• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

2016

August Mellaz

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Jl. Proklamasi No. 65, Jakarta Pusat

info.spdindonesia@gmail.com│+621 3906072

www.spd-indonesia.com

Alokasi Kursi dan

Pembentukan Daerah Pemilihan

“Teori, Prinsip, Praktek Alokasi Kursi dan Pembentukan

Daerah Pemilihan”

(2)

2 | P a g e Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan

“Teori, Prinsip, Praktek Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan”

Menjelang pembahasan dalam rangka perubahan rancangan undang-undang pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD 2014 (Pemilu Legislatif), beberapa isu mengemuka dalam perdebatan, antara lain; Ambang Batas Perwakilan (parliamentary threshold), Alokasi Kursi dan Besaran Daerah Pemilihan (district magnitude), dan Formula Perolehan Suara-Kursi partai politik (electoral formula). Ketiga isu tersebut, dipahami sebagai instrumen atau perangkat teknis pemilu yang berkaitan secara langsung dalam konversi suara partai politik menjadi kursi perwakilan.

Khusus pada isu alokasi kursi daerah pemilihan. Saat ini proposal yang berkembang terkait alokasi kursi daerah pemilihan, adalah penurunan besaran alokasi kursi setiap daerah pemilihan antara; 3-6, 3-8, dan 3-10 kursi. Beberapa argumen yang mengemuka pada isu penurunan besaran magnitude daerah pemilihan, didasarkan pada keinginan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan sekaligus menciptakan stabilitas pemerintahan, memperkuat basis legitimasi wakil dan mendekatkannya dengan pemilih. Pada sisi lain, muncul pertanyaan, apakah sistem kepartaian yang ada dianggap sudah sangat meluas atau ekstrim. Pertanyaan berikutnya, jika alokasi kursi daerah pemilihan diturunkan, apakah tidak membawa dampak pada perubahan peta daerah pemilihan. Hal ini beranjak dari pembentukan daerah pemilihan di Indonesia, yang secara tradisi berbasis wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan).

Meski banyak pihak memahami betapa penting pengaruh daerah pemilihan dan keterwakilan, namun studi ataupun kajian tentang daerah pemilihan sangatlah sedikit, jika tidak boleh dikatakan diabaikan. Untuk itu, pengalaman lebih dari dua ratus tahun di Amerika Serikat dan sebagian Eropa Barat dalam kurun waktu hampir satu abad, layak untuk dijadikan salah satu rujukan.1 Pada sebagian besar Negara-negara di dunia, konsep keterwakilan selalu dikaitkan dengan wilayah teritorial. Sedangkan factor-faktor non teritorial yang turut diperhatikan, diantaranya; basis pemilih parpol, kelas sosial ataupun berbasis pendapatan, kepercayaan dan etnik, maupun kelompok-kelompok asosiasi.2

Setidaknya ditemukan tiga dimensi penting yang mendasari basis penentuan daerah pemilihan; pertama, homogenitas. Didefinisikan sebagai seberapa tinggi tingkat kesamaan pandangan kelompok masyarakat atau konstituen. Baik pandangan politik atau ideologi, tata cara dan praktek kehidupan sehari-hari yang berpengaruh terhadap respon bersama atas suatu isu. Kedua, stabilitas. Tingkat kemapanan keanggotaan konstituen, dimana pilihannya terhadap partai atau kandidat tidak sering berubah dari satu perode pemilu ke periode pemilu yang lain. Model konstituensi di Amerika Serikat memiliki tingkat stabilitas yang lebih permanen, sedangkan model sistem proporsional biasanya cenderung berubah. Ketiga, voluntary. Permisif tidaknya pemilih atau basis konstituen terhadap masuk dan keluarnya partai-partai baru. Dengan kata lain, dari sisi pemilih, apakah pemilih memiliki keleluasaan untuk diwakili oleh partai-partai baru atau oleh partai-partai lama. Sedangkan dari sisi partai, apakah peluang keluar masuknya partai-partai baru atau kandidat besar atau kecil.3

