• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POLA ASUH MAKAN DAN STATUS GIZI PADA BAYI DI KELURAHAN PB SELAYANG MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS POLA ASUH MAKAN DAN STATUS GIZI PADA BAYI DI KELURAHAN PB SELAYANG MEDAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLA ASUH MAKAN DAN STATUS GIZI

PADA BAYI DI KELURAHAN PB SELAYANG MEDAN

Taufik Ashar, Zulhaida Lubis, Evawany Aritonang

Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

Abstract

Inadequate food consumption is one of the causes under nutrition in infant. This research aim to: 1) knowing breastfeeding pattern to the infant (giving ASI in first time, frequency and length time in giving ASI one day), 2) knowing complementary feeding (MPASI) pattern to the infant (giving MPASI in first time, type and frequency MPASI in one day), and 3) knowing infant nutritional status.

This research has been done in PB Selayang II Sub District Medan city. Desain of this study is cross sectional study in 100 infant samples. Data consists of infant characteristic, ASI and MPASI pattern, and infant nutritional status that collected by interview with food recall and food frequency methods. Infant nutritional status analysis used of infant weight and height measurement.

This research showed that there is no one infant that have Early Nursing Initiation (IMD), no infant that have frequency with on demand way i.e 10% in infant with 0-6 month and 20% in infant with 7-12 month, 80% infant are nursing in ≥ 15 minutes and 20% infant are nursing in < 15 minutes, only 1% infant that have Exclusive Breastfeeding. Another conclusion is that 10% neonates that have MPASI. Type of MPASI that high consumption is non commercial food, 5% infant have under nutrition and 75% infant have normal nutritional status based on the measurement of weight body.

This research recommends that mother need to increase their awareness and their knowledge about exclusive breastfeeding and complementary feeding (MPASI) rightly in time and type.

Keywords:Breastfeeding pattern, food complementary pattern, infant nutritional status

PENDAHULUAN

Bayi merupakan salah satu kelompok rawan gizi. Kekurangan gizi pada masa bayi dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, social, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Selain itu kekurangan gizi dapat menyebabkan terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Badan kesehatan dunia WHO dan UNICEF menyatakan terjadinya gagal tumbuh akibat kurang gizi pada masa bayi mengakibatkan terjadinya penurunan IQ 11 point lebih rendah dibanding anak yang tidak kurang gizi.

Gizi kurang dan gizi buruk saat ini terjadi hampir di semua Kabupaten dan Kota di Indonesia yaitu 110 Kabupaten/Kota dari 440 Kabupaten/Kota di Indonesia dengan prevalensi di atas 30%. Kondisi gizi buruk berpotensi terhadap angka kematian. Hal ini dilihat dari tingginya jumlah kasus gizi buruk yang meninggal di Indonesia selama tahun 2005 yaitu 286 balita. Angka ini diperkirakan lebih tinggi dari yang sebenarnya karena data ini berdasarkan laporan yang terdata dari 7 propinsi. Kasus-kasus

kematian balita akibat gizi buruk yang tidak dilaporkan diyakini masih banyak.

Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang melalui pemberian ASI dan MPASI. Pada bayi pemberian ASI dan MPASI yang tidak benar ditengarai sebagai penyebab tingginya angka kesakitan dan gizi kurang. Manfaat ASI untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi sudah dibuktikan secara akurat yaitu untuk imunitas tubuh, ekonomis, psikologis, praktis dan lain-lain. Pemberian ASI secara eksklusif yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan lain direkomendasikan selama 6 bulan. Sedangkan MPASI direkomendasikan setelah usia bayi 6 bulan seiring dengan bertambahnya kebutuhan gizi bayi dan menurunnya produksi ASI.

Survei gizi yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Medan pada tahun 2006 menemukan bahwa Puskesmas P.B. Selayang merupakan salah satu puskesmas yang mempunyai prevalensi gizi kurang yang cukup besar yaitu 4,7% (132 orang) dan gizi buruk 8 orang. Masih tingginya kasus gizi kurang dan gizi buruk pada balita dapat diasumsikan belum baiknya pola konsumsi dan praktek pemberian ASI

(2)

pada bayi. Berdasarkan hal ini ingin diketahui bagaimana pola asuh makan dan, status gizi bayi.

