• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kelinci Sebagai Penghasil Daging Kelinci Rex

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kelinci Sebagai Penghasil Daging Kelinci Rex"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Kelinci merupakan hewan yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik. Hewan ini merupakan herbivora non ruminansia yang mempunyai sistem lambung sederhana (tunggal) dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan ruminansia, sehingga hewan ini dapat disebut ruminansia semu (pseudoruminant).

Klasifikasi kelinci secara ilmiah sebagai berikut (Damron, 2003) : Kingdom : Animalia (hewan)

Phylum : Chordata (mempunyai notochord) Subphylum : Vertebrata (bertulang belakang) Class : Mammalia (memiliki kelenjar air susu)

Ordo : Lagomorpha (memiliki 2 pasang gigi seri di rahang atas) Family : Leporidae (rumus gigi 8 pasang di atas dan 6 pasang di bawah) Genus : Oryctolagus (morfologi yang sama)

Species : Cuniculus forma domestica (nama spesies)

Hewan in dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan bakteri yang hidup di dalam sekumnya (Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci banyak digunakan sebagai hewan peliharaan, penghasil kulit bulu (fur) dan penghasil daging

(fryer). Kelinci mampu mengubah hijauan berprotein rendah, yang berasal dari bahan

makanan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan makanan, menjadi protein hewani yang benilai tinggi. Hewan ini mampu mengembalikan 20% protein yang dikonsumsinya menjadi daging (Lebas et al, 1986). Selain itu, ternak ini mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat berkembangbiak, interval kelahiran yang pendek dan tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya (Templeton, 1968). Farrel dan Raharjo (1984) menyatakan bahwa secara teori seekor induk kelinci dengan bobot tiga hingga empat kilogram, dapat menghasilkan 80 kg karkas per tahun.

Kelinci Rex

Rex merupakan salah satu dari berbagai macam jenis kelinci. Jenis Rex pertama kali ditemukan oleh seorang petani bernama M. Caillon yang berasal dari

(2)

Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919. Jenis Rex ini kemudian diketahui sebagai hasil dari mutasi gen. mutasi gen ini menyebabkan bulu sebelah dalam sama panjang dengan bulu luarnya, sehingga bulunya lebih padat dan panjangnya seragam (Sandford, 1980). Cheeke et al. (1987) menambahkan bahwa bulu kelinci Rex sifatnya halus, panjangnya seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan beragam sehingga sangat cocok untuk dijadikan fur (kulit bulu).

Kelinci Rex juga baik dan proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh medium dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula untuk dijadikan sebagai kelinci pedaging. Bobot badan ideal untuk kelinci Rex jantan adalah 3.6 kg, sedangkan untuk betina adalah 4.08 kg (ARBA, 1996). Kelinci Rex sangat bervariasi dengan produksi daging berkualitas sangat baik (exellent), tetapi produktivitas daging pada kelinci Rex lebih rendah dibandingkan dengan kelinci pedaging jenis New Zealand (Raharjo, 1994).

Kelinci Lokal

Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang lebih kecil dari kelinci impor. Kelinci – kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi terhadap panas serta berbadan besar (Farrel dan Raharjo,1984).

Herman (1989) menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap panas (suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan kelinci lokal telah beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas dibandingkan kelinci impor yang berasal dari daerah iklim sedang. Kelinci lokal diternakkan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Daging yang dihasilkan pun mempunyai kualitas yang cukup baik.

Pertambahan Bobot Hidup

Proses pertumbuhan terdiri atas dua aspek, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan merupakan pertambahan bobot tubuh per satuan waktu

(3)

hingga dewasa tubuh, sedangkan perkembangan merupakan perubahan dalam komposisi, bentuk serta tinggi tubuh (Lawrie, 2003). Pertumbuhan pada ternak umumnya mengikuti kurva berbentuk sigmoid yang merupakan hubungan antara bobot tubuh, umur dan pola pertumbuhan tersebut. Hal ini juga didapati pada pertumbuhan kelinci setelah lahir (Sanford, 1980). Kurva tersebut memperlihatkan fase petumbuhan yang dipercepat (accelerating) terjadi pada umur remaja, sedangkan fase pertumbuhan yang diperlambat (decelerating) dimulai dari umur remaja sampai dewasa (Hammond dan Browman, 1983). Rao et al. (1979) menyatakan bahwa kelinci muda memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan puncak pertumbuhan accelerating dicapai pada umur delapan minggu.

