• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: FATF, Pencucian Uang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kata kunci: FATF, Pencucian Uang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN REKOMENDASI FINANCIAL ACTION TASK FORCE ON MONEY LAUNDERING DALAM REZIM ANTI

PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Adhika Widagdho Putro

Abstrak

Financial Action Task Force on Money laundering (FATF), dibentuk sebagai suatu gugus tugas dengan tugas menyusun rekomendasi internasional untuk memerangi money laundering. FATF merupakan intergovernmental body sekaligus suatu policy-making body yang berisikan para pakar di bidang hukum, keuangan dan penegakan hukum yang membantu yurisdiksi negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia sendiri tidak dapat dilepaskan dari peran FATF itu sendiri, yang mana Indonesia dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF pada bulan Juni 200. Penelitian ini akan membahas mengenai rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering dan penerapannya dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia. Adapun metodologi yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif melalui bahan-bahan kepustakaan, dokumen dan literatur.

Kata kunci:

FATF, Pencucian Uang

Pendahuluan

Semua bisnis tentunya memerlukan uang dan aset untuk menjalankan dan mengembangkan usahanya sehingga dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Hal yang sama juga berlaku dalam criminal business yang dijalankan oleh suatu sindikat atau organized criminal group. Semakin besar jumlah uang yang diperoleh dari hasil kejahatan, semakin berkuasa pula sindikat tersebut dan kesempatan untuk memperluas jaringannya juga semakin besar1.

1 Jeann Mandagi, “Pemutihan Uang Asal Kejahatan (Money Laundering),” dalam Kejahatan Berdimensi Baru, Bagian II: Kejahatan Terorganisasi, disunting oleh Daan Sabadian dan Kunarto, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), hal. 271-272.

(2)

Agar dana yang diperoleh dari hasil kejahatan itu sulit untuk dilacak oleh aparat penegak hukum, maka para pelakunya tidak langsung menggunakan dana tersebut. Pada umumnya, mereka terlebih dahulu menyamarkan dana hasil kejahatan tersebut. Dengan segala cara mereka berusaha untuk memutihkan atau mencuci uang hasil kejahatan tersebut, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Setelah uang tersebut dibersihkan, maka barulah mereka dapat menikmati uang tersebut secara terbuka, atau memutar uang tersebut sebagai modal bisnis kejahatan yang mereka lakukan, atau bahkan mengembangkannya melalui suatu bisnis yang legal untuk menyamarkan bisnis kejahatan yang sebenarnya mereka lakukan.

Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana yang diperoleh dari tindak pidana disebut pencucian uang atau yang juga dikenal dengan istilah money laundering2. Pencucian uang dimasukkan dalam kategori kejahatan, pertama kali dikenal di Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Istilah “money laundering” ditujukan pertama kali pada tindakan mafia yang mempergunakan uang hasil kejahatan yang berasal dari pemerasan, penjualan ilegal minuman keras dan perjudian serta pelacuran, membeli perusahaan pencucian pakaian (laundramat). Pembelian ini bertujuan mencampur uang hasil kejahatan dengan bisnis yang bersih, untuk menyamarkannya3.

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, dewasa ini bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang dikarenakan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dengan adanya globalisasi perbankan, maka melalusi sistem perbankan dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan prinsip kerahasiaan bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh dunia perbankan. Melalui mekanisme ini maka dana hasil kejahatan bergerak dari satu negara ke negara lainnya yang belum memiliki sistem hukum yang cukup kuat untuk menanggulangi permasalahan kegiatan pencucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank secara ketat.

2 Yunus Husein, “Kegiatan Pemutihan Uang (Money Laudering),” (Makalah disampaikan pada Arthur Andersen Money Laundering Executive Seminar, Jakarta, 20 Maret 2011), hal. 1.

3 Michael A. De Feo, “Depriving International Narcotics Traffickers and Other Organized Criminals of Illegal Proceeds and Combating Money laundering”, Den. J. Int’l L & Pol’y, vol 18:3, (1990), hal. 405.

(3)

Kegiatan pencucian uang kini telah melewati batas-batas yurisdiksi negara-negara. Para pelaku kejahatan berbondong-bondong mencuci uang hasil kejahatannya di negara-negara yang menawarkan tingkat rahasia pebankan yang tinggi atau menggunakan bermacam mekanisme keuangan dimana uang dapat bergerak melalui bank, money transmitter, kegiatan usaha bahkan dapat dikirim ke luar negeri sehingga menjadi clean-laundered money4.

Dalam menyusun definisi pencucian uang, sedikitnya ada empat pengertian, antara lain5: 1. Money laundering can be defined simply as a product of drug trafficking. This method

creates a direct link between money laundering and drug trafficking.

2. Money laundering can be alternatively be seen as a product of various crimes, including, but not limited to, drug trafficking. Such a definition could (and perhaps should) include an enumeration of special crimes like counterfeiting, robbery, extortion and terrorism.

3. A third method would be to make money laundering a crime, not in the context of drug trafficking or enumerated, special crimes, but as a result of money laundering itself. In other words, whoever deals with money or other assets that he knows or must assume are the product of a crime meets the legal definition.

4. A fourth possibility is to include as money laundering any action by which somebody acquires, keeps, and/or maintains money or other assets that he knows or should know belongs to a criminal organization. Money laundering is not one of the most frequent activities of and impetus for criminal organization.

Dalam United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances 1988 (Vienna Convention 1988) yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997, istilah money laundering diartikan dalam Pasal 3 ayat (1) sebagai berikut:

"the conversion or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of

4 Yunus Husein, “Money Laundering and Asset Forfeiture in Indonesia,” (Makalah disampaikan pada The Forfeiting The Proceeds of Crime Seminar from The Asset Forfeiture and Money Laundering Section of The United States Department of Justice, Bangkok, Thailand, 15-18 Mei 2001, hal.1.

5 Lutz Krauskopf, "Comment on Switzerland's Insider Trading, Money Laundering, and Banking Secrecy Laws", International Tax and Business Law, (1987), hal. 286-287.

