• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI

PENGGUNAAN TANAH

A. Pengaturan tentang Perikatan Jual Beli

Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”.55 Dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata tersebut diketahui bahwa timbulnya perikatan karena persetujuan dan karena Undang-Undang, dengan demikian dikatakan bahwa Undang-Undang dan perjanjian adalah sumber perikatan.56

Secara garis besar menurut KUH Perdata sumber perikatan dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang

Perikatan yang lahir dari Undang-Undang ini asas kebebasan mengadakan perjanjian tidak berlaku. Suatu perbuatan menjadi perikatan adalah karena kehendak Undang-Undang. Untuk perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian maka pembentuk Undang-Undang memberikan aturan-aturan yang umum. Tidak demikian halnya dengan perikatan yang lahir dari

55

Lihat Pasal 1233 KUHPerdata 56

Dalam Pasal 1233 KUHPerdata walaupun tidak ada disebutkan mengenai kata perjanjian akan tetapi J. Satrio memberikan maksud yang sama dengan kata persetujuan yaitu terjemahan dari kata Belanda “Overeenkomst”. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 2.

(2)

Undang dimana pembentuk Undang-Undang tidak memberikan aturan-aturan yang umum.

Untuk terjadinya perikatan di atas, Undang-Undang tidak mewajibkan dipenuhinya syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan untuk terjadinya perjanjian.57 Oleh karena perikatan ini bersumber dari Undang-Undang, sehingga terlepas dari kemauan para pihak. Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum (perikatan) di antara para pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut.

Perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang yang menurut hukum misalnya mengurus kepentingan orang lain secara sukarela

(zaakwaarneming), dimana sebagai akibatnya, Undang-Undang menetapkan beberapa

hak dan kewajiban, yang harus mereka perhatikan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.

Perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata,58 Undang-Undang menetapkan kewajiban orang itu untuk memberi ganti rugi.

Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) memang hampir serupa dengan wanprestasi sehingga dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan “genus spesifik” dari “onrechmatige daad” seperti yang dirumuskan dalam Pasal

57

Lihat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 58

(3)

1365 KUHPerdata. Oleh karena itu, sebagaimana juga halnya dalam onrechmatige daad/perbuatan melawan hukum, maka dalam wanprestasi pun demikian halnya. Yakni wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditur.59

2. Perikatan yang bersumber dari perjanjian

Dalam perikatan yang lahir melalui perjanjian, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.60

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan “semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.61 Dengan adanya kebebasan mengadakan perjanjian maka subjek-subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang namanya ditentukan oleh Undang-Undang yaitu sebagaimana yang tercantum pada Bab V sampai dengan Bab XVIII dalam Buku ke III KUHPerdata, tetapi berhak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut Suharnoko, akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari

59

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung 1992, hal 61. 60

Lihat Pasal 1337 KUHPerdata. 61

(4)

Undang-Undang tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh Undang-Undang. Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak menderita kerugian, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melewan hukum.62

Selanjutnya mengenai perikatan ini dapat juga dilihat dari ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.63

Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas dapat dipahami, pengertian perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan tindakan, seperti zaakwarneming, onregmatige daad. Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu :

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak

62

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004, hal 115-116.

63

(5)

dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.

4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.64

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah “Suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.65 Menurut R. Subekti perjanjian adalah “Suatu peristiwa dimana seseorang mengikatkan diri kepada orang lain atau lebih dimana orang tersebut saling berjanji untuk melakukan suatu hal”.66

Berdasarkan rumusan perjanjian di atas dijumpai beberapa unsur dalam suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.

(1) Perikatan (hubungan hukum). (2) Subyek hukum.

(3) Isi (hak dan kewajiban).

64

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992, hal. 78. 65 Ibid,

hal. 78. 66

(6)

(4) Ruang lingkup (lingkup hukum harta kekayaan).

