• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN UTANG IMPOR, JU A<LAH DAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH (SBIS) PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYELESAIAN UTANG IMPOR, JU A<LAH DAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH (SBIS) PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

J E S Volume 3, Nomor 1, Maret 2018 JURNAL EKONOMI SYARIAH

ISSN 2528-5610 (Print) ISSN 2541-0431 (Online) hlm. 78-86

PENYELESAIAN UTANG IMPOR, JU’A<LAH DAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH (SBIS)

PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI

Khozainul Ulum Universitas Islam Lamongan

e-mail: averroz@gmail.com

Abstract: Sharia financial Institution is one of the economic supporters of Indonesia. It is evidenced by the number of Islamic financial institutions that have sprung up this year, both sharia bank and non-bank sharia financial institution. It accommodates the aspiration and need of the society. The public is given the widest opportunity to establish a bank based on sharia principles, including convert from commercial banks whose business activities are based on conventional patterns into sharia patterns. The more sharia financial institutions that emerge, the more products offered by Islamic financial institutions to customers with the level of risk that can be overcome. The writing aims to answer the formulation of problem of settlement of import debts, contract of ju’a>lah and Sharia Certificate of Bank Indonesia (SBIS) in perspective of DSN-MUI fatwa. The result of research shows that in the DSN-MUI fatwa, it is explained that the settlement of imported debt or we know as letter of credit (L/C) may use the kafa>lah contract by taking a fee. It is also explained that one of the forms of kafa>lah contract is kafa>lah bi al-ma>l which is the application of kafa>lah contract which guarantees the payment of goods or debt repayment. This guarantee may be provided by the sharia bank to its customers in return for a fee. For the settlement of import debt there are several contracts that can be used, namely the contract of h}iwa>lah bi al-ujrah, waka>lah bi al-ujrah, and kafa>lah bi al-ujrah The Sharia Certificate of Bank Indonesia which used to be wadi>’ah with Wadi>’ah Certificate of Bank Indonesia which is now changed with Sharia Certificate of Bank Indonesia uses ju’a>lah contract. In this contract, Bank Indonesia pays the repayment upon maturity of SBIS with the relevant sharia banking record having performed and achieving the objectives expected by Bank Indonesia. If the sharia banking concerned is not able to achieve the desired objectives or stipulated by Bank Indonesia in terms of monetary control based on sharia principles, the relevant sharia banking will not receive any compensation from Bank Indonesia.

Keywords: Import Debt Settlement, Ju’a>lah, Sharia Certificate, Bank Indonesia,

DSN-MUI Fatwa Pendahuluan

Lembaga Keungan Syariah merupakan salah satu penyokong perekonomian bangsa Indonesia, ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga keuangan syariah yang bermunculan sampai dengan tahun ini, baik itu berupa bank syariah atau lembaga keuangan syariah non bank. Hal ini guna menampung aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip syariah. Termasuk juga mengkonversi dari bank umum yang kegiatan usahanya berdasarkan

(2)

J E S Volume 3, Nomor 1, Maret 2018

pada pola konvensional menjadi pola syariah. Tentunya, semakin banyak lembaga keuangan syariah yang muncul maka semakin banyak pula produk-produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah kepada para nasabah dengan tingkat risiko yang bisa diatasi.

Dengan adanya produk-produk yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah kepada pada nasabah, ini menjadikan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) membuat fatwa yang berisikan fatwa-fatwa tentang produk-produk akad yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah kepada nasabah, sehingga produk-produk yang ditawarkan dengan menggunakan akad-akad tertentu bisa digunakan oleh lembaga keuangan syariah. Dalam bukunya, Ismail menjelaskan bahwa tugas DSN-MUI adalah meneliti produk dan jasa yang akan diluncurkan dan memberikan fatwa tentang produk dan jasa bank syariah.2

Tentunya, dalam fatwa-fatwa yang dibuat oleh DSN-MUI mencakup banyak produk akad yang akan diluncurkan, mencakup fatwa tentang akad jasa, jual beli dan kerjasama. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas beberapa akad yang diaplikasikan dalam lembaga keuangan syariah yang nantinya akan dianalisis dengan menggunakan fatwa DSN-MUI. Analisis ini dilakukan untuk menjawab rumusan masalah akad penyelesaian utang impor, akad Ju’a>lah dan Sertifikan Bank Indonesia Syariah (SBIS) dalam perspektif fatwa DSN-MUI.

