• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh konsentrasi tween 80 sebagai penetration enhancer pada formulasi mikroemulsi ekstrak tempe dengan metode Franz Diffusion Cell - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh konsentrasi tween 80 sebagai penetration enhancer pada formulasi mikroemulsi ekstrak tempe dengan metode Franz Diffusion Cell - USD Repository"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONSENTRASI TWEEN 80 SEBAGAI PENETRATION ENHANCER PADA FORMULASI MIKROEMULSI EKSTRAK TEMPE

DENGAN METODE FRANZ DIFFUSION CELL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Chrisilia Cahyani

NIM : 108114136

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PENGARUH KONSENTRASI TWEEN 80 SEBAGAI PENETRATION ENHANCER PADA FORMULASI MIKROEMULSI EKSTRAK TEMPE

DENGAN METODE FRANZ DIFFUSION CELL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Chrisilia Cahyani

NIM : 108114136

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Aku bersyukur kepada-Mu, sebab Engkau telah menjawab aku dan telah menjadi

keselamatanku (Mazmur 118:21)

Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu

( 1 Petrus 5 :7)

Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia : Bagi Dialah

kemuliaan sampai selama-lamanya! ( Roma 11:36)

Kupersembahkan untuk :

Tuhan Yesus, Papa, Mama , Mbak Tika, Dek Putri,

Sahabat-sahabatku,

(6)

v

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas berkat dan kasih karunia-Nya yang

melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitan serta penyusunan skripsi

yang berjudul “Pengaruh Konsentrasi Tween 80 Sebagai Penetration Enhancer

Pada Formulasi Mikroemulsi Ekstrak Tempe Dengan Metode Franz Diffusion Cell

“ yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

(S.Farm.) Progam Studi Farmasi, Universitas Sanata Dharma , Yogyakarta.Dalam

pelaksanan penelitian, penyusunan skripsi hingga penyelesaian skripsi ini, penulis

mendapatkan bantuan dan dukungan dari banyak pihak, skripsi ini dapat

diseleseikan dengan baik, untuk itu penuli ingin mengucapkan terima kasih kepada

1. Fx. Sutopo Broto dan Juli Indrajani, Attrika Windaresti Cahyani dan Maria

Florence Cahya Putri atas dukungan dan semangat kepada penulis selama

proses penelitian hingga penyusunan naskah skripsi.

2. Aris Widayati,M.Si.,Ph.D, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta

3. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing dan Kepala

laboratorium, atas masukan, bimbingan, kritik, saran, dan bahan penelitian

yang diberikan kepada penulis.

4. C. M. Ratna Rini Nastiti, M. Pharm., Apt. selaku dosen penguji dan juga

atas saran serta dukungan yang membangun.

5. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen penguji dan juga atas saran serta

(7)

vi

6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

yang telah membagikan ilmu serta pengalaman selama perkuliahan.

7. Djanuar Davidzon Pah yang selalu setia memberi perhatian, kritik maupun

saran serta dukungan dan semangat kepada penulis selama proses

penelitian hingga penyusunan naskah skripsi.

8. Pak Wagiran, Pak Musrifin, Pak Heru, Pak Parlan, Mas Bimo, Mas Kunto,

Mas Agung, serta laboran lain atas segala bantuan yang telah diberikan

kepada penulis.

9. Kelvin, Bakti, Eliza, Nessya, Sefi, Cindy, Tere, Jessi, Mega, teman-teman

satu kelompok praktikum dan kelompok presentasi, teman-teman FSM C

2010, FST B 2010 dan seluruh angkatan 2010 atas kebersamaan yang indah

dan keceriaannya selama ini.

10.Serta semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat disebutkan

satu per satu.

Tidak ada hal yang sempurna di dalam hidup ini maka dari itu penulis

menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun dan menjadi

pembelajaran bagi penulis untuk menjadi lebih baik. Penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 3 Juni 2014

(8)
(9)
(10)
(11)

x

B. Aging ...

C. Isoflavon dan Tempe ...

D. Enhancer ...

E. Mikroemulsi...

F. Absorpsi Perkutan...

G. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi...

H. Virgin Coconut Oil...

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...

A. Jenis dan Rancangan Penelitian...

B. Variabel Penelitian...

2. Standarisasi Ekstrak Tempe ...

(12)

xi

a. Pembuatan fase gerak...

b. Pembuatan larutan baku genistein...

c. Penetapan panjang gelombang maksimum...

d. Penetapan kurva ekstrak tempe ...

3. Orientasi dan Formulasi Mikroemulsi ...

a. Formula...

b. Pembuatan Mikroemulsi Ekstrak Tempe ...

4. Uji Stabilitas Fisik...

a. Uji Organoleptis dan pH...

b. Uji Viskositas...

c. Uji Pengukuran Droplet Size...

d. Cycling test...

5. Uji Permeasi Franz Diffusion Cell...

a. Pembuatan PBS pH 7,4 konsentrasi 0,15 M ( sebagai

medium kompartemen aseptor)...

b. Pembuatan NaCl 9 % Fisiologis...

c. Preparasi sel difusi dengan membran kulit mencit...

d. Uji in-vitro dengan menggunakan Franz-cell

modifikasi...

6. Analisis statistik nilai fluks genistein yang

terpenetrasi...

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...

(13)

xii

B. Standarisasi Ekstrak Tempe...

1. Pembuatan Fase Gerak...

2. Pembuatan Kurva Baku...

3. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum Genistein...

4. Penetapan Kadar dengan High Perfomance Liquid

Chromatograpy (HPLC)...

a. Analisis Kualitatif...

b. Analisis Kuantitatif...

C. Orientasi dan Formulasi Komposisi Mikroemulsi Ekstrak

Tempe...

D. Uji Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Mikroemulsi...

1. Uji Organoleptis dan pH...

2. Uji Viskositas...

3. Uji Pengukuran Droplet Mikroemulsi......

4. Cycling Test...

E. Uji Penetrasi Genistein dengan Franz Diffusion Cell Modifikasi..

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...

(14)

xiii

Fase Diam pada Sistem Kromatografi...

Fase Gerak pada Sistem Kromatografi...

Komponen VCO...

Formula Mikroemulsi Ekstrak Tempe...

Data Kurva Baku Genistein...

Kadar Genistein Dalam Ekstrak Etanolik Tempe Yang

Sudah Mengalami Fraksinasi Bertingkat...

Data Uji Sifat Fisik dan Stabilitas Mikroemulsi Ekstrak

Tempe Formula I hingga Formula III...

Nilai Fluks, Koefisien Difusifitas Dan Jumlah Kumulatif

Genistein Dari Sediaan Mikroemulsi Yang Mengandung

(15)

xiv

Jalur Umum Senyawa Dalam Menembus Kulit ...

Struktur Isoflavon Aglikon...

Grafik Hubungan antara Profil Jumlah Kumulatif Genistein

yang terpenetrasi dari Formula I – III... Grafik hubungan Fluks rata-rata Genistein yang

(16)

xv

Skema Pembuatan Seri Larutan Baku...

Perhitungan Seri Baku Kadar Genistein...

Fraksinasi Genistein Dari Tempe...

Data Kromatogram Standarisasi Genistein Dari

Tempe...

Contoh Perhitungan Jumlah Genistein yang Terpenetrasi

Dari Sediaan Mikroemulsi Pada Menit ke-60...

Contoh Perhitungan Jumlah Genistein yang Terpenetrasi

Dari Sediaan Mikroemulsi Pada Menit ke-120...

Contoh Perhitungan Fluks Tiap Waktu Genistein dari

(17)

xvi

INTISARI

Fenomena aging atau penuaan dini tidak dapat terhindarkan. Salah satu penyebab aging adalah terpaparnya kulit oleh sinar ultraviolet (UV). Genistein merupakan senyawa yang dapat mencegah penuaan dini dengan mekanisme antioksidan. Genistein adalah isoflavon dalam bentuk aglikon dimana bentuk aglikon ini dapat dijumpai di produk fermentasi kedelai yakni tempe. Genistein memiliki kelarutan yang rendah dalam minyak. Sediaan mikroemulsi untuk penggunaan topikal dapat meningkatkan kelarutan genistein sehingga dapat terabsorpsi ke dalam kulit dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk formulasi mikroemulsi dari ekstrak tempe dan melihat pengaruh konsentrasi tween 80 sebagai

penetration enhancer dengan metode Franz Diffusion Cell.

Uji difusi dilakukan dengan membandingkan 3 formula dimana Formula I memiliki konsentrasi tween 80 : PEG 400 (1:1), Formula II memiliki konsentrasi tween 80 : PEG 400 (2:1), Formula III memiliki konsentrasi tween 80 : PEG 400 (3:1). Uji difusi menggunakan Franz Diffusion Cell, kadar kemudian diukur menggunakan HPLC. Kadar genistein yang terpenetrasi tiap jam dinyatakan sebagai nilai fluks. Nilai-nilai fluks tiap formula diuji statistik menggunakan

ANOVA. Hasil dari uji absorpsi perkutan menunjukkan tidak ada perbedaan antar formula.