Di tengah perdebatan antar partai politik yang saat ini sedang menyusun perubahan undang-undang pemilu, catatan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan. Setidaknya pada beberapa hal, perlu ada kerangka yang sama dalam

1 Andrew Rehfeld, The Concept of Constituency: “Political Representation, Democratic Legitimacy, and Institutional Design”,

Cambridge University Press, 2005, hlm. 29-31

2 Ibid, hlm. 37-38

(3)

3 | P a g e memandang daerah pemilihan. Baik pada sisi konsep, prinsip-prinsip utama dan praktek yang ada, baik di Indonesia maupun perbandingannya dengan negara-negara lain yang menerapkannya.

Kerangka Konsep

Proses pembentukan peta daerah pemilihan dan alokasi kursi daerah pemilihan

- Pembentukan daerah pemilihan dan alokasi kursi daerah pemilihan di Indonesia terjadi pada setiap periode pemilu legislative berdasarkan undang-undang pemilu legislatif, yaitu 5 tahun sekali.

- Pada Negara lain seperti Amerika Serikat, proses tersebut berlangsung sekali dalam 10 tahun sesuai dengan periode sensus sebagaimana diatur dalam konstitusi.4

- Sebelum dilakukan pembentukan peta daerah pemilihan, terlebih dahulu ditentukan alokasi kursi DPR ke tingkat provinsi/negara bagian berdasarkan undang-undang. Setelah itu lembaga legislative Negara bagian membentuk peta daerah pemilihan.5 Namun pada beberapa Negara bagian di Amerika seperti Iowa dan New Jersey, pembentukan peta daerah pemilihan dilakukan oleh komisi independen.6

- Di Inggris dan Jerman pembentukan daerah pemilihan dilakukan oleh komisi Independen.7 Visibilitas Penurunan Alokasi Kursi Daerah Pemilihan

 Isu penurunan (pengurangan alokasi kursi daerah pemilihan) bukan sekedar masalah bisa atau tidak. Sejauh pembuat undang-undang meniatkan hal itu dan riil politik menginginkannya, tentu hal tersebut bisa terjadi. Sebelum membahas feasibility pengurangan alokasi kursi daerah pemilihan, seharusnya pembuat undang-undang menyepakati terlebih dahulu apakah alokasi kursi DPR RI 560 kursi ke tingkat provinsi sudah tepat atau tidak. Prinsip-prinsip dan formula alokasi yang digunakan apakah sudah jelas. Selain itu, data kependudukan apa yang akan digunakan untuk alokasi kursi DPR ke tingkat provinsi.

 Setelah isu alokasi kursi DPR ke tingkat provinsi bisa disepakati, maka relevan untuk membicarakan visibilitas penurunan jumlah alokasi kursi daerah pemilihan. Menurut saya, kita harus menuntaskan segala potensi terjadinya malapportionment atau pembagian secara tidak adil kursi perwakilan berdasarkan jumlah penduduk. Hal ini tidak hanya terjadi pada alokasi kursi DPR, tetapi juga terjadi pada alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kemudian beberapa prinsip penting yang hendaknya dipegang dan dipakai oleh para pembuat undang-undang dalam proposal pembentukan dan pengurangan alokasi kursi daerah pemilihan, antara lain;8

1. Daerah pemilihan merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous district)

2. Kesetaraan populasi (equal population)

4 Michel L. Balinsky and Peyton Young, Fair Representation: “Meeting The Ideal of One Man, One Vote”, second edition,

Brookings Institution Press, Washington DC, 2001, hlm. 5

5 Thomas L. Brunel, Redistricting and Representation: “Why Competitive Elections are Bad for America”, Routledge, 2008,

hlm. 3

6 Ibid

7 Gianfranco Baldini dan Adriano Pappalardo, Elections, Electoral Systems and Volatile Voters, Palgrave Macmillan,

2009, hlm. 31

(4)

