• Tidak ada hasil yang ditemukan

Minutes of Meeting. PT Borneo Surya Mining Jaya/ First Resources Complaint Case. Hotel Aston, Balikpapan, 11 December 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Minutes of Meeting. PT Borneo Surya Mining Jaya/ First Resources Complaint Case. Hotel Aston, Balikpapan, 11 December 2014"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

Minutes of Meeting

PT Borneo Surya Mining Jaya/ First Resources Complaint Case

Hotel Aston, Balikpapan, 11 December 2014

Peserta Pertemuan

I.

Pembukaan

(08.40) Sanath Kumaran membuka acara dengan memperkenalkan staf RSPO yang hadir yaitu Amalia Falah Alam dan Ravin Krishnan. Kemudian Sanath Kumaran membacakan aturan rapat, yaitu : 1) mematikan HP/ silent mode; 2) RSPO yang berwenang untuk merekam jalannya rapat baik melalui recorder dan camera; 3) Berbicara secara bergantian sehingga notulensi/rekaman rapat dapat diterima dengan baik juga untuk menghormati peserta rapat yang hanya menguasai 1 bahasa.

Sanath Kumaran meminta complainant, EIA untuk berbicara atas nama masyarakat, bukan atas nama pribadi.

No. Institution Type Invited Participants Attendance

(Yes/No)

1 EIA NGO Tomasz Johnson Yes

2 EIA NGO Mardi Minangsari Yes

3 Telapak NGO Muh. Djufry Hard No

4 AMAN NGO Olvy Octavianita Yes

5 First Resources Grower Bambang Dwilaksono Yes

6 First Resources Grower Chong Wei Kwang Yes

7 First Resources Grower Donald Ginting Yes

8 First Resources Grower Matheus Ancah Yes

9 First Resources Grower M. Saenal Yes

10 LINKS NGO Ruddy Lumuru Yes

11 LINKS NGO Feybe Lumuru Yes

12 Muara Tae Community Masrani Yes

13 Muara Tae Community Petrus Asuy Yes

14 Muara Tae Community Nelloh Yes

15 Pemuda Muara Tae Community Layeh Yes

16 Petinggi Muara Ponak Community Rudiyanto Yes

17 Muara Ponak Community Giarto Yes

18 Kepala Adat Muara Ponak Community Burhan Yes

19 RSPO Sanath Kumaran Yes

20 RSPO Ravin Krishnan Yes

21 RSPO Amalia Falah Alam Yes

(2)

2

Sanath Kumaran menyampaikan tujuan rapat, yaitu : 1) Mencari solusi; 2) Membuat action plan dan batas waktu yang jelas.

Amalia Falah membacakan agenda rapat sebagai berikut :

1. LINKS mempresentasikan hasil implementasi kesepakatan di Hotel Amaris Bogor, 24

Oktober 2014.

2. First Resources memberikan update terkait progress pelaksanaan rekomendasi dari RSPO

Complaint Panel.

3. Coffee break

4. Tanggapan dari EIA, AMAN dan Muara Tae.

5. Tanggapan dari Muara Ponak

6. Diskusi

7. Closing

8. Makan siang

Acara dilanjutkan dengan perkenalan peserta rapat (lihat daftar peserta).

II.

Presentasi

Feybe Lumuru (LINKS) mempresentasikan hasil implementasi kesepakatan di Hotel Amaris Bogor, 24 Oktober 2014.

A. Hasil kesepakatan Bogor

1. Pendekatan penyelesaian konflik antara Muara Tae dan BSMJ berbasis pada pengakuan hak waris dan hak kelola atas lahan.

Kedua kampung yang berkonflik (Kampung Muara Tae dan Muara Ponak) akan menginisiasi pembentukan tim verifikasi lahan, membentuk sistem verifikasi lahan dan memulai inisiasi penyelesaian klaim lahan di lokasi usaha PT. BSMJ (areal 400 Ha yang dibebaskan Yakobus – Masyarakat Muara Ponak).

Status saat ini: belum dilaksanakan karena beberapa sebab berikut:

a. Memerlukan dana untuk membantu pelaksanaan kegiatan tim verifikasi lahan

yang terdiri atas –setidaknya- 5 orang untuk tiap kampung;

b. Perlu melakukan pengecekan atau identifikasi lahan khususnya terkait lahan

garapan dan kepemilikan;

c. Isu penerimaan terhadap tim verifikasi lahan dan komposisi tim yang perlu

didiskusikan lebih lanjut.

2. Hasil study LINKS akan dijadikan acuan awal para pihak dalam membangun penyelesaian konflik. Executive Summary dari Hasil Study ini selanjutnya akan di share oleh First Resources (FR) kepada para pihak yang berkepentingan.

Status saat ini: ringkasan eksekutif telah disusun LINKS, namun baru diserahkan pada tanggal 10 Desember 2014, sehingga manajemen FR masih membutuhkan waktu untuk mereview ringkasan eksekutif tersebut, sebelum kemudian dishare kepada para pihak.

(3)

3

3. LINKS akan mengembangkan aktivitas :

 Pemetaan aktor-aktor di Kabupaten Kutai Barat yang dapat membantu proses

fasilitasi pembahasan permasalahan batas kampung.

 Pemetaan aktor-aktor yang potensial menjadi pendamping masyarakat Muara

Ponak.

 Merekomendasikan pendamping untuk kampung Muara Ponak dalam proses

penyelesaian klaim lahan

Status saat ini: LINKS telah merekomendasikan kadidat pendamping masyarakat Muara Ponak kepada Petinggi Kampung tersebut, namun penetapan pendamping tersebut perlu dilakukan melalui proses konsultasi dengan masyarakat Muara Ponak, termasuk membuat surat kuasa penunjukkan pendamping masyarakat.

Selain itu, untuk pemetaan aktor-aktor yang dapat membantu proses penyelesaian sengketa batas kampung, LINKS telah membangun komunikasi dengan Sekretariat Daerah Kutai Barat terutama Kabag Pemerintah yang berwewenang melakukan penegasan batas kampung, Presidium Adat Kutai Barat, Camat Jempang dan Siluq Ngurai, namun sejauh ini belum menemukan potensial aktor yang dapat membantu proses penyelesaian sengketa batas kampung.

Rekomendasi : LINKS merekomendasikan agar dilaksanakan joint visitation bersama

TELAPAK ke Kutai Barat untuk melanjutkan proses ini.

4. LINKS dan First Resources akan berdiskusi untuk membahas SOP Pemenuhan FPIC di areal dispute PT. BSMJ (areal 892 Ha), SOP ini selanjutnya akan dibahas secara internal oleh manajemen FR, untuk kemudian dikaji dan disetujui oleh Complaint Panel.

Status saat ini: menunggu feedback dari RSPO. First Resources telah mengirim 4 SOP pada 29 Juni 2013.

