BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kualitas Lahan
(performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan. Kualitas
lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan tetapi
pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan (FAO,1976 dalam
Ritung, 2007).
Terdapat empat kelompok kualitas lahan utama yaitu : (a) Kualitas lahan
ekologis yang berhubungan dengan kebutuhan tumbuhan seperti ketersediaan
air, oksigen, unsur hara dan radiasi (b) Kualitas yang berhubungan dengan
kualitas pengelolaan normal, seperti kemungkinan untuk mekanisme pertanian
(c) Kualitas yang berhubungan dengan kemungkinan perubahan, seperti respon
tehadap pemupukan, kemungkinan untuk irigasi dan lain-lain (d) Kualitas
konservasi yang berhubungan dengan erosi (Umar, 2012).
2.2 Karakteristik Lahan
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi.
Contoh kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, kapasitas air tersedia,
kedalaman efektif dan sebagainya (Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
1993 hal : 6).
Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di
lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan
kaitannya untuk keperluan evaluasi lahan dapat dikelompokan ke dalam 3 faktor
utama, yaitu topografi, tanah dan iklim.
2.3 Bentuklahan
Menurut Sukmantalya, 1995 dalam I Gede Sugiyanta,2002 hal:1,
Bentuklahan adalah suatu kenampakan medan yang terbentuk oleh proses
alami yang memiliki komposisi tertentu dan karakteristik fisikal dan visual
dengan julat tertentu yang terjadi dimanapun bentuklahan tersebut terdapat.
Berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Van Zuidam dan Verstappen
(1969) adalah sebagai berikut.
1. Bentuklahan asal struktural (S)
Bentuklahanstruktural terbentuk karena adanya proses endogen atau
proses tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan pergeseran. Gaya
(tektonik) ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir
semua bentuklahan muka bumi ini dibentuk oleh kontrol struktural.
Bentuklahan asal struktural adalah sebagai berikut.
a. Pegunungan blok sesar (simbol : S1)
b. Gawir sesar (simbol : S2)
c. Pegunungan antiklinal (simbol : S3)
d. Perbukitan antiklinal (simbol : S4)
e. Perbukitan atau pegunungan sinklinal (simbol : S5)
f. Pegunungan monoklinal (simbol : S6)
g. Pegunungan atau perbukitan kubah (simbol : S7)
h. Pegunungan atau perbukitan plato (simbol : S8)
j. Hogback atau Cuesta (simbol : S10) 2. Bentuklahan asal denudasional (D)
Proses denudasional (penelanjangan) merupakan kesatuan dari proses
pelapukan gerakan tanah erosi dan kemudian diakhiri proses pengendapan.
Semua proses pada batuan baik secara fisik maupun kimia dan biologi sehingga
batuan menjadi desintegrasi dan dekomposisi. Batuan yang lapuk menjadi soil
yang berupa fragmen, kemudian oleh aktifitas erosi soil dan abrasi, tersangkut
ke daerah yang lebih landai menuju lereng yang kemudian terendapkan.
Pada bentuklahan asal denudasional, maka perameter utamanya adalah
erosi atau tingkat. Derajat erosi ditentukan oleh : jenis batuannya, vegetasi, dan
relief. Bentuklahan asal denudasional adalah sebagai berikut.
a. Pegunungan terkikis (simbol :D1)
b. Perbukitan terkikis (simbol : D2)
c. Bukit sisa (simbol : D3)
d. Perbukitan terisolir (simbol : D4)
e. Dataran nyaris (simbol : D5)
f. Kaki lereng (simbol : D6)
g. Kipas rombakan lereng (simbol : D7)
h. Gawir (simbol : D8)
i. Lahan perusak (simbol : D9)
3. Bentuklahan asal gunungapi/vulkanik (V)
Vulkanisme adalah berbagai feomena yang berkaitan dengan gerakan
berbagai bentuklahan yang secara umum disebut bentuklahan gunungapi atau
vulkanik. Bentuklahan asal gunungapi adalah sebagai berikut.
