• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori

1. Afirmasi Multikulturalisme Di Indonesia

Afirmasi menurut KBBI Edisi V (2016-2020) adalah penetapan yang positif;

penegasan, peneguhan. Afirmasi multikultural adalah suatu sugesti kepada diri sendiri yang bertujuan untuk menguatkan keyakian dengan cara repetisi.

Menurut Choirul (2011: xix), secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Hakekatnya multikulturalisme mengandung sebuah pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitas dengan kebudayaan-kebudayaannya yang unik. Implikasinya, setiap individu dan komunitas merasa dihargai sekaligus merasa ikut terlibat dan bertanggungjawab dalam membangun bangsa bersama komunitas yang dimilikinya. Ciri-ciri ini dapat dikembangkan pemahaman bahwa multikulturalisme merupakan sebagai suatu paham tentang kultur yang beraneka ragam. Situasi keragaman kultur ini mewajibkan adanya sikap saling memahami, saling mengerti, sikap toleransi, penghormatan, penghargaan, dan kerjasama demi terbangun sebuah kehidupan aman, damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik dan perselisihan Ngainun dan Sauqi (2008:

125).

Pengertian di atas maka dapat disimpulkan multikulturalisme merupakan konsep suatu komunitas dalam konteks kebangsaan yang memberikan pengakuan terhadap keanekaragaman, kemajemukan dan perbedaan budaya, suku, ras, agama maupun etnis di Indonesia dan menempatkan perbedaan itu pada posisi setara dan sederajat. Setara dan sederajat menuntut penerimaan, pengakuan dan komitmen bersama.

Berdasarkan penjelasan teresebut, afirmasi multikulturalisme berisi peneguhan positif untuk menghayati prinsip dasar dan nilai multikultural dalam rangka memaksimalkan peran warga negara untuk mencapai cita-cita bersama, meningkatkan kontribusi dan juga upaya mewakafkan jiwa dan raga dalam menghidupi nilai tersebut secara sadar dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai Pancasila dan dengan ikhlas memberikan diri untuk berkorban, menghargai keberadaan sesama manusia, dan juga menghargai warisan nenek moyang.

Komitmen dan pengakuan akan keanekaragaman dapat dilihat dalam lambang Garuda beserta nilai-nilai Pancasila yang kini dijadikan sebagai dasar negara, pandangan hidup yang digali dari kearifan lokal bangsa Indonesia sendiri. Lambang Garuda Pancasila tersebut menegaskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara prasyarat utamanya adalah dengan adanya sikap toleransi sebagai bentuk penerimaan dan penghargaan serta pengakuan akan

(2)

keberadaan berbagai budaya masyarakat yang beranekaragam yang kemudian disebut dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang berarti walau berbeda-beda tapi tetap satu juga.

Kebudayaan multikultural yang ada di Indonesia terbentuk dengan alamiah. Bahkan semenjak bangsa ini dikenal dengan nama Hindia Belanda masyarakat sudah sangat majemuk, multi etnis, dan multikultural. Asal muasal nama Indonesia jika diteliti dari maknanya adalah Indo artinya campuran, nesia artinya nation atau negara. Dari nama tersebut sangat jelas menggambarkan terkait kemajemukan yang ada di negara ini.

Gina (2015: 32) mengakui sulit menggambarkan dan menguraikan Indonesia dengan persis. Bangsa Indonesia selain multietnis (seperti Dayak, Papua, Makassar, Jawa, Batak, Flores, Timor, Bali, dan sebagainya). Ia mendeskripsikan Indonesia sebagai sejumlah atau suatu “bangsa” dengan takaran, makna dan karakter yang berbeda-beda melalui suatu narasi agung yang sifatnya historis, ideologis, religius semacam disambung-sambungkan atau digabungkan membentuk sebuah struktur ekonomi, struktur politik bersama.

Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural society. Multikulturalisme menggabungkan semangat hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam keanekaragaman kultur yang ada di masyarakat baik itu secara individual maupun secara kelompok. Azra (2006:154).

Gina (2015: 33) mengemukakan bahwa saat mempersiapkan Republik Indonesia yang didasarkan pada Pancasila, para pejuang dan tokoh-tokoh kemerdekaan menyadari bahwa bangsa ini memiliki aneka ragam kebudayaan yang masing-masing diwadahi dalam sebuah suku sebagai identitasnya. Realitas tersebut tidak dapat pungkiri dan diabaikan serta secara sadar harus diakui keberadaanya. Para pendiri bangsa menyadari keanekaragaman yang ada merupakan suatu realitas yang penting dan wajib untuk dihormati dan dipelihara eksistensinya demi persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa. Keanekaragaman merupakan hal yang wajar, sangat penting disadari serta dihayati sebagai sesuatu yang perlu disikapi dengan toleransi. Kemajemukan yang ada telah sejak lama tumbuh dan berkembang sebagai warisan yang berharga dari nenek moyang terdahulu.

Choirul (2006: 83) mengemukakan pluralisme kultural yang ada di Asia Tenggara seperti di Indonesia, di Malaysia, juga Singapura sangat tampak mencolok, keanekaragaman budaya tersebut jarang dimiliki oleh semua negara-negara lain di berbagai wilayah dan belahan dunia lainnya. Oleh karena hal tersebut dalam teori dan pandangan politik Barat pada sekitar tahun 1930-an, 1940-an, Indonesia dipandang sebagai “lokus klasik” konsep masyarakat plural (plural society) yang diperkenalkan pada dunia Barat salah satunya oleh JS Furnivall. Apa yang telah dikemukakan oleh Hefner tersebut terkait Indonesia merupakan “lokus klasik” (tempat

(3)

terbaik/ rujukan) untuk konsep masyarakat plural bukanlah sesuatu hal berlebihan. Hal tersebut dapat ditemukan di pada keanekaragaman yang ada di Indonesia sebagai bangsa yang sangat istimewa dan unik.

Telaah mengenai keanekaragaman sebuah bangsa kemudian sering dikenal dengan konsep multikultural. Para ahli mengemukakan, konsep multikultural pada dasarnya merupakan sebuah harmoni dalam keanekaragaman budaya yang disadari dan dipelihara dengan prinsip-prinsip kesetaraan/kesederajatan di antara budaya yang berbeda. Harmoni tersebut menuntut individu maupun kelompok agar saling menghargai kebudayaan individu lain yang hidup dalam sebuah tatanan sosial kemasyarakatan. Pada masyarakat multikultur, individu ataupun kelompok masyarakat memiliki kebutuhan untuk diakui atau memperoleh pengakuan (politics of recognition). Multikultural dapat diartikan sebagai keanekaragaman atau perbedaan antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya.

Azra (2006: 62) mengemukakan bahwa masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat dan kebiasaan. Hal yang sama disampaikan oleh Choiril (2006: 103), Ia mengatakan bahwa “multikulturalisme merupakan kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai suatu realitas fundamental di dalam kehidupan bermasyarakat”. Dalam kaitannya dengan sektor pendidikan, konsep multikulturalisme butuh peranan dan kerjasama yang linear antara elemen dalam satuan pendidikan maupun dalam sistem pendidikan yang melibatkan pemangku kepentingan yang selaras dengan upaya menumbuhkan kesadaran dan implementasi akan nilai-nilai yang mendukung pembumian multikulturalisme baik di sekolah maupun masyarakat umum.

Di negara-negara demokrasi seperti Indonesia, aspirasi tentang multikulturalisme muncul dari kalangan masyarakat bawah. Hak-hak dari masyarakat bawah (minoritas) diharapkan dapat memiliki posisi setara dan sejajar dengan hak-hak yang diperoleh golongan yang mayoritas sehingga tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama untuk mengekspresikan diri dan identitasnya.

Keanekaragaman yang ada di Indonesia sebetulnya sudah ada sejak dahulu kala, tetapi multikulturalisme adalah soal bagaimana menyadari dan memahami keanekaragaman budaya itu sendiri agar dapat saling menghargai perbedaan identitas semua kelompok lapisan masyarakat.

Secara geografis, bangsa Indonesia memiliki banyak pulau-pulau yang dihuni oleh beragam kelompok manusia dan membentuk suatu masyarakat yang secara alami akan

(4)

membentuk dan melahirkan kebudayaan yang merupakan gambaran kehidupan sosial dari masyarakat itu sendiri. Multikulturalisme Indonesia dibentuk oleh kondisi sosiokultural beragam maupun kondisi geografis yang luas tersebut. Kondisi tersebut membawa dampak pada keberadaan kebudayaan yang beranekaragam dan sangat banyak negara ini.

Di era modern seperti sekarang ini, kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia terancam terkikis dan musnah karena melebur menjadi ‘tumbal’

zaman. Globalisasi sangat berpengaruh dan sudah berhasil masuk merambah kebijakan pendidikan serta telah mempengaruhi implementasi dalam hal pengajaran dan pendidikan keguruan. Wang dkk (2011: 115).

Multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesivitas dan intimitas serta soliditas di antara suku bangsa, etnik, ras, agama, budaya yang beragam. Pemaparan tersebut memberi motivasi dan spirit bagi lembaga pendidikan dalam hal penanaman sikap dalam diri para peserta didik untuk menghargai sesama baik individu, budaya, agama, ideologi dan keyakinan-keyakinan lainnya.

Sebagai sebuah negara berkembang, pendidikan merupakan instrumen strategis dan penting dalam mengupayakan pembangunan jati diri bangsa, hal ini adalah sebuah langkah maju serta menjanjikan untuk membangun kesadaran kolektif apabila konsep pendidikan multikultural benar-benar dapat diterapkan dengan tepat. Terkait hal tersebut, pendidikan multikultural menawarkan suatu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis kepada pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman di masyarakat, khususnya keanekaberagaman pada peserta didik baik keanekaragaman etnis, suku, budaya, ras, dan agama.

Pendidikan adalah wadah yang sangat strategis dalam mengupayakan penerjemahan dan pengimlementasian gagasan terkait multikullturalisme sehingga dapat membangun karakter, sikap, perilaku yang baik. Agar gagasan tentang multikulturalisme terserap secara luas dan berjalan efektif, harus diterapkan dan diimplementasikan secara benar, tepat dan proporsional serta berkesinambungan, upaya pendekatan-pendekatan dengan model multikulturalisme terus diajarkan dan disebarkan secara luas, dikelola dengan bijaksana serta diwujudkan dengan konsisten.

Menurut Arifin (2017:539), ada berbagai pertimbangan yang menjadikan pendidikan multikultural sebagai suatu solusi untuk merawat serta menjaga sikap toleransi terhadap perbedaan identitas kebudayaan di sekolah diantaranya sebagai berikut:

Pertama, pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak awal bahkan sebelum disebut sebagai bangsa Indonesia. Falsafah bangsa Indonesia

(5)

adalah Bhinneka Tunggal Ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar sesama.

Kedua, pendidikan multikultural memberi harapan dalam mengatasi berbagai gejolak di tengah masyarakat. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi akan nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural hendak membentuk masyarakat yang egaliter.

Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi komersial, berkaitan dengan siapa yang untung siapa yang rugi.

Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis diskriminasi dan kekerasan baik verbal maupun nonverbal.

Sebagaimana telah diketahui bersama bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, budaya dan bahasa yang berbeda-beda. Oleh karenanya, sistem pendidikan nasional harus dapat mengakomodasi keanekaragaman dan kemajemukan yang ada.

Zamroni (2011b: 117) berpendapat keberhasilan bidang pendidikan ditentukan oleh besarnya kepedulian institusi pendidikan terhadap masalah kemajemukan (pluralisme) dan keragaman budaya(multikulturalisme) dengan prinsip kesetaraan dan kesederajatan. Hal ini dikarenakan karena pendidikan adalah suatu proses pembudayaan atau enkulturasi serta suatu proses untuk seseorang mampu hidup saling hormat menghormati dalam suatu budaya.

Pendidikan multikultural juga diharapkan dapat menjadi solusi dalam menuntaskan berbagai persoalan yang belum terselesaikan secara baik dan mengalami kebuntuan dan tingkat kerumitan yang tinggi di tengah masyarakat yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi keutuhan bangsa Indonesia.

Menurut Tilaar (2004: 67) ketuntasan penyelesaian persoalan-persoalan di tengah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian dan saling menerima. Fanatisme sempit dapat menyebabkan munculnya kekerasan di masyarakat. Dan fanatisme ini juga bercorak etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran di berbagai bidang termasuk dalam bidang pendidikan, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Dengan pemahaman dan kesadaran tentang keanekaragaman tersebut, pendidikan multikultural sebagai suatu pendekatan kritis dan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskriminasi dalam dunia pendidikan. (Zamroni, 2011a: 144).

Menurut Tilaar (2004: 59) pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri yaitu: Pertama, tujuan membentuk “manusia budaya” dan menciptakan masyarakat berbudaya (berperadaban). Kedua, materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural). Ketiga, metodenya demokratis, yang

(6)

menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikultural). Keempat, evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap sikap anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Selanjutnya Suyata (2001: 5-6) menerangkan “Multi-cultural model” dalam beberapa eksperimen dan penelitian memiliki potensi menjadi alternatif dalam banyak hal dan semakin diterima secara luas walaupun masih dalam bentuk-bentuk sederhana dan masih awal seperti penerapan strategi budaya dalam pembangunan (pendekatan pembangunan berbasis budaya lokal), terutama di bidang pendidikan dengan introduksi pendidikan bahasa majemuk, serta paket-paket kegiatan ekstra kurikuler bernuansa etnik/ kultural, muatan lokal. Model ini menyetarakan semua kelompok budaya dalam posisi yang sederajat, masing-masing kelompok etnik/ kultural memiliki kedudukan sama dan didorong berkembang dan pada saat yang sama upaya-upaya struktural diciptakan sebagai basis bersama mambangun masyarakat, bangsa dan mewujudkan demokrasi yang sehat.

Sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia diharapkan dapat dikelola secara benar, konsisten, sistematis dan masif serta berkelanjutan secara nasional. Dalam upaya mewujudkan integrasi budaya secara nasional, pendidikan berbasis multikultural memegang peranan sangat penting dan menjadi kunci terwujudnya multikulturalisme.

Pendidikan tidak hanya untuk merefleksikan kondisi dalam masyarakat tetapi juga untuk mempengaruhi perkembangan yang terjadi dalamnya. Misalnya, dalam lingkungan pendidikan, sekolah mempunyai peran dalam mengembangkan masyarakat multikultural.

Sekolah memiliki kontribusi dan peranan penting dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik baik dalam pengetahuan, sikap, keterampilan serta pengetahuan akan nilai-nilai multikulturalisme. Dalam berbagai literatur dan penelitian telah banyak disimpulkan bahwa pendidikan multikulturalisme menjadi solusi yang dapat mengurangi tensi dan gesekan serta konflik SARA dalam masyarakat.

Pendidikan multikultural didasarkan pada lima dimensi sebagaimana dikemukakan oleh Banks (2002: 14):

a) Integrasi konten, berbagai macam budaya yang ada di lingkungan masyarakat digeneralisasi dan diintegrasikan ke dalam pelajaran.

b) Proses konstruksi pengetahuan, peserta didik diberikan kebebasan dalam mengembangkan pengetahuannya melalui kebebasan berpendapat dan mengantarkan peserta didik untuk memahami budaya dalam mata pelajaran.

c) An equity pedagogy, artinya dalam proses belajar dan pembelajaran metode yang digunakan disesuaikan dengan pola belajar para peserta didik untuk menunjang prestasi peserta didik yang beragam latar belakang baik latar belakang suku, ras dan agama.

(7)

d) Prejudice reduction, artinya memahami berbagai macam karakteristik peserta didik dengan tujuan untuk menentukan metode yang tepat yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.

e) Memberdayakan budaya sekolah, dengan membiasakan peserta didik untuk berpartisipasi aktif di lingkungan sekolah termasuk berinteraksi dengan para pegadget juga dengan para peserta didik yang berlatar belakang budaya yang berbeda.

Dimensi tersebut perlu didukung oleh kemampuan warga negara dalam menjaga relasi dan kepekaan terhadap lingkungan sosial yang sangat beranekaragam. Cogan dan Derricott (1998: 2-3) meringkas karakteristik apa saja yang harus dimiliki warga negara yakni: Pertama, kemampuan dalam mengenal dan memecahkan masalah. Kedua, kemampuan untuk bertanggung jawab serta bekerja sama dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, kemampuan untuk saling memahami, saling menghargai berbagai macam perbedaan budaya di masyarakat.

Keempat, kemampuan berpikir secara sistematis dan berpikir secara kritis. Kelima, kemampuan pemecahan masalah melalui cara-cara yang adil, bijaksana dan cara-cara damai.

Keenam, kemampuan untuk mencintai lingkungan dengan cara dan pola hidup yang sehat.

Ketujuh, kemampuan untuk peka dan empati terhadap problematika hak asasi manusia dan teguh mempertahankannya seperti hak kaum minoritas, hak wanita dan hak sebagai warga negara. Kedelapan, kemampuan untuk berpartisipasi aktif di dalam kehidupan bermasyarakat bernegara dan berbangsa.

