II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kedelai
Kedelai merupakan tanaman semusim yang banyak dibudidayakan di
Indonesia, dengan karakteristik berupa semak rendah, tumbuh tegak dengan tinggi
40-90 cm, bercabang memiliki daun tunggal dan daun trifoliate, bulu pada daun
dan polong tidak terlalu padat dan umur tanaman antara 72-90 hari (Adie &
Krisnawati, 2007).
Kedelai Glycine max (L.) Merr merupakan salah satu komoditas tanaman
palawija penting di Indonesia sebagai sumber pangan yang bergizi. Suprapto
(2001) menyatakan bahwa biji kedelai memiliki kandungan protein 34,9 gram,
kalori 331 kal, lemak 18,1 gram, hidrat arang 34,8 gram, kalsium 227 mg, fosfor
585 mg, besi 8 mg, vitamin A 110 SI, vitamin B1 1,07 mg, Air 7,5 gram dari 100
gram kedelai.
Kedelai dengan nama latin Glycine max (kedelai kuning); Glycine soja
(kedelai hitam) merupakan tanaman serbaguna. Kedelai merupakan tanaman
dengan kadar protein tinggi sehingga tanamannya dapat digunakan sebagai pupuk
hijau dan pakan ternak. Pemanfaatan utama kedelai adalah dari bijinya. Olahan
biji dapat dibuat menjadi berbagai bentuk seperti tahu (tofu), bermacam-macam
saus penyedap (salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam),
tempe, susu kedelai (baik bagi orang yang sensitif laktosa), tepung kedelai,
minyak (dari sini dapat dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon,
pelarut, dan biodiesel), serta taosi atau tauco (Badan Pusat Statistik, 2016).
Menurut Irwan (2006) biji kedelai dibagi menjadi dua bagian utama,
pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam atau putih. Biji kedelai tidak
mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai
dapat langsung ditanam dan mempunyai kadar air yang berkisar 12-13% (Irwan,
2006).
Pada umumnya warna biji kedelai berbeda-beda, perbedaan warna biji
dapat dilihat pada belahan biji ataupun pada selaput biji, biasanya kuning atau
hijau transparan (tembus cahaya), selain itu ada juga biji yang berwarna gelap
kecoklat-coklatan sampai hitam atau berbintik (Adisarwanto, 2006).
Menurut Indartono (2011) benih kedelai merupakan benih ortodoks yang
tahan disimpan lama dengan kadar air yang rendah. Benih kedelai memiliki tipe
perkecambahan epigeal yaitu pada saat berkecambah kotiledon akan terangkat ke
atas dan dari kotiledon akan keluar calon daun. Biji kedelai berkeping dua dan
umumnya berbentuk bulat lonjong, tetapi ada kultivar yang mempunyai biji bulat
agak pipih atau bundar, besar biji tergantung dari kultivar, tidak mengandung
jaringan endosperm, embrio terletak di antara keping biji (Sofia, 2007).
B. Mutu Benih
Benih bermutu ialah benih yang telah dinyatakan sebagai benih yang
berkualitas tinggi dari jenis tanaman unggul. Benih yang berkualitas tinggi
memiliki daya tumbuh lebih dari 80%. Benih unggul yaitu benih yang bermutu
tinggi, baik segi kemurnian, kebersihan, daya tumbuh, maupun kesehatan benih
(Kartasapoetra, 2003). Pengadaan benih bermutu tinggi merupakan unsur penting
dalam upaya peningkatan produksi tanaman. Pengadaan benih sering disiapkan
baik agar mempunyai daya berkecambah yang tinggi saat ditanam kembali pada
musim berikutnya (Sudirman 2012).
Mutu benih mencakup tiga aspek, yaitu mutu benih meliputi mutu fisik,
fisiologis, dan mutu genetik. Mutu fisik meliputi : (1) kebersihan benih dari
kotoran fisik dan campuran biji-biji pecah atau biji tanaman lain, (2) penampilan
benih (ukuran benih) dan warna kulit benih. Mutu fisiologis dilihat dari
kemampuan benih untuk tumbuh normal dalam kondisi yang serba normal pula.
Sedangkan mutu genetik yaitu benih yang jelas dan benar identitas genetiknya,
serta tidak terdapat campuran varietas lain (Sadjad, 1993).
