• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu

Berikut adalah penelitian terdahulu novel Tantri Perempuan yang

Bercerita dan naskah Kidung Tantri Kĕdiri:

1. Penelitian terhadap novel karya Cok Sawitri, Tantri Perempuan yang

Bercerita telah dilakukan oleh Fitria Pratiwi mahasiswa Program Studi

Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia pada tahun 2012. Dalam tesisnya yang diberi judul “Rekonstruksi

Maskulinitas dalam Tantri: Perempuan yang Bercerita Karya Cok

Sawitri”, ia meneliti tentang adanya unsur maskulinitas dan feminitas

dalam penokohan novel. Penelitiannya ini menggunakan teori gynocritics

dengan fokus kajian pada rekonstruksi maskulinitas tokoh Ni Diah Tantri, Eswaryadala dan Bandeswarya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hadirnya tokoh dan penokohan dengan konsep femininitas dan maskulinitas baru pada karakter tokoh Ni Diah Tantri, Eswaryadala dan Bandeswarya. Mengungkapkan bahwa terdapat ideologi kesetaraan gender yang disisipkan penulis novel dalam menghadirkan kembali tradisi lisan dan sastra klasik yang hidup dalam masyarakat Bali.

2. Analisis terhadap novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri juga dilakukan oleh I Nyoman Darma Putra (2012). Ia adalah staf

(2)

commit to user

pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Udayana. Putra membuat analisis serta tinjauan novel Tantri Perempuan yang Bercerita yang diberi judul “Novel „Tantri‟, Daur Ulang Nilai-Nilai untuk Pembentukan

Karakter Bangsa”. Analisisnya tersebut kemudian disajikan dalam

seminar „Aktualisasi Nilai-nilai Sastra Budaya dalam Pembentukan Karakter Bangsa‟, di Denpasar pada 21 September 2011, diselenggarakan dalam rangka HUT Fakultas Sastra Universitas Udayana 2011. Materinya tersebut kemudian dibuat jurnal, jurnalnya tersebut membahas tentang inovasi dan kreativitas yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam mendaur ulang cerita klasik Tantri. Membandingkannya dengan karya Tantri yang telah ada di Bali, yakni Ni Dyah Tantri (1915) karya I Made Pasek. Dalam jurnalnya tersebut, Putra melihat bahwa melalui novel terbarunya Tantri

Perempuan yang Bercerita, Cok Sawitri tidak hanya mengulang atau

meniru cerita klasik Tantri. Namun, Cok Sawitri mendaur ulang cerita tersebut menjadi novel yang memiliki ideologi feminisme.

3. Penelitian terdahulu Kidung Tantri Kĕdiri pernah dilakukan oleh Revo Arka Giri Soekatno dalam disertasi doktoralnya yang berjudul Kidung

Tantri Kediri: Kajian Filologis Sebuah Teks dalam Bahasa Jawa pada

tahun 2009. Revo Arka Giri Soekatno adalah mahasiswa Jurusan Sastra Jawa Kuna, Universitas Leiden Belanda. Disertasinya ini kemudian dibukukan dengan judul yang sama pada tahun 2013 oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian filologis yang menerjemahkan teks Kidung Tantri Kĕdiri dari tulisan atau aksara Jawa Pertengahan ke dalam tulisan Latin, yakni bahasa Indonesia. Penelitian

(3)

commit to user

Soekatno ini bertujuan untuk menyajikan teks masa lampau, yakni Kidung

Tantri Kĕdiri agar dapat dipahami dengan baik oleh pembaca modern.

Soekatno, melalui penelusuran penelitian dahulu dan menggunakan metode stematik mengatakan Kidung Tantri Kĕdiri ini merupakan gubahan dari Tantri Kāmandaka.

4. Kidung Tantri Kĕdiri juga pernah diteliti oleh Bambang Santoko dengan

menyandingkannya dengan Kidung Tantri Kāmandaka untuk mencari nilai-nilai pendidikan Jawa dalam kedua cerita. Bambang Santoko adalah mahasiswa Program Megister Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesisnya tersebut berjudul “Nilai Pendidikan Jawa dalam Tantri Kamandaka Dan Tantri Kediri (Sebuah Pendekatan Intertekstualitas)”

yang ia tulis pada tahun 2014. Penelitian untuk meraih gelar megisternya tersebut, Santoko memfokuskan penelitian dalam struktur cerita kedua objek dengan pendekatan intertekstual. Dari pembedahaan struktur cerita tersebut Santoko menemukan nilai-nilai pendidikan Jawa yang termuat di dalamnya dan dirasa perlu untuk dieksplorasi untuk kepentingan dalam dunia pendidikan masa kini. Dengan demikian, diharpakan nilai-nilai pendidikan tersebut dapat diimplementasikan untuk mewujudkan pendidikan berkarakter anak bangsa. Nilai-nilai pendidikan tersebut di antaranya adalah nilai religius, nilai moral dan nilai kepemimpinan.

