• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan HBV dan HCV sebagai Koinfeksi HIV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penanganan HBV dan HCV sebagai Koinfeksi HIV"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Saya baru saja ikut Kursus Singkat Nasional Penanganan Hepatitis B dan Hepatitis C, diselenggarakan oleh Sekretariat HIV/AIDS PB IDI sebagai Pra-Pertemuan Nasional HIV-AIDS pada 3-4 Februari 2007 di Surabaya. Kursus ini dihadiri oleh kurang-lebih 50 peserta, kebanyakan dokter, dari seluruh Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan bekerja sama dengan Australasian Society of HIV Medicine (ASHM), dan Dr. Peter Pigott dari ASHM hadir sebagai salah satu narasumber utama.

Sangat banyak informasi yang sangat menarik dan penting dibahas pada kursus singkat ini. Tidak

mungkin saya bisa melaporkan semua yang penting buat kita, hanya yang menimbulkan kesan besar pada saya. Peserta diberikan CD-ROM yang mengandung semua presentasi; sayangnya filenya hampir 50MB, jadi tidak dapat dimuat di situs web Spiritia atau dikirim ke orang lain; mungkin yang berminat dapat meminta CD-ROM dari PB IDI?

Latar belakang hepatitis B dan C dibahas pada hari pertama, serta juga masalah hepatitis akibat obat. Dr. Rino Gani menjadi pembicara utama pada sesi tersebut. Pada hari kedua, dibahas pengobatan untuk hepatitis, diikuti diskusi mengenai koinfeksi virus hepatitis dengan HIV. Pembicara utama pada hari kedua ini adalah Dr. Hariadi Moeljosudirjo. Selama dua hari juga dibahas studi kasus dari beberapa rumah sakit di Indonesia, disampaikan oleh peserta. Berikut adalah kesan utama saya dari kursus ini.

Epidemiologi

Di Indonesia, kurang lebih 10 persen (3,4-20,3%) dari populasi adalah pembawa virus hepatitis B (HBV). Prevalensi ini tidak menurun. Di Jakarta, hampir 9 persen pengguna narkoba suntikan (IDU) HBsAg+ (mempunyai infeksi HBV kronis, dan dapat menular pada orang lain). Namun di Asia-Pasifik,

kebanyakan penularan terjadi dari ibu-ke-bayi, dan 90 persen anak yang terinfeksi tetap mempunyai infeksi kronis waktu menjadi dewasa.

Ada empat serotipe HBV yang umum di Indonesia: adw di Sumatera, Java, Kalsel, Bali, Lombok, dan Maluku Utara; ayw di NTT/NTB lain dan Maluku; adr di Papua; ayr di Manado; dan campuran di Kalimantan, Sulawesi dan Sumbawa. Sementara genotipe B paling umum di Indonesia, tetapi juga ada C dan D. Dampak dari perbedaan serotipe dan genotipe tidak jelas.

Prevalensi HCV di Indonesia adalah 2-4 persen, tetapi di antara IDU jauh lebih tinggi: di atas 80 persen. Genotipe 1b paling umum di Indonesia; 66 persen kasus adalah genotipe 1, dengan 6 persen genotipe 4 (kedua genotipe yang paling sulit diobati), sementara 2 persen genotipe 10 dan 11, yang hanya ditemukan di Indonesia; sisanya genotipe 2 dan 3. Kebanyakan yang dites viral load HCV pada penelitian di

Indonesia (n=288) mempunyai viral load rendah (di bawah 4 log IU: 18 persen) atau menengah (4-6 log IU: 54 persen).

Sepuluh tahun yang lalu, Odha cenderung meninggal karena HIV, tetapi dengan adanya terapi antiretroviral (ART), Odah tahan hidup lebih lama, sehingga semakin banyak yang meninggal karena hepatitis, yang cenderung membutuhkan lebih lama menjadi berat.

Dr. Rino membahas virologi HBV dan HCV. Saya harus mengaku kebanyakan ini sangat rumit sehingga saya hanya paham sedikit (salah saya, bukan salah Pak Rino!). Namun, seperti dibahas oleh Dr. Pigott, “kita tidak harus paham semuanya; sebagai dokter kita harus coba ambil beberapa butir yang jelas”. Satu butir yang menarik dari Dr. Rino: saat ini tidak ada konsep reinfeksi terkait HBV dan HCV, tetapi mungkin hal ini dapat terjadi di antara IDU. “Sampai 15 persen mempunyai infeksi dengan campuran serotipe; apakah hal ini menunjukkan adanya reinfeksi?”

