• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR KOMUNITAS BURUNG LIAR PADA RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MATARAM SEBAGAI SUMBER BELAJAR BIOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STRUKTUR KOMUNITAS BURUNG LIAR PADA RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MATARAM SEBAGAI SUMBER BELAJAR BIOLOGI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL SKRIPSI

Oleh

MUHAMMAD RIFA’I

E1A 010 033

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana (S1)

Pendidikan Biologi

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

(2)

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ARTIKEL SKRIPSI

Artikel yang disusun oleh:

Muhamad Rifa’

i, NIM. E1A010033

dengan judul

Struktur

Komunitas Burung Liar pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram sebagai

Sumber Belajar Biologi”

telah diperiksa dan disetujui pada tanggal Agustus 2017.

Mataram, Agustus 2017

(3)

Struktur Komunitas Burung Liar Pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram Sebagai Sumber Belajar Biologi

Muhammad Rifa’i1)

, Muhamad Yamin2), Jamaluddin2)

1)

Mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram

2)

Dosen Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram Universitas Mataram, Jalan Majapahit No. 62 Mataram

e-mail: rifai3388@gmail.com

ABSTRAK

Burung dapat dapat dijadikan indikator kegiatan pengelolaan lingkungan karena keberadaannya pada suatu habitat mengindikasikan kualitas kesehatan lingkungan. Penelitian struktur komunitas burung liar pada ruang terbuka hijau di kota mataram telah dilakukan pada Bulan Mei sampai Bulan Juni 2017. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelimpahan, keanekaragaman, dan kemerataan spesies burung pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode jelajah. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 16 spesies burung dari 12 famili yang menghuni Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram. Spesies burung Bondol kepala pucat (Lonchura pallida), Burung gereja erasia (Passer montanus), dan Bondol jawa (Lonchura leucogastroides) mempunyai kelimpahan tertinggi secara berturut-turut yaitu, 25,08%, 19,88%, dan 19,45% yang ditemukan pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram. sedangkan spesies burung Kareo padi (Amauronis phoenicurus) dan Bambangan merah (Ixobrychus cinnamomeus) mempunyai nilai kelimpahan relatif terrendah secara berturut-turut yaitu 0,11% dan 0,05%. Indeks keanekaragaman spesies burung yang ditemukan di Kota Mataram sebesar 2,026. Nilai indeks kemerataan spesies burung yang ditemukan di Kota Mataram yaitu sebesar 0,731. Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan spesies burung yang ditemukan pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram berbeda pada tiap lokasi.

Kata kunci: Struktur komunitas, Burung, Ruang Terbuka Hijau.

ABSTRACT

Birds can be an indicator of environmental management activities because their presence in a habitat indicates the quality of environmental health. The research of bird community structure on green spaces in the Mataram City was conducted in May to June 2017. The purpose of this research is to know the abundance, diversity, and evenness of bird in The Green Space in Mataram City. The type of this research is descriptive explorative research. The method used in this research is the cruising method. The results shown there are 16 species of birds from 12 families in The Green Space in Mataram City. Bondol kepala pucat (Lonchura pallida), Gereja erasia (Passer montanus), and Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) have the highest abundance respectively is 25,08%, 19,88% and 19,45% Found in The Green Space in Mataram City. Kareo padi (Amauronis phoenicurus) and Bambangan merah (Ixobrychus cinnamomeus) had the lowest abundance respectively is 0.11% and 0.05%. The diversity of bird found in The Green Space in Mataram City is 2,026. The evenness of bird found in The Green Space in Mataram City is 0,731. The diversity and the evenness of bird found in The Green Space in Mataram City different each location.

(4)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati atau dikenal sebagai mega-biodiversity country. Salah satu ke-anekeragaman hayati tersebut adalah keanekagaragaman spesies burung di Indonesia. Indonesia memiliki 1598 spesies burung atau sekitar 17 persen dari total jenis burung di dunia (Sukmantoro dkk, 2007).

(Jati, 1998) Mengatakan saat ini populasi burung cenderung menurun. Keadaan tersebut merupakan dampak antropogenik, seperti pembakaran hutan dan padang rumput, perladangan ber-pindah, perburuan dan perdagangan burung (dalam Andira, dkk 2014:1). (Novarino dkk, 2002) Kegiatan konservasi burung selama ini masih cenderung dilakukan di daerah yang dilindungi, Hutan primer, hutan yang belum terganggu, atau ditekankan kepada jenis tertentu yang keberadaannya terancam punah. Sejauh ini sangat sedikit perhatian diberikan kepada jenis-jenis yang umum dijumpai, ataupun jenis yang mendiami hutan sekunder (dalam Andira dkk, 2014:1).

