• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam merekam sosial budaya masyarakat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam merekam sosial budaya masyarakat."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra sebagai produk kebudayaan berkait erat dengan rasa, cipta dan karsa masyarakatnya. Lewat karya sastra masyarakat merefleksikan diri dan komunitasnya. Dalam hal ini, keberadaan karya sastra bergantung pada perkembangan sosial budaya masyarakat. Pun sebaliknya, karya sastra memiliki peran penting dalam merekam sosial budaya masyarakat.

Taum (1995:1) mengungkapkan bahwa karya sastra (lisan) bukan sekadar sebagai sarana hiburan, tetapi juga dapat berperan sebagai sarana komunikasi atau ekspresi budaya masyarakatnya. Artinya, dengan karya sastra (lisan) tersebut masyarakat mentransformasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tentang tata susila, adat-istiadat, dan persoalan lainnya.

Teeuw (2003:230) juga mengungkapkan bahwa keberadaan sastra lisan di masa lampau memiliki arti yang cukup penting. Itu tidak terlepas dari keberadaan sastra lisan yang terus diciptakan dan dihayati oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk sastera, di samping bentuk sastera tulis. Artinya, sastra lisan bagi seluruh kebudayaan masyarakat Indonesia merupakan unsur utama dalam penciptaan dan pelestarian budaya. Sastra lisan merupakan titik tolak kebudayaan itu dipahami dan dikembangkan.

Sastra lisan bagi masyarakat tradisonal dapat dimaksudkan sebagai wadah hikmat yang mengandung nilai-nilai adat istiadat, konvensi, sistem nilai dan

(2)

berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat tersebut (Teeuw, 2003:444). Dengan sastra lisan, berdasarkan pelaksanaannya (performance), isi maupun keberadaannya di tengah masyarakatnya, dapat diketahui pandangan dan pola hidup suatu masyarakat. Fox (1986:2-4) menegaskan, bahwa tradisi lisan merupakan gambaran tentang masyarakat yang diungkapkan dan diproyeksikan dalam kurun waktu tertentu. Tuloli (1990:3) menambahkan bahwa sastra lisan dapat dipakai untuk mengungkapkan keadaan suatu masyarakat pada masa lampau yang hampir terlupakan.

Salah satu bentuk sastra lisan yang mengandung nilai-nilai budaya suatu masyarakat adalah cerita Panji. Cerita Panji yang menyebar dan berkembang melalui lisan, baik disadari atau tidak disadari, memiliki peran penting dalam mengungkapkan puncak kebudayaan pada zaman Kerajaan Kediri. Dalam hal ini, cerita Panji yang berkembang dan dikenal luas di masyarakat, dapat menjadi media transformasi nilai-nilai budaya di masa lampau. Kasdi (2009:76) menegaskan bahwa cerita Panji yang digubah dalam kidung atau tembang macapat dapat memberi pemenuhan harapan estetis masyarakat dan menjadi acuan hidup. Sastra lisan yang diterima secara luas dapat menjadi proses internalisasi pada tingkat individu di dalam masyarakat. Untuk selanjutnya, sastra lisan dapat mengintroduksi nilai-nilai dan ajaran etik (Sobary, 1999:6).

Harapan estetis dan introduksi nilai-nilai sastra lisan untuk menjadi acuan hidup terasa makin penting, ketika dihadapkan dengan tantangan globalisasi. Membanjirnya alat-alat elektronik dengan berbagai rupa dan modifikasinya, tidak dapat dielakkan lagi menggeser nilai cipta, rasa, dan karsa masyarakat. Rasyidi

(3)

(1995:130-131) melihat gejala ini sebagai dampak dari lompatan budaya yang mengejutkan, yaitu dari alam kebudayaan lisan langsung terjun ke alam kebudayaan elektronika, tanpa melintasi kebudayaan tulis.

Kuntowijoyo (2006:39) mengakui bahwa modernitas kebudayaan menyebabkan adanya erosi nilai-nilai budaya tradisional dan retradisionalisasi. Akibatnya, masyarakat, terutama generasi muda (remaja), tidak mampu mengenali dan memahami kebudayaannya, sehingga masyarakat kehilangan karakter dan pedoman hidupnya.

Perubahan masa dan situasi, serta bergesernya cara pandang masyarakat menyebabkan tradisi lisan mengalami perubahan ragam yang berada dalam berbagai situasi; a) tradisi lisan terancam punah karena fungsinya sudah berkurang atau berubah dalam kehidupan masyarakat, b) tradisi lisan yang mengalami perubahan yang lambat seperti yang terdapat dalam upacara-upacara adat dan seremonial kenegaraan; c) tradisi lisan yang berubah cepat sehingga sering tidak dikenali lagi akarnya (Pudentia, 2005).

Di tengah kondisi modernitas yang tidak menentu itulah, penelitian terhadap kesenian tradisional (sastra lisan) dirasa urgen untuk dilakukan. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk mengembalikan dan melestarikan nilai-nilai yang dapat membentuk masyarakat yang berkarakter. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari asumsi bahwa tradisi lisan memiliki aspek sosial dan aspek budaya (Sedyawati, 1996:5-6). Penelitian sastra lisan diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk menghayati berbagai persoalan kehidupan dengan dimensi yang transenden. Kecuali itu, penelitian tersebut juga bertujuan untuk

(4)

menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam meminimalisir dampak paradoks budaya elektronik, yaitu di satu sisi menawarkan kemajuan, sedang di sisi lain menimbulkan kesenjangan (Piliang, 2007).

