• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1 Pengertian dan penularan

Human Immnunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem

kekebalan tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh manusia melemah yang berakibat pada tubuh mudah terinfeksi penyakit dan pada stadium akhir menyebabkan kondisi klinis yang dikenal sebagai Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS). Acquired

Immunodeficiency Sindrom (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan

oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh karena HIV tersebut (PKBI, 2007; Depkes RI, 2006). Di dalam tubuh manusia, HIV utamanya berada di cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau luka yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI atau Air Susu Ibu (Zein, 2006). Cara penularannya yaitu sebagai berikut :

1. Melalui hubungan seksual utamanya hubungan heteroseksual. Penularan melalui

hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama kontak seksual laki-laki dengan perempuan atau laki-laki-laki-laki dengan laki-laki-laki-laki. Kontak seksual yang dimaksud yaitu kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.

(2)

2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.

3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkoba suntik secara bergantian, dan ketika melakukan prosedur tindakan medis ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja yang tidak disengaja bagi petugas kesehatan.

4. Melalui transplantasi organ pengidap HIV.

5. Melalui penularan dari ibu ke anak dimana kebanyakan infeksi HIV pada anak

didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI. 2.1.2 Pencegahan

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (2007), sampai saat ini obat untuk mengobati dan vaksin untuk mencegah AIDS masih belum ditemukan, sehingga diperlukan alternatif pemecahan masalah untuk menanggulangi masalah AIDS yang terus meningkat ini yaitu salah satunya dengan upaya pencegahan oleh semua pihak agar tidak terlibat dalam lingkaran transmisi yang memungkinkan untuk terserang HIV. Terdapat dua cara pencegahan AIDS yang dapat dilakukan yaitu pencegahan angka pendek dan pencegahan jangka panjang. Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi kepada kelompok risiko tinggi bagaimana pola penyebaran HIV sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya. Langkah-langkap pencegahan HIV/AIDS jangka pendek yaitu sebagai berikut :

a. Tidak melakukan hubungan seksual

Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis.

(3)

b. Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV (homogami).

c. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin

d. Hindari hubungan seksual dengan kelompok risiko tinggi tertular AIDS

e. Tidak melakukan hubungan anogenital

f. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV

g. Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa darah donor.

h. Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali habis dipakai.

i. Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus

disterillisasikan secara baku.

j. Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan

obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama.

k. Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)

l. Membakar atau membuang semua alat bekas pakai pengidap HIV sesuai dengan

peraturan.

Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik) sebagian besar adalah karena hubungan seksual. Upaya jangka panjang yang harus kita lakukan untuk mencegah HIV/AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab adalah :

(4)

a. Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali.

b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak

terinfeksi HIV (monogamy).

c. Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila.

d. Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu

mitra seksual.

e. Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS.

f. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual.

Kegiatan tersebut dapat disosialisasikan melalui kegiatan-kegiatan berupa dialog antara tokoh-tokoh agama, penyebarluasan informasi tentang AIDS, melalui penataran P4 dan lain-lain yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku seksual yang bertanggung jawab. Dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab diharapkan mampu mencegah penyebaran infeksi HIV/AIDS di Indonesia.

2.1.3 Epidemiologi HIV/AIDS

Pada tahun 2015, UNAIDS menyatakan bahwa sampai akhir tahun 2014 terdapat 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV di dunia dan ada 2 juta orang yang baru terinfeksi HIV. Pada tahun 2014, terdapat 1,2 juta orang meninggal akibat dari AIDS dan infeksi oportunistik secara global. Antara tahun 2000 sampai 2015, infeksi HIV baru telah menurun sebesar 35%, dan kematian akibat AIDS telah menurun sebesar 24% dengan pelaksanaan upaya pencegahan di seluruh dunia (United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), 2015).

Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan RI (2014), jumlah kumulatif kasus HIV sampai tahun 2014 yaitu sebanyak 150.296 orang dan jumlah kumulatif kasus AIDS yaitu sebanyak 55.799 orang, serta kasus kematian akibat AIDS yaitu sebanyak 9.796 kasus (CFR 6,5%). Pada tahun 2014, prevalensi

(5)

kasus AIDS di Indonesia yaitu 23,48 per 100.000 penduduk dengan prevalensi kasus yang paling tinggi terjadi di Papua dengan prevalensi sebesar 359,43 per 100.000 penduduk.