Menurut Paga dkk (2007:91) “burung dapat dijadikan sebagai indikator bagi kegiatan pengelolaan satwa liar karena kehadirannya maupun ketidak hadirannya dalam suatu habitat dapat dijadikan acuan apakah habitat tersebut stabil atau menurun kualitasnya”. Sujadnika dkk (1995), me -nyatakan burung layak dijadikan indikator karena kelompok satwa ini memiliki sifat-sifat yang mendukung, yaitu hidup di-seluruh habitat daratan di di-seluruh dunia, peka terhadap lingkungan, serta taksonomi dan pe-nyebarannya telah cukup diketahui (dalam Paga dkk, 2007:91).

Burung mempunyai banyak manfaat bagi masyrakat, diantaranya sebagai sumber plasma nutfah, membantu me-ngendalikan hama, dan lain-lain. Itu sebabnya burung perlu dilestarikan. (Haryanto, 1994) mengatakan bahwa melindungi keanekaragaman hayati berarti mengambil langkah untuk melindungi gen,

spesies, habitat dan ekosistem. Cara terbaik untuk melindungi jenis adalah melindungi habitatnya. Dengan demikian, melindungi keanekaragamn hayati sering-kali melibatkan upaya-upaya untuk mencegah degradasi ekosistem alam, serta mengelola dan melindunginya secara efektif (dalam Suryowati, 2000).

Perubahan habitat terjadi akibat pengelolaan oleh manusia dapat di-tunjukkan dengan keanekaragaman jenis burung setempat, sehingga burung bisa dimanfaatkan sebagai bioindikator untuk menentukan tingkat kerusakan suatu lingkungan. (Balen dkk, 1997) mengatakan bahwa kerusakan dan kehilangan habitat dapat menggaggu proses kehidupan yang semula berjalan secara alami (dalam Yanti dkk, 2015).

Pembangunan yang telah di-laksanakan di berbagai bidang selain bermanfaat ternyata juga telah me-nimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem kota. Pembangunan fasilitas fisik telah mengakibatkan semakin berkurangnya lahan Ruang Terbuka Hijau Kota dan sebaliknya bangunan besi, beton dan aspal semakin meningkat. Sudah banyak diketahui bahwa Ruang Terbuka Hijau mepunyai berbagai fungsi penting bagi lingkungan. Salah satu fungsinya adalah sebagai sarana untuk konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya. Kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati di perkotaan lebih kompleks masalahnya dibandingkan dengan di kawasan lain seperti hutan, misalnya.

(5)

(dalam Badriyah, 2010). Sumber belajar tersebut dapat dimanfaatkan untuk menunjang pembelajaran biologi. Proses dan produk yang dihasilkan diharapkan dapat dipergunakan sebagai alternatif sumber belajar biologi di semua jenjang pendidikan. Hasil dari penelitian ini adalah sebuah data, dimana data tersebut dibuat menjadi sebuah produk dalam booklet yang dapat menunjang pembelajaran biologi terutama pembahasan yang berkaitan dengan burung.

Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Struktur Komunitas Burung Liar pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram sebagai Sumber Belajar Biologi”.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif. Penelitian ini men-deskripsikan kelimpahan, keanekaragaman dan kemerataan burung pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram dengan melakukan eksplorasi tentang hubungan faktor-faktor lingkungan dengan kelimpah-an, keanekaragaman dan kemerataan burung.

Penelitian ini dilakukan di bulan Mei-Juni 2017 bertempat di empat titik di wilayah Kota Mataram, yaitu Universtas Mataram (1042 m2), Taman Selagalas (252 m2), Taman Udayana (1021 m2), Sekitar PLN Tanjung Karang (677 m2).

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini (1) Teropong, (2) Kamera DSLR Canon 600D, dan Buku panduan lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea yang ditulis oleh Brian J. Coates dan K. David Bishop.

Data burung liar di kota Mataram diambil dengan menggunakan metode jelajah. Pada tiap lokasi dilakukan pengulangan pengamatan selama tiga kali.

pada tiap lokasi dilakukan dua kali pengamatan dalam sehari yaitu pada pagi hari dari pukul 07.00 – 09.00 WITA dan pada sore hari dari pukul 16.00 – 18.00 WITA.

Kelimpahan spesies burung yang ditemukan di Kota Mataram dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

𝐃𝐢 =𝐧𝐢𝐍 𝐱 𝟏𝟎𝟎%

Keterangan: Di = Kelimpahan relatif (%), ni = Jumlah individu setiap jenis, N = Jumlah total individu.