Seni macapat di Madura merupakan salah satu tradisi lisan yang mulai terabaikan. Pada tahun 1980-an, Team Penelitian Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember (1980:62) mencatat bahwa minat masyarakat terhadap seni macapat Madura semakin lama semakin berkurang. Hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, sulitnya bahasa sastra (macapat) Madura. Seni macapat yang memerlukan pemahaman dan kemampuan melagukan tembang dengan notasi, paṭèt dan cèngkok yang sulit, menyebabkan masyarakat kurang berminat. Kedua, munculnya kesenian modern. Kesenian modern yang lebih praktis dan mudah dipahami, semisal musik dangdut, band, film, tari, lukis, drama dan lainnya, telah menggeser kedudukan seni macapat Madura.

Pada era kepopulerannya, seni macapat Madura memegang peran yang cukup siginifikan. Seni macapat tidak sekadar menjadi pertunjukan semata, tetapi bagi sebagian masyarakat Madura dipakai untuk nogemi (meramal nasib), yaitu dengan cara menafsirkan isi/jalan cerita dengan menunjuk halaman buku cerita sebelumnya. Kemampuan membaca tembang macapat Madura juga memiliki nilai prestise yang dapat disetarakan dengan kemampuan mengaji.

Secara historis, macapat Madura tidak dapat dilepaskan dari macapat Jawa. Bouvier (2002:160) mengungkapkan bahwa macapat Madura berasal dari Jawa. Untuk daerah Jawa Timur, perkembangan macapat dapat dilacak pada zaman pra-Islam, yaitu sebelum abad ke-15. Team Penelitian Fakultas Sastra

(5)

Universitas Negeri Jember (1980:31) mencatat bahwa macapat Madura berasal dari macapat Jawa. Setelah sampai di Madura, mulanya macapat Jawa yang berbahasa Jawa dan bertuliskan huruf Jawa dan Latin, dialih-bahasakan ke dalam bahasa Madura dengan huruf Arab, Jawa dan kemudian Latin.

Pada perkembangannya, para sastrawan Madura berinisiatif untuk mengarang macapat berbahasa Madura. Karangan mereka pun masih tetap berpedoman pada macapat Jawa dalam hal notasi dasar, jenis macapat, ketentuan jumlah baris dalam bait dan bunyi akhir.

Pelaksanaan macapat yang masih menggunakan layang berbahasa Jawa membutuhkan tokang tegghes. Fungsi tokang tegghes dalam macapat dengan layang berbahasa Jawa di tengah masyarakat Madura berfungsi untuk menerjemahkan sekaligus menjelaskan isi layang yang berbahasa Jawa ke dalam bahasa Madura. Bahasa layang yang bersifat sastra dan literer perlu diuraikan dan dijelaskan lebih detail untuk dapat dipahami dengan mudah.

Haji Ismail (2013) seorang tokang tegghes, mengungkapkan bahwa penjelasan tokang tegghes bertujuan agar kalimat yang dianggap kurang jelas menjadi lebih jelas; lebih mudah dipahami oleh pendengar. Dalam melakukan tegghesan, Haji Ismail kadang mengutip ayat Al-Qur’an atau hadist dalam mendukung penjelasannya. Tugas lain yang perlu diperhatikan oleh tokang tegghes dalam berhadapan dengan lagu tertentu yang disertai cèngkok yang unik dan rumit serta sukar dinotasikan dalam pembacaan tembang (Team penelitian Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember, 1980:1), adalah menguraikannya agar lebih tampak sederhana. Dalam hal ini, tokang tegghes selain bertugas

(6)

menerjemahkan dan menjelaskan isi layang, juga diharapkan dapat menyederhanakan istilah atau idiom bahasa Jawa yang bersifat literer ke dalam bahasa masyarakat setempat. Selain memegang peran dan fungsi yang signifikan dalam menjelaskan isi layang, tokang tegghes dituntut menghasilkan teggesan yang lemmak, yaitu terjemahan dan penjelasan dengan susunan kalimat yang liris dan puitis.

Kerjasama antara tokang tegghes dan tokang tembhâng dengan suara yang energik dan bersahut-sahutan menyebabkan macapat Madura menjadi seni pertunjukan mendialogkan kata. Saputra (1992:17) mengungkapkan bahwa macapat sebagai sebuah dialog sudah lazim digunakan dalam teater tradisional Jawa sebagai pengantar untuk membangun suasana. Perbedaan keduanya terletak pada bahan dialog. Dialog dalam macapat Jawa dimaksudkan sebagai antawacana, sedangkan dialog antara tokang tembhâng yang menembangkan layang berbahasa Jawa dan tokang tegghes yang negghesi dalam bahasa Madura bertujuan menciptakan pertunjukan kata yang selaras dan menarik. Kedua pelaku macapat berada dalam posisi bahasa yang berbeda. Keduanya tidak sekadar mendialogkan kata sebatas alat komunikasi, tetapi sosio-kultur yang melatarinya turut hadir dalam pengungkapan dan penjabaran setiap makna yang terkandung dalam teks layang. Tokang tembhâng dan tokang tegghes dapat menghasilkan rancak kata yang begitu tumpang tindih. Keduanya berkejar-kejaran dalam satu titi-laras. Pertunjukan keduanya juga memadukan antara tradisi tulis dan tradisi lisan.

