• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH APLIKASI BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN PADA TIGA GENOTIPE CABAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH APLIKASI BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN PADA TIGA GENOTIPE CABAI"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH APLIKASI BAKTERI PERAKARAN PEMACU

PERTUMBUHAN TANAMAN PADA TIGA GENOTIPE CABAI

(

Capsicum annum

L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN

SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI

SRI MARIA

A34051919

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

annum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI

Sri Maria

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Pengaruh Aplikasi Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman Pada Tiga Genotipe Cabai (Capsicum annum L.) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Serta Kejadian Penyakit Penting Cabai

Nama Mahasiswa : Sri Maria

NIM : A34051919

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr.Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc) (Dr.Ir. Widodo, MS)

NIP : 19610708 198603 2 001 NIP Mengetahui, Ketua Departemen, ( Dr. Ir. Dadang, M.Sc) NIP 19640204 199002 1 002 Tanggal lulus:

(4)

SRI MARIA. The effect of Plant Growth Promoting Rhizobacteria Application on Three genotypes of Chilli (Capsicum annum L.) against Plant Growth and Chilli Important Disease Incidence. Supervised by SRI HENDRASTUTI HIDAYAT and WIDODO.

In Indonesia, chilli was an important vegetable commodity refer to production area as well as it’s value, but production of chilli in Indonesia still very low. The low production was caused by a lack of proper cultivation techniques, seed quality, and pest and plant disease. Important disease that can decrease the production of chilli includes antrachnose disease, bacterial wilt, mosaic and mottle virus in chilli. The disease controlling effort that were recently developed and relatively safe for the environment, using Plant Growth-promoting Rhizobacteria (PGPR). The objective of this study was to determine the effect of PGPR usage, that were P. fluorescens PG01 isolates, B. polymixa BG25 and a mixture of both isolates (PG01 + BG25) against agronomic characters and incidence of important diseases in the three genotypes of chilli (IPB C5, C10 IPB, and Kopay) on the field. The experiment was performed from February until November, 2009 on farmer land were located on Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. The experiment was arranged in split plot design, were randomly treated with bacterial group as main plots and genotypes as subplots. Four levels main plots were PGPR treatments isolates PG01, BG25, PG01 + BG25, and without PGPR treatment as a comparison. The three subplots were C10 IPB, C5 IPB, and Kopay. In the experiment there were 12 treatment combinations, each treatment consisted of three replications, so there are 36 experimental units. Each experimental unit consisted of 20 plants, with a total 720 plants were tested. PGPR treatments significantly influenced the plant height and number of branches, but gave no significant effect on leaves number. The highest growth improvement on vegetative phase was occurred by the mixed bacterial treatment (PG01 + BG25). IPB C10, C5 genotypes and varieties of IPB Kopay have different agronomic characteristics measured on plant height, number of branches and number of leaves. PGPR treatment did not affect significantly to crop production and disease incidence (antraknosa, bacterial wilt, TMV, CMV, and ChiVMV). Antrachnose infections most commonly found in Kopay varieties, while the bacterial wilt infection occurs more frequently in genotypes IPB C5.

Keyword: PGPR, promoted the plant growth,Cabai (Capsicum annum L.), penyakit penting.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara, lahir pada tanggal 31 Maret 1987 di Sukabumi, Jawa Barat. Orang tua bernama Endang Suhendi dan Nani Sutiana.

Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA YPI 45 Bekasi, pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan seleksi mahasiswa IPB (USMI) dan pada tahun berikutnya penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama di IPB, penulis pernah aktif sebagai pengurus Departemen Budaya Olah raga dan Seni, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (BEM KM IPB), dan pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA).

(6)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala rahmat dan karuniaNya dan shalawat beriring salam semoga tetap tercurah bagi Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah dan Ibunda tercinta atas do’a, perhatian dan dukungan yang dicurahkan semata-mata demi keberhasilan anak-anaknya. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr.Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSi selaku dosen pembimbing I dan Dr. Ir. Widodo, MS selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing, memberikan ilmu dan perhatian penuh kepada penulis selama penelitian dan proses penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Idham S Harahap, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, bantuan, motivasi dan dorongan kepada penulis. 3. Dr. Rully Anwar selaku dosen penguji tamu yang memberikan masukan dan

menambah wawasan kepada penulis.

4. Ayah, Mamah, Kakak dan keponakanku yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, perhatian, bantuan dan doa kepada penulis.

5. Pak Edi, Pak Dadang, Pak Sodik, Pak Yusuf, Pak Wawan, dan semua laboran di Departemen Proteksi Tanaman yang telah membantu penulis dalam penelitian.

6. Pak Kusnadi dan keluarga yang telah membantu penulis selama di lapangan. 7. Mbak Ita, Mbak Tuti, Mbak Cici, Mbak Devi, Bunda Ifa, Bu Rika, Wiwin dan

teman-teman di Laboratorium Virologi dan Mikologi atas segala bantuannya. 8. Teman-teman seperjuangan Proteksi Tanaman 42 atas kebersamaannya selama

ini yang telah memberikan banyak kenangan.

9. Adil, Dewi, serta teman-teman seperjuangan 42 wisma Novia II Lina, Komalasari, Wina, Juning, Triani, dini, Fitri dan Lili atas dukungan dan bantuannya selama ini.

Serta semua pihak yang telah membantu dalam mengerjakan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga apa yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal kebaikan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi yang memerlukan.

Bogor, Maret 2010

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 4 Manfaat Penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Ekologi dan Syarat Tumbuh Cabai ... 5

Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai ... 5

Antraknosa pada Cabai... 6

Penyakit Layu Bakteri.. ... 6

Virus Mosaik Tembakau (Tobacco Mosaic Virus) ... 7

Virus Mosaik Ketimun (Cucumber Mosaic Virus) ... 8

Virus Belang Cabai (Chilli Veinal Mottle Virus) ... 8

Pemanfaatan Plant Growth-Promoting Rhizobacteria untuk Pengendalian Penyakit ... 9

Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. sebagai Agens Biokontrol .. 10

BAHAN DAN METODE ... 12

Waktu dan Tempat Penelitian... 12

Bahan... 12

Metode ... 12

Persiapan Lahan ... 13

Perlakuan PGPR ... 14

Pengamatan Pertumbuhan, Produksi Tanaman, dan Kejadian Penyakit ... 14

Deteksi dan Isolasi Cendawan dan Bakteri ... 15

Deteksi Virus dengan Metode Double Antibody Sandwich – Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS- ELISA) .... 15

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Tinggi Tanaman ... 17

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Cabang ... 19

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Daun ... 21

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap jumlah dan Bobot Buah Cabai ... 23

Pengaruh Perlakuan PGPR terhadap Kejadian Penyakit Antraknosa... 25

Pengaruh Perlakuan PGPR terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri ... 27

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Kejadian Infeksi Virus pada Tanaman Cabai ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap tinggi tanaman cabai……….. 18 2. Pengaruh genotipe cabai terhadap tinggi tanaman cabai …………. 18 3. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah cabang tanaman

cabai………. 20

4. Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah cabang tanaman cabai…. 20 5. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah daun cabai…………... 22 6. Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah daun cabai……….. 22 7. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah

dan bobot buah cabai……… 24

8. Pengaruh genotipe cabai terhadap bobot dan jumlah buah……….. 25 9. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap persentase jumlah

buah cabai terinfeksi Colletotrichum spp………. 26 10. Pengaruh genotipe cabai terhadap persentase jumlah

buah cabai terinfeksi Colletotrichum spp………. 27 11. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah tanaman

terinfeksi layu bakteri……….. 28 12. Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah tanaman

terinfeksi layu bakteri……….. 29

13. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap infeksi virus

di lapangan berdasarkan pengamatan gejala……… 30 14. Pengaruh perlakuan PGPR pada masing-masing

genotipe cabai terhadap infeksi CMV,ChiVMV dan TMV

berdasarkan ELISA……….. 31

15. Pengaruh PGPR terhadap nilai absorban ELISA

pada tanaman cabai……….. 32 16. Pengaruh genotipe terhadap nilai absorbansi ELISA

(10)

1. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan

tinggi tanaman cabai ... 19

2. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah cabang tanaman cabai ... 21

3. Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah daun tanaman cabai ... 23

