• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - MIRA YANITA WERDININGDYAH BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - MIRA YANITA WERDININGDYAH BAB II"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kualitas Lahan

(2)

(performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan. Kualitas

lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan tetapi

pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan (FAO,1976 dalam

Ritung, 2007).

Terdapat empat kelompok kualitas lahan utama yaitu : (a) Kualitas lahan

ekologis yang berhubungan dengan kebutuhan tumbuhan seperti ketersediaan

air, oksigen, unsur hara dan radiasi (b) Kualitas yang berhubungan dengan

kualitas pengelolaan normal, seperti kemungkinan untuk mekanisme pertanian

(c) Kualitas yang berhubungan dengan kemungkinan perubahan, seperti respon

tehadap pemupukan, kemungkinan untuk irigasi dan lain-lain (d) Kualitas

konservasi yang berhubungan dengan erosi (Umar, 2012).

2.2 Karakteristik Lahan

Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi.

Contoh kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, kapasitas air tersedia,

kedalaman efektif dan sebagainya (Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,

1993 hal : 6).

Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di

lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan

(3)

kaitannya untuk keperluan evaluasi lahan dapat dikelompokan ke dalam 3 faktor

utama, yaitu topografi, tanah dan iklim.

2.3 Bentuklahan

Menurut Sukmantalya, 1995 dalam I Gede Sugiyanta,2002 hal:1,

Bentuklahan adalah suatu kenampakan medan yang terbentuk oleh proses

alami yang memiliki komposisi tertentu dan karakteristik fisikal dan visual

dengan julat tertentu yang terjadi dimanapun bentuklahan tersebut terdapat.

Berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Van Zuidam dan Verstappen

(1969) adalah sebagai berikut.

1. Bentuklahan asal struktural (S)

Bentuklahanstruktural terbentuk karena adanya proses endogen atau

proses tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan pergeseran. Gaya

(tektonik) ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir

semua bentuklahan muka bumi ini dibentuk oleh kontrol struktural.

Bentuklahan asal struktural adalah sebagai berikut.

a. Pegunungan blok sesar (simbol : S1)

b. Gawir sesar (simbol : S2)

c. Pegunungan antiklinal (simbol : S3)

d. Perbukitan antiklinal (simbol : S4)

e. Perbukitan atau pegunungan sinklinal (simbol : S5)

f. Pegunungan monoklinal (simbol : S6)

g. Pegunungan atau perbukitan kubah (simbol : S7)

h. Pegunungan atau perbukitan plato (simbol : S8)

(4)

j. Hogback atau Cuesta (simbol : S10) 2. Bentuklahan asal denudasional (D)

Proses denudasional (penelanjangan) merupakan kesatuan dari proses

pelapukan gerakan tanah erosi dan kemudian diakhiri proses pengendapan.

Semua proses pada batuan baik secara fisik maupun kimia dan biologi sehingga

batuan menjadi desintegrasi dan dekomposisi. Batuan yang lapuk menjadi soil

yang berupa fragmen, kemudian oleh aktifitas erosi soil dan abrasi, tersangkut

ke daerah yang lebih landai menuju lereng yang kemudian terendapkan.

Pada bentuklahan asal denudasional, maka perameter utamanya adalah

erosi atau tingkat. Derajat erosi ditentukan oleh : jenis batuannya, vegetasi, dan

relief. Bentuklahan asal denudasional adalah sebagai berikut.

a. Pegunungan terkikis (simbol :D1)

b. Perbukitan terkikis (simbol : D2)

c. Bukit sisa (simbol : D3)

d. Perbukitan terisolir (simbol : D4)

e. Dataran nyaris (simbol : D5)

f. Kaki lereng (simbol : D6)

g. Kipas rombakan lereng (simbol : D7)

h. Gawir (simbol : D8)

i. Lahan perusak (simbol : D9)

3. Bentuklahan asal gunungapi/vulkanik (V)

Vulkanisme adalah berbagai feomena yang berkaitan dengan gerakan

(5)

berbagai bentuklahan yang secara umum disebut bentuklahan gunungapi atau

vulkanik. Bentuklahan asal gunungapi adalah sebagai berikut.

a. Kepundan (simbol : V1)

b. Kerucut gunungapi (simbol : V2)

c. Lereng gunungapi (simbol : V3)

d. Kaki gunungapi (simbol : V4)

e. Dataran kaki gunungapi (simbol : V5)

f. Dataran kaki fluvio guungapi (simbol : V6)

g. Padang lava (simbol : V7)

h. Lelehan lava (simbol : V8)

i. Aliran lahar (simbol : V9)

j. Dataran antar gunungapi (simbol : V10)

k. Leher gunungapi (simbol : V11)

l. Boca (simbol : V12)

m. Kerucut parasiter (simbol : V13)