Karakteristik warga negara tersebut seperti di atas sangat dibutuhkan sebagai fondasi dalam penguatan masyarakat multikultural, dan menurut Cogan & Derricott dapat diidentifikasi dalam lima atribut kewarganegaraan yakni:

a) Perasaan identitas

b) Pemilikan hak-hak tertentu

c) Pemenuhan kewajiban-kewajiban yang sesuai

d) Tingkat ketertarikan dan keterlibatan dalam masalah publik e) Penerimaan terhadap nilai-nilai sosial dasar

Melihat kondisi sosial, budaya dalam masyarakat Indonesia, sangat diperlukan untuk menyusun dan merekonstruksi konsep-konsep pendidikan berbasis multikulturalisme agar kembali berpijak pada budaya asli bangsa Indonesia. Kembali kepada identitas budaya lokal, budaya masyarakat Indonesia yang dapat dijadikan pondasi dalam menyusun konsep-konsep pendidikan berbasis nilai multikultural. Pendidikan berbasis multikultural adalah upaya untuk merekonstruksi kondisi sosial, identitas budaya dan membangun rasa bangga dengan identitas sebagai bangsa Indonesia, menggalang solidaritas untuk membangun soliditas antara sesama anak bangsa. Pendidikan berbasis nilai multikultural di Indonesia memerlukan konsep dan

(8)

pedagogis baru, kembali kepada budaya asli bangsa agar dapat mewujudkan cita-cita yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Pedoman utama agar terwujudnya Indonesia yang menghargai kondisi multikultural yaitu dengan multikulturalisme yang merupakan ideologi atau paham yang memberikan pengakuan dan penghormatan serta penghargaan terhadap perbedaan dalam masyarakat dengan posisi sederajat, setara, baik secara individu maupun kebudayaannya. Multikulturalisme mengusung konsep penghargaan terhadap keanekaragaman bangsa Indonesia. Multikulturalisme sejalan dengan tujuan yang terdapat dalam Pancasila yaitu menghargai hak asasi manusia, menghargai budaya yang beragam, memandang semua manusia dan budaya serta identitas suatu masyarakat atau kelompok dalam posisi setara atau sederajat.

Multikulturalisme dalam konteks KeIndonesiaan artinya, menganggap semua masyarakat Indonesia memiliki hak yang sederajat, setara dan sama setiap warga negara serta menerima dan mengakui eksistensi keberadaannya baik entitas pribadi maupun identitas kebudayaan masing-masing kelompok masyarakat Indonesia. Sikap saling menghormati, saling menghargai dan toleransi antara sesama dan menganggap semua kelompok masyarakat sederajat dan setara di Indonesia adalah contoh sikap yang digaungkan konsep multikulturalisme. Konsep ini diharapkan dapat diterapkan di lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah baik antara guru dengan guru, peserta didik dengan peserta didik maupun antara guru dengan peserta didik, peserta didik dengan guru di Indonesia.

Pembangunan masyarakat dengan pemahaman multikulturalisme pada bangsa Indonesia dapat dipahami dengan baik dan benar apabila konsep-konsep multikulturalisme dikenal secara luas dan dipahami sebagai hal yang amat sangat penting dan bersifat urgensi dalam mengawal dan menjaga keutuhan bangsa, serta adanya kemauan kuat seluruh elemen bangsa Indonesia untuk mengadopsi dan mengaplikasikan multikulturalisme dari tingkat nasional termasuk lembaga pemerintahan nasional, maupun lokal dalam hal ini pemerintah daerah serta semua warga negara sebagai tanggungjawab bersama dan pedoman hidup dalam pergaulan dan relasi antara sesama. Pemahaman-pemahaman dari ahli-ahli mengenai multikulturalisme dan konsep-konsep yang mendukung sangat diperlukan untuk ditanamkan dan diajarkan, serta diterapkan baik di sekolah maupun di tengah masyarakat secara riil, nyata dan konsisten karena manusia pada hakikatnya hidup secara berkelompok, berbeda suku bangsa, bermasyarakat “lokal”, bermasyarakat “nasional”, dan juga bermasyarakat “global”, yang berbeda pula latar belakang karakter dan budayanya.

Pendidikan multikultural merupakan upaya nyata untuk mengedukasi dan juga sebagai langkah dalam membangun relasi sosial yang baik di sekolah. Tanpa adanya pendidikan yang difokuskan pada pengembangan perspektif multikultural dalam kehidupan peserta didik adalah

(9)

sesuatu yang sangat sulit untuk menciptakan perdamaian di antara keberadaan aneka ragam budaya di masa depan.

Konsep-konsep multikulturalisme berkaitan erat dengan konsep kesederajatan dalam berdemokrasi, konsep hukum dan konsep keadilan sosial, serta nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang setara dan sederajat, adanya toleransi terhadap suku bangsa, keyakinan keagamaan, ekspresi budaya, dan domain privat sebagai individu maupun publik serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan hak lainnya yang dijamin oleh konstitusi negara.

Selanjutnya Tolak (2018: 24) menerangkan, konsep multikulturalisme memiliki tiga cakupan nilai yaitu: Pertama, meneguhkan identitas bangsa, mempelajari, memahami dan menjaga warisan budaya adiluhung bangsa. Kedua, sikap hormat menghormati, harga menghargai antara satu dan lainnya dan terus berupaya menjalin toleransi, saling memahami dalam bingkai perbedaan. Ketiga, Menerima perbedaan dengan lapang dada, memiliki rasa bangga dan memandang perbedaan-perbedaan budaya menjadi suatu kekayaan dari bangsa.

Menurutnya sebagai suatu negara yang berkepulauan, keanekaragaman budaya di Indonesia tak dapat dielakan dan itu merupakan jati diri dan ciri khas tersendiri bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Tingkat kemajemukan yang sangat tinggi tersebut menjadikan negara ini sebagai negara yang multikultural.

Sebagai negara yang berasaskan Pancasila dan mengakui keberadaan masyarakat multikultural sebagai suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Tentunya multikulturalisme dan konsep serta implementasinya perlu diterapkan secara nyata dalam segala aspek kehidupan baik di lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah. Untuk mempertegas itu, nilai nilai afirmasi multikultural yang juga terdapat pada nilai-nilai Pancasila, hal tersebut dapat menjadi rujukan dan dasar dalam penataan kehidupan bermasyarakat, kehidupan berbangsa, dan bernegara termasuk juga dalam tatanan sistem budaya, sistem sosial ekonomi, sistem politik maupun sistem hukum dan pertahanan keamanan.

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila terutama nilai-nilai multikultural erat kaitannya dengan kearifan lokal di dalam masyarakat Indonesia. Sebagaimana pemaparan di atas bahwa keragaman suku bangsa di Indonesia merupakan letak dari kekuatan yang dipunyai oleh bangsa Indonesia. Keadaan ini jugalah yang menjadikan bangsa Indonesia mempunyai nilai tambah di dunia internasional, pada lain sisi realita keberagaman yang ada di Indonesia dapat berpotensi pada timbulnya konflik sosial dan konflik horizontal bernuansa SARA. Oleh karenanya, kemampuan mengelola keberagaman suku bangsa sangat diperlukan dan bersifat

(10)

urgensi guna mencegah potensi terjadinya perpecahan dan pertikaian yang dapat mengganggu stabilitas dan persatuan kesatuan.

2. Urgensi Pendidikan Multikultural

Huerta (2016:150) mengemukakan pendidikan multikultural yaitu sebuah pendekatan secara luas dan secara menyeluruh terhadap suatu kebijakan dalam dunia pendidikan yang berpengaruh terhadap proses administrasi, pedagogi, retensi peserta didik, evaluasi, dan desain kurikulum.

Hal yang sama juga dikatakan Banks (1993:359) menurutnya, pendidikan multikultural adalah suatu reformasi transformasional dan dirancang mengubah total seluruh lingkungan pendidikan sehingga semua kelompok baik etnis, kelompok ras, dan gender peserta didik setiap kelas sosial kultural mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang layak di sekolah dan di universitas. Menurutnya, pendidikan multikultural berasumsi keanekaragaman merupakan bagian yang sangat penting dan berharga dan menjadi modal dalam menjalin relasi dengan sesama warga negara maupun dengan masyarakat dunia. Para multikulturalis memandang keanekaragaman memperkaya masyarakat dan dapat meningkatkan cara warga negara dalam memecahkan dan mengelola persoalan. Pendidikan diperlukan untuk membentuk dan mendidik masyarakat serta membentuk civic skill seseorang, yaitu menjadi bagian dari masyarakat yang baik dan bertanggungjawab dengan bersikap saling menghormati, saling menghargai –perbedaan-perbedaan dan memelihara kerukunan dan kebersamaan.