Indeks keanekaragaman spesies burung diukur berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yaitu dengan rumus berikut:

𝐇 = − ∑ 𝐏𝐢𝐥𝐧𝐏𝐢

Keterangan: H’ = Indeks ke-anekaragaman Shannon – Wiener, pi= ni/N, ni = Jumlah individu spesies ke-I, N = Jumlah total individu seluruh spesies

Indeks kemerataan spesies burung dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝐄 = 𝐥𝐧𝐬𝐇

Keterangan: E = Indeks kemerataan, H’ = Indeks keanekaragaman Shanoon Wiener, S = Jumlah jenis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

(6)

Tabel 1. Burung yang ditemukan pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram

No. Famili Spesies Nama

Indonesia

Lokasi RTH

I

RTH II

RTH III

RTH IV

1 Alcedinidae 1. Halcyon chloris Cekakak sungai 4 0 3 5

2. Halcyon sancta Cekakak suci 2 1 1 4

2 Ardeidae 3. Ixobrychus

cinnamomeus

Bambangan

merah 0 0 0 1

3 Cisticolide 4. Cisticola juncidis Cici padi 4 10 8 12

4 Columbidae 5. Streptopelia

chinensis Tekukur biasa 2 0 0 6

5 Estrildidae

6. Lonchura

leucogastroides Bondol jawa 135 98 73 53 7. Lonchura

punctulata Bondol peking 6 0 0 37

8. Lonchura pallid Bondol kepala

pucat 60 141 191 71

6 Hirundinidae 9. Hirundo tahitica Layang-layang

batu 63 33 61 81

7 Nectarinidae

10. Lichmera lombokia

Isap-madu topi

sisik 7 9 13 4

11. Cinnyris jugularis Burung madu

sriganti 8 0 2 0

8 Passeridae 12. Passer montanus Burung gereja

erasia 87 11 97 172

9 Pycnonotidae 13. Pycnonotus goiavier

Merbah

cerukcuk 25 0 8 10

10 Rallidae 14. Amauronis

phoenicurus Kareo padi 0 0 0 2

11 Sylviidae 15. Orthotomus

sepium Cienenen jawa 20 15 27 16

12 Zosteropidae 16. Zosterops chloris Kacamata laut 42 23 76 6

Jumlah individu 465 341 560 480

Jumlah spesies 14 9 12 15

Keterangan:

RTH I: RTH Pekarangan, RTH II: RTH Taman dan Hutan Kota, RTH III: RTH Jalur Hijau Jalan, RTH IV: RTH Fungsi Tertentu.

Kelimpahan Spesies Burung di Kota Mataram

Hasil perhitungan kelimpahan relatif keseluruhan spesies burung menunjukkan Bondol kepala pucat (Lonchura pallida) merupakan spesies burung yang kelimpahan relatifnya paling tinggi dengan nilai 25,08%. Burung gereja erasia (Passer montanus) merupakan spesies brung yang kelimpahan relatifnya tertinggi kedua dengan nilai 19,88%. Bondol jawa

(7)

Tabel 2. Kelimpahan relatif spesies burung pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram.

No. Spesies

Kelimpahan Relatif (%) Kelimpahan Relatif Hijau Jalan, RTH IV: RTH Fungsi Tertentu.

Indeks Keanekaragaman Spesies Burung di Kota Mataram

Grafik 1. Indeks Keanekaragaman Burung di Kota Mataram

Indeks keanekaragaman Spesies burung yang ditemukan di Kota Mataram yaitu sebesar 2,026. Sementara itu Indeks Keanekaragaman spesies burung yang ada di setiap lokasi pengamatan dapat dilihat pada Grafik 1.

Indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada RTH III (2,039), kemudian disusul secara berturut-turut oleh RTH I (2,035), RTH IV (1,950), dan RTH II (1,596).

Indeks Kemerataan Spesies Burung di Kota Mataram

(8)

Grafik 2. Indeks Kemerataan Burung di Kota Mataram

Pembahasan

Spesies Burung di Kota Mataram Berdasarkan hasil penelitian, di-dapatkan jumlah spesies burung sebanyak 16 spesies burung dari 12 famili. Semua spesies burung ini didapatkan di empat lokasi pengamatan. Pada RTH I ditemukan 14 spesies dari 465 individu, 9 spesies di RTH II dari 341 individu, 12 spesies di RTH III dari 560 individu, dan 15 spesies di RTH IV dari 480 individu. Burung Bambangan merah (Ixobrychus cinnamomeus) dan Kareo padi (Amauronis phoenicurus) hanya ditemukan di RTH IV. Burung tersebut merupakan burung yang spesifik yang hanya menempati habitat tertentu saja.

