• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENUTUPAN PERKARA DAN IMPLIKASI YURIDIS YANG DITIMBULKANNYA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MELIBATKAN MANTAN BUPATI MAGETAN DRS. SALEH MULJONO, MM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENUTUPAN PERKARA DAN IMPLIKASI YURIDIS YANG DITIMBULKANNYA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MELIBATKAN MANTAN BUPATI MAGETAN DRS. SALEH MULJONO, MM"

Copied!
314
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

ANALISIS PENUTUPAN PERKARA

DAN IMPLIKASI YURIDIS YANG DITIMBULKANNYA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MELIBATKAN MANTAN BUPATI

MAGETAN DRS. SALEH MULJONO, MM

(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 191/Pid.b/2007/PN.Mgt DI PENGADILAN NEGERI MAGETAN)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

LURISIANA ERVITASARI E. 000 7157

FAKULTAS HUKUM

(2)

commit to user

(3)

commit to user

(4)

commit to user

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Niscaya Allah akan meninggikan derajat orang

-orang yang beriman di antara

kamu dan orang-

orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat”

(QS. AL-MUJAADALAH AYAT 11)

Kesempatan mungkin akan datang bagi mereka yang menunggu, namun

kesempatan hanya akan t

etap bersama mereka yang giat”

(ABRAHAM LINCOLN)

“Sesungguhnya, di

antara ilmu itu ada yang laksana mutiara tersembunyi, ia

tidak diketahui kecuali hanya oleh orang-orang yang mengenal Allah

(SABDA RASULULLAH)

Menyadari kebodohan adalah suatu keberuntungan. Tidak menyadari

kebodohan adalah suatu kebodohan di atas kebodohan.

AKU BISA, HARUS BISA, DAN PASTI BISA

(PENULIS)

Dengan segala kerendahan dan kebanggaan hati serta sebagai ucapan syukur

dan terimakasih, maka penulisan hukum ini kupersembahkan kepada:

Ayahandaku, Bapak Suharto; Ibundakuku, Ibu Sri Yuliani, S.Sos; dan

Kakakku, Lurisiana Ermanawati yang sangat ku banggakan.

Eyang-eyang kakung dan Almarhumah eyang-eyang putriku yang sangat ku

sayangi.

Kekasihku, Rahmad Budiyanto yang selalu memberikan warna dan

kebahagiaan dalam hidupku.

(5)

commit to user

v ABSTRAK

LURISIANA ERVITASARI. E0007157. ANALISIS PENUTUPAN PERKARA DAN IMPLIKASI YURIDIS YANG DITIMBULKANNYA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MELIBATKAN MANTAN BUPATI MAGETANDRS. SALEH MULJONO, MM (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 191/Pid.b/2007/PN.Mgt DI PENGADILAN NEGERI MAGETAN. Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011.

Penelitian guna penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian penutupan perkara terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan mantan Bupati Magetan Drs. Saleh Muljono, MM dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan implikasi yuridis yang ditimbulkan sebagai akibat dari penutupan perkara tersebut.

Metode penelitian guna penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum empiris kualitatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah jenis data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, dan teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis interaktif yang terdiri dari tiga komponen analisis yang dilakukan dengan cara interaksi, baik antara komponennya, maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam perkara korupsi yang melibatkan mantan Bupati Magetan, Drs. Saleh Muljono, MM di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung hingga dikeluarkannya Surat Ketetapan gugurnya wewenang mengeksekusi dalam perkara tersebut dikarenakan Terdakwa meninggal dunia, sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Pasal 77 KUHP yang menyatakan “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia”.Akan tetapi, apabila dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan gugurnya wewenang mengeksekusi dalam perkara tersebut dikarenakan Terdakwa meninggal dunia setelah itu perkara itu ditutup dan tidak ada tidak lanjutnya, maka hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Implikasi yuridis yang ditimbulkan dalam perkara ini yaitu Jaksa Penuntut Umum harus segera memposisikan dirinya sebagai Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

(6)

commit to user

vi ABSTRACT

LURISIANA ERVITASARI. E00071157. AN ANALYSIS ON CASE CLOSING AND THE JURIDICAL IMPLICATION IT GENERATES ON THE CORRUPTION CRIME INVOLVING THE FORMER MAGETAN REGENT DRS. SALEH MULJONO, MM (A CASE STUDY ON VERDICT NUMBER 191/Pid.b/2007/PN.Mgt. IN MAGETAN FIRST INSTANCE COURT). Law Writing (Thesis). Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. 2011.

This research aims to find out the compatibility between case closing in the corruption crime involving the former Magetan regent Drs. Saleh Muljono, MM and the enacted legislation and the juridical implication generated as the consequence of such case closing.

The study belongs to a qualitative empirical law research that is descriptive research. The data types employed were primary and secondary data. The data source used was secondary data source including primary, secondary and tertiary law materials. Techniques of collecting data used were library research and field study, while the technique of analyzing data used was an interactive analysis one consisting of three components of analysis carried out by interaction both among the components and data collecting process including data reduction, data display and conclusion drawing.

The result of research shows that in the corruption case involving the former Magetan regent Drs. Saleh Muljono, MM in Magetan First Instance Court, Second Instance Court and Supreme Court up to the issuance of writ of abolishing the authority of executing the case because the defendant passed away, has been consistent with the enacted legislation, namely the Article 77 of Penal Code (KUHP) stating “the authority of prosecuting the case is abolished, if the defendant passes away‟. However, if with the issuance of abolishing the authority of executing the case because the defendant passed away, the case is closed and there is no follow-up, it is not consistent with the Articles 33 and 34 of Act Number 31 of 1999 about the Corruption Crime Eradication As amended with Act Number 20 of 2001 about the Amendment of Act Number 31 of 1999 about the Corruption Crime Eradication. The juridical implication occurred in this case is that the Public prosecutor should immediately position himself as the State Lawyer to prosecute the beneficiary civilly.

