• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akomodasi Kepentingan Perempuan melalui Anggaran Berkeadilan Gender

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Akomodasi Kepentingan Perempuan melalui Anggaran Berkeadilan Gender"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

40

Yusnaini Yulia Saftiana

Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya

Abstract

This paper discuss how important budget gender as way to accomodate women interest. Public budgets are not merely economic tools, but summarise policies in monetery terms and express political priorities. Budgets, therefore, are not gender-neutral. They effect women and men indifferent ways, reflecting the uneven distribution of power within society as economic disparities, different living conditions and ascribed social roles. Gender budgeting seeks to make the gender impact of budgets visible and to transform them into an instrument increasing gender equality. Gender budgeting basically involves all levels of government, national, regional and local. Gender budgeting thus involves all stages of the budgetary process and implies gender-sensitive analysis, assessment and restructuring of budgets.

Keyword: budget gender ; public budgets ; gender equality

PENDAHULUAN

Perempuan adalah sebagian dari rakyat Indonesia dan merupakan penyumbang utama sumber penerimaan dalam APBD melalui pajak dan retribusi. Perempuan merupakan sebagian dari rakyat Indonesia, yang juga pelaku pembangunan dan merupakan kelompok masyarakat yang baik secara ekonomi, sosial, budaya maupun politik yang perlu disejahterakan. Amanat konstitusi pasal 23 UUD 1945, juga menyatakan bahwa rakyat (termasuk perempuan) berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan anggaran. Namun sampai saat ini kalangan marjinal perempuan masih mengalami tingkat ketidakadilan sosial yang cukup tinggi.

Terdapat banyak indikator yang menunjukkan tingginya tingkat ketidakadilan sosial yang dialami kaum perempuan di Indonesia. Misalnya tingginya peringkat Angka Kematian Ibu ketika melahirkan (AKI). Angka Kematian Ibu di Sumatera Selatan tahun 2008 mencapai 467 per tahun per 100.000 kelahiran. Angka ini diatas angka rata-rata nasional yang hanya 307 orang per tahun per 100.000 kelahiran. Artinya, dalam sehari dua sampai tiga ibu melahirkan meninggal saat melahirkan di Sumsel (Tempo Interaktif, 2008). Sedangkan di kota Palembang untuk tahun 2009, Angka Kematian Ibu melahirkan hanya 5 berbanding 1000 kelahiran. Hal ini lebih rendah dari tahun 2008 yang menunjukkan angka 7 berbanding 1000 kelahiran (BPS, 2009).

(2)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

41 Data Badan Pusat Statistik

(BPS) tentang jumlah perempuan buta huruf diatas usia 10 tahun dipedesaan adalah 16 persen, sedangkan jumlah laki-laki yang buta huruf kurang dari separuhnya, yaitu hanya 7 persen. Didaerah perkotaan, perbedaan tingkat buta huruf perempuan adalah 8 persen sementara laki-laki hanya 3 persen (BPS, 2008). Data Organisasi Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) menunjukkan bahwa perempuan usia di atas 15 tahun yang buta huruf adalah 45 persen, sedangkan laki-laki hanya 23 persen (Budiharsana, 2005). Angka buta huruf di Sumsel masih sebesar 7 persen. Sekitar lima persen diantaranya adalah perempuan dan dua persen laki-laki (Kompas, 2008). Banyaknya jumlah perempuan yang buta huruf dibandingkan laki-laki menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.

Fenomena mengenai ketidakadilan antara pemenuhan kebutuhan akan jasa publik bagi kaum perempuan dan laki-laki salah satunya disebabkan karena belum diterapkannya anggaran berspektif gender atau yang lebih dikenal dengan Anggaran Berkeadilan Gender (ABG). Sampai saat ini sistem penganggaran di Indonesia dinilai masih netral (bahkan buta) gender. Pemerintah seringkali tidak mempertimbangkan kebutuhan dengan perspektif gender dalam penetapan alokasi dan distribusi anggaran. Fakta menunjukkan bahwa dampak terhadap perempuan dan laki-laki dari diaplikasikannya kebijakan anggaran amat berbeda. Dalam hal ini, perempuan yang secara kultural dan historis mewarisi

ketertinggalan dalam pendidikan dan pengambilan keputusan dibanding laki-laki justru kian terpuruk karena tidak pernah menjadi subjek aktif dalam setiap proses pembangunan. Akibatnya kesenjangan di antara laki-laki dengan perempuan semakin lebar dan menguat.