Untuk menentukan mutu benih Purwono & Hartono (2012) menyatakan
bahwa karakter yang diuji antara lain tingkat kemurnian fisik benih, kotoran benih
lain (kurang dari 0,2%), tingkat perkecambahan (minimal 80%), tingkat kesehatan
benih (minimal 98%), kebenaran varietas (100%), dan daya simpan benih (1-5
tahun). Kemudian menurut Rukmana & Yuyun (1996) benih bermutu harus
memiliki syarat daya tumbuh minimal 80%, benih harus sudah tumbuh kurang
dari 4 hari, benih harus murni artinya tidak tercampur varietas lain dan biji gulma,
biji sehat secara fisik, bernas, mengkilap, tidak keriput, dan tidak terdapat luka
gigitan serangga.
Penelitian terdahulu menemukan bahwa varietas kedelai berbiji sedang
atau kecil umumnya memiliki kulit berwarna gelap, tingkat permeabilitas rendah,
dan memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap kondisi penyimpanan yang
kurang optimal dan tahan terhadap deraan cuaca lapang dibanding varietas yang
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu benih adalah : (a) faktor genetik,
merupakan faktor bawaan yang berkaitan dengan komposisi genetik benih. Setiap
varietas memiliki identitas genetika yang berbeda. Perbedaan tersebut diakibatkan
oleh perbedaan gen yang ada dalam benih; (b) faktor lingkungan, faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap mutu benih berkaitan dengan kondisi dan
perlakuan selama prapanen, pascapanen, maupun saat pemasaran benih; (c) faktor
kondisi fisik dan fisiologis benih, yaitu berkaitan dengan performa benih seperti
tingkat kemasakan, tingkat kerusakan mekanis, tingkat keusangan, tingkat
kesehatan, ukuran dan berat jenis, komposisi kimia, struktur benih, tingkat kadar
air dan dormansi benih (Wirawan & Wahyuni, 2002).
Salah satu masalah yang dihadapi dalam penyediaan benih bermutu
adalah penyimpanan. Penyimpanan benih kacang-kacangan di daerah tropis
lembab seperti di Indonesia dihadapkan kepada masalah daya simpan yang
rendah. Menurut Harrington (1972) mengatakan bahwa masalah yang dihadapi
dalam penyimpanan benih makin kompleks sejalan dengan meningkatnya kadar
air benih.
C. Penyimpanan Benih
Penyimpanan benih merupakan salah satu cara untuk menjamin
ketersediaan benih saat musim tanam tiba, mengingat musim berbuah tidak selalu
sama. Penyimpanan benih dilakukan untuk menjaga benih agar tetap dalam
keadaan baik, melindungi benih dai serangan hama dan jamur, serta mencukupi
persediaan benih selama musim tanam. Daya simpan dan mutu benih selama
persentase biji rusak atau pecah) dan lingkungan ruang penyimpanan (Surtikanti,
2004).
Menurut Sutupo (1993) tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk
mempertahankan viabilitas benih dalam periode simpan yang sepanjang mungkin,
serta maksud dari penyimpanan benih adalah agar benih dapat ditanam pada
musim yang sama di lain tahun atau pada musim yang berlainan dalam tahun yang
sama, atau untuk tujuan pelestarian benih dari suatu jenis tanaman. Umur simpan
benih sangat dipengaruhi oleh sifat benih, kondisi lingkungan dan perlakuan
manusia.
Menurut Sutopo (2002) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyimpanan benih pertama ialah jenis benih, apakah benih termasuk benih
ortodoks, rekalsitran, maupun intermediate. Informasi tersebut berguna untuk
perlakuan dalam penyimpanan benih. Kedua adalah lingkungan simpan benih
yaitu biotik (mikroorganisme, serangga, dan hewan pengerat) dan abiotik (suhu
dan RH). Kegiatan mikroorganisme yang tergolong dalam hama dan penyakit
gudang dapat mempengaruhi viabilita benih yang disimpan.
Jangka waktu benih dapat disimpan sangat bergantung pada kondisi awal
benih dan lingkungan tempat benih disimpan. Faktor yang mempengaruhi kualitas
benih selama penyimpanan adalah :
1. Faktor abiotik
Faktor abiotik merupakan salah satu faktor penyebab penurunan mutu
benih dalam penyimpanan, yaitu faktor lingkungan fisik meliputi suhu,
Kartono (2004) menyatakan bahwa suhu penyimpanan berpengaruh
terhadap daya berkecambah benih kedelai. Suhu dan kelembaban nisbi ruang
simpan berperan dalam mempertahankan viabilitas benih selama
penyimpanan. Pada suhu rendah, respirasi berjalan lebih lambat dibanding
suhu tinggi. Dalam kondisi tersebut, viabilitas benih dapat dipertahankan
lebih lama. Benih dengan kadar air 8% dapat disimpan sampai tiga tahun
dalam gudang biasa tanpa menurunkan daya berkecambahnya. Namun, bila
kadar airnya 12% maka dalam waktu satu tahun daya berkecambah turun
menjadi 60% dan menjadi 0% setelah tiga tahun.
