• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional. Oleh : Iswantoro *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional. Oleh : Iswantoro *"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional

Oleh : Iswantoro *

Abstract

In the fifth World Park Congress held in Durban, South Africa, on 8-17 September 2003, the indigenous movement is getting much progress instantly. More than 130 representatives of indigenous communities attended the meeting. The meeting itself is conducted by the IUCN that invites conservation organizations to the meeting every ten years. A strong statement by the indigenous communities in the congress emphasized the fact that their rights which have been traditionally recognized, including the right to live, are systematically violated even in preserved areas. This refers to the policy of building a preserved area which neglects the rights of indigenous people of the area. The policy will include that of natural resources and land. The statement said: "Indigenous people are the owner of the rights, not just partners." Indigenous representatives have succeeded in exerting pressure for recognition of their rights and the ‘agreed’ preserved areas. In the past government efforts to suppress their rights of "communal land" are based on a reason that "the unity of the nation is stronger than the customary rights and that loyalty to traditional rights is old-fashioned". Ironically, the policy has led to regionalism and rejection of central government intervention among indigenous communities, so as to create an environment that is able to give full recognition and protection, not just a formality, of their communal lands.

Key words: land tenure, land ownership, customary law, BPN

Abstrak

Dalam kongres kelima World Park Congress (Kongres Taman Dunia) yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 8-17 September 2003, gerakan masyarakat adat mengalami kemajuan pesat. Lebih dari 130 wakil-wakil masyarakat adat menghadiri pertemuan besar tersebut. Pertemuan itu sendiri dilaksanakan oleh IUCN yang mengumpulkan organisasi-organisasi konservasi setiap sepuluh tahun sekali. Pernyataan yang dikeluarkan oleh masyarakat adat dalam kongres itu menekankan fakta bahwa hak-hak mereka yang telah diakui secara tradisional secara sistematis telah dilanggar di kawasan-kawasan lindung, termasuk hak hidup. Pernyataan ini mengacu pada kebijakan

* Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

(2)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

membangun kawasan lindung yang mengabaikan rakyat. Pernyataan yang dikeluarkan menegaskan: "Masyarakat Adat adalah pemilik hak, bukan sekedar rekanan." Wakil-wakil masyarakat adat berhasil melakukan tekanan untuk mendapat pengakuan tentang hak-hak mereka dan kawasan-kawasan lindung yang diusulkan. Di masa lalu upaya kasar pemerintah untuk menekan prinsip "tanah ulayat" dilakukan dengan alasan "kesatuan bangsa lebih kuat dari pada adat dan kesetiaan pada hak tradisional yang sudah ketinggalan jaman". Ironisnya, kini kebijakan tersebut telah menyebabkan merebaknya perasaan kedaerahan dan penolakan terhadap campur-tangan pemerintah pusat. Untuk menciptakan lingkungan yang mampu memberi pengakuan dan perlindungan seutuhnya bagi tanah komunal, yang tidak hanya sekedar pengakuan formalitas.

Kata kunci: penguasaan tanah, kepemilikan tanah, hukum adat, BPN

A.Pendahuluan

Distorsi terhadap pengelolaan pertanahan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah Orde Baru terus berdampak karena distorsi tersebut telah melembaga. Distorsi ini tidak hanya mempengaruhi struktur dan organisasi administrasi pertanahan, tetapi juga mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai peranan hukum dalam pengaturan tanah dan perlindungan hak atas tanah. Beberapa contoh distorsi tersebut antara lain:1

1.Dominasi negara di atas kepentingan pribadi: "pembangunan" dan "kepentingan umum" secara rutin telah di salah gunakan untuk membenarkan pelanggaran terhadap kepentingan pribadi. Hingga kini hak, kepemilikan tanah secara perorangan belum didefinisikan dengan tepat (secara hukum), sementara peraturan yang memberi hak istimewa dan kekuasaan kepada pemerintah telah semakin diperluas.

2.Perdagangan dan kesempatan untuk investasi mengalahkan prioritas bagi isu-isu sosial: Konsep Tanah Negara dipertahankan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat di atas tanah negara tersebut. Prosedur pencabutan hak perorangan atas tanah biasanya disebut sebagai "pembebasan tanah" tidak dilakukan sesuai peraturan, dan pengadaan tanah untuk kepentingan usaha komersial sering

1 Syahyuti, Nilai-nilai Kearifan Pada Konsep Penguasan Tanah menurut Hukum Adat Di Indonesis, Forum Penelitian Argo Ekonomi. Volume 24 No. 1, Juli 2006, p. 20.

