• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI DAN PELUANG TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK KELINCI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI DAN PELUANG TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK KELINCI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI DAN PELUANG TEKNOLOGI PENGOLAHAN

PRODUK KELINCI

KUSMAJADI SURADI

Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Jatinangor Km. 21 Sumedang

ABSTRAK

Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensial besar dalam penyedia daging dengan waktu yang relatif singkat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat, disamping sebagai penyedia kulit bulu (fur), khususnya fur dari kelinci Rex dan Satin yang mempunyai nilai komersiil tinggi sebagai bahan garmen yang dapat menggantikan fur dari binatang buas yang semakin langka. Aspek yang menarik pada daging kelinci adalah kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol, sehingga daging kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat, namun untuk pengembangannya banyak kendala yang dihadapi, antara lain sulitnya pemasaran, karena daging daging kelinci belum populer di masyarakat. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh faktor kebiasaan makan (food habit) dan efek psikologis yang menganggap bahwa kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak layak untuk dikonsumsi dagingnya. Merubah faktor kebiasaan makan adalah hal yang sulit, karena manusia biasanya memiliki ikatan batin, loyalitas dan sensitifitas terhadap kebiasaan makannya meskipun hal ini dapat ditembus, namun memerlukan jangka waktu yang lama. Perubahan kebiasaan makan dapat terjadi melalui dua cara, yaitu melalui perubahan lingkungan dan perubahan pada makanan itu sendiri yang akan sampai pada suatu keputusan untuk menerima atau menolak suatu makanan. Perubahan lingkungan mencakup hal yang kompleks, yaitu faktor sosial, ekonomi dan ekologis yang mengarah kepada perubahan kebudayaan dan keadaan sosial, sehingga perubahan penyajian merupakan langkah yang lebih cepat dalam mensosialisasikan daging kelinci. Hal ini terbukti masyarakat sudah mulai menerima daging kelinci dalam bentuk olahan sate dan gule, oleh karena itu aplikasi teknologi pengolahan daging merupakan langkah yang tepat untuk mensosialisasi dan mempopulerkan daging kelinci dimasyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan perkembangan ternak kelinci.

Key Words: Pengolahan, Produk, Kelinci

PENDAHULUAN

Kelinci merupakan salah satu ternak yang mempunyai potensi besar untuk dikembang biakan sebagai penyedia daging, karena ternak ini mempunyai kemampuan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, kemampuan untuk memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian maupun industri pangan, dapat dipelihara dengan skala pemeliharaan yang kecil maupun besar, sehingga diharapkan dalam waktu singkat dapat menyediakan daging untuk memenuh kebutuhan protein hewani penduduk Indonesia yang setiap tahunnya meningkat.

Pemerintah telah berusaha untuk mengantisipasi peningkatan konsumsi protein hewani dengan meningkatkan produksi peternakan melalui peningkatan produktifitas ternak ruminansia diantaranya ternak sapi, kerbau, domba, kambing, dan ternak non ruminansia babi dan unggas, namun

penyediaan daging hanya dari ternak ini tampaknya kurang optimistik, karena ternak ruminansia lambat tingkat reproduksinya, sedangkan ternak unggas dan babi meskipun mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dan tingkat pertumbuhan yang cepat, tetapi membutuhkan pakan yang mahal dan berkompetensi dengan manusia. Oleh karena itu diperlukan ternak lain yang mempunyai potensi biologis yang tinggi dan ekonomis sebagai penghasil daging.

Banyak keunggulan yang diperoleh dari mengkonsumsi daging kelinci, yaitu kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol, sehingga daging kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat, selain itu kulit dan kotorannya masih mempunyai nilai ekonomis, khususnya kulit bulu (fur) dari ternak kelinci Rex dan Satin mempunyai nilai komersiil yang tinggi sebagai bahan garmen yang dapat menggantikan fur dari binatang buas yang semakin langka. Penampilan ternak

(2)

kelinci yang jinak dan lucu menjadikan ternak ini sebagai hewan kesayangan bagi penyayang binatang, disamping itu kemajuan industri farmasi yang pesat sangat membutuhkan ternak ini sebagai kelinci percobaan.