4. Gejala buah terinfeksi Colletotrichum spp ... 25

5. Gejala tanaman terinfeksi layu bakteri ... 27

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

... Halaman 1. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe

cabai terhadap tinggi tanaman saat 1 MST ... 39 2. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe

cabai terhadap tinggi tanaman saat 2 MST ... 39 3. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe

cabai terhadap tinggi tanaman saat 3 MST ... 39 4. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe

cabai terhadap tinggi tanaman saat 4 MST ... 39 5. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe

cabai terhadap tinggi tanaman saat 5 MST ... 40 6. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe

cabai terhadap tinggi tanaman saat 6 MST ... 40 7. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe

cabai terhadap tinggi tanaman saat 7 MST ... 40 8. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe

cabai terhadap tinggi tanaman saat 8 MST ... 40 9. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah cabang saat 1 MST... 41 10. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah cabang saat 2 MST... 41 11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah cabang saat 3 MST... 41 12. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah cabang saat 4 MST... 41 13. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah cabang saat 5 MST... 42 14. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah cabang saat 6 MST... 42 15. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah daun saat 1 MST ... 42 16. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

(12)

18. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah daun saat 4 MST ... 43 19. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah daun saat 5 MST ... 43 20. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah daun saat 6 MST ... 44 21. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap jumlah buah ... 44 22. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap bobot buah... 44 23. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap infeksi antraknosa ... 45 24. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap infeksi layu bakteri ... 45 25. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap infeksi virus berdasarkan gejala di lapangan ... 45 26. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap infeksi ChiVMV berdasarkan nilai absorban ELISA ... 45 27. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

terhadap infeksi CMV berdasarkan nilai asorban ELISA ... 45 28. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di Indonesia, baik untuk konsumsi di dalam negeri maupun untuk ekspor. Komoditas cabai dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai dataran tinggi, pada lahan sawah ataupun tegalan. Selain memiliki kandungan gizi yang tinggi, cabai juga sangat potensial secara ekonomis. Thompson dan Kelly (1957) menyatakan bahwa C. annum merupakan tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, selain dimanfaatkan sebagai bumbu masak cabai juga digunakan sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman dan obat-obatan; dapat dipasarkan dalam bentuk segar dan olahan sehingga menambah pentingnya komoditas tersebut.

Secara nasional rata-rata hasil panen cabai di Indonesia baru mencapai 6,392 ton/ha pada tahun 2005 (Deptan 2006). Hasil tersebut masih jauh dari potensi hasilnya yang berkisar antara 12 hingga 20 ton/ha (Duriat 2003). Hal tersebut antara lain disebabkan karena berkurangnya luas panen, cara bertani yang masih tradisional dan adanya gangguan hama dan penyakit (Ditlintan 2005). Kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai, sehingga mengakibatkan konsumsi cabai per kapita terus mengalami peningkatan.

Dalam upaya meningkatkan produksi cabai dalam negeri, tidak sedikit permasalahan yang dihadapai oleh petani Indonesia. Kendala yang paling penting dalam proses produksi dan dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi adalah kualitas benih, kesuburan tanah, teknik budidaya, penanganan pasca panen, serta gangguan hama dan penyakit (Siregar 1999). Penyakit yang umumnya terjadi pada tanaman cabai dapat disebabkan oleh bakteri, cendawan, nematoda, dan virus. Penyakit penting yang dapat menurunkan produksi cabai diantaranya adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichumspp, layu bakteri yang disebabkan

(14)

oleh Ralstonia solanacearum dan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Tobacco mosaic virus (TMV), Cucumber mosaic virus (CMV), dan Chilli veinal mottle virus (ChiVMV) merupakan virus utama yang menyerang tanaman cabai di Indonesia (Sastrosumarjo 2003). Infeksi CMV dapat menyebabkan kerugian hasil panen pada tujuh kultivar cabai mulai 32 sampai 75% (Sulyo et al. 1984), sedangkan infeksi oleh TMV dapat menyebabkan kehilangan hasil mulai 20,5 % sampai 100% (Sutic et al. 1999). Kehilangan hasil panen yang disebabkan oleh infeksi ChiVMV berkisar antara 9 sampai 57% (Santika 2001). Infeksi yang ditimbulkan oleh TMV menunjukkan gejala mosaik sistemik baik ringan maupun berat pada daun tanaman. Serangan TMV yang sangat berat dapat menyebabkan mosaik parah disertai dengan deformasi daun hingga tanaman kerdil. Infeksi CMV pada daun cabai dapat menimbulkan gejala berupa mosaik hijau tua dan hijau muda, sedangkan pada buah menyebabkan buah tidak normal (CPC global Modul 2nd 1996-2000). Infeksi yang ditimbulkan oleh ChiVMV menunjukkan adanya gejala bercak hijau, penebalan tulang daun, daun menjadi lebih kecil dan kadang diikuti dengan malformasi daun (Siriwong et al. 1995).

Antraknosa adalah penyakit terpenting yang menyerang di semua daerah pertanaman cabai diseluruh dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia, penyakit ini banyak dilaporkan di Sumatera Barat, Irian Jaya, dan Lampung serta di daerah Jawa, sedangkan di Asia dilaporkan terjadi di Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina (Semangun 2000). Antraknosa dapat menyerang biji, batang, daun, dan buah cabai. Serangan penyakit ini ditandai dengan adanya bercak dipermukaan kulit buah atau pada bagian daun yang membentuk lingkaran konsentris berwarna hitam. Menurut Than (2008) antraknosa adalah salah satu penyakit yang paling penting dalam produksi cabai di dunia. Hal ini dikarenakan antraknosa dapat menyebabkan kerusakan sejak dari penyemaian sampai tanaman berbuah, dan merupakan masalah utama pada buah masak sehingga dapat menyebabkan penurunan mutu dan hasil produksi.

Penyakit layu bakteri cukup berbahaya, karena pada tingkat serangan berat dapat menyebabkan kematian tanaman dan kegagalan panen (Semangun 1994). Menurut

(15)

3

Agrios (2005) layu bakteri pada tanaman Solanaceae terjadi sebagai layu yang tiba-tiba. Jika menginfeksi tanaman muda, bakteri akan menyebabkan kematian. Pada tanaman yang lebih tua, pertama akan menunjukkan layu pada daun yang paling muda, atau pada satu sisi layu dan pertumbuhan terhambat, dan akhirnya tanaman akan layu secara permanen kemudian mati. Jaringan vaskuler pada batang, akar dan umbi berubah menjadi coklat dan akan mengeluarkan ooze yang merupakan eksudat bakteri.

Beberapa cara pengendalian terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus, cendawan dan bakteri diantaranya dengan melakukan eradikasi gulma, proteksi silang, penanaman bibit sehat, pembongkaran tanaman sakit, pengendalian vektor, dan penggunaan kultivar tahan (Walkey 1991). Penggunaan kultivar tahan dapat mengurangi kejadian penyakit di lapangan secara efektif, tetapi pengembangan varietas tanaman ini relatif lama dan dinilai tidak ekonomis (Hadidi et al. 1998).

Usaha pengendalian penyakit yang mulai dikembangkan dan relatif aman terhadap lingkungan yaitu penggunaan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan (Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR)) (Kokalis et al. 2002).Kemampuan PGPR sebagai agens pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraseluler yang bersifat antagonis melawan patogen (Kloepper dan Schroth. 1978; Thomashow dan Weller 1988; Weller 1988). Hasil penelitian Widodo (1993) menunjukkan keefektifan bakteri Pseudomonas spp. kelompok fluoresens yang diaplikasikan pada benih dan tanah dalam menekan luas dan intensitas serangan penyakit akar gada pada caisin yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Dilaporkan pula bahwa P. fluorescens B29 dan B39 diketahui dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen penyebab penyakit bisul pada tanaman kedelai di lapangan (Nawangsih 1997). Perlakuan perendaman benih cabai dengan campuran bakteri Bacillus polymixa BG25 dan P. fluorescens PG01 efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen, serta dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit antraknosa (Sutariati 2006).

(16)

Kajian dan evaluasi untuk mengetahui efektivitas PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menekan infeksi penyakit di lapangan perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan P. fluorescens isolat PG01, B. polymixa isolat BG25 dan campuran keduanya (PG01+BG25) terhadap karakter agronomis dan kejadian penyakit-penyakit penting pada 3 genotipe cabai (IPB C5, IPB C10, dan Kopay) di lapangan.