(4)

assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property; knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such offence or offences"

Tujuan pencucian uang adalah memberikan legitimasi pada dana yang diperoleh secara melawan hukum. Pada dasarnya, tidak ada sistem pencucian uang yang sama, namun pada umumnya proses pencucian uang terdiri dari tiga tahap yaitu6:

1. Placement 2. Layering 3. Integration.

Placement merupakan tahap permulaan, mengubah uang hasil kejahatan ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaaan, misalnya memasukkannya ke dalam deposito pada bank, polis asuransi atau membeli rumah, kapal pesiar dan perhiasan7. Pada tahap inilah pencucian uang paling mudah dideteksi karena uang hasil kejahatan berhubungan langsung dengan sumbernya. Berbagai negara memusatkan pemberantasan pencucian uang pada tahap ini.

Layering merupakan tahap pelapisan dimana pelaku menjalankan transaksi yang berlapis dan anonimitas. Pada umumnya pelaku menggunakan "wire transfer" melalui berbagai rekening, uang dapat dikirim ke berbagai negara, sehingga sangat sulit untuk melacak asal muasal dana tersebut8.

Integration merupakan tahap dimana pelaku memasukkan kembali dana yang tidak tampak lagi asal-usul aslinya ke dalam transaksi yang sah, sehingga tidak dapat teridentifikasi sebenarnya dana tersebut semula berasal dari tindakan ilegal. Integration dilakukan dalam bentuk penjualan kembali saham, rumah, kapal atau perhiasan tadi9.

6 Nicholas Clark, "The Impact of Recent Money Laundering Legislation on Financial Intermediaries," Dick J. Int'l L, vol. 14, hal. 470.

7 Daniel Mulligan, "Know Your Customer Regulations and The International Banking system : Towards A General Self Regulatory Regime", Fordham International Law Journal, vol. 22, 1999, hal. 2330.

8 Robert E. Taylor, "Ex-Smuggler Tells of Huge Profits Laundered, Placed at Major Banks", Wall Street Journal, (12 Februari, 1988), hal. 4.

9 Ibid.

(5)

Upaya masyarakat internasional untuk memerangi money laundering sesungguhnya telah berlangsung sejak lama. Amerika Serikat misalnya, merupakan salah satu negara pertama yang mengambil inisiatif memerangi money laundering sejak tahun 1930. Amerika Serikat pada saat itu berhadapan dengan Al Capone yang menguasai bisnis hitam perdagangan obat bius, perdagangan gelap minuman keras, prostitusi dan perjudian. Ia merupakan penjahat terbesar yang tidak saja dikenal di Amerika Serikat, tetapi juga di dunia karena memiliki jaringan di banyak negara10.

Pada saat itu masyarakat internasional belum memiliki perangkat hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk memerangi kejahatan money laundering secara sporadis.

Dewasa ini, Amerika Serikat memiliki Racketeer Influenced and Corrupt Organizations Act (RICO) yang merupakan hukum federal negara Amerika Serikat yang dikembangkan khusus untuk mengatasi kejahatan terorganisir. RICO digunakan sebagai alat penyelidikan oleh aparat penegak hukum di Amerika Serikat terhadap semua jenis organisasi, termasuk geng, pengedar narkoba dan bahkan bisnis yang legal11.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional pertama yang mengambil gagasan untuk menyusun perangkat hukum internasional memerangi money laundering. Lahirnya rezim hukum internasional untuk memerangi kejahatan pencucian uang dengan dikeluarkannya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances 1988 (Vienna Convention 1988), dimulai pada saat masyarakat internasional merasa frustrasi dalam memberantas kejahatan perdagangan gelap obat bius12. Hal ini dapat dimengerti mengingat obyek yang diperangi adalah organized crime yang memiliki struktur organisasi yang solid dengan pembagian wewenang yang jelas, sumber pendanaan yang sangat kuat dan memiliki jaringan kerja yang melintasi batas negara. Rezim hukum internasional anti pencucian uang dapat dikatakan merupakan langkah maju ke depan dengan strategi yang

10 Yunus Husein, "Telaah penyebab Indonesia Masuk dalam List Non-cooperative Countries And Teritories Oleh FATF on Money Laundering", Makalah disampaikan dalam Seminar "Money Laundering (Pencucian Uang) Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Ekonomi", Jakarta, 23 Agustus 2001, hal. 21-22.

11 http://www.law.cornell.edu/uscode/text/18/part-I/chapter-96, diakses pada tanggal 12 Maret 2012.

12 Yunus Husein, op .cit, hal. 23

(6)

tidak lagi difokuskan pada kejahatan obat biusnya dan menangkap pelakunya, tetapi diarahkan pada upaya memberangus hasil kejahatannya.

Andrew Haynes mengatakan bahwa alasan sederhana dari paradigma baru ini adalah bahwa menghilangkan nafsu dan motivasi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan, dapat dilakukan dengan menghalanginya untuk menikmati hasil atau buah dari kejahatannya13. Dengan demikian, lahirnya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances 1988 (Vienna Convention 1988), dipandang sebagai tonggak sejarah dan titik puncak dari perhatian masyarakat internasional untuk menetapkan rezim hukum internasional anti pencucian uang. Pada pokoknya, rezim ini dibentuk untuk memerangi drug trafficking yang sudah mencapai titik nadir dan mendorong agar semua negara yang telah meratifikasi segera melakukan kriminalisasi atas kegiatan pencucian uang. Disamping itu Vienna Convention 1988 juga berupaya untuk mengatur infrastruktur yang mencakup persoalan hubungan internasional, penetapan norma-norma, peraturan dan prosedur yang disepakati dalam rangka menyusun regulasi anti pencucian uang.