(3)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

dilakukan tanpa menghormati hak-hak masyarakat setempat.2

3.Lemahnya sistem penegakan hukum: Lebih dari 50% dari kasus sipil yang dibawa ke pengadilan berkaitan dengan sengketa pertanahan. Namun putusan hakim belum menyumbang bagi terwujudnya sistem hukum pertanahan yang terbuka dan adil. Sebaliknya, pengadilan secara konsisten cenderung membenarkan tindakan atau kebijakan pemerintah.3

Distorsi yang terjadi, selain akibat status tanah yang belum jelas, juga dikarenakan masih banyak surat-surat keterangan tanah yang dibuat oleh kelurahan/desa yang menjadi acuan BPN perlu ditingkatkan kualitasnya dengan pembenahan administrasi dan sumber daya manusia kelurahan/desa secara proporsional. Selain itu, persoalan-persoalan yang muncul tentunya menuntut penyelesaian yang arif dan bijak, serta bagaimana kepentingan semua pihak dapat diakomodir. Penyelesaiannya tidak cukup dengan memperhatikan aspek hukum saja, tetapi juga aspek fisik, politik, sosial, bahkan kemanusiaan.

Untuk mengatasi sengketa pertanahan tersebut, keterlibatan kelompok masyarakat yang luas dalam diskusi mengenai pertanahan sangat penting. Jika tidak, bias pemerintah dapat muncul lagi dan menciptakan distorsi baru. Misalnya: Konsep untuk perubahan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disusun oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengandung pasal "pemutihan" yang mengesahkan semua perampasan tanah di masa lalu. Menurut Pasal 12 konsep tersebut dinyatakan sebagai berikut:

"Pelaksanaan penguasaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang kenyataannya masih ada, tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang: (a) sudah dipunyai oleh Lembaga Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum dan perseorangan yang bersangkutan dengan suatu hak menurut Undang-Undang No.5/1960 atau UU ini; (b) diperoleh atau dibebaskan oleh suatu Lembaga Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum dan perseorangan yang bersangkutan, sesuai ketentuan hukum dan tata cara yang berlaku."

2 Sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas

Tanah dan Benda tak Bergerak Di Atasnya (UU ini menggantikan peraturan kolonial tahun 1920- Onteigeningsordonnantie S. 1920/574 yang dianggap melindungi hak tanah perorangan secara berlebihan. Lihat penjelasan UU 20 Tahun 1961 Pasal 3).

3 Salah satu contohnya adalah pembatalan putusan kasasi Mahkamah Agung (No.

2263 K/Pdt/1991; 28 Juli 1993). Putusan ini menetapkan pemberian kompensasi yang adil bagi pemilik tanah yang telah dipindahkan secara paksa pada saat pembangunan bendungan Kedung Ombo di Jawa tengah. Setelah pemerintah menuntut diadakan peninjauan ulang, Mahkamah Agung membatalkan keputusannya sendiri melalui suatu panel Mahkamah Agung (panel tersebut diketuai ketua Mahkamah Agung, dan ternyata dua anggota lainnya di kemudian hari diangkat juga sebagai Ketua Mahkamah Agung).

(4)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

Ketentuan ini akan menghambat masyarakat jika ingin menuntut kembali tanahnya, khususnya jika di waktu yang lalu masyarakat dipaksa menjual atau melepaskan tanahnya melalui prosedur yang tidak adil meskipun sah, melalui ijin lokasi, pemanfaatan lahan untuk "kepentingan umum" yang tidak transparan, dan peraturan-peraturan lain yang tidak mengindahkan hak masyarakat yang sah. Pemetaan oleh dan bersama masyarakat dan usaha-usaha sosialisasi mengenai kegiatan ini akan membongkar berbagai pelanggaran di masa lalu. Konsesi hutan dan pertambangan, hak guna usaha untuk perkebunan, lapangan golf, tambak udang skala besar, zona industri, waduk, dan proyek infrastruktur raksasa, semua mengandung potensi pelanggaran ini. Penyelesaian sengketa warisan masa lalu (melalui mekanisme penyelesaian perselisihan resmi) seharusnya menjadi bagian dari program administrasi pertanahan yang baru.4

UU No. 22 tahun 1999 Pasal 11 Ayat 2 menetapkan bahwa masalah pertanahan masuk dalam 11 bidang kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Namun, belum genap satu bulan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. pada Januari 2001 dikeluarkan Keppres No. 10 tahun 2001 yang menyatakan bahwa:

"Pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan sepenuhnya masih mengacu pada Peraturan, Keputusan, Instruksi, dan Surat Edaran Menteri

Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang telah ada".