Akad Penyelesaian Utang Impor

Dalam aplikasi di lembaga keuangan Syariah, akad penyelesaian utang impor juga disebut Letter of Credit atau L/C yang menggunakan akad kafa>lah. Dalam konsideran DSN- MUI No: 61/DSN-MUI/V/2007 tentang Penyelesaian Utang Dalam Impor dijelaskan bahwa L/C itu berkisar pada akad waka>lah, kafa>lah, dan d}ama>n (kafa>lah). Adapun d}ama>n (kafa>lah) dengan imbalan yang menurut Mazhab Shafi’i hukumnya boleh (jawa>z), meskipun menurut beberapa mazhab lain hukumnya haram atau makruh.3 Dalam buku karangan Nur Rianto Al Arif mengatakan bahwa kafa>lah berarti jaminan yang diberikan oleh penanggung (ka>fil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafa>lah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.4

Dalam aplikasi bank syariah, kafa>lah merupakan produk jasa yang diberikan kepada nasabah yang mengajukan garansi kepada bank untuk melakukan pekerjaan atas perintah pihak yang memberi kerja. Pemberi kerja biasanya mensyaratkan kepada penerima kerja, bahwa ada penjamin yang mau menjamin penyelesaian pekerjaannya, sehingga pemberi kerja merasa terjamin atas pelaksanaan pekerjaan yang diberikan.5 Akad kafa>lah ini bukan hanya digunakan dalam transaksi proyek-proyek yang dilakukan oleh developer, tapi juga bisa diaplikasikan kepada transaksi utang dalam impor. Oleh karena itu terdapat macam-macam kafa>lah, yaitu:6

1 Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), 16. 2 Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana, 2011), 37.

3 Dewan Syariah Nasional No: 61/DSN-MUI/V/2007 Tentang Penyelesaian Utang Dalam Impor.

4 Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis (Bandung: Pustaka Setia,

2012), 189-190.

5 Ismail, Perbankan Syariah, 201.

(3)

J E S Volume 3, Nomor 1, Maret 2018

1. Kafa>lah bi al-nafs

Merupakan jaminan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang mengajukan utang kepada pihak lain. Dalam aplikasi bank syariah, kafa>lah bi al-nafs

diberikan oleh seseorang yang menjamin orang lain yang mengajukan pembiyaan di bank syariah. Jaminan perorangan ini di bank konvensional dikenal dengan personal guarantee, yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang karena reputasi atau karena jabatannya, atau sebab lain agar pihak bank berkenan memberi pinjaman kepada pihak yang dijamin.

2. Kafa>lah bi al-ma>l

Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Jaminan ini dapat diberikan oleh bank syariah kepada nasabahnya dengan imbalan berupa fee.

3. Kafa>lah bi al-tasli>m

Merupakan perjanjian dalam memberikan jaminan pengembalian atas barang yang disewa pada saat perjanjian sewa berakhir.

4. Kafa>lah al-munja>zah

Merupakan jaminan yang diberikan oleh penjamin atas pekerjaan yang dilakukan oleh pihak yang dijamin. Kafa>lah al-munja>zah dibatasi oleh kurun waktu tertentu atau dihubungkan dengan maksud tertentu.

5. Kafa>lah al-mu’allaqah

Merupakan akad perjanjian yang dilakukan oleh tiga pihak, yaitu pihak penjamin (bank syariah), pihak terjamin (pemberi kerja), dan pihak yang dijamin (nasabah). Jenis kafa>lah al-mu’allaqah hampir sama dengan kafa>lah al-munja>zah. Dalam aplikasi bank syariah, jaminan diberikan dalam produk performance bonds, yaitu jaminan yang diberikan oleh bank dalam rangka pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh nasabah untuk kepentingan pihak pemberi kerja.

Dari macam-macam kafa>lah di atas, maka untuk akad penyelesaian utang impor bisa menggunakan akad kafa>lah bi al-ma>l dan bank bisa mengambil imbalan/fee/ujrah dari nasabahnya. Dengan demikian bisa dikatakan kafa>lah bi al-ujrah.

Lebih mudahnya memahami ilustrasi tentang kafa>lah bi al-ujrah, perhatikan contoh berikut ini.7 Terkadang dalam hubungan internasional yang tak mungkin dihindari adalah hubungan bilateral ataupun multibilateral dalam hal perniagaan dan transaksi perdagangan internasional antara dua negara atau lebih yang sama-sama memiliki kompetensi dalam hal memproduksi barang tertentu dan sama-sama saling membutuhkan barang yang diperlukan untuk kepentingan dalam negeri.

