BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas dalam Metabolisme Glukosa
Pankreas merupakan organ retroperitoneal yang terletak di bagian posterior dari dinding lambung. Letaknya diantara duodenum dan limfa, di depan aorta abdominalis dan arteri serta vena mesenterica superior (Gambar 2.1). Organ ini konsistensinya padat, panjangnya ±11,5 cm, beratnya ±150 gram. Pankreas terdiri bagian kepala/caput yang terletak di sebelah kanan, diikuti corpus ditengah, dan cauda di sebelah kiri. Ada sebagian kecil dari pankreas yang berada di bagian belakang Arteri Mesenterica Superior yang disebut dengan Processus Uncinatus (Simbar, 2005).
Gambar 2.1 Anatomi Pankreas
Jaringan penyusun pankreas (Guyton dan Hall, 2006) terdiri dari :
Jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik yang berbentuk seperti anggur yang disebut sebagai asinus/Pancreatic acini (Gambar2.2), yang merupakan jaringan yang menghasilkan enzim pencernaan ke dalam duodenum.
Jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-pulau Langerhans/Islet of
Langerhans (Gambar2.2) yang tersebar di seluruh jaringan
pankreas, yang menghasilkan insulin dan glukagon ke dalam darah.
Gambar 2.2 Asinus dan pulau Langerhans
Sumber : Guyton & Hall, 2006
Pulau-pulau Langerhans tersebut terdiri dari beberapa sel (Mescher, 2010) yaitu:
1. Sel α (sekitar 20%), menghasilkan hormon glukagon.
2. Sel ß (dengan jumlah paling banyak 70%), menghasilkan hormon insulin.
3. Sel δ (sekitar 5-10%), menghasilkan hormon Somatostatin. 4. Sel F atau PP (paling jarang), menghasilkan polipeptida pankreas.
Masuknya glukosa ke dalam sel otot dipengaruhi oleh 2 keadaan. Pertama, ketika sel oto melakukan kerja yang lebih berat, sel otot akan lebih permeabel terhadap glukosa. Kedua, ketika beberapa jam setelah makan, glukosa darah akan meningkat dan pankreas akan mengeluarkan insulin yang banyak. Insulin yang meningkat tersebut menyebabkan peningkatan transport glukosa ke dalam sel (Guyton dan Hall, 2006).
Insulin dihasilkan didarah dalam dengan bentuk bebas dengan waktu paruh plasma ±6 menit, bila tidak berikatan dengan reseptor pada sel target, maka akan didegradasi oleh enzim insulinase yang dihasilkan terutama di hati dalam waktu 10-15 menit (Guyton dan Hall, 2006).
Reseptor insulin merupakan kombinasi dari empat subunit yang berikatan dengan ikatan disulfida yaitu dua subunit-α yang berada di luar sel membran dan dua unit sel-ß yang menembus membran (Gambar 2.3). Insulin akan mengikat serta mengaktivasi reseptor α pada sel target, sehingga akan menyebabkan sel ß terfosforilasi. Sel ß akan mengaktifkan tyrosine kinase yang juga akan menyebabkan terfosforilasinya enzim intrasel lain termasuk insulin-receptors
Gambar 2.3 Reseptor Insulin
Sumber : Guyton dan Hall, 2006.
Dalam tubuh kita terdapat mekanisme reabsorbsi glukosa oleh ginjal, dalam batas ambang tertentu. Kadar glukosa normal dalam tubuh kira-kira 100mg glukosa/100ml plasma dengan GFR/Glomerular Filtration Rate 125ml/menit. Glukosa akan ditemukan diurin jika telah melewati ambang ginjal untuk reabsorbsi glukosa yaitu 375 mg/menit dengan glukosa di plasma darah 300mg/100ml (Sherwood, 2011).
2.2 Diabetes Mellitus 2.2.1 Definisi
Diabetes Mellitus (DM) adalah kumpulan penyakit metabolik dengan hiperglikemi yang bisa disebabkan oleh kekurangan insulin, kerja insulin yang menurun, atau keduanya. Hiperglikemi yang berlanjut hingga kronik pada penderita DM akan menyebabkan kerusakan , disfungsi, maupun kegagalan organ lain, khususnya mata, ginjal, jantung, dan pembuluh darah (American Diabetes Association, 2011).