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum Wr. Wb, segala puji bagi Allah S.W.T pemilik dan penguasa seluruh alam semesta serta semua isinya atas semua rahmat yang tak terhingga yang diberikan kepada seluruh umat-Nya. Shalawat dan serta salam atas junjungan kita Rasulullah Muhammad S.A.W. Alhamdulillahirrobilallamin, setelah melalui perjuangan panjang dan jalan yang berliku, akhirnya atas ijin ALLAH S.W.T penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan judul “ANALISIS PENUTUPAN PERKARA DAN IMPLIKASI YURIDIS YANG DITIMBULKANNYA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MELIBATKAN MANTAN BUPATI MAGETAN DRS. SALEH MULJONO, MM (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 191/Pid.b/2007/PN.Mgt DI PENGADILAN NEGERI MAGETAN)”

Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi sebagian persyaratan guna memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan penulisan hukum ini tidak luput dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Much. Syamsulhadi, Sp. Kj., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak H. Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Sunny Ummul F., S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(8)

commit to user

viii

5. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, atas waktu, kesabaran dan masukannya dalam memberikan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.

6. Bapak I Wayan Kawisada, S.H., selaku Ketua Pengadilan Negeri Magetan dan Bapak Soedjo, S.H., selaku Panitera Muda Pengadilan Negeri Magetan, atas kesediannya memberikan data yang diperlukan penulis.

7. Bapak Robert Ilat, S.H., M.H., selaku Kepala Kejaksaan Negeri Magetan dan Bapak Rachmawan Trimargono, S.H., M.H., selaku Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Magetan, atas waktu dan kesediannya memberikan informasi kepada penulis.

8. Bapak dan ibu dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis serta seluruh karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, atas bantuan dan kerjasamanya.

9. Ayahanda tercinta, Bapak Suharto yang selalu menjadi teladan penulis agar selalu bekerja keras dan sabar untuk mendapatkan sesuatu yang terbaik. 10. Ibunda tersayang, Ibu Sri Yuliani, S.Sos yang selalu menyayangi penulis

sejak dalam kandungan sampai dengan saat ini.

11. Kakakku yang sangat aku sayangi, Lurisiana Ermanawati yang selalu memberikan motivasi dan arahan-arahannya agar penulis menjadi lebih baik. 12. Kekasihku yang sangat aku kasihi, Rahmad Budiyanto yang selalu

memberikan inspirasi, semangat dan dukungannya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik.

13. Sahabat-sahabatku di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Risa, Tiara dan Dian atas kebersamaannya dalam suka dan duka selama ini. 14. Teman-teman seperjuanganku di KSR PMI Unit UNS, Ninik dan Atik atas

ilmu, pengalaman, kebersamaan, dan segala kenangan indah dan pahit yang telah kita lalui bersama.

(9)

commit to user

ix

16. Teman-teman “Rotterdam Crew‟s”, atas semua bantuan, support dan kekeluargaannya selama ini.

17. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas semuanya, semoga ALLAH membalas kebaikan dan ketulusan hati kalian. AMIIIN…!!!

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis. Namun demikian, penulis berharap semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat, baik bagi penulis maupun bagi pembaca yang budiman. Amin Amin Ya Rabbal Allamin…Wassalamuallaikum Wr. Wb.

(10)

commit to user

x DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...iii

HALAMAN PERNYATAAN ... ...iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….……….v

ABSTRAK...vi

ABSTRACT ... ..vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI...xi

DAFTAR GAMBAR………...xiii

DAFTAR TABEL………...xiv

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah...3

C. Tujuan Penelitian...4

D. Manfaat Penelitian...5

E. Metode Penelitian...6

F. Sistematika Penulisan Hukum...12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...15

A. Kerangka Teori...15

1. Tinjauan Umum tentang Penutupan Perkara karena Terdakwa Meninggal Dunia...15

2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi...18

a. Pengertian Umum Korupsi ………...18

(11)

commit to user

xi

c. Tipe-Tipe Tindak Pidana Korupsi ...24

d. Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi...28

3. Tinjauan Umum tentang Penuntutan terhadap Bupati sebagai Kepala Daerah...31

a. Pengertian Bupati………...31

b. Tugas dan Wewenang Bupati...………..46

c. Penuntutan terhadap Bupati yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi ………...32

B. Kerangka Pemikiran...33

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...35

A. Hasil Penelitian...35

1. Proses Pemeriksaan terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Magetan...35

2. Proses Pemeriksaan terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tinggi Surabaya...284

3. Proses Pemeriksaan terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung...285

B. Pembahasan...286

1. Kesesuaian Penutupan Perkara dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku...286

2. Implikasi Yuridis yang Ditimbulkan sebagai Akibat Penutupan Perkara terhadap Tindak Pidana Korupsi yang Melibatkan Mantan Bupati Magetan Drs. Saleh Muljono, MM...291

BAB IV PENUTUP...296

1. Simpulan...296

2. Saran...297 DAFTAR PUSTAKA

(12)

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Mark up harga per item Barang/Jasa berdasar harga khusus…………...52 Tabel 2. Mark up Koefisien dan Harga per item Barang/Jasa berdasar harga

khusus...54 Tabel 3. Mark up harga per item Barang/Jasa berdasar harga khusus…………...72 Tabel 4. Mark up Koefisien dan Harga per item Barang/Jasa berdasar harga

(14)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Indonesia termasuk negara berkembang yang masih melaksanakan pembangunan. Dalam melaksanakan pembangunan banyak faktor-faktor penghambat, salah satu faktor penghambat proses pembangunan yang sangat mempengaruhi perekonomian dan keuangan negara adalah tindak pidana korupsi. Masalah korupsi merupakan masalah yang sangat sentral di dalam kurun waktu pembangunan dewasa ini dan sering hal itu menimbulkan perbincangan dan diskusi yang berkepanjangan oleh berbagai kalangan masyarakat (Bambang Santoso, 2001:1)

Sejak tahun lima puluhan, masalah korupsi di Indonesia tidak pernah sepi dari pembicaraan, perdebatan, dan usaha memperbaiki perundang-undangan. Semakin didalami dan ditelusuri, pemberantasan tindak pidana korupsi semakin nyata seperti menelusuri tali yang panjang yang pada akhirnya mencengangkan semua orang bahwa di ujung tali tersebut ternyata banyak menyangkut para elite politik, pengusaha, aparat pemerintahan, bahkan petinggi hukum pula. Contoh demikian sangat jelas terlihat dalam kasus mafia peradilan dan mafia perpajakan seperti halnya kasus tindak pidana korupsi Gayus Tambunan yang pada prosesnya diketahui melibatkan para elite politik, pengusaha, aparat pemerintahan, bahkan melibatkan petinggi hukum juga.