Penyimpanan kedelai mempunyai peranan yang sagat penting dalam
mempertahankan mutu dan daya berkecambah benih. Kartono (2004)
menyatakan bahwa dengan kadar air awal benih 8% secara konstan, benih
dapat disimpan di gudang biasa hingga 3 tahun tanpa menurunkan daya
berkecambahnya. Penyimpanan dengan menggunakan kemasan kedap udara
dan ruangan penyimpanan bersuhu <20 ºC, dapat mempertahankan daya
berkecambah benih sampai 5 tahun sedangkan penyimpanan dalam gudang
atau ruang biasa (suhu 26ºC, RH 80-90%) hanya dapat mempertahankan daya
berkecambah benih kedelai >84% selama 4 bulan.
2. Faktor biotik
Faktor biotik merupakan faktor lain yang berpengaruh terhadap
penurunan mutu benih dalam penyimpanan. Faktor biotik mencakup
organisme hidup seperti serangga, tungau, rodensia (hewan pengerat), burung
Yudono (2012) menambahkan bahwa penyimpanan benih bertujuan
untuk mendapatkan benih tetap bermutu tinggi sampai dengan waktu benih akan
ditanam. Selanjutnya Justice & Bass (2002) menyatakan bahwa penyimpanan
benih adalah mengkondisikan benih pada suhu dan kelembaban optimum untuk
benih agar bisa mempertahankan mutunya. Tujuan dari penyimpanan benih adalah
untuk mengawetkan cadangan makanan tanaman bernilai ekonomis dari satu
musim ke musim berikutnya. Penyimpanan benih untuk menunggu musim tanam
berikutnya akan menyebabkan turunnya viabilitas dan vigor.
Kadar air merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
penyimpanan benih, khususnya yang termasuk dalam benih ortodoks seperti
kedelai. Benih yang mengandung lemak yang tinggi seperti kedelai dapat
diperpanjang periode simpannya apabila disimpan dengan kadar air awal kurang
dari 11% (Sutopo, 2002). Semakin tinggi kadar air benih, semakin cepat respirasi
dan makin banyak CO2, air dan panas yang dihasilkan selama peyimpanan. Panas,
kadar air dan kelembaban tinggi merupakan faktor-faktor yang dapat
mempercepat kerusakan.
Penelitian Kartono (2004) menunjukkan bahwa pada penyimpanan
terbuka (dalam karung goni dengan suhu ruang > 25 °C dan RH > 75%)
menyebabkan kerusakan benih yang tinggi, menurunkan daya berkecambah, dan
menurunkan daya simpan benih. Penyimpanan benih dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem penyimpanan terbuka atau sistem penyimpanan tertutup
dilakukan dengan mengatur kondisi lingkungan penyimpanan, terutama suhu dan
RH.
Kadar air benih merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
mempertahankan viabilitas benih selama penyimpanan. Justice & Bass (2002)
menyatakan bahwa penyimpanan benih dengan tingkat kadar air aman untuk
disimpan sangat penting. Purwanti (2004) menambahkan bahwa kadar air yang
aman untuk penyimpanan benih kedelai dalam suhu kamar selama 6–10 bulan
adalah tidak lebih dari 11%.
Bila ditinjau dari viabilitasnya secara umum benih dibedakan antara
berdaya simpan baik, sedang, dan jelek. Agar benih memiliki daya simpan yang
tinggi atau baik, maka benih harus bertitik tolak dari kekuatan tumbuh (vigor) dan
daya kecambah yang semaksimum mungkin (Sutopo, 1993).