Menurut J. Satrio, bahwa “Pembuat Undang-Undang dalam Pasal 1313 KUH Perdata mencoba memberikan perumusan tentang apa itu yang disebut perjanjian, tetapi ia sama sekali tidak menjelaskan apa itu perikatan”.67 Mariam Darus Badrulzaman, mengartikan bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.68

Menurut M. Yahya Harahap, bahwa “Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.69

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut terlihat masih belum ada kesepakatan dalam penggunaan kata perjanjian dan perikatan, karena walaupun menggunakan kata yang berbeda namun pada umumnya tetap mengacu kepada pengertian mengenai perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, namun penulis dalam penulisan ini menggunakan istilah “Perikatan” untuk “Verbintenis” sedangkan “Perjanjian” untuk istilah “overeenkomst”.

67

J. Satrio, Op.Cit., hal 1. 68

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal 1.

69

(7)

Pasal 1313 KUH Perdata dan pendapat tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa dalam suatu perjanjian terdapat hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan perikatan. Dengan demikian untuk adanya suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak yaitu kreditur dan debitur. Sesuai dengan uraian tersebut dapatlah dimengerti bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu.70

Pengertian di atas juga menunjukkan bahwa perjanjian terjadi pada saat persetujuan itu disepakati. Dalam hal ini jelaslah persetujuan merupakan hal yang utama karena setiap pihak yang membuat perjanjian telah memikirkan tentang hak yang akan diperoleh sebagai keuntungam baginya dan kewajiban sebagai beban prestasi yang harus dilaksanakan.

Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang biasa diistilahkan dengan perjanjian sepihak, di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa

70 Ibid .

(8)

yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.71

Kontrak pada umumnya janji-janji mengandung atau memuat para pihak itu saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lain menginginkan uang karena tidak

mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama.72 Perjanjian merupakan suatu peristiwa yang kongkret dan dapat dinikmati, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang tidak kongkrit, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya perjanjian tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan.

KUH Perdata mengenal berbagai jenis perjanjian, salah satunya adalah jual beli. Jual beli merupakan salah satu dasar pemindahan atau pengalihan hak milik dari satu orang kepada orang lain. Pasal 1457 KUH Perdata menyebutkan

“Jual beli adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi pada saat pihak penjual dan pembeli telah tercapai kata sepakat tentang benda dan harganya, meskipun pembayaran harga itu penyerahan bendanya belum dilakukan.

71 Ibid 72

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3

(9)

Selain itu, pengertian jual beli juga dikemukakan oleh S.B.Marsh dan J. Soulbsby yang dialih bahasakan oleh Abdul Kadir Muhammad bahwa perjanjian

jual beli adalah perjanjian di mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak miliknya atas suatu barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga.73

Pengertian di atas menjelaskan bahwa dalam perjanjian jual beli tercakup dua unsur yang pokok yaitu barang dan harga. Sehingga perjanjian jual beli dianggap sudah berlangsung antar pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang “keadaan barang dan harga barang” tersebut.

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa satu pihak dinamakan penjual, sedang pihak lainnya dinamakan pembeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang timbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “Koopt en Verkoopt” yaitu (Verkoopt) menjual dan (Koopt) membeli.74)

Pasal 1145 KUH Perdata menyebutkan :

Jika penjualan telah dilakukan tunai, maka si penjual bahkan mempunyai kekuasaan menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang ini masih berada di tangan si pembeli, sedangkan ia dapat menghalang-halangi dijualnya terus barang-barang itu, asal saja penuntutan kembali itu dilakukan di dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah penyerahannya.

Kemudian dalam Pasal 1457 KUH Perdata ditentukan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

73

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian (Business Law), Alumni Bandung, 2006, hal. 243.

74Ibid

(10)

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.

Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus melaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.

Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas Hukum Kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut :

1. Asas Konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

2. Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatannya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap

(11)

beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak.

4. Asas Persamaan Hak

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan.

5. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.

6. Asas Moral

Asas ini terlihat di dalam Zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata.

7. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

8. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.75

Perjanjian baik dilakukan secara tertulis maupun lisan sama-sama mengikat para pihak yang membuatnya, asalkan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun demikian, perjanjian secara lisan di dalam dunia perdagangan dan bisnis kurang disukai karena apabila terjadi sengketa sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti. Pembuktian perjanjian yang dibuat secara lisan dapat

75

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (standar) Perkembangannya di Indonesia, Alumni Bandung, 1990, hal. 42-44.

(12)

dilakukan dengan saksi. Para saksi adalah manusia yang tidak luput dari lupa, sifat yang tidak jujur, atau meninggal dunia.