Para ahli berpendapat bahwa :

(15)

commit to user

Menurut M.Mc.Mullan, seorang pejabat pemerintahan dikatakan ”Korup” apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian, atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum, yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan (Martiman Prodjohamidjojo, 2001:9)

Keseluruhan aktifitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti segala kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri, misalnya dengan kedudukan dan jabatan pegawai negeri tersebut, selalu bertindak secara tidak patut atau pantas untuk memperkaya diri sendiri ataupun mengorek keuntungan secara besar-besaran untuk kepentingan pribadi. Untuk jelasnya, unsur tindak pidana korupsi itu dapat dikatakan segala perbuatan atau kedudukan yang diselewengkan/disalahgunakan baik kesempatan-kesempatan ataupun sarana-sarana yang ada pada pegawai negeri, sehingga secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara (Sukarton Marmosudjono, 1989:337)

Menurut Syed Hussein Alatas, dengan merujuk ke tulisan ”Sosiological

Aspects of Corruption in Southeast Asia” oleh WF Wertheim tahun 1965, dinyatakan bahwa menurut pemakaian umum istilah korupsi, kita menyebut korup apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa kepada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga tercakup dalam konsep itu. Pemerasan, yakni permintaan pemberian-pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik juga bisa dipandang sebagai perbuatan korupsi. Sesungguhnyalah istilah itu terkadang juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan mereka sendiri, dengan kata lain, mereka yang bersalah melakukan penggelapan di atas harga yang harus dibayar oleh publik.

(16)

commit to user tersebut (Ermansjah Djaja, 2009 : 2)

Permasalahan tindak pidana korupsi menjadi sangat ironis ketika terkuaknya kasus-kasus tindak pidana korupsi yang ternyata melibatkan aparatur pemerintahan yang telah dipilih dan dipercaya masyarakat. Bahkan proses peradilan yang berlangsungpun tiba-tiba ditutup dan dinyatakan selesai. Seperti halnya kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan mantan Bupati Magetan Drs. Saleh Muljono, MM, sebagaimana tercantum dalam putusan nomor 191/Pid.B/2007/PN.Mgt yang didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara senilai kurang lebih Rp. 8. 043. 984. 576. 000 (delapan milyar empat puluh tiga juta sembilan ratus delapan puluh empat lima ratus tujuh puluh enam ribu rupiah). Dalam proses peradilannyapun tiba-tiba kasus tersebut ditutup karena terdakwa meninggal dunia, dan tidak ada proses lebih lanjut dalam menangani kasus tindak pidana korupsi tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam guna penyusunan penulisan hukum dengan judul: ANALISIS PENUTUPAN PERKARA DAN IMPLIKASI YURIDIS YANG DITIMBULKANNYA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MELIBATKAN MANTAN BUPATI MAGETAN DRS. SALEH

MULJONO, MM (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR

191/PID.B/2007/PN.MGT).

B.Perumusan Masalah

(17)

commit to user

Rumusan masalah yang jelas dapat menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan peneliti sehingga penelitian akan lebih terfokus dan terarah pada tujuan yang akan dicapai. Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah penutupan perkara terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan mantan Bupati Magetan Drs. Saleh Muljono, MM sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

2. Implikasi yuridis apakah yang ditimbulkan sebagai akibat dari penutupan perkara terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan mantan Bupati Magetan Drs. Saleh Muljono, MM?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis. Penelitian merupakan bagian pokok dari ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mengetahui dan lebih memperdalam segala segi kehidupan (Soerjono Soekanto, 2006:3).

Tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif, dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan penelitian tersebut. Setiap penelitian yang dilakukan baik oleh perorangan maupun kelompok pasti mempunyai tujuan, namun antara peneliti yang satu dengan yang lain pasti memiliki tujuan yang berbeda. Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

Tujuan obyektif adalah tujuan penelitian yang berkaitan dengan target yang ingin dicapai sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi. Tujuan obyektif dari penelitian ini adalah:

(18)

commit to user

b.Untuk mengetahui implikasi yuridis yang ditimbulkan sebagai akibat penutupan perkara dalam kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan mantan Bupati Magetan Drs. H. Saleh Muljono, MM.

2. Tujuan Subyektif

Tujuan subyektif adalah tujuan penelitian yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan perorangan, dalam hal ini adalah tujuan pribadi penulis dalam melakukan penelitian. Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah:

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti di bidang ilmu hukum baik teori maupun praktek dalam hal ini lingkup Hukum Acara Pidana.

b. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti dan menambah pengetahuan penulis tentang penutupan perkara dalam kasus tindak pidana korupsi dan implikasi yuridis yang ditimbulkannya.

c. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar Sarjana di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian akan lebih berharga jika hasilnya memberikan manfaat yang positif bagi setiap orang yang menggunakannya. Besarnya manfaat positif yang diberikan menunjukkan nilai dan kualitas dari penelitian tersebut. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

(19)

commit to user

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan serta pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya khususnya Hukum Acara Pidana. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan referensi

yang dapat dipergunakan sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan topik bahasan yang serupa dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penulisan ini sebagai berikut.