Harrington (1973 dalam Dinarto, 2010) mengatakan bahwa kadar air
benih merupakan faktor dominan dalam proses kemunduran benih, menyusul suhu
ruang simpan. Pada benih kacang hijau, kadar air sebelum disimpan harus
mencapai 11-12%. Selama penyimpanan, benih akan mengalami
kemunduran/deteriorasi yaitu proses kemunduran benih selama periode simpan
terjadi secara alami dan berkaitan dengan waktu, sedangkan kemunduran
fisiologis disebabkan oleh faktor lingkungan. Hal ini berarti bahwa semakin lama
benih disimpan, maka benih akan mengalami kemunduran dan dapat dipercepat
laju kemundurannya oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Proses kemunduran
benih tidak dapat dihindari tetapi dapat diperlambat laju kemundurannya (Sadjad,
D. Hama Callosobruchus chinensis L.
Menurut Kalshoven (1987), spesies Callosobruchus chinensis L.
termasuk bangsa Coleoptera dari keluarga Bruchidae pada kelas insekta.
Kumbang bubuk (C.chinensis L.) merupakan hama gudang utama di Indonesia.
Serangga ini dapat menyerang biji kedelai sejak di lapangan hingga di
penyimpanan dalam gudang.
Slamet (1997) menyatakan bahwa gejala serangan pertama pada biji
sejak di lapangan sampai tempat penyimpanan biji tampak bintik-bintik putih,
setelah itu biji menjadi berlubang-lubang akibat gerekan larva dan imago keluar
tepung dari lubang.
Sudarmo (1991) menyatakan bahwa telur diletakkan pada permukaan
biji, biasanya jumlah telur yang diletakkan seekor kumbang betina berkisar antara
50-150 pada satu telur. Telur berbentuk jorong dengan panjang rata-rata 0,57 mm,
berbentuk cembung pada bagian dorsal serta rata pada bagian yang melekat
dengan biji. Telur berwarna keputih-putihan dan telur menetas antara 4-8 hari.
Kumbang jantan berukuran 2,4 3 mm sedangkan betina 2,76
mm-3,49 mm. Antena jantan bertipe sisir (pectinate) dan betina bertipe gergaji
(serrate). Stadia imago 25-34 hari. Imago betina dapat menghasilkan telur sampai
150 butir. Telur ditempatkan pada permukaan biji yang disimpan dan umumnya
menetas setelah 3-4 hari pada suhu 24,4-70oC dengan kelembaban nisbih
67,5-82,6% (Retnosari, (2013) dalam Fahrezi (2016).
Bato & Sanches (1998) menyatakan bahwa larva yang baru menetas akan
terus menggerek dengan cara memakan kulit telur yang menempel pada biji dan
biji hingga memenuhi satu butir biji, membentuk satu lubang keluar persis di
bawah kulit biji sebagai jendela bulat yang terlihat dari luar. Larva akan tetap
tinggal di dalam biji sampai menjadi imago dan berlangsung selama 10-13 hari.
Larva instar keempat telah memakan isi biji dekat di bawah kulit biji,
maka akhirnya larva menjadi pupa dan tetap berada pada tempat tersebut sampai
menjadi dewasa. Pupa berwarna putih kekuningan berlangsung antara 4-6 hari
(Mangoendihardjo, 1997).
Greaves dkk., (1998) menyatakan bahwa Callosobruchus chinensis L.
yang baru dewasa beberapa hari tetap berada dalam biji kacang hijau selama 2-3
hari dan keluar dari biji dengan cara mendorong kulit biji yang digores dengan
mandibelnya sehingga terlepas dan terbentuklah lubang. Imago panjangnya
berukuran 5 mm dan berbentuk bulat telur cembung pada bagian dorsal. Panjang
tubuh kumbang jantan 2,40-3 mm, sedangkan kumbang betina 2,76-3,48 mm.
Amtena kumbang jantan bertipe sisir (pectinate) dan betina bertipe gergaji
(serrate), stadia imago berlangsung selama 25-34 hari.
Menurut Harahap (2005 dalam. Kardiyono, 2010) menyatakan bahwa
kerusakan akibat C. chinensis terlihat dari jumlah biji yang berlubang sehingga
kandungan gizi dari pada kacang-kacangan berupa protein, karbohidrat, lemak dan
vitamin telah berkurang bahkan habis. Hasil penelitian Dinarto (2010),
menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air semakin meningkat populasi hama
gudang kumbang bubuk kacang hijau Callosobruchus chinensis.
Menurut Kartono (2004) bahwa serangga dan mikroba mudah
relatif ruang penyimpanan >80%. Salah satu cara melindungi benih dalam
penyimpanan dari serangan hama gudang dapat dilakukan dengan menyimpan
benih yang sehat dan kering dengan kadar air di bawah 10%.