Oleh kerana itu kita mengenal istilah ekspor-impor dalam hal hubungan internasional bilateral ataupun multibilateral. Secara umum, selalu ada kekhawatiran dari pihak importir ketika melakukan transaksi pemasokan barang dari luar negeri dengan mengirimkan uangnya terlebih dahulu sebelum negara pengekspor mengirimkan barangnya ke negara yang memasok barang atau importir. Demikian pula negara pengekspor tatkala melakukan pengiriman barang ke negara pemasok barang juga mengalami kekhawatiran ketika barang yang dikirim bahwa

7 Fahadil Amin Al Hasan, “Kafa>lah”, dalam https://catatanobh.wordpress.com/2013/03/03/kafa>lah/ diakses pada

(4)

J E S Volume 3, Nomor 1, Maret 2018

importir tidak akan membayar barang-barang yang telah dikirim kepada mereka oleh eksportir.

Untuk itulah, adanya kafa>lah bi al-ujrah atau yang juga dikenal dengan nama the letter

of Credit ini untuk menjamin keberlangsungan dan kenyamanan berniaga atau transaksi antara

kedua pihak, baik itu eksportir maupun importir. Kafa>lah bi al-ujrah ataupun Letter of Credit

merupakan dokumen bank yang pada dasarnya merupakan bentuk dari janji atau komitmen bank kepada pihak ekportir melalui bank untuk pembayaran, pembelian atau akseptasi dokumen-dokumen yang mereka kirim dengan syarat seluruh klausul yang telah disyaratakan di awal telah disepakati dan dilaksanakan.8

Walaupun umumnya Letter Of Credit dilaksanakan dengan menggunakan akad h}awa>lah

(pengalihan hutang) dan akad waka>lah (mewakilkan) akan tetapi Dewan Syariah Nasional dalam salah satu fatwanya yang dikeluarkan pada tahun 2007 tentang kafa>lah bi al-ujrah di Jakarta menetapkan bahwa Letter of Credit boleh hukumnya menggunakan akad kafa>lah (penjaminan) dengan memberikan ujrah (fee) kepada lembaga keuangan syariah yang melaksanakan akad kafa>lah bi al-ujrah tersebut. Dan apabila terjadi hal-hal yang diperselisihkan di antara pihak ekportir dan importir maka dapat diselesaikan di Badan Arbitrase Departemen Agama.9

Manfaat Letter of Credit Menggunakan Akad Kafa>lah bi al-Ujrah

Dengan adanya Letter of Credit menggunakan akad kafa>lah bi al-ujrah, ada rasa aman bagi pihak-pihak yang melakukan transkasti ekspor impor dalam hubungan internasional. Ia juga dapat memperlancar dan mempermudah transaksi penagihan dokumen maupun pembayaran karena semua transaksi pembayaran, pembelian, atau akseptasi dokumen dapat melalui bank. Selain itu, baik antara ekportir maupun importir dapat fokus pada bisnis mereka dan proses pengadaan barang-barang impor mereka.10

Memulai Akad Kafa>lah bi al-Ujrah dalam Letter of Credit

Ketika importir hendak mamastikan bahwa ia dapat menggunakan akad kafa>lah bi al-ujrah tentunya ia harus memulai menandatangi suatu perjanjian yang berisis hak-hak dan kewajiban importir dalam keterkaitannya dengan fasilitas pembukaan jaminan Letter of Credit

oleh bank yang menjamin terlaksananya pembelian, pembayaran tagihan, akseptasi dokumen-dokumen transaksi mereka lewat komitmen yang diberikan oleh bank. Apabila dokumen-dokumen yang disayaratkan telah diterima dan dilengkapi dengan selambat-lambatnya tujuh hari kerja, maka bank yang tadinya telah berkomitmen dengan pembayaran atas tagihan importir harus melakukan pembayaran.

Selain bisa dimulai akad Letter of Credit dengan kafa>lah, ia juga bisa dimulai dengan akad h}awa>lah (pengalihan pembayaran/penagihan) dan juga akad waka>lah(mewakilkan bank membayar tagihan importir) namun yang ingin ditekankan dengan adanya kafa>lah bi al-ujrah

ini bukan pihak bank sebagai wakil atau representasi importir melainkan gambaran akan

8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid.

