BAB II
BERDIRINYA PONDOK PESANTREN AL-FATAH
BANJARNEGARA
A.Gambaran Umum Desa Parakancanggah Kecamatan Banjarnegara
1.1 Struktur pemerintah kepala desa Parakancanggah
Struktur pemerintahan di dalam lembaga pemerintahan desa
merupakan suatu kesatuan yang sangat penting yang saling berpengaruh
satu sama lain. Dalam struktur tersebut, Kepala Desa memegang peran
yang penting untuk menentukan kelangsungan dan kemajuan masyarakat
desanya. Kepemimpinan kepala desa ini, berada di bawah pengawasan dari
Badan Pemasyarakatan Desa (BPD). Sebelum tahun 2015, struktur
pemerintahan desa Parakancanggah tidak jauh berbeda dengan tahun
sekarang, karena tidak ditemukannya data pada tahun 1990, maka penulis
langsung mengacu pada struktur pemerintahan tahun 2015. Sehingga
struktur pemerintahan di Desa Parakancanggah adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Struktur Pemerintahan Desa Parakancanggah
Nama Pengurus Jabatan
Sugeng Waluyo Kepala Desa Moh. Albar, SH Sekretaris Desa
Puryoto Staf Umum (Pembantu SEKDES) Mudji Burrochman Staf Umum (Pembantu SEKDES)
Warno Staf Umum (Pembantu SEKDES)
Triutami Kasi Pembangunan
Supartin Kasi Pembangunan
Misbandi Kasi Kemasyarakatan Achmad Sunarto Kasi Kemasyarakatan
Sumber : Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah tahun 2015.
1.2 Letak Geografis dan Batas Wilayah Desa Parakancanggah
Bila dilihat dari keadaan geografis, jarak Desa Parakancanggah dari
pusat pemerintahan kecamatan 3 Km, jarak dari pusat pemerintahan
kota 2 Km, jarak dari kota kabupaten 2 Km, dan jarak dari ibukota
provinsi 167 Km. Wilayah Desa Parakancanggah secara administratif
dibatasi oleh :
Sebelah Utara : Kelurahan Kenteng, Kecamatan Madukara
Sebelah Selatan : Desa Ampelsari, Desa Sokaraja
Sebelah Barat : Kelurahan Semarang, Kelurahan Krandegan
Sebelah Timur : Kelurahan Sokanandi
Seiring perkembangan zaman, bangunan bertambah sehingga
mengurahi luas tanah, terutama perkembangan jumlah penduduk
sehingga lahan yang kosong kemudian berganti menjadi lahan
penduduk.
Pada masa sekarang luas wilayah Desa Parakancanggah adalah
43,793 Ha/m2 yang merupakan daerah pertanian, dan sebagian besar
tanah pertanian yang ada adalah berupa tanah persawahan. Untuk tanah
pekarangan / bangunan seluas 47,508 Ha/m2 . Kemudian tanah tegalan /
Ha/m2 Secara umum kualifikasi tanah Desa Parakancanggah, terbagi
atas empat jenis penggunaannya, selengkapnya adalah sebagaimana
tersebut dalam tabel di bawah ini :
Tabel 2
Kualifikasi Tanah dan Penggunaan di Desa Parakancanggah Pada Bulan November 2015
Sumber: Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah tahun 2015.
Berdasarkan tabel di atas, menyatakan bahwa luas tanah di Desa
Parakancanggah sebagian besar digunakan untuk pekarangan atau
bangunan yang mencapai 47,508 Ha/m2.