Kareo padi (Amaurornis phoenicurus) dan Bambangan merah (Ixobrychus cinnamomeus) merupakan burung yang biasa hidup dengan kondisi lingkungan seperti pada RTH IV. Karena pada lokasi ini selain merupakan daerah yang sedikit dari gangguan manusia, lokasi ini juga dipenuhi oleh lahan-lahan basah seperti lahan per-sawahan dan kolam. Hal ini sesuai dengan apa yang dideskripsikan oleh Suana (2016:18) Kareo padi (Amaurornis phoenicurus) dapat di-temukan di rerumputan rawa, sawah, hutan bakau, parit-parit di tepi jalan, dan tentunya di lahan-lahan basah serta berair.

Burung Bambangan merah (Ixobrychus cinnamomeus) merupakan burung yang biasanya menghabiskan waktunya untuk bersembunyi diantara rumput gelagah dan rumput rawa yang tinggi. Biasanya terbang rendah diatas rawa atau lahan basah. Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan di lapangan. Dimana pada RTH IV ter-dapat banyak lahan basah dan rumput gelagah yang luas yang bisa di-manfaatkan burung tersebut sebagai tempat bersembunyi dan mencari makan.

Spesies burung Lonchura leucogastroides, Lonchura pallida, Passer montanus adalah spesies burung yang paling banyak dijumpai. Hal ini karena burung tersebut merupakan burung yang berkelompok dalam mencari makanan dan mampu ber-adaptasi terhadap kehadiran manusia. Selain itu 11 spesies burung yang juga ditemukan di lokasi pengamatan me-rupakan spesies burung yang tidak mempunyai habitat khusus karena bisa dijumpai di dua sampai empat lokasi penelitian. Itu artinya burung-burung tersebut mempunyai kemampuan ber-tahan hidup yang lebih tinggi dibanding-kan dengan burung yang hanya menempati habitat tertentu.

Kelimpahan Spesies Burung di Kota Mataram

Hasil perhitungan kelimpahan relatif memperlihatkan terdapat per-bedaan kelimpahan di tiap lokasi pengamatan pada tiap spesies. Spesies burung Lonchura pallida (25,08%), Passer montanus (19,88%), dan Lonchura leucogastroides (19,45%) memliki kelimpahan relatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies burung lainnya. Kelimpahan relatif sangat dipengaruhi oleh jumlah individu dari masing-masing spesies burung yang ditemukan selama pengamatan. Spesies burung pipit senang berkelompok, hidup di habitat terbuka, seperti persawahan dan rerumputan. Sering terlihat bergerak

(9)

dan mencari makanan dalam gerombol-an ygerombol-ang cukup besar. sering terlihat turun ke tanah dan di rerumputan tinggi untuk mencari makanan dan bahan membuat sarang. Hal ini sesuai dengan laporan MacKinnon (1998) yang mengatakan bahwa spesies burung yang dominan merupakan spesies burung yang suka berkelompok dalam mencari makan dan menyukai hutan sekunder dalam (dalam Ismawan, 2015:7).

Burung yang mempunyai ke-limpahan relatif paling rendah adalah Bambangan merah (Ixobrychus cinnamomeus) dan Kareo padi (Amauronis phoenicurus) dengan kelimpahan relatif masing-masing sebesar 0,05% dan 0,11%. Burung-burung sangat sensitif terhadap kehadir-an mkehadir-anusia sehingga jarkehadir-ang sekali terlihat. Selain itu kedua spesies burung tersebut menyukai habitat semak. Hal ini didukung oleh pernyataan Mackinnon dkk (2010) yang mengatakan bahwa Kareo padi umumnya hidup sendirian, kadang-kadang berdua atau bertiga, mengendap-endap dalam semak yang lembab dan tinggal ditempat yang cukup rapat untuk bersembunyi (dalam Winarsih, 2015:28).

Bondol jawa (Lochura leucogostraides) merupakan burung yang mempunyai kelimpahan relatif paling tinggi pada RTH I dengan kelimpahan relatif sebesar 29,03%. RTH I merupakan lokasi yang paling luas dibandingkan dengan lokasi lainnya. Vegetasi pada lokasi ini didominasi oleh pohon. Selain itu, lokasi ini juga ditumbuhi rumput sepanjang jalur pengamatan, dan juga terdapat lapangan olahraga. (MacKinnon dkk, 2010) Bondol jawa memiliki kebiasaan me-ngunjungi lahan pertanian dan lahan berumput alami. Selain itu, burung ini sering teramati dalam kelompok selama musim panen padi (dalam Hidayatullah, 2015:1).