4. Bentuklahan asal fluvial (F)

Bentuklahan asal proses fluvial terbentuk akibat aktivitas aliran sungai

yang berupa pengikisan, pengangkutan dan pengendapan (sedimentasi)

membentuk bentukan-bentukan deposisional yang berupa bentangan dataran

aluvial (Fda) dan bentukan lain dengan struktur horizontal, tersusun oleh material

sedimen berbutir halus. Bentuklahan asal fluvial adalah sebagai berikut.

a. Dataran fluvial (simbol : F1)

b. Rawa, danau, rawa belakang (simbol : F2)

(6)

d. Tanggul alam (simbol : F4)

e. Teras sungai (simbol : F5)

f. Kipas alluvial (simbol : F6)

g. Gosong (simbol : F7)

h. Delta (simbol : F8)

i. Dataran delta (simbol : F9)

5. Bentuklahan asal pelarutan (K)

Bentuklahan karst dihasilkan oleh proses pelarutan pada batuan yang

mudah larut. Karst adalah suatu kawasan yang mempunyai karakteristik relief

dan drainase yang khas, yang disebabkan keterlarutan batuannya yang tinggi.

Dengan demikian Karst tidak selalu pada batu gamping, meskipun hampir semua

topografi karst tersusun oleh batu gamping. Bentuklahan asal pelarutan adalah

sebagai berikut.

a. Dataran karst (simbol : K1)

b. Kubah karst (simbol : K2)

c. Lereng perbukitan (simbol : K3)

d. Perbukitan sisa karst (simbol : K4)

e. Uvala atau polye (simbol : K6) f. Ledok Karst (simbol : K6) g. Dolina (simbol : K7)

2.4 Kriteria Kesesuaian Lahan Permukiman

Kriteria kesesuaian tanah/lahan untuk bangunan perumahan (tempat

tinggal) yang berupa bangunan gedung dengan beban tidak lebih dari tiga lantai,

(7)

penunjang permukiman menurut Hardjowigeno (1988) meliputi drainase, air

tanah musiman, pereabilitas tanah, perkolasi, kedalaman air tanah, banjir,

lereng, potensi mengembang mengkerut tanah, besar butir tanah, batuan kecil,

batuan besar, dan dalamnya hamparan batu.(USDA,1971 dalam

Hardjowigeno,1988 dalam Sriyanto,2007 hal: 57

Tabel 2.1 Kriteria Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan Untuk Permukiman

No Kualitas

Lahan Permukiman

Kode S1 S2 S3 N1 N2

A Kekasaran

Medan 1 Kemiringan

Lereng

L 0-8 % >8-25% >25-40% >40%-45% > 45%

B Kondisi

Tanah 2 Kembang

Kerut Tanah

R <0,001-0,03 0,031-0,060 0,061-0,090 0,091- 0,12 > 0,12

3 Tekstur T GW,GP,

SP,GM

GC,SM, SC, CL

ML,CL CH,MG OL,OH

C Kondisi

Batuan 4 Batuan

Permukaan

BP 0-20% 21-40% 41-60% 61-80% >80%

D Pengatusan

Medan

5 Drainase D Baik Agak

Baik Agak Baik (Permanen) Tidak Teratur (Jelek) Tidak Teratur (Jelek) 6 Kedalaman

Air Tanah

W <15m 15-<25m

25-<50m >50m >75m

E Bahaya

Alam 7 Bahaya

Erosi

E Tidak

Ada

<25% Erosi

>75% Erosi

Erosi Berat Erosi Berat 8 Bahaya

Longsor

G Tidak

Ada

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 9 Bahaya

Banjir

B Tidak

(8)

Kesesuaian Lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk

suatu penggunaan tertentu.Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007),

kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan

(jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu. Menurut Sitorus, kesesuaian

lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu

penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu areal dapat berbeda tergantung

daripada tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan (Sitorus, 1985).

Penggunaan lahan termasuk dalam komponen sosial budaya karena

penggunaan lahan mencerminkan hasil kegiatan manusia atas lahan serta

statusnya (Bakosurtanal, 2007).

Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi.