Manfaat

Penelitian ini bermanfaat untuk memperoleh informasi tentang potensi bakteri pemacu pertumbuhan yang dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian penyakit antraknosa, layu bakteri, mosaik dan belang virus pada cabai.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi dan Syarat Tumbuh Cabai

Cabai (Capsicum annum L.) merupakan tanaman herba tegak dari famili terung-terungan (Solanaceae). Cabai dapat tumbuh pada daerah yang memiliki ketinggian antara 10-200 m di atas permukaan laut (dpl), sehingga cabai termasuk tanaman yang dapat ditanam di dataran tinggi maupun dataran rendah. Cabai dapat ditanam pada tanah yang gembur dan banyak mengandung unsur hara. Cabai tumbuh optimal di tanah regosol dan andosol. Namun, untuk pertumbuhan dan produksi terbaik, dianjurkan menanam cabai pada tanah berstruktur remah atau gembur dan kaya bahan organik, dengan pH tanah yang dikehendaki antara 5,0-6,0. Curah hujan yang ideal untuk bertanam cabai adalah 1.000 mm/tahun, sebab curah hujan yang rendah menyebabkan tanaman mengalami kekeringan dan membutuhkan air untuk penyiraman. Sebaliknya, curah hujan yang tinggi dapat merusak tanaman cabai serta membuat lahan penanaman tergenang air dan kelembabannya tinggi. Oleh sebab itu, cabai biasanya ditanam pada lahan yang agak miring untuk menghindari genangan air, namun tingkat kemiringan lahan tidak lebih dari 25%. Lahan yang terlalu miring menyebabkan erosi dan hilangnya pupuk karena tercuci oleh air hujan. Tanah yang terlalu datar harus dibuatkan saluran pembuangan air (Topan 2008). Suhu optimum untuk pertumbuhan cabai adalah 21 °C-29.5 °C dengan suhu minimum 18°C dan maksimum 35 °C (Setiadi 2005). Pemeliharaan tanaman cabai meliputi penyiraman, penyiangan gulma dan pengendalian hama penyakit.

Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai

Salah satu kendala utama dalam budidaya cabai adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Studi yang dilakukan oleh Asian Vegetable Research and Develovment Center (AVRDC) di Asia mengungkapkan bahwa CMV, ChiVMV, layu bakteri, busuk Phytophthora dan antraknosa adalah penyakit utama pada cabai (AVRDC 2000), sedangkan serangga hama yang menyerang cabai adalah kutu daun persik (Myzus persicae), tungau (Polyphagotarsonemus latus), dan thrips (Thysanoptera: Thripidae). Dua faktor biotik tersebut, penyakit dan

(18)

serangga hama, telah dikenali sebagai kendala utama untuk produksi cabai (Berke 2002).

Antraknosa pada Cabai

Antraknosa atau sering disebut sebagai penyakit patek pada cabai adalah penyakit yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Penyakit antraknosa ini menyebabkan kerugian yang sangat besar baik di daerah tropis maupun subtropis (Agrios 1997). Patogen antraknosa dapat menyerang cabai muda, cabai matang, atau cabai yang sudah dipasarkan sehingga menyebabkan buah membusuk, dan kering (Martoredjo 1984). Penyakit ini bisa menyerang biji, batang, daun, dan buah cabai. Serangan penyakit ini ditandai dengan adanya gejala seperti biji gagal berkecambah, batang kecambah rapuh, sehingga mudah rebah, pucuk mati dan infeksinya menjalar ke bagian bawah. Bercak dipermukaan kulit buah melesak kedalam daging buah dan membentuk lingkaran seperti terkena sengatan terik matahari. Serangan penyakit ini terjadi menjelang buah masak (Roberts et al. 2009).

Keberadaan penyakit busuk buah terutama dipicu oleh iklim mikro di pertanaman yang lembab, dan berembun, suhu tinggi, cuaca berkabut. Patogen mampu bertahan dalam biji, sehingga penyebaran melalui biji sangat mudah terjadi (seed borne diseases). Antraknosa adalah penyakit yang sangat berbahaya dan memiliki daya merusak berat terhadap produksi. Selain itu, penyakit ini bersifat laten, yakni mampu bertahan lama dalam jaringan tanaman dalam bentuk aservulus yang kemudian dapat ditumbuhi miselium. Spora Colletotrichum memiliki zat perekat, sehingga dengan mudah dapat melekat dan berpindah melalui peralatan pertanian, udara, dan angin. Selain kemampuan menyebar yang cepat, patogen mampu bertahan dalam tanah. Spora pada tanaman inang akan cepat berkecambah dan melakukan infeksi dalam waktu yang singkat, yakni sekitar lima hari (Mulyaman 2009).

Penyakit Layu Bakteri

Salah satu penyakit penting pada cabai ialah layu bakteri. Penyakit tersebut disebabkan oleh R. solanacearum yang dahulu dikenal dengan nama Pseudomonas solanacearum (Yabuuchi et al. 1995). Penyakit layu bakteri cukup berbahaya, karena pada tingkat serangan berat dapat menyebabkan kematian

(19)

7

tanaman dan kegagalan panen (Semangun 1994). Penyakit layu bakteri sulit dikendalikan karena R.solanacearum memiliki kisaran inang yang luas, termasuk patogen soil-borne, dan dapat menimbulkan infeksi laten (Abdullah dan Rahman 1998). Pada tanaman muda, serangan ditandai dengan layunya daun dari atas kanopi tanaman. Sementara itu, pada tanaman tua serangan ditunjukan dengan layunya daun tanaman dari bawah ke atas secara berangsur-angsur. Jika batang dibelah, terlihat jaringan pembuluh, pangkal batang, dan akar berwarna kecoklatan. Bila dipotong melintang dan dicelupkan ke air bersih, akan terlihat cairan keruh yang keluar dari potongan batang atau akar tersebut. Infeksi yang disebabkan oleh layu bakteri ini terjadi melalui luka-luka yang berada dibatang atau akar, lalu masuk ke jaringan pembuluh.

Upaya pengendalian penyakit layu bakteri dengan rotasi tanaman dan tumpangsari hanya mengurangi keparahan penyakit (Hartman dan Elphinstone 1994). Pengendalian dengan bakterisida secara terus menerus akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan seperti matinya musuh-musuh alami dan timbulnya resistensi pada patogen. Penggunaan varietas cabai tahan penyakit merupakan upaya pengendalian yang efektif dan ekonomis serta ramah lingkungan.

Virus Mosaik Tembakau (Tobacco Mosaic Virus/ TMV)

TMV merupakan virus yang termasuk ke dalam genus Tobamovirus. Kisaran inang virus ini sangat luas, beberapa tanaman inang yang penting termasuk dalam famili Solanaceae, Scrophulariaceae, Labiatae, Leguminoceae, Chenopodiaceae, Cucurbitaceae, dan Alliaceae. Namun tidak semua spesies yang terinfeksi TMV menunjukan gejala sistemik. Beberapa diantaranya hanya menunjukkan lesio nekrotik lokal pada titik infeksi (reaksi hipersensitif). Beberapa varietas yang menunjukkan reaksi hipersensitif yaitu tembakau, tomat, dan cabai (Sutic et al. 1999, CABI 2003).

TMV merupakan virus yang sangat stabil. Titik inaktivasi panasnya yaitu 90°C, sedangkan titik batas pengencerannya adalah 1 x 10ˉ6. Partikelnya berbentuk batang berukuran 300 x 18 nm (Sutic et al. 1999). TMV merupakan parasit obligat hanya dapat hidup pada tanaman atau jaringan sel yang hidup. Virus ini menginfeksi tanaman melalui luka. Bagian tanaman yang rentan jika kontak dengan TMV akan segera terinfeksi.

(20)

Virus Mosaik Ketimun (Cucumber Mosaic Virus /CMV)

CMV merupakan virus yang termasuk ke dalam genus Cucumovirus. Partikel virus ini adalah isometrik dengan diameter kira-kira 29 nm. Titik panas inaktifasi antara 50-55°C, titik batas pengenceran antara 1 : 2000 dan 1 : 3000. Ketahanan cairan perasannya antara 2 sampai 3 hari, tetapi jika disimpan pada suhu 5°C kemampuan infeksinya bertahan antara 5 sampai 6 hari (Sugiura, Bandaranayake, dan Hemachandra 1975).

CMV mempunyai kisaran inang yang sangat luas, dapat ditularkan secara mekanik, beberapa spesies inang dapat ditularkan melalui benih (Matthews 2002), serta vektor serangga (Francki et al. 1979). Virus ini menyebabkan infeksi sistemik pada kebanyakan tanaman yang diinfeksinya. Bagian jaringan dan organ tanaman yang terbentuk pada awal infeksi biasanya tidak terpengaruh oleh infeksi CMV. Pengaruh infeksi CMV terutama terjadi pada sel-sel dan jaringan tanaman yang terbentuk setelah infeksi tersebut terjadi. Konsentrasi virus meningkat setelah terjadi inokulasi, kemudian menurun pada tingkat tertentu atau tanaman menjadi mati (Agrios 1998).