Perumusan Masalah

Praktek pemberian ASI dan MPASI pada bayi belum diketahui apakah sudah dilakukan dengan baik dan benar sehingga dapat dianalisis sebagai factor penyebab tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Kelurahan PB Selayang.

Tinjauan Pustaka Peran ASI bagi Bayi

ASI (Air Susu Ibu) merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses laktasi. ASI terdiri dari berbagai komponen gizi dan non gizi. Keberhasilan laktasi dipengaruhi oleh kondisi sebelum dan saat kehamilan. Kondisi sebelum kehamilan ditentukan oleh perkembangan payudara saat lahir dan saat pubertas. (Suharyono, 1990).

Pemenuhan kebutuhan gizi bayi 0-6 bulan mutlak diperoleh melalui Air Susu Ibu bagi bayi dengan ASI eksklusif (Butte et al, 2002; Kramer and Kakuma, 2002; WHO, 2002). Berdasarkan hal ini maka upaya perbaikan gizi bayi 0-6 bulan didasarkan bahwa gizi kurang pada usia kurang dari 2 tahun akan berdampak terhadap penurunan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kecerdasan, dan produktivitas; dimana dampak ni sebagian besar tidak dapat diperbaiki (irreversible).

Studi-studi di banyak negara berkembang mengungkap bahwa penyebab utama terjadinya gizi kurang dan hambatan pertumbuhan pada anak-anak usia 3-15 bulan berkaitan dengan rendahnya pemberian ASI dan buruknya praktek pemberian makanan pendamping ASI (Shrimpton, 2001). Di Indonesia hanya 14% bayi mendapat ASI eksklusif sampai usia 5 bulan dan hanya 8% bayi mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan (Depkes, 2004)

ASI merupakan satu-satunya makanan terbaik bagi bayi sampai berumur 6 bulan karena mempunyai komposisi gizi yang paling lengkap dan ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi selama 6 bulan pertama. Sayangnya hanya 39% dari semua bayi di dunia yang mendapat ASI eksklusif (WHO, 2002).

Kombinasi asam amino dalam ASI sangat sesuai secara biokimiawi untuk pertumbuhan bayi. Kadar protein yang rendah mengakibatkan saluran cerna bayi tidak dimasuki zat protein asing dalam jumlah besa (Suharyono, 1990). Asam lemak dalam ASI memungkinkan bayi memperoleh energi cukup dan dapat membentuk myelin dalam susunan saraf, sedangkan kandungan elektrolit (natrium, kalium,

klorida) yang sangat rendah pada ASI dibanding susu sapi tidak memberatkan beban ginjal. Selain itu ASI juga mengandung beberapa hormon yaitu kortisol, somatostatin, oksitosin, dan prolaktin, serta faktor pertumbuhan (ACC/SCN, 1991).

MPASI bagi Bayi

MPASI (Makanan Pendamping ASI) adalah makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia di atas enam bulan karena ASI tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. MPASI yang baik dan benar bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan bayi. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur-angsur untuk mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima bermacam makanan dengan tekstur dan rasa. Usia 6 bulan merupakan peralihan tahap pertama dalam pengaturan makan bayi. ASI tetap menduduki tempat yang penting sebagai makanan anak.

Pemberian MPASI harus bertahap dan bervariasi mulai dari bentuk cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lunak dan akhirnya makanan padat. Pemberian makanan cukup 2 kali sehari. Pemilihan jenis bahan makanan yaitu: 1. Bahan makanan pokok sumber kalori yaitu

beras, gandum, jagung, kentang, pisang, dan ubi. 2. Bahan makanan sumber protein nabati yaitu

bahan makanan kacang-kacangan seperti kacang hijau, kacang tolo, dan kacang kedele.