Australia merupakan negara pertama yang memperkenalkan anggaran yang berbasis gender pada tahun 1984 (Bellamy, 2002). Pemerintahan Australia menempatkan budget sebagai intrumens utama untuk memperkenalkan gender equality, terutama dalam menganalisis dampak dari anggaran publik yang diterapkan. Langkah ini kemudian diikuti oleh negara-negara lain di Eropa seperti Austria, Belgia, Francis, Jerman, Amerika, Turki, Swedia, Spanyol dan lain-lain (Council of Europe, 2005). Negara-negara Asia lain pun telah melaksanakan anggaran berspektif gender seperti India, Bangladesh, Malaysia, Sri Lanka (Banarjee dan Roy, 2003).

Saat ini pemerintah Indonesia telah menyatakan keberpihakannya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender dengan mengeluarkan kebijakan pengarusutamaan gender pada semua program kerjanya. Melalui Inpres No. 9 Tahun 2000, pemerintah berusaha mengambil langkah strategis guna mensosialisasikan perspektif gender. Tiga tahun setelah Inpres tersebut diterbitkan, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan

(3)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

42 di daerah. Peraturan tersebut

menambah jajaran aturan yang ada sebelumnya, misalnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention to Eliminate all forms of Discrimination Against Women; CEDAW). Sehubungan dengan

upaya pemerintah

mengimplementasikan strategi PUG, terdapat beberapa peraturan seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, khususnya Bab 12 yang berisi peningkatan kualitas hidup perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak.

Secara lebih spesifik, pemerintah mengeluarkan rencana kerja tahunan, misalnya Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2005 yang berada di bawah naungan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004. Undang-Undang itu menyebutkan perlunya analisis gender bagi kebijakan pembangunan. Sementara Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2005 yang menjadi dasar kerja RKP 2006 menegaskan bahwa PUG ditetapkan sebagai salah satu strategi yang perlu dilakukan seluruh bidang pembangunan agar kebijakan atau program dan kegiatan pembangunan responsif terhadap isu-isu gender. Meskipun demikian, kita sering menemukan adanya kesenjangan antara program atau kebijakan dengan alokasi anggaran untuk program-program yang telah dirumuskan. Kesenjangan juga tampak di antara kemauan pemerintah untuk lebih transparan dan lebih partisipatif dalam proses perencanaan dengan proses

penganggarannya. Penganggaran dalam hal itu lebih merupakan hak sepenuhnya pemerintah daerah, akan tetapi di lain pihak proses perencanaan diharapkan dapat melibatkan masyarakat. Hal tersebut kemudian mendorong pemerintah untuk mengambil langkah strategis guna mensosialisasikan perspektif gender.

Secara umum, anggaran pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender. Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan daerah yang bersifat aggregate, sehingga faktor manusia yang secara sosial dan budaya berbeda, bahkan dibedakan, tidaklah terpikirkan. Hal itu kemudian dapat menghasilkan kebijakan yang bias. Akibatnya, dampak yang muncul seringkali tidak mendatangkan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Dalam hal itu, pembangunan belum sungguh-sungguh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan memperhatikan kesenjangan gender yang terjadi di tengah masyarakat.

Selain kesenjangan tersebut, juga terdapat masalah mengenai pengetahuan gender di sebagian besar masyarakat maupun aparat pemerintah. Di tingkat masyarakat, pemahaman umum mengenai gender kerap disamakan dengan jenis kelamin perempuan. Pada akhirnya hal tersebut hanya dialamatkan pada isu mengenai perempuan, dibandingkan konstruksi sosial dan budaya yang menyebabkan terjadinya pembedaan peran perempuan dan laki-laki. Dalam praktik, hal itu cenderung mendiskriminasi perempuan dalam bidang apapun, sehingga

(4)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

43 kesejahteraan perempuan jauh lebih

buruk daripada laki-laki. Sekalipun masyarakat memaknai gender sama dengan jenis kelamin perempuan yang bermuara hanya pada isu perempuan, hal itu menunjukkan bahwa ada keinginan untuk berusaha memahami apa yang disebut dengan gender. Di lain pihak, persoalan mendasar justru terletak pada kenyataan bahwa sebagian besar aparat pemerintah daerah yang menangani penganggaran tidak mengetahui sama sekali pengertian tentang gender. Begitu pula bagi yang sudah mengetahui konsep gender, mereka belum mampu menggunakan kacamata gender untuk menentukan prioritas program dan anggaran, baik untuk kebutuhan perempuan maupun laki-laki. Akibatnya, perempuan menjadi pihak yang dirugikan dalam konteks pengalokasian anggaran untuk pembangunan. Dalam hal itu, hasil pembangunan belum menjadikan perempuan setara dengan laki-laki. Dengan demikian, terdapat kesenjangan perspektif gender, baik pada tingkat perumusan program maupun penganggaran.

