1
PENGEMBANGAN MODEL JOINT DYNAMIC PRICING BERBASIS WAKTU DAN
PERSEDIAAN KURSI UNTUK DUA PENERBANGAN PARALEL
DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KONDIS OVERBOOKING, CANCELLATION, DAN NO-SHOW PASSENGERS
Rescha Dwi Astuti Putri, Ahmad Rusdiansyah Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email: [email protected] ; [email protected]
Abstrak
Pada penelitian ini dilakukan pengembangan model joint dynamic pricing berbasis waktu dan persediaan kursi untuk dua penerbangan paralel dengan mempertimbangkan kondisi overbooking, cancellation, dan no-show penumpang. Model yang dikembangkan merupakan model dynamic programming yang akan mengoptimalkan harga tiket kedua penerbangan paralel secara dinamis.
Harga tiket dapat dipilih dari beberapa alternatif harga tiket yang ditetapkan sebelumnya.
Alternatif harga tiket ditetapkan berdasarkan jumlah sisa kursi dan sisa waktu selling horison.
Dengan memilih harga tiket yang optimal, total expected revenue kedua penerbangan dapat dimaksimalkan. Batas overbooking ditetapkan secara optimal untuk mengantisipasi terjadinya cancellation dan no-show. Percobaan numerik dilakukan untuk mengevaluasi perilaku model mengenai kondisi overbooking ini. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa tingginya tingkat cancellation per customer dan tingginya peluang no-show akan mengurangi total pendapatan.
Namun penerapan overbooking secara optimal dapat meningkatkan utilisasi kapasitas pesawat, sehingga dapat memperbaiki perolehan total pendapatan kedua penerbangan paralel.
Kata kunci : revenue management, joint dynamic pricing, penerbangan paralel, overbooking, cancellation, no-show, dynamic programming.
Abstract
In this research,we discuss a problem in Airline Revenue Management (ARM), which is dynamic pricing model for two parallel flights owned by the same airline. We extended the existing model on Joint Pricing Based on Seat Inventory Model for Parallel Flights in the literature to consider time. In our research, Joint Pricing Model not only based on seat inventory but also based on time.
The model also consider overbooking, cancellations, and no-show customers that have been composed on previous research models. To solve the model, we develop a dynamic programming to optimize ticket fares of both flights simultaneously and dynamically over the selling horizon . The objective is to maximize the total expected revenue of both flights. In our experiments, we also determine the overbooking limit of both flights to anticipate the occurrence of cancellations and no-shows. We have conducted some numerical experiments to show the behavior of our proposed model.
Key words : revenue management, joint dynamic pricing, parallel flight, overbooking, cancellation, no-show, dynamic programming.
1. Pendahuluan
Maskapai penerbangan merupakan salah satu industri jasa yang menerapkan revenue management. Terdapat beberapa kondisi yang mengharuskan maskapai penerbangan menerapkan revenue management. Kondisi tersebut antara lain tingkat permintaan yang tidak menentu di masa depan, kelebihan persediaan tidak mungkin disimpan dan digunakan pada periode berikutnya, penumpang yang dapat dibedakan dalam beberapa segmen, biaya tetap sangat tinggi namun biaya marginal rendah, dan kapasitas kursi penerbangan yang ditawarkan selalu tetap sesuai dengan jenis pesawat yang digunakan (Chopra dan Meindl,
2001). Menurut Cross (1997), Revenue management (RM) merupakan penerapan berbagai disiplin taktik yang memprediksi perilaku konsumen dan mengoptimalkan ketersediaan produk dan harga produk untuk memaksimalkan pertumbuhan pendapatan. Pada airline revenue management terdapat dua keputusan dasar yang dapat dilakukan. Yang pertama adalah keputusan alokasi kursi untuk segmen-segmen kustomer (seat allocation).
Kedua adalah keputusan penentuan harga tiket yang dijual (pricing). Keduanya dilakukan untuk mengontrol permintaan agar sesuai dengan persediaan kursi penerbangan yang
2 dimiliki, sehingga pendapatan yang diperoleh
maksimal.
Sejak tahun 1970an, penelitian tentang Airline Revenue Management (ARM) telah mulai dilakukan. Area permasalahan yang dibahas juga sangat luas mulai dari forecasting, overbooking, seat inventory control, dan pricing. Namun, di masa awal penelitian ARM, penelitian banyak terfokus pada permasalahan pengoptimasian pendapatan pada penerbangan tunggal tanpa memperhatikan interaksinya dengan penerbangan lain. Padahal keputusan yang diambil pada satu penerbangan, misalnya penetapan harga, akan mempengaruhi permintaan dan pendapatan penerbangan lain.
Beberapa penelitian yang memperhatikan keterkaitan antar satu penerbangan dengan penerbangan lain telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian yang mengangkat masalah revenue management untuk penerbangan paralel, yaitu dua penerbangan yang dimiliki oleh maskapai yang sama dengan rute yang sama namun jadwal keberangkatannya berbeda, salah satunya dilakukan oleh Zhang dan Cooper (2005).
Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Xiao, dkk (2008), Chen, dkk (2010), dan Rusdiansyah, dkk (2011).
Model joint dynamic pricing dalam penentuan harga tiket untuk dua penerbangan yang mengacu pada perilaku konsumen dalam memilih penerbangan paralel dikembangkan oleh Rusdiansyah, dkk (2011) dengan menggunakan klasifikasi penumpang yang digunakan oleh Xiao, dkk (2008) dan Chen, dkk (2010). Pada penelitian ini penulis akan mengembangkan model Rusdiansyah, dkk (2011) namun untuk klasifikasi penumpang yang lebih kompleks yaitu terdapat penumpang yang memilih flexible class dan affordable class. Penumpang yang memilih flexible class adalah penumpang yang mau membeli pada fullprice class. Penumpang tipe ini diakomodasi melalui fleksibilitas dan ketersediaan kursi penerbangan di akhir periode penjualan.
Sehingga penumpang tipe ini tidak dibatasi jumlah kursi selama sisa kursi penerbangan tersebut masih ada. Sedangkan penumpang yang memilih affordable class adalah penumpang yang akan memilih harga atau kelas terendah yang dibuka saat pembelian. Penumpang tipe ini dibatasi oleh jumlah kursi per kelas. Artinya penumpang tipe ini tidak dapat membeli tiket
pada affordable class yang diinginkannya apabila sisa kursi pada kelas terebut telah habis.
Model joint dynamic pricing yang dikembangkan oleh Rusdiansyah,dkk (2011) merupakan model inventory based dynamic pricing dimana harga kelas yang dibuka akan berubah seiring dengan berubahnya persediaan kursi penerbangan. Dimana pada model ini belum mengakomodasi meningkatnya harga tiket seiring dengan berkurangnya selling horizon yaitu mendekati waktu penerbangan.
Sedangkan Wang, S (2001) mengembangkan model hybrid dynamic pricing untuk penentuan harga tiket penerbangan melalui perpaduan metode neural network dan dynamic programming. Model hybrid dynamic pricing yang dikembangkan oleh Wang, S (2001) ini dapat mengakomodasi perubahan harga seiring dengan berkurangnnya sisa waktu penjualan.
Oleh karena itu pada penelitian ini dikembangkan model joint dynamic pricing untuk dua penerbangan paralel berbasis persediaan dan waktu dengan mempertimbangkan kondisi overbooking, cancellation, dan no-show penumpang.
2. Deskripsi Model Penelitian
Pada penelitian ini akan dikembangkan sebuah model dynamic programming yang dapat mengoptimalkan penentuan harga tiket pada dua penerbangan paralel dengan mempertimbangkan perilaku calon penumpang dalam memilih penerbangan serta adanya overbooking, cancellation, dan no-show. Model dynamic programming untuk dynamic pricing ini berbasis persediaan sisa kursi penerbangan dan waktu. Model akan menentukan harga tiket yang optimal untuk dibuka pada waktu dan kombinasi sisa kursi tertentu pada kedua penerbangan .Tujuannya adalah untuk memaksimalkan pendapatan yang dapat diperoleh dari kedua penerbangan.
Penerbangan paralel merupakan penerbangan yang dimiliki oleh satu maskapai penerbangan, melayani rute yang sama namun dengan jadwal keberangkatan yang berbeda.
Dalam model penelitian ini terdapat dua penerbangan paralel, penerbangan A dan penerbangan B. Berdasarkan perilakunya dalam memilih di antara kedua penerbangan ini, kustomer dapat dibedakan menjadi time sensitive customers (memilih berdasarkan faktor jadwal keberangkatan), dan price sensitive
3 customers (memilih penerbangan yang harga
tiketnya lebih murah).
Penumpang tipe I dan II adalah penumpang yang memilih berdasarkan jadwal penerbangan.
Penumpang jenis ini biasanya merupakan bunisess passenger dimana mereka lebih sibuk dan jadwal penerbangan merupakan faktor penting bagi mereka. Penumpang tipe I akan memilih penerbangan A, sedangkan penumpang tipe II akan memilih penerbangan B.
Penumpang tipe III adalah penumpang yang memilih berdasarkan faktor harga tiket.
Penumpang tipe III akan memilih penerbangan setelah membandingkan harga penerbangan tiket kedua penerbangan. Kemudian penumpang tipe III akan menentukan pilihannya pada penerbangan yang harga tiketnya paling murah.
Namun, jika harga tiket kedua penerbangan sama maka penumpang tipe III akan memilih penerbangan A dengan peluang β. Dan sebaliknya konsumen tipe III akan memilih penerbangan B dengan peluang 1- β.
Selain itu, calon penumpang juga dapat memilih antara flexible class dan affordable class. Jika calon penumpang memilih flexible class maka harga tiket yang dibayarkan adalah harga full price. Harga full price akan meningkat seiring dengan mendekatnya waktu keberangkatan penerbangan. Sedangkan jika calon penumpang memilih affordable class maka harga tiket yang dibayarkan adalah harga tiket yang dibuka pada saat itu. Pada flexible class tidak ada batasan jumlah kursi selama masih ada sisa kursi pada penerbangan tersebut.