(Satu hal lain yang menarik: Selama kursus, kebanyakan pakar memakai istilah ALT, bukan SGPT. ALT/AST memang baku di dunia lain, jadi saya menanyakan apakah penggunaan istilah ALT

menunjukkan kebijakan PPHI? Walau jawabannya tidak sangat jelas, yang jelas ada pengarahan ke sana. Nah, apakah kita harus coba ‘meluruskan’ komunitas kita agar memakai ALT/AST atau upaya itu akan lebih membingungkan? Mungkin kita harus menunggu perubahan pada laporan hasil tes laboratorium. Tetapi, seperti kebanyakan pembicara, selanjutnya saya akan pakai ALT/AST dalam laporan ini).

(2)

Yang menarik juga, jarang sekali kadar AST dibahas; sepertinya hanya ALT yang penting untuk memantau hati. Saya menanyakan apakah ada manfaat juga untuk mengukur AST. Yang saya tangkap adalah bahwa AST dipengaruhi oleh berbagai masalah organ lain selain hati, dan kadarnya harus ditafsirkan secara bersama dengan beberapa ukuran lain, mis. bilirubin, jadi kalau tidak mengukur semuanya, kadar AST bisa membingungkan. Yang jelas, ALT terbaik untuk memantau keadaan hati, dan tidak ada manfaat besar untuk mengukur AST.

HBV

Bila pada tes HBV, ditemukan salah satu antigen HBV (antigen ‘e’), hal ini berarti yang bersangkutan HBeAg+ dan mempunyai infeksi kronis dengan daya menular yang tinggi. Pada fase infeksi HBV akut, pasien HBeAg+, tetapi biasanya HBeAg menjadi negatif bila jadi sembuh atau menjadi ‘pembawa’ (virus tidak mereplikasi), Namum bila HBeAg negatif, ada kemungkinan yang semakin tinggi bahwa ada infeksi dengan mutan pre-core HBeAg-negatif. Hal ini hanya dapat ditentukan dengan melakukan tes viral load HBV. Penyakit kronis HBV HBeAg-negatif umumnya lebih lanjut, lebih sering terjadi pada laki-laki berusia 36-45 tahun, dan jarang pulih sendiri (secara spontan). Infeksi ini ditandai oleh kadar ALT dan viral load yang naik-turun, peradangan yang berat pada hati, fibrosis lanjutan, dengan sampai 40 persen pasien mengalami sirosis, jauh lebih tinggi daripada orang tanpa mutan tersebut.

Pengobatan untuk HBV berkembang terus. Saat ini yang disetujui: interferon alfa (disuntik, efek samping berat, tidak menimbulkan resistansi, cenderung kurang efektif pada orang Asia, tidak efektif untuk Odha); lamivudin (3TC) (sampai 70 persen menjadi resistan setelah 4-5 tahun); adefovir (masalah resistansi jauh lebih rendah daripada lamivudin – 11 persen setelah 3 tahun, 18 persen pada 4 tahun); dan entacavir (belum ada di luar AS, tampaknya resistansi jarang). Sepertinya tidak ada manfaat dari terapi kombinasi. Ada pernyataan kesepakatan Asia-Pasifik tentang penanganan hepatitis B kronis, yang diperbarui pada 2005. Pernyataan tersebut cukup lengkap, tetapi pada dasar hanya mereka dengan viral load HBV tinggi dan ALT di atas dua kali normal yang harus diobati.

HCV

Tes antibodi HCV mempunyai cukup banyak kelemahan, Spesifitasnya 80-95 persen pada pasien dengan faktor risiko dan peningkatan ALT, Tetapi spesifitas hanya 40-50 persen bila tidak ada faktor risiko dan ALT normal. Infeksi HIV dapat mengakibatkan hasil negatif palsu. Sebaliknya bila orang pernah

terinfeksi HCV tetapi sembuh spontan (sampai 25 persen orang terpajan) hasilnya positif palsu. Jadi hasil positif HCV harus dikonfirmasi dengan tes viral load bila ALT tetap normal apa lagi bila tidak ada faktor risiko. Namun walau tes antibodi cukup murah (Rp 20.000 untuk dipstick), tes viral load sangat mahal (Rp 1,5 juta).