Karakteristik lahan yang digunakan pada penyusunan evaluasi lahan adalah:

1. Temperatur udara

2. Curah hujan

3. Kelembaban udara

4. Drainase tanah

5. Tekstur tanah

6. Kedalaman efektif tanah

7. KTK liat

8. Keasaman tanah (pH)

9. C-organik

10. Lereng

11. Bahaya erosi

(9)

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk pelaksanaan

klasifikasi kesesuaian lahan, misalnya metode FAO (Food and Agriculture Organization) (1976) yang dikembangkan di Indonesia oleh Puslittanak (1993), metode Plantgro yang digunakan dalam penyusunan Rencana Induk Nasional

HTI (Hacket,1991 dan National Masterplan Forest Plantation/NMFP, 1994) dan metode Webb (1984).

Tabel 2.2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Tinggal

Sifat Tanah

Kesesuaian Lahan

Baik Sedang Buruk

Drainase Dengan ruang di bawah tanah

baik sampai

sangat baik

Sedang Agak jelek sampai

sangat jelek

Tanpa ruang bawah tanah

Sedang sampai

sangat cepat

Agak buruk Jelek sampai

sangat jelek

Air tanah

musiman (1 bulan

atau lebih)

Dengan ruang bawah tanah

(10)

> 150 cm < 75 cm

Tanpa ruang bawah tanah

> 75 cm

> 50 cm -<75cm

< 50 cm

Banjir Tanpa Tanpa Jarang

Lereng 0-8 % 8-15 %

> 15 %

Potensi

mengembang

mengkerut

Rendah Sedang

Tinggi

Besar butir

GW, GP, SP, GM,

GC, SM, SC,CL

dengan Pl < 15

ML, CL, dengan Pl

≥ 15

CH, MG, OL,

OH

Batu Kecil Tanpa-sedikit Sedang

Agak banyak-

sangat banyak

Batu Besar

(batuan)

Tanpa Sedikit

Sedang-sangat

banyak

Dalamnya

hamparan batu

Tanpa ruang bawah tanah

> 150 cm

100-150 cm

< 100 cm

Dengan ruang bawah tanah

(11)

> 100 cm 50-100 cm

Sumber: Sarwono Hardjowigeno, Tahun 1988 hal : 18

Keterangan:

PI= Indeks Plastisitas; GW= Gravel GP= Gravel; SP= Pasir; SM= Pasir

berlempung; CL= Liat , ML= Lempung, CH:= Liat berdebu; MG=

Lempung.

2.5 Rawan Longsor

Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap

tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar

Rp 800 Miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta. Daerah yang

memiliki rawan longsor diantaranya adalah Jawa Tengah 327 lokasi, Jawa

Barat 276 lokasi, Sumatera Barat 100 lokasi, Sumatera Utara 50 lokasi,

Yogyakarta 30 lokasi, Kalimantan Barat 23 lokasi, dan sisanya tersebar di

wilayah NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali dan Jawa Timur (Nandi,2007

hal : 23)

Tabel 2.3 Kriteria Kelas Kerawanan Longsor

No

Kelas Kerawanan

Kriteria

1

Tidak Rawan

a. Jarang atau tidak pernah longsor alam atau baru,kecuali sekitar tebing sungai.

b. Topografi datar hingga landai bergelombang c. Lereng <15%

(12)

2

Rawan

a. Jarang terjadi longsor kecuali bila leregnya terganggu.

b. Topografi landai hingga terjal

c. Lereng berkisar antara 5-15% dan <=70%

d. Vegetasi penutup antara kurang hingga amat rapat

e. Batuan penyusun lereng umumnya lapuk tebal

3

Sangat Rawan

a. Dapat dan sering terjadi longsor b. Longsor lama dan baru aktif terjadi c. Curah hujan tinggi

d. Topografi landai hingga sangat curam e. Lereng 5-15% dan>=70%

f. Vegetasi penutup antara kurang dan sangat kurang

g. Batuan penyusun lereng lapuk tebal dan rapuh

Sumber:Sugalang dan Siagian 1991 dalam Habib Subagio,2008 hal : 03

2.6 Landasan Teori

Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang

lahan untuk suatu penggunaan tertentu.Kelas kesesuaian suatu areal dapat

berbeda tergantung daripada tipe penggunaan lahan yang sedang

dipertimbangkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka ,2007)

(13)

keragaan

(performance)yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi

penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik

lahan. Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung

di lapangan tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik

lahan (FAO,1976 dalam Ritung, 2007).