Saat ini, pendidikan Indonesia memiliki paradigma integralistik artinya setiap manusia Indonesia baik sebagai individu warga negara maupun sebagai warga masyarakat mempunyai kedudukan yang sama, hak yang sama dan kewajiban yang sama pula dan tidak memaksakan kehendak orang lain dengan mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Muasyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai keadilan dan menguatamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. Mutaqi dkk (2019: 375)

Selanjutnya Mutaqi dkk (2019: 43-45) menurutnya idealnya pendidikan di sekolah adalah tempat untuk anak-anak menemukan kegembiraan dan kebahagiaan. Selain dalam keluarga, sekolah diharapkan menjadi tempat anak-anak belajar tentang bersikap jujur, tempat belajar beretika dan bermoral yang baik, belajar menjadi dirinya, belajar menerima dan

(11)

menghargai orang lain. Di sekolah anak-anak harus memperoleh perlindungan dari ancaman- ancaman dan tindakan-tindakan yang diskriminatif sehingga mereka dapat belajar tentang hidup berdemokrasi, menerima perbedaan pendapat, perbedaan pemikiran dan belajar tentang solidaritas sosial, belajar tentang jati dirinya sehingga lembaga pendidikan sekolah adalah tempat untuk memanusiakan manusia menjadi manusia yang bermartabat, merdeka dalam berpikir dan berekspresi. Namun dalam prakteknya nya sekolah justeru menjadikan anak-anak terbebani dan kehilangan kegembiraan serta merasa terasing dari teman-temannya dan kehilangan kesempatan untuk menjadi anak-anak yang hidupnya diwarnai dengan bermain dikarenakan sekolah malah menjadi tempat yang tidak ramah terhadap eksistensi dan psikologinya. Di sekolah juga anak-anak sudah mulai resah, gelisah tak tahu nasib yang bakal menimpanya dimasa depan.

Galus dikutip dari dikpora.jogja.prov.go.id dipublikasikan 26 Januari 2021 mengatakan sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak yang hidupnya diwarnai dengan bermain. Sekolah menjadi lingkungan yang asing dan penuh sensor yang kaku dan mengekang minat dan gairah peserta didik untuk belajar. Ia menyebutkan ketakutan dan kegelisahan itu sebagai pedagogi hitam (Schwarzer Paedagogic). Pendidikan di Indonesia tengah mengalami paradigma perubahan dalam rangka membangun wacana baru, di atas komitmen kemanusiaan, keadilan, moral, etika, demokrasi, setidak-tidaknya itulah esensi dasar dari pendidikan Indonesia.

Dewasa ini banyak aspek penting dari pendidikan Indonesia mengalami degradasi, karena berbagai faktor, terutama menyangkut nilai, tujuan latar spiritnya. Pendidikan mulai menampakan dirinya sekadar mekanistik. Pergeseran nilai dan fungsi pada akhirnya akan ditolak atau dihindari. Namun, pendidikan itu tidak akan membawa banyak manfaatnya bagi perkembangan peradaban manusia. Gambaran di atas menunjukan bangsa Indonesia sedang mengalami krisis pendidikan, sekaligus krisis kebudayaan. Fakta-fakta tersebut yang menjadi kontras dengan kurikulum dan tujuan pendidikan nasional merupakan sesuatu yang perlu disikapi dengan tepat agar institusi pendidikan dapat menjadi tempat yang aman serta damai tanpa adanya diskriminasi demi keberlangsungan proses pendidikan dalam rangka mewujudkan cita-cita yang tercantum dalam pendidikan nasional.

Kurikulum 2013 memiliki tujuan yang sangat mulia dalam rangka mempersiapkan manusia Indonesia memiliki kapasitas dan kemampuan baik kognitif, afektif, maupun psikomotorin. Dengan memaksimalkan ketiga aspek tersebur, manusia Indonesia diharapkan dapat menjadi pribadi yang bertaqwa, produkti, keratif maupun inovatif serta dapat berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat, baik lokal, nasional maupun bermasyarakat

(12)

global serta dapat berkontribusi terhadap bangsa dan negara juga dalam membangun peradaban dunia.

Mutaqi dkk (2019: 84-90). Dewasa ini telah marak terjadi degradasi moral di kalangan kaum muda termasuk anak-anak sekolah dan pelajar. Perilaku menabrak etika, moral dan hukum dari yang ringan sampai yang berat. Moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Sekolah mempunyai peran penting dan substansial dalam membangun karakter peserta didik dan bangsa agar dapat menjadikan manusia Indonesia bermartabat. Membangun karakter bangsa adalah suatu kebutuhan yang hakiki dalam proses bernegara dan berbangsa dan menjadi bagian yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Dalam arah dan kebijakan dan prioritas pendidikan karakter sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJMN 2005-2025 bahwa pendidikan karakter sejalan dengan prioritas pembangunan nasional, dapat dicermati dari Standar Kompetensi Lulus pada setiap jenjang pendidikan.

Pendidikan Indonesia memiliki paradigma integralistik yang artinya setiap masyarakat dan warga negara memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan mengutamakan musyawarah mufakat dalam mengambil kebijakan dankeputusan bersama tanpa pemaksaan kehendak. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.

Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai keadilan dan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

Nilai adalah objek sejati bagi daya perasaan hati nurani manusia yang memiliki keterarahan. Keterarahan perasaan manusia kepada nilai itu ternyata berjalan terlebih dahulu sebelum adanya tindakan kesadaran lainnya. Dalam segala pengalaman hidup, selalu dapat dirasakan adanya pengalaman akan nilai, perasaan manusia pertama terarah pada nilai. Tindakan merasakan dalam diri manusia merupakan suatu intensionalitas asli yang mengarah pada objek yang sebenarnya, yaitu nilai. Mutaqi dkk (2019:177)

Pendidikan nasional memiliki fungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 mulai butir (1) yakni “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.

Wihardit Jurnal Pendidikan (2010: 100) mendefinisikan Pendidikan Multikultural yaitu:

Pertama, setiap peserta didik harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan

(13)

potensi dirinya. Kedua, Setiap peserta didik harus dipersiapkan untuk ikut berpartisipasi secara kompeten dalam masyarakat lintas budaya. Ketiga, Mempersiapkan guru membantu setiap peserta didik untuk belajar secara efektif tanpa melihat latar belakang budaya yang berbeda.

Keempat, Partisipasi aktif sekolah sebagai bagian dalam menentang dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan penindasan. Kelima, Pendidikan harus berpusat pada peserta didik dan membuka diri terhadap berbagai bentuk aspirasi dan pengalaman dari setiap peserta didik.

Menurut Semiawan (2002:165), gagasan pendidikan multikultural ditimbulkan oleh kurang berhasilnya pendidikan interkultural dalam mengatasi konflik antargolongan dan antar masyarakat. Pendidikan interkultural hanya memunculkan sikap tidak peduli kepada nilai-nilai budaya yang minoritas bahkan melestarikan prasangka-prasangka sosial dan kultural.

Pendidikan multikultural, sebagai gantinya diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan saling memahami serta adanya pengakuan terhadap kebudayaan kelompok minoritas.

Pendidikan multikultural di sekolah, menurut Tilaar (2004: 224) dapat dilaksanakan pada beberapa aspek dan kelembagaan misalnya:

a) Kultur sekolah

Kultur yang sehat memiliki korelasi yang tinggi dengan:

1) Prestasi dan motivasi peserta didik untuk berprestasi 2) Sikap dan motivasi kerja guru

3) Produktivitas dan kepuasan kerja guru b) Manajemen sekolah

Kesetaraan dalam belajar sebagaimana yang menjadi fokus pendidikan multikultural haruslah dikelola dengan kepemimpinan kepala sekolah yang kuat. Kepala sekolah tidak hanya sebagai manajer, ia harus mampu menjadi leader (pemimpin).

c) Proses pembelajaran

Pembelajaran yang mendukung untuk mencapai tujuan pendidikan multikultural adalah pembelajaran yang berdasarkan pada pedagogik transformatif. Pedagogik transformatif adalah pedagogik yang mengungkapkan kebebasan dan sekaligus keterbatasan manusia, serta menekankan pentingnya partisipasi dengan sesama manusia.

Dalam melaksanakan pendidikan multikultural untuk mengatasi, mengelola dan mengantisipasi konflik bukanlah hanya tanggung jawab institusi pendidikan melainkan tanggungjawab bersama semua pihak tetapi sebagai institusi yang penting dan strategis dalam mempersiapkan generasi bangsa yang beradab, sekolah memiliki kewajiban agar cita-cita pendidikan nasional tercapai dengan optimal. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan lebih dominan menjadi instrumen dalam mewujudkan harapan dan cita-cita masa depan yang baik dari sebuah masyarakat serta individu yang terlibat didalamnya. Wacana pendidikan multikulturalisme sudah selayaknya mendapat perhatian dari semua kalangan yang terkait

(14)

dengan dunia pendidikan baik pengambil kebijakan maupun warga sekolah. Komitmen dan dukungan para pihak merupakan langkah yang awal untuk terwujudnya pendidikan multikulturalisme dan pendidikan demokratis yang berimplikasi kepada terbentuk dan terwujudnya masyarakat multikulturalis demokratis.