5. Dalam aktivitas (1,2, dan 3), TELAPAK akan dilibatkan sebagai observer.

Status saat ini : belum dilaksanakan

6. Akan dilakukan pertemuan selanjutnya untuk membahas capaian/implementasi dari 4 point diatas, akan dilakukan di Balikpapan pada Bulan Desember 2014 (tanggal diusulkan oleh Indonesia complaint cordinator-RSPO).

Status saat ini : telah dilaksanakan

B. Perbedaan antara kajian oleh Moody Intertek dengan LINKS

LINKS focus kepada masalah social, sedangkan Moody Intertek kepada masalah lingkungan termasuk HCV. LINKS menyampaikan perbedaan luas area dispute berdasarkan kajian Moody Intertek maupun LINKS. Moody Intertek dan LINKS memiliki fokus yang berbeda saat melakukan kajian, sehingga menghasilkan luas area dispute yang berbeda. Moody Intertek dalam melakukan kajian pada isu yang lebih luas yaitu

(4)

4

lingkungan hidup dan sosial (termasuk HCV), sementara LINKS fokus pada masalah sosial saja, sehingga area dispute yang ditunjuk lebih kecil. Untuk masalah Lingkungan (HCV), manajemen FR bekerja sama dengan konsultan lain yaitu ReMark Asia.

C. Trust yang rendah terhadap LINKS karena dibiayai oleh First Resources

Sejak presentasi untuk temuan SEF tahap I dilakukan LINKS di Kantor RSPO Jakarta pada bulan Juni/Juli 2013, LINKS sudah menyampaikan rekomendasi agar respon penyelesaian complaint ini dilakukan melalui pembiayaan RSPO, karena ada kritik terhadap independensi LINKS, karena LINKS bekerja dengan dibiayai oleh perusahaan.

Namun dalam respon RSPO yang disampaikan melalui manajemen FR pada bulan Mei-Juni 2014, pembiayaan ternyata tetap dibebankan kepada perusahaan.

LINKS secara terbuka telah mengkomunikasikan bahwa terdapat trust yang rendah, kritik dan penolakkan terhadap LINKS yang disampaikan Masyarakat Muara Tae dan AMAN KALTIM karena LINKS bekerja dengan pembiayaan FR dan dipandang akan lebih membela kepentingan FR.

Meskipun demikian LINKS telah berupaya bekerja independent, dan telah menyampaikan temuan-temuan lapangan dan hasil kajiannya dalam laporan SEF tahap I.

III.

Diskusi

A.

Niat baik untuk menyelesaikan complaint

1. Tomasz Johson (EIA) menegaskan bahwa semua pihak harus menyepakati proses

penyelesaian complaint mulai dari sekarang. EIA tidak tertarik untuk membahas siapa yang salah, dimana dan kapan kesalahan itu dilakukan.

2. Bambang Dwilaksono (FR) menegaskan bahwa hal yang terpenting dari rapat ini

adalah keinginan bersama untuk menyelesaikan complaint. Ia juga berharap bahwa rapat ini merupakan kelanjutan dari meeting sebelumnya karena RSPO telah berusaha untuk menghadirkan semua pihak. Ia juga meminta agar RSPO membacakan kembali catatan meeting Bogor sehinga pihak2 yang hadir dapat disegarkan kembali ingatannya mengenai kesepakatan/concern apa yang terjadi pada Meeting Bogor.

3. Bambang Dwilaksono (FR) memahami bahwa karena kasus yang ditelaah oleh RSPO

jumlahnya cukup banyak maka sulit bagi RSPO untuk mengerti kasus PT BSMJ secara mendalam, untuk itu diperlukan pertemuan seperti ini.

B.

Latar belakang complaint

1. Tomasz Johnson (EIA) menyampaikan bahwa complaint EIA fokus kepada pelanggaran

(5)

5

2. Masrani (Muara Tae) mengatakan bahwa sebelum mengajukan complaint, ia telah

mengirimkan surat ke PT BSMJ atas keberatan dari masyarakat Muara Tae terhadap masuknya perusahaan ke Muara Tae. Juga bahwa wilayah yang diukur oleh PT BSMJ masuk dalam wilayah Muara Tae (hak waris bukan hak kelola). Namun PT BSMJ melakukan negosiasi dengan salah satu oknum dari Muara Ponak, yaitu Pak Yakobus.

3. Masrani (Muara Tae) menyatakan bahwa complaint adalah antara Muara Tae dengan

PT BSMJ bukan antara Muara Tae dengan Muara Ponak, juga bukan kepada Pak Yakobus.

4. Petrus Asuy (Muara Tae) menyatakan bahwa asal masalah complaint ada pembebasan

tanah oleh Yakobus dan itu sebenarnya bukanlah isu yang sulit untuk dipecahkan.

5. Feybe Lumuru (LINKS) menyatakan keberatan jika Muara Ponak tidak dilibatkan sebab

ada tanda tangan Petinggi dan Kepala Adat Muara Ponak di dokumen jual beli antara Pak Yakobus dengan PT BSMJ, yang berarti bahwa pembebasan/penjualan lahan diketahui oleh aparat kampung, sehingga dalam penyelesaiannya juga perlu melibatkan aparatur kampung Muara Ponak.

C.

Pembebasan lahan oleh Yakobus

1. Masrani (Muara Tae) mempertanyakan pembebasan tanah adat oleh Yakobus yang

mencapai ratusan hektar sebab dengan pola lahan berkelompok, tidak mungkin 1 orang memiliki lahan puluhan hektar.

2. Masrani (Muara Tae) mempertanyakan dasar hak waris terhadap tanah tersebut.

3. Petrus Asuy (Muara Tae) menyayangkan proses pembebasan lahan yang tanpa

konsultasi ke pihak Muara Tae.

4. Petrus Asuy (Muara Tae) menyatakan bahwa hak waris atas tanah memiliki aturan,

yang mana terdapat peninggalan misalnya Pohon Banjar Madu, kuburan, dan sebagainya. Peninggalan tersebut tidak dibuktikan dengan jelas oleh Yakobus.

5. Rudiyanto (Muara Ponak) mengatakan bahwa ia setuju bahwa tidaklah mungkin satu

orang memiliki tanah diatas 5 hektar dalam satu hamparan. Pak Yakobus dapat melakukan transakti atau sebagai perwakilan warga kampung karena ia telah diberikan mandat oleh kelompok Pak Sani. Yakobus memberikan daftar orang ke Rudiyanto yang terdiri atas beberapa kebun yang jumlah terluas adalah 5 hektar per orang, dengan total 400 hektar.

6. Bambang Dwilaksono (FR) mengatakan bahwa LINKS telah melakukan studi hingga

akar masalah, namun perlu diverifikasi oleh tim verifikasi lahan. Hasil dari studi LINKS membuka kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk berkontribusi dalam menyelesaikan sengketa lahan.