Virus Belang Cabai (Chilli Veinal Mottle Virus /ChiVMV)

ChiVMV merupakan virus yang termasuk ke dalam genus Potyvirus. Partikel virus ini berbentuk batang lentur dengan panjang 720-740 nm. Titik panas inaktivasi dari virus ini berkisar antara suhu 55-60 C, sedangkan titik batas pengencerannya berkisar antara 10-3- 10-4. Virus ini dapat bertahan secara in-vitro selama 7 hari pada suhu 20°C (Murayama 1998).

Pada percobaan menggunakan inokulasi mekanis pada tanaman cabai Siriwong et al. (1995) melaporkan bahwa gejala pada umumnya terlihat antara 5 sampai 10 hari setelah inokulasi. ChiVMV menginduksi terjadinya vein-clearing 5 hari setelah inokulasi pada pucuk daun beberapa kultivar cabai uji C. annuum dan C. frutescens. Gejala serangan ChiVMV antara lain adanya pola belang pada daun. Gejala ini lebih jelas terlihat pada daun yang masih muda dan berukuran kecil. Bila tanaman terinfeksi virus ini pada umur yang masih muda, tanaman akan terhambat pertumbuhannya dan pada batang serta percabangannya akan terlihat pola garis berwarna hijau. Bunga yang terbentuk biasanya akan gugur

(21)

9

sebelum pembentukan buah. Daun dan buah tanaman yang terinfeksi ChiVMV akan mengalami distorsi dan berukuran lebih kecil (Cerkauskas 2004).

ChiVMV dapat ditularkan melalui inokulasi mekanis, penyambungan, dan serangga vektor secara non persisten, tetapi tidak terjadi melalui benih. Beberapa spesies serangga yang dilaporkan menjadi vektor ChiVMV adalah Aphis craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, dan M. persicae. Diantara serangga vektor tersebut yang paling penting dan sering dijumpai menjadi vektor ChiVMV pada pertanaman cabai adalah M. persicae (CABI 2000). Virus ini hanya bertahan pada kutu daun selama tidak lebih dari 1 jam. ChiVMV dapat menginfeksi berbagai jenis cabai, diantaranya cabai merah, cabai keriting dan cabai rawit (Murayama 1998).

Pemanfaatan Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR) untuk Pengendalian Penyakit

PGPR adalah agens (mikroba) yang bersifat menguntungkan bagi tanaman, dan termasuk sebagai agens penginduksi ketahanan. PGPR, yaitu kelompok bakteri yang dapat mengkoloni perakaran tanaman dan memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan tanaman (Nelson 2004).

Kemampuan PGPR sebagai agens pengendalian hayati adalah karena kemampuannya untuk bersaing mendapatkan zat makanan atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraseluler yang bersifat antagonis melawan patogen (Liu et al. 1995). Agens ini hidup didaerah sekitar perakaran (rizosfer), dimana terdapat eksudat yang dikeluarkan akar sebagai nutrisi bagi mikroba. Beberapa diantaranya ditemukan mengkoloni bagian dalam akar tanaman (endofit), mulai dari korteks sampai melewati lapisan endodermis dan jaringan pembuluh, juga dapat ditemukan sebagai endofit pada batang, daun, dan organ lainnya (Gray dan Smith 2005). Kemampuan lain dari mikroba ini adalah mampu memproduksi osmoprotektan dalam kondisi cekaman osmotik maupun cekaman kekeringan. PGPR merupakan agens pengendalian hayati yang menjanjikan dan dapat menekan organisme pengganggu tanaman di lapangan dan dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman melalui mekanisme : 1) produksi hormon pertumbuhan, 2) kemampuan fiksasi nitrogen dari udara untuk meningkatkan ketersediaan nitrogen tanah, 3) penghasil

(22)

osmoprotektan pada kondisi cekaman kekeringan dan penghasil osmolit tertentu yang dapat membunuh patogen tanaman di tanah (Hasannudin 2003).

Penggunaan PGPR juga terbukti dapat mengendalikan serangan antraknosa pada cabai yang disebabkan oleh cendawan C. capsici sehingga mampu menekan kejadian penyakit pada buah cabai (Amalia 2007). Hal ini dikarenakan PGPR sebagai biokontrol berperan dengan mekanisme induced systemic resistance (ISR). Mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap serangan patogen (Ramamoorthy et al. 2001). Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan adanya induksi ketahanan sistemik oleh bakteri yaitu: 1) adanya sumbangan lipopolisakarida oleh bakteri; 2) produksi siderofor oleh bakteri; dan 3) produksi asam salisilat yang dapat terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung (van Loon et al. 1998)

Perlakuan benih dengan menggunakan suspensi PGPR juga terbukti meningkatkan daya berkecambah dan indeks vigor. Penelitian Listiani (2006) menyatakan bahwa tanaman yang diberi perlakuan rizobakteri berpengaruh baik terhadap tinggi tanaman, panjang daun dan lebar daun bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Selain itu keberadaan PGPR ini dalam tanaman juga dapat menekan kejadian penyakit seperti bercak daun bakteri pada ketimun (bacterial angular leaf spot) (Liu et al. 1995), penyakit nekrosis tembakau (Maurhofer et al. 1994), dan penyakit akar gada Plasmodiophora brassicae (Widodo 1993).

P. fluorescens dan Bacillus sp. Sebagai Agens Biokontrol

Bacillus dan Pseudomonas sebagai kelompok PGPR merupakan genus yang paling banyak diteliti dan berpotensi tinggi sebagai agens pengendali penyakit tanaman (Compant et al. 2005). Keduanya dilaporkan mampu menekan patogen secara langsung dengan mengeluarkan senyawa antibiotik dan induksi ketahanan sistemik pada tanaman.

Genus Pseudomonas adalah bakteri yang dapat ditemukan pada hampir semua media alami dan tahan terhadap senyawa yang bersifat menghambat

(23)

11

pertumbuhan bakteri lain sehingga mudah diisolasi. Bakteri ini mampu mendominasi daerah rizosfer dan berkembang sangat cepat, bersifat gram negatif, motil, aerob/fakultatif anaerob (Pelczar dan Chan 1986). Pseudomonas sp. banyak dilaporkan sebagai penghasil fitohormon dalam jumlah besar khususnya Indole Acetic Acid (IAA). IAA merupakan hormon pertumbuhan kelompok auksin yang berguna untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Auksin berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan sel batang, menghambat proses pengguguran daun, merangsang pembentukan buah, serta merangsang pertumbuhan kambium dan menghambat pertumbuhan tunas ketiak (Tjondronegoro et al. 1989). Pseudomonas sp. juga diketahui dapat memproduksi asam salisilat yang mampu mengendalikan virus nekrotik tembakau (Tobacco Necrotic Virus/TNV) pada tembakau (Maurhofer et al. 1994).

Genus Bacillus merupakan kelompok bakteri yang sering diteliti untuk pengembangan secara komersial karena dapat menghasilkan endospora yang mampu bertahan dalam waktu lama dan toleran terhadap suhu dan pH ekstrim (Blackman et al. 1997 dalam Zehnder et al. 2000). Bakteri ini dimasukkan kedalam divisi Bakteria, klas Shizomycetes, ordo Eurobakteria dan famili Bacilliaceae (Hadioetomo 1985). Sifat bakteri ini adalah berbentuk batang, bersifat gram positif, motil, mampu membentuk endospora, menghidrolisa karbohidrat, mampu tumbuh pada suhu 5°C-55°C dan pH 5.6. Keunggulan Bacillus jika dibandingkan dengan bakteri antagonis lain adalah bakteri ini mampu menghasilkan endospora yang tahan terhadap suhu yang tinggi dan rendah, pH yang ekstrim, dan waktu penyimpanan yang lama. Menurut (Zehnder et al 2000) B. pumilis strain INR-7 dapat mengurangi gejala layu bakteri pada tanaman mentimun. Timmusk et al. ( 1999) melaporkan bahwa Bacillus sp. dapat menghasilkan hormon kelompok sitokinin. Sitokinin dapat memacu pembelahan sel, mendorong diferensiasi tajuk pada kultur jaringan, mendorong pertumbuhan tunas samping dan perluasan daun, perkembangan kloroplas, menunda penuaan daun, dan bersama IAA, sitokinin dapat merangsang pembelahan sel secara cepat (Tjondronegoro et al. 1989). Banyak dilaporkan juga bahwa Bacillus sp. dapat memfiksasi nitrogen dan melarutkan fosfat serta memproduksi antibiotik (Kloeper et al. 2004).

