EMERGENCY SAFEGUARD MEASURES (ESM) SEBAGAI JARING PENGAMAN
KEBIJAKAN LIBERALISASI SEKTOR JASA Oleh : Tim Perbankan dan Enquiry Point
Pendahuluan
Apabila perkembangan negosiasi perdagangan sektor jasa dalam forum World Trade Organization (WTO) yang masih berlangsung sampai saat ini diamati secara cermat, maka dapat ditarik suatu kesimpulan yang sangat elementer yang mungkin masih sering terjadi dalam sistem perdagangan tradisional, yaitu terbentuknya blok-blok perdagangan antara negara-negara maju (developed countries) di satu sisi serta negara-negara berkembang (developing countries) dan negara-negara miskin (least-
developed countries/LDCs) di sisi
lain. Latar belakang “terciptanya” blok-blok semacam ini dipicu oleh perbedaan kepentingan yang mendasar di antara negara-negara tersebut. Negara maju yang memiliki keuntungan komparatif dari segi kemampuan ekonomi dan kapabilitas sumber daya manusia serta penguasaan riset dan teknologi, terkesan “memaksa” negara-negara berkembang dan negara-negara miskin untuk membuka pasar secara
agresif sehingga memungkinkan negara-negara maju untuk mengakses pasar secara masif.
Sebaliknya negara-negara berkembang dan miskin terlihat lebih
defensif dan berusaha “menghindar” dalam membuka pasar secara lebih jauh sesuai dengan kehendak negara-negara maju. Permintaan pembukaan akses pasar kepada negara-negara maju hanya sebatas pada mode 4 (presence of natural
persons), terutama untuk tenaga
kerja yang berketrampilan menengah dan rendah.1
Ungkapan kekecewaan ini secara terang benderang mengemuka dalam meja perundingan pada Council on
Trade in Services (CTS) – Special Session (SS) dalam Cluster of Meetings untuk perdagangan sektor
jasa pada bulan Juni-Juli 2005 di Geneva. Masing-masing kubu mengungkapkan kekecewaan terhadap perkembangan initial offer
1 Sebagai contoh, tenaga kerja yang diunggulkan
untuk diekspor ke negara-negara maju antara lain perawat (baik perawat kesehatan maupun perawat orang-orang jompo), teknisi di bidang energi dan sumber daya mineral, pelatih silat dan pelatih bulutangkis, serta ahli dalam perawatan tubuh/spa.
maupun revised offer. Negara-negara maju lebih menginginkan adanya akses pasar yang lebih terbuka untuk sektor-sektor yang telah lama menjadi incaran seperti telekomunikasi, distribusi dan
computer & related services yang
dari sisi pandang negara-negara berkembang merupakan sektor-sektor yang “sensitif” apabila dikaitkan dengan national objective masing-masing negara.
Situasi ini semakin kompleks dengan belum tercapainya kesepakatan dalam negosiasi mengenai isu
Emergency Safeguard Measures
(ESM) yang diusulkan ASEAN2.
Pembahasan isu ini pada level multilateral telah hampir mencapai 10 tahun sejak terbentuknya Working
Party on GATS Rules tahun 1995.
Sampai saat ini ASEAN tetap bersikukuh bahwa negara-negara berkembang sangat membutuhkan ESM sebagai jaring pengaman (safety net) dalam melakukan pengamanan terhadap national
objective yang mungkin akan
terganggu sebagai implikasi dari pemberian komitmen dalam
Schedule of Specific Commitment
(SOC). Bahkan ASEAN dan beberapa negara berkembang
2 Negara anggota ASEAN yang dimaksudkan di
sini adalah seluruh anggota ASEAN yang telah menjadi anggota WTO minus Singapore, yaitu Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Thailand. Singapore sama sekali tidak mendukung proposal ASEAN mengenai ESM. Hal ini dapat dimaklumi karena terdapat banyak investasi Singapore di luar negeri. Apabila ESM diterapkan maka investasi ini akan menjadi terancam eksistensinya.
mengkaitkan isu ESM dengan negosiasi akses pasar. Akibat alotnya perundingan mengenai isu ESM ini, maka deadline pembahasan ESM yang dimandatkan oleh GATS telah berkali-kali diperpanjang sehingga statusnya saat ini adalah
open-ended. Tulisan ini mencoba
menggambarkan secara singkat posisi masing-masing kubu terhadap isu ESM dengan argumentasinya masing-masing.