(6)

6

7. Bambang Dwilaksono (FR) menyatakan bahwa ia tidak sepenuhnya puas dengan hasil

pekerjaan LINKS namun ia menghormati hasil studi tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh M. Saenal yang menyatakan bahwa ia mempertanyakan hasil studi LINKS terkait indicator hak kelola mengingat tidak semua lahan memiliki legalitas. Aspek yang dapat ditelusuri ialah budidaya tanaman.

8. Matheus Ancah (FR) menyatakan bahwa Pak Yakobus ketika membebaskan lahan

bukan atas nama pribadi namun mewakili atas kuasa dari keluarga besar Pak Sani dan kelompok kakek dari Petinggi Muara Ponak. First Resources telah meneliti asal usul tanah 400 ha tersebut. Sejak HTI, PT Gunta Rimba yang beroperasi di wilayah Muara Ponak. Pak Sani menuntut HTI tersebut untuk pergi dari Muara Ponak sehingga lahan itu dikembalikan ke kelompok Pak Sani.

9. Matheus Ancah (FR) beranggapan bahwa First Resources tidak menghilangkan hak

Muara Tae karena lahan diakui oleh Petinggi dan Kepala Adat Muara Ponak dan merupakan hak individu/ hak waris secara turun temurun bukan hak adat. Lahan yang dibebaskan masih masuk dalam wilayah Muara Ponak. Sedangkan land clearing masuk ke wilayah Muara Ponak dan Lemponah.

10.Matheus Ancah (FR) menyatakan bahwa di Muara Tae, ada sebagian masyarakat yang

mau menyerahkan lahannya kepada PT BSMJ seperti Pak James Goy dan Pak Andi Hamsah.

11.Matheus Ancah (FR) meminta dengan hormat kepada perwakilan Muara Tae untuk

tidak menghalangi warganya yang ingin menyerahkan lahannya kepada PT BSMJ. PT BSMJ tidak memaksakan siapapun yang tidak ingin menyerahkan lahan.

12.Rudiyanto (Muara Ponak) menyatakan alasan mengapa ia menandatangani pelepasan

lahan 400 ha :

 berdasarkan peta batas Kecamatan Muara Pahu dan Kecamatan Jempang;

 berdasarkan peta batas antara kedua kecamatan tersebut dengan

Kampung Mancong dan Kampung Kenyanyan. SK pembentukan kampung mengambil batas Kecamatan Muara Pahu dan Kecamatan Jempang, batas Kampung Muara Tae dengan Kecamatan Tanjung Isuy, Muara Ponak dan Kenyanyan dengan Kecamatan Muara Pahu yang berkembang menjadi Kecamatan Siluq Ngurai dengan batas wilayah yang sama.

13.Rudiyanto (Muara Ponak) mengatakan bahwa berdasarkan Ijin perusahaan, dituliskan

bahwa ijin tersebut masuk ke Kecamatan Siluq Ngurai, Kampung Muara Ponak dan Kampung Kenyanyan.

14.Petrus Asuy (Muara Tae) menyatakan bahwa mereka tertarik atas keterangan

Rudiyanto yang menyebutkan adanya peta batas antara Kecamatan Jempang dan Muara Pahu. Mereka sedang mencari peta tersebut dan minta untuk dicopy. Ketika Muara Tae masih berbentuk dusun, batas Kampung Mancong adalah Batai Halang.

(7)

7

15.Ravin Krishnan (RSPO) berpendapat bahwa masalah kompensasi lahan adalah

masalah keluarga sehingga penyelesaiannya tidak dari RSPO. Tugas RSPO adalah memutuskan hal-hal yang melanggar RSPO P&C. Ravin Krishnan menyarankan agar langkah penyelesaian isu lahan harus berasal dari tingkat lokal, bukan dari kantor RSPO di Kuala Lumpur.

D.

Batas kampung dan pemetaan partisipatif (participatory mapping)

1. Masrani (Muara Tae) mengatakan bahwa sebelum kedatangan PT BSMJ tahun 2012,

batas kampung Muara Tae jelas seperti yang telah berlaku secara turun temurun. Muara Tae dan Muara Ponak tidak ada masalah sebelumnya sebab wilayahnya jelas. Masing-masing kampung punya sejarah yang jelas sejak jaman Kerajaan Kutai. Pernyataan ini diperkuat oleh Petrus Asuy yang menyatakan bahwa sejak dulu tidak ada masalah dengan Muara Ponak, termasuk ketika berladang selama masih di areal sungai yang dimiliki tiap kampung. Batas-batas alam telah jelas namun dirusak oleh

keputusan Bupati.1

2. Rudiyanto (Muara Ponak) menegaskan bahwa antara Muara Tae dengan Muara Ponak

memang tidak ada masalah sebelumnya karena mereka bersaudara.

3. Matheus Ancah (FR) setuju bahwa tata batas kampung telah ditentukan secara turun

temurun dan menegaskan bahwa perusahaan tidak mengubah tata batas tersebut.

4. Matheus Ancah (FR) menceritakan sejarah mengapa batas kampung Muara Tae

bermasalah. Muara Tae dulu merupakan bagian dari Kampung Mancong yang mana batas kampung Mancong jelas. Setelah pemekaran Kabupaten Kutai Barat dari

Kabupaten Kutai, Muara Tae menjadi kampung tersendiri.2 Banyaknya kepentingan

dalam menentukan batas kampung merupakan penyebabnya. Tiap kampung memiliki versi sejarah yang berbeda, baik itu Muara Ponak, Muara Tae, Lemponah dan sebagainya. Masalah tersebut membuat Pemerintah Kabupaten ikut serta menyelesaikan batas kampung, sehingga keluar SK Bupati Kutai Barat.

5. Matheus Ancah (FR) berpendapat bahwa penentuan batas kampung bukan otoritas

dari semua pihak di rapat ini namun merupakan otoritas pemerintah.

6. Feybe Lumuru (LINKS) telah membuka komunikasi dengan Pemda terkait batas desa

Muara Tae dengan Muara Ponak. Untuk itu, pihak-pihak yang berkeberatan dengan batas desa dapat mengajukan keberatan ke Pemda dengan melampirkan hasil participatory mapping.

1 Lihat Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor 146.3/K.525/2012 tentang Penetapan dan Penegasan Garis Batas

Wilayah antara Kampung Muara Ponak Kecamatan Siluq Ngurai dengan Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang.

2 Kabupaten Kutai Barat merupakan kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Kutai yang dibentuk berdasarkan

(8)

8

7. Masrani (Muara Tae) menyatakan bahwa bukan hanya dia dan Pak Asuy yang tidak

setuju dengan Keputusan Bupati namun ratusan warga kampung.3 Hal tersebut

dibuktikan dengan surat yang telah ditandatangani oleh warga.