Pada RTH II dan III, spesies brung yang mempunya kelimpahan relatif

paling tinggi adalah Bondol kepala pucat (Lonchura pallida) dengan nilai kelimpahan relatif sebesar 41,35% dan 34,11%. RTH II dan III merupakan lokasi yang dihuni oleh tumbuhan pohon, dua lokasi tersebut berdekatan dengan lahan persawahan yang di-manfaatkan oleh kelompok burung pemakan biji sebagai tempat mencari makan. Bondol kepala pucat (Lonchura pallida) sering terlihat berkelompok dengan burung pemakan biji lainnya di lahan persawahan untuk mencari makanan. Rumput dan daun kering di sekitar lokasi pengamatan dimanfaatkan oleh burung tersebut untuk membuat sarang.

Pada RTH IV, spesies burung yang mempunyai kelimpahan relatif paling tinggi adalah Burung gereja erasia (Passer montanus) dengan nilai ke-limpahan relatif sebesar 35,83%. RTH IV merupakan lahan yang beragam. Selain terdapat perusahan listrik, disana juga dimanfaatkan sebagai lahan pem-buangan sampah, tempat peng-gembalaan sapi, juga terdapat lahan berair seperti persawahan yang tidak difungsikan. Lokasinya dekat dengan pantai dan lahannya didominasi oleh rumput dan semak. Burung gereja erasia (Passer montanus) sering terlihat ber-kelompok mencari makanan di lokasi tersebut dan juga memanfaatkan semak yang mengering untuk membuat sarang. Walaupun ada kegiatan manusia di lokasi tersebut, tetapi Burung gereja erasia (Passer montanus) tetap banyak ditemukan. Menurut MacKinnon dkk (2010) Burung gereja erasia (Passer montanus) mampu berasosiasi dekat dengan manusia, hidup berkelompok dan mencari makan di tanah (dalam Paramita, 2015:166).

Indeks Keanekaragaman Spesies Burung di Kota Mataram

(10)

indeks keanekaragaman pada tiap lokasi, terdapat perbedaan indeks keaneka-ragaman pada tiap lokasi.

RTH III memiliki nilai keaneka-ragaman spesies yang paling tinggi yaitu sebesar 2,039 dengan 12 spesies burung yang ditemukan. Sedangkan RTH II memiliki nilai keanekaragaman tertinggi kedua yaitu sebesar 2,035 dengan 14 spesies burung yang ditemukan. Nilai indeks ke-anekaragaman pada kedua lokasi tersebut tidak begitu jauh berbeda, hal ini diduga disebabkan karena kondisi vegetasi kedua lokasi tidak jauh berbeda, vegetasi kedua lokasi di-dominasi oleh tumbuhan pohon dan ditumbuhi rerumputan sepanjang jalur pengamatan.

Soerianegara (1996) menambahkan bahwa keanekaragaman jenis tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi ditentukan juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis (dalam Dewi, 2055:21). Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan di kedua lokasi peng-amatan, dimana pada kedua lokasi ditemukan jumlah spesies dan jumlah individu yang tidak jauh berbeda. Selain itu dilihat dari luas lokasi, kedua lokasi tersebut mempunyai luas lokasi yang tidak jauh berbeda. Beberapa hal tersebut diduga mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman pada kedua lokasi.

RTH IV mempunyai nilai indeks keanekaragaman tertinggi ketiga yaitu dengan nilai 1,950. Meskipun pada lokasi ini ditemukan jumlah spesies paling banyak yaitu 15 spesies, namun nilai indeks keanekaragaman speseis burung pada lokasi ini lebih rendah dibandingkan dengan RTH I dan III. Data tersebut menunjukkan ketidak stabilan antara nilai keanekaragaman dan jumlah spesies burung yang ditemukan di RTH IV.

Hal tersebut diduga disebabkan karena luas dan struktur vegetasi di lokasi pengamatan. Meskipun pada RTH IV ditemukan struktur vegetasi yang

beragam yang menyebabkan banyak jumlah spesies burung yang ditemukan, namun perbedaan jumlah individu yang begitu jauh pada tiap spesies ber-pengaruh terhadap nilai kelimpahan relatif dari satu spesies. Perbedaan nilai kelimpahan relatif berpengaruh terhadap kemerataan spesies burung yang kemudian berpengaruh terhadap nilai indeks keanekaragaman spesies burung pada RTH IV. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadiprayitno (2013:4) yang mengatakan bahwa perbedaan nilai kelimpahan relatif memberikan pengaruh terhadap kemerataan jenis burung sehingga memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keanekaragaman.