4 | P a g e

3. Menjaga kesamaan kepentingan dari komunitas (preserving communities of interest)

4. Menjaga keutuhan wilayah politik/administrasi (preserving political subdivision), dan

5. Kekompakan daerah pemilihan (compactness)

Sebenarnya ada satu lagi prinsip, yaitu perlindungan terhadap petahana (protecting of incumbent). Prinsip ini ditemui dalam konteks pembentukan daerah pemilihan di Amerika Serikat yang menerapkan satu distrik satu wakil (single member district).9 Hal ini juga terjadi di Indonesia terutama akibat perubahan alokasi kursi dan peta daerah pemilihan pada pemilu 2009. Namun, situasi ini masih menimbulkan pertanyaan, apakah sesuai dengan konteks Indonesia yang menerapkan distrik berwakil banyak (multi member district).

 Beberapa prinsip di atas, selain memiliki tingkat prioritas yang lebih tinggi dibanding yang lain, juga seringkali saling bertentangan. Oleh karena itu, pilihan-pilihan yang hendak diprioritaskan, akan memberi dampak pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Diantara prinsip-prinsip di atas, yang paling ketat adalah daerah pemilihan hendaknya merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous district).10 Jika dilihat prakteknya, maka gabungan antara Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur sebagai daerah pemilihan untuk DPR, menjadi contoh kongkrit pelanggaran atas prinsip ini.

 Pertentangan antara satu prinsip dengan prinsip yang lain biasanya muncul dalam pembentukan daerah pemilihan. Misalnya, prinsip kesetaraan populasi. Jika ketentuan ini yang hendak disasar -dalam rangka menciptakan kesetaraan populasi antar daerah pemilihan- biasanya akan bertentangan dengan prinsip menjaga keutuhan wilayah administrasi. Oleh karena itu, ketentuan wilayah administrasi biasanya ditanggalkan, jika tidak maka ketidaksetaraan atau deviasi yang terjadi.

 Bisa saja, karena alasan keutuhan wilayah administrasi maka deviasi -akibat ketidaksetaraan populasi- diberikan toleransi. Namun, toleransi terhadap deviasi karena alasan menjaga keutuhan suatu wilayah, biasanya akan mengundang munculnya berbagai praktek gerrymandering.11 Konsekuensi-konsekuensi ini haruslah sepenuhnya dipahami oleh pembuat undang-undang.

 Jika memang niat menurunkan district magnitude, katakanlah antara 3-6 atau 3-8, dan sekaligus keutuhan wilayah hendak dijaga. Maka perlu diketahui terlebih dahulu secara pasti jatah kursi tiap-tiap kabupaten/kota di dalam suatu provinsi. Dari perhitungan terhadap 499 kabupaten/kota sesuai data sensus BPS 2010, setidaknya ada dua Kabupaten yaitu,

9 Ibid, hlm. 68-70 10 Ibid, hlm. 58-59

11 Praktik ini dikaitkan dengan pembuatan peta atau garis daerah pemilihan yang tidak seimbang dan bertujuan untuk

menguntungkan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini partai tertentu. Lebih lanjut lihat Michael D. McDonald dan Richard L. Engstrom “Detecting Gerrymandering”, dalam Political Gerrymandering and The Court, Bernard Grofman (ed), Agathon Press, New York, 1990, hlm. 178. Sedangkan istilahnya diambil dari nama Elbrigde Gerry, Gubernur Negara Bagian Massachusetts 1810-1812. Lebih lanjut lihat Gary W. Cox dan Jonathan N. Katz dalam Elbridge Gerry Salamander “The Electoral Consequences of the Reapportionment Revolution”, Cambridge University Press, 2004, hlm. 3-4. Istilah ini juga muncul di Irlandia era perdana Menteri James Tully (Fine Gael), maka disebut sebagai Tullymandering. Hanya saja berbeda dengan Elbridge Gerry yang diuntungkan, justru James Tully malah dirugikan, meski maunya diuntungkan. Lihat Op.cit, Gianfranco Baldini dan Adriano Pappalardo, hlm. 184-185

(5)

5 | P a g e Kabupaten Bogor berhak menerima alokasi kursi untuk DPR sebanyak 11 kursi. Sedangkan untuk Kabupaten Bandung berhak setidaknya 7 kursi. Pada sisi lain, gabungan daerah pemilihan untuk Malang Raya di Jawa Timur (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) berhak menerima 8 kursi.