Pertumbuhan meliputi pertambahan bobot badan per waktu tertentu dan perubahan konformasi dari jaringan tubuh, sesuai umur dan fungsinya sehingga dinyatakan tumbuh-kembang (Hammond dan Browman, 1983). Templeton (1968) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas ransum. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh bangsa, umur , jenis kelamin, bobot sapih dan suhu lingkungan.

Periode pertumbuhan mulai dari penyapihan hingga pemotongan merupakan fase paling efisien dalam mengkonversikan pakan untuk mencapai bobot badan yang diinginkan. Oleh karena itu diperlukan pakan dengan kandungan karbohidrat (energi), protein, lemak vitamin dan mineral yang sesuai untuk pertumbuhannya. Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa kelinci membutuhkan enegi metabolisme 2400 Kkal, lemak 3%, protein kasar 15% dan serat kasar 14% untuk

pertumbuhannya.

Laju pertumbuhan pada anak kelinci akan meningkat cepat pada satu bulan pertama sejak lahir dan akan terus bertambah sampai disapih. Bobot kelinci yang dicapai pada umur delapan minggu adalah 1.38 – 2.1 kg, umur 12 minggu adalah 2.12 - 2.85 kg dan umur 16 minggu adalah 3.28 – 3.83 kg (Chen et al., 1987).

Karkas dan Komponen Karkas Kelinci

Karkas adalah bagian tubuh ternak tanpa kepala, kaki, ekor, darah dan organ dalam tubuh (jeroan) (Herman, 1986 ; Soeparno, 1992). Lebas et al. (1986) menyatakan bahwa di Inggris dan Kanada, pengertian karkas kelinci sama dengan pengertian karkas sapi. Karkas terdiri atas tiga jaringan utama yaitu tulang, daging,

(4)

dan lemak (Soeparno, 1992). Tulang tumbuh paling awal membentuk kerangka, kemudian di susul oleh pertumbuhan urat yang membentuk daging yang menyelimuti kerangka dan lemak tumbuh terakhir pada saat mendekati kemasakan tubuh (Mc Nitt dan Lukefahr, 1993). Karkas yang ideal harus mengandung sejumlah maksimal otot, kandungan lemak yang optimal serta tulang yang minimum (Lovett, 1986).

Herman (1986) menyatakan bahwa kelinci yang dipelihara di daerah tropis mampu menghasilkan karkas sebesar 47.96% dari bobot hidup 1 – 2.1 kg. Bobot tulang karkas kelinci sekitar 15% dan 82 - 85% dari karkasnya dapat di konsumsi. Mutu produksi daging dipengaruhi oleh umur (Soeparno, 1992). Daging kelinci muda, berwarna putih, seratnya halus dan rasanya lebih enak dari daging ayam. Kelinci dewasa, dagingnya padat, kasar berwarna merah tua dan kurang empuk (Herman, 1989). Soeparno (1992) menyatakan kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang menentukan adalah bobot karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan.

Pemotongan bagian karkas kelinci berdasarkan pada irisan komersial. Irisan komersial karkas kelinci terdiri atas empat potong irisan. Irisan tersebut adalah potongan irisan kaki depan (foreleg), potongan irisan dada (rack), potongan irisan pinggang (loin) dan potongan irisan kaki belakang (hindleg) (De Blass et al., 1977). Herman (1986) menyatakan bahwa hasil pengirisan menunjukkan proporsi yang konsisten dengan koefisien keragaman yang rendah. Proporsi irisan terhadap bobot tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang ± 40 %, pinggang ± 22.10 %, dada ± 11.68 % dan kaki depan ± 29 %.