Walaupun dengan adanya ALT dapat menunjukkan kelanjutan infeksi HCV, ukuran itu sangat tidak spesifik. Satu-satunya pemeriksaan yang akurat adalah biopsi hati, yang menunjukkan beratnya radangan dan tingkat fibrosis. Hasil biopsi dapat menentukan risiko sirosis hati, indikasi terapi, dan indikasi terapi lanjutan bila gagal pada terapi awal. Biopsi hati membutuhkan biaya kurang lebih Rp 750.000. Sayangnya walau ada tes non-invasif yang dapat menunjukkan adanya fibrosis, tes tersebut tidak dapat menunjukkan tingkat fibrosis. Yang jelas, fibrosis berat dapat terjadi dengan ALT normal. Namun biopsi tidak

dibutuhkan bila pasien tidak mau atau tidak bisa terapi (mengingat bahwa terapi sangat amat mahal: Rp 80 juta!), atau diperkirakan sudah ada sirosis.

Banyaknya penggunaan alkohol berhubungan erat dengan fibrosis, dan dampaknya semakin tinggi dengan usia lebih lanjut.

Lebih dari 50 persen orang dengan infeksi HCV kronis tidak melaporkan gejala. Dari yang melaporkan ada gejala (selain sirosis), yang paling umum (80 persen) adalah kelelahan. Namun semakin jelas HCV mempengaruhi beberapa bagian tubuh lain selain hati. Misalnya orang terinfeksi HCV jauh lebih mungkin mengalami diabetes dan resistansi insulin. (Dengan semakin banyak bukit bahwa masalah ini juga timbul sebagai efek samping jangak menengah dari beberapa ARV, hal ini mungkin membutuhkan lebih banyak perhatian). Selain itu HCV dapat menimbulkan beberapa kondisi yang menyebabkan masalah kulit dan sendi serta neuropati dan limfoma sel-B.

(3)

Saya tidak akan membahas terapi HCV pada laporan ini. Seperti dilaporkan dari Simposium HIVNAT, ada beberapa obat baru yang jauh lebih nyaman yang tengah dikembangkan, dan ada harapan akan ada revolusi pada pengobatan HCV dalam 2-3 tahun berikut. Namun ada satu kutipan yang menarik dari Dr. Pigott: “Tingkat enzim hati tidak menunjukkan apa yang terjadi, tetapi dapat memprediksikan tanggapan terhadap terapi.”

Satu hal lagi: selain HBV dan HIV, belum ada profilkasis pascapajanan untuk HCV. Dengan daya menular HCV sepuluh kali lebih tinggi daripada HIV, hal ini sekali lagi menunjukkan pentingnya kewaspadaan universal.

Hepatotoksisitas akibat obat

Topik ini yang sering menimbulkan keprihatinan dibahas secara singkat oleh Dr. Rino. Ternyata ada enam mekanisme berbeda untuk hepatotoksisitas akibat obat: kerusakan membran hepatosit; gangguan transpor cairan empedu; gangguan kerja enzim P450; mekanisme imunologik; aktifasi signal kematian sel; dan gangguan mitokondria. Lagi pula ada obat yang menyebabkan hepatotoksisitas karena takaran tinggi, tetapi ada juga yang tergantung pada takaran kumulatif, dan juga ada yang keduanya. Menurut Dr. Pigott, umumnya pasien dengan penyakit hati tidak secara seragam berisiko lebih tinggi terhadap luka hati. “Salah satu tugas dokter yang terpenting adalah untuk mengambil riwayat obat yang lengkap dari pasien...Biopsi secara umum tidak membantu; paling dapat mengesampingkan kemungkinan lain, atau masalah hati berpotensi lain.” Etambutol dan nevirapine biasa dapat diteruskan dengan pemantauan secara hati-hati, tetapi rifampisin dan isoniazid tidak. “Hati mempunyai kemampuan untuk regenerasi, dan hal ini tidak ditunjukkan oleh ALT, jadi harus lihat hasil semua tes fungsi hati (bilirubin, GGT, dll.), dan sulit menyebut batas tingginya ALT yang harus dikhawatirkan – boleh sampai sepuluh kali batas normal asal tidak ada gejala atau masalah lain. Harus khawatir bila hati bengkak dan perih.”