RTH II memiliki nilai indeks keanekaragaman spesies burung yaitu 1,596. RTH II memiliki nilai indeks keanekaragaman paling rendah di-bandingkan dengan tiga lokasi lainnya. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman pada RTH II diduga karena luas RTH III yang paling kecil. Perbedaannya sangat jauh dengan luas tiga lokasi lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wiens (1989) yang mengatakan bahwa ke-anekaragaman jenis burung semakin tinggi pada habitat yang lebih luas. Area yang lebih kecil memiliki daya dukung yang lebih rendah untuk populasi burung dan meningkatkan isolasi yang membatasi pergerakan individu antara fragmen (dalam Dewi, 2005:15).

Indeks Kemerataan Spesies Burung di Kota Mataram

(11)

faktor diantaranya yaitu jumlah spesies dan jumlah individu pada lokasi tersebut.

Dari semua spesies burung yang ditemukan di RTH III, didapatkan beberapa spesies burung mempunyai kelimpahan relatif berbeda jauh dengan spesies burung lainnya. Namun per-bedaan kelimpahan relatif tersebut hanya ditemukan pada beberapa spesies saja, perbedaan kelimpahan relatif tersebut dapat mempengaruhi indeks kemerataan spesies burung. Beberapa spesies burung yang mempunyai ke-limpahan relatif jauh berbeda diantara-nya yaitu spesies burung Cekakak sungai, Cekakak suci dan Burung madu sriganti dengan kelimpahan relatif rendah, sedangkan spesies burung Bondol kepala pucat mempunyai kelimpahan relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadinoto dkk (2012:10) yang mengatakan bahwa rendahnya indeks kemerataan jenis burung di suatu tempat menunjukkan bahwa pada tempat tersebut terdapat dominasi satu atau beberapa spesies, artinya satu atau beberapa spesies memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies yang lain.

Patandang (2013:4) “sebaran individu dari jenis-jenis burung yang ada habitat lahan pertanian cenderung merata. Hal ini disebabkan karena sumber makanan burung tersebar merata dihabitat lahan pertanian”. Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan di RTH III. Dimana pada RTH III selain ditumbuhi pepohonan, lokasi ini juga berdekatan dengan area pertanian yang cukup luas yang bisa menjadi faktor tingginya nilai Indeks kemerataan spesies burung pada lokasi ini.

Pada RTH I dan II juga didapatkan nilai indeks kemerataan yang berbeda namun tidak begitu jauh, dengan nilai secara berturut-turut yaitu 0,771 dan 0,726. RTH I dan II mempunyai kemiripan dengan RTH III dimana

ketiga lokasi tersebut didominasi oleh tumbuhan pohon. Namun jumlah spesies dan jumlah individu pada RTH I dan II yang ditemukan berbeda.

Seperti halnya RTH III, pada RTH I dan II juga didapatkan beberapa spesies yang mempunyai kelimpahan relatif berbeda jauh yang kemudian mem-berikan pengaruh terhadap kemerataan spesies burung. Spesies burung yang mempunyai kelimpahan relatif yang berbeda jauh pada RTH I yaitu Cekakak sungai, Cekakak suci, Cici padi, dan Tekukur biasa yang mempunyai nilai kelimpahan relatif rendah, sedangkan Bondol jawa mempunyai kelimpahan relatif tinggi. Spesies burung yang mem-punyai perbedaan kelimpahan relatif yang jauh pada RTH II yaitu Cekakak suci dengan nilai kelimpahan relatif rendah, dan bondol kepala pucat dengan nilai kelimpahan relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadiprayitno (2013:4) yang mengatakan bahwa perbedaan nilai kelimpahan relatif memberikan pengaruh terhadap ke-merataan jenis burung sehingga memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keanekaragaman.

(12)

Sama halnya seperti tiga lokasi lainnya, indeks kemerataan spesies burung pada RTH IV juga dipengaruhi oleh nilai kelimpahan relatif. Meskipun banyak didapatkan jumlah spesies, namun jumlah individu dari tiap spesies tersebut berbeda jauh. Perbedaan jumlah individu dari tiap spesies dapat ber-pengaruh terhadap perhitungan ke-limpahan relatif yang selanjutnya berpengaruh terhadap kemerataan spesies burung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ismawan dkk (2015) yang mengatakan bahwa kelimpahan relatif sangat dipengaruhi oleh jumlah individu pada suatu habitat. Spesies burung yang mempunyai perbedaan kelimpahan relatif yang jauh pada RTH IV yaitu Cekakak sungai, Cekakak suci, Bambangan merah, Cici padi, Tekukur biasa, Isap madu topi sisik, dan Kareo padi mempunyai kelimpahan relatif rendah, sedangkan Burung gereja erasia mempunyai kelimpahan relatif yang tinggi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa spesies burung yang ditemukan pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram sebanyak 16 spesies dari 12 famili. Spesies burung Bondol kepala pucat (Lonchura pallida), Burung gereja erasia (Passer montanus), dan Bondol jawa (Lonchura leucogastroides) mem-punyai kelimpahan tertinggi secara berturut-turut yaitu, 25,08%, 19,88%, dan 19,45% yang ditemukan pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram. Sedangkan spesies burung Kareo padi (Amauronis phoenicurus) dan Bambangan merah (Ixobrychus cinnamomeus) mempunyai nilai ke-limpahan relative terrendah secara berturut-turut yaitu 0,11% dan 0,05%. Indeks keanekaragaman spesies burung pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram yaitu sebesar 2,026. Indeks kemerataan spesies burung pada Ruang