(24)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari hingga November 2009 di lahan petani yang terletak di Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Deteksi dan diagnosis penyakit dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri P.

fluorescens PG01 dan B. polymixa BG25 yang merupakan koleksi Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman. Bahan tanaman uji yang digunakan adalah cabai besar IPB C5, cabai rawit IPB C10 yang berasal dari Laboratorium Pemuliaan

Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikulturadan cabai keriting varietas Kopay

yang didapat dari petani Payakumbuh, Sumatera Barat.

Metode Pembuatan Suspensi Bakteri

Biakan murni bakteri diambil sebanyak 1 sampai 3 loop dari stok awal dan

digoreskan pada media untuk diremajakan. Bakteri kelompok Pseudomonas sp.

dibiakkan pada media King’s B dan bakteri kelompok Bacillus sp. dibiakkan pada

media Tryptic Soy Agar (TSA). Bakteri yang telah diremajakan diinkubasi pada suhu

ruangan selama 48 jam. Sebanyak 15 loop biakan murni yang didapat diencerkan dalam 100 ml NaCl 0,85% sehingga didapat suspensi bakteri (stok) dengan kepadatan

rata-rata masing-masing 1012 cfu/ml untuk Bacillus dan 1013 cfu/ml untuk

Pseudomonas (Jamaliah 2005). Setelah diperoleh suspensi stok bakteri, dilakukan pengenceran secara bertingkat sehingga didapat suspensi bakteri dengan kepadatan

(25)

13

didapat suspensi kombinasi kedua bakteri tersebut (PG01 dan BG25) dengan kepadatan yang sama.

Persiapan Lahan

Percobaan dilakukan pada lahan seluas 500 m2 di lahan petani Desa Cibatok I. Lahan tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok. Dari setiap kelompok dibagi lagi menjadi empat petak utama, sesuai dengan perlakuan bakteri yang digunakan yaitu bakteri P. fluorescens (PG01), B. polymixa (BG25), campuran PGPR (PG01+BG25), dan tanpa perlakuan PGPR. Pengacakan taraf pertama dilakukan untuk menempatkan taraf pemberian suspensi bakteri ke dalam petak utama. Setiap dua belas petak utama (empat petak utama dari tiga kelompok) dibagi kedalam tiga anak petak, sesuai dengan taraf genotipe yang digunakan yaitu IPB C10, IPB C5, dan Kopay. Penempatan taraf faktor genotipe ke dalam setiap petak utama dilakukan secara acak. Tanaman uji yang ditanam pada tiap anak petak terdiri dari 20 tanaman, sehingga terdapat total 720 tanaman uji.

Tahapan yang dilakukan dalam persiapan lahan ini dimulai dengan pengolahan tanah secara konvensional. Pengolahan tanah ini bertujuan untuk mendapatkan tanah yang gembur yang sesuai untuk perkembangan akar tanaman, serta menstabilkan peredaran air, udara, dan suhu di dalam tanah (Prajanta 2002).

Selain pengolahan lahan secara konvensional dilakukan pula penyiapan bedengan dan pemasangan mulsa. Pembuatan bedengan dilakukan dengan cangkul, tali plastik, dan patok agar rapi. Setelah menentukan ukuran bedengan, dilakukan penggalian selokan disekeliling bedengan dan tanah galian tersebut dibuang ke atas bedengan. Tanah tersebut kemudian diratakan. Setelah bedengan rapi, dilakukan pemberian pupuk dasar. Pupuk dasar ini terdiri atas pupuk kandang dan pupuk buatan. Setelah pemupukan dasar dilakukan, bedengan siap ditutup dengan mulsa plastik. Lebar mulsa yang digunakan dalam percobaan sesuai dengan lebar bedengan yaitu 70 x 50 cm. Mulsa yang dipakai adalah mulsa plastik hitam perak. Pemasangan mulsa dimulai pada salah satu ujungnya dengan cara dijepit menggunakan pasak dari

(26)

bambu yang dilengkungkan (membentuk huruf U). Setelah pemasangan mulsa selesai maka dilanjutkan dengan pelubangan mulsa. Proses pelubangan dilakukan tiga hari menjelang bibit dipindah tanam. Cara untuk membuat lubang tanam yaitu dengan menggunakan kaleng bekas susu yang salah satu ujungnya telah digunting, kemudian diisi arang yang sudah membara ke dalam kaleng tersebut. Kaleng ditempelkan kepermukaan mulsa plastik yang sudah ditandai untuk lubang tanam.

Perlakuan PGPR

Benih cabai yang sebelumnya telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam suspensi bakteri dengan kepadatan 106cfu/ml dan dibiarkan selama 10 jam pada suhu ruang. Sebagai perlakuan kontrol, benih cabai direndam dalam 10 ml NaCl 0,85% selama 10 jam.

Benih yang telah direndam disebar pada baki semai yang berisi media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:2 (v/v). Empat minggu setelah sebar bibit dipindah tanam ke lahan.

Satu minggu setelah tanam (MST), dilakukan penyiraman suspensi bakteri dengan kepadatan 109cfu sebanyak 100 ml per tanaman. Penyiraman dilakukan kembali pada 1,3, dan 6 minggu setelah tanam (MST). Pemupukan dilakukan pada saat tanaman berumur lima minggu dengan pupuk majemuk NPK (15-15-15) dengan dosis 5 g/tanaman.

Pengamatan Pertumbuhan, Produksi Tanaman, dan Kejadian Penyakit

Peubah pengamatan terkait pertumbuhan vegetatif, yaitu: tinggi tanaman, jumlah cabang, dan jumlah daun, diukur mulai 1 hingga 8 MST. Peubah pengamatan terkait produksi tanaman, yaitu bobot buah/tanaman dan jumlah buah/tanaman diukur pada 13 MST.

Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setiap minggu, dengan cara mengukur tinggi tanaman mulai dari kotiledon sampai pucuk tertinggi. Jumlah cabang diukur dengan menghitung cabang utama yang berada di atas batang utama dan cabang sekunder yang berada di atas cabang utama. Pengamatan tersebut dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman.

(27)

15

Laju pertambahan jumlah daun, jumlah cabang, dan tinggi tanaman dihitung dengan rumus :

Laju pertambahan = P(n+1)-P(n) Keterangan :

P = jumlah daun, jumlah cabang, tinggi tanaman N = waktu pengamatan minggu ke-1,2,…

Pengamatan penyakit penting (layu bakteri, antraknosa, mosaik dan belang) dilakukan dengan menghitung kejadian penyakit. Kejadian penyakit dihitung berdasarkan proporsi tanaman yang terinfeksi patogen dalam suatu populasi tanaman, tanpa memperhitungkan berat atau ringannya tingkat serangan dengan rumus:

KP = n/N x 100% Keterangan :

KP = Kejadian penyakit (%)

n = jumlah tanaman yang terinfeksi penyakit N = jumlah seluruh tanaman atau buah

Deteksi dan Isolasi Cendawan dan Bakteri

Isolasi penyebab penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan cendawan masing-masing menggunakan media yang berbeda. Isolasi cendawan menggunakan media potato dextrose agar (PDA) sedangkan isolasi bakteri menggunakan media TSA. Isolasi cendawan dari buah yang menunjukkan gejala dilakukan untuk memastikan adanya infeksi Colletotrichum. Buah cabai yang menunjukkan gejala antraknosa di bersihkan dengan alkohol 70% hingga merata, kemudian dipotong jaringannya. Potongan tersebut dicelupkan kedalam larutan sodium hipoklorit 75%, lalu dikeringkan diatas tissue atau kertas serap steril, selanjutnya potongan tersebut diletakkan ke dalam cawan petri yang telah berisi media PDA. Setelah kurang lebih 2 hari, diamati pertumbuhan miselia, selanjutnya miselia yang terdapat dalam media diambil koloninya untuk diamati dibawah mikroskop.

Untuk mendeteksi penyebab penyakit layu bakteri tahapan kerja yang dilakukan dimulai dengan : mengambil bagian tanaman yang menunjukkan gejala

(28)

layu. Bagian yang diisolasi yaitu batang yang dekat dengan bagian akar tanaman. Setelah dibersihkan dengan alkohol 70% bagian jaringan tersebut dipotong kecil-kecil. Selanjutnya potongan tersebut diletakkan kedalam cawan petri yang telah berisi media TSA. Setelah 28 jam media TSA yang telah ditumbuhui oleh koloni bakteri diamati bentuk dan warna koloninya.