Menurut UU No 04 1992, permukiman adalah bagian dari lingkungan

hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun

pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan

hunian dan tempat krgiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Permukiman menempati areal paling luas dalam penataan ruang

dibandingkan peruntukan lainnya. Sesudah manusia terpenuhi kebutuhan

jasmaninya, yaitu sandang, pangan, dan kesehatan, kebutuhan akan rumah atau

tempat tinggal merupakan salah satu motivasi untuk pengembangan kehidupan

yang lebih tinggi lagi. Tempat tinggal pada dasarnya merupakan wadah bagi

manusia atau keluarga dalam melangsungkan kehidupannya.Peran tempat

tinggal bagi berlangsungnya kehidupan yang dinamis sangatlah mutlak karena

tempat tinggal bukan lagi sekedar tempat untuk bernaung, tetapi juga

merupakan tempat untuk melindungi diri dari kondisi alam yang tidak

selamanya menguntungkan (Bintarto dalam Firman Laiko, 2010).

Membuat perencanaan suatu permukiman dibutuhkan berbagai

pengkajian, tidak hanya terhadap faktor-faktor fisik saja, akan tetapi

mempertimbangkan faktor manusianya sebagai pelaku kehidupan yang utama.

Karena esensi permukiman meliputi manusia serta wadahnya (tempat) maka

(14)

permukiman dengan manusia, yang saling mempengaruhi keberadaannya satu

dengan yang lainnya (Cristady,2006).

(15)

2.7 Penelitian Sebelumnya

Hariyanto dan Erni, 2009 dalam penelitiannya yang berjudul

“Preferensi Permukiman dan Antisipasi Penduduk yang tinggaldi Daerah Rawan

Longsor di Kota Semarang” tujuan penelitian ini adalah mengetahui motivasi /

alasan penduduk memilih tempat tinggal di daerah rawan longsor di kota

Semarang. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif.

Sisri Elfia, dkk, 2006 dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluasi

Tingkat Bahaya Longsor Terhadap Lahan Permukiman di Gunung Padang Kota

Padang Sumatera Barat” tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat bahaya

longsor lahan terhadap permukiman di Gunung Padang Kota Padang Sumatera

Barat.Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Dewi Liesnoor Setyowati, 2007 dalam penelitiannya yang berjudul

“Kajian Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman dengan Teknik Informasi

Geografis (SIG)” tujuan penelitian ini adalah Mengevaluasi kesesuaian lahan

untuk permukiman di kota Semarang dengan menerapkan teknologi Informasi

Geografis. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif dengan teknik analisis perbandingan (matching).

Untuk memperjelas perbandingan penelitian sebelumnya dengan

penelitian yang dilakukan peneliti dapat dilihat tabel perbandingan penelitian

sebagai berikut :

Tabel 2.4. Daftar Perbandingan Antar Penelitian

(16)

Penelitian

1. Hariyanto dan Erni Suharini, UNNES, 2009. Preferensi Permukiman dan Antisipasi Penduduk yang Tinggal di Daerah Rawan

Longsor di Kota

Semarang

Mengetahui

Motivasi/ alasan

penduduk

memilih

tempat

tinggal di daerah

rawan longsor di

Kota Semarang

Deskriptif

Kualitatif

2.

Sisri Elfia, Erna Juita, Leni Zahara, STKIP PGRI Sumatera Barat, 2006.

Evaluasi Tingkat

Bahaya Longsor

Terhadap Lahan

Permukiman di

Gunung Padang

Kota Padang

Sumatera Barat.

Mengetahui

tingkat

bahaya

longsor

lahan

terhadap

permukiman

di

Gunung

Padang

Kota

Padang

Sumatera Barat

Deskriptif

Kualitatif

3.

Dewi Liesnoor Setyowati,

UNNES, 2007

Kajian Evaluasi

Kesesuaian

Lahan

Permukiman

dengan Teknik

Informasi

Mengevaluasi

kesesuaian lahan

untuk

permukiman

di

kota

Semarang

dengan

menerapkan

teknologi

Informasi

Geografis

Deskriptif Kualitatif

dengan Teknik

Analisis

Perbandingan

(17)

Geografis (SIG).

4.

Mira Yanita Werdiningdyah, UMP, 2013.

Kesesuaian

Lahan untuk

Permukiman

pada Wilayah

Rawan

Longsorlahan di

Kecamatan

Pekuncen

Kabupaten

Banyumas.

Mengetahui

kesesuaian lahan

untuk

permukiman pada

wilayah

rawan

longsorlahan

di

kecamatan

Pekuncen

Kabupaten

Banyumas

Deskriptif

Kualitatif

Tabel Lanjutan

(18)

2.8 Kerangka Pikir

Kondisi fisik Kecamatan Pekuncen pada umumnya terdiri dari wilayah

perbukitan dengan berbagai variatif penggunaan lahan. Lahan merupakan suatu

wilayah permukaan bumi, mencakup semua kompoen biosfer yang dianggap tetap

atau bersifat siklis yang berada pada di atas dan di bawah wilayah tersebut,

termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan, dan hewan,

serta segala segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia baik dimasa

lampau maupun masa sekarang yang kesemuanya berpengaruh pada terhadap

penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang maupun di masa yang akan

datang.