Sudrajat (2013:39) mengungkapkan pendidikan multikultural sangat baik diimplementasikan dalam dunia pendidikan di sekolah maupun di masyarakat demokratis karena memungkinkan seluruh warga negara untuk memberikan kontribusi dalam transformasi sosial serta demokrasi akan semakin berkembang.

Para guru sebagai salah satu elemen yang paling diperhatikan dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural karena guru merupakan aktor yang berhadapan langsung dengan para peserta didik. Guru wajib memiliki pemahaman yang memadai mengenai konsep dan juga paradigma pendidikan multikultural. Para guru perlu memiliki pemahaman yang baik bahwa pendidikan multikultural tidak hanya memperkenalkan kultur lain kepada para peserta didik tetapi juga penciptaan iklim multicultural oriented yang mengedepankan nilai keadilan sosial bagi para peserta didik.

Zamroni, (2011a: 145) melihat betapa sangat penting dan perlunya pendidikan multikultural dalam memberikan pelayanan pendidikan yang dapat meningkatkan prestasi secara optimal bagi para peserta didik yang mengalami kondisi keterbelakangan. Dengan demikian pendidikan multikultural mempunyai perspektif holistik yang tidak saja meningkatkan prestasi secara maksimal bagi para peserta didiknya tetapi juga dapat memberikan perlakuan adil tanpa prasangka terhadap peserta didik. Langkah yang ke berikut adalah guru harus memiliki desain pembelajaran yang berbasis multikultural.

Menurut Sudrajat (2014 :16) dalam merumuskan tujuan pembelajaran guru diarahkan untuk mengutamakan dan mementingkan tujuan afektif serta psikomotorik yang bermuara pada meningkatnya keterampilan dan mampu menjalin kerjasama antar peserta didik yang berbeda-beda dengan berpedoman pada nilai-nilai kearifan lokal. Untuk mengajarkan materi pembelajaran, guru dapat menggunakan strategi pembelajaran cooperative learning dengan berbagai variasi-variasinya. Strategi pembelajaran tersebut juga dapat mengurangi prasangka terhadap peserta didik lain yang berbeda latar belakang serta menghilangkan eksklusivitas diantara para peserta didik.

Pendidikan multikultural dalam bentuk dan model apapun mestinya tidak dapat lepas dari pada tujuan umum pendidikan multikultural itu sendiri yaitu untuk mengembangkan pemahaman yang mendasar tentang proses menciptakan sistem dan menyediakan pelayan pendidikan yang sederajat dan setara dan menghubungkan kurikulum dengan karakter guru,

(15)

pedagogis, iklim kelas, budaya sekolah dan konteks lingkungan sekolah guna membangun suatu visi “lingkungan sekolah yang sederajat/setara”.

Zamroni (2011:150), mengusulkan agar pendidikan multikultural diperlakukan sebagai pendekatan untuk memajukan pendidikan secara utuh. Sekolah harusnya dipandang sebagai suatu masyarakat kecil yaitu apapun yang ada di dalam masyarakat secara luas harus ada pula di sekolah. Pandangan sekolah sebagai suatu masyarakat kecil memiliki implikasi bahwa peserta didik dipandang sebagai suatu individu yang memiliki karakteristik yang terwujud dalam bakat dan minat serta aspirasi yang menjadi hak peserta didik.

Pada level sekolah dengan adanya berbagai perbedaan masing-masing individu maka sekolah harus memperhatikan: Pertama, setiap peserta didik memiliki kebutuhan perkembangan yang berbeda-beda, termasuk kebutuhan personal dan kebutuhan sosial. Kedua, kebutuhan vokasi dan karier. Ketiga, kebutuhan ekologi dan perkembangan moral spiritual.

Dunia pendidikan memiliki kewajiban dalam pemenuhan kebutuhan dari par peserta didik, sekolah seyogyanya menjadi tempat yang nyaman dan aman serta dipenuhi suasana kekerabatan dan suasana menyenangkan. Selain itu, sekolah diharapkan menjadi wadah dengan semangat saling mendukung, baik antara guru dengan peserta didik maupun antara peserta didik dengan sesamanya. Terkait hal tersebut, aspek intelektual, aspek sosial maupun moral spiritual dapat diarahkan oleh proses pembelajaran dan pengembangan bagi individu secara utuh. Pendidikan multikultural dilihat dari persepsi hasil pembelajaran mempunyai sasaran yang dapat dikembangkan dalam diri setiap peserta didik yakni tiga hal berikut ini:

a) Pengetahuan dan pemahaman serta kesadaran akan kelompok etnis yang dapat menimbulkan kebanggaan serta rasa percaya diri yang dapat dikembangkan melalui pengembangan identitas kultural yakni pengembangan kompetensi peserta didik agar dapat mengidentifikasi dirinya dengan kelompok etnis tertentu.

b) Kompetensi personal dalam berrelasi baik dengan kelompok lain yang berbeda serta senatiasa menjunjung tinggi kesetaraan dan persamaan serta persamaan serta prinsip tanpa melakukan prasangka dan memberikan stigma buruk terhadap kelompok lain.

c) Kemampuan untuk pemberdayaan diri serta pengembangan secara terus menerus kompetensi yang berkaitan dengan pemahaman mulikultural.

Peran guru sangat penting dalam menerapkan strategi pembelajaran yang berbasis pada pendekatan multikultural dengan menciptakan komunikasi yang sehat dan pergaulan sosial dengan para peserta didik yang memiliki sifat, karakter dan latar belakang beragam dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga mereka akan saling belajar hal-hal

(16)

positif dalam diri para peserta didik karena salah satu tujuan utama pendidikan multikultural adalah melakukan perubahan dan transformasi berbagai pendekatan belajar dan mengubah konseptualisasi serta transformasi organisasi sehingga setiap individu dari berbagai kultur mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar di lembaga pendidikan. Kesempatan yang sama tersebut bukan hanya semata-mata memperoleh kesempatan duduk di bangku sekolah melainkan yang lebih penting selain kebersamaan dalam satu kelas adalah memberikan perhatian dan pelayanan penuh dalam memenuhi kebutuhan khusus pendidikan (special education needs) setiap individu peserta didik.

3. Revitalisasi Pendidikan Multikultural dalam Pembelajaran Sejarah

Kondisi masyarakat yang multikultural di Indonesia merupakan suatu keniscayaan, memahami nilai-nilai multikultural adalah sebuah kewajiban setiap warga negara terlebih warga sekolah yang eksistensinya tidak terlepas dari kondisi yang jelas beragam. Pendidikan multikultural di sekolah tentu sangat membantu sebagai upaya penyadaran akan keberagaman itu sendiri agar dipahami dengan benar dan baik oleh setiap warga sekolah. Pembelajaran sejarah misalnya tidak terlepas dari pengajaran tentang nilai-nilai atau makna dari suatu peristiwa di masa lampau agar dipahami peserta didik sehingga nilai-nilai dari sejarah itu bisa diwariskan, dimengerti dan diteladani dan diterapkan di sekolah oleh peserta didik, guru, maupun warga sekolah lainnya. Itulah esensi dari belajar sejarah dan juga memahami multikulturalisme oleh warga sekolah.

Menurut Zubaedi (2004: 9) dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini.

a) Pendidikan multikultural harus menawarkan berbagai kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.

b) Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.

c) Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.

d) Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Dalam kurikulum 2013 memuat standar kompetensi yang menjadi acuan dalam proses pembelajaran yaitu meliputi, Kompetensi Inti (KI) yang terdiri dari kompetensi sikap spiritual (KI 1), sikap sosial (KI 2), pengetahuan (KI 3), dan keterampilan (KI 4). Kompetensi inti dan kompetensi dasar merupakan panduan dalam proses perencanaan pembelajaran yang memuat berbagai aspek termasuk aspek budaya yang mengandung nilai-nilai sejarah dan nilai

(17)

multikultural yang dapat diajarkan kepada peserta didik. Nilai-nilai tersebut dapat digali dan dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran sejarah supaya peserta didik memahami dan menginternalisasikannya agar tercapainya tujuan pendidikan dengan maksimal terlebih khusus mengenai pendidikan multikultural. Dalam mata pelajaran sejarah, kompetensi- kompetensi ini disesuaikan dengan materi pembelajaran.

Sutimin dan Wahyuni (2013: 5) menyebutkan bahwa pembelajaran merupakan sebuah proses kerjasama antar guru dan peserta didik dan pemanfaatan seluruh potensi dan sumber yang ada, termasuk potensi yang berasal dari dalam diri peserta didik seperti bakat dan minat serta kemampuan dasar yang dimilikinya, termasuk juga gaya belajar.

Sementara itu, pengertian sejarah menurut Kuntowijoyo (2005:18) merupakan rekonstruksi masa lalu yang berarti apa yang telah terjadi dalam kaitannya dengan manusia dan tindakannya direkonstruksi (dibangun kembali) dalam bentuk kisah sejarah.