1.3 Keadaan Sosial Desa Parakancanggah
1. Demografis
Keberhasilan suatu wilayah bisa ditentukan dengan faktor
jumlah penduduk, di mana jumlah penduduk seimbang dengan luas
wilayah maka pembangunan desa tersebut akan maju. Begitu pula
wilayah desa maka, proses pembangunan dan perkembangan suatu
desa juga akan terlambat. Jumlah penduduk di desa Parakancanggah
dari tahun 1990 sampai tahun 2015 terus bertambah, hal itu di
pengaruhi oleh semakin banyaknya pendatang baru dan lahirnya
keluarga baru. Namun pada tahun 1990 tidak di peroleh data terkait
jumlah penduduk, tetapi pada 2015 diperoleh data jumlah penduduk
dari hasil penelitian terhitung sejumlah 8.396 jiwa. Dengan perincian
jumlah penduduk laki-laki 4.224, jumlah penduduk perempuan
4.171 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 2.235 orang. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel penduduk dalam jenis kelamin dan
kelompok umur berikut :
Tabel 3
Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Desa Parakancanggah November 2015
No Jenis kelamin Jumlah Persentase (%)
1. Perempuan 4.171 jiwa 49,6 %
2. Laki-laki 4.224 jiwa 50,3 %
Jumlah 8.395 jiwa 99,9 %
Sumber: Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah tahun 2015.
Tabel 4
Jumlah Penduduk Desa Parakancanggah Dalam Kelompok Umur November 2015
No Umur Jumlah Persentase
(%)
1. 0-15 tahun 2.206 26,2 %
3. 65 ke-atas 322 3,8 %
Jumlah 8.395 98,1 %
Sumber : Arsip Kantor Kelurahan Desa Parakancanggah tahun 2015.
Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk tiap-tiap
kelompok umur kebanyakan dari mereka adalah usia dewasa dan lansia.
Kedua kelompok umur tersebut mempunyai jumlah yang cukup banyak,
dan tidak ada keseimbangan antara keduanya dengan angka usia
ketergantungan, yaitu pada kelompok usia 65 keatas (terendah). Berarti
pula bahwa keadaan penduduk desa tersebut termasuk dalam penduduk
usia anak-anak dan dewasa. Dari data penduduk dan luas wilayah Desa
Parakancanggah maka, dapat disimpulkan bahwa Desa Parakancanggah
termasuk daerah yang tidak padat penduduk.
2. Mata Pencaharian
Guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, penduduk desa
Parakancanggah mempunyai bermacam-macam mata pencaharian, baik
mata pencaharian pokok maupun mata pencaharian sampingan /
musiman. Penduduk Desa Parakancanggah mempunyai
bermacam-macam mata pencaharian untuk menopang kehidupan sehari-hari
diantaranya adalah pedagang, pegawai swasta, petani dan lain-lain.
Sebelum tahun 2015 mata pencaharian penduduk desa Parakancanggah
dominan pertanian, namun seiring perkembangan zaman, mata
pencaharian masyarakat beralih ke perdagangan. Seperti pada tahun
perdagangan. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada daftar tabel di
bawah ini :
Tabel 5
Jenis Mata Pencaharian Desa Parakancanggah pada bulan November 2015
No Mata Pencaharian Jumlah tenaga kerja
1. Karyawan (PNS, ABRI, Guru,
Sumber : Arsip Kantor Desa Parakancanggah tahun 2015
Dari data tabel tersebut di atas, diketahui bahwa mata pencaharian
penduduk Desa Parakancanggah sebagian besar adalah karyawan,
32,3%, tani 7%, pertukangan 2,2%, buruh tani 1,1%, pensiunan 4,8%,
nelayan 0,2%, pemulung 0,1%, jasa 2,8%, tabib 0,03%, seniman 0,1%.
Sehingga keadaan ekonomi masyarakat Desa Parakancanggah dengan
kehidupan yang sederhana namun mampu memenuhi kebutuhan pokok
mereka yaitu sandang, pangan dan papan.
3. Penganut Agama
Agama merupakan suatu kepercayaan yang dianut oleh setiap
individu manusia yang di dalam suatu agama terdapat aturan-aturan dan
pedoman hidup untuk menjalankan aktivitas dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Di Indonesia terdapat enam agama dan
kepercayaan yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat yaitu Islam,
Kristen, Khatolik, Budha, Hindu dan Konghuchu.