8. Muara Tae (Muara Tae) menyatakan bahwa tanah di sekitar Sungai Kenyayan adalah

hak mereka.

9. Bambang Dwilaksono (FR) menerangkan bahwa LINKS telah meningkatkan kapasitas

Muara Ponak dalam melakukan participatory mapping. Sedangkan Muara Tae dibantu oleh Telapak dalam melakukan pemetaan. Ia mempertanyakan dua hasil pemetaan tersebut akan ditindaklanjuti oleh siapa sebab harus dibawa ke Kabupaten.

10.Feybe Lumuru (LINKS) merasa perlu untuk melakukan participatory mapping dengan

pertimbangan :

 Muara Ponak tidak memiliki peta. Di sisi lain, Muara Tae tidak setuju

dengan batas yang tertulis dalam SK Bupati sehingga jika nantinya akan memproses keberatan tersebut ke Pemda, maka kedua kampung telah memiliki peta;

 Mempermudah identifikasi lahan dalam areal dispute.

11.Feybe Lumuru (LINKS) menceritakan tentang awal mula LINKS bertemu dengan

Masrani dan Petrus Asuy di Rumah Petrus Asuy. Saat itu Masrani menyarankan agar LINKS tidak masuk ke Muara Tae tanpa seijin AMAN. Karena menghormati saran tersebut, LINKS melakukan konsultasi terlebih dahulu sebelum bertemu siapa pun di Muara Tae. LINKS bertemu Ketua PB AMAN, Abdon Nababan di Bogor, lalu ke AMAN Kaltim untuk bertemu Setting Beraan. Setelah itu, baru dilakukan diskusi. Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dapat dilakukan di dekat rumah Petrus Asuy. Dalam pertemuan di AMAN KALTIM dan FGD di Muara Tae tersebut, Setting dan perwakilan masyarakat Muara Tae menyampaikan rekomendasi agar sebaiknya Kampung Muara Ponak memiliki peta.

12.Feybe Lumuru (LINKS) menyatakan bahwa LINKS menghormati adanya respon yang

berbeda di Muara Tae dan Muara Ponak terkait participatory mapping. LINKS

menugaskan beberapa orang untuk tinggal di Muara Ponak guna mencari data. Beberapa bulan setelah FGD, ada presentasi yang LINKS lakukan di Kantor RSPO Indonesia. LINKS mengingatkan kepada semua pihak agar semua perwakilan dapat hadir. Sebelum presentasi tersebut, LINKS bertemu dengan Minang Sari (EIA – Indonesia) dan Patricia Watimena di PB AMAN. LINKS juga bertemu dengan Muhammad Djufry, Gojes dan Abu dari Telapak sebab peta mereka yang dipakai sehingga LINKS perlu tahu proses pemetaannya. Namun saat presentasi, Minang dari EIA yang hadir sedangkan AMAN tidak hadir. Dalam presentasi, LINKS telah menyampaikan keinginan AMAN agar pemetaan dibiayai secara independen atau dari RSPO.

13.Feybe Lumuru (LINKS) menyampaikan bahwa temuan lapangan dari Muara Tae,

Muara Ponak, pemerintah dan PT. BSMJ termasuk metodologi pemetaan ditulis di

(9)

9

Laporan SEF Tahap 1. LINKS berusaha agar proses pengumpulan data dilakukan secara partisipatif dan atas ijin dari para pihak. Dalam Laporan Final SEF Tahap 1, LINKS telah menyampaikan usulan penyelesaian masalah, yaitu:

 Roadmap pertama adalah penyelesaian sengketa batas kampung di area 892

Ha. Rekomendasi yang tidak menyenangkan bagi FR, Pemerintah Kutai Barat dan Muara Ponak karena mereka harus memberi ruang bagi Muara Tae untuk menyampaikan keberatan terkait batas kampung.

 Roadmap kedua terkait penyelesaian klaim lahan di areal 400 Ha yang

dibebaskan Yakobus kepada PT. BSMJ.

14.Feybe Lumuru (LINKS) mengakui bahwa dugaan negative terhadap hasil kerja LINKS

juga disebabkan oleh laporan SEF 1 yang tidak pernah dibagikan ke pihak terkait, sehingga informasi tidak tersampaikan dengan baik. Laporan SEF 1 terdiri atas 6 bab.

 Bab pertama: latar belakang, metodologi dan sebagainya.

 Bab dua: temuan apa adanya dari Muara Tae yang jika informasi tersebut

disampaikan ke Muara Ponak, mereka mungkin tidak akan senang.

 Bab tiga: temuan apa adanya di Muara Ponak yang jika informasi tersebut

disampaikan ke Muara Tae, mereka mungkin tidak akan senang.

 Bab empat: pandangan perusahaan.

 Bab 5: analisis

 Bab 6: rekomendasi.

E.

Sumpah Adat

1. Olvy Octavianita (AMAN) menyarankan agar salah satu rencana aksi adalah melakukan

sumpah adat dengan pertimbangan bahwa sumpah adat dapat menjadi awal penyelesaian batas kampung dan klaim lahan jika pada level RSPO masalah tidak dapat diselesaikan.

2. Burhan (Muara Ponak) menyatakan bahwa ia pernah menerima undangan dari Muara

Tae untuk menghadiri sumpah adat namun menurutnya hal tersebut tidak sesuai dengan tata cara sebab tidak konsultasi dengan Dewan Adat di tingkat kabupaten dan kecamatan sebelum sampai ke Dewan Adat di tingkat Desa. Ia mengingatkan bahwa sumpah adat harus jelas individu yang berurusan sehingga resiko tidak ditanggung oleh semua orang dalam satu kampung. Karena jika sumpah adat dilakukan kolektif, resiko kematian dibebankan ke seluruh orang kampung, termasuk orang yang tidak bersalah. Ia mengingatkan agar tidak bermain-main dengan sumpah adat.

3. Masrani (Muara Tae) mengatakan bahwa ia pernah mengajukan masalah batas

kampung ke Presidium Adat tingkat Kabupaten Kutai Barat namun tidak ada tanggapan. Ia berpendapat bahwa sumpah adat dapat dilaksanakan jika masalah tidak dapat diselesaikan melalui presidium adat dan itu sudah dilaksanakan bersama dengan kampung lainnya seperti Mancong, dll. Siapapun yang terlibat dalam masalah harus disumpah. Nama-nama jelas telah jelas, bukan pada level kampung yang disumpah. Jika ada niat baik maka seseorang berani bersumpah.

(10)

10

4. Masrani (Muara Tae) menyatakan bahwa Undang-undang tidak menghilangkan

lembaga dan hukum adat namun mengakui melalui Keputusan MK No.35.4 Masrani

mengatakan bahwa hukum adat bukanlah ciptaan manusia namun telah dilaksanakan secara turun temurun.