Dengan melihat penelitian sebelumnya seperti data di atas, belum terdapat penelitian yang membahas hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan

(4)

commit to user

Arka Giri Soekatno. Untuk itu, penelitian ini akan meneliti hubungan intertekstual yang terdapat dalam kedua objek dan meneliti rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novel terbarunya Tantri Perempuan yang Bercerita terhadap karya hipogramnya, yakni Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. Penelitian ini menggunakan teori Intertekstual dengan analisis vraisemblable milik Jonathan Culler.

2. Landasan Teori

a. Intertekstual

1) Pengertian Intertekstual

Secara harafiah Nyoman Kutha Ratna (2005: 217) menjelaskan interteks berasal dari akar inter + teks. Prefiks “inter” yang berarti (di) antara dalam hubungan ini memiliki kesejajaran dengan prefiks “intra”, “trans”, dan “para”. Teks berasal dari kata textus (Latin), yang berarti tenunan, anyaman, susunan, dan jalinan. Intertekstual didefinisikan sebagai hubungan atau jaringan antara satu teks dengan teks-teks lain.

Intertekstual adalah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (Worton dan Still, 1990: 1). Menurut Kristeva (dalam Culler, 1977: 139) “every text takes shape as a mosaic of citations, every text is the absorption and transformation of

other texts... .” (Setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan,

penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain). Dalam tiap-tiap mosaik dalam teks memiliki fungsi dan peranan yang saling kait-mengkait. Mereka tersebar dan berserakan, tapi pada hakikatnya saling berdialog untuk membangun jejaring atau tenunan dalam teks itu (Susanto, 2012: 233). Menurut Ratna dalam

(5)

commit to user

mengembangkan teori intertekstual, Kristeva mendapat pengaruh dari pemikiran Mikhail Bakhtin dengan konsep poliponiknya. Menurut Bakhtin kata-kata tidak hanya menampilkan makna, tetapi menampilkan hubungan dengan teks lain. Karya sastra dianggap sebagai ekspresi polivalensi, narasi dengan dimensi-dimensi bivokal, karya dengan kata-kata yang sudah dihuni oleh suara-suara lain. Dari dasar inilah membuat Kristeva mengembangkan teori intertekstual yang dikenal luas hingga sekarang (Ratna, 2012: 263). Meminjam istilah hipogram (teks sastra yang menjadi latar penciptaan teks yang lain / karya sastra sebelumnya) yang diciptakan oleh Riffaterre, Kristeva beranggapan, bahwa karya sastra yang lahir kemudian itu menyerap dan mentransformasikan teks yang menjadi hipogramnya (Pradopo, 1995: 179). Jadi, dengan kata lain Kristeva beranggapan bahwa tidak ada teks sastra di dunia ini yang benar-benar mandiri. Karena setiap teks merupakan kutipan teks lain yang tidak dapat dipisahkan dan baru memiliki makna jika dihubungkan dengan karya sastra terdahulunya

(hipogram).

Dari paradigma teori intertekstual yang telah dijelaskan di atas memberikan sebuah asumsi dasar dalam landasan teori di sini, bahwa tidak ada teks sastra di dunia ini yang benar-benar mandiri atau otonom. Karya sastra baru dapat dimaknai jika dihubungkan dengan karya sastra yang telah ada lebih dahulu atau bahkan dengan karya sastra yang akan muncul kemudian. Anggapan ini diperjelas oleh Ratna (2005: 221), bahwa tidak ada karya yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya, suatu karya sastra diciptakan dalam keadaan kosong tanpa referensi dunia lain. Karya sastra seperti ini, kalau memang ada, justru tidak akan dapat dipahami. Teori interteks kaitannya dengan teks

(6)

commit to user

formal dapat mengidentifikasi lautan teks, memasukkannya ke dalam peta pemahaman, sehingga menghasilkan karya yang baru. Karya yang dihasilkan, oleh Kristeva disebut sebagai mosaik kutipan.