Dalam agama yang di anut, di Desa Parakancanggah sejak tahun 1990
sampai 2015 mayoritas memeluk agama Islam. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dalam tabel :
Tabel 6
Jumlah penganut agama di Desa Parakancanggah pada bulan November 2015
No Agama Jumlah Persentase (%)
1. Islam 8.307 98,9 %
2. Kristen 75 0,8 %
3. Katholik 9 0,1 %
4. Hindu 4 0,0 %
6. Konghuchu 0 0 %
Jumlah 8.395 98,1 %
Sumber : Arsip Kantor Kelurahan Desa Parakancanggah tahun 2015. Berdasarkan tabel di atas jumlah penduduk yang memeluk agama
Islam sebanyak 8.307 jiwa, agama Kristen 75, Katholik 9 jiwa, agama
Hindu 4 jiwa, agama Budha 0 jiwa, dan Konghuchu 0 jiwa. Banyaknya
penganut agama Islam tidak terlepas dari keberadaan pondok pesantren
Al-Fatah di desa Parakancanggah. Semakin besar masyarakat memeluk
agama Islam maka sarana penunjang peribadatan juga semakin
bertambah dan berkembang di dalam suatu desa. Begitu juga yang
terjadi di desa Parakancanggah yang mempunyai jumlah sarana
peribadatan yang cukup baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam
tabel berikut ini :
Tabel 7
Prasarana Keagamaan yang dimiliki di Desa Parakancanggah
No Prasarana Jumlah
1. Mushola 29
2. Masjid 5
3. Gereja 1
4. Pesantren 1
Jumlah 36
Sumber : Arsip Kantor Kelurahan Desa Parakancanggah tahun 2015
Dilihat dari segi penganut agama dan jumlah sarana ibadah yang
berjumlah 5 buah dan mushola 29 buah, jumlah gereja 1 buah,
pesantren 1 buah sehingga jumlah sarana peribadatan semuanya adalah
36. Berdasarkan pernyataan informan tempat ibadah ini selalu penuh
pada sholat wajib dan juga hari jumat. Hal ini dibuktikan dengan
dengan jumlah sarana dan prasarana peribadatan dan jumlah penduduk
yang ada sudah imbang.
Di samping itu juga adanya pembinaan bagi para mubaligh muda,
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama desa Parakancanggah
dilakukan secara rutin melalui pendidikan formal maupun non formal.
Yaitu berupa penanaman moral keagamaan disetiap sekolah-sekolah
pesantren maupun non pesantren.
4. Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Keadaan pendidikan di Desa Parakancanggah sangat baik
masyarakat Desa Parakancanggah sangat sadar akan pentingnya
pendidikan hal ini dibuktikan dengan cukup banyak yang tamatan
SMP, SMA, dan melanjutkan hingga Sarjana. Berikut ini data
masyarakat Desa Parakancanggah menurut tingkat pendidikannya
Tabel 8
Data Kependudukan dilihat dari tingkat pendidikannya pada bulan November 2015
No Pendidikan Jumlah
1. Taman kanak-kanak 2381 orang
2. SD 1886 orang
Sumber : Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah 2015
Untuk menunjang taraf pendidikan yang lebih baik maka, sehingga
di Desa Parakancanggah mempunyai beberapa sarana dan prasarana
pendidikan. Sarana yang dimiliki oleh desa Parakancanggah dapat
dilihat dari tabel berikut :
Tabel 9
Sarana Prasarana Pendidikan di Desa Parakancanggah
No Pendidikan Jumlah
1. PAUD 4
2. TK 3
3. SD 6
5. SMU 2
6. Perguruan tinggi 1
Jumlah 18
Sumber : Arsip Kantor Kelurahan desa Parakancanggah tahun 2015.
Berdasarkan dari jumlah sarana pendidikan yang tersedia maka,
kebanyakan dari masyarakat sekitar sudah dapat tertampung atau
memperoleh pendidikan dengan baik, tidak putus sekolah dan
kebanyakan dari mereka mengenyam pendidikan, bahkan sampai ke
jenjang yang lebih tinggi (sarjana).