Semakin bertambahnya penduduk, semakin bertambah pula kebutuhan

untuk mendirikan permukiman yang menyebar di daerah rawan longsorlahan

Kecamatan Pekuncen. Dengan bertambahnya permukiman di daerah tersebut

membuat wilayah yang sebenarnya termasuk wilayah rawan longsor kelas rendah

sampai kelas sedang memiliki resiko tinggi karena pembangunan permukiman yang

kurang memperhatikan kualitas lahan dan karakteristik lahan serta kurang

memenuhi syarat pendirian permukiman.

Untuk mengurangi resiko tersebut perlu diadakan evaluasi kesesuaian lahan

pada suatu wilayah untuk permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

kesesuaian lahan untuk permukiman pada wilayah rawan longsorlahan di

Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas. Hasil dari evaluasi lahan tersebut akan

(19)

penggunaannya serta tindakan-tindakan pengelolaan yang diperlukan agar dapat

dipergunakan secara lestari sesuai dengan hambatan dan pembatas yang ada.

Kesesuaian lahan dipengaruhi oleh sifat fisik tanah, sifat kimia tanah,

topografi, serta ketinggian tempat. Untuk kesesuaian lahan permukiman harus

diketahui syarat drainase, kondisi air tanah, banjir, lereng, erosi, potensi

megembang mengkerut, besar butir,batuan permukaan.

Pengamatan dan pengukuran di lapangan serta dilengkapi data sampel tanah

dengan analisis laboratorium dilakukan untuk memperoleh data tentang sifat tanah

pada setiap satuan lahan. Sehingga dengan data yang diperoleh tersebut maka

dapat diketahui karakteristik dan kualitas lahan pada masing-masing satuan lahan.

Pada satuan lahan tertentu harus dilakukan pencocokan antara kesesuaian

lahan dengan persyaratan tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman sehingga

akan didapatkan kelas kesesuaian lahan untuk permukiman yang dianalisis bersama

peta rawan longsorlahan dan dihasilkan peta kesesuaian lahan untuk permukiman

di Kecamatan Pekuncen.

Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat dirumuskan kerangka pikir

pada gambar berikut.

Gambar 1. Kerangka Pikir

(20)

2.10 Hipotesis

Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka hipotesisnya adalah sebagian

besar wilayah pada daerah penelitian > 50 % tidak sesuai untuk permukiman.

Kualitas Lahan

Persyaratan / Kriteria

Lahan Untuk Permukiman

Kelas Kesesuaian Lahan

Untuk Permukiman

Kerawanan Longsorlahan

Kecamatan Pekuncen

Peta Kesesuaian Lahan Untuk

Permukiman Kecamatan Pekuncen

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan Untuk Permukiman
Tabel 2.2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Tinggal
Tabel 2.3 Kriteria Kelas Kerawanan Longsor
Tabel 2.4. Daftar Perbandingan Antar Penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

CPL 1 Mampu menerapkan matematika, sains, dan prinsip rekayasa (engineering principles) untuk menyelesaikan masalah rekayasa kompleks pada proses, sistem pemrosesan,

Hati-hati menggunakan perintah ini apabila anda login sebagai root, karena root dengan mudah dapat menghapus seluruh file pada sistem dengan perintah di atas, tidak ada

Dari hasil analisis leksikon dan korpus melalui lexcor yang mempunyai kesatuan makna, bahasa DN yang terdapat dalam teks legenda mempunyai struktur semantis yang dapat

Sepanjang pernikahan komunikasi yang terjalin dengan kelima komponen tersebut akan membuat anak-anak yang patuh pada orang tua sekalipun dalam pernikahan beda budaya

Sebagai contoh, kalau massa pelajar sebuah sekolah, misalnya sekolah X, sedang saling lempar batu dan mengayun kelewang dengan massa sekolah yang lain, misalnya sekolah Y, dan

Pada penelitian ini profil yang digunakan yaitu profil I kompak simetris ganda terhadap sumbu kuat, baja profil I menggunakan produk dari PT Krakatau Wajatama dibawah

sistem yang digunakan dinamakan sistem pendukung bagi eksekutif (ESS) atau seringkali disebut dengan Sistem Informasi Eksekutif (EIS), yaitu sistem informasi yang disajikan