Deteksi Virus dengan Metode Double Antibody Sandwich - Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS-ELISA)

Deteksi virus pada tanaman cabai uji dilakukan dengan metode DAS- ELISA (Clark dan Adams 1997). Tahapan deteksi diawali dengan mengambil secara individual daun kedua, ketiga dan keenam dari tiap-tiap tanaman uji sebanyak 0,1 g. Selanjutnya, daun dimasukkan ke dalam plastik gerus dan disimpan dalam lemari pendingin (-80oC) sampai siap untuk pengujian.

Antiserum dipersiapkan dan dicampur dengan coating buffer (pH 9,6). Antiserum yang digunakan adalah ChiVMV (1:1000), CMV (1:1000), dan TMV (1:100). Tiap sumuran diisi dengan antiserum 100 µl. Plat ELISA yang telah terisi diinkubasi selama satu malam pada suhu 4oC. Setelah itu plat dicuci dengan menggunakan phosphate buffer saline tween (PBST) sebanyak 5 kali. Selanjutnya sumuran diisi dengan 100 µl sap tanaman terinfeksi dicampur dengan general extract buffer (pH 7,4) dengan perbandingan 1:5 (b/v). Plat ELISA diinkubasi selama satu malam, kemudian dicuci kembali dengan PBST sampai 5 kali.

Setiap sumuran kemudian diisi dengan enzim konjugat (alkaline phosphate conjugate, sigma) sebanyak 100 µl dengan perbandingan 1:1000 (v/v) dan diinkubasi selama 2-4 jam pada suhu 37oC. Plat ELISA kembali dicuci seperti sebelumnya.

Setiap sumuran selanjutnya diisi dengan 100 µl larutan PNP (para nitriphenil phosphate) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30-60 menit sambil diamati perubahan warna yang terjadi yaitu berubah warna menjadi kuning. Apabila larutan telah berwara kuning maka reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 µl NaOH 3 M untuk tiap sumuran. Analisis hasil ELISA secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan ELISA reader dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 405 nm. Hasil analisis kuantitatif dengan ELISA reader, digunakan sebagai penentuan

(29)

17

reaksi positif dan negatif. Jika nilai absorbansi sampel yang diperoleh lebih besar atau sama dengan 2 kali kontrol negatif maka hasil uji tersebut dinyatakan positif.

Rancangan Percobaan

Percobaan disusun dalam rancangan petak terbagi (split plot design) secara acak kelompok dengan perlakuan bakteri sebagai petak utama dan genotipe sebagai anak petak. Empat taraf petak utama yaitu perlakuan PGPR isolat PG01, BG25, PG01+BG25, dan perlakuan tanpa PGPR sebagai pembanding. Tiga taraf anak petak yaitu IPB C10, IPB C5, dan Kopay. Pada percobaan terdapat 12 kombinasi perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan, sehingga terdapat 36 satuan percobaaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman, dengan jumlah keseluruhan adalah 720 tanaman uji.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis dengan menggunakan program SAS for Windows v 9.1melalui Analisys of Variance (ANOVA). Apabila data menunjukkan pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% (ά = 0,05).

(30)

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Tinggi Tanaman

Bakteri perakaran pemacu pertumbuhan (PGPR) yang diaplikasikan pada tanaman umumnya dapat memberikan pengaruh dalam menginduksi pertumbuhan dan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen. Pengaruh induksi ketahanan ini terlihat pada pengamatan persentase kejadian penyakit pada masing-masing perlakuan dan genotipe cabai. Karakter pertumbuhan tanaman yang mendapat perlakuan PGPR pun secara umum pertumbuhannya lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan PGPR. Hal ini dikarenakan PGPR mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman secara langsung melalui hormon-hormon pertumbuhan yang dihasilkan seperti Giberelin (GAs) dan indole 3-acetic acid (IAA). Disamping itu PGPR juga mampu mensintesis sitokonin dan beberapa fitohormon lain (Nelson 2004).

Secara umum rata-rata tinggi tanaman yang diberi perlakuan PGPR menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Lampiran 1). Hal ini mengindikasikan bahwa PGPR mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman cabai. Namun demikian, tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Selanjutnya analisis statistik dilakukan secara terpisah untuk perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Pengaruh perlakuan PGPR mulai tampak pada 6 MST. Pada umur 6-8 MST semua perlakuan PGPR menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan tanpa PGPR, walaupun perlakuan masing-masing PGPR baik P. fluorescens (PG01), B. polymixa (BG25), maupun campuran keduanya (PG01+BG25) tidak menunjukkan perbedaaan yang nyata terhadap tinggi tanaman cabai (Tabel 1).

(31)

19

Tabel 1 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap tinggi tanaman cabai Waktu pengamatan

(MST)

Tinggi tanaman (cm) pada tiap perlakuan PGPR PG 01 BG 25 PG01+BG25 Tanpa PGPR

1 8,39ab 8,17ab 8,74a 7,96b

2 17,01ac 17,49ab 17,85a 16,58c

3 28,25ab 29,64a 30,88a 25,64b

4 38,95b 39,63b 44,25a 36,16b

5 49,69ab 50,42ab 55,95a 45,61b

6 60,14a 59,35a 65,48a 52,53b

7 69,45ab 67,88b 74,40a 58,84c

8 78,93ab 75,54b 84,05a 65,97c

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Masing-masing genotipe (IPB C5, IPB C10, dan Kopay) memiliki potensi yang berbeda untuk sifat tinggi tanaman. Pengaruh genotipe cabai terhadap tinggi tanaman terlihat berbeda nyata mulai 4 MST (Lampiran 1). Di akhir pengamatan genotipe Kopay dan IPB C5 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua genotipe lainnya ,IPB C5 dan IPB C10 (Tabel 2).

Tabel 2 Pengaruh genotipe cabai terhadap tinggi tanaman cabai Waktu pengamatan

(MST)

Tinggi tanaman (cm) pada tiap genotipe*

IPB C10 IPB C5 Kopay

1 8,69a 7,65b 8,60a

2 17,13a 16,90a 17,68a

3 27,24b 28,52ab 30,06a 4 36,74b 40,05a 42,45a 5 46,58c 50,60b 54,07a 6 54,59b 60,06a 63,48a 7 62,41b 68,56a 71,95a 8 70,82b 77,32a 80,22a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

(32)

Gambar 1 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan tinggi tanaman cabai

Laju pertambahan tinggi tanaman menunjukkan pola yang sama untuk perlakuan PGPR. Laju pertambahan tinggi tanaman meningkat hingga minggu terakhir pengamatan (8 MST). Berbeda dengan perlakuan PGPR, laju pertambahan tinggi tanaman tanpa PGPR meningkat hingga minggu ke 5 kemudian menurun pada minggu ke 6 dan meningkat lagi pada minggu ke 7. Perlakuan PGPR menyebabkan laju pertambahan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Gambar 1).

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Cabang Perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe cabai memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada jumlah cabang ( Lampiran 2). Namun tidak ada pengaruh yang nyata untuk interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe terhadap jumlah cabang. Analisis statistik dilakukan secara terpisah untuk mengkaji pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Perbedaan mulai tampak pada saat tanaman berumur 4 MST (Tabel 3). Jumlah cabang pada perlakuan PGPR baik tunggal maupun campuran, lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa PGPR. Pada akhir pengamatan, tanaman dengan perlakuan PGPR memiliki jumlah cabang mencapai 6.36 untuk PG01, 7.03 untuk BG25, dan 7.30 untuk campuran PGPR (PG01+BG25), sementara tanaman dengan perlakuan tanpa PGPR hanya mencapai 4,87 cabang.

(33)

21

Tabel 3 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah cabang tanaman cabai Waktu pengamatan

(MST)

Jumlah cabang pada tiap perlakuan PGPR* PG 01 BG 25 PG01+BG25 Tanpa PGPR

1 1,00a 1,00a 1,00a 1,00a

2 1,00a 1,00a 1,00a 1,00a

3 1,48a 1,48a 1,54a 1,34a

4 3,23b 3,40ab 3,83a 2,62c

5 4,43a 5,00a 5,23a 3,45b

6 6,36a 7,03a 7,30a 4,87b

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah cabang terlihat berbeda nyata mulai 4 MST (Lampiran 9). Jumlah cabang yang dimiliki genotipe IPB C5 dan Kopay tidak berbeda nyata selama 6 minggu pengamatan, tetapi berbeda nyata dengan genotipe IPB C10 (Tabel 4). Diantara ketiga genotipe, IPB C10 memiliki jumlah cabang paling rendah yaitu sebesar 6,09.