a. Kepundan (simbol : V1)
b. Kerucut gunungapi (simbol : V2)
c. Lereng gunungapi (simbol : V3)
d. Kaki gunungapi (simbol : V4)
e. Dataran kaki gunungapi (simbol : V5)
f. Dataran kaki fluvio guungapi (simbol : V6)
g. Padang lava (simbol : V7)
h. Lelehan lava (simbol : V8)
i. Aliran lahar (simbol : V9)
j. Dataran antar gunungapi (simbol : V10)
k. Leher gunungapi (simbol : V11)
l. Boca (simbol : V12)
m. Kerucut parasiter (simbol : V13)
4. Bentuklahan asal fluvial (F)
Bentuklahan asal proses fluvial terbentuk akibat aktivitas aliran sungai
yang berupa pengikisan, pengangkutan dan pengendapan (sedimentasi)
membentuk bentukan-bentukan deposisional yang berupa bentangan dataran
aluvial (Fda) dan bentukan lain dengan struktur horizontal, tersusun oleh material
sedimen berbutir halus. Bentuklahan asal fluvial adalah sebagai berikut.
a. Dataran fluvial (simbol : F1)
b. Rawa, danau, rawa belakang (simbol : F2)
d. Tanggul alam (simbol : F4)
e. Teras sungai (simbol : F5)
f. Kipas alluvial (simbol : F6)
g. Gosong (simbol : F7)
h. Delta (simbol : F8)
i. Dataran delta (simbol : F9)
5. Bentuklahan asal pelarutan (K)
Bentuklahan karst dihasilkan oleh proses pelarutan pada batuan yang
mudah larut. Karst adalah suatu kawasan yang mempunyai karakteristik relief
dan drainase yang khas, yang disebabkan keterlarutan batuannya yang tinggi.
Dengan demikian Karst tidak selalu pada batu gamping, meskipun hampir semua
topografi karst tersusun oleh batu gamping. Bentuklahan asal pelarutan adalah
sebagai berikut.
a. Dataran karst (simbol : K1)
b. Kubah karst (simbol : K2)
c. Lereng perbukitan (simbol : K3)
d. Perbukitan sisa karst (simbol : K4)
e. Uvala atau polye (simbol : K6) f. Ledok Karst (simbol : K6) g. Dolina (simbol : K7)
2.4 Kriteria Kesesuaian Lahan Permukiman
Kriteria kesesuaian tanah/lahan untuk bangunan perumahan (tempat
tinggal) yang berupa bangunan gedung dengan beban tidak lebih dari tiga lantai,
penunjang permukiman menurut Hardjowigeno (1988) meliputi drainase, air
tanah musiman, pereabilitas tanah, perkolasi, kedalaman air tanah, banjir,
lereng, potensi mengembang mengkerut tanah, besar butir tanah, batuan kecil,
batuan besar, dan dalamnya hamparan batu.(USDA,1971 dalam
Hardjowigeno,1988 dalam Sriyanto,2007 hal: 57
Tabel 2.1 Kriteria Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan Untuk Permukiman
No KualitasLahan Permukiman
Kode S1 S2 S3 N1 N2
A Kekasaran
Medan 1 Kemiringan
Lereng
L 0-8 % >8-25% >25-40% >40%-45% > 45%
B Kondisi
Tanah 2 Kembang
Kerut Tanah
R <0,001-0,03 0,031-0,060 0,061-0,090 0,091- 0,12 > 0,12
3 Tekstur T GW,GP,
SP,GM
GC,SM, SC, CL
ML,CL CH,MG OL,OH
C Kondisi
Batuan 4 Batuan
Permukaan
BP 0-20% 21-40% 41-60% 61-80% >80%
D Pengatusan
Medan
5 Drainase D Baik Agak
Baik Agak Baik (Permanen) Tidak Teratur (Jelek) Tidak Teratur (Jelek) 6 Kedalaman
Air Tanah
W <15m 15-<25m
25-<50m >50m >75m
E Bahaya
Alam 7 Bahaya
Erosi
E Tidak
Ada
<25% Erosi
>75% Erosi
Erosi Berat Erosi Berat 8 Bahaya
Longsor
G Tidak
Ada
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 9 Bahaya
Banjir
B Tidak
Kesesuaian Lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk
suatu penggunaan tertentu.Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007),
kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan
(jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu. Menurut Sitorus, kesesuaian
lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu
penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu areal dapat berbeda tergantung
daripada tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan (Sitorus, 1985).