Persentase karkas atau bagian tubuh lainnya terhadap bobot tubuh sangat ditentukan oleh bobot tubuh dan kondisinya, macam makanan dan pemuasaan sebelum pemotongan (Cheeke et al., 1987 ; Herman, 1989). Bobot potong yang meningkat akan meningkatkan persentase bobot tubuh kosong dan karkas (Herman,1986). Lukefahr et al. (1981) menyatakan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi sifat-sifat karkas. Muryanto dan Prawirodigdo (1993) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong maka semakin tinggi persentase bobot karkasnya. Hal ini disebabkan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah selaras dengan ukuran bobot tubuh.

(5)

Otot

Otot merupakan komponen utama karkas sebagai penentu kualitas yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Otot mengandung 72-73% air, 18% protein, 1-2% BETN, 1-20% lemak, 1% abu dan 1% karbohidrat yang merupakan sistem koloida (Zobrisky, 1969).

Basuki et al. (1981) menyatakan bahwa kelinci lokal mempunyai persentase otot sebesar 35.2% ± 5.25 untuk kelinci betina berbobot badan 0.55-3.3 kg dan untuk kelinci jantan dengan bobot badan 0.6-3.3 kg. Bobot badan kelinci yang diharapkan pada peternakan komersial adalah 1.8-2.7 kg dengan produksi daging karkas 0.9-1.4 kg yang persentase karkasnya sebesar 55% dan rasio otot dan tulang adalah 5 : 1.

Persentase otot akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong kaki belakang (hindleg) dan punggung (loin), sedangkan otot pada bagian kaki depan

(foreleg) konstan (Eviaty, 1982). Djoenaedi (1972) menyatakan bahwa pada rataan

bobot hidup sebesar 990 g diperoleh rataan otot sebesar 36.7%. Tulang

Tulang merupakan jaringan yang pasif atau inert. Perbedaan tulang dengan jaringan yang lainnya adalah tulang merupakan jaringan padat yang keras dan mengandung 45% air, 25% abu, 20% protein, 10% lemak dan 99% kalsium serta 80% phosfor dalam tubuh yang umumnya terdapat di dalam tulang (Zobrisky, 1969).

Tulang merupakan bentuk kerangka yang berfungsi sebagai pelindung jaringan lunak dan organ-organ vital serta sebagai pengungkit aktivitas otot. Tulang mempunyai arti penting dalam pertumbuhan ternak, karena perkembangan tulang akan menentukan ukuran dan bersama otot maupun lemak menentukan konformasi tubuh. Tulang dapat mencerminkan produksi daging suatu ternak dan diharapkan mempunyai proporsi yang sekecil mungkin (Berg dan Butterfield, 1976).

Eviaty (1982) menyatakan bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas mengalami pertumbuhan relatif dini dan persentase bobot jaringan tulang akan berkurang dengan bertambahnya bobot masing-masing potongan karkas. Persentase bobot tulang karkas akan berkurang dengan meningkatnya bobot tubuh kosong maupun bobot karkas.

(6)

Lemak

Perletakan dan distribusi lemak mempunyai arti ekonomi yang penting dalam produksi daging. Lemak menambah bobot daging karkas dan penyebarannya turut menentukan mutu daging. Depot lemak merupakan komponen karkas yang masak lambat. Persentase depot lemak akan meningkat seiring dengan bertambahnya bobot hidup. Depot lemak meupakan proses fisiologis ternak, dengan fungsinya yaitu sebagai cadangan untuk menjaga panas homeostatis tubuh (De Blass et al., 1977).

Distribusi lemak sangat mempengaruhi proporsi jaringan otot karkas sebab proporsi daging dan tulang akan berkurang sedangkan komponen lemak bertambah dengan meningkatnya bobot karkas (Seebeck dan Tulloh, 1968). Pertumbuhan lemak pada kelinci berlangsung bila berumur lebih dari dua bulan yaitu pada bobot sekitar 1.5-2.0 kg, tetapi lemak yang dikandungnya tetap lebih kecil bila dibandingkan ternak lainnya. Perletakan lemak pada tubuh kelinci terjadi di sekitar rusuk, sepanjang tulang belakang, daerah paha, sekitar leher, ginjal dan jantung (Bogart, 1981).