(7)

Gejala kelisanan dalam pertunjukan macapat dapat dilihat pada diri tokang tegghes. Tokang tegghes yang bertugas menerjemahkan dan menjelaskan isi layang dengan narasi yang berirama selaras dengan tembang dalam setiap pertunjukan selalu melakukan kreativitas. Artinya, pembacaan layang oleh tokang tembhâng yang membuka dan memandu jalannya pertunjukan tidak mengekang tokang tegghes untuk melakukan kreasi dalam menghasilkan tegghesan yang variatif. Seorang tokang tegghes dapat menghasilkan tegghesan yang berbeda untuk pembacaan satu layang. Begitu juga satu tokang tegghes dan tokang tegghes lainnya, menghasilkan tegghesan yang berbeda.

Variasi narasi tegghesan untuk setiap layang atau antar-tokang tegghes disebabkan kemampuan setiap tokang tegghes untuk mengalihkan bahasa dan kultur Jawa ke dalam bahasa dan kultur Madura dalam satu rentang waktu. Tokang tegghes yang berhadapan langsung dengan penikmatnya, dituntut untuk merespon, menerjemah, dan menjelaskan isi layang dalam jeda waktu yang singkat. Penguasaan dan pemahaman bahasa Jawa tokang tegghes berpengaruh terhadap daya tangkap dan kemampuan imajinya dalam merangkai kata menjadi narasi cerita yang utuh dan runtut.

Tegghesan sebagai penciptaan sastra yang bergantung pada ingatan dan pengalaman tokang tegghes membuka kemungkinan dilakukannya berbagai improvisasi dalam penyusunan kata dan kalimat. Hal itu bertujuan untuk menciptakan ruang bagi tokang tegghes dalam menghasilkan tegghesan yang dinamis dan menarik. Improvisasi tokang tegghes dalam menyusun tegghesan juga dapat membantunya untuk melakukan interpretasi isi layang berbahasa Jawa

(8)

secara garis besar, tidak per-kata. Dalam hal ini tokang tegghes sebenarnya tidak melakukan penerjemahan secara utuh, tetapi lebih cenderung melakukan intrepretasi terhadap larik layang yang ditembangkan.

Dalam melakukan interpretasi terhadap isi larik layang, tokang tegghes diharapkan tidak keluar dari garis besar cerita atau tema pokok layang yang ditembangkan. Garis besar cerita dan tema pokok merupakan panduan utama tokang tegghes dalam memilih kata untuk menyusun narasi tegghesannya. Keleluasaan dan kebebasan tokang tegghes berimprovisasi dalam menyusun tegghesan berfungsi untuk merangkai fragmen cerita yang tersebar dalam larik-larik layang menjadi satu kesatuan narasi yang utuh.

Tokang tegghes dalam macapat Layang Jatiswara pada upacara adat nyadhâr ketiga di Desa Pinggir Papas, dalam melakukan interpretasi dihadapkan pada ketentuan adat, yaitu menjaga dan memerhatikan bagian-bagian cerita yang dianggap mengandung nilai-nilai agama dan norma sosial. Pada bagian-bagian tersebut, tokang tegghes hendaknya tidak melakukan interpretasi yang terlalu jauh. Interpretasi hendaknya sebatas kata yang terkandung dalam larik layang yang ditembangkan. Kiai Harun, seorang tokang tegghes (2012), mengungkapkan bahwa ketika isi layang itu menyangkut persoalan Tuhan, tokang tegghes diharapkan tidak menambahi atau mengurangi penjelasan yang dapat menyebabkan makna menjadi ambigu.

Dalam teori kelisanan, macapat dapat digolongkan pada tradisi lisan yang sekunder, yaitu tradisi lisan yang sudah menyalurkan kelisanannya lewat media (teks). Tradisi lisan sekunder dalam kajian kelisanan sempat menjadi perdebatan.

(9)

Sweeney (2011:7) berdasarkan buku Richard Dorson “Folklore and Fakelore: Essays Toward a Discipline of Folk Studies” (1976), mengutarakan bahwa pengaruh tulisan merupakan kontaminasi atau pencemaran. Sweeney juga menegaskan, dengan mengambil contoh kelisanan Tuk Selampit Kelantan, bahwa pengaruh tulisan dapat menjelma dalam gaya penciptaan, tetapi pada prinsipnya sistem lisan masih kuat.

Damono (1999:4) melihat bahwa pada perkembangannya hubungan antara lisan dan media cukup unik. Para penyair yang sudah mengenal dan pandai menuliskan karya-karyanya, dalam pelisanan (pembacaan) karya-karyanya dipengaruhi oleh faktor-faktor kelisanan. Faktor kelisanan ini dapat dilihat pada kreativitas penyair ketika melisankan puisinya. Dalam beberapa pementasan musikalisasi puisi Sosiawan Leak, teks sebatas menjadi alat bantu bagi penyair untuk membangun konstruk cerita atau alur puisinya.