3. Bahan makanan sumber protein hewani yaitu ikan, telur, daging, dan susu.

4. Bahan makanan sumber vitamin dan mineral yaitu sayuran berwarna hijau.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian:

1. Untuk mengetahui pola pemberian ASI pada bayi (waktu pemberian ASI pertama kali, frekuensi dan lama pemberian ASI dalam sehari).

2. Untuk mengetahui pola pemberian MPASI pada bayi (waktu pemberian MPASI pertama kali, jenis dan frekuensi pemberian MPASI dalam sehari).

3. Untuk mengetahui status gizi bayi

Manfaat Penelitian:

Memberikan informasi kepada institusi kesehatan pola pemberian ASI dan MPASI di masyarakat sehingga dapat mempertimbangkannya dalam berbagai program ataupun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan status gizi bayi dan peningkatan pemberian ASI eksklusif.

(3)

METODE PENELITIAN

1. Lokasi: Kecamatan PB Selayang II Medan dengan alasan di kecamatan ini masih ditemukan 4,7% (132 balita) dan gizi buruk 8 orang.

2. Jenis Penelitian: Survei dengan desain cross sectional study.

3. Populasi: adalah seluruh bayi yang ada di kecamatan PB Selayang II Medan. Dari hasil survei gizi di kota Medan diketahui bahwa jumlah balita di Kecamatan Medan Selayang adalah 1658 orang. (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006).

Sampel: sebagain dari populasi yang ditentukan berdasarkan rumus:

n = N = 94,3 1 + N (d)2

n = sampel N = populasi

d = tingkat kesalahan yaitu 0,1

Untuk menjaga drop out sampel diambil jumlah sampel 100 bayi.

4. Metoda Pengumpulan Data 4.1. Jenis Data

Data dalam penelitian terdiri dari: karakteristik bayi (umur dan jenis kelamin), pola pemberian ASI (waktu pemberian ASI pertama kali, frekuensi dan lama pemberian ASI dalam sehari), pola pemberian MPASI (waktu pemberian MPASI pertama kali, jenis dan frekuensi pemberian MPASI dalam sehari), dan status gizi bayi (berat badan, panjang badan). Data sekunder terdiri dari cakupan bayi, program-program bayi yang dilakukan di Puskesmas PB Selayang dan Kota Medan.

4.2. Cara Pengumpulan Data

Karakteristik ibu dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Pola pemberian ASI dan MPASI pada bayi dikumpulkan dengan metode food recall dan food frequency yang menggambarkan jenis pangan dan frekuensi konsumsi pangan bayi. Penilaian status gizi dengan melakukan penimbangan berat badan dan pengukuran panjang badan bayi setiap bulan selama 6 bulan. Status gizi bayi diukur dengan menggunakan Z skor berdasarkan berat badan (Z skor BB/U) dan Z skor berdasarkan panjang badan (Z skor PB/U) yang dibandingkan dengan baku NCHS.

5. Analisa Data

Data yang dikumpulkan disajikan dalam distribusi frekuensi dianalisa secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Bayi dan Ibu

Tabel 1. Karakteristik Bayi dan Ibu

No Karakteristik N %

1. Umur Bayi (bulan) 0-6 7-12 40 60 40,0 60,0 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 48 52 48,0 52,0 3. Status Bayi Anak pertama Anak Kedua > Anak Kedua 38 47 15 38,0 47,0 15,0 Cara Lahir Normal Sectio Caesarea Vacuum 90 2 8 90,0 2,0 8,0 4. Umur Ibu (tahun)

< 20 tahun 20-35 tahun > 35 tahun 10 85 5 10,0 85,0 5,0 5. Pendidikan Ibu SD SMP SMU Sarjana 30 60 10 0 30,0 60,0 10,0 0,0 6. Pekerjaan Ibu

Tidak Bekerja (Ibu Rumahtangga) Bekerja Di Rumah

Bekerja Di Luar Rumah

70 10 20 70,0 10,0 20,0

Dari Tabel 1 terlihat bahwa bayi kebanyakan berada pada usia 7-12 bulan dengan jenis kelamin perempuan yang lahir dengan cara normal. Usia ibu paling banyak berada pada usia 20-35 tahun yang menunjukkan berada pada usia reproduksi sehat meskipun ada juga yang berada pada usia risiko dalam melahirkan yaitu di bawah 25 tahun (10%) dan usia di atas 35 tahun (5%).