B.Berdirinya Pondok Pesantren Al-Fatah
1. Letak Pondok Pesantren Al-Fatah
Pondok pesantren Al-Fatah desa Parakancanggah, Kecamatan
Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara, terletak di sebelah timur kota
Banjarnegara, yakni di Kelurahan Parakancanggah. Berdiri di atas tanah
seluas 5 ha, Pondok Pesantren ini terlerletak 112 km dari kota
Purwokerto. Jarak dari pusat pemerintahan ke kecamatan 1 Km. Letak
yang menghadap ke timur dan dikelilingi oleh rumah penduduk
menjadikan ponpes Al-Fatah memiliki letak yang yang strategis, di
samping keamanannya yang terjamin, juga letaknya tidak terlalu jauh
dengan jalan raya sehingga mudah untuk dijangkau oleh masyarakat
yang ingin menimba ilmu di pondok pesantren Al-Fatah ini. Demikian
suasana yang menghijau oleh suburnya tumbuh-tumbuhan yang ada di
sekitarnya, dan suasana yang tenang tidak terlalu dekat dengan jalan
raya dan tidak berdekatan dengan pusat keramaian desa sehingga lokasi
yang demikian itu baik untuk berlangsungnya proses pendidikan dan
pengajaran.
2. Latar Belakang Didirikannya Pondok Pesantren Al-Fatah
Sebelum membahas masalah didirikannya Pondok Pesantren
Al-Fatah Desa Parakancanggah Kecamatan Banjarnegara Kabupaten
Banjarnegara ada beberapa hal yang melatar belakangi proses
pembentukan hingga proses berdirinya pondok pesantren tersebut
dilihat dari berbagai segi yaitu historis, motivasi, ekonomi dan sosial.
a. Latar Belakang Historis
Pondok pesantren Al-Fatah terletak di Desa Parakancanggah.
Pondok ini awal berdirinya adalah sebuah Mushola di daerah Kebon
Sawo di pinggir jalan, dan pada saat itu tempat tersebut juga sering
dilewati para penjajah sehingga kemudian pindah ke Parakancanggah
sebelum dibangun Mushola sebagai tempat mengaji yang didirikan oleh
KH. Abdul Fatah. Kemudian mushola tersebut dimanfaatkan sebagai
pusat penyiaran agama Islam dan lambat laun jama'ahnya semakin
banyak. KH. Abdul Fatah pada tahun 1901 berinisiatif untuk
mendirikan pondok pesantren dan juga madrasah sebagai sarana untuk
lebih memperdalam ilmu agama Islam dan diberi nama Pondok
Pondok pesantren Al-Fatah sejak didirikannya telah mengalami
tiga zaman yaitu zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan
Jepang, dan zaman Republik Indonesia. Sejak awal berdirinya di Desa
Parakancanggah, pondok pesantren ini sudah mengembangkan dakwah
Islam Ahlussunnah dengan menitik beratkan pada kajian kitab kuning
sistem salaf guna mencetak generasi yang tafaqquh fiddin serta
pengembangan aqidah dan tasawuf : Toriqoh Naqsabandiyah
Kholidiyah. Pada saat itu santrinya juga masih sedikit tetapi berkat
ketekunan dan ketabahan kyai dalam mengasuh ponpes serta santrinya
dalam menimba ilmu di ponpes tersebut, para santrinya semakin
bertambah bahkan ada yang berasal dari luar Kabupaten Banjarnegara.