5. Masrani (Muara Tae) berpendapat bahwa ia telah bersabar dan tidak main-main

dengan hukum adat, mengingat sejak 2011 tanahnya telah diambil oleh Muara Ponak dan PT Monte Wanik. Ia menambahkan bahwa kepada PT Monte Wanik, 4 orang warga Muara Ponak melepas 600 hektar.

6. Feybe Lumuru (LINKS) berpendapat bahwa complaint masuk melalui RSPO complaint

system karena EIA memandang terdapat pelanggaran terhadap Prinsip dan Kriteria RSPO sehingga solusi complaint tidak boleh melanggar Prinsip dan Kriteria RSPO.

Sebenarnya LINKS telah memperoleh keterangan tentang sumpah adat dalam

pelaksanaan SEF tahap I namun tidak memasukkannya ke dalam rekomendasi karena dalam Prinsip dan Kriteria RSPO terutama nomor 2.2.6 yang melarang penggunaan kekerasan. RSPO P&C nomor 2.2.6 berbunyi ”Untuk menghindari eskalasi konflik, tidak boleh terdapat bukti penggunaan kekerasan oleh operasi perkebunan atau pabrik minyak sawit dalam menjaga kedamaian dan ketertiban operasi-operasi yang sedang dijalankan dan/atau yang direncanakan.” Ia mengingatkan bahwa First Resources adalah anggota RSPO yang harus taat dengan RSPO P&C. Para pihak diminta untuk memikirkan cara penyelesaian yang lain.

7. Masrani (Muara Tae) berpendapat bahwa dalam sumpah adat semua diserahkan ke

Yang Maha Kuasa, tidak ada kekerasan. Ia juga mengatakan bahwa PT BSMJ pernah menggunakan Brimob untuk menghalangi masyarakat Muara Tae. Begitu juga menggunakan Muara Ponak untuk menjaga lahan Muara Tae yang mana Muara Ponak membawa kayu.

8. Rudiyanto (Muara Ponak) berpendapat bahwa hal yang perlu ditentukan terlebih

dahulu ialah acuan yang benar terkait penentuan batas kampung. Merupakan persoalan baginya jika sumpah adat tidak jelas acuannya. Rudiyanto akan berkomunikasi dengan masyarakat Muara Ponak selama sumpah adat dapat menyelesaikan masalah, Ia tidak hadir ke sumpah adat sebab surat undangan diterima di Warung Haji 1 hari setelah acara ketika ia pulang dari Samarinda. Muara Ponak menyarankan agar komunikasi antara Muara Tae dan Muara Ponak diperbaiki.

F.

Komunikasi dan konsultasi yang perlu diperbaiki

1. Muara Tae (Muara Tae) tidak merasa dilibatkan terkait penentuan LINKS sebagai

konsultan. Muara Tae merasa kecewa karena tidak dikonsultasikan secara baik oleh RSPO terkait proses penyelesaian komplain.

2. Mardi Minangsari (AMAN) meminta agar komunikasi kedepannya menjadi lebih baik

dilakukan oleh RSPO.

(11)

11

3. Petrus Asuy (Muara Tae) menyatakan bahwa ia adalah anggota Telapak namun pada

proses penyelesaian complain ini, Telapak tidak lagi berkonsutasi dengannya.

4. Bambang Dwilaksono (FR) memandang bahwa komunikasi telah dijalankan dan

mengajak semua pihak untuk memperbaiki. Komunikasi telah dijalankan secara tertulis (email dan surat) juga pertemuan fisik. Pertemuan fisik pernah tahun 2012 bertemu dengan Pak Masrani, lalu tahun 2013 di RILO bertemu dengan Minang lalu ada pertemuan di Bogor. Ia berpendapat bahwa tidak mudah untuk mengatur pertemuan di Bogor. First Resources menghormati posisi pihak-pihak yang tidak hadir namun ia punya hak untuk kecewa mengapa tidak semua pihak dapat hadir. Padahal waktu dan tempat pertemuan sudah dikonfirmasikan kepada semua pihak yang diundang

5. Bambang Dwilaksono (FR) menyatakan bahwa terkait participatory mapping oleh

LINKS, komunikasi sebelumnya telah dijalankan. Ia telah mengajak Tomasz (EIA) untuk datang saat pelaksanaan participatory mapping. Muara Tae juga ingin diikutsertakan namun karena satu dan lain hal belum bisa terlaksana, bukan tidak bisa.

6. Ravin Krishnan (RSPO) sepakat bahwa komunikasi merupakan isu dan akan diperbaiki

di masa yang akan datang. Isu komunikasi ada karena 3 hal:

 Complaint ini rumit. RSPO menangani banyak complaint di Indonesia namun

complaint ini merupakan salah satu dari complaint yang paling rumit;

 Complaint ini telah memakan waktu yang panjang;

 Para pihak tidak saling percaya satu dengan yang lain.

7. Mardi Minangsari (AMAN) menegaskan kembali pernyataan Tomasz Johnson untuk

mengajak semua pihak untuk focus kepada isu dan rekomendasi. Ia juga menyatakan bahwa komunikasi dan konsultasi selama ini memang kurang baik. Salah satu alasan mengapa complaint ini memakan waktu yang lama sebab adanya rantai komunikasi yang panjang dari RSPO lalu ke EIA hingga informasi sampai ke lapangan. Ia mempertanyakan kemana temuan lapangan harus disampaikan, apakah ke Complaint Coordinator atau ke Indonesia Complaint Coordinator. Rantai komunikasi harus diperjelas.

8. Feybe Lumuru (LINKS) mengatakan bahwa dalam proses SEF tahap II (Pemetaan

partisipatif di Muara Ponak), LINKS berkonsultasi dengan Seting dari AMAN tentang

apakah LINKS dapat masuk untuk berkonsultasi tentang SEF tahap II di Muara Tae namun

Seting melarang. LINKS menghormati itu sehingga LINKS tidak pernah masuk kembali ke Muara Tae. Namun lewat RSPO, LINKS meminta agar komunikasi para pihak terus dijalankan dan LINKS diberikan kesempatan untuk melaporkan hasil SEF ke semua pihak. Dari hal tersebut ada inisiatif untuk membuat pertemuan di Bogor. Namun AMAN, EIA dan Muara Tae juga tidak hadir di Bogor.

(12)

12

9. Feybe Lumuru (LINKS) merekomendasikan agar komunikasi diperbaiki, sekaligus

mempertimbangkan apakah rekomendasi dari LINKS dapat dijalankan.

10.Rudy Lumuru (LINKS) menyatakan bahwa secara non formal, komunikasi tetap LINKS

jalankan ke teman-teman Telapak dan AMAN terkait proses penyelesaian sengketa lahan dan kompensasi lahan.

G.