(18)

xvii

ABSTRACT

The aging phenomenon can not be avoided. Skin aging is caused by exposured to ultraviolet light (UV). Genistein is a compound that can prevent aging by antioxidant mechanisms. Genistein which is in the aglycone form can be found in fermented soy product like tempeh. Genistein has a low solubility in oil. Microemulsion for topical use can increase the solubility of genistein that can be well absorbed into the stratum corneum. This study aimed to formulate microemulsion of tempeh extract and analyze the effect of tween 80 concentration as penetration enhancers by Franz Diffusion Cell.

There were three formulas which were used in diffusion test ; 1st Formula was consist of tween 80 : PEG 400 (1:1), 2nd Formula was consist of tween 80 : PEG 400 tween 80 : PEG 400 (2:1), 3rd Formula was consist of tween 80 : PEG 400 (3:1). The percutaneuous absorption test using Franz Diffusion Cell , the genistein level that permeate into the stratum corneum was measured using HPLC. The penetrated-genistein solute level was considered as flux time. Flux time values were statistically tested using ANOVA. The percutaneuos absorption test results showed there are no differences in each formula.

(19)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Aging didefinisikan sebagai suatu penurunan fungsi biologik pada

organisme. Aging tidak terhindarkan dan berjalan dengan kecepatan yang berbeda,

tergantung dari susunan genetik, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat

terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu

(Salavkar, Tamanekar,and Athawale, 2011). Penuaan dini dapat dilihat dari kulit

kering dan kasar, kulit berkerut, muncul noda-noda hitam pada kulit, kulit kusam,

dan tidak bercahaya.

Proses penuaan kulit dapat disebabkan oleh dua faktor yakni penuaan

intrinsik dan penuaan ekstrinsik. Proses penuaan intrinsik dapat disebabkan secara

fisiologis seperti faktor ras, hormonal, dan genetik. Proses penuaan pada kulit yang

disebabkan oleh faktor ekstrinsik dapat disebabkan oleh sinar ultraviolet (UVR),

merokok, infeksi, polusi udara, kelembaban udara dan faktor ekstrinsik lainnya

(Chuarienthong, Lourith, and Leelapornpisid, 2010). UVR dapat menyebabkan

perubahan pada kulit yakni sunburn, kanker kulit, dan photoaging (Jing-Yi,

Tournas, Burch, Monteire, and Zielinsk, 2007). Pemaparan UVR dapat

menghasilkan ROS (Reactive Oxygen Spesies) atau radikal bebas sehingga sel akan

diserang. Sel yang diserang ROS kemudian akan merusak membran lipid, protein

dan DNA selular dalam tubuh sehingga akan berakibat penuaan pada kulit yang jika

diamati secara visual akan terlihat kerutan pada epidermis dan mengalami

(20)

memproteksi kulit dari kerusakan oksidatif yang disebabkan pemaparan UVR

dalam jangka waktu yang panjang (Chuarienthong, Lourith, and Leelapornpisid,

2010). Kerusakan yang disebabkan oleh pemaparan UVR dapat diproteksi oleh

senyawa antioksidan. Menurut Cornwell et al.(cit., Chaiyavat, Kumar, Tipduangta,

and Rungseevijitprapa, 2010) Isoflavon adalah senyawa alami yang mempunyai

aktivitas antioksidan. Menurut Murphy et al. (cit., Lee, Renita, Fioritto, Martin,

Schwartz, and Vodovotz, 2004), Isoflavon yang ditemukan pada kedelai memiliki

beberapa bentuk yakni aglikon, β-glukosida, 6-O”-malonil-β-glukosida , 6-O” -asetil- β-glukosida. Bentuk glikosida terdapat pada kedelai yang tidak difermentasi

sedangkan bentuk aglikon terdapat pada kedelai yang sudah difermentasi, misalnya

tempe (Astuti, 2012). Dalam perkembangan sediaan kosmetik, isoflavon digunakan

dalam bentuk aglikon karena dalam kulit tidak terdapat enzim penghidrolisis

sehingga tidak dapat terpenetrasi hingga lapisan kulit yang lebih dalam misalnya

lapisan epidermis (Schmid and Zulli, 2002).

Menurut Berghofer et al. (cit., Chaiyavat, Kumar, Tipduangta, and

Rungseevijitprapa, 2010) Studi menunjukkan bahwa produk kedelai hasil

fermentasi tidak kehilangan aktivitas antioksidannya. Daya antioksidan meningkat

dibandingkan pada produk kedelai yang tidak difermentasi. Genistein memiliki

kelarutan yang rendah dalam minyak (Daniel and Zulli, 2002). Sediaan

mikroemulsi untuk penggunaan topikal dapat meningkatkan kelarutan genistein

yang rendah dalam minyak sehingga dapat terabsorpsi ke dalam kulit dengan baik.

Kelebihan mikroemulsi adalah mempunyai kestabilan dalam jangka waktu yang

(21)

pembuatan murah, daya kelarutan tinggi, serta mempunyai kemampuan

berpenetrasi yang baik (Agoes, 2009). Karakteristik tersebut membuat mikroemulsi

mempunyai peranan penting dalam formula untuk zat aktif yang tidak larut.

Salah satu komponen penyusun mikroemulsi adalah surfaktan, surfaktan

biasanya digunakan sebagai suspending agent, wetting agent,dan emulsifier.

Surfaktan juga memiliki efek terhadap permeabilitas membran biologis seperti kulit

sehingga dapat juga berfungsi sebagai penetration enhancer. Penggunaan

penetration enhancer dapat meningkatkan kelarutan suatu senyawa, surfaktan dapat

berfungsi juga sebagai penetration enhancer dengan mekanisme menembus ke

daerah diantara stratum korneum kemudian meningkatkan fluiditas dan melarutkan

komponen lipid atau masuk melalui jalur interseluler dan berikatan dengan filamen

keratin. Tween 80 merupakan surfaktan non-ionik polysorbate yang umumnya

digunakan sebagai penetration enhancer (Som, Bhatia, and Yasir, 2012). Pengaruh

penetration enhancer terhadap permeasi kulit dapat dievalusi secara in-vitro yakni

dengan uji difusi franz-cell.

1. Permasalahan

Apakah peningkatan konsentrasi tween 80 sebagai penetration enhancer

dapat berpengaruh pada proses absorpsi perkutan mikroemulsi ekstrak tempe

dengan metode Franz Diffusion Cell ?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang telah dilaksanakan dan terkait dengan penelitian ini sejauh

(22)

a. Akhtar (2011) meneliti efek dari penetration enhancer dari polysorbate 20

dan polysorbate 80 terhadap pengaruh absorpsi perkutan pada asam askorbat. Dari

penelitian tersebut didapat hasil semakin tinggi konsentrasi penetration enhancer

maka semakin tinggi pula permeabilitas dari asam askorbat.

b. Chadha (2009) meneliti genistein yang diformulasikan dalam bentuk gel

dengan berbagai penetration enhancer golongan terpene seperti menthol, limonene,

cineole, carvone, Lauroglycol® 90, Labrasol® ,dan Transcutol®P . Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penetration enhancer seperti menthol, Lauroglycol® 90,

Labrasol® , Transcutol®P merupakan enhancer yang paling efisien dalam

meningkatkan permeasi kulit.

c. Georgetti, Casagrande, Verri, Lopez, and Fonseca (2008) melakukan

penelitian dengan menggunakan soybean extract sebagai senyawa aktif dalam

pembuatan emulsi yang digunakan secara topikal untuk mengurangi efek oksidatif

pada kulit. Formulasi kemudian ditindaklanjuti dengan studi absorpsi perkutan

dengan menggunakan KCKT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genistein tidak

terdeteksi dalam kompartemen reseptor sehingga aktivitas antiosidannya juga tidak

dapat diketahui, hal ini dikarenakan jumlah yang menembus kulit dibawah LOD

yakni (0,1 µg/mL).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang pernah dilakukan tersebut

terletak pada sumber senyawa aktif yang digunakan, membran kulit yang

digunakan, dan penetration enhancer yang digunakan. Sejauh penelusuran pustaka

(23)

penetration enhancer pada formulasi mikroemulsi ekstrak tempe dengan metode

Franz Diffusion Cell.

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis

Menambah pengetahuan tentang pengaruh penetration enhancer pada absorpsi

perkutan mikroemulsi ekstrak tempe.

b. Manfaat Praktis

Menghasilkan formulasi mikroemulsi ekstrak tempe yang memiliki sifat fisik

dan stabilitas fisik yang baik.