Hal tersebut menjadikan langkah awal K.H. Abdul Fatah semakin
bersemangat dalam menyiarkan agama Islam melalui Pondok Pesantren
Al-Fatah, / yang semakin lama semakin dikenal oleh masyarakat umum
dan banyak santri yang menimba ilmu di pondok pesantren tersebut
(Wawancara KH. Yahya, 18-4-2016).
b. Latar Belakang Motivasi
Dilihat dari latar belakang motivasi, pada pondok pesantren
Al-Fatah didirikan atas dasar dorongan dari diri pribadi K.H. Abdul Al-Fatah
untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam di daerah yang dipandang
belum dapat melaksanakan ajaran Islam dalam hal ini masih kurang
benar pemahaman keislamannya. Motivasi yang mendasari pendirian
kemudian K.H. Abdul Fatah diberikan tanah oleh orangtuanya
kemudian tanah tersebut digunakan untuk mendirikan masjid sebagai
pusat penyebaran agama Islam (Wawancara Hasan, 18-4-2016).
Dari situlah kemudian K.H. Abdul Fatah memanfaatkan masjid
tersebut sebagai media penyebaran dan pengajian agama Islam. Dengan
model dakwah yang halus, kegiatan pengajian itupun akhirnya
mendapat sambutan yang hangat dari para penduduk sekitar Desa
Parakancanggah. Karena berasal dari lingkungan keluarga pondok
pesantren, maka timbul niat K.H. Abdul Fatah untuk membanguan
sebuah asrama sebagai pemondokan bagi para santri yang khususnya
berasal dari luar Desa Parakancanggah. Untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang agama Islam K.H. Abdul Fatah
mendirikan pondok pesantren, sehingga berdirilah Pondok Pesantren
Al-Fatah. (Wawancara KH. Yahya, 18-4-2016).
c. Latar Belakang Sosial-Ekonomi
Setelah dijelaskan mengenai pondok pesantren Al-Fatah yang
berada di daerah pedesaan berdekatan dengan pusat perkotaan dan
sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan petani serta mayoritas
penduduknya beragama Islam. Dengan latar belakang dari masyarakat
Parakancanggah yang masih belum sepenuhnya mengerti tentang Islam
hanya sebatas tahu melalui keluarganya yang terdahulu sehingga
perlu adanya pembelajaran dan pemahaman keislaman melalui kajian
Islam berlandaskan hadist-hadist.
Dari hal itu maka, pihak yayasan mendirikan pondok pesantren,
dimana para petani dan pedagang maupun profesi lainnya juga bisa ikut
andil dalam pembangunan pondok pesantren. Dengan adanya pondok
pesantren di daerah Parakancanggah taraf kehidupan sosialnya juga ikut
terangkat dengan mulai dikenalnya dengan daerah yang syarat akan
nilai-nilai keislamannya jadi masyarakat luar yang mengenali desa
Parakancanggah pasti tahu bahwa mereka tinggal dilingkungan santri
lingkungan yang agamis. (Wawancara Wildan , 18-4-2016).
3. Proses Berdirinya Pondok Pesantren Al-Fatah
Asal-usul berdirinya pesantren di Indonesia, belum diketahui pasti,
kendati demikian dapat diketahui bahwa pada abad ke-15 Sunan Ampel
telah membangun lembaga pendidikan Islam yang lebih dikenal dengan
sebutan pesantren. Pada abad ke 15 terdapat pesantren di Jawa yang
didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim di Gresik pada tahun 1417