Pengembangan ternak kelinci sebagai penyedia daging sampai saat ini masih menemui banyak kendala karena daging dari ternak ini belum populer dan diterima oleh sebagian masyarakat sehingga sulit dalam pemasarannya. Kesulitan pemasaran lebih banyak disebabkan oleh faktor kebiasaan makan (food habit) dan efek psikologis yang menganggap bahwa kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak layak untuk dikonsumsi dagingnya. Merubah faktor kebiasaan makan adalah hal yang sulit, karena manusia biasanya memiliki ikatan batin, loyalitas dan sensitifitas terhadap kebiasaan makannya meskipun hal ini dapat ditembus, namun memerlukan jangka waktu yang lama.

Perubahan kebiasaan makan dapat terjadi melalui dua cara, yaitu melalui perubahan lingkungan dan perubahan pada makanan itu sendiri yang akan sampai pada suatu keputusan untuk menerima atau menolak suatu makanan. Perubahan lingkungan mencakup hal yang kompleks, yaitu sosial, ekonomi dan ekologis yang mengarah kepada perubahan kebudayaan dan keadaan sosial, sehingga perubahan penyajian merupakan langkah yang lebih cepat dalam mensosialisasikan daging kelinci. Hal ini terbukti masyarakat sudah mulai menerima daging kelinci dalam bentuk olahan sate dan gule, oleh karena itu aplikasi teknologi pengolahan daging merupakan langkah yang tepat untuk mensosialisasi dan mempopulerkan daging kelinci dimasyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan perkembangan ternak kelinci.

POTENSI TERNAK KELINCI Kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi, yaitu kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat berkembang biak, interval kelahiran yang pendek, prolifikasi yang sangat tinggi, mudah pemeliharan dan tidak membutuhkan lahan yang luas (TEMPLETON, 1968). Keuntungan lainnya yaitu pertumbuhan yang cepat, sehingga cocok untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersial. Kelinci

penghasil daging memiliki bobot badan yang besar dan tumbuh dengan cepat, seperti Flemish Giant, Chinchilla, New Zealand White, English Spot dan lainnnya (RAHARJO, 2004).

Tingkat produktivitas ternak kelinci dalam menghasilkan daging lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi, sebagaimana pernyataan

ENSMINGER et al. (1990), bahwa dari 1 unit

kelinci yang terdiri dari 4 ekor induk dengan berat 10 lb (45,39 kg) dengan masa kehamilan 31 hari, akan menghasilkan 175 ekor kelinci muda dengan berat masing-masing 4 lb (1,82 kg), berarti 700 lb (317,73 kg) berat hidup dimana 58% dari berat tersebut akan diperoleh 400 lb (181,56 kg) daging selama 12 bulan, sedangkan dari seekor ternak sapi dengan berat 1000 lb (453,9 kg) untuk memperoleh berat daging yang sama memerlukan waktu 18 bulan, karena masa bunting yang lebih lama (283 hari) dan jumlah anak perkelahiran hanya 1 ekor.

Daging kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat dikelompokkan ke dalam golongan daging berwarna putih seperti halnya daging ayam. Sebagaimana pernyataan

LAWRIE (1995) bahwa daging sapi, domba,

kambing, babi dan kuda termasuk ke dalam golongan daging berwarna merah, sedangkan unggas dan kelinci termasuk golongan daging berwarna putih.

Daging putih mempunyai kandungan lemak yang rendah dan kandungan glikogen yang tinggi (FORRESTet al., 1975). Menurut LAWRIE

(1995), bahwa daging putih memiliki serat yang lebih besar, mengandung lebih sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang singkat dan cepat dengan frekwensi istirahat yang lebih sering serta kandungan glikogen yang tinggi (LAWRIE, 1995), sedangkan daging merah memiliki proporsi besar, serat yang sempit, kaya mioglobin, mitokondria, enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang tinggi dan kandungan glikogen yang rendah.