Namun pada affordable class ada batasan jumlah kursi dimasing-masing kelasnya.
Penumpang tipe I dan II boleh memilih antara flexible class dan affordable class. Namun penumpang tipe III pasti akan memilih affordable class.
Selling horizon dibagi menjadi sejumlah events (t) sebagai waktu yang sangat singkat, dimana pada setiap events dapat terjadi 3 kejadian yaitu : (1) kejadian datangnya seorang calon penumpang; (2) kejadian pembatalan pemesanan yang dilakukan oleh calon penumpang yang telah melakukan pembelian tiket; dan (3) tidak terjadi kejadian apapun pada event tersebut. Calon penumpang akan memesan tiket, datang dengan tingkat kedatangan λt pada event ke-t. Tingkat kedatangan berdistribusi poisson. Proporsi untuk masing-masing tipe penumpang adalah αti pada event ke-t, dimana i
= 1, 2, 3, menunjukkan tingkat kedatangan
masing-masing tipe penumpang yang ada pada event ke-t. Proporsi penumpang tipe III memilih penerbangan A apabila harga kedua penerbangan sama ditentukan oleh penulis (β=0,4). Selain itu, proporsi calon penumpang tipe I dan II memilih flexible class adalah fti
pada event ke-t, dimana i=1, 2, menunjukkan tipe penumpang.
Sedangkan pembatalan pembelian terjadi dengan tingkat pembatalan qtA dan qtB per kustomer untuk penerbangan A dan B pada event ke-t. Jika jumlah kustomer yang telah memesan tiket untuk penerbangan A dan B adalah xA dan xB, maka peluang terjadi pembatalan pembelian tiket pada suatu event untuk penerbangan A, qtA(xA) = qtA.xA, dan qtB(xB) = qtB.xB untuk penerbangan B. Dengan demikian, karena hanya salah satu kejadian yang akan terjadi pada tiap event, maka 0 ≤ λt + qtA.xA
+ qtB.xB ≤ 1.
Selling horizon untuk penerbangan A dan B sama, dan dituliskan dengan [0,T], dimana T adalah akhir dari selling horizon dan 0 merupakan awal dari selling horizon. Sedangkan event T + 1 merupakan event setelah selling horizon berakhir, yaitu ketika keberangkatan pesawat. Tiket untuk kedua penerbangan dapat dijual dengan k alternatif harga P = {p1, p2, p3,
…, pk}, dimana p1 > p2 > … > pk. Dimana kelas k merupakan kelas terendah yang boleh dibuka.
Nilai k ditentukan dari batasan periode dan jumlah kursi (booking limit) per kelas. Yaitu nilai k terbesar yang memenuhi kondisi t < t(pk) dan n < BL(pk). Nilai k akan berubah sesuai dengan periode event (t) dan sisa kursi penerbangan (n).
Kustomer yang datang dan memilih suatu penerbangan (A atau B) akan mau untuk membeli tiket dengan peluang ̅ ( ) atau
̅ ( ) , tergantung berapa harga yang ditawarkan kepada kustomer pada saat itu untuk penerbangan yang dia pilih. Peluang penerimaan untuk tiap-tiap alternatif harga berbeda-beda, semakin murah harga tiket dan semakin dekat waktu penerbangan akan semakin besar peluangnya untuk diterima oleh kustomer.
Pada tiap-tiap event selama selling horizon akan diputuskan harga tiket yang optimal untuk ditawarkan kepada kustomer, yaitu pA untuk penerbangan A, dan pB untuk penerbangan B.
Melalui model dynamic programming yang dikembangkan, harga yang optimal tersebut dapat diketahui. Kustomer yang memutuskan untuk membeli tiket pesawat saat event ke-t,
4 akan menambah pada expected revenue sebesar
pA atau pB sesuai dengan penerbangan yang dia pilih. Namun sebaliknya, kustomer yang membatalkan pemesanan tiketnya, akan diberikan refund (c), dan mengurangi expected revenue sebesar nilai refund tersebut, apakah itu pembatalan untuk penerbangan A ataupun pembatalan untuk penerbangan B.
Setelah selling horizon berakhir dan tiba jadwal keberangkatan (T+1), dapat dimungkinkan terjadinya no-shows. Seorang kustomer yang masih memiliki tiket hingga waktu keberangkatan, dapat dimungkinkan untuk menjadi no-show customer dengan peluang γ. Y(xA) maupun Y(xB) merupakan jumlah kustomer yang datang saat keberangkatan untuk penerbangan A dan penerbangan B berturut-turut, jika jumlah tiket yang terpesan hingga saat itu sejumlah xA dan xB. Dengan demikian Y(xA) maupun Y(xB) berdistribusi binomial-(xA, 1-γ) dan binomial- (xB, 1-γ). Expected no-show sebanyak xA-Y(xA) untuk penerbangan A, dan xB-Y(xB) untuk penerbangan B. Sejumlah kustomer yang tidak datang saat waktu keberangkatan tersebut akan diberikan refund yang nilainya bisa lebih besar dibanding kustomer yang melakukan pembatalan pemesanan.