Pengaturan ESM dalam GATS
ESM diatur dalam Article X GATS yang memberikan mandat kepada negara anggota WTO untuk melakukan negosiasi “on the
question” mengenai ESM dan
menegaskan bahwa “result shall
enter into effect” dalam 3 tahun (yaitu
tahun 1998). Article X tersebut secara lengkap berbunyi :
(1) There shall be multilateral negotiations on the question of emergency safeguard measures based on principle of non-discrimination. The results of such negotiations shall enter into effect on a date not later than three years from the date of entry into force of the WTO Agreement. (2) In the period before the entry into
effect of the results of the negotiations referred to in paragraph 1, any Member may, notwithstanding the provisions of paragraph 1 of Article XXI, notify
the Council of Trade in Services of its intention to modify or withdraw a specific commitment after a period of one year from the date on which the commitment enters into force; provided that the Member shows cause to the Council that the modification or withdrawal cannot await the lapse of the three-year period provided for in paragraph 1 of Article XXI. (3) The provisions of paragraph 2
shall cease to apply three years after the date of entry into force of the WTO Agreement.
Ditegaskan pula bahwa negosiasi mengenai ESM harus didasarkan pada “principle of
non-discrimination”.3
Negosiasi multilateral mengenai ESM menjadi lebih rumit dan memakan waktu yang panjang lebih diakibatkan perbedaan penafsiran mengenai isi Article X tersebut. European
Communities (EC), misalnya, menyatakan bahwa frasa “on the
question of ESM” terkait dengan
permasalahan mengenai feasibility
and desirability4 dari ESM. Apabila kedua unsur tersebut tidak dapat dibuktikan secara konkrit maka permasalahan mengenai ESM tetap
3 Prinsip ini ditafsirkan sebagai prinsip
most-favored-nation (MFN) yang tidak membedakan diantara sesama penyedia jasa asing yang masuk ke suatu negara anggota WTO.
4 Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada sub
topik berikutnya di belakang.
mengemuka. Di samping itu perlu juga dilakukan pemahaman yang lebih mendalam mengenai cakupan mandat yang diberikan oleh Article X. Penyusunan suatu safeguard
measures harus didasarkan pada
situasi yang bersifat “emergency”, yaitu suatu kejadian/keadaan yang
”extraordinary” yang tidak dapat
diprediksi sebelumnya atau lebih dikenal dengan “unforeseen
development”. Keadaan dimaksud
bukan disebabkan oleh adanya peningkatan volume perdagangan (impor) atau situasi yang kompetitif antara penyedia jasa asing dan domestik. Mandat Article X juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan
general exemption baru dalam GATS
atau untuk melakukan ”structural
adjustment”5 atau pula melindungi infant industry.6 Argumentasi untuk melakukan proteksi terhadap infant
industry justru didasarkan pada suatu
pelanggaran terhadap keuntungan komparatif yang akan diperoleh di masa yang akan datang dan tidak berkaitan dengan memburuknya kondisi pasar dalam negeri. Oleh karena itu situasi yang emergency
5 Istilah ini seringkali digunakan dalam negosiasi
mengenai ESM. Artinya kurang lebih merupakan suatu upaya pemulihan struktural terhadap penyedia jasa domestik yang mengalami luka serius (serious injury) yang diakibatkan kehadiran penyedia jasa asing di dalam negeri sebagai konsekuensi logis dari dibukanya akses pasar di dalam negeri.
