• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I INTRODUKSI. Dana transfer Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk. pemerintah desa mencapai 90% dari total dana yang dikelola desa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I INTRODUKSI. Dana transfer Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk. pemerintah desa mencapai 90% dari total dana yang dikelola desa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

INTRODUKSI

1.1 Latar Belakang

Dana transfer Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk pemerintah desa mencapai 90% dari total dana yang dikelola desa (BPKP, 2015). Semakin besar dana publik yang diterima pemerintah desa maka semakin besar pula tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pemerintah desa. Pengelolaan keuangan desa yang akuntabel, transparan, partisipatif, tertib, dan disiplin anggaran diperlukan pemerintah desa sebagai wujud akuntabilitas publik.

Salah satu wujud pertanggungjawaban pengelolaan keuangan desa berupa laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja desa (APB Desa). Laporan pertanggungjawaban ini memuat anggaran dan realisasi untuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan selama satu periode tahun anggaran. Laporan ini akan memperlihatkan selisih lebih antara realisasi penerimaan dan realisasi pengeluaran anggaran selama satu periode tahun anggaran. Selisih tersebut dinamakan SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran). SiLPA yang ada dalam laporan ini disebut dengan SiLPA tahun berjalan, yang akan menjadi penerimaan pembiayaan di APB Desa tahun anggaran berikutnya.

SiLPA berkaitan dengan penyerapan anggaran dan kas bebas (Mahmudi, 2007). Penyerapan anggaran yang rendah akan menimbulkan kas

(2)

2 anggaran. Selanjutnya SiLPA berkaitan dengan kinerja pemerintah desa dalam pengelolaan keuangan desa. Kinerja pemerintah desa dapat dinilai berdasarkan hasil pencapaian (realisasi) dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan (Bastian, 2015).

Dalam siklus pengelolaan keuangan desa, proses pembentukan SiLPA dimulai dari proses perencanaan yaitu penyusunan APB Desa sampai dengan proses pertanggungjawaban. Dari siklus tersebut maka SiLPA dapat dibentuk antara lain karena adanya pelampauan penerimaan pendapatan terhadap belanja, penghematan belanja, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Permendagri, 113/2014).

Berkaitan dengan SiLPA tersebut, terjadi fenomena SiLPA di pemerintah daerah (Hariyadi 2001; Bali 2013; Suharna 2015). Fenomena SiLPA ini juga terjadi di pemerintah desa. Fenomena SiLPA pemerintah desa di Kabupaten Belitung ditunjukkan dengan adanya perbedaan jumlah SiLPA antardesa pada tahun 2014. Dari total empat puluh satu data desa, SiLPA Tahun Anggaran 2014 dengan jumlah terbesar ditemukan di Desa Cerucuk senilai Rp457.973.919,00 sedangkan jumlah terkecil di Desa Sungai Samak senilai Rp15.332.476,00. Padahal, dua desa tersebut berada dalam wilayah Kecamatan Badau.

Berkaitan dengan SiLPA tahun 2014 tersebut, pada Tahun Anggaran 2014 pemerintah desa mengelola dana transfer berupa Alokasi Dana Desa (ADD). Sejak tahun 2007 Pemerintah Pusat memberikan ADD melalui dana perimbangan pemerintah daerah. Untuk Tahun Anggaran 2015, jumlah ADD

(3)

3 Rp602.721.730,00 dan terbesar Rp652.441.305,00. Namun jumlah ADD ini bertambah dengan keluarnya peraturan per tanggal 1 Oktober 2015, sehingga desa menerima dana tambahan ADD sebesar Rp17 Milliar untuk empat puluh dua desa (Perbup Belitung, 31/2015).

Selain itu pada tanggal yang sama pula (1 Oktober 2015), Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung juga mengeluarkan peraturan tentang alokasi bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah sebesar Rp4.9 Milliar untuk empat puluh dua desa. Alokasi bagian hasil ini untuk tahun-tahun sebelumnya diperhitungkan kedalam ADD. Untuk tahun 2015 ini dibuatkan perhitungan dan peraturan terpisah (Perbup Belitung, 32/2015).

Selanjutnya pada Tahun Anggaran 2015, Pemerintah pusat untuk pertama kali menganggarkan dana untuk desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Desa mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah Pusat berupa dana desa dengan total anggaran kurang lebih Rp20 Triliun untuk 74.093 desa se Indonesia (Kementrian Keuangan, 2015).