Kemudian pada Mei 2001, pemerintah pusat mengeluarkan Keppres No. 62 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres No. 166 tahun 2000 tentang "Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Keppres No 42 tahun 2001". Keppres ini menyatakan bahwa:

"Sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional di daerah tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan di bidang

pertanahan, selambat-lambatnya dua tahun".

Dikeluarkannya Keppres No. 10 tahun 2001 (-111 67 tahun 2001 tersebut menunjukkan sikap pemerintah pusat yang masih setengah hati dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Selain karena pemerintah

4 Misalnya penjualan perkebunan-perkebunan milik perusahaan yang dinyatakan

bangkrut oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) walaupun telah yang digunakan untuk perkebunan tersebut dulu dirampas/diambil tanpa kesepakatan masyarakat lokal (dengan demikian secara hukum perusahaa-perusahaan tersebut bukan pemilik tanah).

(5)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

pusat belum memenuhi tanggungjawabnya dalam membuat peraturan perundangan pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat juga membuat beberapa peraturan perundangan yang bertentangan satu lama lain. Dalam hal ini, sikap setengah hati pemerintah pusat ditunjukkan dengan menarik kembali kewenangan di bidang pertanahan yang telah diberikan kepada pemerintah daerah.

Fenomena merebaknya berbagai kasus sengketa tanah tersebut telah menimbulkan perdebatan mengenai status kelembagaan BPN dalam konteks sengketa tanah. Ada dua kelompok pendapat tentang hak milik. Kelompok pertama adalah orang-orang yang memandang bahwa timbulnya berbagai kasus sengketa tanah disebabkan oleh ketidakmampuan BPN dalam mengatasi masalah pertanahan. Kelompok kedua berpendapat bahwa UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dianggap sudah ketinggalan zaman dan dianggap tidak mampu mengakomodir berbagai kebutuhan yang semakin merebak akhir-akhir ini, misalnya kebutuhan tanah untuk investor, masyarakat kecil, kebutuhan tanah untuk petani, dan untuk pemerintah daerah. Aspek administratif dan teknis masalah administrasi pertanahan luas dan rumit. Banyak pengalaman telah dipetik selama pelaksanaan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) 1995-2001 yang didanai Bank Dunia.

Meskipun masih terbuka peluang untuk meningkatkan proyek PAP (misalnya dengan rneningkatkan partisipasi masyarakat, menghapus bias terhadap kepentingan pemerintah, melakukan koordinasi yang lebih baik antara tingkat nasional dan daerah), proyek ini telah memberi kepastian hak atas tanah kepada lebih dari 2 juta orang pemilik tanah, sebagian besar dari pemilik tanah ini berpendapatan rendah. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih jauh tentang peran BPN dalam penyelesaian kepemilikan tanah adat.

B. Pengertian Dasar Tentang Sistem Penguasaan Tanah (Land Tenure)

Secara leksikal, masih terjadi perdebatan tentang padanan istilah land

tenure di dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, istilah land tenure

dijelaskan dalam konteks legal sebagai sistem pemanfaatan dan/atau kepemilikan tanah. Istilah land tenure bisa juga menjelaskan bagaimana seseorang atau pihak tertentu memangku dan atau memiliki tanah. Buku panduan ini menggunakan istilah sistem penguasaan tanah sebagai pengganti kata land tenure.

Sistem penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah. Hak atas tanah jarang dipegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama bisa saja terdapat sejumlah pihak yang

(6)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda. Dalam bahasa Inggris ini disebut sebagai "bundle of rights". Satu contoh yang mengilustrasikan istilah "bundle

of rights" di Indonesia adalah kondisi dimana pada suatu taman nasional -

hak kepemilikan tanah dipegang oleh negara, namun setiap warga negara memiliki hak untuk mengunjung dan menikmati keindahan alamnya, sementara masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam taman nasional tersebut memiliki hak untuk memakai (right of use) sumberdaya alam yang terdapat di atasnya untuk kesejahteraan mereka, namun terbatas pada hak untuk memungut hasil hutan. Mungkin juga Perhutani atau dinas kehutanan bekerjasama dengan pihak swasta memiliki hak untuk mengembangkan usaha (hak mengelola) ekowisata di dalamnya. Di sini, terlihat betapa suatu pihak yang memiliki hak untuk menguasai tanah, belum tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut (sebaliknya kepemilikan secara pasti merupakan sebentuk hak penguasaan).5