Proses penyelesaian complaint melalui complaint system RSPO

1. Bambang Dwilaksono (FR) menyatakan bahwa semua pihak harus menghargai proses

penyelesaian complaint di RSPO.

2. Bambang Dwilaksono (FR) menyatakan bahwa beberapa tahapan dalam proses

penyelesaian complaint telah dilaksanakan, misalnya verifikasi oleh Moody Intertek yang mana semua pihak dilibatkan. Semua tahapan diwarnai oleh diskusi panjang antara First Resources dengan RSPO.

3. Bambang Dwilaksono (FR) meminta RSPO untuk menelaah dokumen-dokumen dan

video yang telah dikirimkan oleh First Resources.

4. Bambang Dwilaksono (FR) mengatakan bahwa RSPO Complaint Panel telah

mengirimkan keputusannya sebanyak 2 kali dan First Resources sebaik mungkin menginvestasikan waktu, tenaga dan biaya untuk melakukan tindakan perbaikan seperti merekrut Remark Asia dan LINKS. Bahkan First Resources pernah meminta

RSPO untuk menghadirkan anggota Complaints Panel.5

5. M. Saenal (FR) berharap agar semua complaint yang masuk ke RSPO adalah untuk

diselesaikan bukan untuk dipelihara. Untuk itu diperlukan target waktu penyelesaian karena complaint seperti PT BSMJ ini jika dipelihara akan berdampak kepada perusahaan dan kondisi sosial di lapangan.

6. Tomasz Johnson (EIA) mengatakan bahwa mereka tidak dilibatkan saat penyusunan

action plan, padahal RSPO Complaints Panel pada surat 10 December 2012 pada poin 5 yang meminta First Resources untuk mengkonsultasikan action plan kepada EIA

(sebagai Complainant) dengan batas waktu maksimal 6 bulan.6

7. Bambang Dwilaksono (FR) mengatakan bahwa semua (setidaknya ada 5) surat dari

RSPO Complaint Panel telah direspon oleh First Resources. Ia pernah meminta masukan dari EIA terkait participatory mapping.

8. Terkait dengan corrective actions, Bambang Dwilaksono (FR) mengatakan bahwa

terdapat rekomendasi dari RSPO Complaint Panel yang bergantung satu dengan yang lain sehingga tidak dapat selesai selama 6 bulan. Sebagai contoh, ketika penunjukan

5 Surat keputusan dari RSPO complaints panel dapat dilihat disini:

http://www.rspo.org/members/complaints/status-of-complaints/view/21

(13)

13

Moody Intertek oleh RSPO yang memakan waktu cukup lama. Setelah laporan dari Moody selesai, Complaints Panel menulis surat ke First Resources yang kemudian dilaksanakan oleh First Resources. Contoh dari corrective actions yang bukan otoritas dari First Resources adalah telaah terhadap perubahan tata guna lahan (Land Use Change/LUC Analysis) yang mana dilakukan oleh BHCV Working Group di RSPO. Terdapat corrective action yang harus menunggu hasil dari telaah LUC analysis tersebut.

9. Bambang Dwilaksono (FR) meminta semua pihak agar focus kepada rencana tindak

lanjut dengan memperhatikan semua corrective action yang pernah dilaksanakan sebelumnya karena corrective actions telah memakan waktu, tenaga dan biaya.

10.Feybe Lumuru (LINKS) menyatakan bahwa LINKS memiliki rekomendasi terhadap

penyelesaian dan semua pihak harus memberikan respon terhadap rekomendasi tersebut. Rekomendasi terkait bagaimana isu batas kampung diselesaikan dan bagaimana isu klaim lahan diselesaikan. Rekomendasi telah lengkap dengan langkah demi langkah yang harus dilakukan semua pihak.

11.Sanath Kumaran (RSPO) meminta agar para pihak menyepakati penyelesaian sebab

sebagian dari langkah menuju penyelesaian telah dilaksanakan.

12.Tomasz Johnson (EIA) menyarankan agar semua pihak menyusun kesepakatan yang

jelas dalam menyelesaikan mengingat sudah banyak hal yang dilakukan oleh First Resources dan LINKS, sedangkan waktu untuk rapat ini sangat terbatas.

13.Ravin Krishnan (RSPO) mengingatkan bahwa jika seseorang/institusi menyampaikan

complaint ke RSPO, maka pihak tersebut harus setuju dengan semua keputusan yang dibuat oleh RSPO. Sebagai contoh: joint mapping adalah hasil keputusan RSPO. Oleh sebab itu, hasilnya harus diterima.

H.

Keterlibatan LINKS sebagai konsultan First Resources

1. Masrani (Muara Tae) menyatakan bahwa sejak awal tidak setuju LINKS terlibat

karena hasil kajian menggeser isu yang tadinya antara Muara Tae dengan PT BSMJ menjadi Muara Tae dengan Muara Ponak.

2. Ruddy Lumuru (LINKS) menyatakan bahwa LINKS menerima penugasan karena LINKS

adalah anggota RSPO. Merupakan kewajiban bagi LINKS untuk membantu jika diminta oleh RSPO.

3. Bambang Dwilaksono (FR) dari First Resources mengatakan bahwa penunjukan LINKS

telah sesuai dengan prosedur penyelesaian complaint di RSPO dan atas rekomendasi Complaints Panel. LINKs mencoba mencari akar masalah dari complaint, oleh sebab itu LINKS membagi isu menjadi 2 yaitu batas administrasi lahan dan klaim lahan.

4. Ruddy Lumuru (LINKS) menyatakan bahwa merupakan semangat dan niat dari LINKS

(14)

14

berdasarkan kebenaran. LINKS juga menghormati hak-hak masyarakat adat. LINKS tidak mau Muara Tae dan Muara Ponak bermusuhan karena complaint ini. LINKS percaya bahwa kearifan adat masih mampu menyelesaikan persoalan ini.

5. Ruddy Lumuru (LINKS) menjelaskan keterlibatan Muara Ponak atas dasar adanya

dokumen yang ditandatangani oleh Kepala Kampung Muara Ponak. LINKS mencari tahu alasan mengapa Kepala Kampung Muara Ponak berani tanda tangan lahan yang dilepaskan oleh Pak Yakobus. LINKS mencari tahu bagaimana bisa Muara Ponak menandatangani lahan yang diklaim sebagai lahannya Muara Tae. Kemudian setelah dikaji, LINKS mengusulkan agar Muara Ponak harus punya peta. Jika nantinya ada mediasi, boleh jadi ada kesepakatan baru yang dibuat oleh dua kampung, yang mana isu tersebut tidak pernah selesai sejak dulu. Kesepakatan tersebut dalam menjadi pendukung dalam penyelesaian batas kampung ke level kabupaten.