Misalkan kapasitas penerbangan A dan B adalah CA dan CB. Pada saat keberangkatan penerbangan dapat dimungkinkan bahwa jumlah kustomer yang datang (Show-up), Y(xA) maupun Y(xB), melebihi jumlah kapasitas kursi pesawat CA ataupun CB. Hal ini disebabkan adanya kebijakan overbooking yang diberlakukan, yaitu menjual tiket melebihi kapasitas kursi pesawat yang tersedia. Kelebihan jumlah kustomer ini mengharuskan maskapai penerbangan memberikan kompensasi kepada mereka.
Dengan demikian timbullah biaya overbooking penalty (s), untuk tiap kustomer yang berlebih.
Melalui model yang dikembangkan akan dapat diketahui pengaruh jumlah overbooking terhadap total expected revenue yang dapat diperoleh untuk kedua penerbangan. Notasi vA
dan vB merupakan batas jumlah overbooking untuk penerbangan A dan B secara berturut- turut.
3. Model Penelitian
Penyelesaian model dynamic programming dimulai dari event terakhir (T+1) terlebih dahulu. kemudian secara berurut mundur,
dilakukan perhitungan untuk event sebelumnya, hingga event ke-0. Pada tiap event tersebut akan dilakukan perhitungan Rt(nA, nB), yaitu expected revenue selama sisa waktu [t,T+1], jika tiket yang tersisa saat itu (event ke-t) untuk penerbangan A sebanyak nA dan untuk penerbangan B sebanyak nB. Maka total expected revenue merupakan revenue yang dapat diperoleh saat awal selling horizon (t=0), jika tiket belum ada yang terjual sama sekali, R0(CA+vA,CB+vB).
3.1 Model pada event T+1
Event T+1 merupakan event yang terjadi setelah selling horizon berakhir, yaitu saat keberangkatan penerbangan A maupun penerbangan B. Pada saat itu, yang dimungkinkan terjadi hanyalah adanya kustomer yang tidak datang atau no-show customer. Tidak ada pertambahan pendapatan untuk maskapai penerbangan, namun timbul dua macam biaya.
Biaya yang timbul adalah biaya refund untuk no-show customers, serta overbooking penalty jika kustomer yang datang melebihi kapasitas kursi pesawat yang tersedia. Biaya yang mungkin terjadi ini akan mengurangi perolehan total expected revenue kedua penerbangan.
Sehingga fungsi expected revenue pada event T+1 adalah sebagai berikut :
( )
[ ( ( )) ( ( ))
( ( )) ( ( )) ],...(1) [ (( ) ( )
)]
[ (( ) ( ) )]
,( ) ( ) ( )-
,( ) ( ) ( )- ,
Max(0,CA - T + 1) ≤ nA ≤ CA + vA,
Max(0,CB - T + 1) ≤ nB ≤ CB +vB,…...( 2) ( ( )) dan ( ( )) secara berturut- turut merupakan total biaya overbooking yang dapat terjadi untuk penerbangan A dan penerbangan B. Perhitungan pada event T+1 dengan kombinasi sisa tiket nA dan nB, akan digunakan untuk perhitungan pada event sebelumnya. Perlu dilakukan perhitungan pada
5 event T+1 dengan berbagai macam kombinasi
sisa tiket yang mungkin terjadi saat itu.
3.2 Model pada event t < T+1
Event t < T + 1 merupakan events yang terjadinya selama selling horizon. Pada saat itu, jika tiket masih tersisa, maka maskapai penerbangan masih dapat menjual kursi yang tersisa tersebut dengan harga yang optimal.
Selain itu pada event t < T + 1, dimungkinkan juga terjadi pembatalan pemesanan oleh kustomer yang telah membeli tiket sebelumnya.
Kustomer yang melakukan pembatalan ini akan diberikan refund oleh maskapai penerbangan.
Untuk menghitung expected revenue serta optimal joint pricing pada event t (t < T + 1), maka diperlukan hasil perhitungan expected revenue pada event setelahnya, yaitu event t + 1.
Terdapat 4 macam keadaan yang merepresentasikan keadaan sisa kursi yang berbeda, sehingga masing-masing memerlukan formulasi yang berbeda. Berikut ini formulasi expected revenue pada event t, pada 4 macam keadaan yang berbeda.
Keadaan 1 : Jika nA = nB = 0, pada kasus ini, jumlah tiket yang terpesan untuk kedua penerbangan telah mencapai batas overbooking maksimal. Sehingga tidak perlu dicari optimal pricing, dan tidak ada pertambahan pendapatan bagi perhitungan expected revenue dalam keadaan ini. Namun pembatalan masih dapat terjadi saat itu. Berikut ini fungsi expected revenue untuk keadaan 1.