Upaya internasional lainnya yang cukup monumental adalah pada tahun 1989 yaitu pada saat negara-negara yang tergabung dalam G-7 countries14 menyepakati dibentuknya the Financial Action Task Force on Money laundering (FATF), sebagai suatu gugus tugas dengan tugas menyusun rekomendasi internasional untuk memerangi money laundering. FATF merupakan intergovernmental body sekaligus suatu policy-making body yang berisikan para pakar di bidang hukum, keuangan dan penegakan hukum yang membantu yurisdiksi negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Pada saat ini keanggotaan FATF berjumlah 34 negara dan teritori, ditambah 2 organisasi regional15. FATF melakukan kerjasama dengan beberapa badan dan organisasi internasional antara lain ADB (Asian Development Bank), IMF (International Monetary Fund), Interpol, IOSCO (International Organization of Securities

13 Andrew Haynes, "Money Laundering: The FSA Moves In", Journal of Money Laundering Control, Vol.

4 Iss: 3,hal. 226 - 230.

14 Negara-Negara anggota G-7 Countries terdiri dari Amerika Serikat, Jerman, Italia, Jepang, Perancis, Inggris, dan Kanada.

15"FATF Members and Observers", http:// http://www.fatf- gafi.org/pages/aboutus/membersandobservers/#d.en.3147, diakses tanggal 12 Maret 2012.

(7)

Commissions), serta APG (Asia Pacific Group on Money laundering), dan Council of Europe MONEYVAL.

Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia sendiri tidak dapat dilepaskan dari peran FATF itu sendiri, yang mana Indonesia dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF pada bulan Juni 200116. Konsekuensi dari masuknya Indonesia sebagai salah satu negara yang tidak kooperatif di dalam upaya pemberantasan pencucian uang adalah dikucilkannya Indonesia dari pergaulan internasional.

Dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar tersebut, membuat Pemerintah Indonesia segera mengambil langkah-langkah strategis yaitu diantaranya menyusun Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebuah institusi dengan tugas pokok melakukan koordinasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang pembentukannya didasarkan kepada rekomendasi dari FATF.

Pembahasan

Tidak dapat dipungkiri bahwa inisiatif pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masuknya Indonesia ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF (Financial Action Task Force on money laundering) pada bulan Juni 2001. Dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar itu, membuat Pemerintah Indonesia segera mengambil langkah-langkah strategis yaitu diantaranya menyusun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), dan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebuah institusi dengan tugas pokok melakukan koordinasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.17

Langkah-langkah tersebut selanjutnya diikuti dengan berbagai kebijakan yang meliputi penguatan kerangka hukum (legal framework), peningkatan pengawasan di sektor keuangan khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan UU TPPU, operasionalisasi PPATK sebagai

16 http://www.fatf-gafi.org/topics/high-riskandnon-cooperativejurisdictions/, diakses pada tangga 12 Maret 2012.

17 Yunus Husein, “Telaah Penyebab Indonesia Masuk Dalam List Non Cooperative Countries And Territories Oleh FATF On Money Laundering.” (Makalah disampaikan pada Seminar Money Laundering Ditinjau Dari Perspektif Hukum Dan Ekonomi, Jakarta, 23 Agustus 2001), hal.3.

(8)

Financial intelligence Unit (FIU), penguatan kerjasama antar lembaga domestik dan internasional, serta penegakan hukum.18

Masuknya Indonesia ke dalam daftar NCCTs tersebut disebabkan Indonesia dinilai memenuhi (fully met) 9 (sembilan) kriteria dan sebagian memenuhi (partially met) untuk 4 (empat) kriteria. Ketigabelas kriteria tersebut tersebar di seluruh 4 (empat) kelompok besar tersebut diatas, yang mengandung arti bahwa Indonesia mempunyai kelemahan di semua empat sektor tersebut. Diantara empat kelompok tersebut, Indonesia dinilai mempunyai kelemahan paling besar pada kelompok 1 dan 4 yaitu masih banyaknya celah pada pengaturan sektor industri keuangan (Loopholes in financial regulations) dan belum adanya sarana yang memadai dalam mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang (Inadequate resources for preventing and detecting money laundering activities). Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang diidentifikasi oleh FATF tersebut, secara garis besar kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :19

1. Belum adanya undang-undang yang mengkriminalisasi kejahatan pencucian uang;

2. Belum dibentuknya Financial Intelligence Unit (FIU);

3. Belum adanya kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan ke FIU;

4. Ketentuan mengenai Know Your Customer principles baru saja diperkenalkan, namun masih hanya yang terkait dengan sektor perbankan; dan

5. Kurangnya kerjasama internasional.

Sadar akan besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dengan masuknya Indonesia dalam daftar NCCTs tersebut membuat pemerintah Indonesia segera melakukan berbagai langkah perbaikan yang konkrit, khususnya dalam upaya mengatasi berbagai kelemahan yang disorot oleh FATF. Langkah tersebut diawali dengan disahkannya Undang-Undang No.15 Tahun

18 Ibid.

19 Review dilakukan melalui face-to-face meeting yang diadakan dalam rangkaian kegiatan pertemuan APG Annual Meeting di Brisbane, Australia. Face-to-face meeting membahas kebijakan Pemerintah termasuk perangkat peraturan perundang-undangan yang telah dimiliki Indonesia dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang.

Ibid., hal. 2.

(9)

2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada tanggal 17 April 2002. Beberapa hal pokok yang telah diatur dalam UU TPPU tersebut antara lain adalah:20

1. Secara tegas menyatakan bahwa pencucian uang adalah suatu kejahatan;

2. Memerintahkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai focal point dengan tugas pokok mengkoordinasikan langkah-langkah pemberantasan kejahatan pencucian uang;

3. Kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai dengan batasan Rp 500 juta dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari; dan

4. Pengecualian pelaksanaan kerahasiaan bank dalam rangka penerapan UU TPPU Telah diundangkannya UU TPPU tersebut menjadi tonggak awal dalam pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia.