2. Pola Pemberian ASI

Prinsip pemberian ASI yang benar adalah ASI diberikan langsung segera setelah lahir yang dikenal dengan istilah IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Banyak sekali keuntungan yang didapat bayi bila IMD ini diterapkan. Hal ini telah dibuktikan secara ilmiah berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Meskipun banyak manfaat yang dperoleh, IMD ini masih sangat sedikit dilakukan di rumahsakit ataupun tempat-tempat pelayanan

(4)

persalinan. Hal ini bisa disebabkan karena ketidak tahuan ibu dan petugas kesehatan, ataupun karena factor petugas kesehatan yang tidak mau direpotkan dengan praktek IMD ini. Dalam penelitian ini bayi yang mendapat ASI begitu lahir atau mendapat IMD tidak ada (0%).

Berdasarkan wawancara diketahui bahwa semua ibu (responden) tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan IMD bahkan mendengar istilah IMD saja belum pernah. Ibu yang memberi ASI kurang dari 1 hari pada umumnya disebabkan karena arahan bidan dan dokter meskipun belum semua ibu yang memberi ASI kurang dari 1 hari ini sudah keluar ASI nya. Pada ibu yang memberi ASI lebih dari 1 hari disebabkan karena factor ASI yang belum keluar, factor ibu, ataupun factor bayi. Faktor ibu meliputi kesehatan atau keadaan ibu misalnya ibu dalam keadaan sakit atau ibu melahirkan secara Caesar (operasi). Sedangkan factor bayi meliputi kesehatan atau keadaan bayi misalnya bayi dalam keadaan sakit atau dilahirkan secara tidak normal seperti vakum.

Frekuensi pemberian ASI yang benar adalah sesuka bayi yang dikenal dengan istilah on demand. Hal ini berarti pemberian ASI dilakukan secara tidak terjadwal. Dengan pola pemberian ASI tak terjadwal ini menuntut penyediaan waktu ibu terhadap bayi secara utuh (24 jam). Hal inilah yang

membuat penerapan pemberian ASI sesuka bayi susah terpenuhi terutama pada ibu yang bekerja.

Dalam penelitian ini juga terlihat bahwa ibu yang dapat memberi ASI secara tidak terjadwal pada umumnya adalah ibu yang tidak bekerja di luar rumah ataupun kalau bekerja maka jenis pekerjaan ibu adalah yang dilakukan di rumah seperti jualan (berdagang), menjahit, ataupun usaha salon). Pemberian ASI sesuka bayi juga bukan berarti bahwa otomatis bayi mendapat ASI eksklusif (selain ASI juga mendapat makanan tambahan lain). Beberapa bayi yang disusui dengan frekuensi sesuka bayi adalah bayi yang mendapat ASI eksklusif (ASI saja tanpa makanan lain).

Bila bayi tidak mendapat ASI eksklusif maka sebaiknya bayi disusui dengan frekuensi minimal 8 kali sehari dengan asumsi 2 kali pada pagi hari, 2 kali pada siang hari, 2 kali pada sore hari, dan 2 kali pada malam hari. Frekuensi 8 kali ini didasarkan pada asumsi tercukupinya kebutuhan gizi bayi dengan semakin seringnya bayi disusui. Dalam penelitian ini terlihat bahwa 30% mendapat frekuensi pemberian ASI ≥ 8 kali sehari. Hal ini dapat dilakukan juga karena umumnya ibu tidak bekerja ataupun bekerja di rumah, meskipun beberapa dari ibu ada juga yang bekerja di luar rumah.

