PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR
PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2003
TENTANG IRIGASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TIMUR,
Menimbang : a. bahwa perubahan sistem Pemerintahan Daerah sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi, sangat berpengaruh terhadap kebijakan pengelolaan irigasi;
b. bahwa kebijakan pengelolaan irigasi yang diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 15 Tahun 1986 tentang Irigasi di Jawa Timur, sudah tidak sesuai lagi dengan era otonomi daerah ;
c. bahwa sehubungan dengan maksud tersebut pada huruf a dan b, perlu mengatur kembali mengenai irigasi dengan menetapkan ketentuan-ketentuannya dalam Peraturan Daerah
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Propinsi Jawa Timur Juncto Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang mengadakan Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 dalam hal Pembentukan Propinsi Jawa Timur;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046) ;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya
Tanaman (Lembaran Negara Nomor 1347) ;
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nornor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun. 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
9. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Negara Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4048);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Dampak Lingkungan ;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Dekonsentrasi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 52 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4095 );
13. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4106);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 41 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 143 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4156);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan kualitas air dan pengendalian Pencemaran air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);
17. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 529/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air; 18. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2001 tentang
Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air;
19. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 298/KMK.02/2003 tentang
Pedoman Penyediaan Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten/Kota ; 20. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Pedoman Pengaturan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Lembaga Pengelolaan Irigasi Propinsi dan Kabupaten/Kota ;
21. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 17 Tahun 1994 tentang Penyerahan sebagian urusan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Dalam Bidang Pekerjaan Umum Pengairan kepada Daerah Tingkat II (Lembaran Daerah tanggal 2 Mei 1996 Nomor 3 Tahun 1996 Seri D) ;
22. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 23 Tahun 2000 tentang Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah tanggal 2 Oktober 2000 Nomor 22 Tahun 2000 Seri D).
Dengan persetujuan,
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG IRIGASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Propinsi Jawa Timur.
2. Pemerintah Propinsi adalah Pemerintah Propinsi Jawa Timur.
di Jawa Timur.
4. Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
5. Bupati / Walikota adalah Bupati/ Walikota di Jawa Timur.
6. Dinas adalah Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Timur.
7. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Timur.
8. Pejabat yang ditunjuk adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas yang diberi tugas untuk melaksanakan penyelenggaraan di bidang irigasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9. Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disingkat HIPPA
adalah istilah umum untuk kelembagaan pengelola irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani secara demokratis, sesuai tingkatannya yang terdiri dari Gabungan HIPPA, Induk HIPPA atau Federasi HIPPA.
10. Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disingkat Gabungan HIPPA adalah wadah Kelembagaan dari sejumlah HIPPA yang memanfaatkan fasilitas Irigasi, yang bersepakat bekerja sama dalam pengelolaan pada sebagian daerah irigasi atau pada tingkat sekunder.
11. Induk Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut
Induk HIPPA adalah wadah kelembagaan dari sejumlah
Gabungan HIPPA yang memanfaatkan fasilitas irigasi, yang bersepakat, bekerja sama dalam pengelolaan pada satu daerah irigasi atau pada tingkat induk/ primer.
12. Federasi Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disebut
Federasi HIPPA adalah Wadah Kelembagaan antar Induk
Gabungan HIPPA dalam satu wilayah daerah irigasi.
13. Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air adalah Forum Musyawarah dalam rangka melaksanakan koordinasi tata pengaturan air di wilayah kerja Badan Koordinasi Wilayah (BAKORWIL) Propinsi Jawa Timur.
14. Tim Koordinasi Pengelolaan Irigasi adalah tim yang berfungsi membantu Gubernur dalarn koordinasi pengelolaan irigasi di Jawa Timur, yang beranggotakan Dinas/lnstansi/Badan Hukum yang terkait dengan kegiatan irigasi, perguruan tinggi, LSM dan pemerhati irigasi.
diatas, maupun dibawah permukaan tanah.
16. Air Irigasi adalah semua air yang terdapat pada, diatas maupun dibawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang dimanfaatkan di darat untuk keperluan irigasi.
17. Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian, yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi air tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak.
18. Daerah Irigasi adalah kesatuan Wilayah yang mendapat air dari satu jaringan irigasi lintas Kabupaten/Kota.
19. Jaringan Irigasi adalah : Saluran, bangunan, bangunan pelengkap, dan daerah sempadan irigasi yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan,
pengambilan, pembagian, pemberian, penggunaan dan
pembuangannya, yang melayani lebih dari satu Kabupaten/Kota. 20. Jaringan Utama adalah jaringan irigasi yang berada dalam satu
sistem irigasi, terdiri dari bangunan utama, saluran induk primer, saluran sekunder, bangunan dan bangunan pelengkapnya serta daerah sempadan irigasi.
21. Bangunan Utama adalah bangunan pengambilan air untuk keperluan irigasi yang berada pada sungai dapat berupa bendung tetap, bendung gerak, bendungan, pengambilan bebas.
22. Petak Irigasi adalah petak lahan yang memperoleh air irigasi. 23. Penyediaan Air Irigasi adalah penentuan banyaknya air persatuan
waktu dan saat pemberian air yang dipergunakan untuk
menunjang pertanian.
24. Pembagian Air Irigasi adalah penyaluran air dalam jaringan utama.
25. Pemberian Air Irigasi adalah penyaluran alokasi air dari jaringan utama ke petak tersier dan kwater.
26. Penggunaan Air Irigasi adalah pemanfaatan air dilahan pertanian. 27. Pembuangan / drainase adalah pengaliran kelebihan air irigasi
yang sudah tidak dipergunakan lag! pada suatu daerah irigasi tertentu.
komunikasi dari dan antar HIPPA, Petugas Pemerintah Propinsi / Kabupaten/Kota serta Penggunaan Air Irigasi lainnya dalam rangka pengelolaan irigasi pada suatu daerah irigasi yang bersifat multiguna, dibentuk atas dasar kebutuhan dan kepentingan bersama.