B. Syarat Sahnya Perikatan Jual Beli

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian, Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap orang bebas mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian serta bebas untuk menentukan isi dari perjanjian dimaksud menurut yang dikehendaki dalam batas-batas tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Pasal 1320 KUH Perdata menegaskan bahwa “untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat”, yaitu sebagai berikut.

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu, dan

d. Suatu sebab yang halal.

ad.1) Kata Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri

Kesepakatan yang dimaksud merupakan persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Mengenai hal ini, Subekti merumuskan bahwa “maksud dari kesepakatan itu adalah kedua subyek yang mengadakan perjanjian

(13)

harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok, apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain dan mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik”.76

Abdulkadir Muhammad mengatakan sepakat sebagai suatu persetujuan kehendak, seia sekata antara para pihak yang membuat perjanjian itu, pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.77

Kesepakatan ini menunjukkan bahwa orang sebagai subjek hukum bebas menyatakan kehendaknya. Lahirnya suatu perjanjian karena adanya kesepakatan kedua belah pihak yang dinyatakan secara tertulis maupun secara lisan.

Dalam perjanjian jual beli tanah, kesepakatan antara para pihak baik secara tertulis maupun secara lisan. Pihak yang menjual secara bersama dengan pembeli membuat perjanjian jual beli tersebut. Akibat adanya perjanjian tersebut maka terjadi hubungan hukum antara penjual sebagai pihak yang menjual dengan terlebih dahulu mengurus izin yang dijanjikan dengan pembeli seperti pada objek penelitian izin yang diperjanjikan adalah izin peralihan sekaligus izin alih fungsi penggunaan tanah. Apabila kesepakatan telah tercapai antara para pihak, maka para pihak terikat untuk mentaati semua isi perjanjian yang telah mereka sepakati tersebut. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

76

Subekti, Op Cit, hal. 18. 77Ibid.

(14)

ad.2) Kecakapan untuk Membuat Perjanjian

Pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan tidak terganggu ingatannya, cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang dewasa yang terganggu ingatannya, anak di bawah umur dan orang yang berada di bawah pengampuan dianggap tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.78

Dalam membuat sesuatu perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan harus dapat mempertanggung jawabkannya.79 Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1339 KUH Perdata “bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang-orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap”.

M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa “subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan adalah orang yang mampu melakukan tindakan hukum. Umumnya mereka yang mampu melakukan tindakan hukum adalah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di bawah pengampuan wali maupun di bawah “curatele”.80

Subjek dari suatu perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan kepentingannya

78

Subekti, Op.Cit., hal. 19. 79 Ibid.

80

(15)

dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.81

Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu atau pemboros di dalam mengendalikan keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari orang tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya.82

Setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi Miru mengatakan bahwa:

Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum diangap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.83

ad.3) Suatu hal Tertentu

Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu

81 Ibid. 82 Ibid.,

hal. 9. 83

(16)

perselisihan.84 Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada di tangan si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu dianggap batal demi hukum.85

Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”.

ad.4) Sesuatu Sebab yang Halal

Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak.

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang terjadi sebab orang yang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang adalah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah

84

R. Subekti, Op.Cit, hal. 19 85

(17)

dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.86

Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada.87

Apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut.

a. Syarat Subjektif.

Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan bertindak dalam bidang hukum.88 Kedua syarat ini dikatakan subjektif karena ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat

86 Ibid, hal. 94. 87 Ibid, hal. 96. 88

(18)

subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan. Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan dari orang yang berkepentingan.

b. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.89

C. Jual Beli sebagai Dasar Peralihan Hak Guna Usaha

Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa dan/atau perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan hukum seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya, dan juga tidak disengaja karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan.