 Setelah mengetahui berapa alokasi kursi tiap-tiap kabupaten/kota, baru penentuan daerah pemilihan berdasarkan prinsip-prinsip utama dapat diputuskan. Beberapa konsekuensi yang akan muncul; jika alokasi kursi per daerah pemilihan ditentukan antara 3-8, maka Kabupaten Bogor mau tidak mau haruslah dipecah. Jika alokasi daerah pemilihan antara 3-6, selain kabupaten Bogor, kabupaten Bandung juga harus menerima konsekuensinya karena berhak mendapatkan 7 kursi. Sedangkan pada daerah pemilihan Malang Raya, konsekuensi akan muncul, karena Kabupaten Malang berhak mendapatkan alokasi kursi tidak kurang dari 6. Sedangkan Kota Malang berhak atas 2 kursi dan Kota Batu nol.

 Beranjak dari informasi dan konsekuensi yang akan muncul, sekarang tinggal pembuat undang-undang saja, apakah konsekuensi tersebut bisa ditempuh (memecah wilayah administrasi). Atau masihkah ada alternative lain? Misalnya, menggabungkan beberapa wilayah ditingkat kecamatan misalnya untuk kasus kabupaten Bogor yang berbatasan terdekat dengan kota Bogor dapat digabungkan. Hal ini beranjak dari pertimbangan, pada sebagian kecamatan-kecamatan di kabupaten Bogor yang berdekatan atau berbatasan secara langsung dengan kota Bogor diasumsikan memiliki kedekatan budaya (kultur urban dsb) atau dengan kata lain memiliki ciri dan kepentingan yang sama meski secara administrative berbeda. Hal ini juga berlaku untuk daerah pemilihan Malang Raya.

 Sebenarnya, isu alokasi kursi daerah pemilihan dan pembentukan daerah pemilihan harus diakui merupakan isu yang relative baru. Bandingkan dengan Negara seperti amerika serikat yang memiliki pengalaman lebih dari dua ratus tahun, dimana kajian ini menjadi disiplin ilmu tersendiri dan bahkan melibatkan berbagai putusan dari pengadilan, baik tingkat Negara bagian hingga federal. Putusan-putusan pengadilan berbagai tingkatan ini pada akhirnya membantu memberikan tafsir bagi otoritas pembuat kebijakan dalam penentuan dan pembentukan peta daerah pemilihan.

Blok Sensus atau Alternatif Lain sebagai Basis Pembentukan Daerah Pemilihan

 Blok sensus memang bukan sebuah konsep yang paripurna dan paling tepat. Namun, model blok sensus menyediakan gambaran alternative yang perlu disesuaikan jika turut dilibatkan dalam isu pembentukan daerah pemilihan. Di Indonesia sendiri, blok sensus di Indonesia merupakan wilayah kerja petugas pencacah guna mendapatkan informasi utuh atau 100%. Blok sensus di Indonesia sendiri populasinya bisa antara 100 orang atau 200 rumah yang berada dalam wilayah administrasi setingkat desa. Sehingga dalam suatu wilayah administrasi misalnya setingkat kabupaten/kota, blok sensus tentu saja bisa terdiri dari ribuan. Tetapi yang paling penting prinsipnya, yaitu equal population.

 Sejauh literature yang tersedia, seperti di Amerika Serikat misalnya, isu alokasi kursi untuk legislative beranjak dari data sensus yang dilakukan tiap sepuluh tahun sekali. Dimana setahun setelah sensus, maka alokasi kursi dan sekaligus pembentukan daerah pemilihan dilakukan. Hal ini akan berlangsung dalam dua periode pemilu. Meskipun penentuan alokasi

(6)

6 | P a g e kursi ditetapkan oleh lembaga legislative (kongres atau senat bisa mengajukan proposalnya) dan pembentukan peta daerah pemilihan oleh semacam komisi boundaries (districting). Namun memperlihatkan gejala kuat peran dari badan sensus dan termasuk konsep-konsepnya menjadi pegangan dan informasi yang penting, dalam penentuan peta daerah pemilihan.  Isu alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan di Indonesia masih relative isu baru.