6 Menurut EC, general exemptions telah diatur
secara tegas dalam Article XIV dan XIV bis GATS sedangkan Article XXI telah memberikan prosedur bagi negara anggota WTO yang ingin menarik/memodifikasi (secara permanen) seluruh atau sebagian komitmen yang telah di-tabled.
lebih terkait dengan pergerakan modal yang mengakibatkan luka serius pada neraca pembayaran atau kebijakan moneter dari negara anggota. Article XII GATS memberikan solusi terhadap ”serious
balance-of payments and external financial difficulties or threat thereof”,
sedangkan pergerakan modal yang menyebabkan kesulitan pada kebijakan moneter tidak menjadi cakupan GATS karena Annex on
Financial Services mengecualikan
kegiatan yang dilakukan oleh bank sentral, otoritas moneter atau lembaga publik yang melakukan fungsi mengatur kebijakan moneter atau nilai tukar.
Dengan sisi pandang sebaliknya,
ASEAN7 berpendapat bahwa ESM
merupakan segala tindakan yang diambil oleh suatu negara anggota terhadap suplai atau konsumsi jasa dari negara anggota lain dengan pertimbangan untuk melakukan
withdrawal sementara pada komitmen yang telah dibuat dengan tujuan menyelamatkan dan sekaligus memproteksi industri domestik
terhadap serious injury atau
ancaman sejenis. Oleh karena itu ESM pada perdagangan sektor barang sebagaimana diatur dalam
Agreement on Safeguard masih
relevan untuk diterapkan terhadap perdagangan sektor jasa dengan berbagai penyesuaian. Serious injury digambarkan sebagai gangguan
yang signifikan terhadap posisi industri domestik, sedangkan ancaman sejenis didefinisikan sebagai serious injury yang bersifat
imminent.
Perkembangan Negosiasi mengenai ESM
Untuk mendukung pandangan tersebut di atas, ASEAN telah mencoba mengajukan contoh konkrit
berupa Shangri-la case yang
sebetulnya sangat konkrit dan realistis, namun tetap tidak dapat diterima oleh negara maju. Kasus
Shangri-la mencoba memberikan
jawaban atas pertanyaan mengapa ESM dibutuhkan oleh negara-negara berkembang dan LDCs.
Shangri-la digambarkan sebagai
suatu negara berkembang agraris yang sebagian besar penduduknya tinggal di desa-desa terpencil. Sebagian besar para pekerja merupakan pekerja kasar (low-skilled
labor) pada sektor retail yang bekerja
secara part-time dan persentase jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria. Struktur distribusi, seperti halnya di US pada awal abad ke-20, didominasi oleh general stores yang berlokasi di kota-kota kecil.
General stores semacam ini memiliki
peranan yang sangat penting karena selain berfungsi sebagai pemberi kerja, juga merupakan penyedia bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya. Pada saat Shangri-la
membuka akses pasarnya untuk sektor distribusi baik wholesale
maupun retail sesuai dengan
tuntutan liberalisasi, maka dalam beberapa bulan jagoan jaringan retail modern milik asing menyerbu seluruh
kota kecil di Shangri-la dan
memberikan dampak yang buruk secara terhadap eksistensi dari
general stores sebagai industri
domestik. Akibat selanjutnya yang dapat dibayangkan setelah dilakukan
full liberalisation adalah bangkrutnya general stores tersebut yang
menimbulkan pengangguran yang luar biasa. Sebagai kesimpulan, ESM sebagai jalan keluar sangat dibutuhkan untuk mengatasi hal ini. Beberapa aspek yang menarik dari proposal yang dikemukakan oleh ASEAN adalah :
1. Kondisi Berlakunya ESM
a. ESM hanya berlaku apabila terdapat suatu situasi yang bersifat emergency sebagai akibat dari peningkatan suplai atau konsumsi suatu jasa asing yang selanjutnya menimbulkan serious injury atau ancaman yang menyebabkan serious injury terhadap industri domestik yang melakukan suplai berupa
like or directly competitive services.8
8 Konsep ini persis sama dengan konsep ”like or
directly competitive product” yang diatur dalam Agreement on Safeguard yang berlaku bagi barang.