2.2.2 Epidemiologi
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar / Riskesdas tahun 2013, seluruh sampel yang didampat akan dikelompokkan menjadi penyakit menular dan penyakit tidak menular. DM termasuk dalam kelompok yang tidak menular dengan total sampel untuk penderita DM, hipertiroid, hipertensi, jantung koroner, stoke, gagal ginjal kronis/GGK, batu ginjal dan penyakit sendi/rematik yang ≥15 tahun adalah berjumlah 722.329. Dengan perincian laki-laki 347.823 dan perempuan 374.506 (Gambar2.4) (Riskesdas, 2013).
Gambar 2.4 Jumlah Sampel Penyakit Tidak Menular
Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa kasus penderita DM di Indonesia terjadi peningkatan dari 1,1% pada tahun 2007 menjadi 2,1% pada tahun 2013. Pada hasil yang dicantumkan dalam Riskesdas, terdapat nilai prevalensi pada para responden yang diberi pertanyaan secara terstruktur. Responden ditanya apakah pernah didiagnosis oleh dokter, jika sudah pernah terdiagnosa maka akan diberi tanda D (Diagnosa). Jika belum terdiagnosis akan ditanya mengenai apakah sekarang sedang menderita gejala klinis penyakit diabetes. Gejala klinis yang ditanya kepada responden adalah apakah dalam 1 bulan terakhir ini ada merasa sering lapar, sering haus dan sering buang air kecil dalam jumlah banyak serta berat badan yang menurun, jika responden telah memiliki gejala maka akan diberi tanda G (Gejala). Jadi hasil yang diperoleh sebagai prevalensi penyakit adalah data yang diperoleh dari yang telah terdiagnosis dan yang memiliki gejala (D/G). Di Sumatera Utara sendiri didapatkan nilai D/G sebesar 2,3. Sedangkan untuk data Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.1 (Riskesdas, 2013).
Tabel 2.1 Prevalensi Diabetes Mellitus
Pada tabel 2.1 didapati bahwa prevalensi DM pada wanita cenderung lebih tinggi daripada pria, dan pada perkotaan dijumpai lebih banyak kasus DM dibanding dengan pedesaan. Prevalensi DM juga cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan tingkat pendidikan tinggi dan kuintil indeks kepemilikan yang tinggi.
2.2.3 Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association / ADA (2013), DM dikelompokkan menjadi :
1. Diabetes tipe 1 (kerusakan sel beta pankreas, umumnya kearah defisiensi insulin absolut)
a) Immune mediated
b) Idiopatik
2. Diabetes tipe 2 (beragam dari predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin yang relatif sampai dengan predominan gangguan sekresi dengan resistensi insulin)
3. Tipe spesifik lain
a) Kelainan genetik dari fungsi sel beta MODY3 (Kromosom 12, HNF-1α) MODY1 (Kromosom 20, HNF-4α) MODY2 (Kromosom 7, glukokinase)
Bentuk MODY yang sangat jarang (Kromosom 13, Faktor Promoter Insulin-1/IPF-1; MODY4)
Diabetes neonatus transien (umumnya pada ZAC/HYAMI pada 6q24)
Diabetes neonatus permanen ( umumnya pada gen KCNJ11) DNA Mitochondria dan lain-lain.
b) Kelainan genetik dari fungsi insulin Resistensi insulin tipe A
Leprechaunism
Lipoatropik Diabetes dan lain-lain. c) Gangguan penyakit eksokrin pankreas
Pankreatitis
Trauma/pankreatektomi Neoplasia
Kista fibrotik Hemokromatosis
Fibrokalkulus pankreatopati dan lain-lain d) Gangguan penyakit endokrin
Akromegali Sindroma Cushing Glucagonoma Feokromositoma Hypertiroidisme
Somatostatinoma dan lain-lain. e) Obat-obatan atau zat toksik
Vacor Pentamidine Asam nikotin Glukokortikoid Hormon tiroid Diazoxide ß-Adrenergic agonist Thiazides Dilantin
γ-Interferon dan lain-lain. f) Infeksi
Rubella kongenital
Sitomegalovirus dan lain-lain.