6. Feybe Lumuru (LINKS) memandang bahwa pernyataan “hasil kajian menggeser isu

yang tadinya antara Muara Tae dengan PT BSMJ menjadi Muara Tae dengan Muara Ponak” kurang tepat karena LINKS menyampaikan laporan apa adanya. Masyarakat Muara Ponak mulai berkomunikasi dengan RSPO pada September 2014 karena sebelumnya ada kunjungan RSPO ke Muara Ponak. Dari kunjungan itu ada satu rekomendasi yaitu Muara Ponak perlu menulis surat agar suara mereka dapat ikut menjadi bahan pertimbangan dalam penyelesaian konflik. FR mengundang RSPO dan EIA untuk memantau pemetaan partisipatif. LINKS tidak memindahkan isu, komunikasi antara Muara Ponak dengan RSPO terjadi pasca kunjungan RSPO bukan karena keterlibatan LINKS. Muara Ponak perlu dilibatkan karena mereka ikut dalam pembebasan lahan dan juga ada isu sengketa batas kampung.

7. Feybe Lumuru (LINKS) juga keberatan jika dikatakan ngotot karena LINKS telah

beberapa kali ingin mundur dari upaya penyelesaian complaint dan LINKS tidak pernah ditunjuk sebagai perwakilan dari Muara Ponak. LINKS melaksanakan rekomendasi RSPO dengan pembiayaan First Resources dan LINKS akan tetap ada di posisi netral.

8. Ruddy Lumuru (LINKS) merekomendasikan agar konsultasi dengan LINKS masih dapat

dilakukan namun LINKS tidak ingin menjadi mediator dalam proses selanjutnya.

9. Feybe Lumuru (LINKS) menyatakan bahwa LINKS bukan mediator atau fasilitator

melainkan melakukan kajian mendalam terkait akar permasalahan dari complaint. Pernyataan ini diperkuat oleh Rudy Lumuru dan Ravin Krishnan yang menyatakan bahwa LINKS tidak pernah menjadi mediator. Ketika mendapat surat dari Muara Tae, LINKS berkenan untuk menunda pekerjaan di lapangan namun diminta oleh RSPO dan FR untuk melanjutkan dengan harapan dapat mencari akar masalah dari complaint.

10.Feybe Lumuru (LINKS) menyatakan bahwa merupakan kesepakatan dari semua pihak

pada meeting Bogor yang masih meminta LINKS untuk terlibat dalam penyelesaian sengketa lahan. Pernyataan ini diperkuat oleh Rudy Lumuru yang menyatakan bahwa

(15)

15

LINKS sudah ingin mundur dari proses penyelesaian complaint, termasuk ketika di Bogor. Namun para pihak tetap meminta sebaliknya.

11.Rudy Lumuru (LINKS) menyatakan bahwa LINKS kritis terhadap perusahaan, misalnya

dalam topic posisi Kepala Desa yang menurut LINKS secara de facto masih dipegang Pak Masrani.

12.Olvy Octavianita (AMAN) menyatakan bahwa AMAN bukannya tidak setuju dengan

keterlibatan LINKS namun tidak setuju dengan dengan mediator apapun yang proses penunjukannya tanpa konsultasi dengan AMAN dan Muara Tae.

13.Ravin Krishnan (RSPO) berpendapat bahwa meskipun LINKS dibayar oleh First

Resources, kajian LINKS harus diterima para pihak karena mereka tidak ada niat buruk. Kajian LINKS bertujuan untuk mencari akar permasalahan lahan dan langkah penyelesaian permasalahan tersebut. Ia meminta agar para pihak setuju menjadikan kajian LINKS sebagai acuan. Jika tidak, maka 1 tahun akan terbuang sia-sia.

14.Ravin Krishnan (RSPO) menyatakan bahwa jika ada pendapat terkait kajian LINKS,

para pihak silahkan berikan alternative solusi jangan sampai pada rapat berikutnya masalah komunikasi akan muncul kembali, yang berakibat pada penyelesaian yang berlarut-larut dan tidak akan menguntungkan siapapun.

I.

Keberadaan pohon akasia

1. Petrus Asuy (Muara Tae) menyatakan bahwa keberadaan pohon akasia karena ada

induknya di Hutan Tanaman Industri (HTI) tahun 1993. Ia tidak tahu siapa yang menanam namun disana ada hak Muara Tae. Pada tahun 1993, Petrus Asuy dan Pak Sani adalah tim yang mengecek lahan, namun batas Muara Tae dan Muara Ponak tidak ditulis. Wilayah waris Pak Sani adalah di wilayah anak Sungai Ponak bukan wilayah yang disengketakan saat ini.

2. Muara Tae menyatakan bahwa tanah tersebut bukan hanya pohon akasia namun ada

pohon karet dan pohon rotan telah dirusak oleh perusahaan.

3. Rudiyanto (Muara Ponak) menyatakan bahwa di tanah 400 hektar tidak hanya ada

tanaman akasia, ada juga karet dan rotan yang tidak akan diserahkan ke perusahaan. Jika tanaman akasia tumbuh dengan besar batang yang sama dengan jarak 100 meter antar pohon berarti ia tumbuh bukan dari buah yang jatuh. Artinya ini ditanam oleh PT sebelumnya. Informasi ini berdasarkan laporan dari tim kampung (para tokoh adat dan Ketua RT) yang bekerja setiap ada pembebasan lahan.

J.

Hasil rapat di Bogor: tim verifikasi lahan dan mediator independen

1. Bambang Dwilaksono (FR) meminta rapat di Balikpapan menelaah 4 keputusan di

Bogor, untuk kemudian menentukan siapa melakukan apa dan biayanya dari mana. Terdapat pula keputusan yang perlu direvisi. Sebagai contoh, memutuskan siapa yang

(16)

16

memimpin dan membiayai tim verifikasi lahan. Hal ini penting agar antara satu meeting dengan meeting yang lain berkesinambungan.

2. Bambang Dwilaksono (FR) mempertanyakan siapa yang akan memimpin tim verifikasi

lahan yang terdiri atas para pihak. Ia mengingatkan tentang kemungkinan tim Muara Tae dan Muara Ponak bekerja sendiri-sendiri sehingga perlu ada 1 organisasi atau seseorang yang dihormati oleh semua pihak sebagai pemimpin tim. Ia

merekomendasikan untuk membagi hasil joint mapping ke kampung-kampung di

sekitar Muara Tae dan Muara Ponak.

3. Ruddy Lumuru (LINKS) meminta Muara Tae dan Muara Ponak untuk mengusulkan

siapa yang akan menjadi mediator independen.

4. M. Saenal (FR) mengusulkan agar Presidium Adat yang menjembatani tim verifikasi

lahan Muara Tae dan Muara Ponak dengan pertimbangan :

 Agar hasilnya dapat diterima kedua belah pihak;

 Aturan adat umumnya tidak tertulis atau lisan sehingga hanya internal adat

yang mengerti;

 Tidak ada salah satu pihak di ruang rapat ini yang dapat melakukan fasilitasi,

yang ada adalah saling menyalahkan.