Pada dasarnya, dimulainya rezim anti pencucian uang di Indonesia adalah ketika diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang. Sebelumnya pencucian uang di Indonesia belum dinyatakan sebagai suatu tindak pidana sehingga mengakibatkan Indonesia menjadi “surga” dan sasaran kegiatan pencucian uang. Di masa Orde Baru, yaitu ketika Soeharto masih berkuasa sebagai Presiden Republik Indonesia, Pemerintah pada waktu itu tidak pernah menyetujui untuk mengkriminalisasi pencucian uang. Alasannya adalah karena pelarangan pencucian uang di Indonesia hanya akan menghambat penanaman modal asing yang sangat diperlukan bagi pembangunan di Indonesia. 21

Ada beberapa faktor yang ikut mendorong maraknya kegiatan pencucian uang di Indonesia, antara lain:22

1. Indonesia menganut sistem devisa bebas 2. Sistem kerahasian bank

3. Belum memadainya perangkat hukum 4. Kebutuhan negara akan likuiditas modal.

20 Ibid.

21 Sjahdeini, op.cit., hal. 8.

22 Siahaan, op. cit., hal 44-46.

(10)

Sistem devisa bebas yang dianut di Indonesia memungkinkan tiap orang bebas untuk memasukkan atau membawa keluar valuta asing dari wilayah yuridiksi Indonesia sesuai dengan PP No 1 Tahun 1982. Sebelum keluarnya PP ini, ada ketentuan yang mengatur agar setiap devisa yang keluar masuk negara Indonesia harus di catat oleh Bank Indonesia sebagaimana yang digariskan dalam UU N0 32 tahun 1964. Berlakunya PP No 1 Tahun 1982 ini memang dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan dana bagi pembangunan nasional dengan mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, akan tetapi di sisi lain mengakibatkan dampak negatif yaitu maraknya kegiatan pencucian uang. Sistem devisa bebas ini memungkinkan berbagai cara pencucian uang melalui transaksi lintas negara dalam waktu singkat sehingga menyulitkan pihak berwenang yang ingin melacaknya.23

Setelah diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) pada tanggal 17 April 2002 yang kemudian diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terjadi perubahan besar dalam tata cara memandang dan menangani kegiatan pencucian uang di Indonesia. Perubahan yang pertama adalah keberlakuan UUTPPU ini telah menyatakan praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana, sehingga akan ada sanksi bagi orang-orang yang melakukan kegiatan ini. Perubahan yang kedua adalah dibentuknya unit independen yang akan berperan besar dalam pencegahan dan pemberantasan kegiatan pencucian uang di Indonesia yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).24

Pada dasarnya belum seluruh rekomendasi FATF sudah diimplementasikan ke dalam rezim anti pencucian uang di Indnoesia, namun disadari oleh FATF bahwa setiap negara memiliki sistem hukum dan sistem keuangan yang berbeda sehingga tidak semua negara dapat mengambil tindakan serupa. Oleh karena itu, rekomendasi tersebut hanya mengandung prinsip- prinsip untuk mengambil tindakan dalam bidang pemberantasan tindak pidana pencucian uang, agar negara-negara tersebut melakasanakannya sesuai dengan keadaan negara yang bersangkutan dan sesuai dengan kerangka konstitusional negara yang bersangkutan. Keadaan ini memungkinkan negara memiliki fleksibilitas dalam pelaksanaan rekomendasi FATF tersebut.

23 Ibid.

24 Husein, op. cit., hal 9.

(11)

Tindakan yang perlu diambil oleh negara yang bersangkutan tidaklah kompleks dan sulit, yang terpenting adalah political will untuk bertindak. Penerapan rekomendasi ini juga tidak diharapkan akan mengurangi keleluasaan untuk melakukan transaksi-transaksi yang legal atau mengancam pembangunan ekonomi nasional suatu negara.25

Penerapan Rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering Dalam Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia

Penerapan Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang

Pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia sendiri pada dasarnya ditujukan guna memenuhi Rekomendasi FATF, di mana dalam Rekomendasi 1 ditegaskan bahwa:

“Countries should criminalise money laundering on the basis of the United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (the Vienna Convention) and united Nations Convention against Transnational Organized Crime, 2000 (the Palermo Convention).

Kriminalisasi pencucian uang sendiri dalam rezim Hukum Internasional anti pencucian uang diatur dalam Pasal 3 United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (the Vienna Convention) dan Pasal 6 United Nations Convention against Transnational Organized Crime, 2000 (the Palermo Convention).

Dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia, kriminalisasi tindak pidana pencucian uang diimplementasikan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, kriminalisasi pencucian uang diatur dalam Pasal 2,3,4 dan 5. Pada pasal 2 UU No.8 Tahun 2010 diatur mengenai jenis-jenis predicate offences dalam tindak pidana pencucian uang. Hal ini merupakan upaya Pemerintah guna mengakomodir ketentuan Pasal 6 Palermo Convention yang meminta negara peserta konvensi untuk menngatur masalah predicate offences seluas mungkin.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan sarana untuk mewujudkan harapan banyak pihak sebagai hukum untuk mengantisipasi berbagai pola kejahatan yang mengarah pada kegiatan pencucian

25 Robert C. Effros (Ed), Op. Cit., hal. 378

(12)

uang. Adapun yang menjadi sasaran dalam UU TPPU ini adalah mencegah dan memberantas sistem atau proses pencucian uang dalam bentuk placement, layering dan integration.

Kemudian karena sasaran utama dalam kegiatan pencucian uang adalah lembaga keuangan bank maupun non bank, Rekomendasi FATF juga meminta adanya pengaturan terhadap lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Maka dari itu, sasaran pengaturan dari UUTPPU ini meliputi peranan-peranan aktif dari lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non bank untuk mengantisipasi kejahatan pencucian uang.26

Lembaga keuangan bank dan non bank diterminologikan dalam pengaturan UUTPPU dengan Penyedia Jasa Keuangan. Penyedia Jasa Keuangan diartikan sebagai penyedia jasa dalam bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos.27

Financial Intelligent Unit

Ketentuan mengenai Financial Intelligence Unit (FIU) diatur secara implisit dalam Rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yaitu dalam Rekomendasi FATF ke enambelas . FIU adalah lembaga permanen yang khusus menangani masalah pencucian uang. Lembaga ini merupakan salah satu infrastruktur terpenting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang di tiap negara. Keberadaan lembaga khusus ini mutlak ada dan memainkan peranan sangat strategis karena masalah pencucian uang merupakan persoalan yang cukup rumit, melibatkan organized crime yang memahami berbagai teknik dan modus kejahatan canggih. Penanganan isu pencucian uang menjadi bertambah berat terlebih karena karakteristik kejahatan ini pada umumnya dilakukan melewati batas-batas negara (crossborder).