Sindroma Stiff-man
Antibodi reseptor anti-insulin dan lain-lain.
h) Sindroma genetik lain yang kadang disertai diabetes Sindroma Down Sindroma Klineferter Sindroma Turner Sindroma Wolfram Ataksia Friedreich Korea Huntington Sindroma Laurence-Moon-Biedl Distrofi miotonik Porfiria
Sindroma Prader-Willi dan lain-lain. 4. Diabetes Mellitus Gestasional
2.2.4 Komplikasi
Menurut Fowler (2008), komplikasi DM dibagi menjadi:
1. Komplikasi makrovaskuler yaitu aterosklerosis. Ateroskelerosis merupakan inflamasi kronis dan kerusakan endotelial arteri. Pada komplikasi ini juga akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan kardiovaskular, yaitu dengan tersumbatnya arteri koroner oleh plak yang terlepas dari arteri tersebut.
2. Komplikasi mikrovaskuler, antara lain: a. Retinopati Diabetikum
Retino Diabetikum ini disebabkan oleh peningkatan glukosa yang menyebabkan masuknya molekul glukosa ke retina melalui jalur poliol. Jalur ini memiliki enzim yang dinamakan Aldose
reduktase. Enzim ini dicurigai sebagai penyebab komplikasi diabetes.
b. Neuropati Diabetikum
Neuropati perifer pada diabetes memiliki beberapa bentuk, termasuk didalamnya sensori, fokal/multifokal, dan neuropati otonomik. Sebanyak 80% pasien diabetes menjalani amputasi kaki akibat ulkus dan kerusakan yang disebabkan oleh hal ini.
2.3 Diabetes Mellitus Tipe 2 2.3.1 Faktor Risiko
Menurut Valliyot et al (2013), faktor risiko DM tipe 2 terdiri dari: 1. Genetik
Orang yang mempunyai riwayat keluarga yang menderita diabetes akan memiliki risiko sebesar 3 kali dibanding dengan pasien yang tidak memiliki riwayat dibetes dalam keluarga.
2. Hipertensi
Orang dengan hipertensi sistolik akan memiliki risiko 4,6 kali untuk menjadi diabetes.
3. Usia
Pada penelitian ini disebutkan bahwa kelompok orang usia diatas 50 tahun keatas akan memiliki risiko 5 kali lebih besar menderita diabetes dibanding dengan kelompok usia 20-30 tahun.
Orang yang memiliki usia yang tua akan mengalami peningkatan tekanan darah sistolik secara progresif, yang disebabkan oleh penurunan elastisitas pembuluh darah, fibrosis pembuluh darah dan penurunan pengisian dalam vaskular.
4. Rokok
Pada penelitian ini didapatkan bahwa orang yang merokok meningkatkan risiko terkena diabetes.
5. Aktivitas Fisik
Orang yang kerja berat akan memiliki risiko 89% lebih kecil dibanding orang yang kerja ringan. Tetapi pekerjaan yang dilakukan juga harus didukung oleh aktivitas fisik yang dilakukan pada waktu luang. Misalnya orang yang menggunakan waktu luang tersebut dengan pesta makan dan dengan orang yang berolahraga.
Selain faktor diatas, menurut Baliunas et al (2009) , alkohol dapat menjadi faktor protektif yang mencegah DM maupun faktor risiko yang meningkatkan risiko DM, tergantung dari kadar yang dikonsumsi. Pada laki-laki, alkohol akan menjadi faktor protektif pada kadar 22g/hari, dan akan menjadi faktor risiko dengan kadar diatas 60g/hari. Sedangkan pada perempuan, alkohol akan menjadi faktor protektif pada kadar 24g/hari, dan menjadi faktor risiko jika kadar diatas 50g/hari.
2.3.2 Patofisiologi
Menurut Kohei (2010), patofisiologi Diabetes Mellitus tipe 2 disebabkan karena :
Resistensi insulin
Resistensi insulin ini sering dihubungkan dengan faktor genetik dan faktor lingkungan(hiperglikemia, free fatty acids, dan lain-lain). Faktor genetik didalamnya tidak hanya termasuk dalam gangguan reseptor insulin dan
insulin receptor substrate (IRS)-1 gene , tetapi juga disebabkan gangguan
gen lain misalnya ß3 reseptor adrenergik dan uncoupling protein (UCP).
Penurunan sekresi insulin
Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa terjadi penurunan respon tubuh terhadap sekresi insulin sebelum maupun sesudah makan. Penurunan
sekresi insulin ini umumnya progresif, jika tidak diobati akan meyebabkan toksisitas glukosa dan toksisitas lemak. Dalam keadaan ini, sel ß pankreas akan mengalami penurunan. Pada penderita akan ditemukan kadar glukosa dalam plasma darah akan meningkat setelah makan dikarenakan oleh resistensi insulin dan penurunan sekresi pada fase awal, sehingga dalam waktu yang lama akan menyebabkan peningkatan kadar glukosa yang permanen.