5. Masrani (Muara Tae) membutuhkan waktu untuk memberi masukan terhadap hasil

keputusan di Bogor dan kajian LINKS sebab ia akan mendiskusikan hal tersebut dengan masyarakat Muara Tae. Ia akan mengirimkan hasil diskusi selambatnya akhir Desember 2014.

6. Ruddy Lumuru (LINKS) memahami bahwa semangat dari Masrani adalah konsultasi ke

masyarakat. LINKS terbuka terhadap usulan-usulan baru dari Muara Tae dan Muara Ponak. Ia juga meminta RSPO terbuka atas usulan-usulan baru yang diperoleh dari masyarakat Muara Tae dan Muara Ponak.

7. Feybe Lumuru (LINKS) mengingatkan bahwa untuk menyelesaikan konflik antar 2

masyarakat yang memiliki pertentangan cukup tinggi sebaiknya tidak terburu-buru. Oleh sebab itu, di antara rekomendasi LINKS pada laporan SEF 1, terdapat Fase Persiapan yang mana tiap desa perlu melakukan konsultasi internal. Ia berpendapat bahwa poin yang disampaikan Masrani terkait konsultasi internal sangat penting untuk memastikan proses berjalan secara adil dan untuk mencegah munculnya complaint di kemudian hari. Hal yang penting adalah setiap kegiatan harus jelas batas waktunya sehingga progress dapat dilihat bersama.

8. M. Saenal (FR) mengingatkan bahwa Muara Ponak telah terbuka untuk membicarakan

hak waris dan hak kelola pada tanah yang diklaim oleh Muara Tae. Tim verifikasi lahan penting untuk melakukan verifikasi tersebut. Jika tidak ada kesepakatan, maka dibutuhkan mediator. M. Saenal meminta agar Muara Tae membuka diri sebab jika tidak ada verifikasi lahan maka persoalan tidak dapat diselesaikan.

(17)

17

9. Olvy Octavianita (AMAN) setuju dengan Tomasz Johnson yang menyatakan bahwa

penyusunan rencana aksi (action plan) harus melibatkan semua pihak terkait, termasuk dalam penunjukan mediator.

10.Feyber Lumuru (LINKS) dan Olvy Octavianita (AMAN) meminta First Resources untuk

membagi hasil kajian LINKS kepada para pihak sebagai bahan diskusi di level masyarakat.

11.Amalia Falah (RSPO) mengusulkan untuk menentukan alternatif mediator

independen.

12.Bambang Dwilaksono (FR) dan Feybe Lumuru (LINKS) berpendapat bahwa alternative

mediator independen belum dapat ditentukan saat ini sebab masih menunggu proses persiapan berupa konsultasi internal di masing-masing kampung. Usulan ini didukung oleh Ruddy Lumuru yang meminta Muara Tae dan Muara Ponak untuk mengusulkan beberapa calon mediator independen.

13.Feybe Lumuru (LINKS) mengusulkan agar terlebih dahulu ditentukan

langkah-langkahnya, untuk kemudian ditentukan siapa yang menjadi mediator pada tiap langkah tersebut. Sebagai contoh, Langkah persiapan berupa konsultasi pada level kampung. Kapan kegiatan tersebut dilaporkan? Setelah itu kedua kampung dapat dipertemukan dalam joint mapping dengan bantuan mediator. Dan seterusnya.

14.Bambang Dwilaksono (FR) mempertanyakan apa harapan RSPO untuk mengundang

semua stakeholder di Bandung dan Balikpapan. Ia mengharapkan bahwa meeting di Balikpapan tidak menjadi kemunduran bagi kesepakatan yang disusun sebelumnya.

15.Tomasz Johnson (EIA) mengatakan bahwa semua harus dikonsultasikan. Jika saja

proses konsultasi telah dilakukan sejak dulu, persoalan ini akan lebih mudah.

IV.

Hasil Pertemuan Balikpapan

1. Menjadikan Hasil Pertemuan Bogor sebagai dasar untuk penyelesaian. Jika ada masu

kan, mohon berikan pilihan solusi via email, amalia.falah@rspo.org selambatnya 15

Januari 2015. Masukan akan didiskusikan tanggal 5 Februari 2015 di Samarinda.

2. Menjadikan studi dari LINKS sebagai dasar. Jika ada masukan, mohon berikan pilihan

solusi via email, amalia.falah@rspo.org selambatnya 15 Januari 2015.

3. First Resources akan mengirimkan Executive Summary ke semua pihak selambatnya

20 Desember 2014.

4. RSPO akan membuat draft Tata Tertib Meeting yang akan disetujui oleh semua pihak

(18)

18

5. RSPO akan merekomendasikan ke Complaint Panel meeting tanggal 16 Desember

2014 agar RSPO dapat menyediakan mediator independen melalui Dispute Settlement Facilities (DSF) karena ada isu konflik kepentingan dan pendanaan.

6. Review dan komentar dari RSPO terhadap SOP First Resources sebagai prasyarat

dalam FPIC akan dikirim ke First Resources pada 19 Desember 2014.***

Minutes of meeting disusun oleh Sekretariat RSPO berdasarkan rekaman suara. Adapun catatan kaki merupakan tambahan dari penyusun.

(19)

19

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik aktif selama pembelajaran Diketahui data-data yang diperoleh melalui teknik wawancara dan dokumentasi dari sekolah tersebut, dapat disimpulkan bahwa

Model Balck Box Tyler dibagun atas dua dasar, yaitu evaluasi yang ditujukan pada tingkah laku peserta didik dan evaluasi yang harus dilakukan pada.. tingkah laku awal

Dalam menunjukkan komitmennya terhadap K3, pengusaha dan/atau pengurus harus melakukan konsultasi, motivasi dan kesadaran dengan melibatkan pekerja/buruh maupun pihak

Penelitian ini akan menginventarisasikan diksi yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkan dongeng Rapunzel dengan menggunakan kategori Keraf (1996) yaitu pemilihan

Menganalisis sistematika analisis Random Survival Forest untuk suatu data survival tersensor kanan, proses pembentukan pohon survival, penentuan variabel yang prediktif,

Namun, dalam Islam karena pergantian kelamin bagi orang normal adalah hal yang dilarang, maka bagiannya tetap pada bagian sebelum dia berganti kelamin Kasus yang

Apabila dalam model teoritis Ausubel mengembangkan model pembelajaran Advance Organizers terbatas pada 3 (tiga) langkah utama yakni (a) langkah presentasi Advance

Model yang digunakan untuk memodelkan data tipe ini seperti model regresi (cross-section) • Time Series (Runtun waktu) data yakni jenis data yang dikumpulkan menurut urutan waktu