Hepatoprotektor

Topik yang hangat ini dibahas oleh Dr. Nafrialdi, dari Dept. Farmakologi FKUI. Dia mengingatkan kami bahwa penyakit hati dapat disebabkan oleh virus tetapi juga oleh bahan kimia hepatotoksik, termasuk alkohol, peroksid, toksin dalam makanan, obat, dan polusi. Ada obat yang khusus ditujukan pada penekanan virus hepatitis, dan juga ada pengobatan yang tidak spesifik: mengobati gejala untuk mencegah atau mengurangi kerusakan pada sel hati; dan mencegah fibrosis dan lanjutan ke sirosis dan/atau kanker. Kebanyakan pengobatan non-spesifik berasal dari produk jamu/alamiah.

Hepatitis (HAV dan HBV) akut biasanya membatasi dirinya dan obat antivirus (spesifik) tidak

dibutuhkan. Namun banyak pasien hepatitis akut mengalami gejala yang dramatis (mual, sakit kuning, demam, kelelahan), dan mereka cenderung mendesak dokter untuk mengobatinya. Oleh karena itu, dokter cenderung meresepkan hepatoprotektor untuk menyamankan pasien; namun efektivitas ‘obat’ tersebut harus dipertanyakan.

Walaupun pernah ada sedikit uji coba klinis terhadap kandungan hepatoprotektor tersebut (termasuk silymarin, kurkuma, temu lawak), uji coba tersebut umumnya tidak dilakukan secara acak dan dikontrol plasebo, jadi sulit dinilai secara ilmiah. Lagi pula, keberhasilan yang ditunjukkan umumnya adalah pada hewan yang sebelumnya diberikan bahan yang merusak hati (mis. alkohol, karbon tetraklorida, jamur racun, dll.), bukan terhadap manusia dengan kerusakan hati yang disebabkan oleh virus. Lagi pula, seperti dibahas di atas, bahan toksik dapat merusak hati melalui enam mekanisme berbeda, dan uji coba yang dilakukan tidak meliputi semua mekanisme tersebut. Kalau uji coba dilakukan terhadap manusia dengan hepatitis virus, umumnya hepatoprotektor atau kandungannya tidak berhasil.

Satu ciri khas hepatitis virus ada ‘flare’ pada ALT – ALT tiba-tiba naik tajam pada satu tes, tetapi sudah kembali normal pada tes berikut. Hal ini terjadi walau tidak diberikan obat atau melakukan tindakan lain. Jadi penurunan pada ALT yang tinggi yang sering diangkat sebagai bukti keberhasilan hepatoprotektor kemungkinan akan terjadi walau tidak memakai jamu tersebut. Bisa dibilang tidak ada bukti apa pun berdasarkan hasil uji coba klinis yang menujukkan bahwa ada manfaat dari hepatoprotektor. Manfaat, bila ada, hanya ‘efek plasebo’.

(4)

Sebaliknya ada beberapa jenis hepatoprotektor yang mengandung bahan/jamu yang dapat merugikan pasien, misalnya Hepasil mengandung echinacea, yang diusulkan oleh WHO untuk tidak diberikan pada Odha. Masyarakat cenderung menganggap jamu sebagai bahan alamiah yang aman; kenyataannya banyak bahan alamiah adalah racun. Dan karena hati orang dengan hepatitis virus sangat rentan, racun yang diresepkan sebagai kandungan hepatoprotektor dapat menimbulkan dampak buruk pada pasien. Beberapa kali, Dr. Piggot mengingatkan kita terhadap asas Hipocrates “Pertama jangan menimbulkan dampak buruk”. Kita diingatkan bahwa kadang kala tindakan terbaik oleh dokter adalah untuk tidak bertindak. Memang pasien mengharapkan diresepkan obat kalau sakit/bergejala, dan juga ada efek plasebo, jadi ada tekanan untuk mengobati. Namun penyakit hepatitis virus dan HIV adalah penyakit jangka panjang, dan tidak harus segera diobati. Bila TB atau PCP tidak diobati, pasien akan meninggal. Tetapi bila hepatitis virus atau HIV tidak diobati, nanti mungkin ada pilihan lain. Lebih baik, dibahas dengan pasien, dan menunjukkan bahwa dia akan dipantau. Walaupun dengan hepatoprotektor mungkin ada kebaikan pada gejala bila diobati secara akut, kita juga harus mempertimbangkan dampak jangka panjang.

Saya dan beberapa peserta lain menghimbau agar IDI dan PPHI ambil sikap resmi mengenai peresepan hepatoprotektor, atau sedikitnya mengeluarkan pernyataan berdasarkan apa yang disampaikan oleh Dr. Nafrialdi dan pakar lain.