( )
( ) , ( ) - ( ) , ( ) - [ ( ) (
) ] ( ),...(3) Keadaan 2 : Jika nA = 0, nB > 0, pada kasus ini, hanya penerbangan B yang masih menyisakan tiket untuk dijual. Sedangkan penerbangan A telah menjual seluruh tiketnya hingga batas maksimal overbooking. Sehingga pada keadaan ini, akan dihitung expected revenue dan ditentukan optimal pricing untuk penerbangan B (pB). Pada kasus ini, jika ada kustomer tipe III yang datang, akan langsung memilih penerbangan B, karena tiket penerbangan A sudah habis.
( )
*( ) ̅ ( ) ,
( )- ( ) ̅ ( )[
( )](
) , ( ) - ( ) , ( ) - [ ( ) ̅ ( ) ( ) ̅ ( ) ( )
(
) ] ( )+,...(4) Keadaan 3 : Jika n1 > 0, n2 = 0, pada kasus ini, hanya penerbangan A yang masih menyisakan tiket untuk dijual. Sedangkan penerbangan B telah menjual seluruh tiketnya hingga batas maksimal overbooking. Sehingga pada keadaan ini, akan dihitung expected revenue dan ditentukan optimal pricing untuk penerbangan A (pA). Pada kasus ini, jika ada kustomer tipe III yang datang, akan langsung memilih penerbangan A karena tiket untuk penerbangan B telah terjual habis hingga batas overbooking.
( )
*( ) ̅ ( ),
( )- ( ) ̅ ( )[
( )]
( ) , ( ) - ( ) , ( ) -
[ ( ) ̅ ( ) ( ) ̅ ( ) ( ) (
) ] ( )+,...……...(5) Keadaan 4 : Jika n1 > 0, n2 > 0, pada kasus ini tiket kursi yang terjual untuk kedua penerbangan masih belum mencapai batas overbooking. Maskapai penerbangan masih dapat memperoleh pendapatan dari keduanya.
Sehingga harus ditentukan optimal joint pricing untuk kedua penerbangan.
( )
{( ( )
( ) ) ̅ ( ), ( )- ( ( )
( )( ) ) ̅ ( ),
6
( )- ( ) ̅ ( )[
( )]
( ) ̅ ( )[ ( )]
( ) , ( ) - ( ) , ( ) - [ ( ( )
( ) ) ̅ ( ) (
( )
( )( ) ) ̅ ( ) ( ) ̅ ( ) ( ) ̅ ( ) ( ) (
) ] ( )+,...(5) 4. Perhitungan Batas Overbooking yang
Optimal
Dengan mengetahui pengaruh tingkat overbooking terhadap total expected revenue untuk kedua penerbangan paralel, maka dapat dicari tingkat overbooking yang optimal untuk diberlakukan selama selling horizon. Gambar 4.1 merupakan flowchart untuk mencari tingkat overbooking yang optimal bagi kedua penerbangan paralel.
Gambar 1. Flowchart Perhitungan Batas Overbooking yang optimal
Pada keadaan tertentu overbooking dapat meningkatkan pendapatan bagi maskapai
penerbangan. Namun tingkat overbooking pada suatu titik
tertentu akan mencapai keadaan optimal, sehingga jika ditambahkan lagi justru tidak dapat memaksimalkan pendapatan. Hal ini dikarenakan jika jumlah overbooking yang diperbolehkan terlalu banyak, akan beresiko menimbulkan biaya overbooking penalty yang terlalu besar bagi maskapai penerbangan.
5. Percobaan Numerik
Untuk menguji model yang telah dikembangkan dilakukan percobaan numerik dengan parameter awal sebagai berikut :
Untuk menguji model yang telah dikembangkan dilakukan percobaan numerik dengan parameter awal sebagai berikut : kapasitas kursi untuk kedua penerbangan sama, C1 = C2 = 30. Tiket dapat dijual dengan enam alternatif harga tiket dan satu harga tiket penuh untuk flexible class. Harga tiket penuh (100%) sebesar Rp.1.200.000,00,-. Sedangkan enam alternatif harga diskon lainnya terhadap harga tiket penuh berturut-turut sebesar 90%, 80%, 60%, 52%, 46%, dan 42%. Peluang bahwa kustomer mau menerima untuk membeli dengan harga-harga tersebut berubah sesuai dengan waktu yang dapat dilihat pada tabel 1. Selain itu, periode kenaikan kelas harga tiket dapat dilihat pada Tabel 2. Selling horizon dibagi menjadi T = 270 events. Tingkat kedatangan kustomer ditentukan sebesar λ = 200/T = 0.74, dimana proporsi untuk kustomer tipe I, II, dan III adalah (α1, α2, α3) = (31,5%, 31,5%, 37%).