Jumlah kumulatif penderita HIV di Propinsi Bali sampai tahun 2014 yaitu sebanyak 9.637 orang dan jumlah kumulatif penderita AIDS sebanyak 4.261 orang (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Prevalensi kasus AIDS di Propinsi Bali tahun 2014 yaitu sebesar 109,52 per 100.000 penduduk. Menurut Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014, Kasus HIV/AIDS menunjukkan trend peningkatan setiap tahun. Sampai dengan Desember 2014 jumlah kasus baru mencapai 1.352 kasus dan AIDS mencapai 869 kasus. Jumlah terbanyak kasus HIV dan AIDS di Propinsi Bali terdapat pada golongan usia 20-29 tahun dan 30-39 tahun, dimana golongan usia ini adalah golongan usia produktif. Penyebaran kasus HIV/AIDS di Propinsi Bali saat ini lebih banyak ditularkan melalui hubungan seksual. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kematian akibat AIDS tahun 2014 sebanyak 54 orang yaitu laki-laki sebanyak 34 orang dan perempuan sebanyak 20 orang.

2.2 HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mewujudkan tercapainya pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak kesehatan bagi narapidana dan tahanan terhadap HIV/AIDS melalui pelaksanaan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS di Lapas/Rutan. Kegiatan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang bekerjasama dengan Family Health International/Aksi Stop

AIDS (FHI/ASA). Kegiatan layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS ini memberikan layanan klinis bagi narapidana dan tahanan terhadap HIV/AIDS yang

(6)

berkualitas sama dengan layanan klinis yang diberikan kepada masyarakat diluar Lapas/Rutan (Jenderal Pemasyarakatan, 2007).

2.2.1 Prevalensi HIV/AIDS di lembaga pemasyarakatan

Berdasarkan penelitian prevalensi HIV dan Sifilis yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI pada Narapidana di Lapas/Rutan di 13 Propinsi di Indonesia tahun 2010, menyebutkan bahwa dari 18 Lapas/Rutan, prevalensi HIV pada Warga Binaan Laki-laki yaitu 1,1% dan pada Warga Binaan Perempuan yaitu 6%. Pada tahun 2010, hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Jakarta dan Jawa Barat menyebutkan bahwa, Prevalensi HIV pada WBP selama 2 tahun terakhir menunjukkan hasil yang sangat bervariasi, yakni 1% hingga 32% di Lapas Narkotika Cipinang dan 30 Lapas/Rutan lainnya. Menurut laporan estimasi dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2009, memperkirakan bahwa terdapat 140.000 WBP di Indonesia dimana sekitar 5000 WBP atau 3,6% WBP telah terinfeksi HIV. Estimasi prevalensi tersebut 24 kali lebih tinggi dari estimasi prevalensi HIV pada populasi umum di Indonesia. Prevalensi HIV yang relatif tinggi pada WBP di beberapa Lapas/Rutan menyebabkan populasi tersebut sudah harus diperhitungkan dalam estimasi jumlah populasi dewasa rawan tertular HIV. Berdasarkan penelitian tersebut, juga diketahui bahwa faktor risiko yang memiliki hubungan yang bermakna dengan infeksi HIV pada narapidana laki‐laki adalah riwayat pemakaian napza suntik dan pada narapidana perempuan adalah hasil tes antibodi sifilis positif dan riwayat penyalahgunaan napza. Prevalensi HIV pada narapidana perempuan yang pernah menggunakan napza suntik yaitu sebesar 12%, yang berarti hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan narapidana laki‐laki yaitu sebesar 6,7%.

(7)

2.2.2 Program perawatan dan pengobatan HIV/AIDS

Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penularan HIV/AIDS di Lapas/Rutan di Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menetapkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lapas/Rutan di Indonesia. Strategi nasional tersebut memiliki tiga pilar utama yaitu (Jenderal Pemasyarakatan, 2007) :

1. Penegakan hukum dan bimbingan hukum

Penegakan dan bimbingan hukum dilakukan agar jumlah pengguna narkoba baru di Lapas/Rutan tidak bermunculan lagi.

2. Rehabilitasi dan pelayanan sosial

Pelaksanaan tindakan rehabilitasi bagi narapidana dan tahanan untuk mencegah perluasan kasus narkoba baru dan penularan HIV/AIDS.