B. Tujuan Penelitian

Mengetahui apakah peningkatan konsentrasi tween 80 sebagai penetration

enhancer berpengaruh pada absorpsi perkutan mikroemulsi ekstrak tempe dengan

(24)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Kulit

Kulit adalah organ terbesar pada tubuh yang menutupi sekitar 1,7 m2 tubuh

dan berisi kira-kira 10 % dari total berat badan orang berukuran sedang. Fungsi

utama dari kulit adalah untuk menyediakan barrier perlindungan antara tubuh

dengan lingkungan luar (Benson, 2012). Struktur serta fungsi dari kulit manusia

yang terdiri dari empat bagian utama yakni : stratum korneum, viable epidermis,

dermis, dan jaringan subkutan . (Gambar 1)

(25)

Struktur kulit meliputi bagian-bagian di bawah ini :

a) Stratum korneum yang disebut juga non-viabel epidermis merupakan

lapisan kulit paling luar yang merupakan penghalang utama masuknya

senyawa asing. Rata-rata ketebalan stratum korneum adalah 10-20 µm

dengan struktur terdiri dari brick dan mortar yang merupakan barrier

pengontrol kecepatan dalam absorbsi transdermal. Stratum korneum

sebagian besar terdiri dari protein dan keratin sehingga punya daya

absorbsi yang besar terhadap air dan bahan-bahan yang bersifat polar

lainnya (Walter, 2008).

b) Epidermis merupakan bagian dari kulit yang berlapis-lapis dengan

ketebalan 0,06 mm pada kelopak mata dan sekitar 0,08 mm pada telapak

tangan dan telapak kaki. Pembuluh darah tidak terdapat dalam epidermis.

(Benson, 2012).

c) Dermis mempunyai ketebalan sekitar 2-5 mm dan terdiri atas fibril

kolagen sebagai penyangga, dan elastic connective tissue yang

menyediakan elastisitas dan fleksibilitas yang melekat dalam matriks

mucopolysaccharide. Dermis menyediakan perlindungan saat terjadi

permeasi oleh obat tetapi dapat mengurangi permeasi ke dalam jaringan

yang lebih dalam saat obat yang sangat lipofilik masuk (Benson, 2012).

d) Jaringan Subkutan terdiri dari lapisan sel lemak yang tersusun sebagai

lobula dengan adanya kolagen yang saling berhubungan dan elastin fibers.

Fungsi utama di jaringan subkutan yakni menyekat panas dan melindungi

(26)

Gambar 2. Jalur Umum Senyawa Aktif Dalam Menembus Kulit (Lane, 2013)

Jalur umum yang dilewati senyawa aktif untuk menembus kulit yakni

melalui lapisan stratum korneum, jalur interseluler, dan jaringan tambahan.

(Gambar 2)

a) Melalui lapisan stratum korneum

Jalur transeluler, jalur dimana obat menyeberangi kulit secara langsung

dengan melewati kedua fosfolipid membran dan sitoplasma keratinosit mati

yang merupakan stratum korneum (Benson, 2012).

b) Jalur interseluler, jalur dimana obat melintasi kulit dengan melewati

ruang-ruang kecil di antara sel-sel kulit (Benson, 2012).

c) Jaringan tambahan pada kulit yakni folikel dan kelenjar (Benson, 2012).

B. Aging

Kulit manusia akan berubah seiring dengan bertambahnya usia. Proses skin

aging tidak dapat dihindari, maka pemahaman tentang proses yang terjadi di kulit

sangatlah penting. Adanya paparan sinar matahari dipercaya akan mempercepat

(27)

berada di sekitar kita (Yaar and Gilchrest, 2007).

Skin aging dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor internal

maupun eksternal, salah satu faktor eksternal tersebut adalah paparan sinar

matahari yang sering disebut photo aging. Mekanisme penuaan yang dipicu oleh

faktor eksternal paparan sinar matahari adalah adanya penurunan jumlah ceramide

akibat reaksi dengan Reactive Oxygen Species yang dapat dihambat dengan adanya

antioksidan sebagai salah satu mekanisme anti aging (Schimd and Zulli, 2002).

C. Isoflavon dan Tempe

Isoflavon merupakan salah satu anggota utama dalam phytoestrogens,

sebuah senyawa polifenol non-steroid yang berasal dari tanaman (Jing-Yi, Tournas,

Burch, Monteire, and Zielinsk, 2007). Menurut Cornwell et al.(cit., Chaiyavat,

Kumar, Tipduangta, and Rungseevijitprapa, 2010) Isoflavon adalah senyawa alami

yang mempunyai aktivitas antioksidan. Isoflavon banyak terdapat pada

buah-buahan, sayuran dan biji-bijian seperti kacang kedelai yang digunakan sebagai

pangan fungsional dengan berbagai kegunaan untuk pengatasan masalah

osteoporosis dan masalah kesehatan jantung. Menurut Murphy et al. (cit., Lee,

Renita, Fioritto, Martin, Schwartz, and Vodovotz, 2004), Isoflavon yang ditemukan

pada kedelai memiliki beberapa bentuk yakni aglikon, β-glukosida, 6-O”

-malonil-β-glukosida , 6-O”-asetil-β-glukosida.

Kedelai yang tidak mengalami proses fermentasi banyak mengandung

isoflavon dalam bentuk glukosida dan bentuk aglikonnya hanya dalam persentase

(28)

sedangkan bentuk aglikon terdapat pada kedelai yang sudah difermentasi, misalnya

tempe (Astuti, 2012). Bentuk glikosida yang terdegradasi menjadi bentuk aglikon

akan lebih mudah diserap oleh tubuh (Astuti, 2012). Isoflavon dalam bentuk

aglikon mempunyai struktur molekul sebagai berikut :

Gambar 3. Struktur Isoflavon Aglikon (Wu and Lai, 2007).

Daidzein, glycitein, dan genistein adalah senyawa isoflavon dalam bentuk

aglikon dengan kandungan terbesar terdapat pada daidzein dan genistein yakni

26-32 mg dan 28-39 mg dalam 100 g tempe (Haron, Ismail, Azlan, Shahar, and Peng,

2010). Selama proses fermentasi kedelai enzim β-glukosidase akan aktif dan

mengubah glisitin, genistin,dan daidzin yang ada menjadi glisitein, genistein, dan

daidzein dimana ikatan –O glikosida pada isoflavon akan terhidrolisis sehingga terbentuk senyawa gula dan aglikon bebas dari isoflavon (Pawiroharsono, 2009).

Senyawa aglikon ini dapat mengalami transformasi membentuk senyawa baru

yakni Faktor-II (6,7,4'trihidroksi isoflavon) dimana senyawa ini merupakan

(29)

lebih besar dari senyawa antioksidan biasa dan hanya terdapat pada tempe karena

terbentuk selama proses fermentasi (Pawiroharsono, 2009).

Dalam perkembangan sediaan kosmetik isoflavon digunakan dalam

bentuk aglikon karena dalam kulit tidak terdapat enzim penghidrolisis sehingga

dapat terpenetrasi hingga lapisan kulit yang lebih dalam misalnya lapisan

epidermis karena lapisan lemak yang dibentuk oleh epidermis akan membiarkan

senyawa yang dapat lewat adalah aglikon yang dapat larut dalam air (Schimd and

Zulli, 2002).

Mekanisme isoflavon dalam mencegah penuaan dini yakni dengan efek

phytoestrogen, isoflavon akan berpasangan dengan reseptor estrogen dalam inti sel

sehingga memiliki potensi yang sama untuk menghambat penipisan kulit, dan

mekanisme antioksidan, atom hidrogen pada isoflavon akan bertindak sebagai agen

antioksidan yang akan mengikat elektron dari ROS sehingga tidak terjadi aktivasi

MMPs dan tidak terjadi reaksi photoaging (Chiang, Wu, Fang, Chen, Kao, Chen, et

al., 2007).

D. Enhancer

Enhancer kimia adalah senyawa yang dapat meningkatkan penetrasi

perkutan obat dengan berpartisi pada stratum korneum dan mengubah susunan

lipid-protein di kulit. Perubahan ini menyebabkan perubahan sifat stratum korneum

dan terjadi penurunan pertahanan pada stratum korneum. Enhancer kimia dapat

meningkatkan permeabilitas stratum korneum melalui beberapa mekanisme yaitu

1) meningkatkan fluiditas lipid di kulit;

(30)

3) melalui aksi keratolitik;

4) meningkatkan kelarutan obat;

5) meningkatkan partisi stratum korneum (Kumar and Philip, 2007).

Penambahan surfaktan ke dalam suatu formula berfungsi untuk melarutkan

senyawa aktif yang bersifat lipofilik. Surfaktan juga mempunyai potensi untuk

melarutkan lipid pada lapisan stratum korneum. Surfaktan biasanya terdiri dari alkil

lipofilik atau aril rantai lemak dengan gugus hidrofilik pada bagian kepala.