2.3.3 Diagnosis
Diagnosis menurut ADA(1997), diagnosis dengan pemeriksaan Fasting
Plasma Glucose/FPG ≥7,0 mmol/L (126mg/dL), sedangkan WHO(2006),
diagnosis dengan Oral Glucose Tolerance Test/OGTT 2 jam setelah makan dengan plasma glukosa ≥11,1 mmol/L (200mg/dL)( Olokoba et al, 2012).
2.4 Urinalisis 2.4.1 Pengertian Urin
Urin adalah suatu larutan yang terdiri dari urea dan komponen kimia anorganik lain. Urin normalnya mengandung 95% air dan 5% pelarut, tetapi kandungannya bisa dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi, aktivitas fisik, metabolisme tubuh, fungsi endokrin dan bahkan posisi tubuh (Strasinger dan Lorenzo, 2008).
Urea merupakan suatu zat sisa yang dihasilkan di hepar dari perombakan protein dan asam amino. Hampir setengah dari urea akan dikeluarkan melalui urin (Strasinger dan Lorenzo, 2008).
Adapun kandungan urin yang lain menurut Strasinger dan Lorenzo(2008), yaitu:
Organik a. Urea b. Kreatinin
c. Asam urat
d. Asam hipurat dan lain-lain Anorganik
a. Sodium chloride (NaCl)
b. Kalium (K+) c. Sulfat (SO42-) d. Fosfat (PO43-) e. Ammonium (NH4+) f. Magnesium (Mg2+) g. Kalsium (Ca2+)
2.4.2 Macam-Macam Pengambilan Spesimen
Macam-macam pengambilan spesimen menurut Strasinger dan Lorenzo (2008) dibagi menjadi:
1. Urin sewaktu
Merupakan spesimen urin yang paling umum dan paling mudah didapat, karena dapat diperoleh kapan saja.
2. Urin Pagi
Urin ini merupakan urin yang paling ideal sebagai spesimen uji tapis. Cara pengambilan urin ini juga dapat mencegah
false-negative pada tes kehamilan.
Kelebihan urin pagi / 8-hour specimen dibanding urin sewaktu, yaitu urin pagi ini akan terhindar dari pelarut yang akan mengganggu pemeriksaan didalam spesimen urin sewaktu. Pengambilan urin dilakukan pada saat bangun pagi dan dibawa ke laboratorium dalam waktu <2 jam.
3. Fasting specimen
Pada pengambilan spesimen ini, pasien tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi makanan apapun saat dimulainya periode puasa. Yang diharapkan dalam pemeriksaan ini adalah tidak ditemukan adanya hasil metabolik yang merupakan hasil metabolisme makanan.
4. Urin 2-Jam Postprandial
Urin 2-Jam Postprandial merupakan urin yang diperoleh pertama kali 2 jam setelah pasien mengonsumsi makanan. Urin ini digunakan untuk memeriksa glukosa, dan hasil dari pemeriksaan dapat digunakan untuk mengamati efek terapi pasien diabetes mellitus yang diberi terapi insulin.
5. Glukosa Toleransi Test(GTT)
Pada pengambilan spesimen ini, pasien harus melakukan puasa terlebih dahulu, kemudian akan diberi glukosa secara oral. Pemeriksaan kadar glukosa di urin dilakukan setelah ½ jam, 1 jam , 2 jam, 3 jam, dan bahkan 4 jam, 5 jam, dan 6 jam.
6. Urin 24-jam
Urin ini digunakan untuk pemeriksaan konsentrasi substansi yang akan berubah dalam variasi harian dan dengan aktivitas sehari-hari, seperti: olahraga, makanan dan metabolime tubuh.
7. Urin Midstream
Urin midstream dilakukan untuk pemeriksaan kultur bakteri, karena sedikit terkontaminasi oleh sel epitel. Pasien diinstruksikan untuk tidak mengonsumsi antibiotik apapun sebelum pemeriksaan dilakukan.
8. Aspirasi Suprapubik
Pengambilan urin dengan cara menusukkan jarum suntik kebagian suprapubik abdomen untuk memeriksa kultur bakteri.