Pada dasarnya perumusan anggaran yang berspektif gender memiliki kemampuan untuk mengurangi kesenjangan tersebut, sehingga bias yang terjadi dapat dihindarkan. Misalnya, mengenai partisipasi perempuan. Walaupun partisipasi telah dibuka sedemikian luas, hambatan sosial dan budaya yang membayangi perempuan tetap menjadikan mereka kurang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Kalaupun hadir dalam acara-acara pertemuan, perempuan seringkali hanya dihitung dalam

konteks kehadirannya saja, bukan karena sumbangan pemikiran subtantif mereka. Akibatnya, akses dan kontrol mereka terhadap program pembangunan menjadi sangat lemah. Akses dan kontrol terhadap program pembangunan masih lebih banyak berada di tangan kaum lelaki. Hal itu merupakan masalah yang perlu ditanggapi secara serius. Dengan demikian diperlukan pemikiran bersama agar bias gender dapat dihindarkan, karena dapat memberikan dampak sosial berupa diskriminasi terhadap perempuan.

Seiring dengan pemikiran mengenai konsep gender, masih ditemukan adanya kesenjangan antara kebijakan yang berpihak pada keadilan gender dengan program kerja serta cara Pemerintah melakukan pengalokasian serta penggunaan anggarannya. Memperkecil kesenjangan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial merupakan alasan utama bagi mendesaknya kebutuhan anggaran yang berperspektif keadilan. Selain itu, anggaran yang berperspektif keadilan juga dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam demokrasi dan pembangunan, disamping mengurangi angka kemiskinan. Anggaran yang berperspektif keadilan pada prinsipnya berbicara tentang komitmen pemerintah yang diterjemahkan dalam kebijakan anggaran. Tujuan akhir dari anggaran yang berperspektif keadilan adalah adanya anggaran yang berpihak bukan saja kepada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan, khususnya perempuan miskin yang selama ini kurang mendapat manfaat dari alokasi anggaran yang ada.

(5)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

44 Untuk mencapai anggaran

yang berkeadilan gender, maka pengambil keputusan anggaran harus mengetahui konsep dan tujuan anggaran berkeadilan gender. Selain itu harus juga diketahui persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dan juga indikator serta mekanisme penyusunan anggaran berkeadilan gender dalam sebuah lembaga publik. Ukuran yang digunakan sebagai dasar untuk melihat apakah anggaran sudah mencerminkan konsep anggaran berkeadilan gender adalah input, output, outcome, benefit dan impact dari sebuah program.

Berdasarkan fenomena yang diuraikan, paper ini mendiskusikan pentingnya pemahaman pemerintah mengenai anggaran berkeadilan gender. Dengan pemahaman yang melekat dari pihak pemerintahan maka diharapkan anggaran yang ditetapkan dalam APBN atau APBD dapat mememenuhi kebutuhan perempuan. Kebutuhan perempuan yang selayaknya diperhatikan oleh pemerintah tersebut dilaksanakan melalui program-program yang dituangkan dalam anggaran. Kebutuhan perempuan yang paling mendasar antara lain adalah kebutuhan akan kesehatan dan pendidikan.

LANDASAN TEORETIS

Isu-Isu Gender dalam

Penganggaran Daerah

³:RPHQ¶V EXGJHW´, ³JHQGHU EXGJHWV´, ³JHQGHU-sensitive EXGJHWV´, dan ³JHQGHU UHVSRQVLYH EXGJHWV´ atau Anggaran Berkeadilan Gender (ABG) adalah beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan inisiatif atau prakarsa

yang menggunakan gender sebagai kamera untuk menganalisis anggaran pemerintah pada semua tingkatan. Pada prinsipnya istilah-istilah ini memiliki pengertian yang sama, yakni untuk melihat kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek pelayanan publik oleh lembaga pemerintah.

Inisiatif anggaran yang responsif terhadap isu-isu jender (gender-responsive budgeting atau GRB) sesungguhnya sangat beragam, namun semuanya memiliki satu pertanyaan mendasar, yakni apa dampak anggaran pemerintah serta kebijakan-kebijakan dan program-programnya terhadap kepentingan laki-laki dan perempuan, remaja putra dan putri? Menurut OXFAM (2005), GRB berusaha untuk menjamin bahwa isu-isu terkait jender dipertimbangkan dan diprioritaskan dalam semua kebijakan dan program pemerintah, terutama dalam anggaran-anggaran yang dialokasikan untuk merealisasikannya.

Sampai tahun 2003, GRB telah dilaksanakan di lebih dari enam puluh negara, tersebar di semua benua. Perbedaan antar negara relatif besar, yang disebabkan oleh banyak faktor, seperti faktor politik, kondisi sosial, perilaku pembuat keputusan, dan keterbukaan informasi kepada publik. Tidak semua program dan kebijakan GRD dibuat oleh pemerintah. Di sebagian negara ada usulan yang berasal dari parlemen dan organisasi kemasyarakatan, meskipun pada akhirnya melibatkan parlemen pada saat pembuatan keputusan di pemerintahan.