Tabel 2. Distribusi Bayi berdasarkan Waktu Pertama Kali Mendapat ASI

Usia 0-6 Bulan Usia 7-12 Bulan Total

Waktu Pertama Kali ASI

N % N % N %

Begitu Lahir (IMD) 0 0,0 0 0,0 0 0,0

< 1 hari 10 10,0 10 10,0 20 20,0

1 - 2 hari 25 25,0 35 35,0 60 60,0

3 - 4 hari 5 5,0 10 10,0 15 15,0

> 4 hari 0 0,0 5 5,0 5 5,0

Total 40 40,0 60 60,0 100 100,0

Tabel 3. Frekuensi Pemberian ASI dalam Sehari

Usia 0-6 Bulan Usia 7-12 Bulan Total

Frekuensi Pemberian ASI

N % N % N %

Sesuka Bayi 30 30,0 30 30,0 60 60,0

≥ 8 Kali 10 10,0 20 20,0 30 30,0

< 8 Kali 0 0,0 10 10,0 10 10,0

Total 40 40,0 60 60,0 100 100,0

Tabel 4. Lama Pemberian ASI Setiap Penyusuan

Usia 0-6 Bulan Usia 7-12 Bulan Total

Lama Pemberian ASI

N % N % N %

≥ 15 menit 35 35,0 45 45,0 80 80,0

< 15 menit 5 5,0 15 15,0 20 20,0

(5)

Selain frekuensi pemberian ASI maka lama pemberian ASI juga merupakan factor yang menentukan keberhasilan produksi ASI. Semakin sering bayi disusui dan lama maka produksi ASI akan semakin lancar karena hormone prolaktin dan oksitosin yang berperan dalam produksi ASI di kelenjar mamae (kelenjar payudara) akan bekerja semakin optimal.

Indicator lama menyusui ≥ 15 menit didasarkan pada kajian WHO untuk prediksi jumlah ASI yang dihasilkan ibu yaitu setara dengan 60 ml ASI (Worthington-Roberts, 1993 dalam Riyadi. H, 2002). Selain itu lama penyusuan juga sebagai asumsi apakah produksi ASI lancar dan cukup. Bila produksi ASI lancar dan cukup maka bayi akan menyusu selama minimal 15 menit. Sebaliknya bila produksi ASI tidak lancar dan tidak cukup maka bayi tidak akan lama menyusu yaitu kurang dari 15 menit. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa lama penyusuan juga dipengaruhi oleh frekuensi penyusuan. Hal ini berarti bahwa pada ibu yang frekuensi pemberian ASI nya sering pada umumnya akan mampu untuk menyusui lebih dari 15 menit setiap kali menyusui.

Secara otomatis bayi akan berhenti menyusu pada waktu kurang dari 15 menit bila produksi ASI tidak lancar dan tidak cukup meskipun bayi masih lapar. Sebaliknya bila produksi ASI lancar dan cukup maka bayi akan terus menyusu lebih dari 15 menit sampai bayi puas dan kenyang bahkan kadang-kadang sampai tertidur.

Dalam penelitian ini terlihat bahwa 80% ibu memberi ASI ≥ 15 menit. Hal ini kebanyakan terdapat pada ibu yang menyusui secara on demand

ataupun pada ibu dengan frekuensi penyusuan ≥ 8 kali sehari. Sebaliknya 20% ibu memberi ASI kurang dari 8 kali sehari. Hal ini terdapat pada ibu dengan frekuensi penyusuan kurang dari 8 kali sehari.

3. Pola Pemberian MPASI

Pemberian MPASI yang terlalu dini yaitu pada usia bayi kurang dari 6 bulan tidak direkomendasikan karena berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa MPASI dini merupakan salah satu factor yang menyebabkan kejadian diare pada bayi karena factor ketidak higienisan dalam penyediaan dan pemberian MPASI. Selain itu juga MPASI dini ini juga akan mengakibatkan penurunan produksi ASI bahkan dapat memberhentikan produksi ASI yang disebabkan pengurangan frekuensi pemberian ASI.