Muhammad Yamin Lubis menyebutkan bila ada kehendak yang disengaja dan disepakati atas sebidang tanah milik, maka di dalamnya ada pengalihan hak atas tanah tersebut. Bila pengalihan tersebut dipaksakan oleh kewenangan dan kekuasaan Negara, maka dicabut atau mungkin dinasionalisasikan. Dan ini pun harus dengan menempuh persyaratan, sebab terjadi pemutusan hubungan hukum kepemilikan di dalamnya.90

89 Ibid . 90

(19)

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dijelaskan bahwa peralihan hak atas

tanah adalah suatu peristiwa/perbuatan hukum yang mengakibatkan berpindahnya hak seseorang terhadap tanah ke pihak lain, sehingga menyebabkan kehilangan

kewenangannya terhadap tanah tersebut. Salah satu cara untuk menguasai atau memiliki hak atas tanah adalah melalui proses jual beli. Pengertian jual beli menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu berjanji mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda dan pihak yang lainnya berjanji untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. Dengan demikian, jelas bahwa hak atas tanah dapat dilakukan peralihan dari pihak yang menguasainya kepada pihak lain, dimana peralihan tersebut dapat dilakukan dengan salah satunya melalui jual beli.

Menurut Budi Harsono, jual beli tanah menurut hukum adat merupakan kekuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan91

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa secara umum pengertian jual beli adalah suatu perjanjian antara pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar dengan harga yang telah ditetapkan. Yang dijanjikan pihak penjual adalah menyerahkan atau memindahkan haknya atas barang yang ditawarkan atau dijual sedangkan yang dijanjikan oleh pihak pembeli membayar harga yang telah disetujuinya. Jadi peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa dan/atau

91

(20)

perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lainnya.

Konsep jual beli tanah di Indonesia yang diambil UUPA konsep hukum adat adalah bahwa jual beli tanah telah selesai dengan sempurna dan hak telah berlalu/beralih kepada pembeli setelah selesai ditandatanganinya akta PPAT. Pencatatan peralihan hak di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah hanya untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak seperti yang tercantum di dalam Pasal 23 UUPA.

Apabila Pasal 23 UUPA dihubungkan dengan Pasal 19 ayat (2) huruf c, yang menyatakan bahwa “pendaftaran itu meliputi pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”.

Peralihan hak atas tanah juga dapat dilakukan terhadap tanah Hak Guna Usaha termasuk dalam hal ini melalui jual beli. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat beralih artinya bahwa jika pemegang haknya meninggal dunia, hak tersebut jatuh kepada ahli warisnya.92 Namun demikian, di dalam UUPA tidak terdapat ketentuan soal pemindahan hak tersebut.93

Berdasarkan surat keputusan Menteri Agraria No. SK 13/Depag/66 disebutkan bahwa peralihan Hak Guna Usaha dilakukan di hadapan PPAT Khusus. Bukan PPAT yang ada di kecamatan, melainkan PPAT Khusus yang ditunjuk dari kalangan pejabat lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Hal ini sekaligus merupakan pengawasan peralihan Hak Guna Usaha tersebut dan Peralihan

92

Oloan Sitorus dan HM. Zaki Sierrad, Op.Cit., hal. 124. 93

(21)

Hak Guna Usaha harus dengan izin dari Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk pengalihan saham-saham.94

PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.95 PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.96

Mengenai peralihan Hak Guna Usaha ini juga terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yakni Pasal 16 ayat (4), yang berbunyi “Peralihan Hak Guna Usaha karena jual beli, kecuali melalui lelang, tukar menukar penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah”.

Hak Guna Usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya juga setiap peralihan dan hapusnya Hak Guna Usaha harus didaftarkan menurut ketentuan peraturan pemerintah. Pendaftaran ini merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya Hak Guna Usaha serta sahnya peralihan Hak Guna Usaha, kecuali Hak Guna Usaha tersebut hapus karena jangka waktunya berakhir.97

Muhammad Yamin, dalam hal ini menegaskan, bahwa Hak Guna Usaha harus didaftarkan agar memberikan kepastian hukum dan dapat merupakan alat pembuktian

94

AP. Parlindungan, Op.Cithal. 163. 95

Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

96

Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

97Ibid,

(22)

yang kuat bagi setiap yang memperolehnya. Untuk saat ini Hak Guna Usaha diatur dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.98

D. Alih Fungsi Penggunaan Tanah dan Wewenang Pemberian Izin Alih Fungsi Penggunaan Tanah

Alih fungsi yang dimaksud dalam penulisan tesis ini adalah alih fungsi penggunaan tanah dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru. Hal ini dapat dilakukan terhadap objek tanah Hak Guna Usaha sebagaimana alih fungsi penggunaan tanah yang dilakukan oleh salah satu peralihan hak atas tanah di Kabupaten Deli Serdang sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Rahim99 alih fungsi penggunaan tanah adalah permohonan yang diajukan untuk mengalihkan fungsi penggunaan tanah objek Hak Guna Usaha (HGU) dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru seperti halnya pengajuan alih fungsi yang dilakukan oleh PT. Anugrah Tambak Prakasindo, dimana tanah yang sebelumnya adalah areal tambak kemudian setelah dilakukan peralihan dialihfungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit.