b. ESM hanya berlaku dalam periode waktu tertentu untuk mencegah atau melakukan
remedy terhadap serious injury atau ancamannya dan
untuk memfasilitasi adjustment terhadap industri domestik.9 c. ESM hanya berlaku setelah
dilakukan investigasi oleh otoritas yang berwenang, yang dalam hal ini adalah CTS. 2. Elemen ESM
a. MFN dimana ESM berlaku secara MFN untuk mengakomodasi “principle of
non-discrimination”
sebagaimana diatur dalam Article X GATS.
b. Limited window of time dan
limited duration sebagaimana
telah disebutkan pada butir 1 b di atas.
c. Acquired rights, yaitu hak-hak yang diperoleh penyedia jasa asing, khususnya bagi mode 3 yaitu commercial presence. ASEAN berpendapat bahwa dalam cakupan acquired
rights, termasuk pula expansionary rights, yaitu hak
untuk melakukan ekspansi yang berpotensi menambah parahnya suatu serious injury.
9 Untuk periode waktu ini dikenal konsep ”limited
window of time” dimana ESM di-applied untuk berlaku yang dihitung sejak berlakunya komitmen suatu negara dalam SOC serta konsep ”limited duration”, yaitu berapa lama ESM diberlakukan.
Kritik negara maju lebih banyak ditujukan kepada elemen ini karena dirasakan tidak menjamin kepastian hukum (legal certainty dan
predictability).
3. Pengertian dari industri domestik diserahkan pada kebijakan masing-masing negara anggota untuk mengaturnya mengingat agak sulit untuk memperoleh satu definisi yang berlaku secara multilateral.
4. Special and Differential (S&D)
Treatment diberlakukan terhadap
sektor jasa yang disuplai oleh negara berkembang dalam pemberlakuan ESM mengingat hampir sebagian besar negara berkembang sangat tergantung pada mode 4, yaitu presence of
natural persons. Oleh karena itu quantitative restriction terhadap
mode 4, misalnya, dikecualikan dari pemberlakuan ESM.
5. Berbeda dengan ketentuan Article XXI GATS mengenai Modification
of Schedules yang mengharuskan
adanya kompensasi kepada
affected member karena bersifat
permanen, ASEAN mengusulkan agar kompensasi ditiadakan dalam pemberlakuan ESM mengingat ESM diberlakukan sementara.
6. ESM tidak hanya berlaku
terhadap mode 1 : cross border
supply sebagaimana halnya yang
berlaku terhadap sektor barang, melainkan berlaku pula bagi
semua modes of supply
mengingat karakteristik sektor jasa yang berbeda dengan sektor barang.
Terhadap pendapat ASEAN tersebut di atas, negara-negara maju yang dipelopori oleh US, EC dan Japan menyatakan bahwa hal penting yang menjadi syarat mutlak untuk memberlakukan ESM adalah pemenuhan unsur desirability dan
feasibility. Unsur desirability
menghendaki penjelasan mengenai mengapa ESM dibutuhkan, kapan ESM dibutuhkan, siapa yang diproteksi, proteksi terhadap siapa, diproteksi dengan cara apa dan kepada siapa ESM akan diberlakukan. Aspek teknis dan
modal application dari ESM harus
dijawab untuk memenuhi unsur
feasibility. Kasus Shangri-la masih
belum menggambarkan secara konkrit kedua unsur tersebut.10
10 Pada dasarnya pendapat negara maju ini masih
sangat debatable karena dalam lapangan hukum perdata (internasional) pun dikenal dengan konsep force majeure/hardship atau keadaan memaksa yang membenarkan debitor untuk tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian apabila hal tersebut terjadi akibat adanya unforeseen event. Artinya debitor tidak dapat dianggap default atau wanprestasi dan kemudian dituntut ganti kerugian jika hal itu disebabkan oleh suatu keadaan memaksa yang terjadi di luar kontrol para pihak serta tidak dapat dihindari walaupun dengan the best effort sekalipun. Disamping itu pula ternyata emergency-type measures untuk sektor jasa sebenarnya telah diatur dalam beberapa SOC negara maju seperti Japan dan Bulgaria serta dalam beberapa regional trade arrangement (RTA) seperti NAFTA dan EFTA sehingga menambah kesan bahwa negara maju tidak konsekuen dalam memandang proposal ASEAN mengenai ESM.