Tugas pokok FIU secara garis besar menurut identifikasi yang dilakukan oleh EGMONT Group adalah sebagai berikut:28

26 Siahaan, op. cit., hal 48.

27 Ibid., Pasal 17

28 EGMONT Group adalah suatu forum yang keanggotaannya terdiri dari Financial Intelligence Unit (FIU) di seluruh dunia yang bertujuan antara lain mendorong kerjasama antara FIU, meningkatkan keahlian dan

(13)

1. menerima laporan suspicious transaction reports dan currency transaction reports dari pihak pelapor;

2. melakukan analisis atas laporan yang diterima dari pihak pelapor. Dalam kaitan tugas ini FIU mengeluarkan pedoman untuk mengidentifikasi transaksi yang wajib dilaporkan; dan 3. meneruskan hasil analisis laporan kepada pihak yang berwenang.

Secara kelembagaan PPATK dibentuk dengan diundangkannya UU No. 15 Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan selanjutnya diubah dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan adanya UU ini maka terjadi perubahan besar dalam cara memandang kegiatan pencucian uang di Indonesia. Selain pencucian uang dianggap sebagai tindak pidana, perubahan lainnya ialah dibentuknya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan lembaga independen yang akan berperan dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia.

PPATK ini memiliki kelembagaan yang independen, yang bebas dari campur tangan yang bersifat politik seperti Lembaga Negara, Penyelenggara Negara dan pihak lainnya. PPATK dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan untuk menolak campur tangan dari pihak manapun.

Prinsip ini dapat ditafsirkan dari ketentuan pasal 18 ayat (2) dan pasal 25 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2002.

PPATK yang merupakan lembaga independen yang bertanggungjawab kepada Presiden merupakan Financial Intelligent Unit dengan model administratif (administrative model).29 Model administratif ini lebih banyak berfungsi sebagai perantara antara masyarakat atau industri jasa keuangan dengan institusi penegak hukum. Laporan yang masuk dianalisis dahulu oleh lembaga ini kemudian dilaporkan ke institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.

Suatu financial intelligent unit biasanya melakukan beberapa tugas dan wewenang, yaitu tugas pengaturan sebagai regulator, melakukan kerjasama dalam rangka penegakkan hukum, bekerjasama dengan sektor keuangan, menganalisa laporan yang masuk, melakukan pengamanan keterampilan personil FIU. EGMONT Group saat ini terdiri atas 84 FIU. Indonesia dalam waktu dekat akan mengajukan diri sebagai anggota EGMONT Group.

29 Administrative model, dengan variasi: merupakan lembaga independen di bawah pemerintahan, seperti AUSTRAC, FINTRAC, FINCEN atau di bawah Bank Sentral seperti di Malaysia.

(14)

terhadap seluruh data dan aset yang ada, melakukan kerjasama internasional dan fungsi administrasi umum. PPATK sebagai suatu financial intelligent unit juga melaksanakan fungsi yang demikian.30

Untuk melaksanakan perannya sebagai financial intelligent unit dalam usaha pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia, PPATK diberikan tugas dan wewenang oleh UU No. 8/2010 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39, UU No. 8/2010 tugas utama PPATK adalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Tugas PPATK yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate crimes).

Kerjasama Internasional

Dalam bidang kerjasama internasional, FATF menghimbau negara-negara agar saling bekerjasama dalam penanganan tindak pidana pencucian uang, khususnya melalu Mutual Legal Assistance (MLA). Hal ini tertuang dalam rekomendasi 37 dan 38 FATF. MLA ini juga dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan Konvensi PBB, misalnya, dalam United Nations Convention Against Cooruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerja sama intemasional; antara lain, dalam bentuk MLA guna memberantas korupsi.

Indonesia sendiri sudah mempunyai Undang-Undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret 2006. Undang-Undang ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu. Di samping itu, hal ini juga diatur di dalam UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 dan diperbaharui oleh UU No 8 Tahun 2010.31

MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua

30 Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang dan Peranannya dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang,” (Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Memahami UU RI No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 6 Mei 2003

31 Indonesia , Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,UU No. 8 Tahun 2010, LN No. 122 tahun 2010, TLN No. 5164, pasal 44 dan asal 44 (a).

(15)

negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA bilateral dengan Australia, China dan Korea. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada ASEAN MLA Treaty yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia.32

Objek MLA, antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA.33

Dalam pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari Negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA dapat dilakukan,baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur central authority. Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur diplomatik, seperti Malaysia.34

Selain itu, dalam rangka kerjasama internasional Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, bahwa Bank Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan bank sentral lainnya, organisasi dan lembaga internasional. Kerjasama ini dapat meliputi kerjasama berupa tukar-menukar informasi yang terkait dengan tugas bank sentral, termasuk dalam bidang pengawasan bank.35 Dalam kaitan dengan kerjasama ini juga dapat disebutkan, bahwa terdapat UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi yang memungkinkan adanya kerjasama

32 Yunus Husein, “Mutual Legal Assistance dan Penegakan Hukum.” (Makalah disampaikan pada Seminar Money Laundering Ditinjau Dari Perspektif Hukum Dan Ekonomi, Jakarta, 23 Agustus 2001), hal.1.