Julia Kristeva dikenal sebagai tokoh terpenting yang mengintroduksi teori interteks, yang secara luas diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain (Ratna, 2012: 172). Teori intertekstual menegaskan bahwa teks tidak bisa tercipta sendiri atau utuh mandiri dan tidak berfungsi sebagai sistem tertutup (Worton dan Still, 1990: 1). Masih dalam Worton dan Still (1990: 1) menjelaskan, bahwa mengapa sebuah teks tidak bisa mandiri, hal ini dikarenakan: 1. Pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum ia menjadi penulis teks. Oleh karena itu, karya sastra yang diciptakan oleh seorang pengarang pasti mendapatkan referensi dari berbagai kutipan dan pengaruh dari berbagai rujukan. 2. Teks hanya tersedia melalui beberapa proses pembacaan. Melalui proses pembacaan inilah pengarang memberikan interpretasi dan menulis kembali karya sastra sebagai responnya yang berupa penerimaan ataupun pertentangan terhadap karya sastra terdahulu. Menurut Kristeva (dalam Culler, 1977: 139) setiap teks harus dibaca dengan latar belakang lain, tidak ada satu teks pun yang dapat dibaca secara benar-benar mandiri.

2) Konsep Intertekstual

Untuk mendapatkan makna sepenuhnya dalam sebuah karya sastra, maka dalam menganalisisnya tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial-budayanya (Pradopo, 1995: 167). Pradopo menambahkan (1995: 167), bahwa sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai

(7)

commit to user

hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya. Jadi, seorang pengarang dalam menulis karya sastra mendapat pengaruh atau referensi dari karya terdahulu baik itu sezaman ataupun sebelumnya. Awalnya sebagai pembaca teks sebelum ia (pengarang) menjadi seorang penulis teks mendapat referensi dari pembacaan karya sastra terdahulu (hipogram). Kemudian pengarang menulis kembali karya sastra sebagai responnya terhadap hipogram yang pernah ia baca. Respon tersebut dapat berupa pembaharuan, penerimaan atau bahkan pertentangan. Seperti yang diungkapkan oleh Pradopo (1995: 167) bahwa selalu ada ketegangan antara konvensi dengan pembaharuan.

Sebagai salah satu teori pascastrukturalisme, interteks dan konsep hipogramnya, ditentukan oleh kompetensi pembaca. Hubungan dengan interpretasi terjadi sebagai akibat keharusan kontekstual, yaitu dengan hadirnya pola-pola kultural masa lampau yang tersimpan selama proses pembacaan sebelumnya. Interteks dalam hubungan ini berfungsi untuk membangkitkan memori (Ratna, 2005: 220). Dengan kata lain pengarang akan menggunakan kreativitasnya dalam menciptakan karya baru dengan ingatan yang ia dapat dari cerita atau bacaan yang pernah ia terima.

Pada dasarnya penulis memiliki pemahaman tentang hipogram karena karya tidak lahir dari kekosongan (Ratna, 2011: 131). Yang membedakannya adalah, jika pembaca memanfaatkannya sebagai teori sebagai suatu kesadaran sebaliknya jika penulis lebih banyak melakukannya sebagai proses ketaksadaran,

(8)

commit to user

(Ratna, 2011: 131 – 132), sehingga menjadikan bacaannya sebagai referensi bahan karya sastra baru yang ia ciptakan. Menurut Ratna (2005: 217), teks yang baru dibangun oleh pengarang atas dasar teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya menghasilkan suatu peta umum dalam proses pembacaan. Ratna menambahkan (2005: 217) dalam teori interteks dibedakan antara kutipan, kerangka pikir, dan tiruan (plagiat). Jadi, pengarang melakukan tiruan (mimesis) terhadap karya sastra yang pernah ia baca dan menciptakan karya sastra baru. Ratna menjelaskan (2012: 173) bahwa, dalam teori sastra tradisional (khususnya ilmu filologi), hubungan yang ditunjukkan melalui persamaan-persamaan karya sastra disebut peniruan, penjiplakan atau bahkan plagiat. Tetapi sekarang, dalam teori sastra kontemporer, selama dalam batas-batas orisinilitas, peniruan semacam ini termasuk kreativitas. Todorov (dalam Ratna, 2012: 173) menyebut hal ini dengan istilah wacana polivalensi, wacana yang memiliki hubungan dengan wacana sebelumnya, yang dipertentangkan dengan wacana monovalen yaitu wacana yang tidak mengacu pada wacana sebelumnya.