Koinfeksi HIV dan HBV/HCV

Prevalensi HIV dan HCV bersamaan di Indonesia cukup tinggi; sampai 90 persen Odha dengan latar belakang IDU koinfeksi. Untuk HBV kronis, prevalensi jauh lebih rendah, di bawah 10 persen, mungkin karena semakin banyak divaksinasi terhadap HBV pada masa kanak-kanak. Prevalensi koinfeksi ketiga virus tidak jelas; secara global, sekitar 2 persen Odha juga mempunyai HBV dan HCV kronis.

Penanganan koinfeksi ini dapat sangat rumit, dan mustahil dibahas secara dalam pada laporan ini. Namun ada beberapa acuan yang dapat dibaca, termasuk buku kecil Spiritia ‘Hepatitis Virus dan HIV’, serta artikel di situs web Spiritia.

HIV dan HBV

Koinfeksi dengan HIV mempengaruhi infeksi HBV: kerusakan pada hati lebih berat, dengan kelanjutan pada sirosis lebih cepat; risiko hepatotoksisitas dengan ARV lebih tinggi; prevalensi HBV kronis HBeAg-negatif cenderung lebih rendah; viral load HBV lebih tinggi; peningkatan pada ALT sering lebih rendah; dan risiko masalah hati dan kematian terkait HBV lebih tinggi. Sebaliknya, belum terbukti ada dampak oleh HBV pada penyakit HIV, walau ada kesan bahwa bila HBV bereplikasi secara aktif, mungkin hal ini adalah penyebab bersama dalam penurunan jumlah CD4. Namun, dampak koinfeksi ini terutama

dirasakan terkait dengan pengobatan, karena beberapa analog nukleosida/nukleotida adalah aktif terhadap kedua virus. Jadi dokter yang menangani HBV harus bekerja sama dengan dokter yang menangani HIV, agar tidak ada kerugian pada salah satu infeksi akibat pengobatan untuk yang lain.

Oleh karena itu, ada beberapa persyaratan sebelum mulai terapi: selalu menilai status HBV sebelum mulai ART; perhatian risiko terjadinya flare, yang lebih tinggi bila viral load HBV tinggi, dan CD4 rendah; risko hepatotoksisitas tinggi dengan ritonavir (kandungan Kaletra), dan nevirapine, serta juga dengan obat TB dan flukonazol; sindrom pemulihan kekebalan (IRIS) dapat terjadi bila CD4 rendah – steroid dapat dipakai untuk mengurangi dampak IRIS, tetapi penggunaannya kontroversial.

Untuk Odha yang belum membutuhkan ART, terapi anti-HBV dapat dipertimbangkan berdasarkan ALT, tetapi viral load HBV harus diukur dulu, dan mungkin juga hasil biopsi. Sebaiknya lamivudin (3TC) tidak dipakai; pilihan lebih baik adalah interferon, adefovir atau entecavir (tetapi belum jelas ketersediaan atau harganya di Indonesia).

Untuk Odha yang belum terpajan HBV, sebaiknya dipertimbangkan untuk vaksinasi. Kemungkinan vaksinasi berhasil lebih rendah bila CD4 di bawah 500, jadi sebaiknya dipertimbangkan sedini mungkin setelah diagnosis HIV. Untuk Odha dengan CD4 rendah, ada alternatif meningkatkan takaran vaksin dua kali lipat, dan sebaikanya ditentukan apakah berhasil setelah vaksinasi ketiga; bila belum vaksinasi dapat dicoba lagi, mungkin setelah CD4 sudah naik akibat penggunaan ART.

(5)

Sepertinya ada keraguan apakah vaksinasi terhadap HBV pada masa kanak-kanak efektif pada Odha untuk seumur hidup. Dr. Wenny dari Mataram mengusulkan dilakukan tes HBsAg dan HBsAb setiap enam bulan pada Odha, tetapi hal ini belum baku.

HIV dan HCV

Karena sampai 25 persen orang yang terinfeksi HCV dapat memberantas virus dari tubuh pada masa penyakit akut, tes antibodi HCV tidak memastikan ada infeksi kronis. Jadi penyakit seharusnya

dikonfirmasi dengan tes viral load. Sebaliknya, tes antibodi HCV kurang sensitif pada Odha; pada hampir 20 persen orang koinfeksi, hasil tes HCV adalah negatif. Jadi tes viral load dibutuhkan bila antibodi positif atau bila hepatitis C kronis dicurigai: ALT tinggi tanpa alasan lain, dan/atau riwayat IDU. Namun, bila tes viral load tidak terjangkau, apa lagi pengobatan untuk HCV, mungkin sebaiknya dibahas dengan pasien, dan tes antibodi tidak dilakukan, karena hasil dapat membingungkan.