(5)

J E S Volume 3, Nomor 1, Maret 2018

komitmen bank syariah dalam menjamin kenyamanan dan keamanan transaksi baik itu pihak importir maupun eksportir.11

Praktek Letter of Credit Menggunakan Akad Kafa>lah bi al-Ujrah dalam Perbankan

Sebagaimana penjelasan yang sudah dipaparkan di atas bahwa Letter of Credit

menggunakan akad kafa>lah, yang mana nasabah (importir) mengajukan penerbitan Letter of

Credit kepada Bank untuk menanggung transaksi ekspor dan impornya. Pembukaan L/C oleh

importir dilakukan nasabah melalui bank yang disebut opening bank atau issuing bank, sedangkan bank eksportir merupakan bank pembayaran terhadap barang yang diperdagangakan, dalam hal ini eksportir berhubungan dengan bank pembayar atau disebut

advising bank.12

Akad Ju’a>lah

1. Definisi Ju’a>lah

Ju’a>lah adalah janji atau komitmen (iltiza>m) untuk memberikan imbalan (reward/’iwad}/ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (nati>jah) yang ditentukan dari suatu

pekerjaan.13 2. Rukun Ju’a>lah14

a. Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.

b. Ada 2 orang yang berakad dalam ju’a>lah yaitu:

1) Ja>’il yaitu orang yang mengadakan sayembara (pemberi pekerjaan). Disyaratkan bagi ja>’il itu orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas.

2) ‘A<mil/maj’u>l lah adalah orang yang melakukan sayembara (pihak yang melaksanakan ju’a>lah). Tidak disyaratkan ‘a>mil itu orang-orang tertentu (bebas). c. Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan

barang atau orang lain.

d. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam sayembara tersebut).

e. Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan.

3. Syarat Ju’a>lah15

a. Pihak-pihak yang berju’a>lah wajib memiliki kecakapan bertransaksi (ahliyyah al-tas}arruf), yaitu berakal, baligh, dan rashi>d (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ju’a>lah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.

11 Ibid.

12 Kasmir, Manajemen Perbankan, Edisi Revisi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 143. 13 Dewan Syariah Nasional No: 62/DSN-MUI/XII/2007 Tentang Akad Ju’a>lah.

14 http://ekonomijialah.blogspot.co.id/ diakses pada 14 Oktober 2017. 15 Ibid.

(6)

J E S Volume 3, Nomor 1, Maret 2018

b. Upah (ja’l) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ju’a>lah batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.

c. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haram dan diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ju’a>lah.

d. Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma’lu>m), di samping tentunya harus halal.

Aplikasi dalam Ju’a>lah Perbankan

Aplikasinya ialah pada SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah). Yang termuat pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah. SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.16 SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’a>lah.17

Dengan memperhatikan Peraturan Bank Indonesia tentang SBIS, maka ini mempunyai subtansi yang sama dengan fatwa DSN-MUI No. 62/DSNMUI/XII/2007 tentang Akad Ju’a>lah. Sehingga kalau kita amati dan dihubungkan dengan rukun ju’a>lah, maka dalam SBIS ini Bank Indonesia bertindak sebagai ja>’il (pemberi pekerjaan), bank syariah bertindak sebagai maj’u>l lah (penerima pekerjaan), dan objek/underlying ju’a>lah (mah}al al-‘aqd) adalah

partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.

Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)

1. Sekilas Tentang Sertifikat Wadi>’ah Bank Indonesia (SWBI)18

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Indonesia semakin berkembang sehingga berdampak terhadap peningkatan mobilisasi dana masyarakat.

Dengan perkembangan tersebut maka pengendalian moneter oleh Bank Indonesia melalui operasi pasar terbuka (OPT) yang selama ini melalui bank-bank konvensional dapat diperluas melalui bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Dalam rangka pelaksanaan OPT dimaksud, maka perlu diciptakan suatu piranti dalam bentuk penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadi>’ah yang menjadi sarana penitipan dana jangka pendek bagi bank syariah atau unit usaha syariah yang

16 Pasal 1 No. 4 PBI 10/11/2008 Tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah. 17 Bab III Pasal 3 PBI 10/11/2008 Tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah.