Dalam pelaksanaannya peralihan fungsi penggunaan tanah objek Hak Guna Usaha (HGU) dari pengunaan untuk fungsi yang lama ke fungsi tanah yang baru dilakukan atas permohonan pemegang hak atas tanah kepada Bupati/Walikota, dalam hal ini Bupati Bupati/Walikota, dimana tanah Hak Guna Usaha tersebut berada yang dimaksudkan untuk menyesuaikan peruntukan tanah dimaksud sesuai dengan

98

Muhammad Yamin, ibid., hal. 28 99

Wawancara dengan Abdul Rahim Kasi Badan Hukum Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, Tanggal Juni 2010.

(23)

ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dengan kata lain, persetujuan terhadap alih fungsi tanah tersebut juga harus sesuai dengan Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini harus dibuktikan dengan adanya persetujuan Pemerintah Daerah Setempat yaitu dengan Persetujuan Peruntukan Penggunaan Tanah yang diterbitkan Bupati/Walikota.

Selanjutnya sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tertanggal 19 Februari 1999, Nomor 3 Tahun 1999, khususnya Pasal 8 dan Bab III, tentang Badan Pertanahan Nasional, menentukan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional provinsi setempat yang berwenang untuk memberi keputusan mengenai permohonan pemberian keputusan mengenai pemberian hak untuk pertama kali, mengenai permohonan pemberian perpanjangan jangka waktu hak dan pemberian hak selanjutnya baik dengan hak yang sama (pembaharuan hak) atau dengan hak jenis lainnya (perubahan hak) Hak Guna Usaha atas tanah negara, apabila luas tanah yang diberikan luasnya tidak lebih dari 200 Ha (hektar).100

Sedangkan apabila luas tanahnya lebih dari 200 Ha, maka yang berwenang untuk memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah menjadi kewenagan Mentri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

100

Penjelasan Peraturan Mentri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999 Pasal 8

(24)

Hal ini dibenarkan oleh Abdul Rahim101 dalam memberikan Hak Guna Usaha atas tanah kewenangan Pejabat Badan Pertanahan Nasional dengan ketentuan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam hal perubahan penggunaan atau alih fungsi tanah khususnya dalam proses Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara juga sebagai pihak yang terlibat dalam proses penerbitan pemberian izin perubahan penggunaan fungsi tanah. Hal ini dapat dilihat dari proses permohonan Alih Fungsi Penggunaan Tanah yang dilakukan oleh PT. Anugrah Tambak Prakasindo terhadap tanah objek Hak Guna Usaha yaitu (1) Tanah seluas 335,8 Ha SHGU No. 4/2001 terletak di Desa Pematang Lalang, Kecamatan Pecut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumetera Utara (Masa HGU 25 Tahun), dan (2) Tanah seluas 94,67 Ha SHGU No. 1/1995 terletak di Desa Pematang Lalang, Kecamatan Pecut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumetera Utara (Masa HGU 25 Tahun).

Selain itu, dalam memberikan izin pengalihan fungsi penggunaan tanah juga

harus memenuhi kelayakan dari intansi terkait yang menyangkut dengan aspek teknis kesesuaian lahan atau tanah Hak Guna Usaha yang dimohonkan alih fungsi ini dengan keadaan sebenarnya. Penetapan tentang kelayakan teknis ini dilakukan setelah pihak dinas terkait mempelajari pertimbangan aspek penatagunaan tanah yang diajukan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional.

101

Wawancara dengan Abdul Rahim Kasi Badan Hukum Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, Tanggal Juni 2010.