Peluang kustumer tipe 1 dan 2 untuk memilih flexible class adalah 0,3. Ketika harga sama untuk kedua penerbangan, maka dengan peluang β = 0.4, kustomer tipe III akan memilih penerbangan A. Tingkat cancellation per kustomer untuk penerbangan A dan penerbangan B sama, sebesar 0.001. Kustomer yang telah memiliki tiket penerbangan berpeluang sebesar γ = 0.1 untuk tidak hadir saat keberangkatan (no-show customer). Biaya refund untuk cancellations ditetapkan sebesar 30% terhadap harga tiket penuh, sedangkan untuk no-shows sebesar 20% terhadap harga tiket penuh. Biaya untuk overbooking penalty sebesar 200% terhadap harga tiket penuh per kustomer. Sebagai parameter awal, tidak ada Overbooking untuk kedua penerbangan. Karena pada tiap percobaan akan dicari overbooking limit yang optimal.
Pada percobaan numerik, selain total expected revenue, digunakan performance
7 indicator sebagai berikut : expected rate of
occupied seats (ROS), yang menunjukkan utilisasi kapasitas kursi pesawat, serta average selling price (ASP), yang menunjukkan rata-rata harga tiket optimal yang dijual.
Tabel 1. Peluang kustomer mau menerima harga yang ditawarkan
Kelas Harga Waktu sebelum keberangkatan (Selling Horison-t)
0 38 76 114 152 190 228 266
42% dari full price 0,95 0,87 0,83 0,80 0,67 0,52 0,44 0,321
46% dari full price 0,81 0,78 0,76 0,72 0,55 0,45 0,30 0,232
52% dari full price 0,66 0,64 0,63 0,56 0,46 0,35 0,23 0,178
60% dari full price 0,55 0,54 0,52 0,41 0,34 0,24 0,19 0,117
80% dari full price 0,50 0,45 0,37 0,28 0,19 0,13 0,08 0,047
90% dari full price 0,45 0,37 0,28 0,19 0,13 0,08 0,04 0,031
Tabel 2. Periode kenaikan kelas harga
Kelas Harga Periode Kenaikan Kelas Harga (t sebelum keberangkatan)
Kelas 1 (90% dari full price) 1
Kelas 2 (80% dari full price) 3
Kelas 3 (60% dari full price) 7
Kelas 4 (52% dari full price) 14 Kelas 5 (46% dari full price) 21
5.1 Percobaan Numerik Model (i)
Percobaan ini merupakan percobaan numerik untuk model joint dynamic pricing berbasis persediaan. Percobaan untuk model ini akan digunakan sebagai pembanding pada percobaan numerik model joint dynamic pricing berbasis persediaan dan waktu (model i,t). Hasil percobaan numerik untuk model ini dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Hasil percobaan model (i) tanpa overbooking, cancellation dan no-show
Expectation Revenue
Flight A Flight B
Rp 31.440.242 Rp 31.227.140 Total Expectation Revenue
Rp 62.667.382
Rate of Occupied Seats Average Selling Price
89,7% Rp 1.009.002
Flight A Flight B Flight A Flight B 89,7 89,7 Rp 1.013.398 Rp 1.004.645
5.2 Percobaan Numerik Model (i,t)
Pada percobaan ini dilakukan percobaan numerik untuk model joint dynamic pricing berbasis persediaan dan waktu yang dikembangkan. Percobaan numerik dilakukan untuk kondisi tanpa overbooking, cancellation dan no-show dengan parameter yang sama dengan percobaan numerik untuk model (i).
Hasil percobaan numerik untuk model ini dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Hasil percobaan model (i,t) tanpa overbooking, cancellation dan no-show
Expectation Revenue
Flight A Flight B
Rp 32.466.938 Rp 32.414.242 Total Expectation Revenue
Rp 64.881.180
Rate of Occupied Seats Average Selling Price
89,59% Rp 1.022.823
Flight A Flight B Flight A Flight B 89,57% 89,60% Rp 1.023.117 Rp 1.022.529
5.3 Percobaan Numerik Model (i,t) dengan variasi periode kenaikan kelas
Pada percobaan numerik ini dilakukan percobaan numerik untuk periode kenaikan harga kelas yang berbeda-beda. Dilakukan 6 percobaan yang berbeda dengan parameter periode kenaikan harga kelas yang dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan hasil percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7 di bawah ini.