29. Pembangunan Jaringan Irigasi adalah seluruh kegiatan
penyediaan jaringan irigasi diwilayah tertentu yang belum ada
jaringan irigasinya atau penyediaan jaringan irigasi untuk
menambah luas areal pelayanan.
30. Pengelolaan Irigasi adalah segala usaha pendayagunaan air irigasi yang meliputi operas! dan pemeliharaan, pengamanan, rehabiliiasi dan peningkatan Jaringan Irigasi.
31. Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi adalah kegiatan pengaturan air dan jaringan irigasi yang meliputi penyediaan,
pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangannya,
termasuk usaha mempertahankan kondisi jaringan irigasi agar tetap berfungsi dengan baik.
32. Pengamanan Jaringan Irigasi adalah upaya untuk mencegah dan
menanggulangi terjadinya kerusakan Jaringan Irigasi yang
disebabkan oleh daya rusak air, hewan atau ulah manusia guna mempertahankan fungsi jaringan irigasi.
33. Garis Sempadan irigasi adalah batas pengamanan bagi saluran dan atau bangunan pada jaringan irigasi.
34. Daerah sempadan Irigasi adalah kawasan sepanjang kiri ka.ian saluran Irigasi Utama yang rnempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi jaringan irigasi.
35. Rehabilitasi Jaringan Irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi guna mengembalikan fungsi dan pelayanan irigasi seperti semula.
36. Peningkatan Jaringan Irigasi adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi dengan mempertimbangkan perubahan kondisi lingkungan daerah irigasi guna meningkatkan fungsi dan pelayanan irigasi. 37. Manajemen Aset Irigasi adalah kegiatan inventarisasi, audit,
perencanaan, pemanfaatan, pengamanan asset irigasi dan
evaluasi.
38. Audit Pengelolaan Irigasi adalah kegiatan pemeriksaan kinerja pengelolaan irigasi yang meliputi aspek organisasi, teknis, dan keuangan, sebagai bahan evaluasi manajemen aset irigasi.
Himpunan Petani Pemakai Air adalah upaya penguatan
peningkatan kemampuan dan penyerahan kewenangan
pengelolaan irigasi.
40. Penguatan Himpunan Petani Pemakai Air / Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air adalah upaya Pembentukan Himpunan Petani Pemakai Air sebagai badan hukum yang otonom dan mempunyai hak dan wewenang atas pengelolaan irigasi diwilayah kerjanya.
41. Peningkatan Kemampuan Himpunan Petani Pemakai Air /
Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air adalah upaya untuk
memfasilitasi Himpunan Petani Pemakai Air a'alam
mengembangkan kemampuan sendiri di bidang teknis, keuangan, administrasi dan organisasi, agar dapat mengelola daerah irigasi secara mantap, mandiri dan berkelanjutan dalam proses yang dinamis dan bertanggung jawab, sesuai perjanjian penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi, rencana pengelolaan Irigasi tahunan dan rencana manajemen aset.
42. Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi adalah Pelimpahan hak, wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Propinsi melalui Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air untuk mengatur pengelolaan irigasi dan pembiayaan diwilayah kerjanya.
43. Kemandirian adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki tanpa ketergantungan kepada pihak lain.
44. Hak Guna Air Irigasi adalah hak yang diberikan kepada Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air, Badan Hukum, Badan Sosial, Perorangan dan Pemakai Air Irigasi lainnya untuk memakai air Irigasi guna menunjang usaha pokoknya.
45. Izin Pengambilan Air Irigasi adalah izin yang diberikan oleh Pejabat yang mempunyai kewenangan di bidang pengelolaan irigasi kepada pemegang hak guna air irigasi untuk mengambil air irigasi guna menunjang usaha pokoknya.
]
TUJUAN DAN FUNGSI
Pasal 2
Irigasi diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.
Pasal 3
Irigasi berfungsi mempertahankan dan meningkatkan produktifitas
lahan untuk mencapai hasil pertanian yang optimal tanpa
mengabaikan kepentingan lainnya. BAB III
PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN IRIGASI
Pasal 4
(1) Pengelolaan irigasi diselenggarakan dengan mengutamakan
kepentingan masyarakat petani dan dengan menempatkan HIPPA
sebagai pengambil keputusan dan pelaku utama dalam
pengelolaan irigasi yang menjadi tanggung jawabnya ;
(2) Untuk mencapai yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pemberdayaan lembaga HIPPA secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
Pasal 5
(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan irigasi yang efektif dan efesien serta dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada masyarakat petani, pengelolaan irigasi
dilaksanakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan air
permukaan dan air bawah tanah secara terpadu ;
dilaksanakan dengan prinsip satu sistem irigasi, satu kesatuan pengelolaan, dengan memperhatikan kepentingan pengguna di bagian hulu, tengah dan hilir secara seimbang ;
(3) Untuk mencapai pemanfaatan jaringan irigasi yang optimal, maka penyelenggaraan pengelolaan irigasi dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
Pasal 6
(1) Keberlanjutan sistem Irigasi dilaksanakan dengan dukungan keandalan air irigasi, prasarana irigasi yang baik, dan menunjang peningkatan pendapatan petani;
(2) Dalam rangka menunjang peningkatan pendapatan petani
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelolaan irigasi
dilaksanakan dengan mengantisipasi modernisasi pertanian dan diversifikasi usaha tani dengan dukungan penyediaan sarana dan prasarana sesuai kebutuhan ;
(3) Untuk mendukung efisiensi dan keandalan air irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan :
a. membangun waduk dan atau waduk lapangan. b. mengendalikan kualitas dan kwantitas air. c. mengupayakan jaringan drainase yang layak.
d. memanfaatkan kembali air dari saluran pembuangan/drainase ; e. mentaati pola dan jadwal tanam yang telah ditetapkan.