(Mahfudz, 1999 : 174). Kemudian pondok pesantren tersebut diikuti
pula oleh pondok pesantren Al-Fatah, adalah salah satu pondok
pesantren tertua dari sekian banyak pondok pesantren yang ada di
1. Kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Fatah dari Tahun 1901-1990.
Periode I (1901-1941), kepemimpinan pondok pesantren dipegang
langsung oleh pendiri pondok pesantren yaitu KH. Abdul Fatah, yang
telah merintis pondok pesantren sejak tahun 1901. Pada periode ini
pondok pesantren hanya memiliki 30 santri, gaya kepemimpinannya
identik dengan sikap karismatik KH. Abdul Fatah yang selalu
mengutamakan pembelajaran menggunakan sistem sorogan dan
bandongan. Pada saat kepemimpinannya sarana prasarana yang dimiliki
pondok nampaknya belum sepenuhnya sempurna layaknya sebuah
pondok pesantren pada umumnya, yaitu hanya ada bangunan mushola
dan tempat pondok saja. (Wawancara KH. Yahya 3-5-2016)
Jika santri ingin mengaji mereka menggunakan mushola sebagai
sarananya. Hal ini terjadi disebabkan karena selain kesibukan kyai
sebagai pengajar tunggal beliau pun masih harus melaksanakan
kewajiban sebagai kepala rumah tangga yang harus melaksanakan
kewajiban. Sehingga praktis periode awal ini baik mushola maupun
pondok pesantren yang berdiri sangat sederhana dan jauh dari layaknya
sebuah pondok. Hingga akhirnya beliau wafat pada tahun 1941 dan
kepemimpinannya digantikan oleh putra menantunya yaitu KH. Hasan
Fatah. (Wawancara KH. Yahya 3-5-2016)
Periode II (1941-1990). Sepeninggal KH. Abdul Fatah
kepemimpinan pondok pesantren digantikan oleh putranya yaitu KH.
posisi KH. Abdul Fatah karena kemahiran dalam tafsir Al-Quran. Pada
periode ini sistem yang digunakan masih sama dengan sistem yang
diterapkan oleh KH. Abdul Fatah namun jumlah santri hanya 27 sempat
berkurang karena pada saat itu sedang proses kemerdekaan Indonesia ,
dan juga berdampak pada pondok pesantren Al-Fatah, tetapi setelah itu
jumlah santri juga bertambah menjadi 50 santri. Dan sarana prasarana
mengalami kemajuan bangunannya tidak hanya mushola dan pondok
saja namun dengan bertambahnya ruang pengajian bagi santri dan juga
masing" ruangan terpisah antara santriwati dan santriwan. Sama halnya
dengan KH. Abdul Fatah sepeninggal KH. Hasan Fatah
kepemimpinannya pun digantikan oleh putranya. (Wawancara KH.
Yahya 3-5-2016)
Periode III (1990-2013), Sepeninggal KH. Hasan Fatah
kepemimpinan pondok pesantren digantikan oleh putranya yaitu KH.
Hasyim Hasan beliau adalah putra pertama dari 7 bersaudara yang
merupakan putra dari KH. Hasan Fatah. KH Hasyim Hasan dipercayai
sebagai pemimpin untuk menggantikan posisi KH. Hasan Fatah . Pada
periode ini perlahan-lahan bangunan pondok pesantren mulai ditata
dengan membangun dua asrama putra dan asrama putri serta
membangun masjid yang lebih baik lagi. Setelah KH. Hasih Hasan
wafat kemudian kepemimpinan di gantikan oleh KH. Muhammad Najib
hingga sekarang , dalam periode ini juga mengalami perkembangan
seperti mengecat ulang asrama putri. (Wawancara KH. Yahya
3-5-2016)
Pada periode 1901-1941 sistem pengajaran di pondok pesantren
Al-Fatah menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Sistem
pengajian sorogan merupakan proses belajar membaca dan menghafal
Al-Quran secara individual oleh para santri. Mereka membawa kitab
kuning kehadapan Kyai, kemudian santri itu disuruh membaca isi dari
kitab tersebut dan tidak terlepas dari pengawasan kyai. Apabila sudah
baik dan benar dalam penghafalan Al-Quran, kemudian kyai
memberikan penjelasan mengenai keterangan terjemahan serta tafsir
agar santri lebih tahu lagi apa isi dan makna yang terkandung dalam
kitab kuning yang dibacanya. Metode tersebut digunakan oleh KH.
Abdul Fatah pada awal pendirian pondok pesantren cara ini dilakukan
agar Kyai dapat mengenal karakter dan kemampuan yang dimiliki para
santrinya, sehingga dengan metode ini santri lebih leluasa menanyakan
apa yang belum mereka pahami secara langsung. (Wawancara Atabik
Hasan Makruf, 3-5-2016).