Ada beberapa dampak oleh HIV pada infeksi HCV: HIV mempercepat penyakit hati akibat HCV (dapat melanjut ke sirosis pada waktu hanya setengah dari yang umum bila hanya terinfeksi HCV); penyakit hati lebih berat; hepatotoksisitas lebih mungkin dengan ART; kanker hati dapat terjadi pada usia lebih muda. Sebaliknya, dampak HCV pada kelanjutan penyakit HIV belum jelas, tetapi ada kesan bahwa HCV dapat mempengaruhi pemulihan kekebalan (CD4 naik lebih pelan) setelah mulai ART.

Laporan ini tidak akan membahas masalah terapi untuk koinfeksi HIV dan HCV, karena cukup rumit, karena tidak terjangkau untuk kebanyakan Odha, karena tidak berhasil untuk kebanyakan Odha yang menjalankannya (di bawah 30 persen untuk mereka dengan HCV genotipe 1/4), dan karena ada beberapa obat baru yang sedang diuji coba yang jauh lebih efektif, nyaman dan murah; semoga obat tersebut menjadi terjangkau dalam waktu yang dekat.

Belum ada vaksin terhadap HCV. Tidak ada profilaksis pascapajanan untuk HCV.

Seorang yang pernah terinfeksi HCV dan memberantas virus saat infeksi akut dapat terinfeksi ulang; antibodi terhadap HCV tidak tentu melindungi terhadap infeksi lagi, dan dapat terjadi infeksi kronis pada orang yang terinfeksi sebelumnya tetapi saat itu, infeksi tidak jadi kronis. Hal ini jauh lebih mungkin terjadi pada IDU aktif.

Kesimpulan

Kursus dua hari itu sangat bermanfaat buat saya, dan memberi banyak informasi baru. Yang jelas, dibutuhkan lebih banyak kerja sama antara spesialis hati dan spesialis HIV. Semoga PB AIDS IDI dapat mendorong kerja sama antara PPHI dan PDPAI dalam hal ini. Juga diharapkan dapat dibentuk suatu ‘Consensus Statement’ mengenai penanganan koinfeksi HVI, HBV dan HCV. Jelas juga dibutuhkan lebih banyak informasi dalam bahasa Indonesia, agar dokter di daerah dapat belajar mengenai masalah ini. Selain itu, harus ada advokasi agar obat terutama untuk HBV tetapi juga untuk HCV tersedia dengan subsidi seperti ARV. Apa manfaat bila kita menyelamatkan teman-teman Odha dari HIV dengan ART, sementara mereka semakin mungkin meninggal karena hepatitis yang tidak diobati.

Referensi

Dokumen terkait

15.000.000 APBD (DAU) 9. Pembangunan Lumbung Panga[ Pembangunan Lumbung Pangan Desa Momunu dan Desa Jatimulya. 550.000.000 APBD @AK dan

[r]

Kacang hijau merupa- kan tanaman yang terbaik untuk digunakan sebagai tanaman penarik/perangkap karena dapat menekan populasi hama pemakan daun pada tembakau, sehingga

Kegiatan Pendampingan Kegiatan DAK Infrastruktur Irigasi Pekerjaan Paket 31 Rehabilitasi Sarana Irigasi DI Bogem Ds Kenaiban Kec Juwiring.

selaku dosen pembimbing I dan dosen penguji skripsi yang telah memberikan banyak memberikan dukungan, waktu, tenaga, kritik, dan saran dalam memberikan arahan terhadap

mind mapping efektif untuk meningkatkan konsentrasi belajar siswa.Saran yang dapat diberikan hendaknya guru bimbingan dan konseling dapat melaksanakan layanan penguasaan

Mesin ciptaan Sir Frank Whittle kemudian di kembangkan oleh seorang asal Jerman dan juga sekaligus merupakan desainer dari operasional mesin jet pertama yang bernama Dr Hans von

Dam’z Cleaning and Service Computer merupakan usaha jasa dengan tujuan untuk memberikan kemudahan pelayanan jasa bagi masyarakat yang kurang mengerti dibidang