Umumnya prioritas GRB adalah di sektor pendidikan, seperti

(6)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

45 yang telah dilaksanakan di Afrika

Selatan, Kenya, Malawi, Mauritius, Mozambiq, Namibia, Bangladesh, Malaysia, Pakistas dan Sri Lanka. Program yang dilaksanakan diantaranya berupa pelatihan, pendampingan dan pemberian fasilitas-fasilitas publik. Al-Sakkaf (1998) menyatakan bahwa berdasarkan, surveri, pemahaman dan praktik GRB dibeberapa organisasi pemerintahan, non pemerintahan, dan internasional, hanya 33 persen dari sample yang telah mempertimbangkan isu gender dalam penentuan anggarannya. Dr. Abdulqodir Al-Banna, seorang peneliti di The Strategic Development Center di Yaman menemukan bahwa ada 31 organisasi pemerintahan, dan 14 organisasi internasional yang pekerjaannya berkaitan dengan isu-isu gender dan pengembangan perempuan. Dia menyatakan bahwa beberapa orang yang diwawancari mengklaim bahwa mereka telah mengintegrasikan isu gender dalam anggarannya, namun pada kenyataannya mereka tidak melakukan apa-apa selain mengalokasikan dana untuk proyek-proyek berhubungan dengan perempuan.

Di South Australia, GRB terkait pendidikan menggunakan framework sederhana yang kemudian diadopsi di banyak negara. Framework ini membedakan pengeluaran (expenditure) ke dalam tiga kategori, yaitu:

ƒ Gender±targeted expenditure, yakni belanja yang diarahkan langsung kepada upaya untuk memperbaiki persamaan gender (gender equality) seperti

pemberian beasiswa kepada siswa perempuan.

ƒ Staff-related employment-equity expenditures, yakni belanja yang mendorong kesamaan gender dalam pekerjaan di pemerintahan. Di pendidikan, alokasi anggaran untuk memberikan pelatihan kepada guru perempuan untuk membantu mereka menyiapkan peluang karir yang lebih baik di masa yang akan datang.

ƒ Mainstream/general

expenditures, yakni belanja-belanja yang dialokasikan secara tidak proporsional karena adanya konsep mainstream. Misalnya, untuk mata pelajaran ekstrakulikuler (di luar pelajaran wajib), biasanya anggaran banyak dialokasikan untuk mata pelajaran yang umumnya diikuti oleh siswa laki-laki, seperti olahraga, jelajah alam, dan pramuka. Sementara untuk mata pelajaran yang dibutuhkan siswa perempuan, seperti cara mendidik anak, memasak, menjahit, dan keterampilan rumah tangga lainnya sangat sedikit atau bahkan tidak ada.

Sebuah gender budget (GB) tidak berarti harus memisahkan anggaran untuk perempuan. Namun, GB merupakan suatu upaya untuk melihat prioritas pemerintah yang tercermin dalam anggaran dan menguji bagaimana anggaran tersebut berdampak terhadap kaum perempuan dan lelaki. GB tidak melihat apakah jumlah dana yang dihabiskan sama untuk lelaki dan perempuan, tetapi melihat apakah dampak anggaran terhadap lelaki dan perempuan dan apakah respon

(7)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

46 anggaran untuk kedua kelompok

tersebut sudah memadai (UNPC, 2008).

Anggaran sesungguhnya tidak netral secara gender. Anggaran dapat meningkatkan ZRPHQ¶V equality atau untuk memperburuk

³women inequality´ 'HQJDQ NDWD

lain, anggaran dapat meningkatkan income gaps dan bentuk inequality antara lelaki dan perempuan, atau sebaliknya. Anggaran adalah salah satu dokumen kebijakan yang dimiliki pemerintah yang paling penting karena jika tanpa uang, maka pemerintah tidak dapat mengimplementasikan seluruh programnya. Dengan demikin, GB tidak semata-mata tentang belanja, tetapi juga menganalisis pendapatan pemerintah, yakni bagaimana pemerintah memperoleh dana yang

dibelanjakannya, dan

implikasinyanya untuk lelaki dan perempuan.

Pengertian dan Konsep Gender Budget dan Anggaran Berkeadilan Gender

Gender budgeting merupakan suatu aplikasi dari aliran utasma dalam proses penganggaran. Hal tersebut berarti penilaian anggaran didasarkan pada gender, dengan memasukkan perspektif gender pada seluruh tingkatan proses penganggaran dan restrukturisasi penghasilan dan pengeluaran dalam kaitannya dengan meningkatkan ekualitas gender (Bellamy, 2002).