Oleh karena itu, justru hal ini memberikan peluang bagi masuknya para ahli; statistik, matematik, informasi teknologi, ilmuwan politik, para ahli pemetaan dan sebagainya untuk dilibatkan dalam membahas isu ini. Dengan keterlibatan para ahli tersebut, maka berbagai prinsip pembentukan daerah pemilihan dapat diterjemahkan, dan diimplementasikan dengan lebih terukur. Keinginan ini berangkat dari harapan yang sederhana, dengan membuka informasi semacam ini, diharapkan ada kesadaran bahwa persoalan pemilu bukan melulu ranah para individu yang studi tentang ilmu politik ataupun para politisi. Demikian juga, diharapkan para ilmuwan politik juga mulai mengenal aspek-aspek teknis semacam ini. Problematika Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah Pemilihan di Indonesia

 Selama ini banyak pihak yang menganggap bahwa persoalan alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan hanyalah masalah politik. Oleh karena itu, penentuannya semata-mata menjadi otoritas lembaga-lembaga politik, dalam hal ini DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang. Meskipun khusus untuk pemilu 2004, pembentukan daerah pemilihan diserahkan ke KPU, sedangkan pada pemilu 2009 menjadi lampiran undang-undang. Jika diperhatikan, secara relative apa yang dihasilkan KPU 2004 terkait dengan pembentukan daerah pemilihan lebih baik, meski bukan tanpa masalah.

Pada sisi alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan, masalah yang paling banyak muncul antara lain;

- Malapportionment12 (beberapa provinsi mendapatkan kursi perwakilan melebihi jumlah

penduduknya) misalnya; Sulawesi Selatan, Sumatera Barat. Sedangkan Riau dan Kepulauan Riau mendapatkan kursi keterwakilan kurang dari jumlah penduduk yang seharusnya.

- Masalah lain adalah apa yang disebut dengan tidak terjaganya kekompakan dan keutuhan daerah pemilihan (misalnya gabungan antara Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur yang harus melewati Kabupaten Bogor).

- Kesetaraan populasi (alokasi kursi daerah pemilihan di dalam satu provinsi yang sama berjarak terlalu besar). Misalnya; tahun 2004 alokasi kursi daerah pemilihan dalam satu provinsi yang sama ada yang 6, sedang daerah pemilihan sebelahnya 12. Tahun 2009, ada yang 7 dan daerah pemilihan sebelahnya 10. Apakah mungkin jarak ini diperpendek misalnya 8 dan 9 kursi.

- Paling banyak, terutama untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah melebihi ketentuan 3-12 kursi, atau seharusnya mendapatkan lebih dari 12 kursi tetapi harus dipaksa 12 (misalnya daerah pemilihan DPRD Kota Probolinggo).

12 Berasal dari istilah apportionment atau pembagian atau alokasi kursi perwakilan (DPR) berdasarkan jumlah populasi

secara adil. Oleh karena itu malapportionment diartikan kesalahan alokasi atau pembagian yang tidak menghormati jumlah pupulasi (penduduk) yang seharusnya. Bisa diukur dari ratio jumlah penduduk dibanding dengan jumlah kursi perwakilan yang diterima apakah seimbang atau tidak. Lebih lanjut Op. cit lihat Michel Balinsky dan Peyton Young, hlm. 1-4

(7)

7 | P a g e

- Gerrymandering, misalnya mencampur wilayah perkotaan dengan wilayah kabupaten. Namun hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut dan mendalam. Apakah situasi ini dalam konteks Indonesia cenderung menguntungkan salah satu partai atau tidak.