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas cakrawala berfikir dan pengetahuan bagi semua pihak yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas rumusan masalah yang sedang diteliti oleh penulis dalam penelitian ini.

E. Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu usaha yang menentukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan menggunakan metode ilmiah. (Sutrisno Hadi, 2009 : 4)

Dalam setiap kegiatan penelitian harus digunakan suatu metode penelitian yang tepat, hal ini dikarenakan metode penelitian merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam penelitian. (Soerjono Soekanto, 2006 : 7)

(20)

commit to user

Sedangkan metodologi menurut Soerjono Soekanto pada hakikatnya memberikan pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun peran metodologi dalam penelitian dan ilmu pengetahuan adalah (Soerjono Soekanto, 2006:6-7).

a. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik dan lengkap.

b. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui.

c. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.

d. Memberikan pedoman mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.

Jadi dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara yang tertentu yang teratur dan terpikir untuk mencapai suatu maksud sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu penelitian.

Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

(21)

commit to user 2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala–gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 2006:10).

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di Kejaksaan Negeri Magetan dan Pengadilan Negeri Magetan.

4. Pendekatan Penelitian

Jenis pendekatan penelitian yang digunakan dalam adalah pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan melakukan pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-gambar, serta informasi verbal atau normatif dan bukan dalam bentuk angka-angka (Soerjono Soekanto, 2006 : 10)

5. Jenis Data

(22)

commit to user

Jenis data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Data Primer

Data Primer adalah data atau fakta atau keterangan secara langsung dari sumber pertama, atau melalui penelitian di lapangan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan, terdiri dari literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan yang berlaku, laporan, disertasi, teor-teori, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti.

6. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dimana data diperoleh. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan sumber-sumber sebagai berikut :

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer berupa keterangan-keterangan yang bersumber dari pihak-pihak yang terkait langsung dengan permasalahan yang diteliti. Pihak-pihak tersebut meliputi Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus korupsi tersebut dan hakim di pengadilan negeri magetan.

b. Sumber Data Sekunder

(23)

commit to user

yang berlaku serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dan masih relevan dengan masalah yang diteliti.

c. Sumber Data Tersier

Bahan Hukum Tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Ini biasanya diperoleh dari media internet, kamus ensiklopedi, dan lain sebagainya (Soerjono Soekanto, 2006:13).

7. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengolahan data adalah bagaimana caranya mengolah data yang berhasil dikumpulkan untuk memungkinkan peneliti yang bersangkutan melakukan analisa yang sebaik-baiknya (Soejono dan Abdurrahman. 2003:46). Guna memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan

Merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari, dan mengutip dari literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan yang berlaku, arsip dan bahan kepustakaan lainnya serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Penelitian Lapangan

(24)

commit to user

langsung mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti.

8. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Soerjono Soekanto, 2006:22).

Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk memperoleh hasil penelitian menjadi laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang dilaksanakan oleh data (Lexy J Moleong, 2002 : 103). Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif, yaitu model analisis dalam penelitian kualitatif yang terdiri dari tiga komponen analisis yang dilakukan dengan cara interaksi, baik antara komponennya, maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus :

a. Reduksi Data (Data Reduction)

Bagian dari analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat focus, membuang hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.

b. Penyajian Data (Data Display)

(25)

commit to user

c. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing)

Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai proses pengumpulan data berakhir, sehingga perlu diversifikasi agar dapat dipertanggung jawabkan (HB. Sutopo, 2002:90-91).

Gambar. 1

Komponen-Komponen Analisis Model Interaktif (H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif)

F. Sistematika Skripsi

Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika pernulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

(26)

commit to user

mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kerangka yang melandasi penelitian serta mendukung dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, dalam hal ini akan diuraikan mengenai :

A. Kerangka Teori

Kerangka teori akan menjelaskan teori-teori yang berhubungan dengan judul. Pada bab II ini memberikan penjelasan mengenai tinjauan umum tentang penutupan perkara karena terdakwa meninggal dunia, tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi dan tinjauan umum tentang penuntutan terhadap bupati sebagai kepala daerah.

B. Kerangka Pemikiran

Berisi alur pemikiran yang hendak ditempuh oleh Penulis, yang dituangkan dalam bentuk skema/bagan.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(27)

commit to user BAB IV : PENUTUP

(28)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Penutupan Perkara karena Terdakwa Meninggal Dunia

Penghentian perkara ada 3 (tiga) macam, yaitu: a. Perkara Ditutup Demi Hukum

b. Perkara Dihentikan Penuntutannya Demi Kepentingan Hukum c. Penyampingan Perkara Oleh Jaksa Agung

Dalam kalimat "perkara ditutup demi hukum", ada 2 suku kata yang perlu dipahami atau dibahas maknanya yaitu ditutup dan demi hukum. Dalam Pasal 76-78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur mengenai hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana.

Dalam hal penutupan perkara karena terdakwa meninggal dunia diatur dalam Pasal 77 KUHP, “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia”. Ketentuan ini berlatar belakang pada sifat pribadi dan pertanggungjawaban pidana dan pembalasan dari suatu pidana, yang dengan demikian tidak diperlukannya lagi pidana bagi orang yang sudah meninggal.

Orang yang harus menanggung akibat hukum dari tindak pidana yang diperbuatnya adalah si pembuatnya sendiri, dan tidak pada orang lain. Setelah si pembuat yang harus memikul segala akibat hukum itu meninggal dunia, maka secara praktis pidana tidak dapat dijalankan (Adami Chazawi, 2002 : 187).

(29)

commit to user

Menilik sifat dari macam-macam pidana yang ada sesuai Pasal 10 KUHP, maka sebenarnya pidana denda (dari jenis pidana pokok) dan pidana perampasan barang tertentu (dari jenis pidana tambahan), atau di luar KUHP pidana pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi, masih juga dapat dijalankan kepada terpidanayang meninggal dunia sebelum putusan dijalankan. Faedahnya ialah pidana denda sebagai sumber pendapatan Negara yang dieksekusi adalah berharga bagi Negara, yang dapat dibebankan kepada harta yang ditinggalkan. Demikian juga pidana perampasan barang tertentu dapat ditetapkan untuk Negara (Adami Chazawi, 2002 : 187).