Sifat Fisik Daging Daya Mengikat Air (DMA) Daging

Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water-holding capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 1992). Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum dimasak. Sifat-sifatnya selama dimasak dan juiceness-nya pada saat dikunyah (Lawrie, 2003).

Daya Mengikat Air (DMA) dipengaruhi oleh pH. Selain itu, daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air di antara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Kelembaban daging dipengaruhi oleh daya mengikat air, kandungan air dan kondisi perlemakan pada daging. Ditambahkan bahwa daging yang tidak memiliki lean atau lemak akan

(7)

mengalami kelembaban yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daging yang berlemak Soeparno (1992).

Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar 4% dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh

denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun apabila protein

daging mengalami denaturasi (Soeparno, 1992).

Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelektrik (5,0-5,1) protein miofibril, filamen miosin dan filamen aktin akan saling mendekat sehingga ruang diantara filamen-filamen ini akan menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP (adiposa Triphospat) serta pembentukan aktamiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH (Soeparno,1992).

Keempukan Daging

Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003). Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan silangnya, daya ikat air oleh protein daging serta juiceness daging (Soeparno, 1992). Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek. Pertama, mudah tidaknya gigi berpenetrasi awal kedalam daging. Kedua, mudah tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Ketiga, jumlah residu tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).

Penyebab utama kealotan daging adalah pemendekan otot postmortem (Lawrie, 2003). Jadi, pemendekan otot ini dapat dikurangi atau dicegah dengan cara

(8)

penggantungan karkas pre-rigor pada pelvik atau dengan cara pelayuan karkas, misalnya pada temperatur 10-20 0C (Bouton et al., 1978).

Aberle et al., (1981) menyatakan bahwa pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan dan ternak – ternak yang digemukkan di dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan ternak yang digembalakan.

Bouton et al., (1978) menyatakan bahwa umur dalam kondisi tertentu tidak mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun mendapatkan ransum dengan nutrisi dan penanganan yang baik dapat menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak muda namun mendapatkan nutrisi ransum dan penanganan yang kurang baik. Otot dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapatkan nutrisi dan penanganan yang baik. Otot yang baik mempunyai jumlah kolagen per satuan luas otot yang lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi dan penanganan yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasikan akan lebih empuk.

Susut Masak Daging

Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama dari pemasakan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging. Susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek. Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak.

Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak pada umur ternak yang sama. Bobot potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskuler. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak (Soeparno, 1992).

(9)

Nilai pH Daging

Perubahan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan (Buckle et al., 1987). Otot yang mengalami penurunan pH sangat cepat akan menjadi pucat,daya ikat daging protein terhadap cairannya menjadi rendah dan permukaannya tampak sangat basah. Disisi lain, otot yang mempunyuai pH tinggi selama proses konversi otot menjadi daging dapat menjadi sangat gelap warnanya dan sangat kering di permukaan potongan yang tampak (Aberle et al., 2001).

Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah 5,4-5,8. Stres sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-obatan tertentui, spesies, individu ternak, macam otot stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi gliokolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Temperatur tinggi akan meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. Pengaruh termperatur terhadap perubahan pH postmotem ini adalah sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisis postmortem (Soeparno, 1992).

Peningkatan pH akan menyebabkan meningkatnya daya ikat air daging dan lapisan permukaan daging akan semakin kering, sehingga kualitas daging akan semakin menurun. Ternak yang mengalami cukup masa istirahat sesaat sebelum dipotong memiliki cadangan glikogen dalam otot yang cukup tinggi (Lawrie, 2003). Dikemukakan juga bahwa glikogen yang tinggi didalam otot akan diubah melalui proses glikolisis menjadi asam laktat. Tingginya asam laktat yang terbentuk akan membuat pH daging menjadi rendah.