Suatu hal yang sangat penting sehubungan dengan sistem penguasaan tanah adalah jaminan kepastian terhadap hak penguasaan

(tenure security). Di sini hak penguasaan dinyatakan pasti apabila pihak lain

tidak dapat mengambil alih hak yang dimiliki oleh pihak tertentu, apapun bentuk penguasaan yang dimilikinya. Kepastian hak penguasaan hanya mungkin terjadi jika semua pihak mengakui dan menegakkan sistem hukum yang sama, sehingga tak ada kekhawatiran bahwa salah satu pihak akan kehilangan hak penguasaannya atas tanah. Perlu ditekankan bahwa sistem penguasaan tanah, selalu menjelaskan hak legal sehubungan dengan relasi orang/institusi (subyek) dengan tanah (obyek), dan bukan menjelaskan kondisi de facto hubungan antara subyek dan obyek tersebut.

Kepastian hak penguasaan atas tanah seringkali juga terkait dengan jangka waktu tertentu yang pada prinsipnya diperlukan untuk mengembalikan modal (misalnya dalam konteks hak sewa atau hak guna usaha). Apabila jangka waktu penguasaan terlalu pendek dan secara realistis tidak memungkinkan pengembalian modal, maka bisa dikatakan bahwa hak penguasaan yang dimiliki suatu pihak tidak memiliki kepastian. Faktor lain yang dapat ditambahkan dalam memahami kepastian penguasaan adalah adanya sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang/institusi (subyek) untuk mendapatkan hak kepemilikan privat atas lahan (obyek). Aturan-aturan sistem penguasaan tanah menentukan bagaimana hak-hak atas tanah tersebut dialokasikan, apakah sebagai hak

5 Gamma Galudra, Gamal Pasya, Martua Sirait, dan Chip Fay, Rapid Land Tenure Assessment (RaTA): Paduan Ringkas Bagi Praktisi, (Bogor: World Agroforestry Centre Southeast Asia Regional Program, 2006), p. I.

(7)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

guna usaha (rights of exploitation/cultivation), hak sewa (rights of lease), hak untuk membuka lahan dan memungut hasil hutan, serta sejumlah hak penguasaan lahan lainnya. Dalam pengertian sederhana, sistem penguasaan tanah menetapkan siapa pemilik/pengguna lahan/tanah, relasi pihak tersebut terhadap sumberdaya yang ada di atasnya, berapa jangka waktu hak penguasaan beserta syarat-syaratnya.

Berdasarkan berbagai uraian tersebut sebelumnya, maka dalam tulisan ini dibangun sebuah batasan tentang sistem penguasaan tanah yaitu seperangkat unsur terdiri atas berbagai subjek (pelaku) dan objek (benda) yang satu sama lain saling berhubungan membentuk dan objek (benda) yang satu sama lain saling berhubungan membentuk dan mempengaruhi berbagai hak kepemilikan, penguasaan dan akses atas tanah dalam satuan bidang tanah/wilayah daratan tertentu.

C. Jenis-jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia

Secara umum, hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: "hak ulayat" dan "hak pakai". Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai. Sebidang tanah bagi kepentingannya biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.6

Sementara Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu: hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah. Perbedaannya adalah sebagai berikut:7

1. Hak persekutuan atau hak pertuanan mempunyai akibat ke luar dan ke dalam. Akibat ke dalam antara lain memperbolehkan anggota

6 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1993), p. 16.

7 Merza Gamal, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, (Pekanbaru: Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press), 2006), p.21.

(8)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

persekutuan (etnik, sub etnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di atasnya, misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun menggembalakan ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Akibat keluar ialah larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie), serta larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perorang-orangan atas tanah pertanian. 2. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland

bezitrecht), dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus

menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan.

3. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Tanah ini secara prinsip adalah milik komunal kesatuan etnik, namun setiap orang dapat memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas tanah tersebut.

Menurut Rizal,8 hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal mempertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Masyarakat yang hidup di dalam hak ulayat berhak mengerjakan tanah itu, dimana setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasan-batasan tertentu.

Menurut Van Vollenhoven sebagaimaan di kutip Bushar, ciri-ciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut: 9

1. Tiap anggota dalam persekutuan hukum (etnik, sub etnik, atau fam) mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang belum digarap, misalnya dengan membuka tanah untuk mendirikan tempat tinggal baru.