Sebuah Gender Budget (GB) tidak berarti harus memisahkan anggaran khusus untuk perempuan. Namun, GB merupakan upaya untuk melihat prioritas pemerintah yang tercermin dalam anggaran dan menguji bagaimana anggaran

tersebut berdampak terhadap kaum perempuan dan lelaki. GB tidak melihat apakah jumlah dana yang sama dihabiskan untuk lelaki dan perempuan, tetapi melihat apakah dampak anggaran terhadap lelaki dan perempuan dan respon anggaran untuk kedua kelompok tersebut sudah memadai (UNPAC, 2008).

Pemerintah telah menyatakan keberpihakannya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender dengan mengeluarkan kebijakan pengarusutamaan gender pada semua program kerjanya (Inpres No. 9 Tahun 2000). Namun, seiring dengan itu masih sering ditemukan adanya kesenjangan antara kebijakan yang berpihak pada keadilan gender dalam cara Pemerintah melakukan pengalokasikan serta penggunaan anggarannya. Pemerintah dalam menjalankan program atau kegiatannya membutuhkan dana yang dituangkan dalam APBD maupun APBN. Adanya komitmen pemerintah untuk menjalankan pengarusutamaan gender pada semua program kerjanya, seharusnya akan memunculkan APBN dan APBD yang sensitif gender. Maksudnya adalah penggunaan APBD dan APBN demi kesejahteraan masyarakat, semestinya selalu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang berdasarkan pola hubungan yang tidak diskriminatif, baik menurut kelas sosial, agama, kelompok budaya, suku dan jenis kelamin.

Sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2000, anggaran yang berdasarkan pengarusutamaan gender merupakan sebuah proses yang memasukkan analisa gender ke dalam program-program kerja dan

(8)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

47 seluruh kegiatan instansi pemerintah

dan organisasi kemasyarakatan lainnya, mulai dari tahap perencanaan program, pelaksanaan program sampai monitoring dan evaluasi program tersebut. Pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu strategi pembangunan yang dilakukan dengan cara pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Tujuan Anggaran Berkeadilan

Gender

Memperkecil kesenjangan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial merupakan alasan utama bagi mendesaknya kebutuhan anggaran yang berperspektif keadilan. Selain itu, anggaran yang berperspektif keadilan juga dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam demokrasi dan pembangunan, disamping mengurangi angka kemiskinan. Anggaran yang berperspektif keadilan pada prinsipnya berbicara tentang komitmen pemerintah yang diterjemahkan dalam kebijakan anggaran. Tujuan akhir dari anggaran yang berperspektif keadilan adalah adanya anggaran yang berpihak bukan saja kepada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan, khususnya perempuan miskin yang selama ini kurang mendapat manfaat dari alokasi anggaran yang ada (Council of Europe, 2005).

Tujuan lain dari pengarusutamaan gender adalah memastikan apakah perempuan dan

laki-laki memperoleh akses terhadap, berpartisipasi dalam, mempunyai kontrol atas, dan memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Hal ini penting untuk mengidentifikasi apakah laki-laki dan perempuan memperoleh akses yang sama terhadap sumber daya

pembangunan, untuk

mengidentifikasi apakah laki-laki dan perempuan memiliki peluang berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu juga untuk mengidentifikasi apakah laki-laki dan perempuan memiliki kontrol yang sama atas sumber daya pembangunan dan apakah laki-laki dan perempuan memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.

Syarat Anggaran Berkeadilan Gender

Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan alokasi anggaran yang memadai sebagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, termasuk kesejahteraan perempuan. Perempuan juga berhak untuk terlibat dalam proses penganggaran, mulai tahap perencaan, sampai dengan tahap pembahasan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Selain itu perempuan juga mempunyai hak untuk melakukan kontrol terhadap APBD, agar dapat memastikan sejauhmana alokasi anggaran berpihak pada kepentingan rakyat, termasuk perempuan.

Dengan demikian, anggaran berkeadilan gender merupakan strategi dan alat yang efektif untuk mengurangi kemiskinan karena dapat mendorong pemerintah untuk fokus

(9)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

48 pada kelompok-kelompok marjinal,

termasuk kelompok perempuan miskin yang menjadi kepala keluarga. Mengurangi kesenjangan sosial, ekonomi, politik dan gender antara laki-laki dan perempuan dimana pemerintah lebih fokus dalam membuat prioritas pembangunan yang ditujukan dengan meningkatkan kesejahteraan perempuan yang memiliki tingkat kehidupan yang rendah dan secara sosial, ekonomi, politik dan gender. Anggaran berkeadilan gender juga membantu mempromosikan akuntabilitas penggunaan sumber daya publik, termasuk anggaran belanja publik, kepada masyarakat khususnya perempuan yang

umumnya terpinggirkan

dibandingkan dengan laki-laki dalam hal pengambilan keputusan mengenai penggunaan anggaran belanja publik tersebut.