Disamping itu perlu dilakukan semacam national interest test, termasuk economic interest test. Menurut negara maju, proposal ASEAN mengenai ESM cenderung menitikberatkan pada aspek political
economy sebagai pembenaran untuk
memberlakukan ESM, yaitu untuk mempertanggungjawabkan kepada konstituen dalam negeri terhadap kebijakan liberalisasi yang telah diambil, disamping ESM sebagai katup pengaman untuk melindungi industri domestik terhadap serious
injury sehingga akan mendorong
konstituen untuk mendukung lebih lanjut kebijakan Pemerintah dalam meliberalisasi akses pasar secara lebih otonomi (autonomous
liberalization). Negara maju
mengganggap national interest test perlu dilakukan terhadap konsumen domestik dari penyedia jasa asing yang cenderung berpandangan bahwa kebijakan ESM tidak menguntungkan dari aspek
competition policy karena
menghambat konsumen untuk melakukan pilihan terhadap penyedia jasa yang lebih berkualitas dan lebih murah serta secara kuantitas akan mengurangi jumlah pilihan tersebut.11 Selain itu juga diingatkan bahwa
11 Permintaan negara maju agar negara proponen
ESM melakukan full liberalization, termasuk binding on status quo (existing regulations yang biasanya lebih liberal) terlebih dahulu baru kemudian mengajukan ESM sangatlah tidak realistis. Dengan kondisi asymmetric playing field akan sulit bagi industri domestik di negara berkembang dan LDCs untuk “bertempur” dengan penyedia jasa asing dalam kondisi full liberalization dengan iklim fairly competitive sekalipun.
apabila ESM diterapkan maka sudah dapat dipastikan bahwa akan terjadi penarikan investasi besar-besaran oleh investor asing sehingga akan meningkatkan jumlah pengangguran dan penurunan pendapatan di sektor pajak.
Barangkali satu hal yang perlu difikirkan oleh ASEAN sebagai negara proponen dari ESM adalah pendapat negara maju mengenai kolektibilitas data yang konkrit dan komprehensif untuk perdagangan sektor jasa. Berbeda halnya dengan data perdagangan sektor barang, memang secara jujur perlu diakui bahwa secara faktual, sebagian negara-negara berkembang memiliki keterbatasan untuk menyediakan data dimaksud. Tersedianya data yang konkrit dan komprehensif merupakan suatu keharusan untuk memberlakukan ESM karena diperlukan terutama untuk menghitung peningkatan suplai atau konsumsi yang mengakibatkan terjadinya serious injury. Oleh karena itu data tersebut perlu dipersiapkan dan secara komprehensif mencakup keseluruhan modes of supply.