9. Spesimen Prostatitis
Mirip dengan cara pengambilan urin midstream hanya saja ditambah dengan pengambilan three-glass collection.
10. Spesimen Pediatrik
Pemeriksaan ini harus dilakukan dengan hati-hati, yaitu dengan cara menggunakan kantong plastik yang hipoalergenik yang disambungkan kealat kelamin anak.
11. Drug Specimen Collection
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa kandungan obat dalam urin.
2.5 Berat Jenis Urin
Pemeriksaan berat jenis urin adalah pemeriksaan densitas / kekentalan urin. Urin mengandung air sebagai pelarut dan zat lain sebagai terlarut, maka tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat ada seberapa banyak zat yang terlarut dalam urin (Strasinger dan Lorenzo, 2008).
Menurut Gaw et al (2011), pemeriksaan berat jenis ini mencerminkan konsentrasi zat terlarut dalam urin, semakin tinggi nilai berat jenis urin berarti urin tersebut semakin pekat.
2.5.1 Metode Pengukuran
1. Urinometer
Pengukuran menggunakan urinometer dengan cara melihat berat apung dari urin terhadap skala yang telah dikalibrasi (Gambar 2.5) . Meskipun telah dikalibrasi, pemeriksaan dengan menggunakan urinometer juga harus memperhatikan temperatur spesimen untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang sesuai.
2.Refraktometer
Seperti pemeriksaan urinometer, yaitu dengan menilai konsentrasi zat terlarut dalam spesimen. Pemeriksaan ini menggunakan index refraktif. Index refraktif merupakan perbandingan dari kecepatan cahaya di udara dengan kecepatan cahaya dalam larutan.
Gambar 2.5 Urinometer
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2 Definisi Operasional
1. Diabetes Mellitus tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan karena kerja insulin yang tidak adekuat, sehingga menimbulkan kadar glukosa darah yang tinggi/ hiperglikemia(Sherwood, 2011).
2. Glukosa dalam urin adalah glukosa yang terkandung dalam urin yang disebabkan kadar glukosa plasma yang tinggi melebihi ambang batas ginjal(375mg/min) (Sherwood, 2011).
Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Gambaran Berat Jenis dan Glukosuria
a. Cara ukur : dengan mengambil urin sewaktu pada pasien yang memiliki gejala polidipsi,
poliphagi, dan poliuri. b. Alat ukur : Glucose Test Kit c. Skala pengukuran : Ordinal
d. Hasil pengukuran :
Normal : 0 - 0.8 mmol/l (0 - 15 mg/dl)
Tinggi : >0.8 mmol
3. Berat jenis urin adalah konsentrasi zat yang terlarut dalam zat terlarut pada urin, semakin tinggi zat terlarut maka hasil berat jenis menjadi lebih tinggi. (Strasinger dan Lorenzo, 2008).
a. Cara ukur : dengan menggunakan spesimen yang sama pada pemeriksaan glukosa urin
b. Alat ukur : Urinometer c. Skala pengukuran : Ordinal d. Hasil pengukuran :
Normal : 1003 – 1035
Tinggi : > 1035
4. Usia adalah lama hidup penderita diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan tahun kelahiran.
a. Cara ukur : dengan mengamati rekam medis b. Alat ukur : Rekam medis
c. Skala pengukuran : Interval
d. Hasil pengukuran : Kelompok umur dalam tahun (15-24, 25 34,35-44, 45-54, 55-64, 65-74, 75+) 5. Jenis Kelamin adalah jenis kelamin dari pasien diabetes mellitus tipe 2
a. Cara ukur : dengan mengamati rekam medis b. Alat ukur : Rekam medis
c. Skala pengukuran : Nominal
6. Pekerjaan adalah mata pencaharian atau profesi penderita diabetes mellitus tipe 2
a. Cara ukur : dengan mengamati rekam medis b. Alat ukur : Rekam medis
c. Skala pengukuran : Nominal
d. Hasil pengukuran : Tidak bekerja, Pegawai, Wiraswasta, Petani/Nelayan/Buruh dan lainnya
7. Pendidikan adalah jenjang sekolah terakhir yang ditempuh pasien diabetes mellitus tipe 2
a. Cara ukur : dengan mengamati rekam medis b. Alat ukur : Rekam medis
c. Skala pengukuran : Ordinal
d. Hasil pengukuran : Tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, tamat D1-D3/PT