Terbuka Hijau di Kota Mataram sebesar 0,72.

DAFTAR PUSTAKA

Andira, A. Nurdin, J. dan Novarino, W. 2014. Struktur Komunitas Burung Pada Tiga Tipe Habitat di Kampus Universitas Andalas, Padang. Jurnal Biologi Universita s AndalasVolume III (3): 227-230. http://jbioua.fmipa.unand.ac.id/in Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Cluster Perumah-an di Sentul City, Bogor Jawa Barat. Skripsi. Institut Perta nian Bogor. http://repository.ipb.a c.id/jspui/bitstream/123456789/60 878/9/E12awt.pdf. Diakses dari pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 14:08 WITA.

Atmanegara, Febrian, K. 2010. Ke-anekaragaman dan Perilaku Harian Burung Air di Sekitar Danau Gili Meno, Lombok Utara. Skripsi. Universitas Mataram. Darmawan, Muhdian, P. 2006.

Keanekaragaman Jenis Burung pada Beberapa Tipe Habitat di Hutan Lindung Gunung Lumut Kalimantan Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. http://rep ository.ipb.ac.id/handle/12345678 9/46190. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 12:43 WITA.

(13)

Hadinoto, Mulyadi, A. dan Siregar, Y. I. 2012. Keanekaragaman Jenis Burung di Hutan Kota Pekanbaru. Jurnal Lingkungan Volume VI (1) : 1-18. https://www.scribd.com/do c/291885844/Keanekaragaman-je nis-burung-HK-pekanbaru-pdf. Di akses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 12:04 WITA.

Hadiprayitno, G. Idrus, A. A. Ilhamdi, M. L. dan Mertha, I G. 2013. Keanekaragaman Jenis Burung di Kawasan Mangrove Gili Sulat Lombok Timur. Jurnal Biologi FKIP Universitas Mataram Volu me XI (1): 448-452. https://jurnal. uns.ac.id/prosbi/article/view/7784 /6950. Diakses pada Hari Kamis, 16 Februari 2017. Pukul 12:47 WITA.

Herdiyanto, Sugiyartto, dan Harjo, A. B. 2013. Keanekaragam-an Burung di Taman Wisata Alam Semongkat Kabupaten Sum bawa. Jurnal Kependidikan Volu me 12 (2): 141-146. http://lppm.ik ipmataram.ac.id/wp-content/uploa ds/2015/03/. Diakses pada Hari Kamis, 9 Februari 2017. Pukul 08:51 WITA.

Hidayatulloh, Arik. 2015. Studi Preferensi Bersarang Bondol Jawa (Lonchura Leucogastroides) di Kabupaten Sleman, Bantul Dan Kota Madya Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. http://digilib.uin-suka.ac.id/19302 /. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 05:40 WITA.

Ismawan, Asa. 2015. Kelimpahan dan Keanekaragaman Burung di Prevab Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur Volume I (1). Skripsi. Universitas Negeri Malan g. http://jurnal-online.um.ac.id/art icle/do/detail-article/1/34/2100. Diakses pada Hari Kamis, 16 Februari 2017. Pukul 12:42.

Julyanto, Harianto, S. P. dan Nurcahyani, N. 2016. Studi Populasi Burung Familia Ardeidae di Rawa Pacing Desa Kibang Pacing Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari Vol IV (2): 109-116. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. tas Pasir Pengaraian Volume I (1 ): 1-4. http://e-journal.upp.ac.id/in dex.php/fkipbiologi/article/view/3 36. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 12:31 WITA.