Daging putih mempunyai keunggulan dibandingkan dengan daging merah dalam hal kandungan protein yang lebih tinggi, kadar lemak dan kolesterol yang lebih rendah Keistimewaan daging kelinci yaitu mempunyai

(3)

kalori, kolesterol dan natrium yang rendah. (Tabel 1).

Berdasarkan data pada Tabel 1, menunjukkan bahwa daging kelinci mempunyai kelebihan dalam hal rendahnya kolesterol, sehingga daging kelinci sangat baik dianjurkan sebagai makanan spesial untuk pasien penyakit jantung, manula, dan untuk mereka yang mempunyai masalah dengan kelebihan berat badan. Keuntungan lainnya dikemukakan oleh BENNETH (1988) bahwa tulang pada kelinci lebih tipis, dagingnya halus, seratnya pendek dan mudah dikunyah.

Daging kelinci dapat dipromosikan sebagai daging yang berwawasan lingkungan, karena diproduksi dengan pakan yang tidak berkompetitif dengan manusia, dan dapat disebut juga sebagai daging alami (natural meat), karena kelinci dapat tumbuh dengan baik tanpa menggunakan feed additif non nutritive seperti antibiotik dan hormon, hanya membutuhkan pakan yang sesuai dengan pertumbuhannya.

Potensi kelinci tidak hanya sebagai penghasil daging yang sehat, juga sebagai penghasil kulit bulu (fur) dan wool. Menurut

SCHLOLAUT (1981), bahwa kelinci Angora

dengan bobot badan 4 kg, akan menghasilkan 800 gram wool per tahun atau 225 g/kg bobot hidup, yaitu tiga kali lipat dari pada domba dengan bobot hidup 65 kg, dengan rataan produksi wool 4,5 kg atau 65 g wool per kilogram bobot hidup, sedangkan Rex dan Satin merupakan kelinci penghasil fur. Fur dari kelinci Rex mempunyai karakterisatik yang halus, tebal dan panjangnya seragam, tidak

mudah rontok dan penampilan yang menarik seperti beludru, sedangkan Satin berbulu panjang, lebat dan mengkilap (CHEEKEet al., 1987), sehingga dapat dijadikan bahan garmen dengan nilai ekonomis yang tinggi. Selain dari pada itu kotoran kelinci merupakan sumber pupuk kandang yang baik, karena mengandung unsur hara N, P dan K yang cukup tinggi, dan karena kandungan proteinnya yang tinggi (18% dari berat kering), sehingga kotoran kelinci masih dapat diolah menjadi pakan ternak.

Potensi lainnya dari ternak kelinci adalah sebagai hewan hias dan ternak percobaan. Sebagai hewan hias, kelinci mempunyai penampilan yang lucu, bulu yang lebat, halus dengan berbagai variasi warna menjadikan ternak ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sedangkan sebagai hewan percobaan, ternak ini telah lama digunakan sebagai hewan percobaan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kesejahtraaan manusia.

PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KELINCI

Permintaan daging kelinci di luar negeri terus meningkat setiap tahunnya. Menurut LEBAS et al. (1983), bahwa produksi daging kelinci dunia pada tahun 1980 sebanyak 1 juta ton, dan pada tahun 1991 meningkat menjadi 3 juta ton (LEBAS dan COLLIN, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa di luar negeri daging kelinci sangat disukai terutama bagi masyarakat di negara-negara Eropah.

Tabel 1. Perbandingan komposisi daging dari berbagai jenis ternak

Air Protein Lemak Kolesterol Natrium

Daging g/100 g Energi Kkal mg/100 g Kelinci* 71,5 21,9 5,5 137 53 67 Ayam (merah) 75,8 20,9 2,8 459 105 90 Ayam (putih) 74,2 24,0 1,1 449 70 60 Babi** 74,0 21,8 4,0 123 63 63 Domba** 70,6 20,2 8,3 156 74 70 Sapi** 71,9 22,5 5,1 136 58 63

*) bagian paha dan pinggang **) lean meat

(4)

Berdasarkan data produksi dan konsumsi daging kelinci (Tabel 2) menunjukkan, bahwa konsumsi daging kelinci di negara Italia, Prancis, Spanyol, Belgia, Portugal dan Malta pada kisaran 2,0 kg/kapita/tahun sampai 5,3 kg/kapita/tahun, khususnya untuk negara Italia, Prancis dan Belgia, jumlah produksi daging kelinci lebih kecil dibandingkan dengan yang dikonsumsi, sehingga terjadi defisit untuk ke tiga negara tersebut sebanyak 36.000 ton.