2. Bagi orang di luar anggota persekutuan hukum, untuk mengerjakan tanah harus dengan izin persekutuan hukum (dewan pimpinan adat); Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat

8 Syamsul Rizal, Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA,

(Medan: Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Universitas Sumatra Utara, 2003), p. 27.

9 Muhammad Bushar, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya

(9)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

itu mempunyai hak yang sama, tapi untuk bukan anggota selalu diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon).

4. Persekutuan hukum sedikit banyak masih mempunyai campur

tangan dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami oleh seseorang.

5. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam ulayatnya.

6. Persekutuan hukum tidak dapat memindah tangankan hak penguasaan

kepada orang lain.

7. Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan

suku/masyarakat hukum/desa.

Hampir sama dengan di atas, berlakunya hak ulayat ini menurut sistematika Ter Haar adalah sebagai berikut:10

1. Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.

2. Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu, mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya.

3. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan

sepengetahuan kepala suku atau kepala masyarakat hukum. Hubungan hukum antara orang yang membuka tanah dengan tanah tersebut makin lama makin kuat, apabila tanah tersebut terus menerus dipelihara/digarap dan akhirnya dapat menjadi hak milik si pembuka. Sekalipun demikian, hak ulayat masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Sebaliknya, apabila tanah yang dibuka itu tidak diurus atau diterlantarkan, maka tanah akan kembali menjadi tanah masyarakat hukum. Selain itu, transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan persetujuan kepala suku.

4. Berdasarkan kesepakatan masyarakat hukum setempat, dapat

ditetapkan bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat permukiman, makam, pengem-balaan umum, dan lain-lain.

5. Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat, kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih

10 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Bandung: Sumur Batu, 1985), p.

(10)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

dahulu. Izin tersebut bersifat sementara, misalnya untuk selama musim panen, namun suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara timbal balik hak-hak itu terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah makin memperkuat hubungan perseorangan dengan sebidang tanah. Bila hubungan perorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus menerus, maka pulihlah hak masyarakat hukum atas tanah itu dan tanah tersebut kembali menjadi hak ulayat.

6. Apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku atau masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.

Pengertian "ulayat” di Minangkabau lebih kuat ke arah pengertian sebagai tanah milik komunal seluruh suku Minangkabau. Tanah ulayat adalah pusaka yang diwariskan turun-temurun, yang haknya berada pada perempuan, namun sebagai pemegang hak atas tanah ulayat adalah mamak kepala waris. Penguasaan dan pengelolaan tanah ulayat dimaksudkan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan serta keberadaan masyarakat (eksistensi kultural). Selain itu, tanah ulayat juga mengandung unsur religi, kesejarahan dan bahkan unsur magis serta bertujuan memakmurkan rakyat di dalamnya.11

Tanah ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak dapat didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja. Penelitian Jamal et al. menemukan bahwa seluruh tanah di wilayah Minangkabau, yang persis berhimpit dengan areal administratif Provinsi Sumatera Barat, merupakan "tanah ulayat" dengan prinsip kepemilikan komunal, yang penggunaan dan pendistribusian penggunaannya tunduk kepada pengaturan menurut hukum adat.12

D. Praktek Pembebasan Tanah di Indonesia

Pencabutan tanah bukan hal baru yang tiba-tiba muncul dalam Perpres No. 36/2005. Praktek ini sudah lama dikenal, bahkan mendapatkan payung hukum dalam konstitusi. Pasal 26 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), dan Pasal 27 UUD Sementara 1950 memuat kemungkinan pencabutan hak milik atas tanah demi kepentingan

11 A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau,

(Jakarta: Grafiti Pers, 1986), pp. 151-152.

12 Erizal Jamal et al, Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan pada Komunitas Lokal,

(11)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

umum. Syaratnya: harus ada ganti rugi yang layak, dan pencabutan itu dilakukan atas dasar ketentuan undang-undang. Untuk melegitimasi kewenangan pencabutan hak atas tanah itu, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 20 Tahun 1961. Isinya mengatur tentang Pencabutan Hak Tanah oleh Pemerintah untuk Kepentingan Umum. Perbedaannya, peraturan ini memperlihatkan langkah hati-hati dari pemerintah.