Besarnya kerusakan dan penyusutan bobot biji kedelai di tempat
penyimpanan tergantung dari tinggi rendahnya kepadatan populasi serangga
C.analis (Suyono dkk., 1990 dalam, Wahyu, 2013). Hama C.chinensis memakan
kacang-kacangan khususnya kedelai, mulai dari merusak biji, memakannya
hingga tinggal bubuknya saja, akibatnya kedelai tidak dapat lagi digunakan untuk
benih maupun untuk dikonsumsi. Kerugian yang ditimbulkan hama C.chinensis L.
mencapai 70% (Kim DH & Ahn YJ, 2001 dalam, Wahyu 2013).
Oleh karena itu perlu upaya untuk mencari alternatif pengendalian yang
dapat menekan C.chinensis L. ini tapi mampu mengurangi efek samping dari
pengendalian yang dilakukan.
E. Daun Gamal
Gamal (Gliricidia sepium) merupakan tanaman asli daerah tropis Pantai
Pasifik di Amerika Tengah. Pada tahun 1600-an penyebaran tanaman ini terbatas
pada hutan musim kering gugur daun, tetapi banyak tumbuh di dataran rendah
yang tersebar di Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan bagian utara, Asia
dan diperkirakan masuk ke Indonesia pertama kali sekitar tahun 1900 (Elevitch
Gambar 1. Tanaman Gamal
Elevitch dan Francis (2006) menyatakan bahwa, tanaman ini memiliki
banyak manfaat dan sering digunakan sebagai pagar hidup (Gambar 1) dalam
penanaman lada, vanili, dan ubi jalar. Daunnya dapat dimanfaatkan sebagai
obat-obatan, rodentisida, pestisida, dan pakan ternak, sedangkan kayu tanaman ini
dapat dimanfaatkan sebagai alat pertanian dan kayu bakar. Tanaman gamal mudah
tumbuh dengan cepat di daerah tropis. Duke (1983) juga menyatakan bahwa
beberapa peternak memanfaatkannya untuk makanan ternak (ruminansia) karena
daunnya mengandung lebih dari 20% protein kasar meskipun cukup toksik untuk
hewan lain, seperti kuda. Di Indonesia, tanaman gamal dikenal oleh petani
terutama di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi digunakan untuk pupuk, kayu bakar
dan pencegah erosi.
Pada genus Gliricidia, saat ini terindentifikasi terdapat tiga spesies yaitu
Gliricidia maculate, Gliricidia sepium, dan Gliricidia brenningii. Gliricidia
maculate memiliki daun yang berbulu dan biasanya bunganya berwarna putih
ukurannya lebih panjang dan lembaran daun yang seperti kertas (Lampiran 5,
Gambar 2), serta bunga yang berwarna merah muda pada bagian ujung bunga
majemuk yang menjorok keluar. Gliricidia brenningii memiliki banyak
daun-daun berukuran kecil, dan lembaran-lembaran kecil dipangkal batang daun-daun serta
memiliki polong yang lebih panjang dan gelap (Elevitch dan Francis, 2006).
Tanaman gamal merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat
digunakan sebagai insektisida nabati. Gamal banyak mengandung senyawa yang
bersifat toksik seperti dikumarol, prussic acid, alkaloid, tannin, dan senyawa
pengikat protein yang juga tergolong zat anti nutrisi. Insektisida nabati dari gamal
bersifat sebagai penolak (repellents) pada hama (Setiawati dkk., 2008).
Dikumarol merupakan hasil konversi dari kumarin yang disebabkan oleh
bakteri ketika fermentasi. Kumarin merupakan senyawa golongan flavonoid yang
dapat mengiritasi kulit dan menghambat transportasi asam amino leusin.
(Robinson, 1995). Menurut Duke & Wain (1981) bahwa sifatnya sebagai pestisida
ini karena keaktifan senyawa toksik dikumarol sebagai derivatnya dari kumarin
yang dapat menyebabkan pendarahan lebih luas, paralysis dan mati apabila
kandungannya melebihi dari 10 ppm.
Begitu juga pendapat dari Everist (1974) bahwa ditemukan bentuk
derivat kumarin dalam tanaman dan ada 4 bentuk derivatnya, yaitu derivat
pertama adalah dikumarol yang bersifat antikoagulan dan dapat menyebabkan
perdarahan lebih luas. Derivat kedua: dihydroxykumarin glycoside yang
mempunyai sifat racun akut karena mengandung glikosida. Derivat ketiga:
yang cukup tinggi dan merupakan hasil produksi dari Aspergillus. Kemudian
derivat keempat: furokumarin mempunyai sifat keaktifan photosensitisasi yaitu
bereaksi langsung merusak sel-sel jaringan dengan adanya sinar matahari.