Dalam penelitian ini terlihat bahwa tidak ada satu orang pun ibu yang memberi MPASI setelah bayi usia lebih dari 6 bulan. Sebagian besar bayi sudah mendapat MPASI pada usia 1-3 bulan bahkan ada yang sudah memberi MPASI begitu lahir. Pemberian MPASI pada usia 4-6 bulan terdapat pada 15%. Adanya ibu yang memberi MPASI (susu formula) begitu lahir disebabkan adanya pemberian susu formula gratis oleh bidan ataupun ASI yang belum keluar. Sedangkan bayi yang mendapat MPASI pada usia 1-3 bulan atau bayi usia 4-6 bulan disebabkan ketidaktahuan ibu kapan waktu pemberian MPASI secara tepat dan factor pengalaman pengasuhan dari anak sebelumnya.

Tabel 5. Distribusi Bayi berdasarkan Waktu Pemberian MPASI Pertama Kali

Usia 0-6 Bulan Usia 7-12 Bulan Total

Waktu Pertama Kali MPASI

N % N % N % Begitu Lahir 3 3,0 7 7,0 10 10,0 < 1 bulan 19 19,0 30 30,0 49 49,0 1 - 3 bulan 13 13,0 12 12,0 25 25,0 4 - 6 bulan 4 4,0 11 11,0 15 15,0 > 6 bulan 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total 39 39,0 60 60,0 99 99,0

Tabel 6. Distribusi Bayi berdasarkan Jenis Pemberian MPASI

Usia 0-6 Bulan Usia 7-12 Bulan Total

Jenis Pemberian MPASI

N % N % N %

Susu Formula 5 5,0 10 10,0 15 15,0

Buah/Sari Buah 5 5,0 7 7,0 12 12,0

MPASI Komersial 4 4,0 13 13,0 17 17,0

MPASI Non Komersial 25 25,0 30 30,0 55 55,0

(6)

Tabel 7. Distribusi Bayi berdasarkan Frekuensi Pemberian MPASI dalam Sehari

Usia 0-6 Bulan Usia 7-12 Bulan

1 Kali 2 Kali ≥ 3 Kali 1 Kali 2 Kali ≥ 3 Kali

Jenis MPASI

N % N % N % N % N % N %

Susu Formula 4 4,0 3 3,0 1 1,0 6 6,0 1 1,0 0 0,0

Buah/Sari Buah 3 3,0 2 2,0 1 1,0 4 4,0 1 1,0 1 1,0

MPASI Komersial 2 2,0 1 1,0 1 1,0 6 6,0 4 4,0 3 3,0

MPASI Non Komersial 10 10 17 17 3 3,0 8 8,0 10 10 7 7,0

Jenis MPASI yang diberikan pada bayi dikelompokkan atas 4 kelompok yaitu susu formula, buah/sari buah, MPASI komersial, dan MPASI non komersial. MPASI komersial merupakan MPASI yang dibuat oleh industri makanan, dijual dalam kemasan sachet, kotak ataupun kaleng yang terdiri dari biscuit bayi ataupun bubur bayi baik bubur susu maupun bubur tim. Sedangkan MPASI non komersial merupakan MPASI yang dibuat sendiri oleh ibu yang terdiri dari bubur nasi ataupun bubur tepung beras yang dimasak dengan sayuran dan lauk seperti tahu, tempe, telur, dan lain-lain.

Dalam penelitian ini terlihat bahwa MPASI yang dominant diberikan pada bayi baik bayi usia 0-6 bulan ataupun bayi usia 7-12 bulan adalah MPASI non komersial sedangkan susu formula dan MPASI komersial sangat sedikit dikonsumsi bayi. Hal ini disebabkan harga susu formula maupun MPASI komersial sangat mahal sedangkan penghasilan keluarga relative rendah sehingga ibu lebih cenderung memberikan MPASI non komersial yang dimasak sendri di rumahtangga. Sedangkan buah/sari buah yang diberikan umumnya adalah pisang dan papaya meskipun beberapa ibu ada juga yang memberikan jeruk pada beberapa bayi.

Hal terpenting dari pemberian MPASI ini adalah kandungan gizi MPASI tersebut dan kebersihan MPASI baik dalam penyiapannya maupun penyajiannya. Kajian WHO (2002) menyatakan banyaknya bayi yang kurang gizi ataupun diare disebabkan pemberian MPASI yang tidak tepat/sesuai kandungan gizinya dengan kebutuhan bayi dan penyiapan serta penyajian MPASI yang kurang terjamin sanitasi dan higienisannya.

