwa/km2), 2010-2014, 2015-2019. [internet].
[disitasi tanggal 29 September 2021].
Diakses dari
https://www.bps.go.id/indicator/12/141/
2/kepadatan-penduduk-menurut- provinsi.html.
12. Kemenkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2019. Jakarta: Kemenkes RI.
2019.
13. Wurisastuti T, Sitorus H, Oktavia S.
Hubungan perilaku masyarakat dengan kasus demam berdarah dengue di Kota Palembang Sumatera Selatan. J Spirakel. 2017; 9(1):34–40.
14. Kemenkes RI. Pedoman pencegahan dan pengendalian demam berdarah dengue Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI. 2017.
15. Sulistyo A, Yudhana A, Aini R.
Kombinasi teknologi aplikasi gps mobile dan pemetaan sig dalam sistem pemantauan demam berdarah (DBD).
Khazanah Inform J Ilmu Komput dan Inform. 2019; 5(1):6–14.
16. Chandra E. Pengaruh faktor iklim,
[tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
2015.
18. Biis NA, Sukesi TW. Hubungan antara curah hujan dan kepadatan penduduk dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Gamping I (Desa Balecatur) Kabupaten Sleman tahun 2015-2017.
[tesis]. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. 2019.
19. Singga S, Wanti. Hubungan jumlah anggota keluarga, kepadatan rumah dan mobilitas dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota Kupang.
Prosiding Semnas Sanitasi. 2019. p.
212–217.
20. Murwanto B, Trigunarso SI, Purwono P.
Faktor lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan pengendalian program DBD terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD). J Kesehat. 2019;
10(3):453.
21. Gintarong T, Emran A, Sherin A, Thein TT, Aung TS. Circulation of all dengue virus serotypes during dengue outbreak in Sandakan, Sabah, Malaysia (2016). J Vector Borne Dis.
2018; 55(2):168–171.
22. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Jakarta: Kemenkes RI.
2011.
23. Kemenkes RI. Buletin jendela epidemiologi demam berdarah dengue.
Bul Jendela Epidemiol. 2010; 2:48.
pendampingan terhadap pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam di Kota Jambi. J Ekol Kesehat. 2020;
19(3):196–210.
26. Mangindaan MA V, Pingkan W, Kaunang J, et al. Hubungan perilaku pemberantasan sarang nyamuk dengan kejadian demam berdarah dengue di Desa Watudambo Kecamatan Kauditan. Kesmas. 2018;
7(5).
27. Mubarokah R, Indarjo S. Upaya peningkatan angka bebas jentik (ABJ) DBD melalui penggerakan jumantik.
Unnes J Public Heal. 2013; 2(3):1–9.
28. Budiman A. Hubungan keberadaan jentik nyamuk dan perilaku pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN-DBD) masyarakat di daerah endemis dan non endemis Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo. Indones J Public Heal. 2017; 11(1):28.
29. Mangidi MAGT, Sunarsih, Jahadipraja EA. Pengaruh pemicuan terhadap angka bebas jentik (ABJ) di Kelurahan Rahandouna Kota Kendari. Al-Sihah Public Heal Sci J. 2019; 11(2):134–142.