Komposisi Kimia Daging

Faktor kondisi ternak pada saat pemotongan dapat menyebabkan perbedaan komposisi kimia daging yang dihasilkan. Bobot karkas adalah salah satu refleksi kondisi ternak. Bobot karkas dipengaruhi oleh interaksi antar bangsa dan pakan yang menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan energi, protein dan mungkin mineral

(10)

pakan secara relatif berbeda di antara bangsa dan perlakuan pakan, tetapi tidak selalu direfleksikan terhadap perbedaan komposisi kimia daging (Soeparno, 1992). Komposisi kimia dalam daging yang berhubungan erat dengan nilai gizi adalah kadar air, mineral, protein, lemak dan vitamin. Berikut adalah komposisi kimia daging dari berbagai jenis ternak berdasarkan bahan segar.

Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Dari Berbagai Jenis Ternak

Daging Protein Lemak Kadar Air Kandungan

(%) (%) (%) Energi (MJ/kg) Kelinci 20.80 10.20 67.90 7.30 Ayam 20.00 11.00 67.60 7.50 Anak Sapi 18.80 14.00 66.00 8.40 Kalkun 20.10 22.00 58.30 11.90 Sapi 16.30 28.00 55.00 13.30 Domba 15.70 27.70 55.80 13.10 Babi 11.90 45.00 42.00 18.90

Sumber : State 4-H Rabbit Programming Committee (1992) Analisa Proksimat

Informasi umum mengenai makanan didapat dari hasil analisa berupa komposisi kimia makanan yang merupakan hasil penggunaan sistem analisa proksimat yang telah digunakan lebih dari 100 tahun lalu. Sistem analisa proksimat membagi makanan ke dalam enam fraksi zat makanan yaitu kadar air, abu, protein, ektrak lemak, serat kasar dan bahan ektrak tanpa nitrogen (McDonald et al., 2002).

Kegunaan pakan secara efisien dapat diketahui melalui pengetahuan terhadap komposisi kimia yang dikandung, kecernaan nutrisi dan kemampuan dalam menyediakan energi serta tidak adanya penghambat dalam makanan tersebut. Cheeke

et al. (1987) menyatakan bahwa terdapat beberapa tehnik yang biasa digunakan

untuk mendapatkan informasi yang dbutuhkan tersebut diantaranya analisis pakan. Metode analisis kimia yang telah lama dan umum digunakan adalah analisis proksimat. Analisa tersebut meliputi penentuan bahan kering, protein kasar, ektrak eter, abu, serat kasar, dan bahan ektrak tanpa nitrogen. Wiseman dan Cole (1990) menyatakan bahwa kebanyakan data komposisi bahan kimia dengan metode analisis

(11)

yang biasa digunakan adalah analisa proksimat dikarenakan informasi yang ada cukup menggambarkan sebuah materi bahan dengan tujuan spesifik.

Analisa proksimat merupakan analisis yang telah lama ada dan dapat digunakan untuk menduga nilai nutrisi termasuk nilai energi dari contoh bahan/campuran pakan/sampel yang berasal dari bagian komponennya (NRC, 1994). Air

Air adalah zat yang terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen dengan rumus molekul H2O (Fardiaz, 1992). Ensminger et al. (1990) menyatakan

bahwa kadar air tubuh erat hubungannya dengan usia. Kadar air tubuh berkurang dengan kegiatan metabolisme. Hewan yang muda akan lebih mampu menggunakan zat – zat makanan yang diperolehnya untuk membangun tubuhnya sedangkan hewan yang lebih tua, akan menimbun kelebihan energi yang diperolehnya untuk menjadi lemak tubuh.

Lemak

Lemak termasuk di dalam kelompok ester yang terbentuk dari reaksi alkohol dalam asam organik. Komponen pembentuk lemak pada umumnya terdiri dari satu molekul gliserol yang berikatan dengan tiga molekul asam lemak, dikenal sebagai trigliserida (Fardiaz, 1992).