3. Pencegahan dan perawatan

Kegiatan pencegahan dan perawatan dilakukan dengan memperbaiki dan memberikan layanan kesehatan yang layak dan berkualitas bagi narapidana dan tahanan secara umum dan khususnya bagi warga binaan yang terinfeksi HIV/AIDS. Pemenuhan kebutuhan layanan klinis yang berkualitas di Lapas/Rutan diawali dengan pelaksanaan konseling dan tes HIV (VCT) yang bertujuan untuk meningkatkan penemuan dini HIV. Setelah dilakukan VCT kepada seluruh warga binaan selanjutnya dilaksanakan perawatan, dukungan dan pengobatan (CST) bagi warga binaan yang terbukti terinfeksi HIV.

Adapun komponen perawatan berkesinambungan yang diselenggarakan di Lapas/Rutan yaitu sebagai berikut :

a. Konseling dan Test HIV (VCT)

(8)

c. Perawatan dan Pengobatan

d. PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission)

e. Diagnosis dan Terapi IMS (Infeksi Menular Seksual)

2.3 Cascade of Care/Treatment Cascade

Cascade of care/Treatment Cascade adalah sistem pengolahan dan penyajian

data untuk memonitor jumlah individu yang hidup dengan HIV yang menerima

perawatan medis dan perawatan pendukung yang dibutuhkan. Pengembangan cascade

of care/treatment cascade digunakan untuk mengetahui berbagai langkah yang

diperlukan untuk semua orang yang membutuhkan perawatan HIV agar tetap mengikuti perawatan dan pengobatan HIV dari tahap awal yaitu sejak VCT hingga terapi ARV (AmfAR, 2013).

Sistem ini dapat memperlihatkan kecenderungan seseorang dalam mengikuti perawatan dan pengobatan HIV/AIDS dimana dapat dilihat sejak dilakukan VCT hingga terapi ARV untuk menekan virus cenderung terjadi penurunan.

Langkah-langkah perawatan dan pengobatan HIV/AIDS yang terdapat di dalam cascade of care yaitu sebagai berikut (AmfAR, 2013) :

1. Pelaksanaan VCT, pengujian dan diagnosis

Pelaksanaan VCT, pengujian, dan diagnosis wajib dilakukan terlebih dahulu, untuk memastikan apakah seseorang terinfeksi HIV/AIDS

2. Mendapatkan perawatan awal

Setelah seseorang mengetahui telah terinfeksi HIV, penting untuk segera mengakses pelayanan kesehatan HIV/AIDS untuk diberikan konseling dan informasi mengenai cara pencegahan penularan HIV/AIDS kepada orang lain.

(9)

Karena belum ditemukan obat untuk menyembuhkan HIV/AIDS, maka pengobatan HIV merupakan pengobatan seumur hidup. Untuk tetap sehat, seseorang perlu untuk menerima perawatan medis HIV secara rutin.

4. Terapi ARV

Terapi ARV dilakukan untuk dapat menurunkan jumlah virus di dalam tubuh. Terapi ARV ini wajib dilakukan untuk memperpanjang umur harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup ODHA.

5. Pencapaian jumlah virus yang semakin sedikit di dalam tubuh

Dengan melakukan terapi ARV secara teratur, konsisten dan patuh, penurunan jumlah virus tersebut dapat membantu menjaga ODHA tetap sehat, membantu ODHA hidup lebih lama, mencegah penularan HIV kepada orang lain.

2.4 Program VCT dan CST 2.4.1 Pengertian dan prinsip

Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah salah satu strategi kesehatan

masyarakat yang dilakukan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Depkes RI, 2006). Menurut Murtiastutik (2008), VCT penting untuk dilakukan karena VCT merupakan pintu masuk untuk menuju ke seluruh layanan HIV/AIDS, dapat memberikan keuntungan bagi klien dengan hasil tes positif maupun negatif dengan fokus pemberian dukungan terapi ARV, dapat membantu mengurangi stigma di masyarakat, serta dapat memudahkan akses ke berbagai layanan kesehatan maupun layanan psikososial yang dibutuhkan klien.

Dalam menyelenggarakan layanan kesehatan awal HIV/AIDS, VCT didasarkan pada prinsip layanan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu sebagai berikut (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2006) :

(10)

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan dan tanpa tekanan dari orang lain dan keputusan untuk melakukan pemeriksaan terletak ditangan klien.

2. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas.

Layanan VCT harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, dan tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak.

3. Mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif

Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku beresiko. Pada saat VCT dikomunikasikan juga mengenai respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.

4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT.

WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lain yang disetujui oleh klien.

2.5 Layanan ARV 2.5.1 Pengertian

Terapi antiretroviral atau terapi ARV merupakan agen yang secara langsung mempengaruhi siklus replikasi HIV, yang ditujukan untuk mengurangi jumlah virus dari tubuh pasien. Dilihat dari mekanisme kerjanya, obat ARV dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI),

(11)

Nonnucleoside-Based Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan Protease

Inhibitor (PI) (Schooley, 2004).

Inisiasi terapi ARV ditentukan melalui pengukuran derajat dan kecepatan perkembangan kerusakan sistem imun (Schooley, 2004). Pelaksanaan terapi ARV di Indonesia, berdasarkan Pedoman Tatalaksana Klinik Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa (2011), terapi ARV dimulai setelah dilakukan pemeriksaan terhadap jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinik infeksi HIV pada pasien (Kementerian Kesehatan, 2011). Ketika tidak terdapat pemeriksaan terhadap jumlah CD4, maka terapi ARV dimulai berdasar pada penilaian klinis saja. Apabila tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV dimulai pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya; serta dianjurkan untuk semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B mengikuti terapi ARV tanpa memandang jumlah CD4 (Kementerian Kesehatan, 2011).

Terapi ARV di Indonesia diberikan dalam paduan beberapa jenis obat. Penetapan paduan obat pada terapi ARV harus didasarkan pada efektivitas, efek samping dan toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, serta harga obat.

Pasien yang menjalani terapi ARV lini pertama yaitu saat diawal pengobatan, pasien dapat mengalami kondisi yang disebut dengan gagal terapi. Gagal terapi merupakan kondisi dimana tidak terjadi respon terapi ARV yang diharapkan setelah pasien memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang cukup tinggi (Kementerian Kesehatan, 2011). Pada kondisi gagal terapi, produksi virus akan meningkat sehingga viral load juga akan bertambah.

Sejak ditemukannya obat ARV dan terapi ARV yang dikombinasikan, telah terjadi perubahan terhadap penurunan morbilitas dan mortalitas HIV/AIDS dari 60%

(12)

menjadi 90% dan perbaikan kualitas hidup dan usia harapan hidup odha yang meningkat, meskipun terapi ARV tersbut tidak mampu meyembuhkan penyakit, namun terapi ARV ternyata mampu menurunkan kasus-kasus infeksi baru HIV (Depkes RI, 2006; World Health Organization (WHO), 2003)

2.5.2 Faktor yang mempengaruhi keputusan memulai terapi ARV secara dini dan kepatuhan terapi ARV

Terapi ARV adalah terapi yang dilakukan seumur hidup oleh klien atau ODHA. Oleh karena itu, keputusan untuk memulai melakukan terapi ARV secara dini merupakan permasalahan yang dihadapi khususnya oleh ODHA sebagai klien terapi ARV. Selain itu, kepatuhan terapi ARV yang berlangsung seumur hidup juga merupakan masalah umum yang dihadapi. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, terdapat faktor yang mempengaruhi keputusan untuk memulai terapi ARV dan kepatuhan terapi ARV. Faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pengetahuan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuyun, dkk (2013), ODHA dengan tingkat pengetahuan tinggi lebih patuh untuk mengikuti terapi ARV karena mereka sudah tahu keparahan penyakit yang mereka alami dan dengan melakukan terapi ARV secara rutin dan patuh memberikan perbaikan bagi kualitas hidup mereka baik secara fisik, psikologis maupun sosial (Yuniar, 2013).

2. Keyakinan dan Motivasi

Menurut penelitian oleh Malta dan Kumarasamy (2005) menyatakan bahwa persepsi ODHA terhadap keparahan penyakit dan keyakinan akan manfaat ARV mempengaruhi kepatuhan dalam minum ARV. Kurangnya motivasi dan rasa putus asa dapat menjadi penghambat kepatuhan. Hal yang biasanya dirasakan

(13)

oleh ODHA yaitu rasa jenuh dan bosan karena harus mengkonsumsi obat secara terus menerus. Dari sisi psikologis lainnya, ada juga yang merasa tertekan karena harus minum obat atau ada yang memang sudah putus asa sehingga berdampak pada perilakunya yaitu menjadi malas minum obat (Kumarasamy, N, 2005; Malta, 2005).