Berlatar belakang pada faedah tersebut di atas, maka dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 33 menentukan bahwa apabila tersangka pada saat dilakukan penyidikan meninggal dunia, yang secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka Penyidik segera menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Sedangkan Pasal 34 menentukan apabila kematian itu tejadi pada saat proses pemeriksaan pengadilan sedang berlangsung, dan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka Jaksa Penuntut Umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara siding kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

(30)

commit to user

Ketentuan Pasal 33 dan 34 bukan merupakan perkecualian dari Pasal 77, melainkan ketentuan tentang kewajiban Penyidik maupun Penuntut Umum untuk sesegera mungkin melanjutkan ke proses perkara perdata setelah meninggalnya terdakwa, dalam usaha Negara untuk memulihkan kerugian Negara yang timbul akibat dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh almarhum terdakwa. Walaupun tidak secara jelas tersurat dalam ketentuan Pasal 33 dan 34 tentang gugurnya hak Negara untuk meneruskan tuntutan terhadap terdakwa yang meninggal dunia, namun secara tersirat penuntutan dalam perkara pidana itu dihentikan.

Akan tetapi dalam perkara tindak pidana korupsi, ada ketentuan yang secara tegas merupakan perkecualian dari ketentuan Pasal 77 KUHP, yakni terdapat dalam Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan bahwa “dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita”. Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa (Adami Chazawi, 2002 : 171-172):

a. dalam hal perkara korupsi, apabila tuntutan telah dilakukan dan putusan belum dijatuhkan, kemudian terdakwa meninggal dunia, maka kematian itu tidak menjadi penyebab hapusnya penuntutan pidana;

b. perkara itu akan tetap disidangkan dan putusan akan tetap dijatuhkan, yakni hanyalah putusan mengenai pidana perampasan barang-barang tertentu (yang sebelumnya telah disita). Artinya putusan mengenai pidana yang lain tidak boleh dijatuhkan. Tidak boleh menjatuhkan putusan lain, bukan berarti hapusnya hak penuntutan pidana.

(31)

commit to user

dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kepada Penuntut Umum dan keluarga almarhum.

Apabila kematian tersangka pada saat perkara telah dilimpahkan oleh Penuntut Umum tapi belum dilimpahkan oleh Penuntut Umum ke Pengadilan atau belum dilakukan penuntutan ke Pengadilan, maka Jaksa Penuntut Umum ”menutup perkara demi hukum” (Pasal 140 ayat (2) KUHAP)) dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penutupan Perkara ke Penyidik dan keluarga almarhum.

Apabila terdakwa meninggal dunia pada saat penuntutan telah dilakukan dengan melimpahkan perkaranya ke Pengadilan mengeluarkan suatu penetapan yang menyatakan penuntutan gugur, sebab dengan meninggalnya terdakwa, kewenangan negara untuk menuntut telah menjadi hapus. Demikian juga apabila meninggalnya terdakwa pada saat perkaranya sedang diperiksa pada tingkat banding maupun tingkat kasasi.

2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Umum Korupsi

Menurut fochema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin

corruptio atau corruptus (Webster student dictionary:1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata corrumpere. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu

Corruption, corrupt; Prancis, yaitu Corruption; dan Belanda yaitu Corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “Korupsi” (Andi Hamzah, 2007:4)

Menurut Sukarton Marmosudjono, korupsi dapat ditinjau dari asal kata, hukum, sosiologis, ekonomis, dan lain-lain. Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. (Didit Pradityo, 1996 : 16)

(32)

commit to user

Poerwodarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia : "Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. (Poerwodarminta, 1976 : 44)

Dalam KamusUmum Belanda Indonesia yang disusun oleh Wijowasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan (Wijowasito, 1999 : 128)

Sedangkan arti harfiah korupsi dapat berupa (Lilik Mulyadi, 2000 : 16) :

1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran.

2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

3) Perbuatan yang kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk.

4) Penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran.

5) Sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat.

6) Pengaruh-pengaruh yang korup.

Definisi Korupsi dalam kamus lengkap Webster's Third New

International Dictionary adalah "ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas" (Klitgaard Robert dan Selo Soemardjan, 2001 : 29).

Transparency International definisi tentang korupsi yaitu sebagai : "Perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi" (Jeremy Pope, 2003 : 6).

(33)

commit to user

1) Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.

2) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3) Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

4) Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Korupsi dapat diartikan dari berbagai sudut pandang. Beberapa pengertian korupsi dari sudut pandang yang berbeda-beda antara lain : 1) Rumusan Korupsi Dari Sisi Pandang Sosiologi

Menurut Syed Hussein Alatas, dengan merujuk ke tulisan "Sosological Aspects of Corruption in Southeast Asia" oleh WF Wertheim tahun 1987, dinyatakan bahwa menurut pemakaian umum istilah korupsi, kita menyebut korup apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga tercakup dalam konsep itu. Pemerasan, yakni permintaan pemberian-pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik juga bisa dipandang sebagai korupsi. Sesungguhnyalah istilah itu terkadang juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka :

a) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

(34)

commit to user

c) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dan mereka yang melakukan itu.

Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat. (Martiman Prodjohamidjojo, 2001 : 10)

2) Rumusan Korupsi Dari Sisi Pandang Politik

Sifat umum kejahatan yang sulit diamati dan diramalkan itupun menjadi sifat kejahatan korupsi. Perbuatan korupsi dapat saja mempunyai dua motif sekaligus, yakni korupsi yang sepintas lalu hanya bermotif mendapatkan uang tetapi sesungguhnya sudah dipersiapkan untuk kepentingan politik, demikian pula korupsi yang kelihatannya hanya merugikan di bidang perekonomian tetapi dapat juga misalnya diperuntukkan mempengaruhi jalannya pemilihan umum agar mengalami kegagalan melalui manipulasi suara. Dengan demikian pemisah antara korupsi politik dan korupsi ekonomi atau korupsi keuangan dalam peristiwanya secara konkrit kerapkali terjadi korupsi berganda (Bambang Poernomo, 1984 : 32)

Menurut Mubyarto, mengutip pendapat Theodore M. Smith dalam tulisannya "Corruption Tradition and Change" Indonesia (Cornell University No 11 April 1971), secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintahan di masa generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten (Martiman Prodjohamidjojo, 2001 : 10)

3) Rumusan yang Menekankan Titik Berat Jabatan Pemerintahan

(35)

commit to user

kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.

Menurut M. Mc. Mullan, seorang pejabat pemerintahan dikatakan "korup" apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian, atau dapat berarti melaksanakan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum, yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan.

Menurut J.S. Nye, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal itu mencakup tindakan seperti penyuapan (memberi hadiah dengan maksud hal-hal yang menyelewengkan seseorang dalam kedudukan pada jawatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak saudaranya sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal-usul dan bukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk kepentingan/keperluan pribadi) (Martiman Prodjohamidjojo, 2001 : 10)

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Lilik Mulyadi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya tidak mencantumkan definisi korupsi secara langsung, tetapi rumusan definisi korupsi menurut undang-undang ini dapat diinterpretasikan dari rumusan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum karena tindak pidana korupsi yaitu (Bambang Santoso, 2001 : 54) :

(36)

commit to user

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1)); 2) Setiap dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau oarang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3);

3) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 KUHP (Pasal 5)

4) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 KUHP (Pasal 6);

5) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 KUHP (Pasal 7);

6) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 KUHP (Pasal 8);

7) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 KUHP (Pasal 9);

8) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 KUHP (Pasal 10);

9) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 KUHP (Pasal 11);

10)Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 atau Pasal 435 KUHP (Pasal 12);

11)Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negara dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan (Pasal 13).

Menurut Syed Hussein Alatas (The Sociologi of Corruption the Nature Function, Causes and Prevention of Corruption, Times Book

(37)

commit to user

1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

2) Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaannya, kecuali dimana ia telah begitu merajalela dan begitu berurat berakar sehingga individu-individu yang berkuasa atau mereka yang berada dalam lingkungan tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka. 3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik,

yang tidak selalu berupa uang.

4) Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut.

6) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya badan publik atau masyarakat umum.

7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

8) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dan mereka yang melakukan itu.

9) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

c. Tipe-Tipe Tindak Pidana Korupsi

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikenal adanya tipe-tipe Tindak Pidana Korupsi, tipe-tipe tersebut adalah (Lilik Mulyadi, 2000 : 17-28) :

1) Korupsi Tipe Pertama

(38)

commit to user

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Dengan bertitik tolak ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, maka dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut :

a) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. b)Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum.

c) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

d)Dalam hal tertentu pelaku Tindak Pidana Korupsi dapat dijatuhi pidana mati.

2)Korupsi Tipe Kedua

Pasa asasnya, pengertian korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang redaksional selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(39)

commit to user

Dari ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, maka dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut :

.

a) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

b)Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

c) Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

3)Korupsi Tipe Ketiga

Pada asasnya korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan Pasal 5,6,7,8,9,10,11,12,13 undang Nomor 31 Tahun 1999 jo undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan Pasal-Pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kemudian ditarik menjadi Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikelompokkan, maka korupsi tipe ketiga dapat dibagi menjadi 4 (empat) pengelompokkan :

a) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 20 KUHP. Ketentuan Pasal 5, 6, 11, 12, dan 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

b)Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni Pasal 415, 416, dan Pasal 417 KUHP. Pada dasarnya, penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan ke dalam Tindak Pidana Korupsi diinventarisir dalam ketentuan Pasal 8,9,10 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

(40)

commit to user

pidana adalah seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

d)Penarikan perbuatan yang berkolerasi dengan pemborongan, laverensir dan rekanan yakni Pasal 387, 388,l dan 435 KUHP. Aspek ini diatur lebih rinci dalam Pasal 7 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dimana ancaman pidana dapat berupa :

(1) Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 7 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

(2) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1. 000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

4) Korupsi Tipe Keempat

Pada asasnya, korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). Hal tersebut juga berlaku bagi orang yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).

(41)

commit to user

merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, maka percobaan melakukan Tindak Pidana Korupsi dijadikan delik tersendiri dan dianggap selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari Tindak Pidana Korupsi itu, maka permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana meskipun masih merupakan tindak persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.

5) Korupsi Tipe Kelima

Sebenarnya, korupsi tipe kelima ini bukanlah bersifat murni Tindak Pidana Korupsi, tetapi Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Hal tersebut meliputi :

a) Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

b)Setiap orang yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar atas Tindak Pidana Korupsi.

c) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, 231, 421, 422, 429, atau 430 KUHP.

d)Saksi yang tidak memenuhi syarat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

d. Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(42)

commit to user

dibentuk secara khusus untuk menghadapi kejahatan korupsi. (Bambang Poernomo, 1984 : 64)

Penumpasan terhadap niat orang untuk melakukan suatu tindak pidana korupsi dengan sendirinya tidak akan dapat dilakukan oleh alat-alat negara kita, jika pembentuk undang-undang telah tidak menyatakan dengan tegas di dalam undang-undang bahwa permufakatan untuk melakukan tindak pidana korupsi yang pada hakikatnya baru merupakan tindakan persiapan merupakan perbuatan yang terlarang dan diancam dengan pidana (Lamintang, 2009 : 48)

Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional, selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Juga kejahatan korupsi menjadi sangat sulit diberantas karena muara utamanya berada pada institusi penegak hukum. (Jawahir Thontowi, 2007 : 2)