BAB IV KEWENANGAN
Pasal 7
(1) Pemerintah Propinsi berwenang dalam pengelolaan irigasi
meliputi:
a. bangunan utama pada sungai lintas Kabupaten/Kota ; b. jaringan irigasi utama pada irigasi lintas ;
c. jaringan irigasi yang diserahkan kewenangan pengelolaannya oleh Kabupaten/Kota ;
(2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) Pemerintah Propinsi dapat bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan atau dengan HIPPA.
Pasal 8
Dalam hal jaringan irigasi yang melewati lebih dari 1 (satu) Propinsi,
Pemerintah Propinsi yang bersangkutan melakukan kerjasama
pengelolaan irigasi dengan melibatkan Kabupaten/Kota dan
Gabungan HIPPA yang bersangkutan ;
Pasal 9
(1) Penetapan jaringan utama ditetapkan oleh Gubernur atau usul Kepala Dinas ;
(2) Tata cara dan mekanisme serta penetapan jaringan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
BAB V
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI
Pasal 10
(1) Lembaga pengelola irigasi meliputi instansi Pemerintah Propinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, HIPPA atau pihak lain yang
kegiatannya berkaitan dengan pengelolaan irigasi sesuai dengan kewenangannya dalam perencanaan, pembangunan, operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan, dan pembiayaan jaringan irigasi;
(2) HIPPA dapat membentuk Gabungan HIPPA sampai tingkat daerah
irigasi sebagai lembaga yang berwenang untuk mengatur
pengelolaan daerah irigasi sebagai satu kesatuan pengelolaan ;
(3) Dalam rangka koordinasi pengelolaan di Daerah irigasi, yang jaringan utamanya berfungsi multiguna, dapat dibentuk Forum
Koordinasi Pengelolaan Irigasi yang anggotanya terdiri dari berbagai pihak secara partisipatif;
(4) Mekanisme kerja antar lembaga pengelola irigasi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 11
(1) Dalam rangka pemenuhan kebutuhan air Irigasi untuk berbagai
keperluan, dikoordinasikan melalui Panitia Pelaksana Tata
Pengaturan Air atau lembaga / Tim koordinasi Pengelola Irigasi yang dibentuk oleh Gubernur;
(2) Lembaga koordinasi yang dibentuk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mempunyai fungsi membantu Gubernur dalam
peningkatan kinerja pengelolaan irigasi, terutama pada bidang penyediaan air irigasi bagi tanaman dan untuk keperluan lainnya ;
BAB VI
PEMBERDAYAAN HIPPA
Pasal 12
(1) Pemerintah Propinsi memfasilitasi Pemberdayaan HIPPA yang
meliputi penguatan kelembagaan, penyerahan kewenangan
pengelolaan irigasi dan peningkatan kemampuan dalam bidang teknis pengelolaan irigasi;
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
BAB VII
PENYERAHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN IRIGASI
Pasal 13
(1) Pemerintah Propinsi menyerahkan kewenangan pengelolaan
irigasi kepada HIPPA yang berbadan hukum ;
(2) Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi sebagaimana
sebagian daerah irigasi;
(3) Pelaksanaan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi
dilakukan secara demokratis dan dengan kesepakatan tertufis sesuai prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengelolaan ;
(4) Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi tidak termasuk penyerahan asetnya;
(5) Kewenangan pengelolaan irigasi pada daerah irigasi multiguna,
penyerahannya dilaksanakan dengan kesepakatan bersama
antara Gubernur, Bupati/Walikota, HIPPA dan pengguna air irigasi lainnya ;
(6) Pemerintah Propinsi dapat mengambil kembali kewenangan pengelolaan irigasi yang telah diserahkan kepada HIPPA apabila berdasarkan audit pengelolaan irigasi dinyatakan gagal, dan dituangkan dalam berita acara ;
(7) Pedoman penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
BAB VIII
POLA PENGATURAN AIR IRIGAS! Bagian Pertama
Hak Guna Air Irigasi
Pasal 14
(1) Setiap penggunaan air irigasi harus terlebih dahulu mendapatkan hak guna air irigasi;
(2) Hak Guna Air Irigasi diberikan terutama untuk kepentingan pertanian dengan tetap memperhatikan kepentingan usaha lainnya
(3) Hak Guna Air Irigasi diberikan berdasarkan ketersediaan dan
kebutuhan air pada daerah pelayanan tertentu
(4) Pembagian dan pemberian air irigasi ditingkat Daerah Irigasi dilaksanakan oleh HIPPA bersama dengan Pejabat yang ditunjuk
berdasarkan prinsip keadilan dan keseimbangan serta
berdasarkan musyawarah para pihak yang berkepentingan ;
(5) Pemerintah Propinsi mengupayakan ketersediaan, pengendalian, dan perbaikan mutu air irigasi.
Pasal 15
(1) Hak Guna Air Irigasi bagi lahan yang telah ditetapkan karena kepentingan umum yang lebih utama dan bersifat sementara
dapat diizinkan dipergunakan untuk kepentingan tersebut
berdasarkan ketersediaan dan sesuai dengan prioritas pengguna air yang telah ditetapkan dengan memperhatikan waktu, ruang, jumlah dan mutu ;
(2) Perubahan Hak Guna Air Irigasi ditetapkan oleh Gubernur. Pasal 16
(1) Hak Guna Air Irigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diberikan dalam bentuk izin pengambilan air irigasi oleh Gubernur;
(2) Pemegang izin pengambilan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jaringan irigasi yang telah ada dengan syarat:
a. mengikuti sistem distribusi air yang telah ditetapkan untuk daerah irigasi tersebut;
b. ikut secara aktif memelihara fungsi jaringan
beserta bangunannya ;
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dialihkan pada pihak lain ;
(4) Tata cara dan mekanisme memperoleh izin pengambilan air irigasi dan Hak Guna Air Irigasi diatur dengan Keputusan Gubernur.