Bisa dikatakan dari segi tertentu prinsip intertekstualitas dapat kita kaitkan dengan resepsi karya sastra: seringkali dalam teks tertentu terungkap semacam kreasi yang sekaligus merupakan resepsi (Teeuw, 1984: 213). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Ratna (2005, 144), bahwa seorang pembaca menduduki posisi utama dalam paradigma pascastructuralisme, dengan pembacaan terus menurus atau bahkan dengan mendengarkan cerita (tradisi lisan) atau bahkan pertunjukkan pentas dan drama. Seorang pembaca dapat beralih fungsi sebagai seorang penulis, karena ia dapat memanfaatkan makna yang terkandung dalam teks. Dapat diarahkan dengan baik oleh teks dan menggunakan

(9)

commit to user

daya intelektualnya dalam menarik kualitas estetika teks tersebut, sehingga menjadikannya referensi untuk seorang pembaca hingga akhirnya menjadi seorang penulis. Demikianlah perkembangan sastra yang disebut oleh Teeuw (1984: 214) atas dasar interaksi yang terus menerus antara kreasi dan resepsi, yang pada gilirannya menjelma kembali dalam bentuk kreasi baru, yang kemudian ditanggap lagi, tanggapan yang mengantarkan kreasi baru, dan seterusnya.

Dalam interaksinya dengan karya terdahulu, pengarang tidak bisa dipisahkan dari peneladanan dan sekaligus model kenyataan dalam menulis karya baru. Hal ini dijelaskan oleh Teeuw (1984: 229) bahwa apabila kita berbicara mengenai seni sastra pertentangan antara mimesis dan creatio adalah pertentangan nisbi atau pertentangan semu. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah, sebelah ataupun sederhana. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh tiga macam saringan kelir: kelir konvensi bahasa, kelir konvensi sosio-budaya dan kelir konvensi sastra yang menyaring dan menentukan kesan kita terhadap kenyataan. Dari ini Teeuw menjelaskan bahwa tidak ada konvensi di dalam masyarakat tanpa adanya kenyataan atau realita yang terjadi di masyarakat itu sendiri. Dalam dunia sastra interaksi itu dijadikan prinsip semiotik utama: bahwa pembaca selalu bolak-balik antara kenyataan dan rekaan, antara mimesis dan creatio.

Begitu juga dengan pengarang yang berinteraksi dengan realita masyarakat dan juga sekaligus dihadapkan oleh pembacaan yang dilakukan sebagai bahan rekaan. Merekam dalam ingatan dan kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan yang disesuaikan realitas zaman, mungkin itu salah satu yang dilakukan oleh pengarang dalam melakukan mimesis dan creatio sekaligus.

(10)

commit to user

Meniru karya sastra yang telah ada sebelumnya atau bahkan meniru karya sastra lisan yang anonim. Kemudian mengkreasikan ke dalam bentuk yang berbeda dan bahkan melakukan rekonstruksi terhadap karya terdahulu, sehingga menghasilkan karya baru yang mencerminkan realita zaman sekarang. Penyalinan, penyaduran dan penerjemahan yang dulunya hanya dilakukan oleh ahli tekstologi (filologi) dalam menulis naskah. Kini menjadi model tersendiri bagi sastrawan modern Indonesia dalam menulis karya sastra. Pengarang menulis karya sastra dengan diilhami oleh tradisi lisan atau bahkan pembacaan dan melakukan mimesis

terhadapnya. Pada akhirnya menghasilkan sebuah kreasi baru dari mimesis

tersebut. Sejauh mana seorang dapat membuat kreasi dan rekonstruksi dari

mimesis yang dilakukan. Hal ini akan dibahas dalam analisis skripsi ini.

3) Jonathan Culler: Vraisemblable

Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa paradigma teori interteks menurut Kristeva adalah tidak ada teks sastra di dunia ini yang benar-benar mandiri. Setiap teks merupakan kutipan teks lain yang tidak dapat dipisahkan dan baru memiliki makna jika dihubungkan dengan karya sastra terdahulunya

(hipogram). Penelitian intertekstual dapat dilakukan dengan cara menemukan

hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Melalui jaringan inilah diproduksi makna, yaitu dengan cara oposisi, permutasi dan transformasi (Ratna 2011: 130). Ratna menambahkan (2011: 131) intertekstual tidak dimaksudkan sebagai usaha untuk mencari asal-usul, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan penelusuran sumber asli, sebagai arketipe, sebagaimana dipahami dalam filologi. Intertekstual hanya mencari model prototipe yang digunakan sebagai sumber kreativitas. Masih dalam pendapat Ratna (2005, 218), interteks

(11)

commit to user

mengimplikasikan intersubjektivitas, pengetahuan terbagi yang diaplikasikan dalam proses membaca.