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karenanya ada tiga hal yang perlu digaris bawahi yaitu „mencegah‟, „memberantas‟, dalam arti menindak pelaku korupsi, dan „peran serta masyarakat‟. (Antasari Azhar, 2008 : 12-13)

(43)

commit to user

Menurut Sudarto, usaha pemberantasan korupsi tidak dapat digantungkan hanya kepada suatu peraturan hukum pidana. Adressat dari peraturan pidana adalah warga negara sebagai individu, di samping faktor individu juga faktor masyarakat dengan badan-badannya juga bisa menjadi sumber korupsi. Jadi jelas sekali bahwa penggarapan keadaan masyarakat perlu mendapat perhatian. Penggarapan ini terletak di bidang perbaikan ekonomi, susunan administrasi yang rapi, pendidikan mental dan sebagainya. (Bambang Santoso, 2001 : 57)

Menurut Barda Nawawi Arief, dalam memberantas korupsi tidak hanya melakukan law reform saja, akan tetapi juga disertai dengan social, economic, political, cultural, moral and administrative reform.

Kompleksitas masalah yang dapat bersifat kriminogen itu jelas di luar jangkauan penegakan hukum pidana. hukum pidana hanya merupakan sarana pengobatan simptomatik, bukan pengobatan kausatif. Inilah salah satu kelemahan atau keterbatasan kemampuan hukum pidana, di samping faktor keterbatasan lainnya. Mengingat kompleksitas masalah korupsi, maka kebijakan penanggulangan korupsi memang tidak dapat diatasi secara

fragmentaris, akan tetapi harus secara integral. Ini berarti, tidak hanya diupayakan penyembuhan simptomatik lewat kebijakan penegakan hukum pidana, akan tetapi juga harus diupayakan penyembuhan kausatif terhadap semua faktor peluang atau faktor kriminogen untuk terjadinya korupsi (Bambang Santoso, 2001 : 57).

(44)

commit to user

Strategi preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menyebabkan timbulnya korupsi. Setiap penyebab korupsi yang teridentifikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Strategi detektif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Strategi represif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat korupsi.

3. Tinjauan Umum tentang Penuntutan terhadap Bupati sebagai Kepala Daerah

a) Pengertian Bupati

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1, yaitu “Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.”

Pasal 24 menjelaskan bahwa, “Kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 1 untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota.”

Pengertian kepala daerah atau bupati terdapat pula dalam Pasal 156 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu: (1) Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan daerah.

(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah melimpahkan sebagian atau selurah kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan, keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah.

b) Tugas dan Wewenang Bupati

(45)

commit to user

“Kepala. daerah mempunyai tugas dan wewenang :

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

b. mengajukan rancangan Perda;

c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

c) Penuntutan terhadap Bupati yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai hal-hal yang menjadi larangan bagi kepala daerah, salah satunya adalah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28 huruf d, dimana seorang kepala daerah dilarang :

“Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang nya sedan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan”

Apabila terdapat kepala daerah yang diduga terlibat kasus korupsi, baik kapasitasnya sebagai saksi maupun tersangka, maka pemeriksaan (penyidikan) terhadap kepala daerah telah diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi:

“Tindakan penyelidikan dan penyidik terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik”

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 31 ayat (1) dinyatakan bahwa :

(46)

commit to user

Menurut Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta, persetujuan atau izin tertulis dari Presiden tersebut selama ini hanya dalam bentuk pemberitahuan saja, yakni pemberitahuan bahwa penyidik bermaksud memeriksa kepala daerah yang bersangkutan dengan disertai uraian yang jelas mengenai tindak pidana yang diduga telah dilakukan oleh kepala daerah yang bersangkutan. Pemberitahuan tersebut diperlukan karena siapa tahu kepala daerah yang terlibat dan yang diperiksa tersebut bisa diganti dengan pejabat yang baru (http://hukum.bung-hatta.info/news.php?extend.12) [diakses tanggal 8 Februari 2011 pukul 16.05 WIB].

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran TIPIKOR

Bupati

Magetan

PN

Banding

Kasasi Meninggal

Dunia DITUTUP

1. Kesesuaian dengan perundang-undangan?

2. Implikasi yuridis akibat penutupan perkara?

(47)

commit to user Keterangan :

Studi kasus terhadap Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan Mantan Bupati Magetan Drs. Saleh Muljono, MM diawali dengan pemeriksaan terhadap Terdakwa di Pengadilan Negeri Magetan, yang diputus dengan Putusan Nomor 191/Pid.b/2007/PN.Mgt yang menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan korupsi yang dilakukan secara berlanjut.

Atas Putusan Hakim Pengadilan Negeri Magetan tersebut, Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya, yang kemudian Putusannya menyatakan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Magetan.

Setelah itu, Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa melanjutkan dengan permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung, yang kemudian Kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung.

Sebelum salinan Putusan Mahkamah Agung sampai di Pengadilan Negeri Magetan, Terdakwa meninggal dunia karena sakit. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum mengeluarkan Surat gugurnya wewenang mengeksekusi dan menyatakan kasus tersebut ditutup.

Atas Penutupan kasus tersebut, terdapat dua problem hukum, yaitu : 1. Apakah penutupan perkara tersebut sudah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan?

2. Implikasi yuridis apakah yang ditimbulkan akibat dari penutupan perkara tersebut?

(48)

commit to user BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Proses Pemeriksaan terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Magetan.

Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Persidangan terbuka Pengadilan Negeri Magetan dalam perkara No. PDS-02/Mgtan/06/2007, pada tingkat yang pertama berdasar surat dakwaan jaksa penuntut umum tertanggal 3 Juli 2007 yang menuntut dan menghadapkan ke persidangan atas diri terdakwa:

Nama Lengkap : Drs. H. SALEH MULJONO, MM Tempat lahir : Magetan

Umur / tanggal lahir : 54 Tahun / 12 Desember 1952 Jenis Kelamin : Laki -Laki

Kebangsaan /

Kewarganegaraan : Indonesia

Tempat tinggal : Jl. Basuki Rahmat Selatan No. 1 Rt.04 Rw. 04 Kel. Kec. Kab. Magetan

Agama : Islam

Pekerjaan : Terdakwa selaku Bupati Kab. Magetan Pendidikan : S – 2

Dengan dakwaan sebagai berikut: Dakwaan Primair

(49)

commit to user

Juli 2003, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang dapat dipidana, dengan saksi Ir. SAMSUL HADI, M.Si, yang pada saat itu selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kabupaten Magetan, saksi GIMIN, BE selaku Kasi Tata Ruang pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Magetan merangkap selaku Pimpinan Proyek dan Pelaksana Teknis Pembangunan Gedung Serba Guna dan Gedung DPRD Kabupaten Magetan, saksi LIAUW INGGARWATI, saksi TEGUH SETIA BUDI selaku Direktur CV. Budi Karya Mandiri, dan saksi SRI WAHYUNI, selaku Direktur CV. Budi Bersaudara (yang masing-masing ditetapkan juga sebagai tersangka dalam berkas perkara terpisah), pada hari dan tanggal yang tidak dapat ditentukan dengan pasti antara bulan Juli 2003 sampai dengan Desember 2005 atau setidak-tidaknya pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005, bertempat di Kantor Pemerintah Kabupaten Magetan Jl. Yosonegoro Magetan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Magetan, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, perbuatan

tersebut ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang

sebagai satu perbuatan berlanjut, dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Bahwa Terdakwa telah menerima Nota Dinas nomor 640/369/403.103/2003 Tanggal 23 Juli 2003 dari saksi Ir. Samsul Hadi, yang pada saat itu masih menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Magetan, tanpa melalui Sekretaris Daerah Kabupaten, dan dalam Nota Dinas tersebut berisikan bahwa Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Magetan mengusulkan CV. Nulul dengan Direkturnya saksi Ir. Heru Gading Kencono, memperoleh Penunjukan Langsung sebagai konsultan perencana atas rencana Pembangunan Gedung Serba Guna Tahap I.

(50)

commit to user

atas Rencana Pembangunan Gedung Serba Guna Tahap I sesuai lembar disposisi, yang isinya setuju penunjukan langsung CV. Nulul Magetan, kemudian lembar disposisi diteruskan pada Sekretaris Daerah Kabupaten yang selanjutnya diteruskan pada Asisten II / PU untuk ditindaklanjuti. 3. Kemudian saksi Ir. Samsul Hadi, M.Si, membuat Nota Dinas Nomor : 640/ 324/ A/ 403.102/ 2003 tanggal 28 Juli 2003 yang berisikan “Penunjukan Langsung” kepada Konsultan Perencana CV. “Yosonegoro” dengan Direkturnya Ir. R.P. Wihid Kurniawan, dan untuk melakukan pembangunan fisik Gedung DPRD Kabupaten ditunjuk CV. Budi Karya Mandiri dengan Direkturnya Teguh Setia Budi, yang ditujukan pada Terdakwa melalui Sekretaris Daerah Kabupaten Magetan saksi Drs. Sumantri, MM,. Nota Dinas ditujukan kepada Sekretaris Daerah Kabupaten Magetan, saksi Drs. Sumantri, MM, kemudian diteruskan kepada Terdakwa. Dan atas Nota Dinas tersebut Terdakwa memberikan disposisi yang pada pokoknya menyetujui Penunjukan Langsung kepada CV “Budi Karya Mandiri” yang melakukan pembangunan fisik dan CV “Yosonegoro” sebagai Konsultan Perencana, dengan alasan bahwa pembangunan gedung DPRD pelaksanaannya tinggal 5 bulan lagi. 4. Selanjutnya saksi Ir. Samsul Hadi, M.Si membuat Nota Dinas lagi yang

ditujukan kepada Terdakwa, dengan Nomor 640/370/403.102/2003 tanggal 05 September 2003 perihal Rencana Pembangunan Gedung Serba Guna Tahap I, yang berisikan usul penunjukan langsung Kontraktor Pelaksana Pembangunan Gedung Serba Guna Tahap I yaitu CV. “Budi Bersaudara” Surabaya (yang Direkturnya saksi Sri Wahyuni).

5. Atas Nota Dinas tersebut pada tanggal 6 September 2003 Terdakwa mendisposisi kepada Sekretaris Kabupaten/PU, materi disposisi berisi persetujuan penunjukan langsung CV Budi Bersaudara Surabaya terhadap Rencana Pembangunan Gedung Serba Guna Tahap I.

Gambar

Gambar 4.   Bagan Gugatan Perdata terhadap Ahli Waris…….................……..294
Tabel 5. Gedung Serba Guna...............................................................................101
Gambar. 1 Komponen-Komponen Analisis Model Interaktif
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Anggapan pengadilan itu sendiri didukung oleh hasil penelitian Buxton dan Schwartz (2004) yang mengemukakan bahwa anak akan mengalami proses yang panjang dan mengalami

[r]

berkomunikasi siswa; 2) pengembangan modul sains berbasis DJP Model divalidasi oleh para ahli materi, disain dan penyajian, perangkat pembelajaran, bahasa, praktisi

Bagaimana peran yang dilakukan Lembaga Amil Zakat Infaq Shodaqoh Wakaf At-Taqwa (LAZISWA) dalam pemberdayaan fakir miskin di kota Cirebon melalui alokasi dana zakat

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL (STUDI KASUS

rukun dan syarat perkawinan yan g sesuai dengan syari’at Islam yang dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama

PEMANFAATAN EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SEBAGAI BAHAN AKTIF SEDIAANi. LOTION

Kotler (2002: 225) juga menambahkan bahwa citra merek merupakan syarat dari merek yang kuat dan citra adalah persepsi yang relatif konsisten dalam jangka