 Persoalan ketimpangan harga kursi antara 2004 dengan 2009. Saya melihat bahwa ketentuan harga kursi DPR pada pemilu 2004 antara 325 ribu dan 425 ribu yang diputuskan undang-undang menjadi problem utama. Hal ini saya kira sudah tuntas dikupas oleh Pipit R. Kartawidjaja dan Sidik Pramono dalam buku “Akal-Akalan Daerah Pemilihan”. Dalam buku tersebut diperlihatkan bahwa betapa KPU masa itu kesulitan untuk mengimplementasikan ketentuan harga kursi DPR. Begitu masuk pemilu 2009, masalah yang muncul pada pemilu 2004 tidak pernah dilakukan evaluasi dalam rangka perbaikan. Bahkan, sejauh yang saya tahu data kependudukan apa yang jadi dasar untuk alokasi kursi juga tidak muncul pada saat itu. Selain itu, apa metode alokasi kursi yang dipakai tidak juga jelas. Misalnya, bagaimana mungkin penduduk Riau yang lebih banyak daripada Sumatera Barat, tetapi alokasi kursi DPR untuk Sumatera Barat lebih besar dibanding Riau. Kemudian faktor-faktor politis lebih mengemuka ketika alokasi kursi dilakukan, misalnya untuk Sulawesi Selatan yang dimekarkan dengan Sulawesi Barat. Dimana sebagian penduduk Sulawesi Selatan ikut ke provinsi baru, namun tidak demikian dengan alokasi kursinya.

 Pada beberapa Negara yang menggunakan prinsip one person, one vote, one value memang ada ada toleransi atas adanya deviasi. Misalnya 10% jarak antara yang tertinggi dan terendah di Inggris, dan 15% untuk daerah pemilihan di Jerman. Sedangkan di Amerika, deviasi bisa diterima, namun dasarnya haruslah sangat kuat. Misalnya deviasi bisa diterima alasan menjaga kepentingan komunitas agar tetap utuh menjadi prinsip.13 Tetapi toleransi semacam ini melibatkan putusan pengadilan (kasus di amerika serikat) atau melibatkan putusan otoritas pembentuk daerah pemilihan (election boundary commission di Inggris). Meski kasus-kasus ini muncul banyak di Negara-negara yang menerapkan prinsip equal population, bukan berarti prinsip tersebut tidak dapat diterapkan di Indonesia. Equal population untuk di Indonesia, mungkin tidak dimaksudkan untuk menilai dari sisi keadilan murni - oleh karena bisa jadi konsensus semacam menjaga keutuhan wilayah administrasi merupakan prinsip yang juga ingin dijaga.14 Jika dua faktor ini (batas toleransi dan batas administrative) bisa dijaga, tentu akan lebih bagus. Tetapi yang lebih penting untuk saat ini adalah, perlunya suatu evaluasi dan perbaikan terkait dengan beberapa persoalan yang muncul dalam alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan. Misalnya malapportionment.

Kaitan Aspek Daerah Pemilihan dengan Perangkat Teknis Pemilu Lainnya

 Berapa idealnya alokasi kursi daerah pemilihan, tentu bergantung tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri. Yang hendak menjadi tekanan adalah, kita tidak bisa melihat district magnitude per se tanpa melibatkan faktor atau instrumen pemilu lainnya.

13 Deviasi di Amerika Serikat semakin jarang terjadi, bahkan tahun 2002 peta daerah pemilihan Pennsylvania dibatalkan

dan harus dilakukan alokasi baru, karena muncul deviasi meski hanya 19 orang atau kurang dari ,003 persen. Op.cit Andrew Rehfeld, hlm. 54-55

14 Konsensus ini dapat berupa alokasi kursi minimal dari Negara bagian/propvinsi untuk perwakilan di DPR. Misalnya

Amerika Serikat menjamin satu kursi untuk Negara bagian. Kanada menjamin jumlah kursi perwakilan minimal untuk provinsi sebanyak jumlah senator. Prancis, memberikan jaminan dua kursi perwakilan tingkat nasional untuk setiap departemen. Sedangkan untuk Indonesia, diberikan jaminan minimal tiga kursi perwakilan di DPR untuk provinsi yang jumlah penduduknya kurang atau provinsi baru. Lebih lanjut lihat, op.cit Michel Balinsky dan Peyton Young, hlm. 87-93