Anggaran berkeadilan gender selalu menggunakan analisa gender, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari anggaran tersebut. Anggaran berkeadilan gender yang efektif selalu dibangun berdasarkan proses konsultasi yang interaktif antara masyarakat, perempuan dan laki-laki, kalangan eksekutif dan kalangan legislative. Anggaran yang berkeadilan gender semestinya mencerminkan kebutuhan perempuan.

Indikator Kesetaraan dan Keadilan Gender

a. Indikator Pembangunan

Manusia

Yaitu indikator tentang standar hidup manusia dan merupakan ukuran ketimpangan atau kesenjangan gender, dengan

melihat angka harapan hidup, angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi dan tingkat pendapatan. Tingkat pendidikan dengan melihat akses terhadap pendidikan dasar dan pendidikan tinggi, Angka melek huruf, dan rata-rata lama pendidikan.

b. Indikator Pembangunan

Gender

Yaitu indeks pembangunan yang berkaitan dengan jumlah pengambil kebijakan perempuan seperti birokrat senior, manajer dan anggota DPR/DPRD dan MPR Perempuan.

c. Indikator Pemberdayaan

Gender

Ukuran pemberdayaan gender meliputi kondisi pemberdayaan politik perempuan, kondisi pemberdayaan sosial perempuan dan kondisi pemberdayaan kultural perempuan.

Penerapan Anggaran Kinerja Berkeadilan Gender

Implementasi pengarusutamaan gender dalam pembangunan pada era otonomi daerah saat ini, akan dapat memberikan pengaruh besar dalam mendukung keberhasilan pembangunan. Seberapa besar pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan diimplementasikan di dalam pembangunan daerah dapat diketahui antara lain melalui kebijakan anggarannya. Alokasi anggaran mengkomunikasikan apa yang menjadi skala prioritas pemerintah. Dari anggaran juga dapat diketahui berapa besar perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin maupun

(10)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

49 kelompok marginal lainnya termasuk

perempuan.

Berikut ukuran-ukuran yang dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh Perspektif Anggaran Berkeadilan Gender telah dilaksanakan, yaitu dengan melihat indikator-indikator berikut ini pada sebuah program :

x Input (Masukan) yaitu apakah

tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besarnya sumber dana, SDM, material, waktu, teknologi dan sebagainya, yang digunakan untuk pelaksanaan program atau kegiatan, berdasarkan pemilahan perempuan dan laki-laki?

x Output (Keluaran) yaitu apakah

tolok ukur kinerja berdasarkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan dengan masukan yang digunakan telah sesuai dengan input untuk kepentingan perempuan dan laki-laki?

x Outcome (Hasil) yaitu apakah

tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan keluaran program atau kegiatan yang sudah dilaksanakan, telah sesuai berdasarkan pemilahan laki-laki dan perempuan.

x Benefit (Manfaat) yaitu apakah

tolok ukur berdasarkan tingkat pemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat (baik laki-laki maupun perempuan) dan pemerintah daerah dari hasil program dan kegiatan?

x Impact yaitu apakah tolok ukur

kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat telah

dirasakan oleh laki-laki dan perempuan?

PENELITIAN DIBIDANGNYA

Penelitian yang berkaitan dengan anggaran berkeadilan gender banyak dilakukan pada bidang kesehatan dan pendidikan. Hal ini karena bidang tersebut berhubungan erat dengan kebutuhan dasar perempuan baik mengenai kesehatan dan pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Noerdin (2008) mengenai akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan miskin dilakukan di 7 kabupaten yaitu Lampung Utara, Lebak, Indramayu, Solo, Jembrana, Lombok Tengah dan Sumba Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan dan pendapatan perempuan, maka pilihan persalinan semakin banyak ke dukun; Semakin banyak anak, pilihan persalinan semakin banyak ke dukun; semakin jauh dan semakin sulit jarak tempuh mengakses fasilitas dan tenaga kesehatan, dukun menjadi alternatif pilihan utama. Walaupun ada jaminan pelayanan kesehatan gratis, tidak serta merta mengurangi pilihan perempuan miskin untuk ke dukun seperti di Lebak, Lampung Utara dan Sumba Barat karena sosialisasi layanan gratis tidak merata dan dukun mudah di akses. Pilihan masyarakat ke dukun dipengaruhi oleh jarak tempuh, pelayanan perawatan bayi dan ibu paska melahirkan, flesibilitas pembayaran (in-natura) dan kepercayaan dan tradisi masyarakat yang masih kuat. Belum ada kebijakan khusus berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan

(11)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

50 khususnya penekanan implementasi

bidan tinggal di desa. Biaya bersalin yang dianggap mahal masih menjadi alasan masyarakat untuk melahirkan di dukun. Ada peningkatan pendidikan berkala kesehatan reproduksi bagi bidan agar mampu memberikan pelayanan persalinan, KB dan pemeriksaan gejala infeksi menular seksual yang memadai dan dipercaya masyarakat. Secara umum alokasi anggaran kesehatan masih rendah berkisar antara 4%-7% dari total APBD. Secara umum Alokasi anggaran Kespro sangat kecil yaitu kurang dari 3% dari total alokasi anggaran langsung dinas kesehatan.