Bagian Kedua Penyediaan Air Irigasi
Pasal 17
(1) Rencana penyediaan/alokasi air irigasi disusun berdasarkan rencana tata tanam dan pembagian air tahunan yang telah disahkan oleh Komisi Irigasi Kabupaten/Kota ;
(2) Penyediaan air irigasi diarahkan untuk mencapai hasil produksi pertanian yang optimal dengan tetap memperhatikan keperluan untuk pernukiman, peternakan, perikanan air tawar, industri dan kelestarian lingkungan hidup dalam suatu daerah irigasi atau antar daerah irigasi;
(3) Dalam penyediaan air irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Kepala Dinas mengusahakan optimalisasi penyediaan air dalam satu daerah irigasi maupun antar daerah irigasi;
(4) Bila terjadi kebakaran atau bahaya umum lainnya, air irigasi diutamakan untuk menanggulangi bahaya dimaksud.
Pasal 18
Pada kondisi ketersediaan air terbatas, Gubernur menetapkan penyesuaian alokasi air bagi pemegang hak guna air sesuai asas keadilan dan keseimbangan.
Bagian Ketiga
Pembagian dan Pemberian Air Irigasi Pasal 19
(1) Rencana pembagian air untuk jaringan irigasi yang bersifat multiguna ditetapkan setiap tahun atas dasar musyawarah antara HIPPA, Pemerintah Propinsi dan Pengguna Air lainnya melalui Forum Koordinasi Pengelolaan Irigasi;
(2) Pemanfaatan kelebihan air irigasi di suatu daerah irigasi untuk keperluan tanaman diluar lahan yang telah ditetapkan dan atau untuk keperluan lainnya dapat dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan dari Kepala Dinas.
Pasal 20
(1) Dalam hal terjadi tangkis putus dan atau kerusakan bangunan irigasi dan bangunan pelengkapnya, untuk menghindari kerusakan yang lebih berat, Kepala Dinas atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk sementara mengurangi atau menghentikan penyaluran air pada saluran irigasi dimana kerusakan itu terjadi;
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera
diberitahukan kepada Komisi Irigasi setempat dan dilaporkan kepada Gubernur.
Bagian Keempat Penggunaan Air Irigasi
Pasal 21
Penggunaan air irigasi hanya diperkenankan dengan mengambil air dari saluran tersier, saluran kwarter atau pada tempat pengambilan lain yang telah ditetapkan oleh Kepaia Dinas atau Pejabat yang ditunjuk bersama HIPPA.
Bagian Kelima Drainase Pasal 22
(1) Untuk mengatur air irigasi secara baik yang memenuhi
syarat-syarat teknik irigasi dan pertanian maka pada setiap
pembangunan jaringan irigasi disertai dengan pembangunan jaringan drainase yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan irigasi yang bersangkutan ;
(2) Air irigasi yang disalurkan kembali kesuatu sumber air melalui jaringan drainase harus dilakukan upaya pengendalian atau pencegahan pencernaran agar memenuhi syarat-syarat kualitas tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
(3) HIPPA wajib ikut serta menjaga kelangsungan fungsi jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB IX
PEMBANGUNAN JARINGAN IRIGASI Pasal 23
(1) Rencana induk pengembangan irigasi Propinsi disusun
berdasarkan rencana pengembangan sumberdaya air dan
rencana tata ruang wilayah serta memperhatikan pelestarian sumberdaya air dan ditetapkan dengan Rencana Strategis ;
(2) Rencana induk pengembangan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kesepakatan bersama antar sektor, antar wilayah, dan antara Pemerintah Propinsi, masyarakat dan petani, serta pihak lain yang berkepentingan.
Pasal 24
(1) Pembangunan jaringan utama diselenggarakan oleh Gubernur berdasarkan rencana induk pengembangan irigasi yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalarn pasal 23 ayat (1);
(2) Pemerintah Propinsi menyelenggarakan pembangunan jaringan
utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
kesepakatan dengan masyarakat;
(3) Pembangunan jaringan irigasi tersier diselenggarakan oleh HIPPA diwilayah kerjanya ;
(4) Pemerintah Propinsi menyelenggarakan pembangunan jaringan irigasi untuk perluasan area) irigasi diluar wilayah kerja HIPPA
berdasarkan kesepakatan dengan HIPPA dan masyarakat
setempat;
(5) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dapat memfasilitasi
pembangunan dan pengembangan jaringan dan perluasan areal
kesepakatan dengan HIPPA dan tetap memperhatikan priiisip kemandirian ;
(6) Badan hukum, badan sosial, perorangan dan pengguna air irigasi untuk keperluan lain yang memanfaatkan sumber air dan atau jaringan irigasi dan telah mendapatkan hak guna air irigasi wajib membangun sendiri jaringan irigasi berdasarkan rencana induk pengembangan irigasi sebagaimana dimaksud daiam Pasal 23 ayat (1).
BAB X
OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI
Bagian Pertama
Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab
Pasal 25
(1) HIPPA memiliki wewenang, tugas dan tanggung jawab dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi di wilayah kerjanya ;
(2) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang berfungsi
multiguna diselenggarakan oleh HIPPA melalui koordinasi dengan para pengguna air irigasi lainnya dalam Forum Koordinasi Daerah Irigasi;
(3) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi milik badan hukum, badan sosial, perorangan dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan.
Pasal 26
Untuk penyelenggaraan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang dikelola oleh HIPPA, Pemerintah Propinsi memberikan bantuan
dan fasilitas yang diperlukan dengan memperhatikan prinsip
kemandirian.