Tegghesan dalam macapat dapat dikatakan sebagai tradisi yang berada dalam titik ketegangan antara kelisanan dan keberaksaraan. Tokang tegghes yang sudah membaca dan memahami teks sebelum pertunjukan, di dalam pelaksanaan macapat masih memiliki kebebasan membangun konstruksi cerita yang baru. Teks layang yang dikuasai tokang tegghes tidak serta merta mengikat atau mengungkungnya dalam menyusun narasi tegghesan. Pembacaan teks tembang hadir sebatas pancingan dan panduan bagi tokang tegghes membangun alur cerita narasi tegghesan.

Ketegangan yang terjadi dalam proses tegghesan, juga diakibatkan rentang waktu yang cukup pendek antara pembacaan tembang dan interpretasi tokang

(10)

tegghes, serta tuntutan untuk melahirkan narasi tegghesan yang liris dan puitis. Ketegangan itu juga dipengaruhi oleh tingkat kemampuan tokang tegghes memahami teks layang dan daya cipta serta kemahirannya mengolah bahasa tegghesan yang indah. Untuk mengatasi berbagai ketegangan tersebut tokang tegghes melakukan berbagai upaya dan persiapan.

Latihan yang intens dan penguasaan kosa-kata bahasa Jawa merupakan modal dasar seorang calon tokang tegghes dalam menghasilkan tegghesan yang lemma’ (enak didengar). Latihan intens ialah kegiatan negghesi yang dilakukan seorang calon tokang tegghes secara berkala, baik pada seorang guru atau dalam perkumpulan macapat dalam rentang waktu tertentu. Latihan intens ini, terutama pada acara perkumpulan macapat, akan memberikan pengalaman bagi tokang tegghes untuk menciptakan, membentuk komposisi tegghesan yang siap pakai (stock-in-trade). Catatan yang perlu digaris-bawahi, komposisi siap pakai ini tidak serta merta menyebabkan tokang tegghes kehilangan daya cipta untuk menghasilkan narasi tegghesan yang baru dalam setiap acara macapat.

Lord (1981:13) mengutarakan bahwa komposisi dan pementasaan merupakan dua aspek yang ‘sama.’ Tradisi lisan tidak bergantung pada komposisi. Pementasan dalam tradisi lisan memegang peranan penting. Pementasan menjadi satu momen bagi penyair untuk melakukan improvisasi.

Improvisasi yang dilakukan tokang tegghes tidak dapat dilepaskan dari pola atau komposisi yang menjadi pakem. Dalam melakukan tegghesan dengan narasi yang prosais, tokang tegges sebenarnya memiliki pola dan bentuk formula tersendiri. Dalam tegghesan, tokang tegghes sudah memiliki komposisi kelompok

(11)

kata atau frasa akan muncul di beberapa bagian atau tempat penegghesan (penginterpretasian) isi larik. Pengulangan kata atau frasa yang disusun tokang tegghes sebagai hasil interpretasi hendaknya tidak terlalu jauh menyimpang dari isi dan alur cerita layang yang ditembangkan.

Kelompok kata atau frasa yang dipersiapkan tokang tegghes untuk membantu dirinya memudahkan menyusun tegghesan, bergantung pada tema yang dibawakan. Tema sebagai peristiwa atau deskripsi bagian-bagian yang diulang (Lord, 1981:68), dapat menjadi acuan tokang tegghes dalam menyusun komposisi kelompok kata tertentu. Komposisi kelompok kata tersebut digunakan tokang tegghes untuk menyusun narasi tegghesan yang indah.

Sweeney (1980, Taslim, 2010:12) menafsirkan kelompok-kelompok kata tertentu ini sebagai skemata. Skemata dibangun atas dasar pemahaman terhadap tema atau kelompok gagasan yang diulang-ulang dalam setiap pertunjukan. Skemata bagi tokang tegghes berperan untuk menyusun konsep cerita dalam tegghesannya. Tema besar dalam macapat Layang Jatiswara pada upacara nyadhâr ketiga ialah cerita perjalanan Jatiswara dalam mencari arti hidup. Dalam pencariannya, Jatiswara dihadapkan pada berbagai persoalan hidup yang mesti dipecahkan.

Pemahaman tokang tegghes terhadap peristiwa-peristiwa itu dapat membantunya untuk menyusun tegghesan yang jâjjhâr (runtut). Kiai Harun (2012) mengungkapkan bahwa pemahaman terhadap jalan cerita Layang Jatiswara menjadi kunci seorang tokang tegghes menghasilkan tegghesan yang jhârna’ (jelas) dan lemma’ (enak didengar). Dengan memahami berbagai

(12)

peristiwa yang dialami Jatiswara, tokang tegghes dapat menyusun struktur tegghesannya menjadi runtut.

Orang yang boleh bertugas sebagai tokang tegghes dalam acara macapat Layang Jatiswara upacara nyadhâr ketiga semata-mata tidak ditentukan oleh kemahirannya negghesi isi layang yang ditembangkan, tetapi juga didasarkan pada penerimaan para tetua adat Desa Pinggir Papas. Ketentuan itu berbeda dengan ketentuan acara macapat pada umumnya. Pada acara macapat upacara nyadhâr ketiga, penguasaan tokang tegghes terhadap Layang Jatiswara didasarkan pada penerimaan tetua adat, yaitu bahwa orang yang boleh negghesi adalah orang yang dapat memahami sekaligus mengaplikasikan nilai-nilai agama dan norma sosial yang terkandung di dalam Layang Jatiswara.