Rusia, Prancis, Italia, China dan negara-negara di Eropah Timur merupakan negara-negara produsen terbesar daging kelinci, disamping itu ada pula beberapa negara yang memproduksi daging kelinci dalam jumlah kecil yang hanya ditujukan untuk konsumsi sendiri seperti beberapa negara Afrika dan Amerika Latin, Philipina, Malaysia, Mesir dan beberapa negara berkembang (RAHARJO, 1994), sedangkan di Indonesia sampai saat ini sulit untuk memperoleh data produksi dan konsumsi daging kelinci, namun menurut LEBAS dan

COLLEN (1994), bahwa konsumsi daging

kelinci di Indonesia baru mencapai 0,27 kg/kapita/tahun.

Daging kelinci dapat dijadikan peluang yang baik untuk mewujudkan standar norma gizi protein hewani yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia, karena sampai tahun 2002 sektor peternakan baru mencapai 4,82 gram/kapita/hari masih jauh dari yang diharapkan. yaitu sebanyak 6 g protein kapita-1 hari-1. Protein tersebut berasal dari susu, telur dan daging sapi, kerbau, domba, kambing, babi, kuda dan unggas, sedangkan dari kelinci belum memberikan kontribusi.

Kelinci dapat dijadikan sumber penghasil

fur, sementara ini pengadaannya berasal dari hewan liar atau hewan yang telah dibudidayakan seperti Mink, Fox, Chinchilla dan Lynx, namun dengan makin meningkatnya perhatian terhadap ternak yang dilindungi dan makin dibatasinya penangkapan hewan liar, maka ada kecenderungan fur dari hewan liar jumlahnya akan menurun, sedangkan fur dari ternak yang dibudi dayakan akan semakin meningkat, namun fur dari kelinci memiliki keunggulan dibandingkan dari hewan liar, karena daging kelinci masih dapat dikonsumsi oleh manusia tidak demikian halnya daging dari Mink, Fox, Chinchilla dan Lynx.

Pengadaan kulit di Indonesia masih terbatas pada kulit sapi, kerbau, domba dan kambing, sedangkan kelinci belum memberikan peran dalam penyediaan bahan baku industri ini, padahal fur dari kelinci dapat dijadikan sebagai bahan baku industri garmen, sehingga dapat meningkatkan devisa negara, karena harganya yang cukup tinggi, sebagai contoh di Amerika Serikat harga satu lembar fur pada kisaran $ 8 - 15, satu buah boneka Teddy Bear dengan ukuran 20 x 20 x 40 cm harganya $ 200, sedangkan mantel bulu medium coat harganya $ 3.000 dan long coat $ 8.000. Negara sebagai produsen pakaian bulu adalah Jepang, Hongkong dan Korea Selatan, yang kebutuhan bahan bakunya hampir sepenuhnya bergantung kepada luar negeri, sebagai contoh tahun 1987 nilai impor Korea untuk kulit bulu mentah mencapai $ 185.000.