Culler dan para strukturalis (dalam Ratna, 2005: 218 – 219) mengatakan beberapa konsep penting yang harus dijelaskan agar pemahaman secara intertekstual dapat dicapai secara maksimal. Konsep yang dimaksudkan di antaranya:

1. recuperation (prinsip penemuan kembali),

2. naturalisation (prinsip untuk membuat yang semula asing

menjadi biasa),

3. motivation (prinsip penyesuaian, bahwa teks tidak arbitres atau

tidak koheren), dan

4. vraisemblable (prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau

sesuatu yang lain).

Culler kemudian memberikan lima tingkat vraisemblable, lima cara untuk menghubungkan teks dengan teks lain, sehingga dapat dimengerti. Teks-teks yang dimaksudkan, yaitu: a) Teks-teks yang diambil langsung dari struktur dunia nyata, b) teks kultural general, teks dunia nyata itu sendiri tetapi dalam kerangka dan tunduk terhadap pola-pola kebudayaan tertentu, c) teks sebagai konvensi

genre, sebagai teks artifisial literal, sehingga terjadi perjanjian antara penulis dan

pembaca, d) teks yang dikutip baik secara implisit maupun eksplisit dari

genre-genre di atas, dengan menambah intensitas makna dan kualitas otoritasnya, dan e)

intertekstualitas secara khusus, yaitu dengan mengambil teks sebagai dasar dan titik pijak proses kreatif, misalnya, teks sebagai parodi dan ironi. Vraisemblable

(12)

commit to user

merupakan konsep strukturalis yang penting dalam intertekstual. Widyastuti menambahkan pentingnya konsep vraisemblable untuk mencari hubungan intertekstual bahwa, vraisemblable adalah prinsip yang penting dari model kultural, vraisemblable sebagai pencari dari makna dan koheren. Vraisemblable

adalah prinsip integrasi di antara satu wacana dengan yang lainnya. Vraisemblable

merupakan konsep strukturalis yang sangat penting dalam membangun teori intertekstual (2007: 34).

Meskipun istilahnya berbeda, tetapi pada dasarnya memiliki cara kerja yang hampir sama, sebagai proses intertekstualisasi (Ratna, 2011: 133). Untuk menemukan hubungan intertekstual dalam novel Tantri Perempuan yang

Bercerita karya Cok Sawitri dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno

dapat menggunakan vraisemblable milik Jonathan Culler. Melalui vraisemblable

kita bisa menemukan hubungan intertekstual di antara kedua objek dan juga penelitian ini dapat menemukan rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri dalam novel terbarunya, yakni Tantri Perempuan yang Bercerita.

B. Kerangka Pikir

Uma Sekaran (dalam Burhanuddin, 2013) mengemukakan bahwa, kerangka pikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Deskripsi penelitian pada skripsi ini dapat dituangkan dalam kerangka pikir sebagai berikut.

(13)

commit to user

1. Penelitian ini mempersoalkan tentang intertekstual antara novel Tantri

Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri dengan sebuah genre sastra

tradisional, yakni Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno.

2. Teknik analisis penelitian ini menggunakan prinsip vraisemblable, yakni prinsip integrasi satu teks dengan teks atau sesuatu genre yang lain. Dengan memanfaatkan kelima cara yang telah ditunjukkan oleh Jonathan Culler dalam mengintegrasikan sebuah teks dengan teks lain atau genre yang lain bisa membantu untuk menemukan hubungan interteks yang terdapat di dalam kedua objek penelitian ini. Kelima cara untuk menghubungkan kedua objek penelitian dalam skripsi ini tidak serta merta dapat digunakan kelima-limanya. Hanya tahap pertama hingga keempat yang akan digunakan untuk mendapatkan hubungan interteks kedua objek. Adapun tahap yang terakhir tidak dapat digunakan karena berhubungan dengan proses kratif pengarang dan data hanya didapatkan jika peneliti melakukan wawancara dengan pengarang, yakni Cok Sawitri.