Penggunaan lahan termasuk dalam komponen sosial budaya karena
penggunaan lahan mencerminkan hasil kegiatan manusia atas lahan serta
statusnya (Bakosurtanal, 2007).
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi.
Karakteristik lahan yang digunakan pada penyusunan evaluasi lahan adalah:
1. Temperatur udara
2. Curah hujan
3. Kelembaban udara
4. Drainase tanah
5. Tekstur tanah
6. Kedalaman efektif tanah
7. KTK liat
8. Keasaman tanah (pH)
9. C-organik
10. Lereng
11. Bahaya erosi
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk pelaksanaan
klasifikasi kesesuaian lahan, misalnya metode FAO (Food and Agriculture Organization) (1976) yang dikembangkan di Indonesia oleh Puslittanak (1993), metode Plantgro yang digunakan dalam penyusunan Rencana Induk Nasional
HTI (Hacket,1991 dan National Masterplan Forest Plantation/NMFP, 1994) dan metode Webb (1984).
Tabel 2.2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Tinggal
Sifat Tanah
Kesesuaian Lahan
Baik Sedang Buruk
Drainase Dengan ruang di bawah tanah
baik sampai
sangat baik
Sedang Agak jelek sampai
sangat jelek
Tanpa ruang bawah tanah
Sedang sampai
sangat cepat
Agak buruk Jelek sampai
sangat jelek
Air tanah
musiman (1 bulan
atau lebih)
Dengan ruang bawah tanah
> 150 cm < 75 cm
Tanpa ruang bawah tanah
> 75 cm
> 50 cm -<75cm
< 50 cmBanjir Tanpa Tanpa Jarang
Lereng 0-8 % 8-15 %
> 15 %
Potensi
mengembang
mengkerut
Rendah Sedang
Tinggi
Besar butir
GW, GP, SP, GM,
GC, SM, SC,CL
dengan Pl < 15
ML, CL, dengan Pl
≥ 15
CH, MG, OL,
OH
Batu Kecil Tanpa-sedikit Sedang
Agak banyak-
sangat banyak
Batu Besar
(batuan)
Tanpa Sedikit
Sedang-sangat
banyak
Dalamnya
hamparan batu
Tanpa ruang bawah tanah
> 150 cm
100-150 cm
< 100 cm
Dengan ruang bawah tanah
> 100 cm 50-100 cm
Sumber: Sarwono Hardjowigeno, Tahun 1988 hal : 18
Keterangan:
PI= Indeks Plastisitas; GW= Gravel GP= Gravel; SP= Pasir; SM= Pasir
berlempung; CL= Liat , ML= Lempung, CH:= Liat berdebu; MG=
Lempung.
2.5 Rawan Longsor
Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap
tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar
Rp 800 Miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta. Daerah yang
memiliki rawan longsor diantaranya adalah Jawa Tengah 327 lokasi, Jawa
Barat 276 lokasi, Sumatera Barat 100 lokasi, Sumatera Utara 50 lokasi,
Yogyakarta 30 lokasi, Kalimantan Barat 23 lokasi, dan sisanya tersebar di
wilayah NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali dan Jawa Timur (Nandi,2007
hal : 23)
Tabel 2.3 Kriteria Kelas Kerawanan Longsor
No
Kelas Kerawanan
Kriteria
1
Tidak Rawan
a. Jarang atau tidak pernah longsor alam atau baru,kecuali sekitar tebing sungai.b. Topografi datar hingga landai bergelombang c. Lereng <15%
2
Rawan
a. Jarang terjadi longsor kecuali bila leregnya terganggu.b. Topografi landai hingga terjal
c. Lereng berkisar antara 5-15% dan <=70%
d. Vegetasi penutup antara kurang hingga amat rapat
e. Batuan penyusun lereng umumnya lapuk tebal
3
Sangat Rawan
a. Dapat dan sering terjadi longsor b. Longsor lama dan baru aktif terjadi c. Curah hujan tinggid. Topografi landai hingga sangat curam e. Lereng 5-15% dan>=70%
f. Vegetasi penutup antara kurang dan sangat kurang
g. Batuan penyusun lereng lapuk tebal dan rapuh
Sumber:Sugalang dan Siagian 1991 dalam Habib Subagio,2008 hal : 03
2.6 Landasan Teori
Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang
lahan untuk suatu penggunaan tertentu.Kelas kesesuaian suatu areal dapat
berbeda tergantung daripada tipe penggunaan lahan yang sedang
dipertimbangkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka ,2007)
keragaan
(performance)yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi
penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik
lahan. Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung
di lapangan tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik
lahan (FAO,1976 dalam Ritung, 2007).