Alkaloid memiliki sifat metabolit terhadap satu atau beberapa asam
amino. Efek toksik lain bisa lebih kompleks dan berbahaya terhadap insekta, yaitu
mengganggu aktifitas tirosin yang merupakan enzim esensial untuk pengerasan
kutikula insekta (Harborne, 1982).
Tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap
yang tidak larut dalam air. Dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan
enzim sitoplasma. Bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat
terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan
pencernaan hewan kita menganggap salah satu fungsi utama tannin dalam
tumbuhan ialah sebagai penolak hewan termasuk serangga (Harborne, 1982).
Gejala yang diperlihatkan dari hewan yang mengkonsumsi tannin yang banyak
adalah menurunnya laju pertumbuhan, kehilangan berat badan dan gejala
gangguan nutrisi (Howe & Westley, 1990 dalam Yus, 1996).
Efektivitas biofungisida tidak bisa sama dengan fungisida kimia.
Keuntungan penggunaan biopestisida adalah ramah lingkungan karena
senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya mudah luruh di alam (Schumann and
D’Arcy, 2012). Biopestisida tidak menimbulkan resistensi atau resurgensi
sehingga tidak menimbulkan ras-ras baru pada mikroorganisme penyebab
manusia, sehingga tidak menggangggu kesehatan pengguna (petani) dan
konsumen.
Berdasarkan penelitian dan pengalaman petani di San Fernando Filipina,
tanaman gamal dapat digunakan untuk pengendalian serangga hama Helicoverpa
armigera pada tanaman tembakau (Moralo-Rejesus, 1987 dalam Tukimin & Rizal,
2002). Insektisida nabati daun gamal ini potensial untuk digunakan dalam
pengendalian kutu tanaman. Hasil penelitian (Tukimin dkk., 2000) menunjukkan
bahwa ekstrak daun gamal mampu menimbulkan kematian 97,14% dan 96,59%
terhadap Myzus persicae di laboratorium dan rumah kasa pada tanaman tembakau.
Kemudian pada hasil penelitian selanjutnya (Tukimin dan Rizal, 2002)
pada pengendalian serangga hama kutu daun Aphis gossypii pada tanaman kapas
menunjukkan bahwa pada formulasi 9 gram daun gamal ditambah 31,5 ml minyak
tanah ditambah 6,25 gram detergen ditambah 1000 ml air sudah mampu
menimbulkan kematian kutu Aphis gossypii sebesar 93,06% di laboratorium dan
83,87% di rumah kaca dalam waktu 72 jam setelah penyemprotan. berupa uji
ekstrak daun gamal kontak selama 24 jam dengan dosis 20% dapat menyebabkan
kematian 33,3% pada hama Callosobruchus chinensis dan uji toksisitas pakan
selama satu minggu dari dosis terkecil 30% sudah dapat mematikan 100% hama
Callosobruchus chinensis L.
Dari hasil uji pendahuluan berupa uji ekstrak daun gamal kontak selama
24 jam dengan dosis 20% dapat menyebabkan kematian 33,3% pada hama C.
chinensis dan uji toksisitas pakan selama satu minggu dari dosis terkecil 30%
toksisitas ekstrak air daun gamal oleh Nismah dkk., (2011) terhadap hama kutu
putih tanaman pepaya. Diketahui bahwa nilai LC50, ekstrak air daun gamal efektif
dalam mematikan hama kutu putih tanaman pepaya karena pada konsentrasi
1,32%-8,5% sudah dapat mematikan 50% serangga uji dalam waktu 48 jam.
Adanya kandungan bahan yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati pada
bagian-bagian tanaman gamal tersebut maka potensi tanaman gamal sebagai
pengendali serangga hama termasuk hama gudang C. chinensis L. sangat besar
untuk dikembangkan sebagai insektisida nabati.
.
F. Hipotesis
Pada penelitian yang akan dilakukan diduga penggunaan formulasi
larutan ekstrak daun gamal yang terbaik :
1. Ekstrak daun gamal dapat menekan populasi hama Callosobruchus chinensis
L. terhadap mutu benih kedelai dalam penyimpanan.
2. Formulasi larutan ekstrak daun gamal konsentrasi 20% adalah konsentrasi
terbaik dalam mengendalikan populasi Callosobruchus chinensis L. dan