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menempati urutan kedua provinsi yang menerima dana desa paling kecil se-Indonesia. Kabupaten Belitung merupakan kabupaten urutan kedua yang menerima dana desa terkecil se-Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dana desa Tahun Anggaran 2015 yang diterima di Kabupaten Belitung senilai Rp292.246.944,00 (terkecil) dan Rp335.048.230,00 (terbesar).

ADD dan dana desa merupakan sebagian dari pendapatan transfer yang diterima oleh pemerintah desa. Pendapatan transfer berhubungan

(4)

4 dengan pencairan dana dari Pemerintah Pusat/daerah kepada pemerintah desa. Di Kabupaten Belitung, pencairan dana desa tahap III (20%) baru dilaksanakan pada tanggal 28 Desember 2015. Waktu pencairan dana desa sesuai dengan peraturan ialah bulan April (40%), Agustus (40%), dan Oktober (20%). Namun kenyataanya di Kabupaten Belitung, dana desa dicairkan pada bulan Agustus, Oktober, dan Desember.

Berkaitan dengan dana desa tersebut, Pemerintah Pusat akan menerapkan sanksi apabila SiLPA dana desa melebihi 30%. Sanksi dapat diartikan sebagai tekanan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah desa untuk menggunakan dana desa dengan maksimal. Sanksi ini hanya diberikan untuk SiLPA dana desa sedangkan SiLPA dana lainnya seperti ADD tidak dikenakan sanksi apapun. Oleh karena itu monitoring dan evaluasi SiLPA seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah (KPK, 2015).

Tekanan dalam bentuk lain diungkapkan KPK dalam kajiannya. Pemerintah desa menganggap bahwa laporan pertanggungjawaban hanya sebagai beban administratif. Laporan dibuat untuk mendapatkan dana berikutnya dari pemerintah. Sikap pemerintah desa ini tidak menunjukkan fungsi laporan sebagai alat akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa (KPK, 2015). Pemerintah desa hanya mematuhi peraturan supaya tidak mendapatkan teguran atau sanksi dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.

Berkaitan dengan peraturan tersebut, Pemerintah desa dalam melaksanakan kewenangannya bertanggungjawab kepada masyarakat, Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah Pusat akan

(5)

5 menerapkan peraturan terkait pelaksanaan pemerintah desa di seluruh Indonesia. Selanjutnya pemerintah daerah akan menerapkan turunan peraturan untuk pemerintah desa di seluruh kabupaten. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menyamakan (homogenisasi) pemerintah desa,

Sehubungan dengan homogenisasi tersebut, Teori Institutional

khususnya Institutional Isomorphism menerangkan tentang homogenisasi

organisasi dalam menghadapi kondisi lingkungannya (DiMaggio & Powell, 1983). Terdapat tiga mekanisme dalam teori ini. Pertama, mekanisme isomorfisme koersif akan terjadi apabila homogenisasi organisasi diterapkan berdasarkan tekanan baik formal maupun informal. Tekanan ini dapat berupa regulasi atau kontrak. Kedua, mekanisme isomorfisme mimetik akan terjadi apabila homogenisasi organisasi diterapkan berdasarkan proses meniru organisasi lain. Ketiga, mekanisme isomorfisme normatif akan terjadi apabila homogenisasi organisasi diterapkan berdasarkan proses profesionalisme seperti pelatihan.

Berdasarkan permasalahan di atas, sepanjang penelusuran penulis belum terdapat penelitian tentang SiLPA pemerintah desa. Penelitian tentang SiLPA banyak dilakukan oleh peneliti untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di pemerintah daerah. Penelitian tentang SiLPA ini menggunakan data SiLPA selama kurun waktu tertentu (Hariyadi 2001; Suharna 2015) dan aspek tertentu seperti manajemen keuangan daerah (Bali, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa SiLPA terbentuk karena adanya faktor-faktor penyebab, yakni sisa anggaran, siklus keuangan

(6)

6 (perencanaan dan pelaksanaan), pengawasan, sumber daya, regulasi, dan manajemen keuangan daerah.