Tabel 5. Parameter periode kenaikan harga kelas untuk tiap percobaan
Kelas Harga
Periode Kenaikan Kelas Harga (t sebelum keberangkatan)
Perco baan 1
Perco baan 2
Perco baan 3
Perco baan 4
Perco baan 5
Perco baan 6
1 1 1 1 1 1 1
2 3 2 3 7 7 14
3 5 3 7 14 14 30
4 7 7 14 21 30 60
5 10 14 21 30 60 90
Tabel 6. Ekspektasi pendapatan hasil percobaan Percobaan Total
Pendapatan
Pendapatan Flight A
Pendapatan Flight B 1 Rp 64.818.638 Rp 32.432.932 Rp 32.385.706 2 Rp 64.803.288 Rp 32.424.172 Rp 32.379.116 3 Rp 64.881.180 Rp 32.466.938 Rp 32.414.242 4 Rp 64.729.406 Rp 32.407.502 Rp 32.321.904 5 Rp 64.677.252 Rp 32.368.450 Rp 32.308.802 6 Rp 64.077.316 Rp 32.050.878 Rp 32.026.438 Tabel 1. Nilai ROS dan ASP kedua penerbangan
hasil percobaan
Percobaan ROS A ROS B ASP A ASP B 1 89,19% 89,11% Rp1.022.623 Rp1.022.235 2 89,50% 89,52% Rp1.022.368 Rp1.022.106 3 89,57% 89,60% Rp1.023.117 Rp1.022.529 4 89,42% 89,47% Rp1.024.902 Rp1.023.577 5 89,32% 89,37% Rp1.025.827 Rp1.024.227 6 89,19% 89,14% Rp1.029.488 Rp1.027.303
Hasil percobaan ini juga ditampilkan pada grafik-grafik di bawah ini, untuk melihat pola yang terjadi dengan adanya perubahan pada periode kenaikan harga kelas.
8 Gambar 2. Grafik perubahan pendapatan hasil
percobaan
Gambar 3. Grafik perubahan pendapatan kedua penerbangan hasil percobaan
Gambar 4. Grafik perubahan rate of occupied seats hasil percobaan
Gambar 5. Grafik perubahan average selling price hasil percobaan
5.4 Percobaan Numerik Model (i,t) dengan kondisi Overbooking, Cancellation, dan No-show
Pada percobaan ini, model yang digunakan adalah model joint dynamic pricing yang dikembangkan yaitu model joint dynamic pricing berbasis persediaan dan waktu yang telah mengakomodasi adanya overbooking,
cancellation, dan no-show. Percobaan numerik dilakukan untuk perubahan beberapa parameter input yaitu tingkat overbooking penalty, tingkat cancellation dan peluang no-show yang berbeda-beda.
5.4.1 Percobaan Numerik Overbooking Penalty Pada percobaan numerik ini dilakukan percobaan untuk parameter tingkat overbooking penalty yang berbeda-beda. Untuk masing- masing nilai parameter overbooking penalty akan dicari batas overbooking limit yang optimal. Tabel 8 menunjukkan perhitungan untuk mencari overbooking limit yang optimal untuk parameter overbooking penalty = 200%
dari harga tiket penuh. Nilai total ekspektasi pendapatan mengalami penurunan ketika overbooking limit penerbangan A ditambah menjadi 4 tiket. Maka keadaan optimal adalah menetapkan batas 3 tiket overbooking untuk penerbangan A. Demikian juga untuk penerbangan B, ketika batas overbooking ditambah menjadi 4 tiket, terjadi penurunan total expected revenue. Maka batas 3 tiket overbooking merupakan kondisi optimal untuk penerbangan B.
Tabel 2.Perhitungan optimal overbooking limit untuk parameter overbooking penalty 200% dari full price
Overbooking Limit Total Ekspektasi Pendapatan Flight 1 Flight 2
0 0 Rp 64.881.180
1 0 Rp 65.324.042
2 0 Rp 65.669.746
3 0 Rp 65.938.786
4 0 Rp 65.911.006
3 1 Rp 66.310.436
3 2 Rp 66.665.148
3 3 Rp 67.032.254
3 4 Rp 66.952.400
Hasil percobaan numerik untuk parameter tingkat overbooking penalty yang berbeda-beda ini dapat dilihat pada Gambar 6 hingga Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 6 Grafik optimal overbooking limit untuk tingkat overbooking penalty yang berbeda-beda
9 Gambar 7. Grafik perubahan total pendapatan untuk
tingkat overbooking penalty yang berbeda-beda
Gambar 8. Grafik perubahan total pendapatan masing-masing maskapai untuk tingkat overbooking
penalty yang berbeda-beda
Gambar 9. Grafik perubahan rate of occupied seats (ROS) untuk tingkat overbooking penalty yang
berbeda-beda
Gambar 10 Grafik perubahan average sellling price (ASP) untuk tingkat overbooking penalty yang
berbeda-beda
5.4.2 Percobaan Numerik Probability No Show
Pada percobaan numerik ini dilakukan percobaan untuk nilai parameter peluang no- show yang berbeda-beda. Percobaan ini dilakukan untuk 2 keadaan yaitu keadaan tanpa overbooking dan keadaan overbooking. Pada keadaan overbooking, akan dicari overbooking limit yang optimal untuk setiap nilai parameternya. Hasil percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 11 hingga Gambar 14 di bawah ini.