Tabel 2. Produksi dan konsumsi daging kelinci di beberapa negara Eropa

Negara Produksi Konsumsi Konsumsi/kg/ Defisit

Tahunan(ton) Tahunan (ton) kapita/tahun (ton)

Italia 300.000 320.000 5,3 20.000 Prancis 150.000 160.000 2,9 10.000 Spanyol 120.000 120.000 3,0 - Belgia 20.000 26.000 2,6 6.000 Portugal 20.000 20.000 2,0 - Malta 1.300 1.300 4,3 - Total/Rerata 611.300 647.300 3,7 36.000

(5)

KENDALA

Pemeliharaan kelinci di Indonesia umumnya masih dalam skala kecil yang menyebabkan sulitnya untuk membuat suatu industri pengolahan yang menggunakan bahan baku dari kelinci, khususnya dalam penyediaan daging dan kulit sulit diperoleh, karena pada umumnya kelinci dijual sebagai hewan hias yang dijual pada umur 3 sampai 6 minggu yang masih rentan penyakit, disamping itu perkawinan yang tidak terprogram dengan bibit kurang bermutu menyebabkan tingginya tingkat mortalitas dan sulitnya mendapatkan kelinci yang seragam.

Pasar domestik daging kelinci saat ini belum terbuka hanya terbatas kepada penjual sate dan gule di beberapa daerah tertentu seperti Lembang, Tawangmangu dan Sarangan. Hal ini banyak disebabkan oleh faktor psikologis yang menganggap bahwa kelinci tidak layak untuk dikonsumsi, tidak seperti halnya daging dari ternak unggas, kambing, domba, sapi, kerbau dan babi, padahal banyak keunggulan yang dapat diperoleh dari daging kelinci.terutama bagi mereka yang mempunyai masalah dalam kandungan kolesterol daging.

Kurang populernya daging kelinci menyebabkan rendahnya tingkat pemotongan yang pada akhirnya berpengaruh pula terhadap ketersediaan kulit kelinci, sehingga penyediaan kulit kelinci dalam jumlah besar dan kontinuitasnya sulit dipenuhi untuk permintaan ekspor dan industri dalam negri yang menggunakan bahan baku kulit.

PENGOLAHAN DAGING KELINCI Pengolahan merupakan hal yang harus diperhatikan, karena dengan pengolahan akan menentukan apakah produk olahan tersebut diterima atau tidak oleh konsumen. Dalam proses pengolahan pangan, penggunaan panas untuk membunuh mikroba yang tidak diinginkan juga akan merusak zat nutrisi yang ada di dalam bahan pangan itu sendiri, oleh karena itu tugas seorang ahli teknologi pangan adalah mencari titik optimasi untuk mendapatkan bahan pangan dengan tingkat kerusakan nutrisi yang rendah namun aman untuk dikonsumsi.

Pada pemasakan daging harus diperhatikan adanya keseimbangan antara tingginya suhu dan lamanya pemanasan, karena penggunaan panas yang tinggi dengan jangka waktu yang lama dapat menyebabkan perubahan cita rasa serta degradasi termal komponen kimiawi pangan yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas, sebagai contoh daging bagian paha memerlukan pemanasan basah pada suhu rendah dengan waktu yang lama, sedangkan daging dari bagian pinggang perlu pemanasan kering dengan waktu yang pendek. Selama proses pemanasan akan terjadi pembentukkan cita rasa yang dapat meningkatkan palatabilitas, hal ini disebabkan mencairnya lemak yang diikuti dengan pembentukkan senyawa volatil, disamping itu terjadi pula reaksi antara protein dengan gula reduksi yang ada pada daging.

Untuk meningkatkan penerimaan masyarakat dari daging kelinci serta dalam rangka upaya diversifikasi pangan hewani maka perlu dilakukan proses pengolahan, karena proses pengolahan menyebabkan terjadinya perubahan fisik maupun kimiawi sehingga mengakibatkan terbentuknya aroma, konsistensi, tekstur, nilai gizi dan penampakan yang diharapkan dapat merubah faktor kebiasaan makan. Mutu akhir dari makanan ini sangat ditentukan oleh mutu bahan baku dan kondisi proses oleh karena itu dalam pengolahan bahan pangan faktor tersebut harus mendapat perhatian, disamping itu harus memperhatikan pula preferensi konsumen, khususnya dalam pengolahan daging kelinci.