SiLPA berkaitan dengan penyerapan anggaran baik di suatu organisasi publik (desa, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat) maupun di suatu negara. Penelitian tentang penyebab rendahnya penyerapan anggaran yang telah dilakukan di Indonesia antara lain di Provinsi Riau (Arif & Halim, 2013) dan Kementrian Keuangan (Sulaeman, Hamzah & Priyanto 2012). Hasil penelitian Arif & Halim (2013) menunjukkan bahwa penyerapan anggaran yang rendah dikarenakan faktor yang beragam antara lain regulasi, politik, proses pelelangan, komitmen organisasi, dan penyerapan anggaran di akhir tahun. Penelitian lain tentang penyerapan anggaran yang rendah di awal tahun anggaran kemudian menumpuk di akhir tahun anggaran dilakukan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Kediri (Kuswoyo, 2011). Hasil penelitian di Kementrian Keuangan dan KPPN menunjukkan hasil penelitian yang sama, yakni faktor perencanaan, pelaksanaan, internal satuan kerja, dan pengadaan barang dan jasa.

Selanjutnya penelitian penyerapan anggaran di negara lain yakni Uni Eropa. Penelitian ini tentang penyerapan anggaran yang berasal dari dana Uni Eropa (Tosun, 2014), di negara Romania (Vasile & Mihai, 2015), dan negara Estonian (Tatar, 2010). Tosun (2014) menunjukkan perbandingan penyerapan dana untuk dua puluh lima negara anggota Uni Eropa. Penelitian ini tidak menjelaskan penyebab terjadinya perbedaan penyerapan anggaran antarnegara anggota. Hasil dari penelitian negara Romania dan Estonian menyatakan bahwa penyerapan anggaran yang rendah dipengaruhi

(7)

7 oleh faktor-faktor yang bervariasi antara lain sumber daya manusia, kegagalan manajemen, prosedur pengadaan, dan birokrasi yang berlebihan.

Penelitian yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan desa banyak dilakukan oleh peneliti di magister yang berhubungan dengan organisasi sektor publik (magister akuntansi, magister administrasi publik, dan magister ekonomi publik). Penelitian ini dilakukan untuk ADD dilihat dari akuntabilitas kinerja pengelolaan ADD (Diansari, 2015), partisipasi

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam implementasi ADD

(Sudjatmiko, 2012), dan ketimpangan fiskal atas dana transfer dari pemerintah (ADD dan Dana Alokasi Khusus Desa/DAKD) (Marjuki, 2012). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ADD sudah dikelola secara akuntabel dan ADD membuat ketimpangan fiskal di desa menjadi berkurang. Namun penelitian ini mengungkapkan bahwa pengelolaan ADD terhambat karena faktor sumber daya manusia, lemahnya pengelolaan keuangan, dan rendahnya pengawasan oleh BPD dan masyarakat (Diansari 2015; Sudjatmiko 2012).

Hasil penelitian tentang pengelolaan keuangan desa tersebut diperkuat dengan hasil kajian dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kajian ini

menitikberatkan kepada potensi fraud di pemerintah desa terkait

pengelolaan ADD dan dana desa. Kajian KPK maupun BPKP memberikan penekanan kepada risiko yang merupakan kelemahan pemerintah desa dalam pengelolaan keuangan desa. Kajian ini dilakukan pada pertengahan tahun 2015. Oleh karena itu, kajian ini tidak dapat memberikan gambaran

(8)

8 secara utuh tentang pelaksanaan dana desa yang pencairan dananya baru dilaksanakan Agustus 2015.

Selanjutnya penelitian yang berhubungan dengan penerapan peraturan dan penerapan sanksi di pemerintahan. Penelitian tentang penerapan peraturan berkaitan dengan faktor tekanan eksternal (Hasyadi, 2014) dan (Ridha, 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan eksternal memengaruhi penerapan peraturan. Kemudian penelitian tentang penerapan peraturan berkaitan dengan penghargaan dan sanksi terhadap kinerja penganggaran di kementrian/lembaga (Wibowo, 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penghargaan dan sanksi tidak memberikan pengaruh yang signifikan dengan tingkat penyerapan anggaran dan persentase penghargaan atau sanksi.

Berkaitan dengan penelitian ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan hanya terdiri dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah desa juga berperan dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia. Bukti keberadaan desa dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selanjutnya pemerintah desa dalam menjalankan perannya harus mengelola penerimaan dari masyarakat dan pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Apalagi pendapatan transfer berupa dana desa ini akan terus meningkat. Untuk tahun 2016 jumlah dana desa yang akan diserahkan oleh pemerintah pusat meningkat dari Rp20 Triliun menjadi Rp47 Triliun. Peningkatan ini akan terus berlangsung sampai tahun 2019 hingga mencapai Rp111 Triliun (Kementrian Keuangan, 2015). Semua hal ini berhubungan dengan

(9)

9 akuntabilitas publik baik secara vertikal (pemerintah) maupun horizontal (masyarakat).