3. Dukungan Sosial

Dukungan moriil dari orang-orang yang berada di sekitar responden bisa

menjadi penyemangat dalam menjalankan rutinitas pengobatan dalam terapi ARV (Fungie Galistiani & Mulyaningsih, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Moratiga (2007), dukungan sosial dari keluarga, teman dan tenaga kesehatan memberikan pengaruh penting terhadap kepatuhan ODHA dalam minum ARV. Hubungan yang baik dengan tenaga kesehatan, sikap dan perilaku tenaga kesehatan yang bersahabat dan penuh rasa kekeluargaan disertai konseling kepatuhan dapat memberikan rasa nyaman bagi ODHA. Hal ini secara tidak langsung membuat ODHA lebih termotivasi untuk berobat. Sebaliknya, kurang kepercayaan terhadap tenaga kesehatan menghambat kepatuhan ODHA. Dukungan keluarga merupakan salah satu bentuk terapi keluarga, dimana jika melalui keluarga berbagai masalah kesehatan bisa muncul dan sekaligus dapat diatasi. Menurut Friedman (2000) disebutkan ada empat jenis dukungan keluarga yaitu :

a. Dukungan instrumental yaitu dukungan yang diberikan secara langsung, yang bersifat fasilitas atau materi.

b. Dukungan informasi yaitu dukungan dengan memberikan penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang

(14)

dihadapi individu, yang dapat berupa masukan, nasehat, dan petunjuk, serta penjelasan bagaimana seseorang bersikap.

c. Dukungan penilaian yaitu dukungan yang bisa berbentuk penilaian positif, penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu, umpan balik atau menunjukkan perbandingan sosial yang mampu membuka wawasan seseorang yang sedang dalam keadaan stress.

d. Dukungan emosional yaitu dukungan yang berupa ekspresi empati misalnya mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian yang menyebabkan individu merasa berharga, nyaman, aman, terjamin dan disayangi.

4. Efek Samping Obat

Dalam penelitian oleh Fungie Galistiani & Mulyaningsih (2013) menyebutkan bahwa faktor efek samping obat memiliki pengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV, hal ini juga sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Margaret di California pada tahun 2000 bahwa faktor regimen obat (jumlah tablet, frekuensi pemakaian), ukuran tablet, serta efek samping obat dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan ARV.

5. Stigma

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuyun (2013), stigma dari teman, pacar atau orang lain dapat menjadi faktor penghambat kepatuhan terapi ARV yaitu keadaan takut jika orang lain akan bersikap negative kepadanya ketika status HIV nya diketahui oleh orang tersebut.

(15)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fungie Galistiani & Mulyaningsih (2013), diketahui bahwa kondisi psikologis yang dialami responden mempengaruhi tingkat kepatuhan terapi ARV. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Fiona (2010) bahwa kondisi kesehatan pasien yang merupakan gejala fisik dan psikologis terkait HIV dapat mempengaruhi kepatuhan terapi ARV.

7. Kondisi Fisik

Pasien atau ODHA cenderung merasa kondisi fisiknya masih sehat dan bugar, dimana hal ini menyebabkan keputusan untuk memulai ARV menjadi tertunda (Fiona, 2010).

8. Kurangnya Informasi

Kurangnya informasi dan komunikasi terhadap ODHA mengenai pentingnya memulai ARV secara dini merupakan salah satu faktor penghambat dari keputusan untuk memulai ARV secara dini. Menurut Fiona (2010), pasien cenderung melakukan self-regulation terhadap terapi obat yang diterimanya

sehingga menimbulkan persepsi tersendiri bagi pasien tersebut. 2.5.3 SUFA (Strategic Use of ARV)

Program SUFA merupakan bagian dari pelaksanaan layanan komprehensif berkesinambungan (LKB) yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan tes HIV, meningkatkan cakupan ART serta meningkatkan retensi terhadap ART serta memberikan pelayanan yang lebih baik terkait akses terhadap terapi ARV karena semua pasien HIV yang datang untuk mengakses layanan kesehatan, terlepas berapapun tingkat CD4 nya dan dengan tingkat kesiapan seperti apapun, pada dasarnya berhak untuk mengikuti terapi ARV (Kementerian Kesehatan, 2013)

(16)

Pelaksanaan program SUFA ini didasarkan oleh dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Kesehatan nomor 129 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Penyakit Menular Seksual. Pelaksanaan program SUFA saat ini sedang diuji coba di 13 kabupaten/kota. Program SUFA ini merupakan program lanjutan dari layanan terapi ARV yang sudah berjalan di Indonesia, denga penambahan beberapa komponen baru dalam layanan, seperti layanan untuk pasangan sero-discordant.

Kelompok- kelompok yang diprioritaskan dalam program SUFA untuk menerima ARV yaitu orang-orang yang berada dalam kelompok risiko tinggi (MARPs), ibu hamil HIV, ko-infeksi TB HIV, ko-infeksi hepatitis, dan pasangan serodiscordant.

Kelompok prioritas ini adalah kelompok yang diberikan prioritas untuk menjangkau dan mengikutsertakan kelompok-kelompok tersebut mengikuti terapi ARV. Seperti program lainnya, SUFA tetap harus didukung dengan layanan pencegahan lainnya seperti akses terhadap kondom.

Dalam implementasinya, program SUFA menekankan pada TOP, yang merupakan kepanjangan dari Temukan, Obati, dan Pertahankan. Temukan yang positif memiliki arti bahwa menawarkan tes HIV kepada semua orang yg memiliki perilaku berisiko, penawaran tes HIV rutin kepada ibu hamil, pasien TB, Hepatitis, IMS, pasangan ODHA. Obati yang ditemukan, yaitu memberikan pengobatan bagi mereka yang sudah memenuhi kriteria yaitu memulai pengobatan Antiretroviral (ARV) secara dini bila jumlah CD4 <350 sel/mm3 atau memulai pengobatan ARV tanpa melihat jumlah CD4-nya pada ODHA dengan stadium klinis AIDS 3 atau 4, ibu hamil, pasien TB, pasien Hepatitis dan populasi kunci yang HIV (+). Pertahankan yang diobati memiliki arti bahwa memastikan pasien patuh minum obat seumur hidup dengan memberikan pendampingan terutama pada awal pengobatan, serta memberikan

(17)

dukungan yang tepat dari keluarga, komunitas, kelompok dukungan sebaya dan layanan kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2013)

2.6 Health Belief Model

Health Belief Model (HBM) merupakan suatu teori mengenai faktor-faktor

intrapersonal yang berpengaruh terhadap health behavior yang kemudian digunakan

dalam penyusunan program kesehatan, baik dalam hal intervensi maupun preventif (Burke, 2013). Teori HBM memiliki konsep dasar yaitu persepsi individu tentang penyakit yang diderita, serta keyakinan individu terhadap cara untuk meringankan penyakit tersebut. Health Belief Model (HBM) biasanya dipertimbangkan sebagai

kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan yang dimulai dari pertimbangan orang mengenai kesehatan. Health Belief Model (HBM) ini digunakan

untuk meramalkan perilaku peningkatan kesehatan. Teori Health Belief Model (HBM)

ini menjelaskan bahwa kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung pada hasil dari keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (Machfoedz, 2008). Pada Health Belief Model, perubahan sikap terhadap kesehatan didasari oleh

tiga hal yang muncul pada waktu yang bersamaan (Burke, 2013), yaitu:

a. Individu tersebut menemukan bahwa ada alasan untuk fokus terhadap masalah

kesehatannya.

b. Individu tersebut mengerti akan kerentanan dan efek negatif dari penyakit yang diderita.

c. Individu tersebut menyadari bahwa perubahan perilaku dapat bermanfaat untuk

kesehatannya, serta menjadikan proses penyembuhan lebih efektif terutama dalam hal pembiayaan.