Bagian Kedua
Pengeringan Jaringan Irigasi
(1) HIPPA bersama dengan Pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan waktu dan bagian jaringan irigasi yang harus dikeringkan untuk keperluan pemeriksaan dan atau perbaikan ;
(2) Waktu pengeringan dan bagian jaringan irigasi yang akan
dikeringkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
ditentukan secara tepat dan diberitahukan kepada pengguna
selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sebelum pelaksanaan
pengeringan ;
(3) Untuk masa pengeringan yang lebih lama dari 2 (dua) minggu hanya dapat dilaksanakan dengan kesepakatan bersama antar pengguna.
Bagian Ketiga
Pengamanan Jaringan Irigasi
Pasal 28
Dalam rangka operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, HIPPA, badan hukum, badan sosial, perorangan, dan pengguna air irigasi
untuk keperluan lainnya bersama-sama Pemerintah Propinsi
bertanggung jawab melakukan pengamanan jaringan irigasi untuk menjamin kelangsungan fungsinya .
Pasal 29
(1) Sebagai usaha pengamanan jaringan irigasi beserta bangunan-bangunannya ditetapkan garis sempadan irigasi untuk pendirian bangunan dan untuk pembuatan pagar ;
(2) Garis sempadan Irigasi untuk mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diukur dari tepi atas saluran untuk yang
tidak bertanggul atau kaki tangkis saluran/bangunan/Jalan
Inspeksi bagian luar dengan jarak :
a. 5 ( lima ) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan
dengan kemampuan 4 m3 / detik atau lebih ;
c. 2 ( dua ) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan kurang dari 1m3/ detik.
(3) Garis sempadan irigasi untuk membuat pagar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur dari tepi atas saluran yang tidak bertanggul atau dari kaki tangkis saluran/bangunan/jalan inspeksi bagian luar dengan jarak :
a. 3 ( tiga ) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan
sebagaimana tersebut pada ayat (2) huruf a ;
b. 2 ( dua ) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan
sebagaimana tersebut pada ayat (2) huruf b ;
c. 1 ( satu ) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan sebagaimana tersebut pada ayat (2) huruf c.
BAB XI
REHABILITASI DAN PENINGKATAN JARINGAN IRIGASI
Pasal 30
(1) HIPPA memiliki wewenang tugas dan tanggung jawab dalam rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi di wilayah kerjanya ;
(2) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi memberikan bantuan dan fasilitasi kegiatan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian ;
(3) Rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi milik badan hukum, badan sosial, perorangan, dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya menjadi tanggung jawab yang bersangkutan
(4) Perubahan dan atau pembongkaran jaringan irigasi yang
mengubah bentuk dan fungsi jaringan harus mendapat izin dari Gubernur;
(5) Pendirian, perubahan dan atau pembongkaran
bangunan-bangunan lain selain dari yang dimaksud pada ayat (1) termasuk yang berada didalam, diatas maupun yang melintasi saluran irigasi harus mendapat izin dari Gubernur;
(6) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
harus mempertimbangkan masukan dari Tim Koordinasi
Pengelolaan Irigasi Propinsi Jawa Timur. BAB XII
INVENTARISASI DAERAH IRIGASI Pasal 31
(1) Inventarisasi daerah irigasi meliputi kegiatan
pencatatan/pendataan fisik, kondisi dan fungsi jaringan irigasi, ketersediaan air, areal pelayanan serta lembaga pengelolaan irigasi;
(2) Inventarisasi daerah irigasi merupakan salah satu persyaratan dalam penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi;
(3) Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bersama-sama HIPPA melakukan inventarisasi daerah irigasi sesuai kewenangannya ;
(4) Pemerintah Propinsi melaksanakan kompilasi data dan
menetapkan daftar inventarisasi daerah irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
(5) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun dan ditetapkan oleh Gubernur setiap 5 (lima) tahun sekali.
BAB XIII
(1) Pemerintah Propinsi melakukan audit pengelolaan irigasi untuk menjamin kesesuaian antara pelaksanaan pengelolaan dengan peraturan perundang-undangan bidang irigasi dan kesepakatan yang mengikat antara Pemerintah Propinsi dan HIPPA ;
(2) Audit pengelolaan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap tahun dengan didampingi HIPPA ;
(3) Tata cara dan mekanisme mengenai pelaksanaan audit
pengelolaan irigasi akan diatur tebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
BAB XIV
MANAJEMEN ASET IRIGASI
Pasal 33
(1) Perencanaan manajemen aset jaringan irigasi merupakan
kegiatan rencana pelaksanaan serta pembiayaan operas! dan pemeliharaan rehabilitasi, dan peningkatan serta keberlanjutan fungsi jaringan irigasi;
(2) Rencana manajemen aset jaringan irigasi yang kewenangan pengelolaannya sudah diserahkan, disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota bersama HIPPA dan pengguna air irigasi lainnya dan dibahas oleh Komisi Irigasi berdasarkan hasil inventarisasi dan berita acara penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi;
(3) Rencana manajemen aset pada jaringan irigasi yang kewenangan pengelolaannya belum diserahkan, disusun oleh Pemerintah Propinsi bersama HIPPA dan pengguna air irigasi lainnya berdasarkan hasil inventarisasi dan dibahas oleh Tim Koordinasi Pengelolaan Irigasi Propinsi Jawa Timur;
(4) Rencana manajemen aset jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati / Walikota ;
pada ayat (3) ditetapkan oleh Gubernur; Pasal 34
(1) Gubernur atau Kepala Dinas melaksanakan evaluasi manajemen aset jaringan irigasi setiap 5 (lima) tahun sekali;
(2) Gubernur atau Kepala Dinas berdasarkan hasil evaluasi
manajemen aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperbaharui rencana manajemen aset.