33 Ibid., hal. 2.

34 Ibid., hal. 2.

35 Indonesia, Undang-Undang tentang Bank Indonesia, UU No. 23 Tahun 1999, LN No. 66 tahun 1999, TLN No 3843. , pasal 57.

(16)

internasional. Republik Indonesia sudah menandatangani beberapa perjanjian ekstradisi dengan Filipina, Malaysia, Thailand, Australia dan Hong Kong. Kerjasama dengan Australia dan Hong Kong sudah meliputi juga money laundering.36

Penerapan Rekomendasi The Basle Committee Dalam Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia

Penerapan International Best Practices

Terkait dengan masalah perbankan, dalam rangka meningkatkan kepercayaan internasional, Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam menjalankan fungsinya senantiasa mengikuti international best practices sebagaimana butir-butir rekomendasi dari Basel Committee on Banking Supervision. Pedoman standar terkait masalah pencucian uang dalam rekomendasi Basel Committee on Banking Supervision yang menjadi acuan bagi Bank Indonesia dalam menjalankan fungsimya adalah:

1. Statement of Principles on Money Laundering, menetapkan prosedur dan kebijakan dasar bahwa manajemen bank sebaiknya melaksanakan anti money landering melalui sistem perbankan,

2. Core Principles For Effective Banking Supervision, terutama mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagai faktor penting dalam melindungi kesehatan bank serta memperhatikan pula rekomendasi FATF bahwa prinsip dimaksud merupakan upaya untuk mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana maupun sasaran kejahatan money laundering,

3. Customer Due Diligence for banks, memberikan pedoman secara detail terutama mengenai penetapan informasi secara spesifik terhadap nasabah dan senantiasa konsisten dengan FATF recommendations.

Dalam hal ini, banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang mengacu pada butir-butir rekomendasi dari Basel Committee on Banking Supervision yang

36 Husein, op. cit.

(17)

ditujukan mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara administratif, antara lain:37

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum

3. PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum

4. PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungís audit Intern Bank Umum

5. PBI No. 1/9/PBI/1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank Beserta Peraturan Pelaksanaannya SE No. 1/9/DSM tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank.

6. Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/10/DASP tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong

7. PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank

8. Peraturan Bank Indonesia No. 2/23/PBI/2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)

Penerapan Prinsip Know Your Customers

Dalam upaya memenuhi prinsip Know Your Customers yang ada dalam Rekomendasi FATF dan Rekomendasi The Basle Committee tersebut Bank Indonesia memiliki Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Know Your Customers (KYC) yang dikeluarkan tanggal 18 Juni 2001.

PBI ini dibentuk guna memenuhi prinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principle for Effective Banking Supervision dan juga dimaksudkan untuk memenuhi rekomendasi FATF.

Diharapkan dengan adanya PBI ini FATF dapat melihat wujud keseriusan Pemerintah RI khususnya sektor perbankan Indonesia untuk berpartisipasi dalam komitmen internasional

37 Yunus Husein, “Money Laundering: Sampai di mana Langkah Negara Kita?.” (Makalah disampaikan pada Seminar Money Laundering Ditinjau Dari Perspektif Hukum Dan Ekonomi, Jakarta, 23 Agustus 2001), hal.5- 8.

(18)

memerangi kegiatan pencucian uang sehingga pada akhirnya dapat menyelamatkan Indonesia dari pengkategorian sebagai Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) dalam pencegahan kegiatan pencucian uang.

Pokok-pokok yang diatur dalam konsep PBI ini sebagian besar juga sudah mengakomodir butir-butir rekomendasi FATF khususnya yang berkaitan dengan Know Your Customer Principles, antara lain:

1. Kewajiban bank untuk memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah, identifikasi Nasabah, dan pemantauan kegiatan Nasabah dalam rangka penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah.

2. Prosedur penerimaan dan identifikasi Nasabah.

3. Persetujuan pembukaan rekening.

4. Larangan pembukaan rekening.

5. Kewajiban bank untuk melakukan pemantauan Nasabah.

6. Kewajiban bank untuk memiliki pedoman intern Prinsip Pengenal an Nasabah.

7. Kewajiban bank untuk melaporkan kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat indikasi transaksi yang mencurigakan.

8. Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah pada kantor bank di luar negeri bagi bank yang berbadan hukum Indonesia.

Penutup Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut di atas dapat dirangkum dan ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Upaya pencegahan dan pemberantaan kejahatan pencucian uang telah dimulai oleh masyarakat internasional sejak sekitar tahun 1980-an. Upaya-Upaya tersebut terus dikembangkan dengan berusaha meminimalisasi segala hambatan dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang baik yang sifatnya nasional maupun internasional. Hal ini ditengarai dengan berlangsungnya seminar-seminar, konferensi, ataupun pertemuan- peryemuan yang bersifat internasional yang membahas permasalahan pencucian uang.

Berbagai konvensi internasional yang memuat mengenai ketentuan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang telah banyak dibuat dan dijadikan sebai acuan oleh

(19)

negara-negara yang meratifikasinya. Adapun konvensi-konvensi internasional tersebut antara lain:

a. United Nations Convention against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1998 (Drugs Convention)

b. Council of Europe On Laundering, Search, Seizure And Confiscation Of The Proceeds From Crime 1990 (Strasbourg Convention)

c. United Nations Convention Against Transnational Organized Crime 2000 (Palermo Convention)

Tidak sedikit juga organisasi internasional yang mengeluarkan rekomendasi sebagai upaya pemberantasan pencucian uang baik dalam ruang lingkup nasional, regional maupun internasional, antara lain:

a. The Statement of Principles on Prevention of Criminal Use of The Banking System for the Purpose of Money Laundering of the Basle Committee on Banking Regulations and Supervisory Practices 1998 (Basle Statement of Principles).

b. The 40 Recommendations on Money Laundering of the Financial Action Task Force (FATF), as revised in February 2012 (FATF's 40 Recommendations).

c. Political Declaration and Action Against Money Laundering, adopted at the 20yh special session of the United Nations General Assembly devoted to countering the World Drug Problem, New York, 10 June 1998 (UN Political Declaration).