Sementara penelitian terhadap ketersediaan dan pemanfaatan layanan kesehatan bagi ibu melahirkan dilakukan pada 7 kabupaten yaitu Lombok Tengah, Indramayu, Surakarta, Jembrana, Lampung Utara, Sumba Barat dan Lebak (Noerdin, 2008). Hasilnya menunjukkan bahwa belum ada kebijakan khusus berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan khususnya penekanan implementasi bidan tinggal di desa, peningkatan kesejahteraan bidan, jaminan transportasi bagi bidan yang tinggal di daerah terpencil, serta jaminan keamanan terhadap bidan yang tinggal di daerah terpencil. Belum di semua daerah penelitian ada kebijakan kemitraan bidan dengan dukun yang sudah berhasil diterapkan di Indramayu dan Lombok Tengah dengan dampak persalinan dibantu bidan cukup tinggi dibanding Lampung Utara, Sumba Barat dan Lebak, bahkan mendekati angka Surakarta dan Jembrana. Perlu ada peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi

bagi bidan agar mampu memberikan layanan persalinan, KB dan pemeriksaan gejala infeksi menular seksual yang memadai dan dipercaya oleh masyarakat. Belum ada kebijakan tentang implementasi standar polindes yang layak huni dan memenuhi standar kebersihan dasar untuk membantu Ibu melahirkan seperti kamar yang terpisah dari keluarga bidan, minimal ada dua ruangan kamar untuk menampung pasien lebih dari satu orang, adanya air bersih, adanya lampu penerangan, adanya kulkas untuk menyimpan obat-obatan. Belum adanya kebijakan agar klaim biaya bantuan persalinan oleh bidan harus langsung dibayarkan, sehingga bidan tidak selalu bekerja dengan sukarela tanpa ada kepastian klaim biaya persalinan mereka akan dibayar.

Farhan (2008) menelusuri keberpihakan anggaran kesehatan. Hasilnya menunjukkan bahwa 60%-80% belanja kesehatan dipergunakan untuk prasarana kesehatan (DAK mengharuskan program fisik kesehatan dan Unit cost fisik yang tinggi). Perlu penelusuran lebih mendalam, program kegiatan yang berhubungan dengan AKI/AKB dan reproduksi perempuan, tidak saja di sektor kesehatan melainkan di BKKBN. Regulasi penyeragaman program/kegiatan pada permasalahan reproduksi perempuan, penurunan AKI/AKB varian tiap daerah, tidak bisa diintervensi sama. Belanja sektor kesehatan secara nasional masih belum memadai, sebelum peningkatan alokasi penting melihata efisiensi dan efektivitas anggaran (trend indikator kesehatan berbanding trend belanja kesehatan). Politik anggaran belum berpihak

(12)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

51 pada kesehatan, secara politik masih

dipandang sebagai belanja sosial ketimbang investasi. Belum ada ASB (Analisa Standar Belanja), program, kegiatan dan unit cost yang diperlukan untuk penurunan AKI/AKB dan Kespro perempuan. Formulasi anggaran belum berpihak pada kelompok perempuan miskin. Ruang musrenbang masih netral rawan pembajakan. Tidak seluruh pengeluaran sektor kesehatan tercatat dalam APBD. Dana dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan pada daerah miskin untuk program kesehatan perorangan dan publik memiliki kontribusi besar. Ketegasan pembagian urusan kesehatan pusat dan daerah (sebagai ujung tombak) harus disertai devolusi fiskal. Besarnya alokasi anggaran kesehatan bukan jaminan perbaikan sektor/indikator layanan kesehatan. PENUTUP

Konsep Anggaran yang dituangkan dalam perencanaan program Berkeadilan Gender harus secara spesifik sesuai dengan karakteristik wilayah tertentu. Hal ini karena perencanaan program perlu diawali dengan mengetahui fakta ketidakadilan gender dan data terpilah pada suatu wilayah terlebih dahulu. Untuk dapat memasukkan persoalan-persoalan ketidakadilan gender ke dalam program pelayanan publik juga harus tercermin dalam anggaran publik. Untuk mencapainya, maka pengambil keputusan anggaran harus mengetahui konsep dan tujuan anggaran berkeadilan gender. Selain itu harus juga diketahui persyaratan yang harus dipenuhi dan juga indikator serta mekanisme

penyusunan anggaran berkeadilan gender dalam sebuah lembaga publik.