(14)

Nugroho, M. S. Ningsih, S. M. dan Ihsan, M. 2013. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Areal Dongi-Dongi di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Warta Rimb a Volume I (1): 1-10.http://jurnal. untad.ac.id/jurnal/index.php/Wart 2013. Kelimpahan dan Distribusi Burung Rangkong (Famili Bucerotidae) di Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan, Sumatera Barat. Prosiding Semirata FMIPA Wisata Alam Camplong. Program Studi Manajemen Sumberdaya Hutan, Jurusan Manajemen Pertanian Lahan Kering Politeknik Pertanian Negeri Kupang: 91-98. http://download.p 20CAMPLONG. Diakses pada Hari Rabu, 15 Februari 2017. Mangrove Center Tuban. Lentera Bio Volume 4 (3):161-167. http://j

urnalmahasiswa.unesa.ac.id/articl e/17104/33/article.pdf. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 12:45 WITA.

Partasasmita, Ruhyat. 2009. Komunitas Burung Pemakan Buah di Panaruban, Subang: Ekologi Makan Dan Penyebaran Biji dan Komposisi Jenis Komunitas Burung di Lahan Pertanian Kawasan Hutan Lindung Gunung Mahawu Sulawesi Utara. Jurnal Cocos Volume IV (5): 1-6. https:// ejournal.unsrat.ac.id/index.php/co cos/article/view/4691. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 12:13 WITA.

Purnomo, Harri. 2008. Hubungan Antara Struktur Komunitas Burung Dengan Vegetasi di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/ anekaragaman Jenis Pohon Dan Burung di Beberapa Areal Hutan Kota Bandar Lampung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Volum e XII (1): 1-3. http://repository.ipb .ac.id/bitstream/123456789/30974 /2/MHT061201ase2006_No1_1-1 3_abstract.pdf. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 02:10 WITA.

(15)

Hadiprayitno, G. 2016. Bird Watching di Taman Wisata Alam Kerandangan. Yogyakarta: K-Media.

Suryowati, Catharina. 2000. Persebaran Burung di Koridor Hijau Jalan (Studi Kasus di Koridor Hijau Jalan di Jakarta). Thesis S2. Universitas Indonesia.

Swastikaningrum, Hening. 2012. Ke-anekaragaman Jenis Burung pada Berbagai Tipe Pemanfaatan Lahan di Kawasan Muara Kali Lamongan, Perbatasan Surabaya Gersik. Universitas Airlangga. Sk ripsi. http://repository.unair.ac.id/ 25622/. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 02:47 WITA.

Vivanurfiani, Evi. 2003. Komunitas dan Jenis Makanan Burung di Kota Mataram Tahun 2003. Skripsi. Universitas Mataram.

Winarsih, Ai. 2015. Komunitas Burung di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakart a. https://text-id.123dok.com/docu ment/nzww1rgz-komunitas-burun g-di-pulau-tidung-kecil-kepulauan seribu.html. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 10:44 WITA.

Yanti, N. A. Y. Novarino, W. dan Rizaldi. 2015. Komunitas Burung Berdasarkan Zonasi Ketinggian di Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas Volume IV (1): 38-44. htt p://jbioua.fmipa.unand.ac.id/index .php/jbioua/article/download/116/ 108. Diakses pada Hari Rabu, 8 Februari 2017. Pukul 12:55 WITA.

Yoza, Defri. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau. Tesis S2. Institut Pertanian Bogor. http://repository.

Gambar

Tabel 1. Burung yang ditemukan pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Mataram
Grafik 1. Indeks Keanekaragaman Burung di Kota Mataram
Grafik 2. Indeks Kemerataan Burung di  Kota Mataram

Referensi

Dokumen terkait

Tindakan preventif sebagai upaya pencegegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demamtifoid mencakup banyak aspek mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama R.I, menyatakan bahwa lembaga di bawah ini telah melakukan updating data Pendidikan Islam (EMIS) Periode Semester GENAP

Akan tetapi, yang menjadi persoalan dalam ritual setiap tarekat yang ada adalah bahwa hampir mayoritas ritual tarekat mencitrakan Tuhan dalam bentuk atau citra laki-laki dan

Dalam kehidupan masyarakat Jawa berbagai macam ragam seni dan budaya hingga kini masih bertahan dan dijalankan, salah satu bentuk upaya dalam pemaknaan ini dapat

Pada penelitian ini, yield biodiesel hasil reaksi esterifikasi minyak mikroalga dengan katalis sintesis dari abu vulkanik yang telah diaktivasi dengan H 2 SO 4 2M adalah

Proses usahatani padi rawa di Desa Sukanagara memiliki perbedaan yaitu cara penanganan yang disesuaikan dengan kondisi genangan air dan dalam hal budaya; seperti

Pembahasan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang hubungan status fungsional dengan tingkat depresi pasien stroke diharapkan dapat mengetahui penyebab dan tanda gejala

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif di mana teknik pengambilan data akan dimulai dengan menggunakan analisis konten terhadap seluruh platform new media klub sepakbola