BAB XV PEMBIAYAAN
Pasal 35
(1) Pembiayaan pembangunan jaringan irigasi utama ditanggung oleh
Pemerintah Propinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota
berdasarkan kesepakatan ;
(2) Masyarakat yang akan memperoleh manfaat karena adanya bangunan jaringan irigasi dimaksud pada ayat (1) dapat diikut sertakan dalam pembiayaan untuk pembangunan tersebut sesuai dengan kepentingan dan kemampuannya ;
(3) Pembiayaan pengelolaan irigasi yang telah diserahkan, menjadi tanggung jawab HIPPA di wilayah kerjanya secara otonom dan mandiri;
(4) Dengan memperhatikan prinsip kemandirian, Pemerintah dan Pemerintah Propinsi dapat membantu dalam penyediaan dana
pengelolaan irigasi yang telah diserahkan berdasarkan
kesepakatan dengan HIPPA;
(5) Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi milik badan hukum, badan sosial, perorangan dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan.
Pasal 36
(1) Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (4) disalurkan rnelaiui dana pengelolaan irigasi Kabupaten/Kota setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Koordinasi Pengelolaan Irigasi Propinsi Jawa Timur;
(2) HIPPA berhak mengajukan usulan dana pengelolaan irigasi kepada Komisi Irigasi Kabupaten/Kota ;
(3) Prioritas alokasi dana pengelolaan irigasi Kabupaten/Kota
ditentukan oleh Komisi Irigasi berdasarkan prinsip keadilan dan transparansi ;
(4) Penggunaan dana pengelolaan irigasi Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan rekomendasi dari Komisi Irigasi.
BAB XVI
KEBERLANJUTAN SISTEM IRIGASI
Pasal 37
(1) Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat sesuai dengan kewenangannya mempertahankan sistem irigasi
secara berkelanjutan dengan mewujudkan kelestarian
sumberdaya air, rnelakukan pemberdayaan HIPPA, mencegah alih fungsi lahan beririgasi untuk kepentingan lain dan mendukung peningkUan pendapatan petani;
(2) Untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Kepala Dinas rnelakukan pengaturan, dan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota serta
masyarakat rnelakukan penegakan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan irigasi.
BAB XVII
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
(1) Pemerintah Propinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota
melaksanakan pengendalian dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengelolaan irigasi termasuk alih fungsi lahan ;
(2) Pemerintah Propinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota
melaksanakan kegiatan penertiban, pengawasan dan
pengamanan terhadap prasarana jaringan irigasi dan menegakkan peraturan perundang-undangan bidang irigasi yang berlaku.
Pasal 39
Pemerintah Propinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota HIPPA, badan hukum, badan sosiai, perorangan dan pengguna air irigasi untuk keperluan lainnya menyediakan informasi pengelolaan irigasi dan memberikan dukungan dalam pelaksanaan pengendalian dan pengawasan.
BAB XVIII
LARANGAN-LARANGAN
Pasal 40
Dalam rangka menjaga kelestarian air dan jaringan irigasi dilarang : a. menyadap air dari sungai dan saluran pembawa, selain pada
tempat yang sudah ditentukan ;
b. membuang benda-benda padat dengan atau tanpa alat-alat mekanis yang dapat berakibat menghambat aliran, mengubah sifat air serta merusak jaringan irigasi;
c. membuat galian atau membuat selokan sepanjang saiuran dan
bangunan-bangunannya pada jarak tertentu yang
dapat mengakibatkan terjadinya kebocorar. dan dapat
mengganggu stabilitas saluran dan bangunan-bangunannya ; d. menggembalakan, menambatkan atau menahan hewan atau
ternak di dalam daerah sempadan saluran ;
e. merusak dan atau mencabut rumput atau tanaman yang ditanam pada tangkis-tangkis saluran dan bangunan yang berguna untuk konservasi;
f. membudidayakan tanaman pada tangkis-tangkis saluran, berem
g. menghalangi atau merintangi kelancaran jalannya air dengan cara apapun ;
h. mendirikan bangunan di dalam daerah sempadan saluran kecuali bangunan yang mendukung pelaksanaan pengelolaan irigasi.
Pasal 41
Tanpa izin Gubernur atau Kepala Dinas, dilarang :
a. mengadakan perubahan dan atau pembongkaran
bangunan-bangunan dalam jaringan irigasi maupun bangunan pelengkapnya ;
b. mendirikan, mengubah ataupun membongkar
bangunan-bangunan lain dari pada yang tersebut pada huruf a, yang berada didalam, diatas maupun melintasi saluran irigasi;
c. membuang limbah/benda-benda cair yang dapat mengubah
kwalitas air di jaringan irigasi;
d. mengambil bahan-bahan galian C berupa pasir, kerikil, batu atau hasil alam yang serupa dari jaringan irigasi.
BAB XIX
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 42
Terhadap perbuatan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 40 huruf c dan h serta Pasal 41 huruf b dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pembongkaran bangunan.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 14 ayat 1, 16, 21, 29 ayat (2) dan (3), 40 dan 41, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah);
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelanggaran .
BAB XXI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 44
Selain oleh pejabat penyidik umum, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 45
(1) Dalam melaksanakan tugas penyidikan para pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, berwenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana ;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan ;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka ;
d. melakukan penyitaan benda dan atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang ;
f. memanggil orang untuk di dengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat
petunjuk dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan
selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya ;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
(2) Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 15 Tahun 1986 tentang Irigasi di Jawa Timur dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 47
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 48
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dalam Lembaran Daerah Propinsi Jawa Timur. Ditetapkan di Surabaya pada tanggal 13 Oktober2003
GUBERNUR JAWA TIMUR
ttd.
IMAM UTOMO. S Diundangkan di Surabaya
Pada tanggal 13 Oktober 2003 SEKRETARIS DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR
ttd.
H. SOEKARWO, SH, M.Hum
LEMBARAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2003 NOMOR 2 TAHUN 2003 SERI E.