Dari pengertian pembelajaran dan pengertian sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah adalah suatu aktivitas belajar mengajar, guru menerangkan pada peserta didiknya tentang gambaran kehidupan masyarakat masa lampau yang menyangkut peristiwa- peristiwa penting dan memiliki nilai-nilai historis yang bermakna bagi keberlangsungan masa kini dan masa yang akan datang.

Sejarah mempunyai arti yang strategis dalam hal membentuk watak dan kepribadian untuk membentuk manusia Indonesia yang mempunyai rasa bangga terhadap bangsa dan tanah airnya dalam rangka pembangunan peradaban dan martabat bangsa. Hal itu tertuang dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

Mutaqi dkk (2019: 356-357) Kurangnya ketertarikan generasi muda terhadap sejarah diantaranya karena pembelajaran sejarah pada umumnya hanya mengajarkan materi yang jauh dari realitas kehidupan peserta didik. Pengajaran sejarah yang sekarang terjadi tak memberikan harapan dalam upaya mewariskan nilai-nilai perjuangan, seharusnya menjadi menarik dan penting dipahami karena sejarah dapat membimbing kepada pengetahuan diri dan membentuk jati diri sebagai pribadi maupun sebagai bangsa. Realita pembelajaran sejarah kurang atau tidak diminati karena dianggap membosankan oleh para peserta didik. Berikut beberapa alasan sejarah kurang dinikmati oleh peserta didik.

Pertama, pengajaran sejarah lebih menekankan pada aspek kognitif. Peserta didik dihadapkan pada serentetan catatan fakta yang terjadi di masa lampau yang membentuk suatu peristiwa secara umum.

Kedua, sejarah lebih didominasi sejarah politik. Materi pelajaran sejarah lebih banyak berisi pergantian dan pergulatan politik baik di masa sebelum kemerdekaan maupun era

(18)

sebelum kemerdekaan, berisi pergantian kekuasaan kerajaan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Ketiga, materi pelajaran sejarah yang lebih memuat sejarah politik masih dipersempit lagi dengan peristiwa sejarah besar yang melibatkan tokoh-tokoh besar, padahal perlawanan bangsa untuk memperjuangkan kemerdekaan bersifat perlawanan rakyat semesta. Ada kesan seolah-olah sumber sejarah bukanlah kenyataan yang bisa dirasakan atau diamati dari lingkungan sekitar. Pelajaran sejarah justru malah tidak menampilkan peristiwa dan tokoh sejarah lokal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, pahlawan-pahlawan yang dikenalkan pun terkesan jauh dari jangkauan peserta didik. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mendekatkan peserta didik pada materi sejarah dengan menggunakan sumber-sumber lokal tempat peserta didik tersebut tinggal. Sumber-sumber tersebut tidak hanya diajarkan sebatas pengetahuan belaka, akan tetapi mampu menanamkan karakter kepahlawanan dan nilai-nilai positif perjuangan dalam diri siswa. Sumber lokal yang dijadikan materi sejarah dapat berupa peninggalan-peninggalan yang ada di lingkungan sekolah. Pembelajaran tersebut diharapkan dapat membantu dalam menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan yang ada di daerah masing-masing. Pembelajaran sejarah yang berbasis multikultural butuh peran berbagai pihak terutama guru dan pemangku kepentingan yang membuat dan menyusun kurikulum. Sehingga pembelajaran sejarah memiliki makna dan menjadi sarana dalam mewariskan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Dalam mempelajari sejarah tidak akan berarti apabila tidak disertai dengan pemahaman akan nilai yang terkandung dalam bentuk, fungsi, dan maknanya. Tidak dapat dibantah bahwa manusia pada umumnya gemar menggunakan pengalaman-pengalaman itu sebagai pedoman atau contoh untuk memperbaiki kehidupannya. Neiny (1996:2). Jadi pembelajaran sejarah adalah belajar tentang nilai dan bukan menghafal peristiwa atau kejadian, karena nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa memiliki kegunaan sebagai pelajaran untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Kochar (2008: 56-63), mengatakan bahwa nilai sejarah berguna bagi semua kalangan yang ingin belajar sejarah, terutama peserta didik. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut:

a) Keilmuan b) Informative c) Pendidikan d) Etika e) Budaya f) Politik g) Nasionalisme

(19)

Mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a) Mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri, masyarakat, dan bangsanya.

b) Mengembangkan rasa kebangsaan, cinta tanah air, dan penghargaan terhadap hasil dan prestasi bangsa.

c) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu dan ruang dalam berpikir kesejarahan.

d) Mengembangkan kemampuan berpikir sejarah (historical thinking), keterampilan sejarah (historical skills), dan wawasan terhadap isu sejarah (historical issues), serta menerapkan kemampuan, keterampilan dan wawasan tersebut dalam kehidupan masa kini.

e) Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karakter diri, masyarakat dan bangsa.

f) Menanamkan sikap berorientasi kepada masa kini dan masa depan.

g) Memahami dan mampu menangani isu-isu kontroversial untuk mengkaji permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.

h) Mengembangkan pemahaman internasional dalam menelaah fenomena aktual dan global.

Mata pelajaran sejarah sangat penting dalam membentuk kesadaran kolektif bangsa Indonesia tentang pentingnya memahami sejarah di masa lampau untuk menjadi modal dan pegangan dalam memahami nilai-nilai bangsa dan membangun relasi antar sesama dengan penuh toleransi. Materi sejarah sangat berperan penting dalam menentukan hal-hal yang berkaitan penting untuk membangun kesadaran kolektif yang berimplikasi pada terbentuknya rasa bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia dan dapat menerima realitas bahwa bangsa Indonesia beraneka ragam sejak dahulu.

Aman (2011: 34-35) menyatakan materi sejarah merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan, penanaman nilai dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan, menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, dan berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggungjawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

Pembelajaran dapat dikatakan berhasil apabila guru dan peserta didik memiliki motivasi dan upaya dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Kualitas pembelajaran sejarah menurut Aman (2011: 454) terdiri dari 7 komponen diantaranya:

a) Kinerja guru b) Materi pelajaran c) Metode pembelajaran d) Sarana pembelajaran e) Iklim kelas

(20)

f) Sikap peserta didik g) Motivasi belajar

Pembelajaran sejarah akan berhasil apabila memenuhi tiga komponen berikut yaitu, kecakapan akademik, kesadaran sejarah, dan sikap nasionalisme. Kesadaran sejarah sangat diperlukan sebagai suatu orientasi intelektual dan suatu sikap jiwa yang menunjukan penghayatan pada makna dan nilai sejarah itu sendiri dengan tepat sehingga ia dapat mengenal dari mana bangsanya berasal dan apa nilai jati diri bangsanya serta mau kemana arah tujuan bangsanya dan apa langkah-langkah yang diambil untuk berperan dalam membangun peradaban bangsanya itu. Untuk memperoleh kesadaran sejarah diperlukan motivasi sebagai penggerak yang kuat dari dalam jiwa dalam menggali makna dan hikmah dari sebuah sejarah yang dipelajari. Melalui pembelajaran sejarah, kejayaan dan nilai-nilai kepribadian bangsa di masa lalu dapat dipetik sebagai pelajaran sekaligus modal yang baik dalam menhadapi tantangan di masa kini dan masa mendatang. Mempelajari sejarah bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga (transfer of value) termasuk nilai- nilai yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang sejak semula multikultur. Pentingnya sejarah diajarkan kepada generasi penerus melalui institusi pendidikan tentunya bertujuan untuk membentuk kesadaran sejarah yang berorientasi kepada pembentukan karakter dan menjurus kepada pemahaman dan penghayatan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia yang beraneka ragam atau multikultural.

Hal itu telah ditegaskan juga oleh Supardi (2014: 94) bahwa inti pembelajaran sejarah adalah agar generasi muda dapat mengambil hikmah dari pengalaman dan kehidupan nenek moyang dan pendahulu bangsa.

Sejalan dengan tujuan pembelajaran sejarah yang mengutamakan nilai-nilai yang mengakar pada warisan bangsa Indonesia, pendidikan multikultural juga memiliki dasar dan tujuan yang memuat perspektif keindonesiaan dalam menyikapi perubahan sosial. Dalam pembelajaran sejarah, pendidikan sejarah memiliki makna dan nilai sosial yang tinggi, membangun kebanggan dan melestarikan nilai-nilai luhur bangsa yang sejalan dengan upaya menanamkan pendidikan yang berbasis multikulturalisme.

Misalnya, Hamid (2007:7) memiliki pendapat berkenaan dengan berbagai pemaknaan terhadap pendidikan sejarah yaitu: Petama, pendidikan sejarah secara tradisional dimaknai sebagai salah satu upaya dalam mentransfer kerusakan maupun kemegahan bangsa pada masa lalu kepada generasi bangsa. Pendidikan sejarah dengan posisi yang demikian merupakan salah satu sarana mewariskan nilai-nilai yang menjadi keunggulan bangsa. Posisi pendidikan sejarah

(21)

tersebut bertujuan melestarikan keunggulan bangsa dan membangun kebanggaan bagi bangsa.