(7)

J E S Volume 3, Nomor 1, Maret 2018

mengalami kelebihan likuiditas yang bukti penitipannya disebut Sertifikat Wadi>’ah Bank Indonesia.

Sertifikat Wadi>’ah Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut SWBI adalah bukti penitipan dana wadi>’ah. Sertifikat Wadi>’ah Bank Indonesia (SWBI) adalah surat berharga yang berbentuk sertifikat dengan menggunakan akad wadi>’ah yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi bank syariah atau unit usaha syariah. SWBI ini dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana oleh perbankan syariah yang bersifat jangka pendek.

Perjanjian SWBI dilakukan oleh pihak Bank Indonesia dengan perbankan syariah serta tidak dapat diperjualbelikan kepada pihak lain. Jangka waktu jatuh tempo penitipan SWBI berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/7/PBI/2004 adalah 7 hari, 14 hari atau 28 hari (jangka pendek). Dana yang dititipkan minimal bernilai Rp. 500.000.000,00 dan di atas nilai tersebut dapat dititipkan dalam kelipatan Rp. 50.000.000,00.

Kepemilikan SWBI berarti perbankan syariah telah menitipkan dananya kepada Bank Indonesia, atau dengan kata lain Bank Indonesia memiliki utang kepada perbankan syariah tersebut. Dana yang telah dititipkan kepada Bank Indonesia dalam bentuk sertifikat tersebut akan disalurkan oleh Bank Indonesia kepada pihak yang membutuhkan dana. Tujuannya agar dana yang dititipkan tersebut dapat bermanfaat serta menghindari terjadinya dana menganggur (idle cash).

Penitipan dana yang dilakukan oleh perbankan syariah tidak dapat diambil kembali sebelum tanggal jatuh tempo. Keuntungan yang didapat oleh perbankan dari SWBI adalah bonus. Pemberian bonus ini dilakukan pada saat tanggal jatuh tempo, di mana besarnya bonus tersebut berdasarkan kewenangan Bank Indonesia. Jumlah bonus yang diberikan disesuaikan dengan kebijakan dan anggaran yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Apabila besarnya anggaran atas SWBI yang telah dianggarkan oleh Bank Indonesia tinggi, maka bonus yang diterima oleh perbankan syariah akan tinggi pula dan sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa bonus yang diterima oleh perbankan syariah jumlahnya fluktuatif, sehingga kemungkinan untuk mendapat return yang rendah ada. Selain itu, pemberian bonus juga dilatarbelakangi oleh kinerja perbankan syariah. Apabila kinerja perbankan syariah tersebut meningkat, maka ia akan mendapat bonus yang tinggi pula.

Selanjutnya SWBI ini tetap berlaku dan tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat Wadi>’ah Bank Indonesia sampai Sertifikat Wadi>’ah Bank Indonesia tersebut jatuh waktu. Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini (Nomor: 10/ 11 /PBI/2008), Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat Wadi>’ah Bank Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)19

Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang

(8)

J E S Volume 3, Nomor 1, Maret 2018

dilakukan berdasarkan prinsip syariah yang menggunakan akad ju’a>lah. SBIS mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Satuan unit sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

b. Berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan. c. Diterbitkan tanpa warkat (scripless).

d. Dapat diagunkan kepada Bank Indonesia. e. Tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.

SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’a>lah, yang bisa memiliki SBIS ini adalah BUS atau UUS yang bisa memenuhi persyaratan Financing to

Deposit Ratio (FDR) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Bank Indonesia membayar imbalan pada saat jatuh waktu SBIS. Perbankan syariah yang telah memiliki SBIS menerima imbalan pada saat jatuh tempo dari Bank Indonesia dengan catatan perbankan syariah yang bersangkutan telah melakukan dan mencapai tujuan yang diharapkan oleh Bank Indonesia. Apabila perbankan syariah yang bersangkutan tidak mampu mencapai tujuan yang diinginkan atau ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam hal pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah, maka perbankan syariah yang bersangkutan tidak akan menerima imbalan dari Bank Indonesia.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam DSN-MUI menjelaskan bahwa penyelesaian utang impor atau yang kita kenal

dengan sebutan Letter of Credit (L/C) boleh menggunakan akad kafa>lah dengan mengambil imbalan (fee). Dijelaskan juga bahwa salah satu bentuk dari akad kafa>lah ini adalah kafa>lah bi al-ma>l yang merupakan aplikasi dari akad kafa>lah yang menjaminkan pembayaran barang atau pelunasan utang. Jaminan ini dapat diberikan oleh bank syariah kepada nasabahnya dengan imbalan berupa fee.