Tabel 7 menjelaskan bahwa frekuensi pemberian MPASI yang paling sering diberikan ibu kepada bayi adalah pemberian MPASI non komersial sebanyak 2 kali sehari. Susu formula pada umumnya diberikan hanya 1 kali sehari baik pada

bayi usia 0-6 bulan maupun bayi usia 7-12 bulan. Hal ini juga disebabkan factor ekonomi yang rendah pada ibu sehingga pemberian MPASI lebih sering berupa MPASI non komersial yang dimasak sendiri dengan harga lebih rendah dibanding susu formula ataupun MPASI non komersial buatan pabrik. Hanya sedikit bayi yang mengkonsumsi susu formula dengan frekuensi 2 kali sehari dan ≥ 3 kali sehari. Demikian juga dengan MPASI komersial meskipun dikonsumsi bayi tetapi paling banyak dikonsumsi dengan frekuensi yang sangat kecil yaitu 1 kali dalam sehari.

4. Status Gizi Bayi

Status Gizi Berdasarkan Berat Badan (BB/U)

Dalam penelitian ini masih menunjukkan adanya bayi yang mempunyai status gizi buruk sebanyak 5% meskipun kebanyakan bayi berstatus gizi baik yaitu sebanyak 75%. Selain itu masih perlu waspada dengan adanya 19% bayi berstatus gizi kurang, karena dikhawatirkan akan menjadi status gizi buruk bila tidak ada upaya perbaikan gizi terhadap bayi yang berstatus gizi kurang tersebut. Bayi yang berstatus gizi lebih ada 1%.

Tabel 8. Distribusi Status Gizi Bayi Berdasarkan Berat Badan (BB/U)

Status Gizi N % Buruk 5 5,0 Kurang 19 19,0 Baik 75 75,0 Lebih 1 1,0 Total 100 100,0

Status Gizi Berdasarkan Panjang Badan (PB/U)

Berdasarkan penilaian status gizi dengan metode NCHS-WHO terlihat bahwa terdapat 25% bayi berstatus pendek, sedangkan 75% bayi berstatus normal. Panjang badan sebagai refleksi status gizi juga dipengaruhi factor lain seperti genetic. Dalam

(7)

penelitian ini tinggi badan orangtua bayi tidak diukur sehingga asumsi bahwa panjang badan yang terlihat pada bayi juga belum dapat sepenuhnya dikatakan sebagai hasil dari asupan gizi saja. Meskipun demikian secara umum dapat dikatakan bahwa status gizi bayi berdasarkan panjang badan cukup baik.

Tabel 9. Distribusi Status Gizi Bayi Berdasarkan Panjang Badan (PB/U)

Status Gizi N %

Pendek 25 25,0

Normal 75 75,0

Total 100 100,0

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

1. Tidak ada bayi yang mendapat Inisiasi Menyusui Dini (langsung disusui) begitu lahir. 2. Masih ada bayi yang disusui setelah 4 hari lahir

yaitu 5%.

3. Tidak semua bayi mendapat frekuensi pemberian ASI secara on demand yaitu 10% bayi usia 0-6 bulan dan 20% bayi usia 7-12 bulan.

4. 80% bayi menyusu dengan waktu ≥ 15 menit dan 20% bayi menyusu dengan waktu < 15 menit.

5. Hanya 1% bayi yang mendapat ASI eksklusif 6. Terdapat 10% bayi yang mendapat MPASI

begitu lahir.

7. Jenis MPASI yang paling dikonsumsi bayi adalah MPASI non komersial sedangkan jenis MPASI yang paling sedikit dikonsumsi bayi adalah susu formula.

8. Terdapat 5% bayi berstatus gizi buruk dan 75% bayi berstatus gizi baik berdasarkan berat badan. 9. Terdapat 25% bayi berstatus gizi pendek dan

75% bayi berstatus gizi normal berdasarkan panjang badan.