Dari banyak macam produk olahan daging, maka bakso, sosis dan nugget adalah produk olahan daging yang telah diterima oleh masyarakat dari berbagai lapisan, demikian pula abon dan dendeng adalah produk olahan yang telah lama dikenal masyarakat dan mempunyai masa simpan yang panjang. Oleh karena itu melalui teknologi pengolahan tersebut diharapkan daging kelinci dapat diterima konsumen, yang dapat meningkatkan gizi masyarakat. yang pada akhirnya dapat menumbuh kembangkan peternakan kelinci.

Bakso adalah produk olahan daging yang dihaluskan, ditambahkan tepung dan bumbu serta dicetak dalam bentuk bulatan. Bakso dalam istilah cina berasal dari kata bak atau ba

(6)

dapat pula digunakan daging dari berbagai jenis ternak lainnya seperti kelinci bahkan bakso sapi lebih dikenal masyarakat dibandingkan dengan bakso babi. Menurut

OCKERMAN (1978), bahwa bakso (meat ball)

merupakan daging giling yang dicampur dengan sebanyak-banyaknya 12% campuran kedelai, konsentrat protein, skim dan bahan sejenis sedangkan menurut DEWAN

STANDARISASI NASIONAL (1995), bakso

merupakan produk makanan berbentuk bulattan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia atau tanpa bahan tambahan makanan yang dizinkan

Bahan utama pembuatan bakso adalah daging, sedangkan bahan penunjangnya adalah tepung singkong, garam, es, bumbu dan bahan penyedap. Garis besar tahapan pembuatan bakso meliputi empat tahapan, yaitu: penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan. Penghancuran daging dimaksudkan untuk mengeluarkan protein daging diantaranya aktin dan miosin sehingga dapat diekstraksi oleh garam, proses ini harus dipertahankan pada suhu dibawah 15oC, karena pada suhu yang tinggi mengakibatkan pecahnya emulsi sehingga tidak diperoleh adonan yang baik, oleh karena itu dalam proses penggilingan selain ditambahkan bumbu, bahan penunjang dan garam juga ditambahkan es atau air es. Adonan yang terbentuk dicetak berbentuk bulatan dengan menggunakan mesin atau tangan yang dilanjutkan dengan pemasakan dalam air hangat selama 20 menit dan dilanjutkan dengan pemanasan kedua dalam air mendidih sampai baso matang

Sosis berasal dari bahasa latin yaitu salsus yang berarti diawetkan menggunakan garam, adalah makanan yang dibuat dari daging yang dihaluskan, ditambahkan tepung dan bumbu, serta dimasukan kedalam pembungkus (casing) yang bulat dan panjang. Banyak ragam nama yang diberikan untuk sosis tergantung dari asal negara, bahan baku, cara pemasakan dan besar casing, sebagai contoh burger adalah irisan tipis dari sosis yang dicasing dengan ukuran besar. Bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah daging, binder, filler, air, bahan curing, bumbu dan casing. Proses pembuatan sosis, sama seperti halnya dalam pembuatan bakso, hanya pada pembuatan sosis

dilakukan curing sebelum penghancuran daging dan pemasakannya selain dilakukan perebusan juga dapat dikombinasikan dengan pengasapan, khusus untuk sosis dari daging sapi dilakukan penambahan zat warna merah untuk membedakan dari sosis babi dan ayam, sedangkan sosis kelinci sebaiknya mempunyai penampilan seperti sosis ayam, yaitu tanpa pemberian warna merah, karena karakteristik daging kelinci lebih mendekati daging ayam.

Karakteristik daging kelinci yang lebih mendekati daging ayam dibandingkan dengan daging dari ternak ruminansia lainnya, menjadikan daging kelinci dapat diolah menjadi berbagai macam olahan seperti produk olahan daging ayam, salah satu diantaranya adalah nugget. Produk ini telah dikenal dan popular dimasyarakat, karena praktis pemasakannya, sehingga dapat disajikan dengan cepat. Tepung yang digunakan dalam pembuatan nugget adalah tepung tapioka atau maizena dan tepung roti. Proses pembuatannya, dimulai dari pencetakan adonan dalam loyang, pengukusan, pendinginan, pemotongan, pelumuran dengan campuran tepung terigu, tepung roti dan telur, kemudian diakhiri dengan penggorengan.