Tabel 4 Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah cabang tanaman cabai Waktu pengamatan

(MST)

Jumlah cabang pada tiap genotipe*

IPB C10 IPB C5 Kopay

1 1,00a 1,00a 1,00a

2 1,00a 1,00a 1,00a

3 4,63a 5,01a 4,49a

4 2,98b 3,46a 3,32a

5 4,24b 4,65a 4,61a

6 6,09b 6,52a 6,44a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Laju pertambahan jumlah cabang menunjukkan pola yang sama untuk perlakuan PGPR maupun tanpa PGPR. Laju pertambahan jumlah cabang meningkat pesat hingga minggu ke-3 kemudian menurun pada minggu ke-4 dan meningkat lagi pada minggu ke-5. Perlakuan PGPR menyebabkan laju pertambahan jumlah cabang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Gambar 2).

(34)

Gambar 2 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah cabang tanaman cabai

Penurunan laju pertambahan jumlah cabang pada minggu ke empat disebabkan oleh adanya gangguan lingkungan saat di lapangan yang menyebabkan cabang tanaman menjadi patah. Perlakuan campuran PGPR lebih berpengaruh terhadap laju pertambahan jumlah cabang karena adanya kombinasi kedua PGPR. Pseudomonas sp. merupakan penghasil fitohormon dalam jumlah yang besar khususnya IAA untuk merangsang pertumbuhan (Asghar et al. 2004), sedangkan B. polymixa menghasilkan hormon sitokinin (Timmusk et al. 1999), jika bersama IAA, sitokinin dapat merangsang pembelahan sel secara cepat.

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Daun

Pengamatan terhadap jumlah daun menunjukkan bahwa perlakuan PGPR tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe. Walaupun demikian, jumlah daun cenderung lebih tinggi pada tanaman yang diberi perlakuan PGPR (Tabel 5).

(35)

23

Tabel 5 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah daun cabai Waktu pengamatan

(MST)

Jumlah Daun pada tiap perlakuan PGPR*

PG 01 BG 25 PG01+BG25 Tanpa PGPR

1 3,47b 5,30ab 4,12ab 6,04a

2 7,409a 7,80a 7,19a 8,34a

3 13,09a 14,76a 15,69a 16,06a

4 31,94a 34,80a 46,38a 31,29a

5 55,07a 49,41a 66,71a 47,47a

6 93,75a 81,15a 93,76a 70,57a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Masing-masing genotipe cabai memiliki potensi genetik yang bervariasi untuk sifat jumlah daun. Perbedaan jumlah daun yang nyata antar genotipe terjadi pada 4 MST (Tabel 6). Pada akhir pengamatan (6 MST) genotipe Kopay memiliki jumlah daun tertinggi (93 helai daun) diikuti berturut-turut oleh IPB C5 (85 helai daun) dan IPB C10 (74,81 helai daun).

Tabel 6 Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah daun cabai Waktu pengamatan

(MST)

Jumlah daun pada tiap genotipe*

IPB C10 IPB C5 Kopay

1 4,63b 5,05a 4,52b

2 7,84ab 7,98a 7,22b

3 14,02a 15,28a 15,26a

4 30,45c 36,37b 41,05a

5 46,58b 56,50a 60,19a

6 74,81b 85,82a 93,48a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Pola laju pertambahan jumlah daun meningkat pesat pada 2 hingga 3 MST, kemudian pada 4 MST laju pertambahan jumlah daun menurun tetapi jumlah daun meningkat lagi pada 5 MST (Gambar 3). Perlakuan campuran PGPR (PG01+BG25) menyebabkan laju pertambahan jumlah daun yang tertinggi hingga 4 MST. Namun diakhir pengamatan perlakuan PGPR PG01 memiliki laju pertambahan jumlah daun tertinggi.

(36)

Gambar 3 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah daun tanaman cabai

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah dan Bobot Buah Cabai

Umur 13 MST adalah pada saat dilakukan pemanenan. Dari hasil pemanenan dapat dilakukan pengukuran bobot buah dan penghitungan jumlah buah. Pengukuran bobot buah bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemberian bakteri terhadap buah cabai. Dengan adanya pemberian bakteri diharapkan dapat meningkatkan mutu buah cabai baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penghitungan jumlah buah dilakukan untuk mengetahui jumlah buah dalam bobot buah per tanaman sehingga bisa diketahui kualitas buah cabai.

Perlakuan PGPR tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot buah dan jumlah buah cabai. Hal tersebut menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe, sehingga analisis statistik dilakukan secara terpisah untuk mengkaji pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Walaupun demikian, tanaman yang diberi perlakuan PGPR umumnya mampu memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibanding tanaman tanpa perlakuan PGPR (Tabel 7). Bobot dan jumlah buah tertinggi terdapat pada perlakuan PGPR PG01 dengan bobot buah sebesar 129,57 g/tanaman dengan jumlah 25 buah pertanaman. Hal ini

(37)

25

dikarenakan P. fluorescens dapat menghasilkan hormon auksin yang dapat merangsang pembentukan buah (Timmusk et al. 1999). Demikian pula dengan perlakuan PGPR campuran (PG01 + BG25), mampu menghasilkan buah dengan bobot dan jumlah yang lebih tinggi dibanding dengan tanpa PGPR. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan PGPR mampu mempengaruhi produksi buah.

Tabel 7 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah dan bobot buah cabai

Perlakuan Bobot Buah

(g/tanaman)* Jumlah Buah (buah/tanaman)* PG01 129,57a 25,69a BG25 95,28a 25,21a PG01+BG25 119,69a 25,46a

Tanpa PGPR 103,19a 24,57a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Genotipe memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot buah dan jumlah buah (Lampiran 21). Genotipe IPB C5 memiliki bobot buah terbesar yaitu 186,88 g/tanaman sedangkan genotipe IPB C10 memiliki bobot buah terkecil yaitu 39,00 g/tanaman. Sebaliknya, jumlah buah yang dihasilkan oleh genotipe IPB C10 memiliki nilai terbesar yaitu 25,90 buah/tanaman, sedangkan genotipe Kopay dan IPB C5 memiliki jumlah buah berturut-turut 25,76 dan 24,03 buah/tanaman (Tabel 8). Adanya perbedaan jumlah dan bobot buah yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh faktor genotipe dan jenis dari masing-masing genotipe tersebut. Genotipe yang memiliki nilai bobot tertinggi adalah genotipe IPB C5, yang merupakan jenis cabai besar, sedangkan genotipe IPB C10 menghasilkan jumlah buah terbanyak karena IPB C10 adalah genotipe yang termasuk dalam jenis cabai rawit.

(38)

Tabel 8 Pengaruh genotipe cabai terhadap bobot dan jumlah buah

Genotipe Bobot Buah

(g/tanaman)* Jumlah Buah (buah/tanaman)* IPB C10 39,00c 25,90a IPB C5 186,88a 24,03b Kopay 109,92b 25,76a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Rendahnya produksi cabai selain disebabkan oleh adanya infeksi patogen, juga disebakan oleh kurang baiknya cara budidaya tanaman yaitu dalam proses pemupukan. Kurang baiknya pemupukan tersebut mengakibatkan tanaman uji tumbuh tidak optimal bahkan cenderung mati. Selain itu, hasil panen yang didapat dihitung berdasarkan pada buah yang layak untuk dipasarkan (tidak terkena infeksi patogen).

Pengaruh Perlakuan PGPR terhadap Kejadian Penyakit Antraknosa

Gejala infeksi antraknosa pada tanaman cabai muncul pada saat tanaman mulai berbuah. Infeksi ini menyerang saat buah masih berwarna hijau hingga buah siap dipanen. Gejala yang muncul yaitu berupa bercak kecil berwarna hitam dan berlekuk, bercak tersebut lama kelamaan melebar dan dibagian tepi bercak berwarna kuning (Gambar 5).

(39)

27

Perlakuan PGPR tidak mampu menekan terjadinya infeksi Colletotrichum spp pada buah secara nyata dibanding tanpa perlakuan PGPR (Tabel 9). Buah terinfeksi Colletotrichum spp. pada tanaman tanpa perlakuan PGPR memilki nilai yang terendah yaitu 32.05%. Hal ini berbeda dengan pernyataan Sutariati (2005) yang menyatakan bahwa perendaman benih dengan PGPR dapat menekan kejadian penyakit antraknosa. Tingginya persentase jumlah buah terinfeksi pada perlakuan PGPR diakibatkan oleh keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Lingkungan pertanaman yang kurang bersih dan banyaknya genangan air akibat hujan, serta kondisi kelembaban yang relatif tinggi menyebabkan proses penyebaran konidia menjadi cepat. Selain itu Colletotrichum spp. juga dapat bertahan dalam sisa-sisa tanaman sakit yang jatuh di tanah dan selanjutnya akan menjadi sumber infeksi (Mulyaman 2009).