3. Seperti penjelasan di atas, hubungan intertekstual dalam penelitian ini di dapatkan dari teknik analisis vraisemblable Jonathan Culler. Dalam teknik tersebut terdapat lima cara dan hanya tahap pertama hingga tahap keempat yang digunakan untuk menghubungkan novel Cok Sawitri Tantri Perempuan

yang Bercerita dengan Kidung Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno. Dari tahap

pertama dapat diketahui bahwa novel karya Cok Sawitri Tantri Perempuan

yang Bercerita merupakan sebuah teks yang diambil dari struktur dunia

nyata, yakni cerita lisan Tantri (dalam hal ini adalah Kidung Tantri Kĕdiri) yang terdapat di dalam masyarakat khususnya masyarakat Bali. Kidung

(14)

commit to user

Tantri Kĕdiri terjemahan Soekatno merupakan cerita Tantri yang juga berasal

dari Bali meskipun aksara yang digunakan dalam penulisan kidung adalah aksara Jawa Kuna. Dari hubungan integral kedua teks sastra tersebut dapat diketahui letak hubungan interteksnya. Tahap kedua dapat dilihat bahwa kedua teks sastra sama-sama mengikuti kultrul, budaya dan tradisi yang dimiliki masyarakat Hindu-Budha dan khususnya budaya masyarakat Bali. Dari tahap ketiga dapat dikatahui bahwa Cok Sawitri sama mengikuti konvensi cerita berbingkai dari genre Kidung Tantri Kĕdiri. Terakhir, dari tahap keempat dapat dilihat bahwa Cok Sawitri dalam menciptakan karya baru menggunakan Kidung Tantri Kĕdiri sebagai hipogram dengan mengutip baik secara implisit maupun eksplisit. Kemudian menggunakan otoritasnya sendiri untuk menciptakan karya baru, yakni Tantri Perempuan yang

Bercerita.

4. Setelah dapat menemukan hubungan interteks yang terdapat dalam kedua objek penelitian, langkah selanjutnya adalah menemukan rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok Sawitri terhadap karya hipogramnya. Hal tersebut dilakukan dengan cara: 1. Menemukan bentuk mimesis atau tiruan yang dilakukan oleh Cok Sawitri, baik itu tiruan terhadap teks maupun konteks sosial budaya yang melingkupi masyarakat Bali. 2. Menemukan creatio atau kreasi yang dilakukan oleh Cok Sawitri. Dari tiruan yang dilakukan oleh Cok Sawitri dapat dilihat kreativitasnya melalui beberapa perbedaan bagian cerita yang tampak dari struktur cerita yang menyusunnya. Maka, langkah selanjutnya adalah menganalisis rekonstruksi yang dilakukan oleh Cok

(15)

commit to user

Sawitri dengan mengkhususkan pada tokoh utama kedua objek penelitian, yakni Ni Diah Tantri dan Eswaryapala.

Kerangka konseptual dalam penelitian ini secara sederhana digambarkan dalam bagan berikut:

Bagan 1

Skema Kerangka Pikir

Novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri

Karya Cok Sawitri

Kidung Tantri Kĕdiri Terjemahan Revo Arka Giri

Soekatno Vraisemblation dari Jonathan Culler Hubungan Intertekstual Kesimpulan Persoalan Intertekstual

Rekonstruksi Cok Sawitri

Mimesis (melakukan tiruan) Creatio (kreativitas Cok

Referensi

Dokumen terkait

Adanya momentum tersebut membuat Presiden Mahinda Rajapaksa memutuskan untuk menjadikan pariwisata sebagai sumber ekonomi baru yang potensial dan bersaing dengan

Pengendalian persediaan pada Toko Kain TIGA BERLIAN, khususnya pada kain PE dan kerah menunjukkan bahwa penghitungan TIC (Total Inventory Cost) dengan EOQ Probabilistic dapat

Ship Security Officer (SSO) atau Perwira Keamanan Kapal adalah personil diatas kapal, yang bertanggung jawab terhadap Nakhoda, yang ditunjuk oleh perusahaan

Penyelenggaraan pemerintahan desa bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyakat dan pelaksanaan pembangunan di desa dengan tujuan secara luas untuk meningkatkan

Beberapa pembuktian teori evolusi melalui bukti artificial antara lain dengan: anatomi perbandingan, organ yang mengalami rudimentasi, embriologi

Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus penelitian ini, akan memfokuskan pada penelitian atau analisis terhadap cerpen majalah Horison berdasarkan

XXX terdapat 4 orang teller dalam sistem antrian yang bertugas melayani nasabah, namun kadang hanya ada 3 teller yang melayani nasabah, sehingga terjadi penumpukan