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWATIMUR NOMOR 6 TAHUN 2003
TENTANG IRIGASI
I. PENJELASAN UMUM
Menyadari bahwa peran sektor pertanian dalam struktur dan perekonomian asional sangat srategis dan kegiatan pertanian tidak dapat terlepas dari air, maka jasi sebagai salah satu sektor pendukung keberhasilan pembangunan pertanian jkan tetap mempunyai peran yang sangat penting.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 Jtentang Pengairan di tetapkan bahwa Pemerintah menetapkan tatacara pembinaan dalam rangka kegiatan Pengairan menurut bidangnya masing-rnasing sesuai Idengan fungsi-fungsi dan peranannya termasuk di dalamnya bidang irigasi.
Dalam rangka reformasi bidang irigasi serta sejalan dengan perubahan 5 paradigma
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berdasarkan ; Undang-undang 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka Pemerintah menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi. Pada dasarnya reformasi
bidang irigasi di'tekankan pada upaya pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi (PKPI)
yang mencakup: redefinisi wewenang, tugas, dan tanggung jawab lembaga pengelola
irigasi, pemberdayaan mayarakat petani pemakai air, pengaturan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi, pendanaan pengelolaan irigasi, serta keberlanjutan sistem irigasi. Khususnya dalam penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi, pelaksanaan.iya tidak dapat dipisahkan dari kebijakan yang tertuang pada PKPI tersebut di atas.
Bahwa Propinsi Jawa Timur sebelum di berlakukannya Otonomi Daerah, telah menyerahkan urusan irigasi kepada Kabupaten sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 dan telah di tetapkan melalui Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 17 Tahun 1994 tentang Penyerahan sebagian urusan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dalam bidang Pekerjaan Umum Pengairan kepada Daerah Tingkat II.
Sebagian urusan di bidang Pekerjaan Umum Pengairan diserahkan dari pemerintah Daerah Tingkat I kepada Daerah Tingkat II adalah urusan irigasi pada daerah irigasi yang secara utuh berada dalam wilayah kerja Daerah Tingkat II yang bersangkutan (bagi daerah irigasi yang lintas kewenangan pengelolaannya tetap pada Pemerintah Propinsi).
Dengan di berlakukannya Undang-undang 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 serta Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang irigasi, maka dalam penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi Pemerintah Propinsi Jawa Timur menyesuaikan dengan paradigrna baru yaitu fpembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi (PKPI).
Didalam Rencana Strategik Daerah (RENSTRADA) Propinsi Jawa Timur 2001-2005 yang telah di tetapkan melalui Perda Propinsi Jawa Timur Nomor 19 Tahun 2001, bahwa
salah satu strategi pembangunan Propinsi Jawa Timur dalam ipercepatan pemulihan ekonomi dan peningkatan produktifitas dilaksanakan melalui salah satu program yaitu ketahanan pangan.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan, meningkatkan produktifitas serta
meningkatkan pendapatan petani di daerah, maka di dalam pelayanan irigasi harus beroientasi antara lain: kepada kebutuhan petani, pemberdayaan masyarakat petani dalam mengelola air dan jaringan irigasi di wilayah kerjanya serta penggalian sumber pendapatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas dan dalam rangka memperjelas kewenangan pengelolaan irigasi oleh Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, maka perlu diatur dan ditetapkan didalam Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur.
II. PENJELASAN PASAL
Pasal 1 s.d. 3 : Cukup jelas.
Pasal 4 ayat (1) : Pengelolaan Jaringan Irigasi Lintas Kabupaten/Kota yang bukan Saluran Induk akan diserahkan kepada HIPPA sesuai kondisi dan kemampuan HIPPA yang bersangkutan serta persyaratan yang telah ditetapkan. Pengelolaan Irigasi yang menjadi tanggung jawab HIPPA adalah satu atau sebagian
Daerah Irigasi tertentu yang sudah diserahkan
pengelolahannya secara demokratis dari Pemerintah
Propinsi kepada HIPPA.
Ayat (2) : Pemberdayaan HIPPA secara berkesinambungan dan
berkelanjutan adalah memfasilitasi, mengembangkan
kemampuan HIPPA di bidang teknis, keuangan,
managerial, administrasi organisasi, secara mantap
menjadi organisesi yang mandiri, dan memberikan
kemudahan/peluang untuk membentuk Unit Usaha
ekonomi secara demokratis. Pasal 5 : Cukup jelas.
Pasal 6 ayat (1) : Keberlanjutan sistem irigasi dapat berlangsung jika didukung dengan :
a. keandalan air irigasi yaitu kondisi/keadaan dimana air irigasi dapat tersedia dalam jumlah, waktu, tempat dan mutu sesuai dengan kebutuhan tanaman produksi yang
optimal. Keandalan air irigasi sistem irigasi untuk
menghasilkan produksi yang optimal. Keandalan air
irigasi merupakan keandalan menghadapi keadaan
kekurangan dan kelebihan air yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi;
b. prasarana irigasi yang baik berfungsi sesuai dengan kebutuhan petani, pengguna teknologi tepat guna, dan berwawasan lingkungan.
Ayat (2) s.d. (3) : Cukup jelas.
Pasal 7 ayat (1) : Propinsi berwenang dalam pengelolaan bangunan utama di sungai yang meliputi bangunan pengambilan untuk daerah irigasi lintas maupun non lintas Kabupaten/Kota yang berada pada sungai yang melintasi Kabupaten/Kota.
Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 8 s.d. 11 : Cukup jelas.
Pasal 12 ayat (1) : Pemberdayaan HIPPA pada wilayah kerja dalam satu
Kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab Pemerintah
Kabupaten/Kota dan yang wilayah kerjanya lintas
Kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Penguatan HIPPA adalah kegiatan yang mencakup fasilitasi pembentukan HIPPA secara demokratis dan mendorong
terbentuknya HIPPA sebagai badan hukum yang
mempunyai hak dan wewenang atas pengelolaan irigasi di wilayah kerjanya.
Sedangkan peningkatan kemampuan HIPPA adalah
kegiatan fasilitasi antara lain pelatihan, bimbingan,
pendampingan, penyuluhan, dan kerjasama pengelolaan,
yang dilaksanakan secara terus menerus dan
berkesinambungan.
Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka mengembangkan kemampuan HIPPA di bidang teknis, keuangan, manajerial administrasi dan organisasi sehingga dapat mengelola daerah irigasi secara mandiri dan berkelanjutan.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Pasal 13 ayat (1) : Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi dari
Pemerintah Propinsi kepada HIPPA melalui
Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan suatu
kepastian yang dilaksanakan dalam satu rangkaian kegiatan pemberdayaan HIPPA. Pengelolaan jaringan irigasi lintas kabupaten/Kota akan diserahkan kepada HIPPA sesuai
kondisi dan kemampuan HIPPA yang bersangkutan
serta persyaratan yang telah ditetapkan, kecuali saluran induk/primer yang rawan konflik kepentingan. Penyerahan
kewenangan pengeiolaan irigasi dilaksanakan pada
daerah irigasi yang telah terbentuk :
a. Federasi HIPPA yang mempunyai wilayah kerja satu
b. Induk HIPPA pada daerah pelayanan primer ;atau
c. Gabungan HIPPA pada daerah pelayanan sekunder
sesuai kesepakatan yang dicapai antara Pemerintah
Propinsi dengan HIPPA yang bersangkutan
Adapun bag! HIPPA yang telah diserahi kewenangan ternyata belum mampu mengelola irigasi secara mandiri,
Pemerintah Propinsi tetap berkewajiban rnemberikan
bantuan dan fasilitasi dalam bentuk kerjasama pengelolaan sesuai kesepakatan bersama.
Bentuk kesepakatan, pemberian bantuan, dan fasilitasi yang
dilakukan oleh Pemerintah Propinsi dilakukan secara
dialogis, transparan, dan akuntabel.
Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi tidak termasuk penyerahan aset jaringan irigasi sehingga aset jaringan tetap merupakan milik Pemerintah Propinsi.
Ayat (2) : Sebagian daerah irigasi adalah daerah pelayanan irigasi sekunder atau daerah pelayanan irigasi primer.
Ayat (3) : Kesepakatan tertulis adalah dokumen yang memuat peran, hak wewenang, dan tanggung jawab HIPPA tingkat daerah irigasi dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan irigasi setelah penyerahannya dan ditandatangani oleh Pemerirtah Daerah dan ketua Perkumpulan HIPPA tingkat daerah irigasi.
Ayat (4) s.d. (7) : Cukup jelas.
Pasal 14 ayat (1) : Hak guna air irigasi terutama dimaksudkan untuk mem berikan kepastian dan perlindungan kepada masyarakat petani pemakai air.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Pemberian hak guna air irigasi memperhatikan potensi
sumber air di wilayah irigasi tersebut dengan maksud
memberikan kepastian bagi petani dalam merencanakan
jenis tanaman yang dikehendaki.
Sumber air meliputi air permukaan dan air bawah tanah. Ayat (4) s.d. (5) : Cukup jelas.
Pasal 15 s.d. 16 : Cukup jelas.
Pasal 17 ayat (1) : Perencanaan penyediaan air irigasi tahunan disesuaikan dengan ketersediaan yang didasarkan pada tempat, waktu, jumlah, dan mutu yang diperlukan sesuai kebutuhan bagi
Ayat (2) s.d. (4) : Cukup jelas Pasal 18 s.d 27 : Cukup jelas
Pasal 28 : Guna menjamin kelangsungan fungsi jaringan irigasi maka HIPPA, badan hukum, badan sosial, perorangan, dan pemakai air irigasi untuk keperluan lainnya bersama-sama
dengan masyarakat di sekitar jaringan irigasi dan
Pemerintah Daerah melakukan upaya pengamanan jaringan irigasi dari kerusakan-kerusakan yang timbul akibat daya rusak air, manusia, dan atau hewan.
Pasal 29 : Cukup jelas Pasal 30 ayat (1) : Cukup jelas
Ayat (2) : Bantuan dan fasilitasi dalam rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi kepada HIPPA dituangkan dalam rencana kerja, pembagian tugas, pelaksanaan dan pembiayaannya disepakati bersama antara HIPPA dan Pemerintah Daerah atau pihak lain.
Pihak lain adalah perorangan, badan hukum, dan badan sosial.
Ayat (3) s.d.(6) : Cukup jelas
Pasal 31 ayat (1) : Kegiatan inventarisasi yang dimaksud meliputi
pengumpulan, pengolahan, pemeliharaan, pengamanan,
dan pemutakhiran data serta informasi lain yang ada kaitannya dengan jaringan irigasi.
Inventarisasi dilaksanakan pada seluruh daerah irigasi yang akan digunakan antara lain dalam penyusunan alokasi air dalam rangka hak guna air irigasi, perhitungan alokasi dana pengelolaan irigasi, dan sebagai dasar perencanaan dan pengendalian.
Ayat (2) s.d. (5) : Cukup jelas Pasal 32 ayat (1) : Cukup jelas
Ayat (2) : Dalam hal melakukan audit kelembagaan, keuangan, dan teknis pelaksanaan pengelolaan irigasi, Pemerintah Daerah didampingi HIPPA melakukan penelusuran jaringan irigasi dan pengawasan kinerja jaringan irigasi.
Pasal 33 ayat (1) : Hasil perencanaan manajemen aset akan digunakan
sebagai bahan penyusunan program pengelolaan irigasi. Ayat (2) s.d. (5) : Cukup jelas.
Pasal 34 s.d. 36 : Cukup jelas.
Pasal 37 ayat (1) : HIPPA ikut menjaga keberlanjutan dari fungsi jaringan irigasi dan menyelenggarakan pengelolaan irigasi yang baik dalam kegiatan pembangunan, rehabilitasi, ataupun peningkatan jaringan irigasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan secara partisipasi, dengan menempatkan HIPPA sebagai pengambil keputusan sejak tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaannya. Ayat (2) : Cukup jelas.