Terbukti, sebagaimana dikutip Kalo dari pakar hukum pertanahan Prof. AP Parlindungan(almarhum)bahwa sejak diundangkan hingga tahun

1995, undang-undang No. 20 Tahun 1961 tidak pernah in action, dalam arti belum pernah dipergunakan untuk pencabutan hak atas tanah.13 Meskipun demikian, keberadaan pijakan hukum bukan berarti menyelesaikan masalah dalam pembebasan tanah. Keberadaan peraturan demi peraturan di bidang pertanahan tidak menjamin perlindungan bagi rakyat dari kesewenang-wenangan aparat pemerintah yang selalu membawa jargon "pembangunan dan kepentingan umum".

Dalam praktik pembebasan tanah, perangkat hukum pertanahan cenderung diterapkan secara silogisme dengan logika deduktif semata tanpa mempertimbangkan pengaruh faktor dan proses sosial yang ada. Ini merupakan akibat pengaruh aliran positivisme dalam sistem hukum Indonesia. Kaedah hukum yang dibuat penguasa lewat undang-undang harus ditaati masyarakat tanpa memperhitungkan apakah kaedah itu benar dan adil, atau malah sebaliknya.14

Dalam proses pembebasan dan pencabutan hak atas tanah, para pihak memang berusaha mencari jalan tengah. Sikap serupa akan ditunjukkan pemerintah dalam kasus pembebasan lahan oleh swasta. Tetapi kalau jalan tengah tak tercapai, sengketa warga dengan pengembang terus berlanjut, pemerintah cenderung selalu memihak swasta dibanding kepentingan masyarakat. "Tidak jarang dilakukan dengan unsur-unsur paksaan agar warga masyarakat terpaksa meninggalkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak layak".15 Sementara, perkara pertanahan yang berujung ke pengadilan tidak membawa hasil baik bagi rakyat kecil. Di mana, hakim cenderung mementingkan "fakta atau peristiwa" ketimbang "hukumnya".16

13 S. Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (Jakarta:

Pustaka Bangsa Press, 2004), p. 15.

14Ibid., pp. 128-129. 15Ibid., p. 44. 16Ibid., p. 131.

(12)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

E. Pergeseran Penguasaan Lahan dari Penguasaan Komunal ke Private

Secara subtantif bahwa dalam tanah ulayat tidak dikenal adanya peralihan hak (transaksi), karena tanah ulayat yang dimiliki secara komunal tidak boleh dialihkan ke pihak lain untuk selama -lamanya. Namun berdasarkan studi empiris di lapangan menunjukkan adanya "peralihan" dari penguasaan tanah secara komunal kepemilikan privat. Pergeseran tersebut ada yang mengikuti proses evolutif dan proses yang relatif revolutif. Pergeseran yang evolutif adalah melalui proses berikut apabila tanah ulayat nagari melalui musyawarah adat terbagi ke dalam ulayat suku, kemudian ulayat suku melalui musyawarah adat terbagi dalam ulayat kaum, selanjutnya ulayat kaum melalui musyawarah adat yang biasanya atas tuntutan anggota masyarakat yang berhak agar tanah tersebut dibagikan. Proses evolutif ini tampaknya sejalan dengan perkembangan penduduk secara alami sehingga kebutuhan akan tanah bagi kehidupan meningkat begitu cepat. Selanjutnya, adanya keterbukaan ekonomi, budaya masyarakat perantau, dan pendatang banyak tanah-tanah yang dulunya tanah adat setelah dibagi dilakukan sertifikasi, kasus ini lebih banyak terjadi pada lahan sawah dibandingkan lahan perkebunan. Kasus pergeseran secara evolutif ini ditemukan di lokasi penelitian Kecamatan Panti dan Bonjol, di mana diperkirakan ke pemilikan tanah secara private masing-masing sudah mencapai 35 dan 25 persen.17

Sementara pergeseran yang sifatnya terjadi secara revolutif adalah melalui kerjasama dalam bentuk PIR Perkebunan Kelapa Sawit, seperti yang terjadi di Kecamatan Pasaman dan Kinali. Dalam hal ini, masyarakat berkesempatan menjadi petani plasma dengan mendapat hak garap 2 ha kebun sawit. Selain itu, juga ditemukan adanya pergeseran sistem kepemilikan, dari kategori menguasai (tanah ulayat nagari) menjadi memiliki (tanah privat). Hal ini ditunjukkan dengan dibuatkannya sertifikat untuk setiap petani plasma seluas 2 ha kebun jatahnya. Dalam hal ini konversi sistem hukum atas tanah, dari tanah pemilikan (penguasaan) tanah secara komunal menjadi tanah milik privat masing-masing individu merupakan suatu perubahan yang bersifat revolutif.18

17 Saptana Supriyati dan Yana Supriatna, Penataan Lahan, Otonomi Daerah, dan Pembangunan Pertanian di Pedesaan, dalam Icaserd Working Paper No. 20, (Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, 2003), p. 20.