Dalam akad kafa>lah seolah-olah prakteknya sama seperti akad h}awa>lah (mengalihkan utang) atau akad waka>lah (mewakilkan untuk membayar utang). Tapi yang ditekankan di sini adalah ketika bank syariah menggukan akad kafa>lah sebagai akad untuk menyelesaikan utang impor, maka bank bukan menjadi pihak sebagai wakil atau representasi importir melainkan gambaran akan komitmen bank syariah dalam menjamin kenyamanan dan keamanan transaksi baik itu pihak importir maupun eksportir. Sehingga untuk penyelesaian utang impor terdapat beberapa akad yang bisa digunakan yaitu akad

h}awa>lah bi al-ujrah, waka>lah bi al-ujrahdan kafa>lah bi al-ujrah.

2. Akad ju’a>lah adalah akad sayembara, yang mana pemberi pekerjaan berjanji atau berkomitmen (iltiza>m) untuk memberikan imbalan (reward/’iwad}/ju’l) kepada

‘a>mil/maj’u>l lah atas pencapaian hasil (nati>jah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Tentunya dalam akad ini jika maj’u>l lah tidak bisa memenuhi target pekerjaan yang diberikan oleh pemberi pekerjaan. Maka reward/ju’l tidak bisa diberikan. Dalam aplikasi perbankan, diaplikasikan pada Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang menggunakan akad ju’a>lah.

3. Melanjutkan aplikasi akad ju’a>lah, maka analisis tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang dulunya menggunakan akad wadi>’ah dengan nama Sertifikat Wadi>’ah Bank Indonesi yang sekarang berganti dengan Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang

(9)

J E S Volume 3, Nomor 1, Maret 2018

menggunakan akad ju’a>lah. Dalam akad ini, Bank Indonesia membayar imbalan pada saat jatuh waktu SBIS dengan catatan perbankan syariah yang bersangkutan telah melakukan dan mencapai tujuan yang diharapkan oleh Bank Indonesia. Apabila perbankan syariah yang bersangkutan tidak mampu mencapai tujuan yang diinginkan atau ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam hal pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah, maka perbankan syariah yang bersangkutan tidak akan menerima imbalan dari Bank Indonesia.

Daftar Rujukan

Al Arif, Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis. Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Dewan Syariah Nasional No: 61/DSN-MUI/V/2007 tentang Penyelesaian Utang Dalam Impor.

Dewan Syariah Nasional No: 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju’a>lah. Ismail, Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana, 2011.

Kasmir, Manajemen Perbankan, Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012. Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014. Pasal 1 No. 4 PBI 10/11/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah.

Pasal 3 Bab III PBI 10/11/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.

Fahadil Amin Al Hasan, “Kafa>lah”, dalam

https://catatanobh.wordpress.com/2013/03/03/kafa>lah/ http://ekonomijialah.blogspot.co.id/

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisisfaktor risiko usia, jenis kelamin, kolesterol total, kadar trigliserida, hipertensi, dan diabetes

bertadarus siswa melaksanakan pembelajaran dengan penuh rasa tanggungjawab dan sungguh sungguh menghormati guru dan menghargai temanya, selain itu siswa

Kelarutan dalam air merupakan parameter yang EHUKXEXQJDQ GHQJDQ SHOHSDVDQ EDKDQ DNWLI SDGD SHQJDSOLNDVLDQ PLNURNDSVXO 0LNURNDSVXO VHEDLNQ\D memiliki kelarutan yang tinggi

Untuk memudahkan didalam pengelolaan dokumen penting ditentukan sistem pengendalian dokumen agar memudahkan didalam pengelolaan, penyimpanan dan pencarian untuk diberlakukan

Apa interpretasi dari pemeriksaan orofaringeal : tonsil : T4/T4, mukosa hiperemis, kripte melebar +/+, detritus +/+ dan pada faring ditemukan mukosa hiperemis dan terdapat granul

Adanya responden yang memilih jawaban ya dalam menjawab dapat disebabkan kurangnya informasi yang tepat mengenai penggunaan antibiotik yang benar sehingga responden

Berangkat dari hal inilah penulis ingin meneliti lebih jauh lagi sistem- sistem hutang–piutang yang telah diaplikasikan di dalam Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)