Suatu kritik yang cukup tajam adalah pandangan negara maju bahwa ESM sebenarnya tidak diperlukan karena yang cukup dilakukan negara anggota WTO adalah regulatory and
implementation framework tanpa
mengutak-atik komitmen yang telah diberikan. Disamping itu terdapat banyak fleksibilitas yang ditawarkan
oleh GATS untuk mengatasi keadaan
yang emergency. Fleksibilitas
tersebut adalah prudential carve-out yang diatur oleh Annex on Financial
Services yang berarti komitmen yang
dibuat dapat disimpangi bahkan ditarik kembali dengan alasan untuk melaksanakan prudential principles sesuai dengan international
standards atau best practices. Selain
itu juga dapat menggunakan ketentuan dalam Article XII GATS mengenai Restrictions to Safeguard
the Balance of Payments yang
memberikan kesempatan kepada negara anggota untuk menerapkan pembatasan-pembatasan
(restrictions), termasuk terhadap transaksi pembayaran dan transfer terkait dengan komitmen yang telah diberikan apabila komitmen dimaksud telah menyebabkan negara tersebut mengalami kesulitan neraca pembayaran dan keuangan eksternal. Article XXI GATS mengenai Modification of Schedules sebagaimana telah disinggung di atas juga dapat digunakan sebagai fleksibilitas. Dikemukakan pula bahwa Article IX Marakesh
Agreement Establishing WTO
mengenai Decision Making dapat digunakan pula sebagai safeguard untuk menarik kewajiban yang dikenakan kepada suatu anggota WTO. Namun demikian pemanfaatan ketentuan yang lebih dikenal dengan
waiver clause ini menjadi lebih rumit
karena harus memperoleh keputusan
dari Ministerial Conference secara konsesnsus. Bila konsensus tidak tercapai, maka diperlukan suara sebanyak ¾ anggota WTO.
Terhadap pendapat negara maju tersebut sebetulnya perlu dikemukakan beberapa tanggapan. Pertama, ESM sebetulnya merupakan upaya terakhir (the last
recourse) dalam menanggulangi serious injury dan dalam rangka
melakukan structural adjustment
apabila seluruh fleksibilitas yang ditawarkan GATS ternyata tidak ampuh. Kedua, ESM sangat berbeda dengan Article XXI GATS karena ESM bersifat sementara, sedangkan Article XXI merupakan modifikasi secara permanen. Ketiga, penggunaan waiver clause menjadi tidak efektif dalam menanggulangi
serious injury karena terlalu
panjangnya prosedur administratif yang ditempuh oleh negara yang akan mengajukan ESM, sedangkan
structural adjustment harus segera
dilakukan.12
Strategi Negosiasi ke Depan
Pada prinsipnya strategi negosiasi negara anggota ASEAN sebagai
12 Dapat dibayangkan apabila Indonesia
mengalami kembali krisis keuangan seperti yang melanda Indonesia pada tahun 1997 sebagai akibat dari pemberian komitmen di sektor keuangan dan upaya yang harus ditempuh (dengan tidak adanya ESM) adalah Ministerial Conference yang diadakan sekali dalam 2 tahun. Padahal krisis keuangan tersebut harus segera ditangani karena pasti memberikan implikasi buruk yang sangat luas terhadap seluruh sendi kehidupan.
negara proponen ESM yang mengaitkan isu ESM dengan negosiasi mengenai akses pasar saat ini perlu dipertahankan dengan teguh karena secara kodrati terdapat
asymmetric playing field antara
penyedia jasa dari negara maju dan penyedia jasa dari negara berkembang serta LDCs. Namun demikian dalam menghadapi negosiasi khususnya mengenai ESM, beberapa crash programs perlu segera dilakukan secara simultan termasuk mempersiapkan data yang
komprehensif menyangkut perdagangan sektor jasa serta
melakukan penguatan industri domestik sebelum dilakukan full
liberalization. Pada sub-sektor
perbankan, usaha penguatan kelembagaan bank domestik secara progresif melalui Arsitektur Perbankan Indonesia perlu diapresiasi mengingat tujuan akhir dari usaha tersebut pastilah untuk mempersiapkan, dengan meminjam istilah sepakbola, kekuatan kesebelasan Persib “Maung” Bandung sebelum bertanding melawan kesebelasan Manchester
“Red Devils” United di Liga