Lemak yang dimaksud sebagai lemak daging adalah lemak intramuskuler yang umumnya terdiri dari lemak sejati dan mengandung fosfolipid dari fraksi – fraksi yang tidak tersabun, seperti kolesterol (Lawrie, 2003). Soeparno (1992) menyatakan bahwa kadar lemak mempunyai hubungan yang negatif dengan kadar air. Jika kadar lemak tubuh meningkat yaitu bertambah bobot hidupnya maka kadar airnya akan berkurang, dengan demikian pertambahan usia akan meningkatkan kadar lemaknya. De Blass et al. (1977) melakukan penelitian dengan menggunakan kelinci betina Spanish Giant yang dipotong pada umur tiga, empat dan lima bulan, menunjukkan hasil bahwa kadar lemak akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur potong, masing – masing sebesar 34.1%, 37.85% dan 43.97% dari bobot lemak awalnya.

(12)

Protein

Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien yang mempunyai peranan lebih penting dalam pertumbuhan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Struktur protein selain mengandung unsur N, C, H, O juga mengandung S, P, Fe, dan Cu yang membentuk senyawa kompleks Sudarmadji et al. (1989). Molekul protein sendiri merupakan rantai panjang yang tersusun oleh mata rantai asam – asam amino. Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karboksil (-CHHOH) dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah

satunya terletak pada atom C tepat di sebelah gugus karboksil (Fardiaz, 1992).

Secara fisiologis, tubuh manusia rata – rata membutuhkan 55 g protein per hari yang terdiri atas 35 g protein nabati, 15 g protein hewani asal ikan dan 5 g protein hewani asal ternak. Protein sangat esensial bagi kehidupan karena sebagai penyusun komponen jaringan lunak seperti otot, tenunan pengikat, kolagen, kulit, rambut dan kuku (Ensminger et al., 1990).

Protein bahan makanan dalam analisi proksimat ditentukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Metode ini menganut asumsi bahwa semua nitrogen bahan makanan berasal dari protein dan semua protein bahan makanan mengandung N sebesar 16%. Protein bahan makanan ditentukan dengan menganalisis kandungan nitrogennya. Hasil yang diperoleh dikalikan dengan 6.25 yaitu faktor kelipatan N yang diperoleh dari 100/16 (Ensminger et al., 1990). Komposisi protein dalam tubuh tidak banyak dipengaruhi oleh usia maupun kondisi tubuh, dalam hal ini bobot hidupnya.

Abu (Mineral)

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu berhubungan dengan kadar mineral suatu bahan organik. Mineral tersebut dapat merupakan garam organik maupun anorganik. Penentuan abu total digunakan untuk berbagai tujuan, yaitu selain sebagai parameter nilai gizi dalam bahan makanan juga untuk mengetahui baik tidaknya suatu proses pengolahan serta untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan (Sudarmadji et al., 1989).

Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa dalam analisa proksimat kadar abu (mineral) ditentukan dengan membakar contoh bahan makanan pada suhu 500 –

(13)

600 oC. Semua bahan organik tersebut akan terbakar dan teruapkan. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral bahan makanan.

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Dari Berbagai Jenis Ternak

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pola pemotongan dibuat dengan mengurutkan berapa banyak potongan kertas berukuran paling kecil yang dapat dihasilkan dari 1 buah bahan baku kertas berukuran

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “ Efektivitas Pendidikan Kesehatan dengan Media Kalender oleh

The title of this paper is ”Bentuk, Fungsi dan Makna Masjid Lautze di Jakarta Pusat.” The purpose of the research is to describe the form, the function, and the meaning of

JUDUL : MISTERI KEMATIAN MENDADAK BENARKAH KARENA SERANGAN JANTUNG. MEDIA :

Pada dasarnya belajar merupakan tahapan perubahan prilaku peserta didik yang relatif positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif,

(3) Undian nomor urut dan simbol/lambang Calon Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (Tujuh) hari sebelum hari dan tanggal

terhadap motivasi belajar peserta didik pada mata pelajaran PAI di SMP Negeri 3 Sungguminasa sebesar 49,5%. Penelitian ini berimplikasi sebagai berikut: 1) Pada dasarnya