(25)

Selanjutnya dapat pula dijelaskan bahwa permohonan pengalihan fungsi penggunaan tanah ini dilakukan karena pihak PT. Anugrah Tambak Prakasindo yang bergerak dalam bidang tambak akan mengalihkan tanah Hak Guna Usaha dimaksud kepada pihak lain yaitu PT Perkebunan Sungai Wang yang bergerak dalam bidang usaha perkebunan kelapa sawit. Peralihan Hak Guna Usaha tersebut tidak dilakukan secara langsung dengan akta jual beli tetapi diawali dengan perikatan jual beli antara para pihak saja yang hanya dibuat dengan akta dibawah tangan. Hal ini disebabkan pihak pembeli/penerima peralihan terlebih dahulu menginginkan adanya izin peralihan sekaligus alih fungsi penggunaan tanah dari instansi terkait, dimana tanah yang menjadi objek jual beli sebelumnya adalah areal tambak kemudian setelah dilakukan peralihan dialih fungsikan menjadi areal perkebunan kelapa sawit.102

Proses peralihan Hak Guna Usaha yang diikuti dengan alih fungsi penggunaan tanah dalam praktek harus memenuhi persyaratan pengajuan Hak Guna Usaha secara umum yaitu (1) syarat mengenai diri pemohon, (2) syarat mengenai tanahnya dan (3) syarat pembiayaan yang ketiganya akan dijelaskan pada bab selanjutnya, juga harus memenuhi persyaratan antara lain :

1. Kesepakatan antara para pihak untuk melakukan transaksis jual beli

2. Akta notaris atau peraturan/keputusan tentang pendirian badan hukum para pihak baik pemegang Hak Guna Usaha maupun penerima peralihan Hak Guna Usaha 3. Proposal rencana penggunaan tanah objek peralihan

102

Wawancara dengan Abdul Rahim Kasie Badan Hukum Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara, Tanggal Juni 2010.

(26)

4. Izin Bupati/Walikota mengenai kesuaian penggunaan tanah rencana tata ruang wilayah (RTRW) setempat.

5. Kelayakan teknis penggunaan tanah oleh instansi terkait (dalam objek penelitian adalah Dinas Perkebunan)

Jadi menurut penulis yang didasarkan pada keterangan di atas, dalam proses alih fungsi penggunaan tanah Hak Guna Usaha dilakukan atas izin Badan Pertanahan Nasional dan persetujuan dari berbagai pihak terkait dalam hal ini, pemerintah daerah, dinas dimana dalam hal ini menyangkut objek tanah perkebunan adalah Dinas Perkebunan. Setelah pemohon memenuhi semua ketentuan dalam rangka alih fungsi penggunaan tanah dimaksud, maka wewenang pemberian izin alih fungsi penggunaan tanah tersebut tetap merupakan wewenang dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara tempat dimana objek tanah tersebut berada.

Referensi

Dokumen terkait

Perjanjian jual beli tersebut tidak memenuhi syarat objektif perjanjian yaitu adanya klausa yang halal karena perjanjian jual beli tanah tersebut dibuat dengan

Apabila antara penjual dan pembeli telah tercapai kesepakatan dan mereka kemudian saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian jual beli tanah, maka pada saat itu

Dalam jual beli tanah khususnya yang sudah terdaftar, agar dapat dilakukan balik nama ke pembeli maka jual beli itu haruslah dibuat dalam akta jual beli yang dibuat oleh PPAT,

Dalam jual beli tanah khususnya yang sudah terdaftar, agar dapat dilakukan balik nama ke pembeli maka jual beli itu haruslah dibuat dalam akta jual beli yang dibuat oleh PPAT,

CTK dengan pembeli dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis (lisan) perjanjian secara tertulis oleh para pihak dituangkan dalam suatu perjanjian akta di bawah tangan

Subekti menyatakan, bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan

Suatu perjanjian jual beli tanah yang dibuat oleh para pihak sebelumnya baru merupakan pengikatan untuk kemudian melakukan perjanjian jual beli di hadapan PPAT,

Kepastian hukum kuasa mutlak pada perjanjian pengikatan jual-beli hak atas tanah yang harganya telah dibayar lunas oleh Pembeli, maka kuasa menjual yang merupakan klausula dalam PPJB