(13)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

F. Penyelesaian Penguasaan Kepemilikan Tanah Adat

Sesungguhnya persoalan penyelesaian penguasaan kepemilikan tanah adat merupakan persoalan yang agak rumit. Sampai saat ini berbagai macam persoalan muncul dari kepemilikan tanah tersebut. Bukan saja antara penduduk asli dengan penduduk pendatang, antara satu suku dengan suku lainnya, bahkan antara masyarakat dengan negara. Sejarah membuktikan bahwa kerumitan yang ada membuat pemerintah kolonial harus bekeria ekstra keras untuk menghadapi penduduk lokal. Berbagai macam produk kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap masalah tanah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari tanah tersebut setelah digarap.19

Sementara itu, produk-produk kebijakan pemerintah kolonial tersebut telah membawa masyarakat adat ke dalam sistem yag sebelumnya tidak mereka kenal di dalam aturan-aturan hukum adat mereka sendiri. Munculnya domeinverklaring misalnya, terbukti menghapus hak ulayat di Minangkabau, sama artinya penghapusan hukum kewarisan dalam hukum adat, karena tanah ulayat yang digunakan untuk domenverklaring tersebut melambangkan persekutuan hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, ketika tanah tersebut ditinggalkan oleh pemerintahan kolonia Belanda, penduduk berusaha untuk mempertahankannya. Walaupun ada pihak-pihak tertentu yang ingin merebutnya. Hal tersebut, sesungguhnya terbukti seperti yang terjadi di daerah Rao dalam memperebutkan lahan kebun karet peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Perebutan lahan kebun karet tersebut terjadi antara penduduk asli (masyarakat Rao) dengan penduduk pendatang (masyarakat Tapanuli Selatan).

Namun penduduk pendatang berpendapat bahwa lahan tersebut bukan milik penduduk asli namun milik bekas pemerintahan kolonial Belanda. Konflik yang terjadi tersebut merupakan sebuah respon dari tindakan penduduk pendatang ke daerah tersebut yang menurut penduduk asli tanpa melalui tata cara adat yang berlaku di daerah tersebut. Kendatipun demikian, proses kedatangan mereka juga didukung oleh suasana daerah tersebut yang tidak terlepas adanya peristiwa PRIU, yang membuat para laki-laki harus meninggalkan kampungnya dan pergi ke hutan-hutan untuk menyelamatkan diri dari tentara pusat.20

19 Undri, “Kepemilikan Tanah Di Sumatra Barat Tahun 1950-an (Kasus Konflik

Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet di Kabupaten Pasaman)”, Makalah Worksopon the economic Side of Decolonosation. Kerjasama LIPI, Nederland Instituts Voor or Longdocumentatie, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan Program Studi Sejarah Pascasarjana UGM Yogyakarta tanggal 18-19 Agustus 2004.

20 Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985),

(14)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

Terlepas dari itu semua, bahwa masalah kepemilikan tanah di Sumatera Barat tidak akan pernah habis-habisnya untuk dibicarakan serta dikaji mengingat keunikan hukum adat yang mereka miliki. Apalagi mengenai kepemilikan lahan perkebunan besar setelah Belanda meninggalkan ranah Minang perlu kiranya mendapat sentuhan untuk diteliti lebih lanjut, atau merupakan sebuah tema kunci dalam sejarah ekonomi modern Indonesia ke depan.21

F. Kesimpulan

Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih lagi dalam pembagian tanah persekutuan dan tanah perseorangan atau individu. Selain itu, juga dapat dilihat bagaimana pembagian hak-hak atau pengaturan hak-hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk menertibkan pemakaian tanah adat sehingga benar-benar menjamin keadilan. Namun, kepastian hukum tidak terjamin dengan hanya mengandalkan hukum tanah adat belaka, karena aspek penerapan prinsip konstuksi yuridis abstrak dalam hukum tanah adat.