Produk olahan daging yang mempunyai daya simpan yang panjang yaitu dendeng dan abon. Dendeng merupakan salah satu produk daging awet yang dikelompokkan sebagai daging curing. Curing adalah penggunanaan garam nitrat (sendawa) untuk mempertahankan warna daging, rasa yang khas dan mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Terdapat dua macam dendeng, yaitu dendeng dari sayatan tipis daging dan kedua dari daging yang digiling dan dicetak Dendeng dan abon telah menjadi industri rumah tangga dengan harga yang bervariasi tergantung sampai berapa jauh bahan bukan daging yang dikandung dalam produk olahan daging tersebut.

PENANGANAN KULIT KELINCI Kulit kelinci mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan karena bila mendapat penanganan dan pengolahan yang baik, kulit ini akan memberikan nilai tambah yang lain untuk menggantikan ongkos produksi, tetapi hal ini perlu ditunjang oleh beberapa hal

(7)

diantaranya pakan yang baik, umur potong yang tepat dan bangsa kelinci yang digunakan, karena hal ini akan ikut menentukan dalam penyediaan kulit yang berkualitas.

Kulit kelinci yang segar merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya mikroorganisme, oleh karena itu setelah ditanggalkan dari hewannya harus segera dilakukan penyamakan, namun popularitas daging kelinci yang masih rendah dan skala pemeliharaan yang kecil menyebabkan masih rendahnya ketersediaan kulit kelinci dan sulitnya kontinuitas penyediaannya, sehingga tidak ekonomis untuk segera melakukan proses penyamakan. Oleh karena itu sebelumnya harus dilakukakan proses pengawetan.

Sebelum dilakukan proses pengawetan, kulit harus dalam keadaan bersih dari kotoran, feses, urine, darah, tanah dan sebagainya yang dapat mempercepat proses pembusukan. Proses ini harus segera dilakukan paling lama lima jam setelah proses pengulitan dengan cara pengeringan atau dengan pemberian bahan pengawet.

Penyamakan adalah rangkaian proses pengerjaan pada kulit dengan zat-zat atau bahan-bahan penyamak, sehingga kulit yang semula labil terhadap pengaruh kimia, fisis, dan biologis menjadi stabil pada tingkat tertentu (JUDOAMIDJOJO, 1981). Proses penyamakan kulit kelinci pada umumnya sama dengan penyamakan kulit dari hewan lainnya lainnya, tetapi untuk mendapatkan nilai ekonomis yang tinggi sebaiknya hanya dilakukan pada kelinci khusus penghasil fur, yaitu Rex dan Satin.Terdapat tiga kelas fur, yaitu kualitas 1 (pluckers dan shearears), kualitas 2 (long hairs) dan kualitas 3 (hatters)

(CHEEKE et al., 1987) Menurut YURMIATY

(1991), bahwa biaya yang dikeluarkan untuk penyamakan fur, yaitu Rp. 4.712 sampai Rp. 5.9777 untuk setiap lembar kulit kelinci Rex.

KESIMPULAN

Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensial besar dalam penyedia daging sehat

dengan waktu yang relatif singkat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat, disamping sebagai penyedia kulit bulu (fur), khususnya fur dari

kelinci Rex dan Satin yang mempunyai nilai komersiil tinggi sebagai bahan garmen yang dapat menggantikan fur dari binatang buas yang semakin langka.

Aplikasi teknologi pengolahan daging merupakan langkah yang tepat untuk mensosialisasi dan mempopulerkan daging kelinci dimasyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan perkembangan ternak kelinci.

DAFTAR PUSTAKA

BENNETT, B. 1988. Raising Rabbits The Modern Way. A Garden Way Pub. Book, United Satates.