Menurut UU No 04 1992, permukiman adalah bagian dari lingkungan
hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun
pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat krgiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Permukiman menempati areal paling luas dalam penataan ruang
dibandingkan peruntukan lainnya. Sesudah manusia terpenuhi kebutuhan
jasmaninya, yaitu sandang, pangan, dan kesehatan, kebutuhan akan rumah atau
tempat tinggal merupakan salah satu motivasi untuk pengembangan kehidupan
yang lebih tinggi lagi. Tempat tinggal pada dasarnya merupakan wadah bagi
manusia atau keluarga dalam melangsungkan kehidupannya.Peran tempat
tinggal bagi berlangsungnya kehidupan yang dinamis sangatlah mutlak karena
tempat tinggal bukan lagi sekedar tempat untuk bernaung, tetapi juga
merupakan tempat untuk melindungi diri dari kondisi alam yang tidak
selamanya menguntungkan (Bintarto dalam Firman Laiko, 2010).
Membuat perencanaan suatu permukiman dibutuhkan berbagai
pengkajian, tidak hanya terhadap faktor-faktor fisik saja, akan tetapi
mempertimbangkan faktor manusianya sebagai pelaku kehidupan yang utama.
Karena esensi permukiman meliputi manusia serta wadahnya (tempat) maka
permukiman dengan manusia, yang saling mempengaruhi keberadaannya satu
dengan yang lainnya (Cristady,2006).
2.7 Penelitian Sebelumnya
Hariyanto dan Erni, 2009 dalam penelitiannya yang berjudul
“Preferensi Permukiman dan Antisipasi Penduduk yang tinggaldi Daerah Rawan
Longsor di Kota Semarang” tujuan penelitian ini adalah mengetahui motivasi /
alasan penduduk memilih tempat tinggal di daerah rawan longsor di kota
Semarang. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif.
Sisri Elfia, dkk, 2006 dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluasi
Tingkat Bahaya Longsor Terhadap Lahan Permukiman di Gunung Padang Kota
Padang Sumatera Barat” tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat bahaya
longsor lahan terhadap permukiman di Gunung Padang Kota Padang Sumatera
Barat.Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Dewi Liesnoor Setyowati, 2007 dalam penelitiannya yang berjudul
“Kajian Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman dengan Teknik Informasi
Geografis (SIG)” tujuan penelitian ini adalah Mengevaluasi kesesuaian lahan
untuk permukiman di kota Semarang dengan menerapkan teknologi Informasi
Geografis. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dengan teknik analisis perbandingan (matching).
Untuk memperjelas perbandingan penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang dilakukan peneliti dapat dilihat tabel perbandingan penelitian
sebagai berikut :
Tabel 2.4. Daftar Perbandingan Antar Penelitian
Penelitian
1. Hariyanto dan Erni Suharini, UNNES, 2009. Preferensi Permukiman dan Antisipasi Penduduk yang Tinggal di Daerah Rawan
Longsor di Kota
Semarang
Mengetahui
Motivasi/ alasan
penduduk
memilih
tempat
tinggal di daerah
rawan longsor di
Kota Semarang
Deskriptif
Kualitatif
2.
Sisri Elfia, Erna Juita, Leni Zahara, STKIP PGRI Sumatera Barat, 2006.Evaluasi Tingkat
Bahaya Longsor
Terhadap Lahan
Permukiman di
Gunung Padang
Kota Padang
Sumatera Barat.
Mengetahui
tingkat
bahaya
longsor
lahan
terhadap
permukiman
di
Gunung
Padang
Kota
Padang
Sumatera Barat
Deskriptif
Kualitatif
3.