Ketentuan berdasarkan penerimaan tetua adat ini, berimplikasi pada pola pewarisan tokang tegghes melalui latihan dan ritual tertentu. Latihan memiliki peranan penting dalam membentuk kemampuan tokang tegghes untuk menciptakan formula dan ungkapan formulaik tegghesannya, sedangkan ritual, semisal arasol (selamatan) pada guru, untuk menumbuhkan rasa tanggung-jawab tokang tegghes terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam layang.

Macapat Layang Jatiswara sebagai seni pertunjukan yang terikat pada waktu dan tempat pelaksanaan upacara nyadhâr ketiga, yaitu pada 26 Oktober 2012 M/10 Dzulhijjah 1433 H di Desa Pinggir Papas, tujuan pelaksanaannya juga tidak dapat dilepaskan dari tujuan pelaksanaan upacara nyadhâr ketiga itu sendiri. Kiai Harun (2012) menguraikan bahwa macapat upacara nyadhâr ketiga bertujuan untuk meramaikan malam nyadhâr sekaligus memberikan bâburughân

(13)

(dakwah/nasihat) pada masyarakat Pinggir Papas yang mempersiapkan prosesi upacara nyadhâr ketiga. Dengan demikian, nyadhâr ketiga diharapkan tidak menjadi ritual syukuran semata, tetapi juga menjadi momentum dakwah sekaligus memberi hiburan bagi masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat dikemukakan dari uraian di atas adalah bahwa tokang tegghes atau juru makna dalam pelaksaan macapat Layang Jatiswara pada upacara nyadhâr ketiga dalam melakukan tegghesan (penerjemahan sekaligus penjelasan) terhadap isi layang yang ditembangkan memanfaatkan formula atau kelompok kata yang siap pakai. Formula atau kelompok kata itu dapat diskematakan berdasarkan tema atau gagasan yang secara berulang-ulang ditampilkan pada tiap acara macapat Layang Jatiswara pada upacara nyadhâr ketiga setiap tahun. Selain penguasaan tema, kemahiran tokang tegghes dalam melakukan tegghesan ditentukan oleh kemampuannya memahami kosa kata bahasa Jawa.

Rumusan masalah di atas, dapat ditindak lanjuti dengan beberapa pertanyaan. (1) Bagaimana prosedur dan pola pewarisan tokang tegghes macapat Layang Jatiswara pada upacara nyadhâr ketiga? (2) Bagaimana tema atau kelompok gagasan Layang Jatiswara yang ditembangkan dalam acara macapat pada upacara nyadhâr ketiga? (3) Bagaimana struktur formula tegghesan macapat Layang Jatiswara pada upacara nyadhâr ketiga?

(14)

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tegghesan macapat Layang Jatiswara pada upacara nyadhâr ketiga, ialah untuk menggambarkan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tokang tegghes dalam melakukan tegghesan. Selain itu, penelitian ini hendak memberikan gambaran terhadap beberapa hal yang berhubungan dengan tegghesan. Pertama, pola pewarisan atau cara seseorang untuk menjadi tokang tegghes.. Kedua, tema atau ide pokok yang terkandung dalam Layang Jatiswara yang ditembangkan dalam macapat pada upacara nyadhâr ketiga. Ketiga, struktur formula tegghesan yang dihasilkan oleh tokang tegghes.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam kajian ilmiah macapat Madura, dibanding sastra Madura lainnya, belum mendapatkan perhatian yang proporsional. Pembahasan tentang macapat Madura dalam pemetaan kebudayaan Madura hanya disinggung sekilas. Hal itu disebabkan macapat Madura merupakan produk kebudayaan yang bukan asli Madura. Keberadaannya kurang mencerminkan pola dan karakter kebudayaan masyarakat Madura pada umumnya. Selain itu, pembahasan macapat Madura tidak berbeda jauh dengan ulasan macapat Jawa.

Zawawi Imron (dalam de Jonge [ed], 1989: 198-202) dalam “Sastra Madura: yang Hilang Belum Berganti” menguraikan bahwa tembang (macapat) merupakan kebudayaan Madura yang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Beberapa istilah dalam tembang Jawa disesuaikan dengan istilah-istilah dalam bahasa Madura. Asmaradana dalam istilah tembang Jawa dialih-istilahkan dalam

(15)

bahasa Madura menjadi kasmaran; sinom disebut sènom; kinanti disebut selangèt; pangkur disebut pangkor; dhandhanggula disebut artatè, dan lainnya. Dalam hal guru atau huruf vokal akhir pada tiap larik tembang Madura memiliki ketentuan yang sama dengan tembang Jawa. Guru wilangan dan jumlah suku kata pada tiap larik tembang Madura tetap mengikuti ketentuan dalam tembang Jawa.

Zawawi Imron juga menegaskan bahwa pada awal abad ke-20 banyak pengarang menulis tembang-tembang berbahasa Madura, namun kenyataannya tembang berbahasa Jawa lebih populer di kalangan masyarakat. Macapat dilaksanakan dalam upacara rorokadân atau ruwatan, mamapar atau potong gigi, pèrèt kanḍung, memperingati hari besar keagamaan dan lainnya. Upacara-upacara dengan macapat tersebut hampir dilaksanakan dengan menggunakan tembang berbahasa Jawa. Pelaksanaan macapat dengan menggunakan tembang berbahasa Jawa itu, membutuhkan seorang tokang tegghes. Tokang tegghes ini bertugas mengalih-bahasakan isi layang berbahasa Jawa secara prosais ke dalam bahasa Madura.