CHAN, W., J. BROWN, S.M. LEE and D.H. BUSS. 1995. Meat, Poultry and Game. The Royal Society of Chemistry, London

CHEEKE, P.R.,N.M. PATTON, S.D.LUKEFAHR and J.I.MC.NITT. 1987. Rabbit Production. The Interstate Printers and Pub. Inc. Danville Illinois.

DEWAN STANDARISASI NASIONAL. 1995. Bakso Daging. SNI 01-3818-1995

ENSMINGER, M.E., J.E. OLDFIELD., W.W. HEINEMANN. 1990. Feed and Nutrition. 2nd Ed. The Ensminger Pub. Co., USA.

FORREST,J.C., E.D.ABERLE, H.B.HEDRICK,M.D. JUDGE and R.A.MERKEL. 1975. Priciples of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransico.

JUDOAMIDJOJO, R.M. 1981. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Jurusan Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor LAWRIE, R.A. 1995. Ilmu Daging. Diterjemahkan

oleh AMINUDIN PARAKKASI, UI-Press, Jakarta LEBAS, F. 1983. Small Scale Rabbit Production,

Feeding and Management System. World Anim. Rev. 46, 11-17.

LEBAS, F. and M. COLLIN. 1992. World Rabbit Production and Research Situation. 1992. J. Appl. Rabbit Res, 15, 29-54.

LEBAS, F. and M.COLLIN. 1994. Consumption of Rabbit Meat. http//www.Google.com. OCKERMAN,H.W. 1983. Chemistry of Meat Tissue.

10th Ed. Dept. of Animal Science. The Ohio State Univesity, Ohio.

RAHARJO,Y.C. 1994. Potential and prospect of an integrated rex rabbit farming in supporting an export oriented agribisnis. J. IARD 16: 69-81.

(8)

RAHARJO, Y.C. 2004. Prospek, Peluang dan Budidaya Ternak Kelinci. Seminar Nasional Prospek Ternak Kelinci Dalam Peningkatan Gizi Masyarakat Mendukung Ketahanan Pangan, Bandung.

SCHLOLAUT,W., 1981. The Production Capacity of Rabbit in Meat and Wool. Animal Research and Development. Vol IV.

TEMPLETON, G.S. 1968. Domestic Rabbit Production. He Interstate Printers and Pub. Danville, Illionois.

YURMIATY,H. 1991. Pengaruh Pakan, Umur Potong Dan Jenis Kelamin Terhadap Bobot Hidup, Karkas dan Sifat Dasar Kulit Kelinci Rex, Desertasi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gambar

Tabel 1. Perbandingan komposisi daging dari berbagai jenis ternak
Tabel 2. Produksi dan konsumsi daging kelinci di beberapa negara Eropa

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan nilai medan gravitasi akibat distribusi massa jenis yang tidak homogen pada batuan penyusun bumi yang disebabkan oleh adanya struktur geologi bawah permukaan..

1, No.2, Desember 2020 : 111-119 © 2020 JIEES : Journal of Islamic Education at Education School Dengan menerapkan metode analisis muatan literasi sains pada buku ajar

Produk yang akan di redesign adalah food cart karena dapat menyimpan alat, bahan yang diperlukan dan mudah di bawa kemana- mana, untuk melakukan redesign

Putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah yang berkaitan dengan materi muatan dalam ayat dan/atau pasal dari undang-undang, dan/atau undang-undang yang dimohonkan pengujian yang telah

(1) Subbidang penelitian dan pengembangan ekonomi dan pembangunan dipimpin oleh seorang kepala subbidang, mempunyai tugas membantu dan bertanggung jawab kepada kepala

(3) Arahan peraturan zonasi kawasan di sekitar jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mencakup pelarangan pemanfaatan ruang

Ketiga, karakteristik Psikografis wisatawan yang datang ke Pantai Goa Cemara, Pantai Kuwaru, dan Pantai Pandansimo Baru cenderung berkarakter Psikosentris yang menyukai

tersebut meliputi abrasi, akresi dan intrusi air laut (Taofiqurohman, 2012). Masyarakat Indonesia yang berada di negara kepulauan tidak asing dengan abrasi, mengingat bahwa