• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

7

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Novel

a. Pengertian Novel

Novel merupakan salah satu jenis dari karya sastra fiksi berbentuk prosa.

Prosa berasal dari kata orate provorsa yang berarti uraian langsung, cerita langsung, atau karya sastra yang menggunakan bahasa terurai. Hal itu tentu saja berbeda dengan puisi yang menggunakan bahasa yang dipadatkan maupun drama yang menggunakan bahasa dialog. Sedangkan fiksi berasal dari kata fictio yang berarti membentuk, membuat, atau mengadakan. Fiksi bisa juga diartikan sebagai hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada, merujuk dari kata asalnya fiction. Prosa melukiskan realita imajinatif karena imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi (Rokhmansyah, 2014:

31).

Dalam cerita fiksi, pengarang mengolah dunia imajinasinya dengan dunia kenyataan yang dihadapi atau kenyataan sosial budaya. Pengalaman manusia yang dipaparkan adalah pengalaman manusia di sekitar penulis, sehingga oleh pembaca (pendengar) akan dihayati sebagai pengalaman mereka sendiri. Dunia yang dialami penulis cerita telah diolah oleh visi penulis tentang kehidupan (Brooks dalam Waluyo, 2011: 2).

Sebutan novel berasal dari bahasa Itali novella yang berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2012: 9). Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja juga bersifat imajiner. Waluyo (2011: 5) berpendapat bahwa secara etimologis, kata novel berasal dari novellus yang berarti “baru”. Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru.

(2)

Sedangkan Tarigan (1993: 164) menyatakan bahwa novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan perempuan yang bersifat imajinatif.

Novel menggambarkan kehidupan manusia secara luas dan diperoleh dari kehidupan pengarang itu sendiri maupun orang lain, baik dari lingkungan maupun masyarakat di sekitarnya. Melalui novel, pengarang menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan setelah menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan. Hasil penghayatan tersebut diungkapkannya melalui sarana fiksi atau prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia.

Karya sastra yang berupa novel pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella yang terbit pada tahun 1740. Pada awalnya, novel Pamella merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga yang kemudian berkembang mnejadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal saat ini (Tarigan, 1993:

164).

Novel dalam kesustraan Indonesia adalah novellet dalam sastra Inggris, sedangkan novel dalam sastra Inggris adalah roman dalam sastra Indonesia. Hal ini kadang sering membingungkan masyarakat dalam penyebutannya. Beberapa ahli teori sastra mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas, sedangkan roman menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia (Semi, 1993: 32). Dalam penelitian ini, novel yang dimaksud oleh penulis adalah novellet dalam sastra Inggris.

Adapun untuk panjangnya, Tarigan (1993: 165) lebih lanjut menjelaskan bahwa novel mengandung kata-kata berkisar antara 35.000 buah, jikalau kita pukul ratakan sehalaman kertas kuarto jumlah barisnya ke bawah 35 buah dan jumlah katanya dalam satu baris 10 buah maka jumlah kata dalam satu halaman adalah 35x10 = 350 buah. Selanjutnya, dapat kita maklumi bahwa novel yang paling pendek itu harus terdiri minimal lebih dari 100 halaman. Lebih lanjut,

(3)

Tarigan mengutip pernyataan Brooks bahwa ciri-ciri novel antara lain: (1) novel bergantung pada tokoh; (2) novel menyajikan lebih dari satu impresi; (3) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan (4) novel menyajikan lebih dari satu emosi.

Nurgiyantoro (2012: 16) membedakan novel menjadi dua jenis, yakni novel populer dan novel serius.

1) Novel Popular

Novel popular adalah novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai tingkat permukaan. Novel popular tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel popular akan menjadi berat, berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya.

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2012: 19) menjelaskan novel popular lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Ia “tidak berpotensi” mengejar efek estetis, melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya. Masalah yang diceritakan pun ringan-ringan, tetapi aktual dan menarik, yang terlihat hanya pada masalah yang

“itu-itu” saja: cinta asmara dengan model kehidupan yang berbau mewah. Kisah percintaan antara pria tampan dan wanita cantik mampu membuai pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa peka untuk itu dan barangkali dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata.

2) Novel Serius

Novel serius adalah novel yang tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca dan memang pembaca novel jenis ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan pembaca novel populer. Novel serius berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang juga baru. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru”lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus. Novel ini menuntut aktivitas pembaca untuk “mengoperasikan” daya intelektualnya.

Pembaca dituntut untuk ikut mengkonstruksi duduk persoalan masalah dan

(4)

hubungan antartokoh. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.

Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa novel merupakan prosa kompleks yang menghadirkan problematika kehidupan beberapa tokoh yang mengalami perubahan nasib dalam cerita. Novel menghadirkan perkembangan peristiwa, perkembangan dan perubahan watak tokoh, serta situasi yang rumit.

b. Unsur Pembangun Novel

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur- unsur yang berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan.

Unsur pembangun novel yang membentuk totalitas itu secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Unsur intrinsik yaitu unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Sedangkan unsur ektrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi jalinan cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.

1) Unsur Intrinsik a) Tema

Setiap cerita fiksi mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Tema adalah gagasan pokok dalam suatu cerita fiksi, termasuk novel.

Kenney (dalam Waluyo, 2011: 7) menyebut tema sebagai “the meaning of the story”. Definisi ini dipandang Kenney kurang jelas dan operasional. Oleh karena itu, ia memberikan penjelasan dengan; “Theme is not closely approach the meaning of the moral of the story, it is not the subject, it is not what people have

(5)

in mind when they speak of “what the story really menas”. Tema juga “not what the story illustrate”. Untuk membedakan tema dan amanat cerita, dapat dinyatakan bahwa tema bersifat objektif, lugas, dan khusus, sedangkan amanat cerita bersifat subjektif, kias, dan umum.

Nurgiyantoro (2012: 68), mengatakan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita. Pada umumnya, tema tidak dilukiskan, paling tidak pelukisan yang secara langsung atau khusus. Eksistensi atau kehadiran tema terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya penafsiran tema.

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2012: 87) menjelaskan dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, ada sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti berikut.

(1) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol.

(2) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita.

(3) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti- bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan.

(4) Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan/atau yang disarankan dalam cerita.

Adapun tema cerita dalam novel dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik, menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya; (2) tema organik, menyangkut hubungan antarmanusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik, ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya; (3) tema sosial, berkaitan dengan problem kemasyarakatan; (4) tema egoik (reaksi pribadi), berkaitan dengan protes

(6)

pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu; (5) tema divine (ketuhanan), menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan sang Khalik.

b) Penokohan dan Perwatakan

Tokoh cerita (character) menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012: 165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Adapun pemaknaan kepribadian tokoh dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal).

Istilah penokohan pengertiannya lebih luas daripada “tokoh” dan

“perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh dalam cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

Waluyo (2011: 19-20) membagi tokoh menjadi beberapa bagian yakni: (1) tokoh protagonis, adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik; (2) tokoh antagonis, adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipati para diri pembaca; (3) tokoh sentral, adalah tokoh yang kemunculannya mendominasi dalam cerita; (4) tokoh bawahan atau tokoh sampingan, adalah tokoh yang dijadikan latar belakang dalam cerita; (5) tokoh wirawan, yang berarti tokoh penting (termasuk sentral) tetapi bukan tokoh protagonis dan antagonis.

Lebih lanjut, Waluyo mengutip pendapat Shanon Ahmad yang membagi jenis tokoh atau watak menjadi dua, yakni tokoh bulat (round character) dan tokoh pipih (flat character). Tokoh bulat adalah tokoh yang berwatak unik dan tidak bersifat hitam putih.Watak tokoh jenis ini tidak segera dapat ditafsirkan oleh pembaca karena pelukisan watak tidak sederhana. Setiap manusia ada unsut baik dan buruknya, ada unsur jahat dan baiknya, dan berbagai watak yang lainnya.

(7)

Sedangkan tokoh pipih adalah tokoh yang wataknya sederhana, tokoh jahat selalu jahat dan tokoh baik sempurna dengan kebaikannya tanpa cela.

Dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmaniah), dan dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan). Watak dari segi psikis merupakan faktor utama yang terpenting dalam penggambran watak atau temperamen tokoh, apakah tokoh itu baik hati, penyabar, murah hati, dermawan, pemaaf, ataukah ia pemberang, sombong, pemarah, berhati jahat, pendengki, pendendam, garang, ganas, dan sebagainya. Watak dari segi fisiologis atau keadaan fisik dapat dikaitkan dengan umur, ciri fisik, penyakit, keadaan diri, dan sebagainya. Adapun watak dari segi sosiologis melukiskan suku, jenis kelamin, kekayaan, kelas sosial, pangkat/kedudukan, dan profesi atau pekerjaan.

Teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya sastra, Nurgiyantoro (2012: 195) menjelaskan ada dua teknik, yakni tenik ekspositori dan teknik dramatik.

(1) Teknik Ekspositori (Teknik Analitis)

Pelukisan tokoh cerita dengan teknik ini dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya. Dalam suatu karya fiksi sering dijumpai informasi kedirian tokoh lebih dulu kita terima secara lengkap. Hal semacam ini biasanya terdapat pada tahap perkenalan.

Pengarang tak hanya memperkenalkan latar dan suasana dalam rangka menyituasikan pembaca, melainkan juga data-data kedirian tokoh cerita.

(2) Teknik Dramatik

Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, yakni dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.

Pengarang membiarkan para tokoh untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal melalui tindakan atau tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang

(8)

terjadi. Dalam karya fiksi yang baik, kata-kata, tingkah laku, dan kejadian- kejadian yang diceritakan tak sekedar menunjukkan perkembangan plot saja, melainkan juga menunjukkan sifat kedirian masing-masing tokoh pelakunya.

Dengan cerita itu, cerita akan menjadi efektif, berfungsi ganda, dan sekaligus menunjukkan keterkaitan yang erat antara berbagai unsur fiksi.

Penggambaran tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik sebagai berikut.

(a) Teknik cakapan

Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkna sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.

(b) Teknik tingkah laku

Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal (fisik). Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dapat dipandang sebagai reaksi tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

(c) Teknik pikiran dan perasaan

Pikiran, perasaan, dan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Bahkan pada hakikatnya, pikiran dan perasannyalah yang kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal.

(d) Teknik arus kesadaran

Arus kesadaran merupakan teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak.

(e) Teknik reaksi tokoh

Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa rangsangan dari luar diri tokoh yang berangkutan.

(f) Teknik reaksi tokoh lain

(9)

Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain.

(g) Teknik pelukisan

Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mnegintensifkan sifat kedirian tokoh.

(h) Teknik pelukisan fisik.

Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan mneghubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel.

Dalam sebuah karya fiksi, biasanya pengarang menggunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi, walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-maisng teknik.

c) Alur/Plot

Alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukan hubungan sebab dan akibat serta memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang.

Dalam alur/plot dikenal istilah Law of Plot (Kenney dalam Waluyo, 2011:

15). Law of Plot terdiri dari plausibility, surprise, suspense, unity, subplot, dan ekspresi. Plausibility (kebolehjadian) artinya rangkaian cerita itu bukanlah khayalan semata, namun mungkin terjadi di dalam dunia nyata ini. Surprise (kejutan) artinya bahwa pembaca tidak dapat memperkirakan bagaimana rangkaian cerita itu terjadi, sehingga pembaca terus ingin mengikuti bagaimana jalan cerita berikutnya. Adapun suspense merangsang pembaca untuk mengikuti jalan cerita berikutnya karena daya tarik yang diciptakan pengarang. Selanjutnya adalah unity (kesatuan), artinya rangkaian kejadian yang disusun harus membentuk kesatuan yang padu. Subplot secara erat berhubungan dengan plot induknya, mungkin juga plot yang lainnya merupakan bagian cerita sebagai

(10)

penjelas. Sedangkan ekspresi artinya rangkaian kejadian haruslah diekspresikan dengan baik sehingga bermakna dalam cerita itu.

Nurgiyantoro (2012: 149-150) mengutip pernyataan Tasrif yang membedakan tahapan plot mnejadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut.

(1) Tahap Situation (Tahap Penyituasian)

Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

(2) Tahap Generating Circumtances (Tahap Pemunculan Konflik)

Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

(3) Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik)

Pada tahap ini, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa- peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi internal, eksternal, maupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.

(4) Tahap Climax (Tahap Klimaks)

Pada tahap ini, konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi yang dialami tokoh pada cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.

(5) Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian)

Pada tahap ini, konflik yang telah mnecapai klimks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan juga diberi jalan keluar sehingga cerita bisa diakhiri.

Tahap ini bersesuaian dengan tahap akhir.

(11)

Pada prinsipnya, ada tiga jenis alur, yaitu (1) alur garis lurus atau alur progresif atau alur konvensional, (2) alur flashback atau alur sorot balik atau alur regresif, dan (3) alur campuran yang memakai alur garis lurus dan alur flashback sekaligus dalam ceita fiksi.

d) Latar/Setting

Latar/setting adalah aspek yang ada alam ceita yang berkaitan dengan waktu, tempat, suasana, fisik, sosiologis, dan aspek psikis. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012: 216) menyebut latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca. Dengan demikian, pembaca merasa dipermudah untuk “mengoperasikan”

daya imajinasinya.

Fungsi setting adalah untuk mempertegas watak pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita, memperjelas tema yang disampaikan, metafora bagi situasi psikis pelaku, sebagai pemberi atmosfer (kesan), dan memperkuat posisi plot. Setting berkaitan dengan pengadeganan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan.

Nurgiyantoro membedakan latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

(1) Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin juga lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

(2) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan”

tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu juga

(12)

harus dikaitkan dengan latar tempat sebab pada kenyataannya memang saling berkaitan.

(3) Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat- istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

Dalam kaitannya dengan latar, terdapat istilah “anakronisme”, yakni ketidaksesuain urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita.

Ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah biasanya berupa penggunaan dua waktu yang berbeda masa berlakunya dalam satu waktu pada sebuah karya fiksi. Penyebab anakronisme mungkin berupa masuknya “waktu”

lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau sebaliknya masuknya waktu

“kini” ke dalam cerita yang berlatar waktu lampau.

e) Sudut Pandang (Point of View)

Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah tempat pencerita dalam hubungannya dengan cerita yang digunakan pengarang untuk melihat kejadian cerita secara utuh untuk memperoleh totalitas cerita. Sudut pandang (point of view) menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2012: 248). Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

Shipley (dalam Waluyo, 2011: 25) menyebutkan ada 2 jenis sudut pandang, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal point of view dibagi menjadi 4 macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita, (2) pencerita

(13)

menjadi salah seorang pelaku, (3) sudut pandang akuan, dan (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sedangkan external point of view dibagi menjadi 2 jenis, yakni gaya diaan dan penampilan gagasan dari luar tokoh- tokohnya.

Adapun Nurgiyantoro memperjelas pendapart Shipley dengan membagi macam-macam jenis sudut pandang, menjadi 3 sebagai berikut.

(1) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”

Dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona ketiga gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya (ia, dia, mereka). Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama terus menerus disebut sebagai variasi dalam penggunaan kata ganti. Sudut pandang

“dia” dibedakan menjadi dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya, yakni “dia mahatahu” dan

“dia terbatas/dia sebagai pengamat”.

(a) Dia mahatahu

Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia” namun pengarang (narator) dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.

(b) Dia terbatas dan dia sebagai pengamat

Dalam sudut pandang “dia terbatas”, seperti halnya dalam “dia mahatahu”, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja.

(2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”

Dalam pengisahan cerita mneggunakan sudut pandang orang pertama

“aku”, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si

“aku”, tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain

(14)

kepada pembaca. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita, yakni

“aku” sebagai tokoh utama dan “aku” sebagai tokoh tambahan.

(a) Aku tokoh utama

Dalam sudut pandang ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah dalam diri sendiri, maupun fisik hubungannya dengan sesuatu yang diluar dirinya. Si “aku”

menjadi fokus, pusat kesadaran, dan pusat cerita.

(b) Aku tokoh tambahan

Dalam sudut pandang ini, tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first person peripheral). Tokoh “aku”

hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Dalam hal ini, tokoh “aku” hanya sebagai saksi.

(3) Sudut pandang campuran

Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran di dalam sebuah novel mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia mahatahu” dan “dia sebagai pengamat” atau persona pertama dengan teknik “aku sebagai tokoh utama” dan “aku sebagai tokoh tambahan (saksi)”.

f) Amanat

Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkan. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan dan diamanatkan. Moral dalam sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message (Nurgiyantoro, 2012: 322).

Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis (Sudjiman, 1988: 4). Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, yakni makna yang disarankan lewat cerita. Dalam sebuah novel, amanat

(15)

tersembunyi dalam cerita secara tersirat dan pembaca yang menyimpulkan amanat tersebut. Namun, ada juga yang disampaikan secara langsung dan terkesan ditonjolkan pengarang. Bentuk penyampaian pesan moral yang ditonjolkan secara langsung identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling atau penjelasan expository. Sedangkan bentuk penyampaian pesan moral secara tak langsung sejalan dengan teknik ragam showing. Hal-hal yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa, konflik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa atau konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya.

2) Unsur Ekstrinsik a) Latar Sosial Budaya

Latar sosial budaya dapat diketahui jika diketahui latar tempat dan waktu dalam suatu karya sastra. Latar sosial budaya yang mewakili kelompok masyarakat tertentu turut memengaruhi cerita novel. Novel yang ditulis oleh pengarang tidak lepas dari keadaan sosial budaya pengarang terhadap cerita yang disampaikan. Dengan menyampaikan cerita sesuai latar belakang pengarang akan terjadi kesinambungan cerita.

b) Biografi Penulis

Biografi dapat juga dianggap studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Berpijak dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat menganalisis karya sastra menggunakan biografi pengarang sebagai salah satu sumber yang mendukung dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

(16)

2. Kajian Stilistika a. Pengertian Stilistika

Stilitika adalah bidang kajian yang mempelajari dan memberikan deskripsi sistematis tentang gaya bahasa (Aminuddin, 1995: 3). Stilistika dalam penelitian bertujuan untuk menemukan bukti-bukti linguistik yang merupakan penggunaan gaya bahasa pengarang dalam karya sastra. Dengan bukti-bukti tersebut, selanjutnya dapat ditemukan adanya fungsi estetis dan kandungan maknanya.

Sependapat dengan Aminuddin, Ratna (2009: 3) mengatakan bahwa stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) adalah cara-cara yang khas bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal.

Pada mulanya, istilah style atau gaya bahasa lebih terbatas pada persoalan bahasa dalam karya sastra. Paling tidak, dibedakan antara gaya sastra dengan gaya nonsastra. Gaya nonsastra berhubungan dengan fungsi tertentu dan bersifat sosiologis, dapat berupa bahasa pergaulan resmi, bahasa ilmu, baahsa surat kabar, dan bahasa sehari-hari. Gaya „style‟ menurut Chapman dan Junus (dalam Al Ma‟ruf, 2009: 43) diartikan sebagai register yang lazim dibahas dalam Sosiolinguistik. Style ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2012: 276).

Keraf (2002: 113) berpendapat bahwa gaya bahasa merupakan cara pengungkapan pikiran melalui bahasa khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Mengkaji gaya bahasa memungkinkan pembaca untuk menilai pribadi, karakter, dan kemampuan pengarang yang menggunakan bahasa itu. Senada dengan pendapat di atas, Al-Ma‟ruf menyatakan bahwa style „gaya bahasa‟ adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna.

Gaya bahasa dalam karya sastra berhubungan erat dengan ideologi dan latar sosiokultural pengarangnya.

(17)

Adapun fungsi gaya bahasa dalam sebuah karya sastra sebenarnya memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai alat untuk:

1) meninggikan selera, artinya dapat meningkatkan minat pembaca/pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang/pembicara;

2) memengaruhi atau meyakinkan pembaca/pendengar, artinya dapat membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan pengarang/pembicara;

3) menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau buruk, perasaan dikemukakan pengarang; dan

4) memperkuat efek terhadap gagasan yang disampaikan pengarang dalam karya sastranya.

Lebih lanjut, Junus juga mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra. Stilistika dipakai sebagai ilmu gabung, yakni linguistik dan ilmu sastra. Paling tidak, studi stilistika dilakukan oleh seorang linguis, tetapi menaruh perhatian terhadap sastra atau sebaliknya.

Dalam aplikasinya, seorang linguis bekerja dengan menggunakan data pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan melihat keistimewaan bahasa sastra. Dengan demikian, stilistika dapat dipahami sebagai aplikasi teori linguistik pada pemakaan bahasa dalam sastra.

Al-Ma‟ruf (2009: 12) menjelaskan hakikat stilistika secara lebih lengkap sebagai berikut:

Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan potensi bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan, hingga bahasa figuratif. Agar ranah kajian tidak terlalu luas, kajian stilistika lazim dibatasi pada karya sastra tertentu dengan memerhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa, mengamati antarhubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistika (stylistic feature) yang membedakan karya, pengarang, aliran, atau periode tertentu dengan karya, pengarang, aliran, atau periode lainnya.

(18)

Adapun tujuan kajian stilistika dalam kedudukannya sebagai teori dan pendekatan penelitian karya sastra yang berorientasi linguistik, Al-Ma‟ruf menjelaskan sebagai berikut.

1) Stilistika menghubungkan perhatian kritikus sastra dalam apresiasi estetik dengan perhatian linguis dalam deskripsi linguistik.

2) Stilistika menelaah bagaimana unsur-unsur bahasa ditempatkan dalam menghasilkan pesan-pesan aktual lewat pola-pola yang digunakan dalam sebuah karya sastra.

3) Stilistika menghubungkan intuisi-intuisi tentang makna-makna dengan pola- pola bahasa dalam teks (sastra) yang dianalisis.

4) Stilistika menuntun pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dikemukakan pengarang dalam karyanya dan memberikan apresiasi yang lebih terhadap kemampuan bersastra pengarangnya.

5) Stilistika untuk menemukan prinsip-prinsip artistik yang mendasari pemilihan bahasa seorang pengarang, sebab setiap penulis memiliki kualitas individual masing-masing.

6) Kajian stilistika akan menemukan kiat pengarang dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana pengungkapan makna dan efek estetik bahasa.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan cabang ilmu yang mengkaji tentang penggunaan gaya bahasa oleh pengarang suatu karya sastra untuk menciptakan efek estetika sesuai kekhasan pengarang berdasarkan latar belakangnya yang bertujuan untuk mencari fungsi estetik karya sastra dan mencari bukti-bukti linguistik.

b. Aspek-aspek Stilistika dalam Kajian Karya Sastra 1) Gaya Kata (diksi)

Diksi adalah pilihan kata. Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dipilih oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Kata merupakan unsur bahasa yang esensial dalam karya sastra. Kata- kata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam berbagai variasi mampu

(19)

menggambarkan bermacam-macam ide, angan, dan perasaan. Dalam konteks ini pengertian denotasi dan konotasi tidak boleh diabaikan. Denotasi ialah arti lugas yang sesuai dengan kamus, sedangkan konotasi ialah arti kias yang diasosiasikan atau disarankannya (Al-Ma‟ruf: 2009: 49)

Keraf (2002: 21) menjelaskan, kata merupakan suatu unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis maupun morfologis) dan memiliki distribusi yang bebas. Dalam kegiatan berkomunikasi, kata merupakan suatu jaringan untuk memahami apa yang dikatakan dari penutur kepada mitra tuturnya.

Diksi bukan hanya dipergunakan untuk menyatakan kata mana yang perlu untuk mengungkapkan suatu gagasan, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan, dan sebagainya. Gaya bahasa bertalian dengan ungkapan- ungkapan individual atau karakteristik tertentu yang memiliki nilai artistik yang tinggi.

Dalam penciptaan karya sastra terdapat banyak diksi yang digunakan.

Menurut Al-Maruf (2009: 53) diksi berupa kata konotatif, kata konkret, kata sapaan khas dan nama diri, kata serapan, kata asing, kata vulgar, dan kata dengan objek realitas alam. Penjelasan dari jenis kata-kata tersebut adalah sebagai berikut.

a) Kata konotatif adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan/atau pikiran pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu yang dibahasakan.

b) Kata konkret ialah kata yang dapat dilukiskan dengan tepat. Kata konkret mengandung makna yang merujuk kepada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah. Kata konkret bertujuan untuk membantu pembaca membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan pengarangnya.

c) Kata khas nama diri (sapaan) adalah salah satu diksi yang menarik untuk dikaji dalam karya sastra, nama diartikan sebagai kata yang memiliki fungsi sebagai sebutan untuk penunjuk seseorang atau identitasnya. Nama diri berkaitan erat dengan sistem tanda atau lambang.

(20)

d) Kata serapan merupakan kata asing yang telah diserap menjadi kosakata bahasa Indonesia. Kata serapan adalah kata yang diambil atau dipungut dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun basa daerah, baik mengalami adaptasi struktur, tulisan dan lafal, maupun tidak dan sudah dikategorikan sebagai kosakata bahasa Indonesia.

e) Kata asing adalah kata yang berasal dari bahasa asing dan belum diserap ke dalam bahasa Indonesia.

f) Kata vulgar adalah penyebutan secara ilmiah untuk kata yang kasar atau kata kampungan. Kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun di kalangan masyarakat intelek dan terpelajar. Kata vulgar tabu untuk diucapkan di masyarakat.

g) Kata dengan objek realitas alam adalah kata yang memanfaatkan realitas alam sebagai bentukan kata tertentu yang memiliki arti.

2) Gaya Kalimat (Sintaksis)

Gaya kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memeroleh efek tertentu, misalnya inversi, gaya kalimat tanya, perintah, dan elips. Demikian pula karakteristik, panjang-pendek, struktur, dan proporsi sederhana-majemuknya termasuk gaya kalimat. Begitu juga dengan sarana retorika yang berupa kalimat hiperbola, paradoks, klimaks, antiklimaks, antitesis, dan koreksio (Pradopo dalam Al-Ma‟ruf, 2010: 36).

Al-Ma‟ruf (2009: 58) menjelaskan bahwa sebuah gagasan atau pesan (struktur batin) dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk kalimat (struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosakatanya. Hal itu karena dalam sastra, pengarang memiliki kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa (licensia poetica) guna mencapai efek tertentu, adanya bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar. Penyiasatan struktur kalimat itu dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan sebagainya. Ada pula penyimpangan kalimat seperti penggunaan konjungsi di

(21)

awal kalimat guna memperoleh efisiensi dan menekankan pesan tertentu. Semua itu dimaksudkan pengarang untuk mencapai efek estetis tertentu di samping juga untuk menekankan gagasan tertentu.

Berdasarkan struktur kalimatnya, terdapat berbagai sarana retorika yang bisa digunakan pengarang dalam menulis karya sastra, antara lain sebagai berikut.

a) Klimaks

Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik.

Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Contoh:

Sastrawan mempunyai waktu yang cukup panjang untuk memilih, merenungkan bahkan menciptakan cara-cara baru dan bentuk-bentuk tertentu dalam penyampaian maksudnya. Mereka juga mempunyai kebebasan yang luas untuk menyimpang dari tulisan biasa.

b) Antiklimaks

Antiklimaks adalah gaya bahasa yang merupakan acuan yang gagasan- gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Contoh:

Ketua pengadilan negeri itu adalah seorang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya.

c) Paralelisme

Paralesisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Contoh:

Bukan saja perbuatan KKN itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas.

d) Antitesis

Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Contoh:

Hingga kini kusimpan engkau mesra dalam lubuk hatiku, tetapi mulai kini engkau kuenyahkan jauh-jauh bagai musuh yang kejam.

(22)

e) Repetisi

Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi seperti halnya paralesisme dan antithesis, lahir dari kalimat yang berimbang. Contoh:

Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah, menyusupi alam?

f) Aliterasi

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan. Contoh:

Takut titik lalu tumpah.

Keras-keras kerak kena air lembut juga.

g) Asonansi

Asonansi adalah semaca gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Digunakan dalam puisi dan prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Contoh:

Ini muka penuh luka siapa punya.

Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.

h) Anastrof (Inversi)

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Contoh:

Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi- bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.

i) Apofasis atau Preterisio

Apaofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal.

Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya. Contoh:

(23)

Saya tidak mau mnegungkapkan dalam forum ini bahwa saudara telah mneggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.

j) Apostrof

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya digunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada semua massa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir, kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak sehingga nampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin. Contoh:

Hai kamu semua yang menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini, berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.

k) Asidenton

Asidenton adalah suatu gaya yang berupa acuan, bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius Caesar: veni, vedi, vici,

“saya datang, saya lihat, saya menang”. Perhatikan pula contoh berikut:

Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.

l) Polisidenton

Polisidenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asidenton.

Bebeerapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Contoh:

Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah serta tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?

m) Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan

(24)

dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Contoh:

Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.

n) Elipsis

Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatika atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Contoh:

Masih kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis …

o) Eufimisme

Eufimisme atau eufifmismus diturunkan dari kata Yunani euphimizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufimisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan- ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Contoh:

Ayah sudah taka da di tengah-tengah mereka. (mati)

Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini. (gila)

Sayang sekali anak-anaknya tidak ada yang secerdas ayahnya. (bodoh) p) Litotes

Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya atau suatu pikiran yang dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Contoh:

Apa yang kami hadiahkan ini sebenarnya tidak ada artinya sama sekali bagimu.

Hanya sejumlah ini yang mampu kami sumbangkan kepada warga di desa ini.

(25)

q) Histeron Proteron

Histeron proteron atau biasa disebut juga hyperbaton adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Contoh:

Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya.

Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang luas dan pasirnya yang putih.

r) Pleonasme dan Tautologi

Pada dasarnya pleonasme atau tautologi adalah acuan yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Contoh:

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri. (Pleonasme:

semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama walaupun dengan menghilangkan kata “dengan telinga saya”)

Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. (Tautologi: kata berlebihan itu sebenarmya mengulang kembali gagasan' yang sudah disebut sebelumnya, yaitu “malam” sudah tercakup dalam “jam 20.00”)

s) Perifrasis

Perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu menggunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja.

Contoh:

Ia telah beristirahat dengan damai. (mati/meninggal) Jawaban dari permintaan saudara adalah tidak. (ditolak) t) Prolepsis atau Antisipasi

(26)

Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang menggunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan sebenarnya terjadi. Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa pesawat terbang, sebelum sampai pada peristiwa kecelakaan itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata “pesawat yang sial itu”. Padahal kesialan itu baru terjadi kemudian. Contoh lain:

Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat itu.

Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru.

u) Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang digunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin. Contoh:

Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini?

v) Silepsis dan Zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang menggunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya yang mempunyai hubungan dengan kata pertama.

Dalam silepsis, konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar. Contoh:

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.

Konstruksi yang lengkap dalam kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan.

Dalam zeugma, kata yang dipakai untuk membawahi kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu darinya, baik secara logis maupun secara gramatikal. Contoh:

(27)

Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami.

w) Koreksio atau Epanortesis

Koreksio atau epanortesis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Contoh:

Sudah empat kali saya mengunjungi tempat itu, ah bukan, sudah lima kali.

x) Hiperbola

Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Contoh:

Suaranya keras mengguntur menguasai suasana rapat akbar itu.

y) Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya. Contoh:

Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah.

z) Oksimoron

Oksimoron berasal dari kata okys yang berarti “tajam” dan moros yang berarti “gila atau tolol”. Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks. Contoh:

Itu sudah menjadi rahasia umum.

3) Gaya Wacana

Unsur stilistika ketiga yang dikaji dalam karya sastra (novel) adalah gaya wacana. Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis (Tarigan dalam Setiawan, 2006: 2). Wacana menyaran pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang mendasari penggunaan bahasa,

(28)

baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Gaya wacana adalah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat baik dalam prosa maupun puisi. Gaya wacana dapat berupa dua kalimat atau lebih, paragraf, bait, keseluruhan karya sastra baik prosa seperti novel dan cerpen, maupun keseluruhan puisi. Termasuk dalam gaya wacana dalam karya sastra adalah gaya campur kode dan alih kode (Pradopo dalam Al-Ma‟ruf, 2009: 59). Kedua gaya itu digunakan untuk memeroleh efek tertentu sesuai dengan unsur-unsur bahasa yang digunakan, misalnya untuk menciptakan efek atau setting lokal, nasional, dan internasional atau universal.

Campur kode adalah penggunaan bahasa asing dalam bahasa sendiri atau bahasa campuran dalam karya sastra. Penggunaan bahasa campuran itu kadang- kadang mengganggu pemahaman bagi pembaca yang pengetahuan bahasanya terbatas. Akan tetapi, dalam karya sastra, campur kode tersebut kadang-kadang diperlukan atau berfungsi untuk mencapai efek tertentu.

Adapun alih kode adalah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan pesan atau situasi lain, atau adanya partisipan lain (Kridalaksana, 1988: 86). Gaya wacana alih kode digunakan untuk memeroleh efek tertentu sesuai dengan unsur-unsur bahasa yang digunakan. Misalnya, gaya alih kode digunakan untuk menciptakan efek atau setting local, nasional, dan universal atau gagasan dalam bidang ilmu tertentu sesuai dengan gagasan dalam karya sastra.

4) Bahasa Figuratif

Menurut Al-Ma‟ruf (2009: 60-61), bahasa figuratif merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memeroleh efek estetis (Nurgiyantoro, 2012: 295). Melalui bahasa figuratif, pengarang memanfaatkan bahasa untuk memeperoleh efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal (literal meaning). Jika tuturan literal menunjukkan makna secara langsung dengan kata- kata dalam pengertian yang baku maka tuturan figuratif mengatakan secara tidak langsung untuk mengungkapkan makna.

(29)

Bahasa figuratif dalam penelitian stilistika karya sastra dapat mencakup majas, idiom, dan peribahasa. Pemilihan tiga bentuk bahasa figuratif tersebut didasarkan pada alasan bahwa ketiganya merupakan sarana sastra yang dipandang representatif dalam mendukung gaagasan pengarang. Selain itu, ketiga bentuk bahasa figuratif itu diduga cukup banyak dimanfaatkan oleh para sastrawan dalam karyanya.

a) Majas

Majas biasa disebut sebagai gaya bahasa. Permajasan (figure of speech) menurut Nurgiyantoro (2012: 297) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah pada kata- kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Majas diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan atau analogi ciri semantik yang umum dengan umum, yang umum dengan yang khusus, ataupun yang khusus dengan yang khusus.

Perbandingan tersebut tidak berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam melukiskan citraan atau gagasan baru (Aminuddin, 1995: 249).

Sedangkan Menurut Keraf (2002: 113) gaya bahasa memungkinkan kita untuk dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang menggunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya, sebaliknya semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya.

Jenis-jenis majas menurut Keraf adalah sebagai berikut.

(1) Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tidak menggunakan kata yang menunjukan kesamaan, tetapi dapat berdiri sendiri sebagai kata. Contoh: bunga bangsa, buaya darat, buah hati.

Metafora sebagai perbandingan langsung tidak menggunakan kata:

seperti, baik, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Sebenarnya proses terjadinya

(30)

sama dengan simile tetapi secara berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan, misalnya:

Orang itu seperti buaya darat.

= -Orang itu buaya darat

= Orang itu Buaya darat

Bila dalam sebuah metafora, kita masih dapat menentukan makna dasar dari konotasinya sekarang, maka matafora itu masih hidup. Tetapi kalau kita tidak dapat menentukan konotasinya lagi maka metafora itu sudah mati, sudah merupakan klise. Contoh:

Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa.

(2) Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit.

Adapun yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit yaitu dengan langsung menyatakan kesamaan sesuatu dengan hal lain. Untuk itu, diperlukan kata yang menunjukan kesamaan: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana,dan sebagainya. Contoh:

Wajahnya bersinar seperti bulan purnama.

Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang mau dibandingkan. Contoh:

Saudaranya itu bagai duri dalam daging.

(3) Personifikasi

Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa diibaratkan memiliki sifat-sifat seperti manusia. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Contoh:

Nyiur melambai di pantai.

Kaulihat ada pelangi di matamu lalu sinar cerah menghiasi wajahmu.

(4) Metonimia

Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat

(31)

dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Contoh:

Paman membeli Djarum Super.

Pena lebih berbahaya dari pedang (5) Sinekdoke

Sinekdok berasal dari bahasa Yunani synekdechesthai yang berarti

“menerima bersama-sama”. Sinekdok adalah bahasa figuratif yang menggunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan, yang disebut dengan sinekdoke pars pro toto, atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian, yang disebut dengan sinekdoke totum pro parte.

Contoh:

Dalam pertandingan sepak bola di GBK, Indonesia mengalahkan Malaysia 2-0. (totum pro parte)

Setia kepala dikenakan sumbangan sebesar seribu rupiah. (pars pro toto) (6) Alegori, Parabel, Fabel

Bila sebuah metafora mengalami perluasan, ia dapat berwujud alegori, parabel, dan fabel. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya mengandung ajaran- ajaran moral dan sering sukar dibedakan satu dari yang lain.

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Alegori bisa dimaknai sebagai perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh. Alegori merupakan perbandingan dengan alam secara utuh. Alegori menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.

Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat alegoris untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual.

(32)

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang di mana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. Tujuan parabel seperti fabel ialah menyampaikan ajaran moral atau budi pekerti. Fabel menyampaikan suatu prinsip tingkah laku melalui analogi yang transparan dari tindak-tanduk binatang, tumbuhan-tumbuhan, atau makhluk yang bernyawa.

(7) Alusio

Alusi adalah acuan yang berusaha menyugestikan kesamaan antarorang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal.

Misalnya dulu sering dikatakan bahwa Bandung adalah Paris Jawa. demikian dapat dikatakan: Katini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.

Kedua contoh ini merupakan alusi.

(8) Eponim

Eponim adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Jadi, eponim merupakan gaya bahasa yang menggunakan sifat yang melekat pada orang tersebut. Contoh:

Kecantikannya bagai Cleopatra.

(9) Epitet

Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang. Contoh:

Puteri malam bersinar terang di langit gelap (bulan).

(10) Antonomasia

Antonomasia adalah sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Contoh:

Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.

Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar ini.

(33)

(11) Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Maksudnya, hipalase adalah gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain. Contoh:

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah sebenarnya adalah manusia).

(12) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang sebenarnya terjadi. Ironi merupakan suatu gaya bahasa yang efektif untuk menyatakan sebuah sindiran yang ditegaskan. Contoh:

Alangkah bagusnya rapormu, begitu banyak angka merahnya.

Sinisme adalah gaya bahasa sebagai sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Contoh:

Suaramu sangat merdu sehingga aku sangat risih mendengarnya.

Sarkasme adalah suatu acuan yang lebih kasar dari ironi yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Contoh:

Mulutnya berbisa bagai ular kobra.

(13) Satire

Satire adalah gaya bahasa yang berbentuk ungkapan dengan maksud menertawakan atau menolak sesuatu. Contoh:

Sekilas tampangnya seperti anak berandal, tapi kita jangan langsung menuduhnya, jangan melihat dari penampilan luarnya saja.

(14) Innuendo

Innuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Contoh:

Dia berhasil naik pangkat dengan sedikit menyuap.

(15) Antifrasis

(34)

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya yang bisa saja dianggap ironi sendiri atau kata- kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.

Contoh:

Lihatlah! Si raksasa telah tiba.

(16) Paranomasia

Paranomasia adalah kiasan dengan menggunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Contoh:

Tanggal dua gigi saya tanggal dua.

b) Idiom

Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya (Kridalaksana, 1988: 62). Menurut Sudjiman (1984:

34), idiom adalah pengungkapan bahasa yang bercorak khas, baik karena tata bahasanya maupun karena mempunyai makna yang tidak dapat dijabarkan dari makna unsur-unsurnya. Biasanya idiom disejajarkan dengan pengertian peribahasa dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya pengertian idiom itu jauh lebih luas dari peribahasa. Idiom adalah pola-pola struktural yang mneyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya (Keraf, 2002: 109). Jadi, idiom mempunyai kekhasan bentuk dan makna di dalam kebahasaan yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Contoh:

Mereka kaki tangan juragan renternir itu.

c) Peribahasa

Peribahasa berasal dari kata “peri”, “hal”, dan “bahasa” yang berarti alat untuk menyampiakan maksud. Peribahasa kemudian berbahasa dengan bahasa kias. Menurut Kridalaksana (1988: 131), peribahasa ialah kalimat atau penggalan kalimat yang telah memebeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat,

(35)

bersifat turun temurun, digunakan untuk penghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup.

Secara singkat, Sudjiman ( 1984: 58) menyatakan bahwa peribahasa dikatakan sebagai ungkapan yang ringkas, padat, yang berisi kebenaran yang wajar, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku.

Dengan peribahasa, penutur akan dapat lebih tegas, tetapi halus menyatakan maksud, pikiran, dan perasaan kepada mitra bicara. Bentuk peribahasa merupakan penuturan yang sering diucapkan sehari-hari namun memiliki nilai estetik yang tinggi. Contoh:

Air susu di balas dengan air tuba.

c. Pencitraan

Melalui ungkapan-ungkapan bahasa tertentu yang ditampilkan dalam karya sastra, kita sering merasakan indra ikut terangsang, seolah-olah kita ikut melihat atau mendengar apa yang terlukiskan dalam sebuah karangan tersebut.

Hal ini terjadi karena kita dapat merasakan sesuatu tersebut secara imajinasi.

Penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan tanggapan indra yang sedemikian dalam karya sastra disebut pencitraan (Keraf, 2002: 304).

Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu kepada pembaca. Citraan merupakan kumpulan citra yang digunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indra yang digunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah, maupun secara kias (Abrams dalam Al-Ma‟ruf, 2009: 76). Pencitraan atau pengimajian merupakan penataan kata yang menyebabkan makna-makna abstrak menjadi konkrit dan cermat (Semi, 1993: 124).

Antara citraan dan diksi sebenarnya terdapat hubungan yang erat. Untuk menciptakan pengimajian agar apa yang ingin diungkapkan pengarang menjadi lebih konkret dan dapat dihayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa maka diksi yang dipilih harus tepat dan sesuai.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir  Novel Assalamualaikum Beijing

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilaksanakan, maka bersama ini Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Satuan Kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur

Berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Pemilihan Langsung Nomor : 027/ 14 / PP.Gdg.Sukorejo/ 405.21/ 2012, tanggal 11 Juli 2012, maka diumumkan kepada para Peserta

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang?. menjadi dasar untuk mengatur lebih lanjut kegiatan

Dengan kata lain, pemilik sertifikat Berkaitan dengan sertifikat sebagai tanda bukti hak yang bersifat kuat,. sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan

Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di desa penulis (desa Bakalan Kalinyamatan Jepara) dan juga di masyarakat Jawa pada umumnya dalam menghadapi peristiwa kematian, hampir

[r]

Al-Ghazali telah mengubah atau paling tidak telah berusaha merubah istilah-istilah yang sulit menjadi mudah bagi pemahaman orang awam.Melalui pendekatan sufistik, al-

[r]