Kedua, Pendidikan sejarah berkenaan terhadap upaya memperkenalkan kepada peserta didik mengenai disiplin ilmu sejarah. Pemahaman terhadap sejarah, kemampuan analisis isu, dan kualitas berpikir kronologis dan pengambilan keputusan (historical issues analysis and decision making) menjadi tujuan penting dalam pendidikan sejarah.

Sementara pendidikan multikultural menurut Prihandono (2006) dalam Website Balai Tekkomdik DIY. mengatakan dasar tujuan pendidikan multikultural adalah perubahan sosial.

Maka tiga arus transformasi menjadi keniscayaan, yaitu: Transformasi diri, transformasi sekolah dan sistem sekolah, transformasi masyarakat. Pendidikan yang disemangati multikulturalisme sangat penting bagi bangsa Indonesia karena apresiasi dan saling menghormati terhadap perbedaan harus dibentuk sejak dini dalam kehidupan peserta didik.

Kendala terbesar pembelajaran sejarah di sekolah adalah kombinasi dari metode pembelajaran yang konvensional, tidak menarik dan guru/pendidik yang tidak terampil menerangkan sejarah secara menarik. Selama ini, salah satu hal yang kerap diasosiasikan dengan pelajaran sejarah adalah hafalan. Guru berceramah di depan kelas dan peserta didik diperintahkan untuk mencatat dan menghafalnya. Ironisnya, hingga saat ini, metode itulah yang paling banyak dipakai sekolah untuk membuat peserta didiknya belajar sejarah. Guru dan buku teks adalah sumber belajar utama dan aspek kognitif paling dominan diajarkan kepada peserta didik tanpa memperhatikan aspek afektif, dan psikomotorik yang justeru sangat penting dan vital dalam membentuk peserta didik yang terdidik untuk menjadi penerus peradaban yang maju di tengah keanekaragaman yang menuntut semua elemen masyarakat belajar dan mempunyai atensi besar dalam menghadapi era keterbukaan dan globalisasi di depan mata.

4. Integrasi Pendidikan Multikulturalisme di Era Digital

Handoyo (2018 :11), mengatakan era baru saat ini yang ditandai oleh penggunaan teknologi informasi yang berkembang pesat melampaui cara-cara klasik yang sudah tidak relevan dengan gaya hidup sekarang atau sering disebut era disrupsi. Generasi Z adalah pemilik dan penerus peradaban di era digitalisasi dan di zaman revolusi industri 4.0. Mereka karena sehari-hari ditemani gadget cenderung individualis, karena ditayangkan terus-menerus.

Informasi yang mengandung hoax atau hate-speech dapat saja merasuki mereka tanpa mereka sadari. Hal ini tentu berbahaya bagi masa depan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Era digital merupakan era penuh tantangan, kehadiran kecerdasan buatan, robotika, internet of things (IoT), kendaraan otonom, 3D printing, nanoteknologi, bioteknologi, ilmu material, penyimpanan energi, komputasi kuantum, serta inovasi ilmu pengetahuan dan

(22)

teknologi lainnya telah mengubah cara hidup masyarakat kini dan ke depan. Kecanggihan teknologi dan kemudahan akses materi pembelajaran adalah ciri khas yang dimanfaatkan generasi Z. Generasi ini masih mengandalkan buku-buku referensi sebagai sumber ilmu, namun mereka akan segera mencari bahan belajar dengan cara browsing di internet ketika kekurangan referensi. Beberapa peserta didik mungkin justru mengesampingkan adanya proses pembelajaran klasikal di kelas dan lebih memilih belajar via internet. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat generasi ini merupakan generasi yang mampu melakukan hal secara multitasking disamping sudah menguasai media informasi digital. Oleh karena itu, ke masa yang akan datang semua perguruan tinggi perlu menciptakan kondisi yang disesuaikan dengan tuntutan zaman.

Generasi Z umumnya telah jauh lebih bagus dari generasi sebelumnya dalam pemakaian teknologi informasi. Sayangnya, kearifan lokal bangsa yang diyakini dapat menjaga nilai-nilai kehidupan generasi penerus agar menjadi warga bangsa yang sehat jiwa raga dan bahagia belum banyak mengisi cipta, rasa, dan karsa (pikiran, perasaan dan kemauan) generasi penerus.

Mutaqi dkk (2019: 32).

Era digitalisasi pembelajaran membawa peserta didik pada berbagai kemudahan dalam belajar, mindset belajar bukan lagi sebatas interaksi antara guru dan peserta didik secara langsung melainkan telah bergeser menjadi proses tunggal yang memberikan keleluasaan peserta didik untuk belajar dari berbagai sumber termasuk internet. Gaya belajar tersebut merupakan dampak digitalisasi yang massif, bergerak cepat, dan sulit terkendali. Fenomena ini terjadi dikarenakan pengaruh dan ketergantungan teknologi oleh peserta didik itu sendiri apalagi kalau peserta didik mendapatkan pengetahuan dan informasi yang tidak valid dan tidak benar akan sangat berbahaya bila tidak dibekali dengan pemahaman yang baik.

Peserta didik saat ini telah dimanjakan dan mengalami ketergantungan terhadap internet yang mengurangi kesempatan terlibat dalam proses interaksi dengan teman kelas maupun lingkungan sekolah. Hal ini berdampak pada hilang nya relasi yang baik terhadap sesama dikarenakan peserta didik cenderung menyendiri, apatis bahkan tidak peduli dengan lingkungannya sehingga hilangnya kepekaan, empati, dan juga mengurangi hubungan humanis dengan sesama maupun dengan guru. Sebab peran teman sebaya maupun peran guru tergantikan oleh teknologi dan relasi di sosial media yang tidak nyata, sikap egois dan acuh tak acuh sangat mudah berkembang di dalam diri peserta didik karena kurangnya akses terhadap lingkungannya baik dengan sesama maupun dengan gurunya. Tantangan bagi guru adalah tidak hanya menggiatkan inovasi pengajaran, tetapi juga menguatkan literasi digital pada keseharian peserta didiknya.

(23)

Meningkatnya keterlibatan anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia harus menjadi perhatian dan refleksi bagi orang tua dan institusi pendidikan di Indonesia. Anak yang seharusnya memperoleh pendidikan yang baik dalam keluarga dan sekolah-sekolah telah menjadi korban situasi kekacauan digital yang memungkinkan terjadinya kendali orang tua dan guru menjadi lemah. Tanpa adanya revolusi di dunia pendidikan, pembangunan manusia Indonesia yang adil dan beradab menuju pada kehancuran utamanya revolusi cara berpikir untuk menghadirkan pendidikan yang mencerahkan.

Pendidikan bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan dalam proses pendidikan tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan sosial budaya.

Maarif (2017) menjelaskan, pendidikan tidak dibangun melalui proses yang doktriner mekanistik, melainkan keterlibatan aktif para pendidik dan peserta didik melakukan dialog memberi warna dan makna terhadap suatu kajian tertentu, pendidikan membebaskan peserta didik dari sekat primordial dan menumbuhkan sikap kebersamaan dalam kebhinekaan.

Keadaan semacam ini mendorong tercapainya pengembangan peserta didik agar tahu bagaimana menghargai perbedaan dan peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Lebih jauh, peserta didik akan terinspirasi untuk menghormati martabat tanpa syarat sebagai sesuatu yang melekat (inheren) dan tak bisa diganggu gugat (inviolable). Apabila nilai pendidikan semacam ini tidak dapat dicapai, maka yang muncul dari keniscayaan pluralitas masyarakat justru akan menimbulkan sikap-sikap amoral, intoleran, banalitas, anarkisme, dan anti kemanusian. Selanjutnya ia menjelaskan tentang pendidikan yang mencerahkan, sebagai berikut: mengharapkan peserta didik mampu menangkal dari doktrin anti kemanusiaan (atau doktrin terorisme) melalui pendidikan anti terorisme.

Guru sebagai agen perubahan dan rekonsiliasi yang kreatif harus menjadi contoh dalam mempraktekkan hidup damai dalam kebhinekaan di masyarakat. Guru tidak saja menjadi pengajar (teacher), tetapi juga berperan sebagai pembelajar (learner). Ia tidak hanya pandai dalam ilmu pengetahuan (smart teacher) dan sukses membangun perilaku (success learner) namun juga harus mencerahkan jiwa (delight learner). Pendidikan semacam inilah kiranya akan mampu membebaskan dari pemiskinan berpikir dan pembodohan berperilaku, atau disebut pendidikan yang mencerahkan. Institusi pendidikan dan guru juga harus dapat menguasai teknologi mutakhir agar dapat membantu proses pembelajaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai sesuai standar pendidikan yang telah ditetapkan.