Tabel 9 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap persentase jumlah buah cabai terinfeksi Colletotrichum spp.

Perlakuan PGPR Jumlah buah (%)*

PG01 36,05a

BG25 37,06a

PG01+BG25 40,58a

Tanpa perlakuan PGPR 32,05a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Tiap genotipe cabai memiliki respon yang berbeda terhadap infeksi Colletotrichum spp (Tabel 10). Genotipe IPB C10 memiliki persentase jumlah buah terinfeksi lebih rendah (31,38%), diikuti oleh genotipe IPB C5 (37,80%) dan Kopay (40,12%). Persentase jumlah buah terinfeksi Colletotrichum spp. tertinggi terdapat pada genotipe Kopay. Besarnya jumlah infeksi dikarenakan kondisi cabang tanaman yang merunduk sehingga bagian tanaman tersebut berdekatan langsung dengan permukaan tanah. Kondisi ini menyebabkan daun dan buah genotipe tersebut terinfeksi Colletotrichum spp. melalui percikan air dan adanya sisa tanaman sakit.

(40)

Tabel 10 Pengaruh genotipe cabai terhadap persentase jumlah buah cabai terinfeksi Colletotrichum spp.

Perlakuan Genotipe Jumlah buah (%)*

IPB C10 31,38b

IPB C5 37,80ab

Kopay 40,12ab

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Pengaruh Perlakuan PGPR terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri

Gejala layu bakteri ditandai dengan adanya gejala layu yang terjadi secara tiba-tiba. Jika menginfeksi tanaman muda akan segera mati, dan jika menginfeksi tanaman yang lebih tua akan menunjukkan layu pada daun yang paling muda, atau layu pada satu bagian tanaman dan pertumbuhan terhambat dan akhirnya tanaman akan layu secara permanen kemudian mati (Schaad 2001) (Gambar 6).

Gambar 6 Gejala tanaman cabai yang terinfeksi layu bakteri

Perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap persentase jumlah tanaman yang terinfeksi layu bakteri(Lampiran 24). Persentase jumlah tanaman terinfeksi paling tinggi terjadi pada perlakuan PG01 dan BG25, sedangkan perlakuan campuran PGPR (PG01+BG25) menyebabkan persentase jumlah tanaman yang terinfeksi layu menjadi rendah (Tabel 11).

Perlakuan campuran dapat menekan infeksi layu bakteri, dikarenakan adanya kombinasi kedua PGPR dimana Bacillus spp. dan P. fluorescens disamping menghasilkan antibiosis juga mempunyai kemampuan yang tinggi

(41)

29

dalam mengkolonisasi akar tanaman, sehingga kombinasi PGPR tersebut mampu berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan patogen.

Tabel 11 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah tanaman terinfeksi layu bakteri

Perlakuan PGPR Jumlah tanaman (%)*

PG01 15a

BG25 18a

PG01+BG25 10a

Tanpa perlakuan PGPR 18a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Gejala infeksi layu bakteri pada tanaman cabai mulai terlihat saat tanaman berumur 3MST (Lampiran 11). Layu bakteri banyak menyerang genotipe IPB C5, dibandingkan kedua genotipe yang lainnya (Tabel 12). Jika dilihat dari karakteristik genotipe, genotipe IPB C5 adalah genotipe yang tahan terhadap infeksi layu bakteri, tetapi pada hasil percobaan di lapangan genotipe ini paling banyak terkena infeksi layu bakteri. Hal ini diduga karena adanya luka pada tanaman saat pindah tanam (transplanting). Luka pada tanaman disebabkan oleh keadaan tanah yang kering dan keras pada saat pindah tanam. Meskipun tanah sebelumnya telah mengalami proses penggemburan dan pemberian bahan organik, tanah tersebut kembali mengeras karena faktor kondisi cuaca. Akibatnya, terjadi penghambatan pada pembentukan akar tanaman sehingga mengakibatkan adanya luka pada sistem perakaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Parker et al.(1983) yang menyatakan bahwa infeksi dari layu bakteri bisa memasuki akar melalui luka yang terbentuk saat pindah tanam, kegiatan budidaya, serangga, nematoda atau luka alami ketika akar sekunder terbentuk.

(42)

Tabel 12 Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah tanaman terinfeksi layu bakteri

Perlakuan Genotipe Jumlah tanaman (%)*

IPB C10 13a

IPB C5 19a

Kopay 12a

*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Kejadian Infeksi Virus pada Tanaman Cabai

Gejala infeksi yang disebabkan oleh virus mulai terlihat pada saat tanaman berumur 8 MST (Lampiran 30). Secara umum gejala yang ditunjukkan adalah gejala mosaik, vein banding dan adanya penebalan daun. Infeksi tidak hanya menyebabkan pengurangan dalam hasil panen, tetapi juga mengakibatkan kerusakan tanaman. Infeksi CMV dapat menyebabkan kerugian hasil panen pada tujuh kultivar cabai berkisar 32 sampai 75% (Sulyo et al. 1984), sedangkan infeksi oleh TMV dapat menyebabkan kehilangan hasil berkisar 20,5 % sampai 100% (Sutic et al. 1999). Kehilangan hasil panen yang disebabkan oleh infeksi ChiVMV berkisar antara 9 sampai 57% (Santika 2001).

Persentase jumlah tanaman terinfeksi yang paling tinggi terjadi pada perlakuan tanpa PGPR jika dibandingkan dengan tanaman yang diberi perlakuan PGPR. Perlakuan PG01 dan campuran PGPR memiliki persentase jumlah tanaman terinfeksi yang rendah dibanding dengan perlakuan BG25 (Tabel 13).

(43)

31

Tabel 13 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap infeksi virus di lapangan berdasarkan pengamatan gejala

Perlakuan PGPR Genotipe Kejadian penyakit (%)

PG 01 IPB C10 10 IPB C5 16,67 Kopay 16,67 BG 25 IPB C10 16,67 IPB C5 20 Kopay 16,67 PG01+BG25 IPB C10 13,33 IPB C5 16,67 Kopay 20 Tanpa PGPR IPB C10 33,33 IPB C5 26,67 Kopay 20

Tabel 14 Pengaruh perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe cabai terhadap infeksi virus CMV,ChiVMV dan TMV berdasarkan ELISA

Perlakuan PGPR Genotipe Kejadian penyakit (%)

CMV ChiVMV TMV PG 01 IPB C10 66,67 0 0 IPB C5 66,67 0 33,33 Kopay 66,67 0 0 BG 25 IPB C10 66,67 33,33 0 IPB C5 66,67 0 0 Kopay 66,67 0 66,67 PG01+BG25 IPB C10 33,33 0 0 IPB C5 66,67 0 0 Kopay 33,33 0 0 Tanpa PGPR IPB C10 33,33 0 0 IPB C5 33,33 33,33 0 Kopay 33,33 0 0

Gambar

Tabel 1  Pengaruh perlakuan PGPR terhadap tinggi tanaman cabai  Waktu pengamatan
Gambar  1  Pengaruh  perlakuan  PGPR  terhadap  laju  pertambahan  tinggi  tanaman  cabai
Tabel 3  Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah cabang tanaman cabai  Waktu pengamatan
Tabel 5  Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah daun cabai  Waktu pengamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hampir seluruh pemodelan pembentukan matriks pada sistem kelistrikan secara tidak lansung memanfaatkan teori graf, graf memanfaatkan adanya node-node dan cabang-cabang

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH PENGGUNAAN PONSEL PADA REMAJA TERHADAP INTERAKSI SOSIAL REMAJA (KASUS SMUN 68, SALEMBA JAKARTA PUSAT, DKI

Berdasarkan analisis faktor konfirmatori, di- peroleh hasil bahwa kemampuan masyarakat dalam menyebutkan RS Tadjuddin Chalid seba- gai RS untuk penderita kusta, untuk

Hasil uji validitas nilai KMO dan loading factor variabel dimensi relasional modal sosial, dimensi kognitif modal sosial, budaya klan, dan kinerja peran ekstra sebagai

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan umum dimana penggunaan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar siswa saat

Bidang perniagaan ini terus berkembang maju dan mendapat satu wajah baru dalam lingkungan tahun 1980an apabila Syarikat Elpar Herbs ditubuhkan dan mengeluarkan produk

Agroindustri daging sapi merupakan suatu kegiatan ekonomi, karena berhubungan dengan biaya – biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi untuk

Untuk sektor pemerintahan dan usaha yang sifatnya tidak mencari keuntungan, surplus usaha (bunga neto, sewa tanah dan keuntungan) tidak diperhitungkan.