2. Saran

1. Dalam upaya meningkatkan status gizi bayi diperlukan kesadaran dan pengetahuan ibu tentang perlunya pemberian ASI eksklusif dan pemberian MPASI yang baik dan benar.

2. Perlunya penyuluhan oleh kader posyandu atau petugas kesehatan tentang inisiasi menyusui dini serta pemberian MPASI secara tepat waktu dan pembuatan MPASI yang sesuai dengan kebutuhan gizi bayi.

DAFTAR PUSTAKA

ACC/SCN. 1991. Subcommittee on Nutrition during Lactation. Committee on Nutritional Status during Pragnancy and Lactation. Food and Nutrition Board. Institute of Medicine. Nutrition during Lactation. National Academy Press. Washington, DC

Butte, N.F., D.H Calloway, and J.L. van Duzen. 1981. Nutritional Assessment of Pregnant and Lactating Navajo Woman. Am.J.Clin.Nutr 34: 2216-2228

Departemen Kesehatan RI. 2000. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 2003. Gizi dalam Angka. Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 2004. Dinas Kesehatan Kota Medan. Profil Dinas Kesehatan Kota Medan

Kramer. M.S, Kakuma. R. 2002. Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. Cochrane Database of Systematic Reviews dalam WHO. 2003. Community Based Strategies for Breastfeeding Promotion and Support in Developing Countries

Riyadi. 2001. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Riyadi. 2002. Pengaruh Suplementasi Zn dan Fe terhadap Status Anemia, Status Seng dan Pertumbuhan Anak Usia 6-24 bulan. Disertasi yang Tidak Dipublikasikan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor

Seksi Pangan dan Gizi Kota Medan. 2006. Evaluasi dan Kegiatan Seksi Pangan dan Gizi Kota Medan Tahun 2005

Shrimpton. 2001. Worldwide Timing of Growth Faltering Implication for Nutritional Intervention. Pediatrics, 107:E7 dalam WHO. 2003. Community Based Strategies for Breastfeeding Promotion and Support in Developing Countries.

(8)

Suhardjo. 1989. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Bumi Aksara bekerja sama dengan Pusat Antar Universitas-Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor

World Health Organization. (WHO). 2002. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding: A Systematic Review. Geneva

Gambar

Tabel 2. Distribusi Bayi berdasarkan Waktu Pertama Kali Mendapat ASI
Tabel 5. Distribusi Bayi berdasarkan Waktu Pemberian MPASI Pertama Kali
Tabel 7. Distribusi Bayi berdasarkan Frekuensi Pemberian MPASI dalam Sehari

Referensi

Dokumen terkait

untuk memperoleh air sehingga diharapkan penggunaan mulsa daun pandan dapat. menunjang keberhasilan tanaman sukun sebagai tanaman

Kapolda  Bali  menyampaikan  dilakukan tes  akademik  kompetensi  dibidang Lalulintas  ini  bertujuan  untuk mengetahui  sejauh  mana  kemampuan para  Perwira  dalam 

Garis besar dari algoritma optimisasi aljabar heuristik adalah menggunakan beberapa aturan-aturan transformasi relasi aljabar untuk mentransformasikan sebuah inisial query

Diharapkan materi penyuluhan yang telah diberikan pada pengusaha emping melinjo di Desa Bernung Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran menghasilkan perubahan sikap yang

Atau dengan kata lain fermentasi substrat padat khususnya tepung beras yang dilakukan pada suhu yang lebih tinggi dari pada suhu kamar yaitu 32 o C dan 35 o C serta waktu yang

sehingga perlu dilakukan usaha pemanfaatan umbi suweg dalam bentuk tepung sebagai bahan yang bisa digunakan untuk mengurangi ketergantungan pada tepung terigu dalam

4,40; prasekolah 1,87) dari skor awal 7–9 yang berarti bahwa terapi mendongeng berpengaruh dalam menurunkan skor kecemasan terhadap tindakan keperawatan, baik pada anak

Dalam penelitian ini dilakukan perancangan alat bantu pada proses mengangkat beban yang mampu meminimasi gaya tekan pada lempeng tulang belakang bagian