Surfaktan anionik seperti sodium lauryl sulphate (SLS) dan surfaktan kationik

seperti cetyltrimethyl ammonium bromide berbahaya bagi kulit manusia (Williams

and Barry, 2004). Menurut Tupker, Pinnagoda, and Nater (cit., Williams and Barry,

2004) SLS merupakan iritan kuat dan dapat meningkatkan trans epidermal water

loss saat dilakukan pengujian secara in-vivo pada manusia. Surfaktan anionik

maupun kationik dapat mengembangkan lapisan stratum korneum dan berinteraksi

dengan lapisan interselular pada keratin sehingga dalam jumlah besar dapat

menyebabkan iritasi.

Surfaktan non-ionik merupakan surfaktan yang aman digunakan, memiliki

toksisitas kronis rendah dan banyak studi menunjukkan bahwa surfaktan non-ionik

dapat menaikkan nilai fluks dari materi untuk berpermeasi melalui membran

biologis. Banyak studi mengevaluasi aktivitas peningkatan permeabilitas pada

penggunaan surfaktan anionik dan non-ionik. Surfaktan anionik cenderung

memiliki permeasi yang rendah melalui lapisan stratum korneum manusia dalam

(31)

permeabilitas surfaktan non-ionik pada kulit manusia lebih kecil dibandingkan

surfaktan anionik.

Surfaktan non-ionik yang biasanya digunakan adalah polyoxyethylene alkyl

ether (Brij) dan polyoxythylene sorbitan fatty acid ester (Tween). Studi DSC pada

surfaktan non-ionik mengindikasikan bahwa surfaktan akan berinteraksi dengan

kulit dan mengubah struktur lipid dan meningkatkan permeabilitas dimana

kemampuan surfaktan mempengaruhi permeasi kulit tergantung dari sifat fisika

kimianya (Lane, 2013).

E. Mikroemulsi

Mikroemulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari minyak, air dan

surfaktan, dan dikombinasikan dengan penambahan ko-surfaktan yang bersifat

isotropik, stabil secara termodinamika, transparan (Talegaonkar, Azeem, Ahmad,

Khar, Pathan, and Khan, 2008). Mikroemulsi mempunyai ukuran droplet dengan

rentang 10-100 nm. Sistem homogen mikroemulsi dipersiapkan dengan adanya

konsentrasi surfaktan, minyak dan air yang sesuai (Singh, Bushetti, Raju, Ahmad,

Singh, and Bisht, 2011).

Mikroemulsi terbentuk spontan tanpa pengadukan dengan kecepatan

tinggi karena tegangan antar muka yang sangat rendah yakni mendekati nol antara

fase air dan fase minyak sehingga energi bebas menjadi negatif. Pembentukan

mikroemulsi membutuhkan konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi daripada emulsi

biasa. Pembentukan mikroemulsi tergantung dari struktur dan tipe surfaktan. Pada

(32)

1) sifat dasar dan konsentrasi minyak, surfaktan, kosurfaktan dan fase air;

2) perbandingan minyak/surfaktan dan surfaktan/kosurfaktan;

3) temperatur dan pH lingkungan;

4) sifat fisikokimia dari obat seperti hidrofilisitas/lipofilisitas, pKa dan

polaritas (Date, Abjhijit, and Nagarsengker, 2008).

Tipe mikroemulsi dibagi menjadi empat tipe yaitu tipe I, tipe II, tipe III,

dan tipe IV. Mikroemulsi tipe I dengan tipe m/a yakni surfaktan yang digunakan

lebih larut dalam air dan jumlah fase air lebih banyak dibandingkan fase minyak.

Mikroemulsi tipe II terbentuk mikroemulsi dengan tipe a/m karena surfaktan yang

digunakan akan lebih larut dalam fase minyak dan jumlah fase minyak lebih banyak

daripada fase air. Mikroemulsi tipe III terbentuk sistem tiga fase karena surfaktan

akan larut dalam fase minyak dan fase air. Mikroemulsi tipe IV terbentuk

mikroemulsi satu fase (isotropik) karena surfaktan dan alkohol dalam formula

(Singh, Bushetti, Raju, Ahmad, Singh, and Bisht, 2011).

F. Absorpsi Perkutan

Absorpsi perkutan melibatkan bagian dari molekul obat berdifusi dari

permukaan kulit ke dalam stratum korneum dibawah pengaruh gradien konsentrasi

dan juga berdifusi melalui stratum korneum, epidermis, melalui dermis, dan ke

dalam sirkulasi darah. Kulit merupakan bagian yang sangat efektif sebagai tempat

suatu zat untuk berpenetrasi dan berperan sebagai penghalang yang bersifat pasif

pada senyawa penetration enhancer. Kulit terdiri atas beberapa bagian salah

(33)

penetrasi (Sinha and Kaur, 2000). Absorpsi perkutan suatu senyawa diketahui

dengan melakukan uji difusi in-vitro dengan melibatkan sel difusi yang terdiri dari

dua kompartemen yaitu kompartemen donor dan kompartemen akseptor yang

dipisahkan oleh membran. Membran yang dapat digunakan untuk uji transpor yaitu

kulit tikus, babi, marmut, kelinci, ular, manusia atau membran kulit sintetik. Kulit

manusia adalah pilihan utama untuk uji absorpsi perkutan tetapi sulit untuk

didapatkan, sehingga banyak digunakan kulit tikus sebagai penggantinya (Nair and

Panchagula, 2004). Studi permeasi in-vitro menggunakan kulit tikus dapat

memberikan informasi yang berguna untuk memanipulasi desain pemberian obat

secara transdermal, sehingga dapat dicapai permeasi obat yang menembus kulit

(Al-Saidan, Krishnaiah, Chandrasekhar, Lalla, Rama, Jayaram, et al., 2004).

Studi permeasi in-vitro menggunakan sel difusi karena dapat menguji obat

dalam bentuk larutan, sediaan semi padat ataupun patch transdermal (Roberts and

Walters, 1998). Senyawa uji diletakkan pada kompartemen donor dalam bentuk

larutan, formula tertentu, atau patch transdermal. Evaluasi yang dilakukan berupa

transfer massa menembus kulit dengan mengukur kadar obat dalam aseptor

(Roberts and Walters, 1998). Uji permeasi in-vitro yang menggunakan sel difusi

franz-cell harus memperhatikan kondisi penghantaran obat yang dikontrol karena

permeasi obat dapat tergantung pada kulit atau membran yang digunakan.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam uji permeasi in-vitro yaitu

1) Pemilihan membran

Penggunaan kulit manusia sebagai membran uji mempunyai beberapa

(34)

mengontrol jenis kelamin, ras, umur, dan kondisi kulit, sehingga untuk uji in-vitro

ini biasa digunakan kulit binatang seperti kulit tikus, babi, marmut, kelinci,dan ular.

2) Larutan donor

Senyawa yang dilarutkan atau didispersikan dalam pembawa (enhancer)

akan berdifusi melalui pembawa menuju ke permukaan kulit sebelum obat

diabsorpsi. Pembawa dapat mempengaruhi pelepasan senyawa dari pembawa dan

dapat berinteraksi dengan stratum korneum. Faktor yang mempengaruhi pelepasan

obat meliputi sifat fisikokimia zat aktif dan pembawa yakni kelarutan, ukuran

molekul, viskositas dan polaritas (Wiechers, 1989).

3) Larutan akseptor

Larutan akseptor yang digunakan dalam sel difusi sebaiknya tidak hanya

berperan sebagai penerima obat yang mengalami permeasi di dalamnya tetapi

sebaiknya menyediakan air, bahan-bahan biokimia, dan ion-ion yang diperlukan

untuk membran kulit dalam mempertahankan fungsinya dalam permeasi pada pH

dan kekuatan osmotik yang diinginkan (Skelly, 1987).

Larutan yang digunakan sebagi kompartemen akseptor yaitu dapat berupa

larutan fisiologis salin, larutan ringer, atau larutan fisiologis lainnya yang relevan.