2. Rekomendasi FATF bukan merupakan produk hukum yang mengikat, namun rekomendasi ini dikenal dan diakui secara luas oleh masyarakat dan organisasi internasional. Prinsip-prinsip dari rekomendasi ini dijadikan standar internasional untuk memerangi kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Hal ini diperkuat oleh dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB (United Nations Securiy Council Resolutions) Nomor 1617 Tahun 2005 dan, Resolusi Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly) Nomor 60/288 Tahun 2006 yang menghimbau para negara anggota PBB untuk mengimplementasikan Rekomendasi FATF tersebut yang merupakan standar internasional dalam rezim hukum internasional anti pencucian uang. Meskipun begitu, setiap negara memiliki keleluasaan tersendiri dalam implementasikan Revised 40

(20)

recomendations dan 9 Special Recomendations dengan memperhatikan kondisi dan sistem hukum yang berlaku di negara tersebut.

3. Tidak dapat dipungkiri bahwa inisiatif pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masuknya Indonesia ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF (Financial Action Task Force on money laundering) pada bulan Juni 2001. Pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia sendiri pada dasarnya ditujukan guna memenuhi Rekomendasi FATF yang menegaskan bahwa negara-negara harus melakukan kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang. Dalam rezim Hukum Internasional anti pencucian uang, kriminalisasi tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 3 UN Drugs Convention dan Pasal 6 Palermo Convention. Hal ini kemudian diimplementasikan melalui Pasal 2,3,4 dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Dalam dunia perbankan, Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam menjalankan fungsinya senantiasa mengikuti international best practices sebagaimana butir-butir rekomendasi dari Basel Committee on Banking Supervision khususnya dalam masalah penanganan tindak pidana pencucian uang. Bank Indonesia memiliki Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Know Your Customers (KYC) yang dikeluarkan tanggal 18 Juni 2001. PBI ini dibentuk guna memenuhi prinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principle for Effective Banking Supervision dan juga dimaksudkan untuk memenuhi rekomendasi 10 FATF terkait dengan hal customer due diligence. Dalam rekomendasi 16 dari FATF disebutkan mengenai pembentukan Financial Intelligent Unit yang secara umum bertugas menganalisis transaksi-transaksi keuangan untuk mencegah adanya transaksi yang merupakan kegiatan pencucian uang. Dalam rangka memenuhi rekomendasi FATF tersebut Pemerintah Indonesi membentuk PPATK sebagai Financial Intelligent Unit yang dibentuk dengan diundangkannya UU No. 15 Tahun 2002. FATF menghimbau negara-negara agar saling bekerjasama dalam penanganan tindak pidana pencucian uang, khususnya melalu Mutual Legal Assistance (MLA). Hal ini tertuang dalam rekomendasi 37 dan 38 FATF. Indonesia sendiri sudah mempunyai Undang- Undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006.

(21)

Saran

Guna magatasi permasalahan-permasalahn tersebut Penulis mengajukan beberapa sarang yang Penulis harapkan dapat bermanfaat di kemudian hari guna mengatasi permasalahan- permasalahan agar tidak terjadi lagi. Beberapa saran yang Penulis ajukan adalah:

1. Pada dasarnya rekomendasi FATF merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh FATF yang merupakan bentukan negara-negara G-7 yang pada dasarnya bertujuan guna melindungi kepentingan negara-negara maju dari Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama serta komunikasi lebih lanjut antar negara dan antar kawasan guna melakukan pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berupa pembentukan suatu organisasi internasional baik bagi para anggota FATF maupun di luar anggota FATF agar pelaksanaannya dapat melindungi kepentingan masing-masing negara dan tidak hanya melindungi kepentingan negara-negara tertentu.

2. Perlu adanya peningkatan fungsi serta kerjasama antar lembaga dan badan pemerintah guna memperluas jangkauan pengawasan dana pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta guna menumbuhkan kesadaran hukum bagi masyarakat berkaitan dengan dampak buruk serta akibat yang timbul dari Tindak Pidana Pencucian Uang.

3. Bagi negara seperti Indonesia yang menghadapi persoalan hukum yang pada kenyataannya banyak pelaku kejahatan raib dan proceeds of crime dari berbagai kejahatan disembunyikan ke luar negeri, kejelasan politik hukum dan keberadaan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana mutual legal assistance in criminal matters (MLA) mutlak diperlukan.

Dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang, keberadaan sistem MLA ini sangat penting terutama di dalam mengupayakan pengembalian proceeds of crime atau yang dikenal dengan proses asset recovery. Oleh karena itu, kerjasama dengan negara lain terkait dengan perjanjian MLA harus ditingkatkan.

(22)

Dafta Pustaka Buku

Alldridge, Peter. Money Laundering Law: Forfeiture, Confiscation, Civil Recovery, Criminal Laundering and Taxation of the Proceeds of Crime. Oregon: Hart Publishing, 2003.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerja Sama Internasional Dalam Konvensi PBB. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008.

Chaikin, David dan J. C Sharman. Corruption and Money Laundering, A Symbolic Relationship. Amerika Serikat: Palgrave Macmillan, 2009.

Effros, Robert C. Ed. Current Legal Issues Affecting Central Banks. Washington: Simon &

Schuster, 1994.

Garnasih, Yenti. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering). Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Gilmore, William C. Dirty Money: The Evolution of Money Laundering Countermeasures.

Second Edition, revised and expanded. Council of Europe Publishing, 1999.

Husein, Yunus. (a) Bunga Rampai Anti Pencucian Uang. Bandung: Books Terrace &

Library, 2007.

____________. (b) Negeri Sang Pencuci Uang. Jakarta: PT. Pustaka Juanda Tigalima, 2008.

Mamudji, Sri dan Hang Rahardjo. Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, Bahan Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Pra Cetak, 2011.

Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penelitian Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Millington, Trevor. “Millington and Shuterland Williams on The Proceeds of Crime”. Oxford University Press, 2010.

Nainggolan, Poltak Partogi. Terorisme dan Tata Dunia Baru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

(23)

Sabadian, Daan dan Kunarto. Eds. Pemutihan Uang Asal Kejahatan (Money Laundering) dalam Kejahatan Berdimensi Baru, Bagian II: Kejahatan Terorganisasi. Jakarta: Cipta Manunggal, 1999.

Savona, Ernesto U. Ed. Responding To Money Laundering International Perspectives.

Netherlands: Harwood Academic Publisher, 1997

Sjahdeini, Sutan Remy. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2007.