Mien Ahmad Rifai dalam bukunya “Manusia Madura, Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti dicitrakan Peribahasanya” (2007) menyinggung mamacan (macapat) sebagai kesenian Madura hanya sekilas saja. Rifai (2007:60) mengungkapkan bahwa antara tembang Jawa dan macapat Madura tidak memiliki perbedaan yang signifikan, kecuali nama tembang-tembangnya saja. Pagelaran mamacan, yaitu pembacaan bersama sebuah kakawin yang umumnya berbahasa Jawa Kawi atau Madura klasik membutuhkan seorang juru makna (tokang tegghes).

(16)

Pembahasan sekilas mengenai macapat Madura juga ditemukan dalam buku “Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura” (2002) karya Hélène Bouvier. Penelitian kesenian Madura dengan metode etnografis ini memfokuskan titik pembahasannya pada pagelaran-pagelaran kesenian di Kabupaten Sumenep. Bouvier (2002: 158-163) mengenai pelaksanaan macapat ini mencatat beberapa hal penting, antara lain (1) Suatu cerita ditembangkan oleh pamaos, lalu diterjemahkan oleh tokang tegghes. Dalam menembang dan menegghes ini, pamaos dan tokang tegghes bersahutan, sehingga baik suara maupun isi bertumpang tindih secara luar biasa. (2) Pamaos dan tokang tegghes membawakan ceritanya dengan berdeklamasi. Tokang tembhâng bernyanyi dengan kebebasan yang luar biasa. Tokang tegghes pun memperlihatkan kemampuannya untuk membuat kata begitu ekspresif. Keduanya berusaha menghidupkan kata, dialog, dan deskripsi dalam bentuk puisi. (3) Acara mamaca (macapat) diselenggarakan pada arisan, rokat bhuju’, rokat bengko, upacara sunnat, perkawinan, mamapar, nazar, hari raya islam dan acara nujum. (4) Kelangkaan kreativitas sastra di dalam bahasa Madura merupakan satu alasan bertahannya buku bahasa Jawa di desa-desa di Madura. Renaisans kesusastraan Madura terjadi di kalangan cendekiawan semata.

Pembahasan macapat Madura secara komprehensif dilakukan oleh Team Penelitian Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember (1979-1980). Dalam laporan penelitiannya, “Seni Macapat Madura”, Team Penelitian Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember menguraikan panjang lebar tentang beberapa hal yang menyangkut macapat. Pertama, asal-usul seni macapat Madura. Sejarah mencatat,

(17)

macapat Madura berasal dari Pulau Jawa. Setelah sampai di Madura, macapat Jawa yang berbahasa Jawa dan bertuliskan huruf Jawa dan Latin dialih-bahasakan ke dalam bahasa Madura dengan huruf Arab, Jawa dan Latin. Dengan demikian, macapat Madura tidak dapat dilepaskan dari perkembangan macapat Jawa. Kedua, macapat Madura sebagai kegiatan seni. Dalam hal ini, macapat dipahami sebagai kesenian yang mengandung nilai-nilai sastra yang lebih menekankan pada kemampuan baca. Nilai sastra dalam macapat dapat ditemukan pada bentuk pengungkapan atau ekspresi macapat yang menggunakan kata-kata atau bahasa yang indah. Selain keindahan ekspresinya, macapat juga mengandung ungkapan pengalaman jiwa yang indah. Sebagai seni baca, pembacaan layang macapat membutuhkan kemampuan olah suara untuk menghasilkan permainan nada lagu yang merdu. Kemampuan itu berkaitan dengan tembang macapat yang ditulis berdasarkan nada dan notasi pada gamelan. Sehingga untuk memahami dan menguasainya dibutuhkan latihan yang sungguh-sungguh.

Ketiga, fungsi macapat Madura. Bagi masyarakat Madura, macapat dianggap sebagai media yang tepat untuk melakukan pembinaan mental, pendidikan secara informal. Isi tembang macapat yang mengisahkan cerita nabi, pahlawan, dan lainnya dapat memberikan nilai-nilai atau norma tentang agama, akhlak, budi pekerti dan moral. Pelaksanaan macapat juga berhubungan dengan upacara adat semisal perkawinan, selapan bayi, mendirikan rumah, selamatan laut, mengusir wabah, dan mengisi atau memeriahkan hari-hari yang dianggap penting. Keempat, perkembangan macapat Madura. Macapat Madura seperti kesenian daerah lainnya, makin lama makin kehilangan peminat. Kesulitan

(18)

memahami arti dan menguasai tembang menyebabkan minat generasi muda berkurang. Hadirnya kesenian modern semisal dangdut, film, drama, dan lainnya semakin membuat seni Macapat Madura tersingkir.

Berbagai penelitian tentang macapat Madura di atas lebih banyak membicarakan sejarah, jenis dan perkembangannya. Penelitian lebih banyak menyoroti keberadaan macapat Madura yang tidak dapat dipisahkan dari macapat Jawa. Penelitian terhadap ciri khas macapat Madura –dalam hal ini hadirnya tokang tegghes- belum banyak dilakukan.