Hak ulayat masyarakat hukum adat di dalam UUPA diakui sepenuhnya dan dalam eksistensinya masih menunjukkan jatidirinya sebagai ciri khas hukum adat dalam keagrariaan yang memandang komunalisme dan kebersamaan dalam rangka kesejahteraan anggota masyarakat adat setempat dengan segala konsekuensinya. Ini berarti keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat sepenuhnya dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri adanya perubahan yang revolutif dari kepemilikan bersifat komunal dalam masyarakat hukum adat bias berubah kepada kepemilikan yang bersifat perorangan atau privat. Mendaftarkan tanah adat berdasar peraturan perundangan dengan memperhatikan hukum tanah adat yang berlaku secara nasional, sebenarnya hal ini merupakan suatu penandaan kepada tanah itu, mana yang bisa dialihkan, serta mana yang bisa diwariskan. Dengan kata lain, pendaftaran tanah adat sesuai ketentuan BPN merupakan upaya untuk menjaga jangan sampai ada penyimpangan dari ketentuan adat yang berlaku di bidang tanah, dimulai dengan surat tanda bukti penguasaan dan pemilikan tanah.

21 Mengutip tulisan Thomas J. Lindblad tentang tema-tema kunci dalam sejarah

ekonomi modern Indonesia. Lebih lanjut lihat. Thomas J. Lindblad (ed) Sejarah Ekonomi Modern Indonesia : Berbagai Tantangan Baru., (Jakarta: LP3ES, 2000), p. 42.

(15)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012 Daftar Pustaka

Bushar, Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita, 1988.

Galudra, Gamma, Gamal Pasya, Martua Sirait, dan Chip Fay, Rapid Land

Tenure Assessment (RaTA): Paduan Ringkas Bagi Praktisi, Bogor: World

Agroforestry Centre Southeast Asia Regional Program, 2006.

Gamal, Merza, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islami Solusi Pembangunan

Kesejahteraan Berkesinambungan dan Berkeadilan, Pekanbaru: Badan

Penerbit Universitas Riau (Unri Press), 2006.

Jamal, Erizat et al., “Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan pada Komunitas Lokal”, Bogor: Laporan Penelitian PSE No. 526

Kalo, Syafruddin, Pengadaan Tanah Bagi Pembanguna untuk Keluarnya UUPA, Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Kepentingan Umum,

Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004.

Keppres No. 62 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres No. 166 tahun 2000 tentang "Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non-Departemen Sebagaimana Telan Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Keppres No 42 tahun 2001"

Lindblad, J. Thomas (ed), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai

Tantangan Baru, Jakarta: LP3ES, 2000.

Navis, A.A., Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan

Minangkabau, Jakarta: Graffiti Press, 1986.

Purnadi, & Halim, Ridwan, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.

Rizal, Syamsul, Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya

UUPA, Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Medan:

Universitas Sumatera Utara, 2003.

Rusli, Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

(16)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012

Syahyuti, Nilai-nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Ter Haar,

Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Bandung: Sumur Batu, 1985.

Tanahkoe.tripod.com, Hak atas Tanah: Sejarah, Macam Hak, dan Cara Perolehannya, http://www.tanahkoe tripod corn.

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Bandung: Sumur Batu, 1985.

Thomas J. Lindblad (ed) Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai

Tantangan Baru. Jakarta: LP3ES, 2000.

Undri, “Kepemilikan Tanah Di Sumatera Barat Tahun 1950-an (Kasus Konflik Kepemilikan Tanah Perkebunan Karet di Kabupaten Pasaman”, makalah yang dipersiapkan untuk Worskop on the economic Side Of Decolonosatioan. Jonintly Organized by LIPI, Nederland Instituts Voor or logdocumentatie (NIOD), Pusat studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada dan Program Studi Sejarah Pascasarjana Universitas Gaiah Mada Yogyakarta tanggal 18-19 Agustus 2004. UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UU No.20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda

Referensi

Dokumen terkait

755 Yohanes SMP Bunda Hati Kudus DKI Jakarta srt baptis 756 Giovanie Anggasta Yogg SMP Katolik RICCI II Banten lengkap 757 Agustinus Dimas Riyandi SMP YPPK Santu

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Totalindo merupakan salah satu dari sedikit kontraktor swasta nasional yang telah memperoleh Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi dengan kualifikasi Besar 2

Petir/kilat merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer Bumi yang tidak dapat dicegah (Pabla, 1981 dan Hidayat, 1991) yang terjadi akibat lepasnya muatan listrik baik

Hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel teman sebaya dan variabel kepercayaan diri terhadap aktualisasi diri

Berdasarkan nilai IDR gula kristal putih yang disajikan pada Tabel 4, terlihat bahwa Indonesia memiliki ketergantungan impor gula jenis gula kristal putih. Pada

Studi mengenai kinerja perusahaan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan berbagai ukuran rasio keuangan maupun model analisis yang dapat digunakan dalam