(8)

8 | P a g e Misalnya perangkat teknis tentang formula perhitungan dan ambang batas hendaknya juga turut diperhatikan. Karena, ketiga perangkat teknis tersebut turut dilibatkan sebagai proposal pada revisi undang-undang pemilu. Tiga instrumen tersebut merupakan perangkat teknis pemilu yang secara langsung berpengaruh dalam mengubah suara parpol menjadi kursi.  Perubahan pada salah satu atau ketiganya akan memberikan dampak pada tujuan-tujuan

pemilu; misalnya proporsional hasil dan sekaligus derajat keterwakilan lebih tinggi dari sebuah pemilu; pembentukan sistem kepartaian dan sekaligus tendensi pemerintahan yang lebih efektif. Persoalan district magnitude antara 3-6, 3-8, dan 3-10 juga memiliki berbagai konsekuensi. Masalahnya, apakah kita semua dapat memahami bahwa konsekuensi itu ada dan dapat menerimanya. Apakah prinsip-prinsip yang ada dapat dijaga dan dapat menjadi konsensus bersama diantara pembuat undang-undang.

Kesimpulan dan Rekomendasi

 Isu alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan merupakan isu yang relative baru di Indonesia dan masih terbatas sebagai konsumsi para politisi. Oleh karena banyak dimensi yang penting dalam pembahasannya, maka perlu dibuka ruang bagi keterlibatan para ahli dan kalangan professional dalam membicarakan isu ini.

 Penggunaan basis data kependudukan untuk alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sebaiknya menggunakan data sensus terakhir. Begitu juga dengan pembentukan peta daerah pemilihan, sebaiknya mengikuti periode sensus setiap 10 tahun sekali. Sehingga sekali alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan dilakukan, maka bisa digunakan untuk dua kali periode pemilu.

 Peran DPR dan Pemerintah sebagai pembuat undang-undang, mungkin dapat berhenti pada ketentuan tentang alokasi kursi untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dan menetapkan prinsip-prinsip penting yang menjadi dasar pada pembentukan daerah pemilihan. Sedangkan untuk pembentukan peta daerah pemilihan bisa dimandatkan kepada KPU dan jajarannya.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui asuhan kebidanan berkelanjutan faktor risiko yang terdeteksi saat awal pemeriksaan kehamilan dapat segera ditangani sehingga dapat mengurangi faktor risiko

Kerananya orang tua-tua Melayu mengingatkan agar setiap orang menunaikan tanggungjawabnya terhadap diri dan keluarganya, terutama dalam memberikan “ tunjuk ajar ”

Buah manggis termasuk dalam golongan buah klimakterik seperti juga alpukat, apel, durian, mangga, melon, pisang, semangka, dan sirsak, sedangkan buah yang termasuk dalam golongan

Oleh karena itu perlu adanya metode penentuan prioritas penanganan jalan sesuai kebutuhan masyarakat agar dapat digunakan untuk menentukan penanganan jalan di Kabupaten

Namun apabila produk yang tidak lulus proses quality control tersebut tidak memungkinkan untuk dibenahi dan termasuk kategori barang cacat maka produk tersebut

Pemberian makanan tambahan dapat menyebabkan diare pada bayi yang berusia dibawah 6 bulan karena enzim pencernaan bayi belum dapat berfungsi dengan baik sehingga

Bab ini menjelaskan jawaban dari pertanyaan penelitian yaitu: pertama, faktor risiko apa saja yang memiliki pengaruh besar terhadap daya tarik investasi proyek pengadaan Rumah

Untuk proses penerimaan barang dari DC akan diuraikan secara detail seperti berikut ProsesPenerimaan barang dari DC : 1. Kedatangan