Dalam macapat Madura dengan tembang bahasa Jawa, tokang tegghes memiliki peran signifikan. Tokang tegghes tidak sekadar menerjemahkan bahasa Jawa ke dalam bahasa Madura, tetapi juga memiliki tugas untuk menguraikan atau menjelaskan kode-kode bahasa Jawa. Tokang tegghes melakukan tegghesan atau penerjemahan sekaligus penjelasan dengan prosa yang indah.

Tokang tegghes menangkap pembacaan tembang berbahasa Jawa, kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Madura dalam durasi waktu yang seimbang dengan lamanya pembacaan tembang. Proses penerjemahan secara lisan, ini membutuhkan satu sistem kemampuan tersendiri. Tokang tegghes memiliki skemata atau konseptual kalimat siap pakai. Dengan kalimat-kalimat siap pakai inilah tokang tegghes menyusun tegghesannya dengan prosa yang jelas dan indah.

(19)

Albert B. Lord dalam bukunya The Singer Of Tales (1981) menguraikan beberapa aspek sistem penciptaan tradisi lisan. Pertama, prosedur pewarisan. Lord (1981:13-29) menguraikan bahwa pewarisan teknik bercerita dari seorang penyair Yugoslavia (guslar) pada muridnya dilaksanakan melalui sistem pendidikan ‘formal’.

Dalam proses pewarisan, Lord menjelaskan tiga tahapan proses menjadi penyair lisan Gusle. Pertama, tahap mendengarkan dan menyerap. Dalam tahap ini, seorang calon penyair lisan menirukan penyanyi lain yang sedang bernyanyi. Di sini, calon penyanyi lisan mempelajari cerita-cerita, nama, tempat dan kebiasaan di masa lalu. Dengan demikian, tema atau cerita yang diceritakan berulang menjadi familiar. Sehingga dia dapat mencari ekspresi nyanyiannya dan melakukan perulangan frasa dengan enak.

Dalam tahap awal ini, seorang calon penyanyi setelah mendengar sebuah lagu dari penyanyi lain, mengulangi lagu tersebut bersama teman-temannya secara kata-per-kata. Latihan menyanyikan lagu penyanyi lain secara kata-per-kata ini, dilakukan calon penyanyi tanpa bimbingan dari penyanyi yang senior, tetapi berdasarkan ingatannya. Hingga secara berangsur-angsur, calon penyanyi dapat menyanyikan lagu yang dipelajarinya dengan sempurna.

Kedua, tahap menggunakan atau mempraktikkan lagu. Tahap ini ditandai dengan penyanyi menyanyikan sebuah lagu, baik dengan atau tanpa instrumental. Hal utama dalam tahap ini, penyanyi sudah menetapkan ritme dan melodi untuk mengungkapkan ide nyanyiannya. Dalam tradisi Yugoslavia, sederhananya, pola ritme satu baris itu terdiri atas sepuluh suku kata dengan jeda setelah suku

(20)

keempat. Pola ini terus berulang dengan beberapa variasi melodi, jarak, dan waktu. Dalam hal ini, penyanyi belajar memerhatikan dan mempraktikkan teknik-teknik menyanyi dari penyanyi yang lebih senior.

Kesukaran yang dihadapai oleh seorang penyanyi pemula, adalah memadukan antara pemikiran dan ungkapannya. Hal itu disebabkan perubahan dari satu budaya ke budaya lainnya. Dengan kata lain, dalam pembentukan pola ritme penyanyi dipengaruhi oleh budaya yang dihadapinya.

Lord (1981:22) mengungkapkan, dalam menyusun komposisi nyanyiannya, seorang penyanyi mempertimbangkan dua faktor. Pertama, model teks nyanyian. Seorang penyanyi lisan tidak memiliki ide yang sama untuk menghafal beberapa nyanyian yang didengarnya. Ia hanya menentukan model teks yang dapat membantunya. Kedua, durasi waktu. Durasi waktu menjadi perhatian penyanyi dengan pertimbangan untuk menampilkan komposisi nyanyian yang alami, yaitu nyanyiannya mengalir dengan lancar. Selain itu, pertimbangan durasi waktu dengan tujuan menjaga komposisinya agar tetap menarik di depan penonton. Kalau waktu komposisi berlarut-larut, dimungkinkan penonton akan mengalami kebosanan.

Ketiga, tahap menyanyi di depan penonton yang kritis. Tahap ini merupakan tahap di mana seorang penyanyi sudah siap membawakan lagu-lagunya. Pada tahap ini, kemampuan penyanyi sudah komplet. Secara teknik dan pola nyanyian, ia sudah paham betul untuk mengatur ritme, melakukan pergantian dan melakukan penyesuaian demi penyesuaian.

(21)

Proses pewarisan berkaitan erat dengan performance. Kesiapan dan kemampuan seorang penyanyi untuk tampil dalam sebuah pertunjukan dapat dilihat pada waktu menjalani proses latihan. Finnegan (1992:91-94) berdasarkan deskripsi Lord, menyatakan bahwa performance adalah suatu tipe peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki mode tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan kontekstualnya.

Pertunjukan budaya merupakan konteks yang menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan unsur ruang dan waktu. Performance dapat dibagi menjadi dua model, yaitu model performance yang ditampilkan dihadapan audiens dan model performance yang ditampilkan tidak dihadapan audiens atau penonton (dengan waktu dan tempat yang dikondisikan). Model yang pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan (estetis), sedangkan model yang kedua untuk tujuan sakral. Menurut Finnegan, performance melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan), audiens dan partisipan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana dan prasarana yang digunakan).