Utrecht/Moch, E. dan Saleh Djindang. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cet. 11. Jakarta:

Ichtiar Baru, 1989.

Artikel dan Jurnal

Clark, Nicholas. “The Impact of Recent Money Laundering Legislation on Financial Intermediaries”. Dick Journal of International Law, Vol. 14.

De Feo, Michael A. “Depriving International Narcotics Traffickers and Other Organized Criminals of Illegal Proceeds and Combating Money Laundering”. Den. K. Int’l L &

Pol’y, Vol. 18:3. (Agustus, 1990). Hlm. 405.

Haynes, Andrew. “Money Laundering: The FSA Moves In”. Journal of Money Laundering Control, Vol. 4 Iss\.

House of Lords: European Union Committee. “Money Laundering and the Financing of Terrorism”. 19th Report of Session 2008-2009. Volume 2. (2009).

Krauskopf, Lutz. “Comment on Switzerland's Insider Trading, Money Laundering, and Banking Secrecy Laws”. International Tax and Business Law. (1987).

Morais, Herbert V. dan Motoo Noguchi. “Anti-Money Laundering and Combating the Financing of Terrorism”. Asian Development Bank. (2004).

Mulligan, Daniel. “Know Your Customer Regulations and The International Banking System : Towards A General Self Regulatory Regime”. Fordham International Law Journal, Vol.

22. (1999).

Smith, Pieter. “Clean Money, Suspect Source: Turning Organised Crime Against Itself”.

Pretoria: Institute for Security Studies. (2001).

Srihono, Adam. “Pembinaan dan Pengawasan Bank Sentral Terhadap Bank-Bank Komersial”.

Majalah Pengembangan Perbankan, Edisi November-Desember. (1996).

(24)

Stessens, Guy. “Money Laundering : A New International Law Enforcement Model”. Cambridge University Press, First Published. (2000).

Taylor, Robert E. “Ex-Smuggler Tells of Huge Profits Laundered, Placed at Major Banks”. Wall Street Journal. (12 Februari, 1988).

United Nations. “UN Global Programme Against Money Laundering”. New York: United Nations Department of Public Information. (1998).

Makalah

Harjo, Rudy Agus Purnomo. Fungsi dan Peran Bank Indonesia Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Makalah pada Lokakarya Terbatas tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang Diselenggarakan oleh Centre for Legal Studies kerjasama dengan Pusdiklat Mahkamah Agung RI. Jakarta. (Mei, 2004).

Husein, Yunus. Kegiatan Pemutihan Uang (Money Laundering). Makalah Disampaikan pada Arthur Andersen Money Laundering Executive Seminar, Jakarta. (Maret, 2011).

______________. Money Laundering and Asset Forfeiture in Indonesia. Makalah Disampaikan pada The Forfeiting The Proceeds of Crime Seminar from The Asset Forfeiture and Money Laundering Section of The United States Department of Justice. Bangkok. (Mei, 2001). Hlm. 1.

______________. Telaah Penyebab Indonesia Masuk Dalam List Non-Cooperative Countries and Teritories oleh FATF on Money Laundering. Makalah Disampaikan dalam Seminar Money Laundering (Pencucian Uang) Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Ekonomi.

Jakarta. (Agustus, 2001).

____________. Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia.

Makalah Disampaikan dalam Lokakarya Terbatas tentang “Tindak Pidana Pencucian Uang” oleh Financial Club. Jakarta. (Mei, 2004).

____________. Money Laundering: “Sampai di mana Langkah Negara Kita?”. Makalah Disampaikan pada Seminar Money Laundering Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Ekonomi. Jakarta. (Agustus, 2011).

Peraturan Perundang-Undangan

(25)

Indonesia. Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. UU Nomor 8 Tahun 2010. LN Nomor 122, TLN Nomor 5164.

_______. (a) Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UU Nomor 15 Tahun 2002. LN Nomor 30, TLN Nomor 4191.

_______. (b) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UU Nomor 25 Tahun 2003. LN Nomor 108, TLN Nomor 4324.

Instrumen Hukum Internasional

Committee on Banking Regulations and Supervisory Practices. The Statement of Principles on Prevention of Criminal Use of The Banking System for the Purpose of Money Laundering of the Basle Committee on Banking Regulations and Supervisory Practices. 1998

Financial Action Task Force (FATF). Recommendations International Standards on Combating Money Laundering and The Financing of Terrorism & Proliferation. Dikeluarkan pada tanggal 16 Februari 2012.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Universal Declaration of Human

Rights (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia). Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III).

______. United Nations Convention Against Corruption 2003. Diterjemahkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime. Jakarta: UNODC, 2009.

_____. United Nations Convention Against Corruption, 2003.

_____. United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and The Protocols Thereto. 2003.

_____. United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances. 1998.

Referensi

Dokumen terkait

Ukuran dalam, lebar dan tempat galian untuk pemasangan pipa dan peralatannya, serta bangunan yang termasuk di dalam pekerjaan ini harus dibuat sesuai gambar rencana.. Patokan

Berdasarkan uraian beberapa masalah tentang ketersediaan ikan gabus di alam liar dan pentingnya kandungan protein ( albumin ) ikan gabus, penelitian ini

Kompetensi dibangun dengan pondasi yang terdiri atas profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif, dan ditunjang oleh pilar berupa

Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa perencanaan analisis kebutuhan guru belum didukung dengan data yang lengkap, pengorganisasian Nusa Tenggara Timur

Hemoglobin Koln merupakan hemoglobin varian tersering di dunia yang kelainannya terletak pada asam amino rantai beta posisi 98 yaitu pergantian valin dengan metionin..

Keberhasilan pengelola dana bergulir UPK Kecamatan Balongpanggang saat ini tidak terlepas dari peran ketua BKAD Bapak Sukadi, sebagai pelaku program PNPM Mandiri

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan dan semangat kepada saya untuk menyelesaikan proposal penelitian yang

Aturan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang tetap dipertahankan yaitu pada pemanfaatan sumberdaya hasil sagu, pohon sagu yang berada dalam