Kelangkaan informasi tentang keuangan desa terutama SiLPA pemerintah desa sudah seharusnya menjadi perhatian khusus. Penelitian tentang SiLPA menjadi penting dikarenakan SiLPA dapat memberikan gambaran tentang banyak hal seperti pengelolaan keuangan desa, penyerapan anggaran, kas bebas, dan kinerja di pemerintah desa. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang SiLPA Tahun Anggaran 2014 (sebelum adanya dana desa) dan Tahun Anggaran 2015 (sesudah adanya dana desa) di pemerintah desa se-Kabupaten Belitung.

1.2 Problem Riset

Untuk SiLPA Tahun Anggaran 2014 diperoleh data sebanyak empat puluh satu desa. Satu desa yang tidak diperiksa, yaitu Desa Pulau Sumedang. Hal ini dikarenakan hambatan cuaca dan letak geografis. Tabel satu memperlihatkan jumlah SiLPA antardesa se-Kabupaten Belitung:

Tabel 1

Rekap SiLPA Tahun Anggaran 2014 No

Jumlah

Desa Kecamatan

SiLPA Tahun Anggaran 2014

Jumlah (Rp) Tertinggi (Rp) Terendah (Rp)

1 9 Tanjungpandan 1.297.429.945,08 321.674.945,00 36.290.791,00 2 11 Membalong 1.083.622.293,52 191.042.181,00 28.655.309,00 3 7 Badau 914.204.726,99 457.973.919,00 15.332.476,00 4 10 Sijuk 641.139.018,61 141.776.021,00 30.111.133,89 5 4 Selatnasik 503.800.992,00 301.487.138,00 30.116.778,00 41 4.440.196.976,20

(Sumber data diolah dari APB Desa Tahun 2015 yang diperoleh dari Laporan Hasil Pemeriksaan Inspektorat Kabupaten Belitung 2015)

(10)

10 Sehubungan dengan SiLPA Tahun Anggaran 2015 terdapat beberapa fakta terkait SiLPA, yakni (1) adanya peningkatan jumlah transfer dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah ke pemerintah desa berupa dana desa, tambahan alokasi dana desa dan alokasi bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah; (2) adanya keterlambatan pencairan dana desa, tambahan alokasi dana desa dan alokasi bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah; dan (3) adanya sanksi diberikan kepada desa yang memiliki SiLPA dana desa di atas 30%. Sanksi tersebut berupa penundaan pencairan dana desa tahap I untuk tahun berikutnya (Tahun Anggaran 2016).

Berdasarkan data laporan pertanggungjawaban kepala desa tahun 2015, untuk dua desa yang memiliki SiLPA tertinggi dan terendah di tahun 2014 mengalami kenaikan jumlah SiLPA di tahun 2015. SiLPA desa D5 tahun 2014 senilai Rp457.973.919,00 meningkat menjadi Rp1.152.103.212,00 sedangkan SiLPA desa D4 tahun 2014 senilai Rp15.332.476,00 meningkat menjadi Rp272.211.752,00.

1.3 Pertanyaan Riset

Dari latar belakang dan masalah riset maka pertanyaan riset yang diajukan ialah:

a. mengapa ada SiLPA untuk Tahun Anggaran 2014 di pemerintahan

desa se-Kabupaten Belitung?.

b. mengapa ada kenaikan SiLPA untuk Tahun Anggaran 2015 di

(11)

11

c. apakah penerapan sanksi berdampak dalam pembentukan SiLPA dana

desa Tahun Anggaran 2015 di pemerintah desa se-Kabupaten Belitung?.

1.4 Tujuan Riset

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. mengidentifikasi dan menganalisis penyebab mengapa ada SiLPA

untuk Tahun Anggaran 2014 di pemerintahan desa se-Kabupaten Belitung.

b. mengidentifikasi, dan menganalisis penyebab mengapa ada kenaikan

SiLPA Tahun Anggaran 2015 di pemerintahan desa se-Kabupaten Belitung.

c. mengetahui perbandingan jumlah SiLPA dana desa antardesa dan

dampak penerapan sanksi dalam pembentukan SiLPA dana desa Tahun Anggaran 2015 di pemerintah desa se-Kabupaten Belitung.