Faktor penting lain dari larutan akseptor yang perlu diperhatikan yaitu suhu,

kelarutan senyawa dalam medium, dan pengadukan (Friend, 1992). Pengaturan

temperatur larutan akseptor penting untuk meminimalkan adanya variasi dalam

kondisi percobaan. Suhu sebaiknya dijaga pada kondisi fisiologi normal dengan

kenaikan temperatur dapat meningkatkan hidrasi dari kulit. Kenaikan suhu 10ºC

(35)

Pengadukan pada larutan aseptor akan membuat larutan lebih homogen (Friend,

K = Koefisien Partisi Obat

h = Tebal membran Difusi

Cd = Konsentrasi obat dalam kompartemen donor

Cr = Konsentrasi obat dalam kompartemen reseptor

Nilai fluks (J) atau laju penetrasi obat dari kompartemen donor ke

kompartemen reseptor dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Dimana :

Q = Jumlah obat yang terpenetrasi

kp = Koefisien permeabilitas stratum korneum

A = Luas area pemberian obat

Cv = Konsentrasi obat dalam sediaan

(36)

{ ∑ }

Keterangan :

Q = Jumlah kumulatif genistein yang terpenetrasi per luas area difusi (µg

cm2)

Cn = Konsentrasi genistein (µg/mL) pada sampling menit ke-n

V = Volume sel difusi Franz ( mL)

= Jumlah konsentrais genistein (µg/mL) pada sampling pertama (menit ke

– n) hingga sebelum menit ke – n

S = Volume sampling ( mL)

A = Luas area membran (cm2)

Dimana :

J = Fluks (µg cm-2 jam-1)

Q = Jumlah kumulatif genistein yang melalui membran (µg)

T = Waktu (jam)

G. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi adalah metode pemisahan dimana komponen yang

dipisahkan terdistribusi dalam dua fase, yakni fase diam (stationary phase) dan fase

gerak (mobile phase) yang bergerak ke satu arah (Rohman, 2007). Kromatografi

Cair Kinerja Tinggi (KCKT) biasa digunakan untuk menghitung kuantitas dalam

(37)

tekanan kolom yang mengandung partikel-partikel fase diam dengan diameter 3-10

µm dimana partikel sampel dimasukkan melalui bagian atas kolom melalui katup

lengkung dan pemisahan akan dilakukan berdasarkan lamanya waktu relatif yang

diperlukan oleh komponen di dalam fase diam. Penentuan elemen yang keluar

dapat ditentukan dengan berbagai detektor (Watson, 2005).

Pemurnian senyawa alam biasanya digunakan teknik kromatografi untuk

memisahkan komponen senyawa alam yang kompleks. Ada beberapa metode

pemisahan dari kromatografi dalam pemurnian senyawa alami, metode pemisahan

tersebut yaitu kromatografi fase terbalik (reverse phase chromatography),

kromatografi fase normal (normal phase chromatography), dan gel permeation

chromatography (Sarker, Latif, and Gray, 2006). Kromatografi fase terbalik

(Reverse phase chromatography) adalah metode kebalikan dari kromatografi fase

normal dimana fase diam lebih bersifat non-polar daripada fase gerak ( Sarker,

Latif, and Gray, 2006). Kromatografi fase terbalik (Reverse phase

chromatography) merupakan pilihan pertama ketika akan dilakukan suatu

pemisahan senyawa yang mempunyai bentuk ionik atau bersifat netral.

Fase diam dalam sistem kromatografi sangat menentukan waktu retensi

dan selektivitas dalam pembacaan data, dalam kromatografi fase terbalik kolom

yang digunakan terdiri dari fase yang lebih kurang polar seperti C8 atau C18,

organosilan yang diikat kovalen dengan gugus silanol pada permukaan silika untuk

membentuk fase gerak atau ligan R, biasanya- Cl,-Oet, atau –CH3 (Snyder,

Kirkland, and Dolan, 2010). Macam fase diam yang biasa digunakan dalam sistem

(38)

pada kromatografi fase normal yakni silika. Struktur fase diam masing-masing

sistem kromatografi dapat dilihat pada tabel I (Sarker, Latif, and Gray, 2006).

Tabel I. Fase Diam Dalam Sistem Kromatografi ( Sarker, Latif, and Gray, 2006 )

Fase gerak yang digunakan dalam kromatografi fase terbalik umumnya

adalah campuran antara air dengan pelarut organik, seperti asetonitril (ACN),

metanol (MeOH), tetrahydofuran (THF) atau pelarut organik lainnya (Sarker, Latif,

and Gray, 2006). Selain itu dapat pula ditambahkan buffer, asam, atau basa untuk

mengurangi adanya senyawa yang terionisasi dan juga mengontrol derajat ionisasi

kelompok sianol yang tidak bereaksi untuk mengurangi puncak tailing (Sarker,

Latif, and Gray, 2006). Fase gerak yang digunakan dalam sistem kromatografi

memiliki kriteria yakni

1) memiliki kemurnian yang tinggi untuk mempertahankan integritas

sistem kromatografi dan sampel;

2) memiliki kompaktibilas dengan detektor dan tidak menganggu saat

(39)

3) memiliki kompatibilitas yang baik dengan sampel baik dalam hal

solubilitas dan ketidakreaktifan;

4) memiliki viskositas yang rendah untuk menjaga tekanan pada sistem

tetap stabil; dan

5) harganya terjangkau (Sarker, Latif, and Gray, 2006).

Pada tabel II terdapat beberapa macam fase gerak yang digunakan dalam

sistem kromatografi seperti asetonitril (ACN), metanol (MeOH), tetrahydofuran

(THF) atau pelarut organik lainnya beserta bobot molekul dan nilai UV cutoff

(Sarker, Latif, and Gray, 2006).

Tabel II. Fase Gerak yang Biasa Digunakan Dalam Sistem Kromatografi (Sarker, Latif, and Gray, 2006).

Fase gerak juga harus bebas dari gas yang keluar dari solvent dengan cara

degassing, solvent yang tidak di degassing akan membentuk gelembung

mikroskopis dimana akan menganggu analisis. Selain degassing ada langkah lain

untuk menghilangkan gas yakni teknik vakum atau menempatkan wadah fase gerak

(40)

yang akan digunakan juga harus disaring terlebih dahulu untuk menghindari adanya

partikel-partikel kecil yang akan menyumbat kolom (Rohman, 2009).

H. Virgin Coconut Oil

Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan minyak yang diproses dari buah

kelapa tanpa mengalami pemanasan, berwarna bening dan mengandung banyak

asam laurat serta asam lemak rantai menengah (Medium Chain Fatty Acid)

sebanyak 60 % (Yulian, 2007). VCO dapat ditemukan dalam sediaan kosmetik

maupun sediaan topikal sebagai komponen salep, krim, dan emulsi. Manfaat pada

VCOdalam sediaan topikal yakni

1) mempunyai sifat daya sebar pada kulit yang baik;

2) tidak menghambat respirasi kulit;

3) mempunyai sifat penetrasi yang baik;

4) mempunyai sifat emolien yang baik;

5) lapisan yang terbentuk pada saat diaplikasikan ke kulit tidak terlihat;

6) kompaktibilitas yang baik; dan

7) mempunyai stabilitas yang baik terhadap terjadinya oksidasi (Rowe et

al., 2009).

VCO dapat digunakan sebagai moisturizer untuk penggunaan kulit kering

tanpa adanya efek samping (Gediya, 2011). VCO mengandung trigliserida,

komponen asam lemak terutama asam laurat dan asam misristat dan sebagian asam

kaprat, kaproat, kaprilat, oleat, palmitat dan stearat. Tabel dibawah menunjukkan

(41)

Tabel III. Komponen VCO (Gediya,2011)

I. Tween 80

Gambar 4. Struktur Tween 80 (Aulton, 1994)

Tween 80 mempunyai kelarutan yang baik dalam air, larut dalam etanol

95% dan etilasetat, dan tidak larut dalam parafin cair (Depkes RI, 1993). Tween 80

memiliki nilai HLB sebesar 15 (Zhong, Xu, Fu, and Li, 2012). Penggunaan tween

80 dalam farmasi yakni sebagai emulsifying agent, wetting agent, penetrating agent,

dan diffusan (Som, Bhatia, and Yasir, 2012). Tween 80 dapat menurunkan tegangan

antarmuka antara obat dan medium sekaligus membentuk misel sehingga molekul

(42)

J. Nipagin

Gambar 5. Struktur Nipagin (Rowe, et.all, 2009)

Nipagin merupakan kristal tidak berwarna serta memberikan rasa panas

dan bau tidak spesifik. Nipagin mempunyai kelarutan yang baik dalam aseton,

etanol, eter, gliserin, dan praktis tidak larut dalam air. Nipagin berfungsi sebagai

pengawet aktif pada pH 4-8 dan dikombinasikan dengan paraben lain. Nipagin

digunakan sebagai antimikroba pada penggunaan topikal dengan konsentrasi 0,01

%-0,6%. Aktivitas antimikrobia dari nipagin akan berkurang dengan kehadiran

surfaktan nonionik sebagai akibat dari adanya proses miselisasi (Rowe, et.all,

2009). Nipagin biasa digunakan sebagai pengawet di sediaan kosmetik (Rowe,

et.all, 2009).