2. Sistem Pengajaran
Sedangkan sistem pengajaran bandongan dilakukan untuk
mengukur tingkat kemampuan santri, sehingga Kyai dapat
mengelompokkan masing-masing santrinya berdasarkan tingkat
kemampuan yang dimiliki oleh santrinya tersebut. Sistem bandongan
Kyai membacakan kitab kuning dengan dikelilingi oleh para santri
kemudian para santri juga dengan membawa kitab yang sama mereka
mendengarkan dan menyimak apa yang dibacakan oleh Kyai kemudian
santri mencatat keterangan dari tiap lembar kitab yang dibacakan oleh
Kyai pada suatu kertas / buku tertentu yang khusus digunakan untuk
proses pembelajaran. Sistem bandongan ini lebih menekankan pada
peranan dari seorang kyai. (Wawancara, Wildan, 3-5-2016).
Seiring perkembangan zaman metode sorogan dan bandongan ini
mulai di tambah dengan metode klasikal / madrasah. Latar belakangnya
karena pada saat itu juga santrinya sudah mulai bertambah. Dengan
menerapkan sistem madrasah pada pengajarannya dituntut tidak hanya
didapat dalam pondok pesantren saja akan tetapi santri bisa
mendapatkan pengetahuan umum di luar dari pengetahuan keislaman.
Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya program pendidikan
madrasah sekarang setara dengan MTS dan MA. Kemudian dibangun
juga MI sebagai sarana tambahan dalam pondok pesantren. Dari hal itu,
maka sistem penyebarannya lama-kelamaan akhirnya mengalami
perkembangan oleh masyarakat sekitar dari masa ke masa begitu pula
C. Keberadaan Pondok Pesantren Al-Fatah pada masa Penjajahan
hingga Kemerdekaan
1. Masa Penjajahan Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda perkembangan pondok pesantren
mengalami pasang surut. Hal ini tidak terlepas dari adanya
kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang dirasa cukup menghalangi
perkembangan pondok pesantren (Dhofier, 1985 : 38). Di antara
kebijakan-kebijakan tersebut antara lain :
a. Pada tahun 1882 pemerintah Hindia-Belanda mendirikan
Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi
kehidupan beragama dan pendidikan pesantren.
b. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan ordonansi tahun 1905
yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan
mengajar harus mendapat izin dari pemerintah setempat.
c. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang
membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji.
d. Akhirnya, pada tahun1932 diberlakukan peraturan dikeluarkan
yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah
yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang
tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier, 1985 : 41).
Akibat dari penjajahan pemerintah kolonial Belanda kondisi
pondok dan madrasah mengalami kemunduran tak banyak santri yang
penyebabnya adalah pemerintah kolonial Belanda membuka
sekolah-sekolah umum secara besar-besaran dengan kurikulum yang menarik
dan jaminan lapanganan kerja yang menggiurkan setelah mereka lulus.
Agar tidak oleh adanya persaingan tidak sehat ini, pengelola pondok
dan madrasah membentuk Tim Penyusun Rencana / Program
Pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan derajat Madrasah agar
bisa sejajar dengan HIS dalam mata pelajaran umum dengan bahasa
pengantranya adalah bahasa Belanda. Rencana itupun akhirnya tersusun
dengan rancangan biaya yang diperlukan sebanyak 10.000 gulden.
Dana sebanyak itu direncanakan untuk pembiayaan sarana dan
prasarana Madrasah dan proposal ini semula akan diajukan kepada
pemerintah kolonial Belanda.
Namun, rencana tersebut gagal untuk direalisasikan karena pada
tahun 1926 PKI sedang gencar-gencarnya melaksanakan aksi
pembangkangan dan pemberontakan. Sekalipun aksi PKI ini, hanya
berjalan selama satu hingga dua hari akan tetapi dampak dari peristiwa
tersebut sangat luar biasa dirasakan oleh masyarakat Desa
Parakancanggah khususnya umat Islam. Dan akhirnya hal tersebut
membuat pemerintah Belanda bersikap keras terhadap seluruh
organisasi-organisasi pergerakan, termasuk pada syarekat Islam.
2. Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan jepang di Indonesia saat itu, pondok
pesantren Al-fatah di asuh oleh KH. Hasan Fatah. Setelah menduduki
Indonesia pada tahun 1942, Pemerintah Jepang sebenarnya lebih
banyak memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk
mengenyam pendidikan seluas -luasnya. Bahkan Jepang mulai
menghapus bahasa pengantar Belanda yang masih di pakai di
sekolah-sekolah umum dan digantikan dengan bahasa Indonesia. Selain itu
Jepang juga memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi umat Islam
untuk menunaikan ibadah haji tanpa adanya batasan kuota. Tidak hanya
itu saja Jepang pun mendirikan sebuah partai politik khusus bagi umat
Islam bernama Masyumi. Akan tetapi dari semua itu hanyalah taktik
dan cara Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia dengan
banyaknya rakyat Indonesia yang bersedia bersekolah, maka makin
mudah Jepang untuk melakukan penyebarluasan kampanye yang
diinginkan Jepang melalui Sekolah dan Madrasah.
Dampak yang dirasakan oleh Pondok Pesantren Al-Fatah itu
sendiri, pimpinan Pondok Pesantren Al-Fatah sudah mengalami
pergantian kepemimpinan atau sudah generasi kedua yaitu masa
kepemipinan KH. Hasan Fatah. Otomatis cara berfikir serta meyikapi
suatu permasalahan yang ada sudah agak berbeda, tetapi hal itu juga
tidak jauh beda dengan masa kepemimpinan KH. Abdul Fatah.
Setelah Jepang masuk ke Indonesia khususnya Desa
Parakancanggah kondisi pondok semakin sepi serta santri pun
mengalami penurunan. Keadaan ini, pada masa penjajahan Jepang
berlangsung hingga peristiwa 17 Agustus 1945.
3. Masa Kemerdekaan
Banyak para mantan maupun murid pesantren Al-Fatah yang ikut
serta bergabung dalam laskar pejuang Sabilillah dan Hisbullah,. Salah
satu dari mereka adalah KH. Ridho Fatah merupakan tokoh penggerak
bagi murid-murid yang ingin bergabung dalam laskar pejuang Sabilillah
dan Hisbullah. Maka, dengan bermodal senjata rampasan pelucutan
senjata Jepang, maka ikut mempertahankan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Beberapa dari mereka harus gugur saat menghadapi tentara
sekutu dan Belanda, yang berisikeras melarang senjata-senjata Jepang
jatuh ke tangan rakyat Indonesia.(Wawancara Atabik Hasan Makruf,
3-5-2016).
Pendidikan pesantren di Indonesia menghadapi tantangan pada
masa kemerdekaan. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949,
pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah
umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam
administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah
umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan
pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini
pendidikan pesantren menurun dibanding dengan anak-anak muda yang
ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas.
Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab
santrinya kurang cukup banyak (Yunus, Muhammad 1995 : 411).
Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar
sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama
Jawa Barat, Jawa tengah, kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi
Selatan. Setelah Sekarmadji ditanggakp oleh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam
tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai
gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul
Islam / Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan
secara diam-diam. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh
Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudh
Abdurrahman (Kyai Sumolangu).
Pada saat itu Pondok Pesantren Al-Fatah juga ikut serta dalam
pemberontakan tersebut yaitu KH. Hasan Fatah ikut bergabung dalam
AUI yang berlokasi di Somalayu, Kebumen. Waktu itu AUI sudah
melakukan pemberontakan kepada Belanda. Beliau menjadi prajurit di
AUI selama satu tahun. Berada pada waktu itu masyarakat Indonesia
memberontak Belanda yang bersenjata bambu runcing, sedangkan
beliau menggunakan tasbih. Pada waktu itu, Belanda kesulitan mencari
sehingga santri diungsikan ke daerah wonosobo. setelah keadaan
pondok mulai aman kemudian santri balik lagi ke Parakancanggah