Pemerintah dapat

mengakomodasi kepentingan perempuan melalui anggaran jasa publik baik dalam hal kesehatan dan pendidikan masyarakat. Kesehatan dan pendidikan merupakan kebutuhan masyarakat yang saat ini masih berada pada tingkat kebutuhan dasar. Pendidikan dan kesehatan merupakan hak setiap warga negara tanpa terkecuali yang semestinya dapat diberikan oleh negara dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Pada bidang pendidikan, program-program dan kegiatan di bidang pendidikan harus menyentuh pada kebutuhan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Pada bidang kesehatan, program-program dan kegiatan di bidang kesehatan semestinya memenuhi kebutuhan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai anggaran berkeadilan gender dalam penyusunan kebijakan anggaran. Dengan pemahaman pentingnya penerapan anggaran berkeadilan gender maka kepentingan perempuan sebagai kaum marginal dapat terpenuhi.

(13)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

52 DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2008. Data Angka Buta Huruf di Indonesia.

Badan Pusat Statistik. 2009. Data Angka Kematian Ibu (AKI) di kota Palembang.

Banarjee, Nirmala dan Poulami Roy. 2003. Gender in Fiscal Policies: The Case of West Bengal. Thesys. Bengal. Bellamy, Kate. 2002. Gender

Budgeting. A Background Paper for the Council of

(XURSH¶V ,QIRUPDO *URXS RI

Experts on Gender Budgeting. CDEG-GB (2002).

Budiharsana, Meiwita. 2005. Kompas, 24 September 2005. Council of Eurofe. 2005. Gender

Budgeting: Final Report of the Group of Specialists on Gender Budgeting (EG-S-GB). Equality Division Directorate General of Human Rights Council of Europe. Strasbourg.

Farhan, Yuna. 2007. Menelusuri Keberpihakan Anggaran Kesehatan. Women Research Institute. Unpublish.

Instrukti Presiden Nomor 9 Tahun

2000 Tentang

Pengarusutamaan Gender (PUG)

Noerdin, Edriana. 2007. Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Bagi Perem Puan Miskin. Women Research Institute. Unpublish.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan

Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Daerah.

Kompas. 2008. Kilas Palembang: Angka Buta Huruf 7 Persen. 31 Desember 2008. http://64.203.71.11kompas-cetak/

Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006. Tempo Interaktif. 2008. Angka

Kematian Ibu di Sumatera Selatan Masih Tinggi. Jumat 01 Februari 2008.

http://www.tempointeraktif.c om/

Undang-Undang No.7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention to Eliminate All of Discrimination Against Women; CEDAW).

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2005

Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23.

UNPAC. 2008. Gender Budget Project ± Government budgets can either promote

ZRPHQ¶V HTXDOLW\ RI

H[DFHUEDWH ZRPHQ¶V

inequality.

(14)

Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran Berkeadilan Gender

53 Stuebs Marty dan Li Sun, Business

Reputation and labor Efficiency, Productivity, and Cost, Journal of Business Ethics, springer 2010

Suryawati, Analisis Struktur, perilaku dan kinerja Industri tekstil dan pakaian jadi di Provinsi DIY, Jurnal akuntansi dan Manajemen vol 20 no 1, 2009

Wei SI and Xiuqing Wang, Productivity growth, technical efficiency, and technical

FKDQJH LQ FKLQD¶V VR\EHDQ

production, African Journal of agricultural Reasearch vol 6 (25), 2011

Sheperd G William, The economic of Industrial Organization, Prentice Hall, 3rd, 1990

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada

Uraian dalam tulisan ini dibuat berdasarkan hasil-hasil penelitian hama yang telah dilakukan, khususnya yang mendukung pemuliaan tanaman kedelai tahan hama dengan harapan agar

Untuk bahan uji Aluminium paduan 6061 AlMg1SiCu melalui micro analysis (EDS), diperoleh indikasi kondisi unsur pelapis diamond-film masih berwujud atau dengan kata lain

Nilai perusahaan merupakan tujuan utama manajemen perusahaan yang dilakukan dengan menggabungkan fungsi manajemen keuangan melalui keputusan investasi, keputusan

177 Kepala Seksi Pengarusutamaan Gender Dan Pemberdayaan Perempuan Bidang Ekonomi, Sosial, Politik Dan Hukum 9 1 178 Kepala Seksi Pengarusutamaan Gender Dan Pemberdayaaan

Gambar 2 memperlihatkan proses crossover yang dilakukan pada populasi minimum 1 (satu). Pada proses ini terlihat bahwa proses seleksi menghasilkan dua kromosom orang tua

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan berupa Return On Asset (ROA), Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Finance

korporasi, dan tujuan kinerja nasional. Dukungan manajemen, karyawan, dan pemerintah untuk perbaikan kualitas adalah penting bagi kemampuan berkompetisi secara