K. Nipasol

Gambar 6. Struktur Nipasol (Rowe, et.all, 2009)

Nipasol digunakan sebagai antimikroba pada kosmetik, makanan, dan

(43)

rantai gugus alkil dan kelarutannya dalam air akan menurun. Nipasol dapat

digunakan dengan campuran paraben lain untuk menghasilkan efek antimikroba

ayng lebih efektif. Konsentrasi penggunaan nipasol sebagai antimikroba pada

sediaan topikal adalah 0,02 %-0,3% (Rowe et al., 2009).

L. Landasan Teori

Kulit merupakan barrier perlindungan antara tubuh dengan lingkungan

luar dimana terdiri dari empat bagian utama yakni stratum korneum, viable

epidermis, dermis, dan jaringan subkutan. Seiring bertambahnya usia kulit dapat

mengalami skin aging yang dapat disebabkan oleh faktor internal maupun

eksternal yakni paparan sinar matahari yang sering disebut photoageing. Isoflavon

dalam tempe mempunyai bentuk aglikon dan dalam perkembangan sediaan

kosmetik isoflavon digunakan dalam bentuk aglikon yakni genistein. Mekanisme

isoflavon dalam mencegah penuaan dini yakni dengan mekanisme antioksidan.

Mekanisme antioksidan terjadi di sirkulasi sistemik maka genistein harus

terabsorpsi secara perkutan dengan berdifusi dari permukaan kulit ke dalam stratum

korneum dibawah pengaruh gradien konsentrasi dan juga berdifusi melalui stratum

korneum, epidermis, melalui dermis, dan ke dalam sirkulasi darah.

Mikroemulsi adalah salah satu sistem penghantaran obat yang terdiri dari

minyak, air dan surfaktan. Surfaktan juga memiliki efek terhadap permeabilitas

membran biologis seperti kulit sehingga dapat juga berfungsi sebagai penetration

enhancer. Penggunaan penetration enhancer dapat meningkatkan kelarutan suatu

senyawa, surfaktan dapat berfungsi juga sebagai penetration enhancer. Surfaktan

(44)

meningkatkan permeasi. Keberadaan enhancer akan meningkatkan penetrasi

perkutan genistein dengan berpartisi pada stratum korneum dan mengubah susunan

lipid-protein di kulit maka genistein dapat berpenetrasi dengan baik. Uji absorpsi

perkutan menggunakan Franz Diffusion Cell modifikasi untuk mengukur jumlah

zat aktif yang terpenetrasi dari membran dan kadar genistein yang terpenetrasi ke

dalam kompartemen reseptor diukur dengan HPLC.

M. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori, dapat disusun hipotesis bahwa kenaikan

konsentrasi tween 80 sebagai penetration enhancer memiliki pengaruh pada

absorpsi perkutan formulasi mikroemulsi ekstrak tempe dengan metode Franz

(45)

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap penetrasi

genistein termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan

penelitian acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel Utama

a. Variabel bebas pada penelitian ini adalah konsentrasi surfaktan yakni

tween 80.

b. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah nilai fluks genistein yang

terabsorpsi ke dalam stratum korneum.

2. Variabel Pengacau

a. Variabel pengacau terkendali pada penelitian ini adalah suhu dan

kecepatan pengadukan pada saat uji Franz Diffusion cell modifikasi.

b. Variabel pengacau tak terkendali pada penelitian ini adalah kelembaban

ruangan.

C. Definisi Operasional

1. Mikroemulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari minyak, air dan surfaktan

dan ekstrak tempe serta memiliki ukuran partikel dari dibawah 100 nm dengan

(46)

2. Tween 80 adalah surfaktan non-ionik yang bertindak sebagai penetration

enhancer pada mikroemulsi ekstrak tempe.

3. Absorpsi perkutan genistein adalah genistein yang terabsorpsi secara perkutan

dengan berdifusi dari permukaan kulit ke dalam stratum korneum dibawah

pengaruh gradien konsentrasi.

4. Franz Diffusion Cell Modifikasi adalah alat untuk studi difusi secara in-vitro

menggunakan sel difusi franz-cell modifikasi untuk menguji genistein yang

terpenetrasi dari mikroemulsi ekstrak tempe.

D. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tween 80, Virgin

Coconut Oil (VCO), PEG 400, ekstrak tempe, aquadest, minyak mawar, etanol

teknis, etanol p.a, etil asetat teknis, metanol p.a, aquabidest, petroleum eter, NaCl,

KCl, Na2HPO4, KH2PO4, mencit galur Swiss.

E. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas

(PYREX-GERMANY), corong pisah, cawan porselen, neraca digital, waterbath, magnetic

stirer, tabung effendorf, pipet volume, HPLC (High Perfomance Liquid

Chromatography), sendok, alat cukur, alat bedah, Franz-cell (modifikasi

Laboratorium Formulasi Teknologi Sediaan Farmasi, USD,Yogyakarta), pH meter

(pH meter 744 Methrom), mikropipet Socorex, DeltaTM Nano C Particle Size

(47)

aquadest, spuit, Viskometer seri VT 04 (RION-JAPAN), scalpel, pH stick, kolom

C18, syringe filter 0,22 μm, syringe filter 0,45 μm, degassing, botol fase gerak, Spektrofotometer, Franz-Diffusion Cell Modifikasi.

F. Tata Cara Penelitian

Tata cara penelitian secara umum digambarkan dalam bagan berikut :

Gambar 7 . Bagan Rancangan Penelitian

1. Ekstraksi Tempe

Tempe ditimbang sebanyak 1 kg kemudian diblender selanjutnya

ditambah petroleum eter dengan perbandingan 1:1 hingga tempe terendam dengan

petroleum eter selama ± 40 menit. Petroleum eter dibuang dengan cara menyaring

Ekstraksi Tempe

Pembuatan Kurva Baku

Penetapan KadarGenisteinPada tempe

Orientasi dan Formulasi Komposisi Mikroemulsi

Uji Permeasi dengan Franz Diffusion Cell Modifikasi Uji Stabilitas Fisik – Uji Organoleptis dan pH; Uji Viskositas; Uji Pengukuran Particle Size Analyzer; Cycling

(48)

tempe dengan corong Buncher. Tempe yang sudah disaring kemudian dimaserasi

dengan etanol teknis 96% selama 12 jam dengan kecepatan 150 rpm. Hasil

maserasi disaring dengan corong Buncher sehingga didapatkan residu padat dan

larutan kuning kecoklatan. Hasil maserasi berupa ekstrak cair dipekatkan

menggunakan rotary evaporator selama 45-60 menit hingga didapatkan volume

sebanyak 10% volume awal. Ekstrak tempe kemudian dikeringkan dalam oven

dengan suhu 50 ºC hingga bobot tetap.

2. Standarisasi Ekstrak Tempe a. Pembuatan fase gerak

Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol:air pada

perbandingan (70:30). Fase gerak yakni 500 ml metanol p.a dan aquabidest difilter

terlebih dahulu dengan menggunakan syringe filter 0,22 μm. Metanol p.a dan

aquabidest dilakukan sonifikasi terlebih dahulu sebelum dipompakan pada system

HPLC, untuk mengusir gelembung dan gas yang terlarut dalam solvent. Metode

HPLC yang digunakan adalah isokratik dengan kolom C18, flow rate 1 ml / menit

dan volume injeksi sebanyak 10 µl untuk sampel dan pembuatan kurva baku.

b. Pembuatan larutan baku genistein

Kurva baku dibuat dengan menginjeksikan standar genistein dengan kadar

5 seri konsentrasi baku genistein, yaitu 0,1 µg/ml, 0,5 µg/ml, 1 µg/ml, 5 µg/ml dan

10 µg/ml. Setelah didapatkan persamaan dari kurva baku data respon yang didapat

pada analisis sampel ekstrak dimasukkan ke dalam persamaan kurva baku untuk

(49)

c. Penetapan panjang gelombang maksimum

Seri larutan baku konsentrais rendah, sedang dan tinggi yakni 0,1 µg/ml, 1

µg/ml, dan 10 µg/ml masing-masing dilakukan scanning dengan spektofotometer

UV pada panjang gelombang 200-300 nm kemudian ditentukan λ maksimumnya.

d. Penetapan kadar ekstrak tempe

Ekstrak tempe yang mencapai bobot tetap ditimbang 0,5 gram kemudian

dilakukan fraksinasi dengan menambahkan air dan etil asetat ke dalam cawan

porselen sambil dipanaskan di atas waterbath. Larutan dipindahkan ke dalam

corong pisah untuk dilakukan liquid-liquid extraction sebanyak 1 hingga 3 kali,

kemudian dikeringkan hingga bobot tetap. Hasil setiap sampel hasil liquid-liquid

extraction kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sebanyak 25 ml. Masing-masing

sampel hasil liquid-liquid extraction kemudian diambil 50 µl kemudian ditambah

950 µl etanol p.a dan di-milipore dan degassing selama 2 menit sebelum

dimasukkan dalam vial HPLC. Setelah itu, kadar genistein dalam sampel hasil

liquid-liquid extraction diukur dengan menginjeksikannya ke dalam kolom HPLC.