(24)

Pendekatan atau paradigma dalam pembelajaran harus berubah dari teacher-oriented ke student oriented, karena pembelajaran yang selalu menjadi momok bagi peserta didik cendrung perpusat pada guru dengan metode dan media pembelajaran yang klasik dan usang serta terlalu banyak ceramah sehingga dalam pembelajaran peserta didik seolah mendengarkan ceramah guru, padahal pikiran mereka tidak terpusat pada ceramah guru. Mereka akan asyik dengan diri sendiri. Mereka tidak termotivasi untuk belajar. Karenanya cara konvensional tersebut harus diubah. Dalam pembelajaran sejarah pada era digital adalah dengan mendekatkan diri pada dunia peserta didik yang saat ini berada pada kategori generasi Z.

Penggunaan gadget dalam proses pembelajaran merupakan sesuatau yang niscaya, dikarenakan gadget telah menjadi bagian dari kehidupan generasi Z saat ini. Dalam upaya menarik minat dari para peserta didik materi sejarah harus sedemikian rupa dikemas dan dibuat dalam wujud narasi singkat dan dapat berupa game yang memacu adrenalin dan membuat peserta didik tertantang untuk berpikir lebih kera, kritis dan berpikir cerdas serta memakai imajinasinya untuk melakukan pemecahan terhadap fenomena dan permasalahan dimana guru menjadi fasilitator dalam pembelajaran di dalam kelas serta berinovasi dengan gambar yang dapat menarik minat dari para peserta didik dalam pembelajaran sejarah. Dengan strategi pembelajaran, apakah bersifat klasikal, kelompok, atau pun individual, guru akan menemukan anak didiknya terlihat semangat, antusias, gembira, sekaligus berkomitmen untuk menjaga kekompakan dan keutuhan sebagai warga bangsa yang multikultural.

Supardi (2014: 92) mengemukakan bahwa terdapat lima tipologi multikultural yang berkembang antara lain berikut ini:

a) Mengajar mengenai kelompok peserta didik yang memiliki budaya yang lain (cultural difference)

b) Hubungan manusia (human relation), membantu peserta didik dalam melakukan percampuran antarkelompok

c) Single group studies, yakni program yang mengajarkan hal-hal yang memajukan pluralisme tetapi tidak menekankan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat

d) Pendidikan multikultural, reformasi pendidikan yang menyediakan kurikulum serta materi pembelajaran yang menekankan kepada adanya perbedaan peserta didik

e) dalam bahasa, yang keseluruhannya untuk memajukan pluralisme kebudayaan dan ekualitas sosial.

(25)

f) Pendidikan multikultural yang sifatnya rekonstruksi sosial dengan tujuan menyatukan keberagaman dan menantang ketimpangan sosial yang ada dalam masyarakat

Pendidikan multikultural diharapkan dengan adanya sikap saling mengerti dan memahami serta saling menerima dapat menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati. Pendidikan multikultural dapat menjadi benteng dalam menentang dan meminimalisir rasisme, radikalisme, dan juga terorisme serta fanatisme sempit terhadap sesuatu yang diyakini pribadi atau kelompok tertentu dengan melakukan prasangka buruk terhadap orang ataupun kelompok yang lainnya.

Terjadinya konflik identitas di berbagai daerah di tanah air menurut banyak studi yang dilakukan penyebabnya adalah kurangnya pemahaman serta pemaknaan tentang konsep- konsep kearifan budaya pada masyarakat. Konflik akan terjadi apabila tidak adanya distribusi nilai-nilai keadilan sosial kepada masyarakat. Keanekaragaman dan perbedaan ras yang ada pada masyarakat dapat menjadi hambatan yang dapat disebut sebagai prasangka rasial.

Prasangka rasial itu sangat sensitif dikarenakan dapat melibatkan sikap seorang individu maupun pun kelompok tertentu terhadap etnis/ras kelompok lain. Prasangka ini muncul akibat situasi sosial maupun sejarah masa lalu, stereotipe tertentu dan juga etnosentrisme kebudayaan oleh kelompok tertentu. Dengan kata lain yaitu terjadinya dinamika dan perkembangan di masyarakat Indonesia di masa depan sangat dipengaruhi oleh relasi antar kelompok etnis maupun ras. Setelah reformasi keran kebebasan dan keterbukaan semakin terbuka dan memunculkan tantangan baru yang semakin berat dikarenakan menghadapi realitas dari eksistensi masyarakat plural. Pertentangan dimulai dari perasaan kepemilikan pada kelompok (eksklusifitas) berhadapan dengan bukan kelompok, tercatat banyak konflik internal disebabkan oleh etnis, etnis, agama, maupun ras seperti konflik antara etnis Dayak dengan etnis Madura, konflik di Poso, konflik di Maluku dan konflik yang SARA yang terjadi pada berbagai daerah di Indonesia. Pembenaran lewat simbol-simbol suku, ras, agama, etnis dan budaya menjadi dalih pemurnian identitas kelompoknya untuk melawan identitas kelompok lain mengakibatkan legalnya tindakan kekerasan dan diskriminasi yang memicu konflik.

Multikulturalisme dalam bingkai ideologi Pancasila yang berarti memilih model multikulturalisme yang sesuai dengan ideologi Pancasila dapat menjadi jawaban dan upaya dalam menghadapi tantangan tersebut.

Kymlicka (2000: 34) menyatakan bentuk multikulturalisme yaitu memberikan kebebasan dalam berafiliasi tanpa pemaksaan kehendak dan multikulturalisme harus cair dalam

(26)

kelompoknya dan dalam batasan-batasan antara kelompok tersebut dengan kelompok lain serta memiliki konsepsi identitas yang bersifat inklusif sebagai bagian dari nilai dan model multikulturalisme.

Munculnya berbagai konflik di Indonesia belakangan ini karena akibat tidak adanya common platform dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat diwujudkan bila, pertama, konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami oleh masyarakat Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional untuk mengadopsi dan menjadikannya sebagai pedoman:

Kedua, kesamaan pemahaman di antara masyarakat Indonesia mengenai makna dan model multikulturalisme dan bangunan konsep yang mendukungnya.

Ada 3 hal yang biasanya melatarbelakangi terjadinya disintegrasi antara kelompok masyarakat baik kelompok mayoritas dan kelompok minoritas seperti dikutip dari Purwasito (2003: 147), yaitu: Prasangka historis, diskriminasi dan perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain (out-group).

Sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam pulau, keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi ciri khas. Tingkat keanekaragaman yang tinggi dalam masyarakat menjadikan bangsa Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural.

Banyaknya wilayah yang berbeda membentuk dan melahirkan suku, ras, budaya dan bahasa serta berbagai jenis kesenian yang sangat beragam. Keunikan dan ciri khas inilah yang menjadi kelebihan tersendiri yang dimiliki dari bangsa Indonesia.

Dengan realitas tersebut, multikulturalisme di Indonesia penting sekali untuk terus dirawat dan diajarkan kepada segenap elemen bangsa, khususnya melalui sektor pendidikan agar sedini mungkin, anak-anak bangsa diharapkan dengan lapang dada menghargai perbedaan sebagai suatu keniscayaan yang patut disyukuri dan diterima.

Mutaqi dkk. (2019: 430-433) Secara umum ada empat tren perkembangan teknologi informasi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Empat tren tersebut adalah disintermediasi, konvergensi, globalisasi dan inteligensi. Kaitan keempatnya dapat dilihat pada diagram berikut ini:

Gambar 1:

Tren Perkembangan Teknologi

Disintermediasi

Globalisasi Konvergensi

Inteligensi

Gambar

Gambar 2: Kerangka Berpikir  Silabus

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan penempatan pegawai sudah dilaksanakan dengan baik namun masih perlu diperhatikan persyaratan kese- suaian antara minat, bakat, pengetahuan, keterampilan

Fransiskus Xaverius, Kambaniru, Paroki Sang Penebus, Waingapu, Sumba Timur, ingin memberi wacana dan informasi tentang pacaran yang sehat dan bertanggung jawab sehingga

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

Kesiapsiagaan yang dimaksud adalah tindakan cepat masyarakat untuk menyelamatkan diri dan mengamankan harta yang dimiliki saat ada peringatan dini ataupun fenomena yang

dikelompokkan menjadi instrumen bernada yaitu glockenspiel, vibraphone, marimba, xylophone kemudian tidak bernada yaitu triangle, castagnet, cymbal, gong. Alat musik Phek

Daftar Pemilih Tetap yang selanjutnya disebut DPT adalah daftar pemilih yang telah ditetapkan oleh Panitia Pemilihan sebagai dasar penentuan identitas pemilih dan

“Dalam mengevaluasi penertiban pelanggaran parkir, bagian lapangan tentu banyak masalah yang dialami, seperti dari oknum pelanggar parkir yang ngontot beropersi

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat