• Tidak ada hasil yang ditemukan

Management of Hypokalemia Paralysis in Man Ages 46 Years

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Management of Hypokalemia Paralysis in Man Ages 46 Years"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Penatalaksanaan Paralisis Hipokalemia pada Pria 46 Tahun

Amanda Samurti Pertiwi

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

Paralisis hipokalemia merupakan kelainan yang ditandai dengan kelemahan otot atau paralisis flaksid akibat perpindahan kalium ke ruang intraselular otot rangka. Manifestasi klinis berupa kelemahan atau paralisis pada tungkai, kemudian menjalar ke lengan. Serangan muncul setelah tidur/istirahat tetapi dapat dicetuskan oleh latihan fisik. Diagnosis ditegakkan apabila timbul kelemahan otot disertai kadar kalium plasma yang rendah (< 3,0 mEq/L) dan kelemahan otot membaik setelah pemberian kalium. Kelainan elektrokardiografi (EKG) dapat berupa pendataran gelombang T, supresi segmen ST, munculnya gelombang U, sampai dengan aritmia berupa fibrilasi ventrikel, takikardia supraventrikular, dan blok jantung.

Terapi biasanya simtomatik. Data primer diperoleh dari autoanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pria bernama AD, 46 tahun, dengan paralisis hipokalemia, hipertensi ringan, dan hiperglikemia. Dilakukan analisa kasus seperti adanya penyakit yang mendasari atau faktor resiko lain. Penatalaksanaan paralisis hipokalemia sudah berhasil, terbukti dengan kemampuan motorik pasien yang kembali normal dan kadar kalium plasma yang membaik.

Kata kunci: paralisis hipokalemia

Management of Hypokalemia Paralysis in Man Ages 46 Years

Abstract

Hypokalemic paralysis is a disorder characterized by muscle weakness or flaccid paralysis due to an enhanced shift of potassium (K) into skeletal cell. Clinical manifestations are muscle weakness or paralysis of lower extremities, spreading to upper extremities; usually appear after sleep or on rest but maybe provoked by physical activities. Diagnosis was based on muscle weakness and hypokalemia (< 3,0 mEq/L) and gradual improvement after hypokalemia correction.

Electrocardiography (ECG) changes shows flattening of T wave, ST segment suppression, U wave, and arryhthmia such as ventricle fibrillation, supraventricular tachycardia, and cardiac block. Management are usually symptomatic. Primary data were obtained from autoanamnesis, physical examination, and supporting examination. AD, 46 year, with hipokalemic paralysis, mild hypertension, and hyperglikemic. Analysis of causes, such as underlying disease or other risk. Hypokalemic paralysis has been successful treated, proven with motor skills of patients are back to normal and plasma potassium levels improved.

Keywords: hypokalemic paralysis

Korespondensi: Amanda Samurti Pertiwi, S.Ked, alamat Jl Polonia No 31 blok A/7 Perumahan Angkasa Pura II Neglasari Tangerang, HP 081278743978, e-mail amandasamurti@yahoo.co.id

Pendahuluan

Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung, dan saraf merupakan suatu alat untuk mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh. Kontraksi otot skeletal diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum sarkoplasma, yang kemudian terjadi aksi potensial pada motor end-plate yang dicetuskan oleh depolarisasi dari transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan kecepatan dari jalur sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas voltage-sensitive kanal ion.

Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan kelainan yang diturunkan pada manusia. Kelainan tersebut merupakan chanelopathies yang cenderung menimbulkan gejala yang paroksismal, miotonia atau periodik paralisis dari otot-otot skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat meningkatkan

eksitasi elektrik suatu sel, menurunkan kemampuan eksitasi, bahkan dapat menyebabkan kehilangan kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari eksitasi listrik pada otot skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik paralisis.1

Paralisis hipokalemia adalah kelainan yang ditandai dengan kadar kalium yang rendah (< 3,5 mmol/L) pada saat serangan, disertai kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Angka kejadiannya sekitar 1 diantara 100.000 orang, dengan pria lebih sering daripada wanita dan biasanya lebih berat.

Frekuensi serangan terbanyak di usia 15 sampai 35 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.2

Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor pencetus tertentu misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi,

(2)

istirahat sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian obat tertentu, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita, karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel, sehingga pada pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium biasanya dalam batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu berbeda, juga tidak ada korelasi antara besarnya penurunan kadar kadar kalium serum dengan beratnya paralisis atau kelemahan otot skeletal. Serangan dapat berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa hari. Kelemahan dalam serangan dapat general atau fokal. Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat juga serangan berulang dengan interval waktu serangan juga bervariasi. Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadang-kadang dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal.2-5

Kasus

Pria bernama AD, 46 tahun, datang ke Rumah Sakit Abdul Moeloek pada tanggal 3 Mei 2015. Pasien mengatakan sejak 4 minggu sebelum masuk rumah sakit merasa lemas dan pegal pada kedua tungkai setiap berjalan agak jauh. Karena keluhan tersebut pasien berobat ke mantri dan dikatakan menderita hipertensi sehingga diberikan obat-obatan, namun pasien tidak tahu obat apa saja. Menurut pasien keluhan berkurang saat minum obat.

Dua minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh kembali lemas pada kedua tungkai sehingga sulit untuk berjalan.

Pasien lalu berobat lagi ke mantri dan mendapatkan obat, menurut pasien keluhan hanya sedikit berkurang.

Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh semakin lemas pada kedua tungkai sehingga sulit untuk berjalan disertai mual, perut terasa kembung, dan tidak bisa buang air besar selama 3 hari.

Dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh saat bangun tidur tiba-tiba kedua tungkai dan tangan terasa lemas sehingga sulit digerakkan (hanya jari-jari yang bisa digerakkan). Pasien hanya beraktivitas di

tempat tidur dan keluhan mual masih dirasakan. Keluhan seperti ini baru dirasakan pertama kali oleh pasien.

Pasien sudah berkeluarga dan sehari- hari bekerja sebagai wiraswasta dengan ekonomi menengah kebawah. Pasien memiliki riwayat penyakit maag dan sering mengkonsumsi obat yang dijual bebas, tidak ada riwayat kelemahan berulang, alergi, maupun asma. Pola makan pasien tidak teratur baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Tidak ada anggota keluarga yang menderita alergi makanan, penyakit asma, maupun penyakit serupa seperti yang dialami pasien. Pasien tinggal bersama istri, dan anak- anaknya dalam 1 rumah.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaaan umum tampak sakit sedang dan kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 140/60 mmHg, suhu 36,7 oC, nadi 88 x/menit, nafas 16 x/menit, berat badan 68 kg, tinggi badan 165 cm, status gizi baik. Rambut hitam tidak mudah dicabut, konjungtiva dan sclera normal. Telinga, hidung, dan mulut dalam batas normal. Leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening (KGB). Jantung dan paru tidak ada kelainan, hati dan limpa tidak teraba, ekstremitas tidak ada edema dan akral hangat. Sensorik normal, motorik ekstremitas superior 1/1, motorik ekstremitas inferior 1/1.

Status neurologis reflek fisiologis normal dan tidak ada reflek patologis.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 13,1 g/dl, hematokrit 37 %, laju endap darah 20 mm/jam, leukosit 10.000/ul, trombosit 196.000/ul, hitung jenis 0/0/0/82/15/3, natrium 136 mmo/L, kalium 1,4 mmo/L, kalsium 9,0 mg/dl, klorida 101 mmo/L, serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) 17U/L, serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) 15U/L, ureum 33mg/dl, kreatinin 0,7mg/dl, gula darah sewaktu (GDS) 281mg/dl.

Pembahasan

Dari hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium pasien diduga mengalami kelainan paralisis hipokalemia disertai hiperglikemia. Diagnosa kelainan paralisis hipokalemi ditegakkan berdasarkan kadar kalium darah rendah (kurang dari 3,5 mmol/L) pada waktu serangan, mengalami flaccid paralysis dengan pemeriksaan lain dalam batas normal. Paralisis yang terjadi pada

(3)

penyakit ini umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi juga tangan dan kaki, bersifat intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada elektromiografi (EMG) dan biopsi otot dapat ditemukan miotonia, kekuatan otot normal diluar serangan.6-8

Diagnosis periodik paralisis hipokalemi (PPH) harus dipertimbangkan ketika suatu serangan kelemahan terjadi episodik dan berkaitan dengan hipokalemia. Hipokalemi yang terjadi pada HypoPP ini diduga karena adanya defek permeabilitas membran sel terhadap kalium sehingga menurunkan kadar kalium ekstraselular.1 Kadar kalium serum akan kembali menjadi normal diantara serangan, dan apabila hipokalemi menetap harus dipikirkan penyebab lain dari periodik paralisis, seperti penurunan kadar kalium pada kelainan ginjal, gastrointestinal atau gangguan metabolisme lain.9-10

PPH merupakan bentuk umum dari kejadian periodik paralisis primer atau yang diturunkan.9 Paralisis periodik hipokalemik sekunder bersifat sporadik dan biasanya berhubungan dengan penyakit tertentu atau keracunan. Salah satu kelainan ginjal yang dapat menyebabkan paralisis periodik hipokalemik sekunder adalah asidosis tubulus renalis distal (ATRD) yang awitan pertama biasanya terjadi pada masa dewasa.11 Dimana kelainan ini diturunkan secara autosomal dominan.9-10 Dari kebanyakan kasus pada periodik paralisis hipokalemi terjadi karena mutasi dari gen reseptor dihidropiridin.

Reseptor ini merupakan calcium channel yang bersama dengan reseptor ryanodin berperan dalam proses coupling pada eksitasi-kontraksi otot.9-12

Terdapat 2 bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode paralitik dan bentuk miopati, kedua keadaan ini dapat terjadi secara terpisah ataupun bersama-sama.

Sering terjadi bentuk paralitik murni, kombinasi episode paralitik dan miopati yang progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian pula bentuk miopatik murni jarang terjadi. Episode paralitik ditandai terutama adanya flaccid paralysis dengan hipokalemi sehingga dapat terjadi paraparesis atau tetraparesis berpasangan dengan otot pernapasan.6

Pada pasien ini murni flaccid paralysis dengan hipokalemia dan akan sembuh dengan pemberian kalium infus dan kalium per oral,

tidak terdapat kelainan pada otot pernafasan.

Jika terdapat kelainan genetik maka kelemahan otot terjadi karena kegagalan otot rangka dalam menjaga potensial istirahat (resting potential) akibat adanya mutasi gen CACNL1A3, SCN4A, dan KCNE3, yaitu gen yang mengontrol gerbang kanal ion (voltage-gated ion channel) natrium, kalsium, dan kalium pada membrane sel otot. Kami menyarankan agar dilakukan pemeriksaan EMG, analisis genetik, kadar hormon aldosteron, renin, prostaglandin, kalsium dan magnesium dalam darah, juga pemeriksaan kalsium, magnesium, kalium dan klorida dalam urin, namun pasien tidak setuju sehingga tidak dapat mendiagnosa penyebabnya secara pasti dan hanya perkiraan diagnosa.13

Kita sebagai dokter dapat mencurigai adanya hipokalemik paralisis jika terdapat gejala kelemahan otot, kadar kaliumnya rendah sewaktu serangan, dan tidak dijumpai kelainan lain yang dapat menyebabkan hipokalemi, sering juga disertai adanya riwayat keluarga. Pada penderita ini tidak didapatkan riwayat keluarga dan tidak ditemukan penyakit lain yang dapat menyebabkan hipokalemia. Selama serangan refleks otot dapat menurun atau normal, otot menjadi lemah dan sulit berdiri. Penderita ini juga mengalami kelemahan otot waktu serangan. Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan hasil yang normal.

Dokter dapat melakukan tes dengan memberikan suntikan insulin disertai pemberian glukosa sehingga merupakan pencetus untuk terjadinya penurunan kadar kalium darah dan dapat menimbulkan serangan.7 Jika serangan melibatkan otot pernafasan dan otot untuk menelan, terjadinya aritmia jantung maka dapat menimbulkan keadaan berbahaya (gawat darurat) yang dapat juga berakibat fatal.

Tujuan pengobatan adalah mengobati simptom dan mencegah terjadinya serangan ulang. Pencegahan sebaiknya disesuaikan dengan faktor pencetusnya, pemberian kalium selama serangan dapat menghentikan gejala.

Pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian kalium per oral, jika keadaan berat mungkin dibutuhkan pemberian kalium intravena.6

Pada pasien ini ditemukan kadar glukosa darah yang lebih dari normal.

Serangan PPH dapat ditimbulkan oleh asupan

(4)

tinggi karbohidrat, insulin, stres emosional, pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin- B, adrenalin, relaksan otot, beta-bloker, tranquilizer, analgesik, antihistamin, antiasma puff aerosol, dan obat anestesi lokal).4-6 Diet tinggi karbohidrat dijumpai pada makanan atau minuman manis, seperti permen, kue, soft drinks, dan jus buah. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh tubuh, menyebabkan peningkatan cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa darah ke dalam sel bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya kadar kalium plasma. Pencetus lainnya adalah aktivitas fisik, tidur, dan cuaca dingin atau panas.14

Terapi paralisis hipokalemi biasanya simtomatik, bertujuan menghilangkan gejala kelemahan otot yang disebabkan hipokalemi.

Terapinya mencakup pemberian kalium oral, modifikasi diet dan gaya hidup untuk menghindari pencetus, serta farmakoterapi.15-

16 Di beberapa literatur, disarankan pemberian kalium oral dengan dosis 20-30 mEq/L setiap 15-30 menit sampai kadar kalium mencapai normal. Kalium klorida (KCl) adalah preparat pilihan untuk sediaan oral. Suplementasi kalium harus diberikan hati-hati karena hiperkalemia akan timbul saat proses redistribusi trans-selular kalium berhenti. 15-17 Sediaan kalium oral dapat menyebabkan keluhan gastrointestinal dan tablet bersalut enterik dilaporkan menyebabkan tukak usus halus. Sediaan garam kalium mikroenkapsulasi mungkin tidak begitu menimbulkan keluhan gastrointestinal.18

Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi perubahan EKG, harus diberikan kalium intravena (IV) 0,5 mEq/kg selama 1 jam, infus kontinu, dengan pemantauan ketat. Pasien yang memiliki penyakit jantung atau dalam terapi digoksin juga harus diberi terapi kalium IV dengan dosis lebih besar (1 mEq/kgbb) karena memiliki risiko aritmia lebih tinggi.17 Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kalium ialah kadar kalium plasma, gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi pasien. Suplementasi kalium dibatasi jika fungsi ginjal terganggu.

Pemberian oral lebih aman karena risiko hiperkalemia lebih kecil.19

Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat diberikan untuk menurunkan frekuensi dan

beratnya serangan kelemahan episodik dan memperbaiki kekuatan otot diantara serangan. Asetazolamide merupakan obat jenis tersebut yang banyak diresepkan, dosis dimulai dari 125 mg/hari dan secara bertahap ditingkatkan hingga dosis yang dibutuhkan maksimum 1500 mg/hari.9-13

Dikatakan bahwa asetazolamide dapat mencegah serangan pada beberapa kasus, kemungkinan karena dapat menurunkan aliran kalium dari sirkulasi darah masuk ke dalam sel. Asetazolamide mudah diserap melalui saluran cerna, pemberian asetazolamide per oral akan cepat diserap dan kadar dalam plasma dicapai maksimal dalam 2 jam. Kadar asetazolamide yang tinggi akan dipertahankan selama 4-6 jam kemudian dengan cepat akan menurun karena ekskresi asetazolamide melalui ginjal.20-21 Pemberian asetazolamide yang paling efektif dan efisien adalah dosis tunggal 500 mg.22 Pemberian asetazolamide juga membutuhkan pemberian suplemen kalium, karena asetazolamide dapat menyebabkan pembuangan kalium lewat ginjal menjadi lebih besar, sehingga perlu perhatian khusus pada penderita dengan kelainan ginjal.

Triamteren atau spironolakton dengan dosis 100-200 mg/hari terbukti efektif membantu mencegah terjadinya serangan pada penderita yang tidak memberikan respon dengan pemberian asetazolamide.

Hipokalemik periodik paralisis biasanya berespon baik terhadap pengobatan, pengobatan dapat mencegah bahkan sebaliknya dapat juga menyebabkan kelemahan otot yang progresif.18 Sebuah penelitian acak terkontrol pada tahun 2000 menunjukkan bahwa diklorfenamid dosis 50- 200 mg/hari terbukti efektif menurunkan serangan dibandingkan plasebo. Triamteren bermanfaat karena dapat meningkatkan ekskresi natrium dan menahan kalium di tubulus ginjal. Di beberapa negara, eff ervescent kalium sitrat adalah sediaan yang paling efektif dan ditoleransi dengan baik oleh saluran cerna.23 Pada pasien ini tidak diberikan pengobatan asetazolamide maupun triamteren karena dengan pemberian kalium per oral dan intravena sudah dapat mengatasi keadaan paralisis hipokaleminya.

Edukasi pasien sangat penting karena berhubungan dengan gaya hidup, pola makan, dan aktivitas fisik. Oleh karena itu konsumsi

(5)

makanan dengan kadar kalium tinggi sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya kekambuhan.24 Penelitian yang berkembang saat ini lebih berfokus pada penelitian biomolekuler untuk mencari dasar kelainan chanellopathy di tingkat gen, tidak banyak berpusat pada aspek tata laksana. Terapi gen sebagai terapi definitif untuk PPH saat ini belum ada.16

Alat yang dapat dipakai untuk pemantauan mandiri adalah cardy potassium ion meter, sebuah alat pengukur kadar kalium saliva. Kadar kalium saliva mencerminkan kadar kalium plasma. Pemantauan mandiri ini bermanfaat untuk deteksi perpindahan (shift) kalium, identifikasi faktor pencetus, penyesuaian gaya hidup atau diet, penyesuaian dosis kalium, dan dapat mengurangi risiko timbulnya kelemahan otot.23

Paralisis hipokalemi akut perlu dibedakan dengan penyebab kelemahan sistemik akut lainnya pada bagian kegawatdaruratan termasuk penyebab neurologik, metabolik, dan penyebab infeksi.25 Pada paralisis hipokalemi biasanya berespon baik terhadap terapi. Terapi dapat mencegah kelemahan otot lebih lanjut. Serangan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan kelemahan otot permanen, tetapi jarang dijumpai pada pasien anak. Komplikasi akut meliputi aritmia jantung, kesulitan bernapas, bicara, dan menelan, serta kelemahan otot progresif. Komplikasi hipokalemia kronis berupa kerusakan ginjal, batu ginjal (akibat pemberian asetazolamide), nefritis interstisial, dan kista ginjal.1 Pada pasien ini belum terjadi komplikasi seperti di atas.

Simpulan

Diagnosis paralisis hipokalemi sudah sesuai dengan beberapa teori dan telaah kritis dari penelitian terkini. Ada beberapa faktor risiko paralisis hipokalemi seperti intake yang rendah, pergeseran kalium antara ekstrasel dan intrasel, dan ekskresi kalium melalui ginjal dan hal ini telah dinyatakan oleh beberapa teori yang menjadi sumber acuan. Manajemen paralisis hipokalemia dilakukan dengan tatalaksana medikamentosa dan non- medikamentosa. Paralisis hipokalemia sudah mengalami perbaikan berupa normalnya kemampuan motorik pada kedua tungkai dan tangan pasien.

Daftar Pustaka

1. Cannon SC. Pathomechanisms in channelopathies of skeletal muscel and brain. Annu Rev Neurosci. 2006; 29:387- 415.

2. Widjajanti A, Agustini SM. Hipokalemik Periodik Paralisis. J UNAIR. 2005; 1(1):1- 4.

3. Widijanti A. Hipokalemia, alkalosis metabolik dengan penurunan fungsi ginjal. Medicinus J. 2014; 27:33-7.

4. Fialho D, Michael GH. Periodic paralysis.

In: Fialho D, Hanna MG. Handbook of clinical neurologi. London: Institude of Neurology; 2007. hlm. 77-105.

5. Soule BR, Simone NL. Hypokalemic periodic aralysis: a case report and review of the literature. Cases J. 2008;

1:256.

6. Stemberg D, Maisonobe T, Jurkat RK, Nicole S, Launay E, Chauveau D, dkk.

Hypokalaemic periodic paralysis type 2 caused by mutations at codon 672 in the muscle sodium channel gene SCN4A. Brain. 2011; 124:1091-9.

7. Browmn RH, Mendell JR. Muscular dystrophies and other muscle disease.

In: Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longob DL, Jameson JR, editors. Edisi 15. Harrison’s principles of internal medicine. USA: McGraw-Hill;

2010. hlm. 2538-39.

8. Kumar MR, Bharath RV, Rammohan P, Agrawal A. Clinical profile in gupokalemic periodic paralysis cases.

European J Gen Med. 2014; 11(1):6-9.

9. Tawil R. Periodic Paralysis in current therapy neurologic disease. Edisi 6.

USA: Mosby. 2002. hlm. 422-4.

10. Ropper AH, Brown RH, Phil D. Adams and Victor’s principles of neurology.

Edisi ke-8. USA: McGraw-Hill Comp;

2005.

11. Souvriyanti E, Sudung OP. Paralisis periodik hipokalemik pada anak dengan asidosis tubulus renalis distal. Sari pediatri. 2008; 10(1):53-9.

12. Graves TD, Hanna MG. Neurological channelopathies. Postgrad Med J. 2005;

81:20-32.

13. Masionobe T, Sternberg D, Jurkatrott K.

Hypokalaemic periodic paralysis type 2 caused by mutasions at codon 672 in

(6)

the muscle sodium channel gene SCN4A. Barain. 2001; 124:1091–9.

14. Sarnat BH. Neuromuscular disorder. In:

Berhman RE, Kliegman RM, Jensen HB, editor. Nelson textbook of pediatrics.

Edisi 18. Philadelphia: WB Saunders;

2007. hlm. 2531-40.

15. Venace SL, Cannon SC, Fialho D, Fontain B, Hanna MG, Ptacek LJ. The primary periodic paralysis: diagnosis, pathogenesis, and treatment. Brain.

2006; 129:8-17.

16. Greenbaum L. Pathophysiology of body fluids and fluid therapy. Dalam:

Berhman RE, Kliegman RM, Jensen HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics.

Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders;

2007. hlm. 267-77.

17. Andrea K, Thomas M. Disorders of water, sodium, and potassium homeostasis. Dalam: Nichols DG, editor.

Roger’s textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 243-58.

18. Natadidjaja H. Keseimbangan cairan dan elektrolit. Jakarta: Binarupa aksara;

1989. hlm. 43-82.

19. HKPP. Hypokalemia periodic paralysis.

[internet]. 2015 [Diakses tanggal 15 Mei

2015]. Tersedia dari:

http://www.hkpp.org.

20. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: EGC; 2010.

21. Widagdo SM. Efektivitas asetazolamid sebagai premedikasi operasi intra okuler. [tesis]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro;

1988.

22. Fialho D, Venace SL, Cannon SC, Fontain B, Hanna MG, Ptacek LJ. The primary periodic paralysis: diagnosis, pathogenesis, and treatment. Brain.

2006; 129:8-17.

23. Palmer BF, Dubose TD. Disorders of potassium metabolism. Dalam: Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. Edisi ke-7. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2010.

hlm. 137-64.

24. Pardede SO, Fahriani R. Paralisis periodik hipokalemik familial. CDK-198 J. 2012; 39(10):727-30.

25. Levitt JO. Practical aspects in the management of hypokalemic periodic paralysis. J Transl Med. 2008; 6:18.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah

Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dicapai, yang mana kedua hipotes penelitian juga diterima, pada dasarnya telah membuktikan kembali atas hasil- hasil penelitian

 Babak Penyisihan: peserta diwajibkan mengirimkan karya tulis ke panitia untuk kemudian dilakukan seleksi dokumen dengan mengambil 10 karya tulis terbaik.  Babak Final, 10

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemberdayaan perempuan yang ditempuh oleh Koperasi Wanita Mekar Saluyu dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi

ZULFARDI D, S.PD, M.PD Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu..

Jadi, dengan mengetahui semua biaya dari setiap ruas jalan, dapat ditentukan (dengan algoritma tertentu) rute terbaik yang dapat dilalui pada jaringan jalan tersebut.. •

(5) Dalam hal beban kerja minimal Pengawas Madrasah dan Pengawas PAI pada sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat(l) tidak terpenuhi karena tidak terdapat jumlah

Persentase produksi telur masing-masing kelompok dihitung berdasarkan prociuksi telur &#34;hen d a y &#34; yaitu persentase produksi dalam jangka waktu ter- tentu (28