Dewi Liesnoor Setyowati,UNNES, 2007
Kajian Evaluasi
Kesesuaian
Lahan
Permukiman
dengan Teknik
Informasi
Mengevaluasi
kesesuaian lahan
untuk
permukiman
di
kota
Semarang
dengan
menerapkan
teknologi
Informasi
Geografis
Deskriptif Kualitatifdengan Teknik
Analisis
Perbandingan
Geografis (SIG).
4.
Mira Yanita Werdiningdyah, UMP, 2013.Kesesuaian
Lahan untuk
Permukiman
pada Wilayah
Rawan
Longsorlahan di
Kecamatan
Pekuncen
Kabupaten
Banyumas.
Mengetahui
kesesuaian lahan
untuk
permukiman pada
wilayah
rawan
longsorlahan
di
kecamatan
Pekuncen
Kabupaten
Banyumas
Deskriptif
Kualitatif
Tabel Lanjutan
2.8 Kerangka Pikir
Kondisi fisik Kecamatan Pekuncen pada umumnya terdiri dari wilayah
perbukitan dengan berbagai variatif penggunaan lahan. Lahan merupakan suatu
wilayah permukaan bumi, mencakup semua kompoen biosfer yang dianggap tetap
atau bersifat siklis yang berada pada di atas dan di bawah wilayah tersebut,
termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan, dan hewan,
serta segala segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia baik dimasa
lampau maupun masa sekarang yang kesemuanya berpengaruh pada terhadap
penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang maupun di masa yang akan
datang.
Semakin bertambahnya penduduk, semakin bertambah pula kebutuhan
untuk mendirikan permukiman yang menyebar di daerah rawan longsorlahan
Kecamatan Pekuncen. Dengan bertambahnya permukiman di daerah tersebut
membuat wilayah yang sebenarnya termasuk wilayah rawan longsor kelas rendah
sampai kelas sedang memiliki resiko tinggi karena pembangunan permukiman yang
kurang memperhatikan kualitas lahan dan karakteristik lahan serta kurang
memenuhi syarat pendirian permukiman.
Untuk mengurangi resiko tersebut perlu diadakan evaluasi kesesuaian lahan
pada suatu wilayah untuk permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kesesuaian lahan untuk permukiman pada wilayah rawan longsorlahan di
Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas. Hasil dari evaluasi lahan tersebut akan
penggunaannya serta tindakan-tindakan pengelolaan yang diperlukan agar dapat
dipergunakan secara lestari sesuai dengan hambatan dan pembatas yang ada.
Kesesuaian lahan dipengaruhi oleh sifat fisik tanah, sifat kimia tanah,
topografi, serta ketinggian tempat. Untuk kesesuaian lahan permukiman harus
diketahui syarat drainase, kondisi air tanah, banjir, lereng, erosi, potensi
megembang mengkerut, besar butir,batuan permukaan.
Pengamatan dan pengukuran di lapangan serta dilengkapi data sampel tanah
dengan analisis laboratorium dilakukan untuk memperoleh data tentang sifat tanah
pada setiap satuan lahan. Sehingga dengan data yang diperoleh tersebut maka
dapat diketahui karakteristik dan kualitas lahan pada masing-masing satuan lahan.
Pada satuan lahan tertentu harus dilakukan pencocokan antara kesesuaian
lahan dengan persyaratan tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman sehingga
akan didapatkan kelas kesesuaian lahan untuk permukiman yang dianalisis bersama
peta rawan longsorlahan dan dihasilkan peta kesesuaian lahan untuk permukiman
di Kecamatan Pekuncen.
Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat dirumuskan kerangka pikir
pada gambar berikut.
Gambar 1. Kerangka Pikir
2.10 Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka hipotesisnya adalah sebagian
besar wilayah pada daerah penelitian > 50 % tidak sesuai untuk permukiman.
Kualitas Lahan
Persyaratan / Kriteria
Lahan Untuk Permukiman
Kelas Kesesuaian Lahan
Untuk Permukiman
Kerawanan Longsorlahan
Kecamatan Pekuncen
Peta Kesesuaian Lahan Untuk
Permukiman Kecamatan Pekuncen