(18)

Teori Health Belief Model menjelaskan kembali ketiga hal di atas menjadi enam

poin penting, yaitu :

a. Perceived susceptibility (persepsi akan kerentanan)

Susceptibility atau kerentanan, memiliki arti bahwa seberapa besar kerentanan

individu terhadap suatu kondisi. Persepsi terhadap sebuah kerentanan merupakan salah satu faktor yang mendorong individu untuk berlaku lebih sehat. Semakin kuat persepsi individu akan kerentanannya terhadap suatu penyakit, maka semakin besar pula tindakan individu untuk mengurangi risiko terkena suatu penyakit; begitu juga sebaliknya (De Wit, 2005). Sebagai contoh, individu yang positif HIV merasa dirinya rentan untuk masuk ke tahap AIDS dan terkena infeksi oportunistik sehingga memiliki persepsi untuk melakukan terapi ARV. b. Perceived severity (persepsi akan keparahan)

Perceived severity merupakan persepsi individu terhadap keparahan dari kondisi

yang diderita dan bagaimana akibatnya pada kehidupan individu tersebut. Individu tersebut akan mengambil tindakan untuk mencegah infeksi oportunistik ketika individu tersebut mengerti efek negatif yang akan dia rasakan ketika terinfeksi HIV/AIDS.

c. Perceived barriers (persepsi akan penghalang)

Perceived barriers merupakan penghalang, dapat pula kelemahan, yang

dirasakan oleh individu atas perubahan perilaku kesehatan yang dijalaninya. Misal pada pelaksanaan terapi ARV, seseorang merasa efek samping yang besar dalam melaksanakannya, sehingga individu tersebut menjadi enggan untuk melaksanakan terapi ARV kembali.

(19)

Perceived benefits merupakan persepsi individu tentang manfaat yang diperoleh

dari perilaku baru yang dilakukan untuk mengurangi risiko perkembangan suatu kondisi, terutama penyakit. Persepsi akan manfaat dari suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang individu dapat menjadikannya sebagai motivasi untuk tetap melakukan tindakan tersebut. Sebagai contoh, individu yang memiliki persepsi bahwa tidak ada hubungan antara terapi ARV dengan pencegahan terhadap infeksi oportunistik, akan lebih memilih untuk tidak melaksanakan terapi ARV karena individu tersebut percaya bahwa terapi ARV tidak dapat mencegah infeksi oportunistik muncul.

e. Cues to action (isyarat untuk melakukan tindakan)

Cues to action merupakan stimulus yang mendorong individu untuk menjalani

perubahan perilakunya, terutama yang terkait masalah kesehatan. Stimulus tersebut dapat berasal dari diri individu itu sendiri, maupun dari luar individu. Pada kasus pencegahan infeksi oportunistik dengan melakukan terapi ARV, stimulus internal dapat berupa keinginan diri sendiri untuk tetap sehat, sedangkan stimulus eksternal dapat berupa semangat dan dukungan dari keluarga untuk tetap melaksanakan terapi ARV.

f. Self efficacy (kepercayaan diri untuk bertindak).

Self efficacy berarti kepercayaan diri individu, bahwa dia memiliki keyakinan

dan kemampuan untuk tetap menjalani terapi ARV dan berperilaku patuh dalam mengikuti terapi ARV. Self efficacy merupakan kunci dari kelima faktor lainnya

karena komitmen dari pribadi individu sangatlah diperlukan untuk menjaga perilaku sehat yang harus dijalani individu tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada hasil uji regresi berganda pada Tabel 4.17 di atas, menunjukkan bahwa variabel Independensi Auditor secara parsial berpengaruh terhadap Kualitas Audit pada

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga sampai saat ini masih memberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

4.3.5 Peramalan Kebutuhan Mold &amp; Dies Produksi Periode Yang Akan Datang Metode yang digunakan untuk meramalkan volume kebutuhan mold dan dies tahun yang akan datang adalah

Permasalahan yang diakibatkan oleh gaya hidup biasanya mengalami perkembangan yang cepat seiring dengan perkembangan dari gaya hidup tersebut, begitu juga

Keuntungan dari etanol sebagai cairan pengekstrak adalah etanol bersifat lebih selektif, kapang dan bakteri sulit tumbuh dalam etanol 20 %, etanol bersifat tidak beracun,

Memberikan tambahan informasi dan referensi kepada masyarakat tentang pengaruh laju pertumbuhan ekonomi, unit usaha, dan investasi terhadap penyerapan tenaga kerja pada industri

bahwa sehubungan dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2486/12/MEM/2015 tentang

Saat pasien di pasang plate and scrw pasien jarng latihan atau kurangya aktivitas lengan kanannya dan terjadi penurunan LGS siku kanannya, kemudian saat