3. Orientasi dan Formulasi Komposisi Mikroemulsi

Orientasi komposisi mikroemulsi dilakukan dengan mencampurkan PEG

400 terlebih dahulu dan Tween 80 dengan perbandingan 1:1, 1:2 , 1:2, 1:3, 1:4, 1:5,

1:6, 1:7, 1:8, 1:9, 2:1, 3:1, 4:1, 5:1, 6:1, 7:1, 8:1, 9:1. Larutan kemudian divortex

dan disentrifuge 3000 rpm selama 15 menit. Larutan yang tidak memisah (jernih)

dicampur dengan fase minyak yakni Virgin Coconut Oil sebanyak 1 mL, 2 mL, dan

(50)

tidak memisah saat ditambah Virgin Coconut Oil kemudian dilakukan penambahan

aquadest mL sebanyak untuk terbentuknya mikroemulsi.

a. Formula

Formula yang digunakan untuk pembuatan mikroemulsi didapat dari hasil

orientasi komposisi mikroemulsi. Formula ini diperoleh untuk 50 gram

mikroemulsi.

Tabel IV. Formula Mikroemulsi Ekstrak Tempe

Bahan Formula I Formula II Formula III

Ekstraktempe 0,5 gram 0,5 gram 0,5 gram

Virgin Coconut Oil 4 gram 4 gram 4 gram

Tween 80 18 gram 24 gram 27 gram

PEG 400 18 gram 12 gram 9 gram

Minyak Mawar 5 tetes 5 tetes 5 tetes

Aquadest 10 gram 10 gram 10 gram

Nipagin 0,3 gram 0,3 gram 0,3 gram

Nipasol 0,06 gram 0,06 gram 0,06 gram

b. Pembuatan mikroemulsi ekstrak tempe

Tween 80 dan PEG 400 dengan berbagai perbandingan dicampur dalam

beaker glass terlebih dahulu. Ekstak tempe dan Virgin Coconut Oil ditambahkan

kemudian larutan diaduk menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 1000 rpm

selama 3 menit. Nipagin dan nipasol ditambahkan ke dalam formula kemudian

dilanjutkan dengan penambahan aquadest yang dicampur dengan fase minyak dan

diaduk menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 1000 rpm selama 3 menit.

(51)

4. Uji Stabilitas Fisik

a. Uji Organoleptis dan pH

Uji organoleptis dilakukan dengan mengamati kejernihan,sedimentasi, bau

dan perubahan warna mikroemulsi pada 24 jam hingga sebulan penyimpanan.

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan bantuan kertas indikator pH (pH

stick) dengan cara memasukkannya ke dalam sediaan dan membandingkan warna

dengan standar.

b. Uji Viskositas

Uji viskositas dilakukan satu kali setelah 24 jam pembuatan mikroemulsi

dengan menggunakan alat Viscotester Rion seri VT 04 . Ukuran rotor yang

digunakan adalah 3. Data yang didapat kemudian dikonversi ke dalam cP

(centipoise).

c. Uji Pengukuran droplet size

Ukuran droplet size dilakukan dengan menggunakan alat DeltaTM Nano

Beckman Coulter pada suhu 25ºC.

d. Cycling Test

Sediaan disimpan pada suhu 4ºC ± 2ºC selama 24 jam kemudian

dikeluarkan dan ditempatkan di suhu 40ºC ± 2ºC selama 24 jam. Perlakuan ini

merupakan perlakuan satu siklus. Percobaan diulang hingga enam siklus. Stabilitas

mikroemulsi dievaluasi selama percobaan dengan melihat ada tidaknya endapan

(52)

5. Uji Permeasi menggunakan Franz Diffusion Cell Modifikasi

a. Pembuatan PBS pH 7,4 konsentrasi 0,15 M (sebagai medium kompartemen aseptor)

Aquabidest 200 mL dimasukkan dalam gelas beker 500 mL, kemudian

ditambahkan 2,0454 g NaCl, 8,6596 g Na2HPO4, dan 5,3075 g KH2PO4 diaduk

dengan pengaduk magnetik hingga larut sempurna. Derajat keasaman larutan

diukur dengan pH meter, dan pH larutan dibuat 7,4 dengan penambahan Na2HPO4

0,1 M tetes demi tetes. Larutan dipindahkan dalam labu takar 250 mL, kemudian

ditambahkan aquabidest sampai tanda.

b. Pembuatan NaCl 0,9 % Fisiologis

Sebanyak 9 gram NaCl ditimbang dan dilarutkan dalam 1 L aquadest steril

. larutan kemudian dihomogenkan dan disterilisasikan pada metode sterilisasi panas

basah menggunakan autoklaf dengan suhu sterilisasi 121 ºC selama 15 menit.

c. Preparasi sel difusi dengan membran kulit mencit

Mencit betina galur Swiss usia 1,5-2,5 bulan dimasukkan dalam chamber

jenuh kloroform hingga mati dan dikerjakan dalam lemari asam. Mencit yang sudah

mati dibedah untuk diambil kulit bagian punggungnya. Lemak yang menempel

dibersihkan dengan scalpel, rambut dibersihkan dengan silet. Kulit yang sudah

bersih dipotong berbentuk lingkaran dengan diameter 1,33 cm, sesuai dengan sel

difusinya. Membran kulit ini dicuci dengan aquadest lalu disimpan dalam NaCl

fisiologis 0,9%. Kulit segar langsung dipasang dalam sel difusi yang sudah berisi

larutan kompartemen aseptor yaitu dapar posfat pH 7,4 sebanyak 26,0 ml . Bagian

(53)

d. Uji in-vitro dengan menggunakan Franz-cell Modifikasi

Ambil 1 gram mikroemulsi anti-aging lalu diletakkan di bagian stratum

korneum menghadap bagian atas (kompartemen donor). Kompartemen reseptor

mempunyai kapasitas total sebanyak 26 ml dan mempunyai dua lengan.

Kompartemen reseptor mengandung PBS dengan suhu dijaga 37ºC± 1 ºC. Sampel

kemudian diambil dari kompartemen reseptor pada menit ke 0, 60, 120, 180, 300,

hingga 420 menit lalu ganti dengan volume larutan PBS yang sama. Sampel

cuplikan dari kompartemen reseptor kemudian ditambahkan HCl hingga pH ± 5.

Etil asetat sebanyak 1,5 mL kemudian ditambahkan dan dilakukan pemisahan

antara dua fase. Fase atas diambil dan diuapkan hingga mencapai bobot tetap. Fase

atas yang sudah mencapai bobot tetap kemudian ditambahkan etanol p.a sebanyak 1

mL , dimilipore dan dimasukkan ke dalam vial HPLC lalu di-degassing kemudian

diukur dengan menggunakan instrument HPLC pada 261 nm.

6. Analisis Statistik Nilai Fluks Genistein

Data uji permeasi genistein dibuat dalam bentuk kurva hubungan antara

jumlah fluks yang terpenetrasi terhadap waktu. Perhitungan statistik dilakukan

dengan menganalisis data nilai fluks rata-rata hingga menit ke-420 yang

(54)

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi Tempe

Proses ekstraksi tempe dalam penelitian ini menggunakan tempe yang

didapatkan dari Pasar Demangan Baru untuk menyamakan perlakuan sehingga

tidak didapati hasil ekstrak yang berbeda. Tempe ditimbang sebanyak 1 kg untuk

proses ekstraksi. Penulis melakukan pengecilan ukuran partikel tempe sehingga

proses maserasi berjalan maksimal. Tempe direndam petroleum eter selama 1 jam

dengan perbandingan 1:1 untuk efisiensi proses maserasi. Perendaman dilakukan

untuk menghilangkan komponen non-polar yaitu lemak. Tempe yang sudah

direndam selama 1 jam kemudian disaring dengan corong Buncher dengan bantuan

pompa vakum untuk memastikan tidak ada petroleum eter yang tertinggal pada

tempe dan dilakukan maserasi dengan etanol 96%.