1.5 Kontribusi Riset

a. Kontribusi praktis

Kontribusi ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung dan Inspektorat Kabupaten Belitung. Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung dapat mengevaluasi kinerja pemerintah desa dalam pengelolaan keuangan desa Tahun Anggaran 2014 dan 2015 dilihat dari jumlah SiLPA. Selanjutnya untuk tahun 2016, pemerintah desa dan pemerintah daerah dapat melakukan

(12)

12 tindakan pencegahan dan korektif terhadap permasalahan yang mungkin muncul dan menyebabkan terjadinya SiLPA di Tahun Anggaran 2016.

Inspektorat Kabupaten Belitung selaku lembaga dimana penulis bekerja sebagai auditor, SiLPA dapat dijadikan sebagai kriteria dalam menentukan objek pemeriksaan desa. Pemilihan objek pemeriksaan dilakukan berdasarkan pemetaan data dan pemetaan risiko. Penelitian ini dapat menjadi acuan perubahan dalam penyusunan Program Kerja Pemeriksaan Tahunan (PKPT) di pemerintahan desa.

b. Kontribusi keilmuan

Memberikan kontribusi hasil penelitian bagi peneliti lain tentang keuangan desa. Penelitian ini menambah literatur tentang pengelolaan keuangan desa. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya literatur tentang pengelolaan keuangan desa. Selain itu dana desa mulai diberikan kepada pemerintah desa tahun 2015. Penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dana desa dilihat dari besaran SiLPA.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulis menguraikan penelitian dalam sistematika penulisan yang terdiri atas beberapa bab yakni:

Bab I : Introduksi

Bab ini terdiri dari beberapa sub bab yakni latar belakang, problem riset, pertanyaan riset, tujuan riset, kontribusi riset, dan sistematika penulisan.

(13)

13 Bab II : Kajian Pustaka

Bab ini membahas tentang landasan teori dan hasil penelitian terdahulu. Landasan teori membahas tentang desa, keuangan desa, siklus pengelolaan keuangan desa, dan teori institusional. Untuk hasil penelitian terdahulu diuraikan tentang penelitian yang berkaitan dengan SiLPA di pemerintah desa yakni SiLPA APBD, keuangan desa, penyerapan anggaran, dan teori institusional.

Bab III : Disain Riset

Bab ini membahas rasionalisasi penelitian, pemilihan objek penelitian, rerangka konseptual penelitian, dan metode penelitian. Rerangka konseptual penelitian membahas tentang pemikiran yang akan mengarahkan penulis dalam proses penelitian. Rerangka konseptual ini digambarkan penulis

berdasarkan telaah literatur dan penelitian terdahulu.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Belitung. Objek penelitian yang dipilih ialah desa se-Kabupaten Belitung. Metode penelitian menguraikan tentang jenis penelitian kualitatif, alat analisis, sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data.

Bab IV : Analisis dan Diskusi

Bab ini menguraikan hasil penelitian berupa temuan-temuan dan hasil analisis data. Bab ini menjawab pertanyaan penelitian yakni mengapa ada SiLPA Tahun Anggaran 2014 dan 2015 serta

(14)

14 dampak penerapan sanksi terhadap pembentukan SiLPA dana desa Tahun Anggaran 2015.

Bab V : Konklusi dan Rekomendasi

Bab ini menjelaskan kesimpulan, rekomendasi, dan

Referensi

Dokumen terkait

Pressure relief valve (PRV) adalah sebuah alat instrument yang bekerja saat adanya over pressure  pada

role playing (Bermain peran) berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada pembelajaran Bahasa Indonesia materi cerita fiksi. Hasil belajar siswa dengan menggunakan

Tingginya laju pertumbuhan relatif panjang pada perlakuan ikan sepat rawa padang galam dibandingkan dengan perlakuan lainnya disebabkan karena sifat dari tipe

Adapun kerangka pemecahan masalah pada kegiatan ini adalah dengan memberikan pelatihan terkait analisis usaha klaster batik di Kota Semarang Pelatihan tersebut merupakan

Dengan melihat frekuensi dan prosentase pada masing-masing corak, responden yang aktif pada kegiatan keagamaan intra kampus (Tutorial PAI, KALAM, UKDM, dan BAQI/UPTQ) lebih

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Representasi Matematis

Berbicara mengenai kekerasan seksual seorang suami terhadap istri tidak terlepas dari perbincangan mengenai definisi kekerasan seperti yang telah dipaparkan pada

Penelitian ini bertujuan untuk untuk memberikan gambaran tentang pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam usaha pencegahan terhadap Penyakit Demam Berdarah Dengue..