Gambar 11. Grafik perubahan ekspektasi pendapatan untuk tingkat probability no-show yang berbeda-beda
Gambar 12. Grafik overbooking limit untuk tingkat probability no-show yang berbeda-beda
Gambar 13. Grafik perubahan average selling price (ASP) untuk tingkat probability no-show yang
berbeda-beda
10 Gambar 14. Grafik perubahan rate of occupied seats
(ROS) untuk tingkat probability no-show yang berbeda-beda
5.4.3 Percobaan Numerik Cancellation
Pada percobaan numerik ini dilakukan percobaan untuk nilai parameter peluang cancellation yang berbeda-beda. Percobaan ini dilakukan untuk 2 keadaan yaitu keadaan tanpa overbooking dan keadaan overbooking. Pada keadaan overbooking, untuk setiap nilai parameternya akan dicari overbooking limit yang optimal. Hasil percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 15 hingga Gambar 18 di bawah ini.
Gambar 15. Grafik perubahan ekspektasi pendapatan untuk tingkat probability cancellation yang berbeda-
beda
Gambar 16. Grafik overbooking limit untuk tingkat probability cancellation yang berbeda-beda
Gambar 17. Grafik perubahan rate of occupied seats untuk tingkat probability cancellation yang berbeda-
beda
Gambar 18. Grafik perubahan average selling price untuk tingkat probability cancellation yang berbeda-
beda 6. Kesimpulan
Pada penelitian ini telah dilakukan pengembangan model joint dynamic pricing berbasis waktu dan persediaan kursi untuk dua penerbangan paralel dengan mempertimbangkan overbooking, cancellation, serta no-show passengers. Model joint dynamic pricing berbasis waktu dan persediaan kursi (model i,t) memberikan hasil total ekspektasi pendapatan dan average selling price (ASP) yang lebih tinggi dibandingkan dengan model joint dynamic pricing berbasis persediaan kursi (model i). Sedangkan nilai rate of occupied seat (ROS) pada model (i,t) lebih rendah dibandingkan dengan model (i) walaupun tidak berbeda secara signifikan. Selain itu, adanya kebijakan overbooking akan menambah ekspektasi pendapatan pada dua penerbangan seiring dengan meningkatnya nilai rate of occupied seat (ROS) walaupun nilai average selling price-nya menurun.
7. Daftar Pustaka
Belobaba, P. (1987). Air travel demand and airline seat inventory management.
Massachusset Institute of technology.
11 Cambrige. MA: Ph.D Thesis. flight
transportation laboratory.
Chatwin R E. (2000). Optimal dynamic pricing of perishable products with stochastic demand and a finite set of prices. European Journal of Operational Research, (125): 149–
174.
Chopra, S., Meindl, P., (2001). Supply Chain Management : Strategy, Planning, and Operations. London : Prentice Hall.
Cross, R. G. (1997) Revenue Management:
Hard-Core Tactics for Market Domination.
New York: Broadway Books.
Feng Y, Xiao B. (2000). A continuous-time yield management model with multiple prices and reversible price changes. Management Science, 46(5): 644–657.
Gallego G, Van Ryzin G J. (1997). A multi- product, multi-resource pricing problem and its applications to network yield management. Operations Research, 45(1):
24–41.
Li Luo, Hua Peng-Ji. (2007). Dynamic Pricing Model for Airline Revenue Management under Competition. Systems Engineering - Theory & Practice, 27(11): 15–25.
Mariana, Dira. (2010). Model Dynamic programming Untuk Penentuan Alokasi Kursi Penerbangan Optimal Bagi Dua Penerbangan Paralel Dengan Mempertimbangkan Tingkat Pembatalan Penumpang. Thesis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Pradana, Hilman. (2010). Model dynamic pricing untuk dua penerbangan pararel dengan memperhatikan kondisi overbooking, cancellations dan no-show. Tugas Akhir.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Surabaya.
Rusdiansyah, dkk (2011). Joint dynamic pricing model for two parallel flights considering overbooking, cancellations, and no-show customers. Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol.9, 2011.
Subramanian, J., Stidham, J.R., Lauthenbacker, C.J. (1999). Airline yield management with overbooking, cancellation, and no show.
Transportation science , vol. 33 no. 2 . Suzuki, Y. (2006). Net Benefit of Airline
Overbooking. Transportation Research , Part E no. 42 . 1-19.
Tallury, Kalyan T., Van Ryzin. (2004). Revenue management under a general discrete choice
model of consumer behavior. Management science , vol. 50. No. I. pp. 15-33.
Tallury, Kaylan T., Van Ryzin. G. (2004). The theory and practice of revenue management.
Boston: kluwer academic publisher.
Wang, S. (2001). A hybrid threshold curve model for optimal yield management : neural networks and dynamic programming.
Computer and Industrial Engineering vol. 40 pp. 161-173.
Xiao, Y.B., Chen, J., LIU, X. L.;. (2008). Joint dynamic pricing for two paralel flight based on passenger choice bahavior. System Engineering Theory & practice , vol. 28 pp.
46-55.
Zhang, D. and W. Cooper (2005). Revenue management for parallel flights with customer-choice behavior. Operations Research 53(3): 415-431.
Zhao W, Zheng Y S. (2000). Optimal dynamic pricing for perishable assets with non- homogeneous demand. Management Science, 46: 375–388.