Metode ekstraksi tempe menggunakan metode maserasi dengan pelarut

etanol 96%. Isoflavon dalam tempe sebagian besar terikat dalam bentuk glukosida

sehingga bersifat polar, etanol 96% yang bersifat polar sangat efektif dalam

melarutkan isoflavon tersebut. Etanol 96% sebagai pilihan sangat efektif karena

memiliki toksisitas rendah, murah, dan kompaktibilitas yang baik dengan

(55)

Komponen dari tempe yang hendak diekstraksi yakni genistein,

kandungan genisteinpada tempe mempunyai konsentrasi sebesar 7,2 mg dalam 100

gram tempe (Nakajima, Nozaki, Ishihara, Ishikawa, and Tsuji, 2005). Kandungan

genistein pada produk kedelai yang sudah mengalami fermentasi lebih besar

daripada produk kedelai yang tidak mengalami fermentasi karena genistein sudah

dalam bentuk aglikon pada tempe sedangkan pada produk kedelai yang tidak

mengalami fermentasi perlu dilakukan hidrolisis dahulu menggunakan asam kuat

(Rostagno, Villares, Guillamon, Garcia-Lafuente, and Martinez, 2009). Tempe

memiliki kadar aglikon yang lebih besar dibandingkan produk kedelai lainnya

karena adanya enzim penghidrolisis selama proses fermentasi dimana produk

kedelai yang tidak difermentasi mengandung kadar glikosida yang lebih besar.

Ekstrak tempe selanjutnya dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator

dengan tekanan rendah selama 60 menit pada suhu 60ºC untuk menguapkan etanol

96% sehingga didapatkan 300 ml ekstrak cair dari 1000 mL larutan yang

dimaserasi. Ekstrak cair yang didapat berwarna kuning kecoklatan. (Lampiran I).

Ekstrak yang sudah dipekatkan kemudian dikeringkan hingga bobot tetap di oven

pada suhu 50-55 ºC, suhu dibawah 50-55 ºC akan menyebabkan adanya jamur atau

kapang pada ekstrak. Tujuan dari pengeringan hingga bobot tetap yaitu untuk

memastikan tidak ada pelarut yang tertinggal dalam ekstrak kental yang dapat

(56)

B. Standarisasi Ekstrak Tempe 1. Pembuatan fase gerak

Sistem HPLC yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan sistem

HPLC fase terbalik dimana fase gerak bersifat lebih polar dibandingkan dengan

fase diam. Fase diam yang digunakan yakni C18 bersifat kurang polar dan fase

gerak merupakan metanol:air (70:30). Pemilihan fase gerak harus menggunakan

fase gerak yang optimal terkait dengan polaritas fase gerak dengan sampel yang

dapat mempengaruhi pemisahan genistein. Selain itu fase gerak yang dipilih harus

memiliki nilai UV cut off yang cukup jauh dari deteksi sampel. Metanol

mempunyai nilai UV cut off sebesar 205 nm dan aquadest mempunyai nilai UV cut

off sebesar 170 nm (Rohman, 2009), kedua pelarut ini mempunyai nilai UV cut off

yang cukup jauh dari λmaks genistein yakni 261 nm sehingga tidak akan

mengganggu serapan. Genistein memiliki log Kow 2,94 yang merupakan senyawa

hidrofobik, maka digunakan sistem KCKT fase terbalik dimana fase gerak bersifat

lebih polar dibandingkan dengan fase diam sehingga genistein dapat berinteraksi

dengan fase diam. Fase diam C18 sesuai digunakan untuk senyawa genistein yang

memiliki log Kow 2,94 karena adanya ikatan hidrofobik atau van der waals dari

(57)

Gambar 8. Struktur Genistein

Bagian cincin benzen (warna hijau) dari genistein merupakan bagian

hidrofobik yang akan berinteraksi dengan fase diam, dan bagian polar (warna

merah) genistein akan berinteraksi dengan fase gerak yang bersifat lebih polar

dibandingkan dengan fase diam sehingga genistein dapat terelusi keluar dari kolom

kemudian dideteksi oleh UV. (Gambar 8)

Waktu retensi pemisahan senyawa tergantung dari kelarutannya dalam

aquadest atau sifat hidrofobisitas isoflavon. Waktu retensi akan semakin meningkat

seiring meningkatnya sifat hidrofobisitas senyawa pada kolom. Senyawa aglikon

mmepunyai nilai retensi yang paling tinggi dibanding β-glukosida,

malonil-glukosida dan asetil-β-glukosida. Waktu retensi dari pemisahan isoflavon dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti afinitas terhadap fase diam, komposisi fase

gerak dan profil gradien elusi (Klejdus, Vacek, Benesova, Kopecky,Lapcik, and

Kuban, 2007).

2. Pembuatan kurva baku

Penelitian ini menggunakan 5 seri konsentrasi baku genistein yaitu 0,1

µg/ml, 0,5 µg/ml, 1 µg/ml, 5 µg/ml dan 10 µg/ml. Larutan baku genistein dibuat

(58)

mempunyai kelarutan tinggi dalam pelarut organik dengan sifat polar. Pemilihan

seri konsentrasi ini disesuaikan dengan melihat respon detektor terhadap peak yang

dihasilkan dan juga respon genisteindalam ekstrak tempe dapat masuk dalam range

respon seri larutan baku. Hasil pengukuran respon dari tiap kadar baku genistein

dapat dilihat pada tabel V :

Tabel V. Data Kurva Baku Genistein

Seri Baku (µg/ml) AUC

Kurva baku atau kurva kalibrasi adalah kurva yang menunjukkan hubungan

antara respon instrumen dengan konsentrasi analit pada beberapa seri baku.

Analisis respon instrumen dalam menggunakan HPLC merupakan area under curve

(AUC) dimana y merupakan respon instrumen, x adalah konsentrasi, a adalah

intersep, dan b adalah slope. Kurva baku yang digunakan adalah kurva baku yang

memiliki linearitas yang baik yaitu r mendekati 0,999. Linearitas menyatakan

adanya hubungan respon pengukuran yang secara langsung proporsional terhadap

konsentrasi jumlah analit. Hasil kurva baku menunjukkan nilai r sebesar 0,9989 ,

persamaan kurva baku kemudian digunakan dalam analisis kuantitatif untuk

menentukan konsentrasi suatu analit dalam sampel dengan memasukkan nilai y,

(59)

3. Penetapan panjang gelombang maksimum genistein

Penetapan panjang gelombang maksimum genistein bertujuan untuk

mengetahui panjang gelombang dimana genistein memberikan serapan yang

maksimum sehingga hasil yang diperoleh reprodusibel pada pengulangan

pengukuran, memiliki sensitivitas pengukuran yang tinggi, dan meminimalkan

kesalahan dalam pengukuran. Penetapan panjang geombang maksimum ini

dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV. Genistein memiliki gugus

kromofor yaitu rangkap terkonjungasi pada cincin benzennya dimana ia dapat

memberikan serapan pada daerah sinar ultraviolet sehingga dapat menyerap sinar

pada daerah ultraviolet. Menurut Wu, Wang, and Simon (cit.,Luthria and

Natarajan, 2009) Isoflavon mengabsorpsi spektrum UV pada dua macam range

yakni 245 hingga 275 nm dan 300 dan 330 nm. Pengukuran panjang gelombang

maksimum dilakukan pada rentang panjang gelombang 200-300 nm karena λmaks genisteinberada pada rentang tersebut yakni 261 nm.

Pada penetapan panjang gelombang maksimum dilakukan pada 3 seri

konsentrasi dengan tujuan untuk melihat apakah ketiga konsentrasi yang mewakili

ini dapat menghasilkan spektrum serapan maksimum yang sama. Gambar 10

menunjukkan λmaks genistein berada pada rentang 261 nm pada 3 seri konsentrasi

(60)

Gambar 9. Spektra Panjang Gelombang Maksimum Genistein Di 261 nm Menggunakan Spektrofotometer

4. Penetapan Kadar dengan High Perfomance Liquid Chromatography

(HPLC)

a. Analisis Kualitatif

Tujuan analisis kualitatif untuk mengetahui secara pasti puncak (peak)

yang merupakan puncak genistein yang terukur oleh sistem HPLC pada

kromatogram. Analisis ini merupakan langkah awal untuk mengetahui puncak yang

akan digunakan untuk perhitungan AUC. Puncak (peak) dicari yang mempunyai

waktu retensi dan bentuk puncak yang sama dengan puncak pada kromatogram

baku standar genistein dimana bentuk puncak yang serupa menggambarkan profil

kromatografis yang mirip. Waktu retensi antara sampel dan baku menunjukkan

hasil yang hampir serupa dan berkisar antara 5,029-5,270 menit, sedangkan untuk

waktu retensi pada baku didapat 5,237 menit. Faktor yang mempengaruhi

perbedaan waktu retensi antara sampel dengan baku adalah pengaruh dari matriks

sampel yang berbeda sehingga mampu menggeser waktu retensi (Snynder,

Gambar

Tabel I. Fase Diam pada Sistem Kromatografi....................................
Gambar Kurva Baku Genistein...............................................
Gambar 2. Jalur Umum Senyawa Aktif Dalam Menembus Kulit (Lane, 2013)
Gambar 3. Struktur Isoflavon Aglikon (Wu  and Lai, 2007).
+7

Referensi

Dokumen terkait