Kedua, formula dan ungkapan formulaik. Formula adalah kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan ide pokok tertentu (Lord, 1981:30). Sedangkan ekspresi formulaik ialah larik atau setengah larik yang disusun sesuai dengan pola formula (Lord, 1981:4). Penggunaan kelompok kata secara teratur atau berulangnya frasa-frasa secara mekanis tidak hanya berguna untuk menimbulkan keindahan bagi

(22)

audiens. Akan tetapi juga membantu penyanyi untuk menyusun komposisi cerita dengan cepat.

Formula dapat pula dipahami sebagai perpaduan antara pikiran dan lagu yang dinyanyikan. Pikiran dengan segala kemungkinannya dapat berimprovisasi dengan bebas, sedangkan lagu cenderung menyiratkan pembatasan. Lord (1981:43) mengungkapkan, bahwa seorang pencerita menghasilkan ulangan kelompok kata atau frasa itu dengan dua cara, yaitu mengingat frasa-frasa dan menciptakannya melalui analogi dengan frasa-frasa lain yang telah ada. Karenanya, Lord menyarankan untuk memulai kajian formula dengan mempertimbangkan metrik dan musik.

Pembentukan formula ditandai dengan penciptaan frasa, klausa atau kalimat oleh penyanyi. Dalam pembentukan formula ini, pengalaman dan tradisi penyanyi memiliki pengaruh yang cukup kuat. Pengalaman atau latihan menyanyi, merupakan ruang awal penyanyi untuk memahami dan menciptakan frasa-frasanya sendiri. Selain itu, pengalaman menyanyi juga dapat mendorong penyanyi untuk memahami cara melakukan tekanan terhadap suku kata, rentang pengucapan huruf vokal, dan garis berirama.

Penciptaan formula oleh penyanyi dilakukan ketika ia menyanyikan sebuah lagu. Dalam menyanyikan sebuah lagu, penyanyi tidak sekadar mengingat lagu. Akan tetapi penyanyi tersebut juga belajar menciptakan frasanya. Dalam setiap menyanyikan lagu, penyanyi selalu mengingat frasanya atau menciptakan frasa baru. Beberapa frasa yang diciptakannya, akan digunakannya dalam lagu tertentu dan disusunnya secara teratur. Lord (1981:35-36) menyatakan bahwa

(23)

dengan paradigma tensis dan penafsiran mengubah bentuk kata untuk membedakan kasus, jenis, jumlah, dan aspek-bahasa yang dimanfaatkan dalam puisi lisan cenderung bersifat mekanis dan paralelistis.

Pengaruh tradisi terhadap formula berkaitan dengan kondisi dan kebiasaan masyarakat pada waktu tertentu. Pergeseran budaya dan bahasa dalam rentang waktu tertentu, juga memberikan dampak terhadap kebaruan formula nyanyian. Penyanyi yang selalu menciptakan frasa-frasa baru, dimungkinkan untuk menyesuaikan pola dan karakter formulanya berdasarkan tradisi atau kebiasaan masyarakat penikmatnya. Akan tetapi dalam hal ini, Lord (1981:43) menegaskan bahwa penyanyi lisan tetap tidak dapat disebut sebagai pemula. Karena dalam penciptaan formula dengan kata yang baru, penyanyi hanya meletakkannya dalam pola lama.

Lord (1981:32-35) juga menguraikan letak-letak komposisi pembentukan formula. (a) Pola melodi (irama). Pola melodi ini mencakup matra, sintaksis, ritme, sintaksis, ritme atau tempo nada, akustik atau bunyi suara. (b) Tekanan suku kata. Hal ini berkaitan dengan durasi pengucapan vokal tertentu, penekanan pada kata tertentu semisal kata kerja, kata bantu dan lainnya. (c) Subjek, predikat dan objek. Penyanyi dalam penciptaan frasa-frasa formulanya tidak dapat dipisahkan dari inti cerita. Dalam hal ini, inti cerita berkait erat dengan subjek sebagai pelaku peristiwa, predikat sebagai gambaran tentang peristiwa, dan objek yang menjadi teman subjek dalam membangun peristiwa. (d) Baris pertama, tengah dan akhir. Dalam baris ini, penyanyi memperhatikan rima atau pembukaan yang pas untuk menciptakan komposisi dengan ritme tertentu, dan (e) kata kunci.

(24)

Kata kunci atau kata-kata tertentu menjadi penada terhadap pola atau komposisi yang diciptakan oleh seorang penyanyi.

Formula itu muncul berkali-kali dalam cerita, yang mungkin berupa kata, frasa, klausa, atau larik. Untuk menghasilkan frasa itu, ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita, yaitu mengingat frasa-frasa itu dan menciptakannya melalui analogi dengan perulangan kata, frasa, klausa, dan larik yang telah ada. Formula yang stabil akan menjadikan ide-ide puisi lisan yang umum dengan menggunakan kata kunci dari nama-nama aktor, tindakan, waktu, dan tempat yang utama.

Formula-formula yang diciptakan oleh penyanyi, oleh Parry dikelompokkan dalam satu sistem. Dengan sistem ini, penyanyi dapat melakukan pergantian. Misalnya, dalam pola a-o a-o, agar bisa ber-pola seperti itu, maka ‘kata tempat’ bisa diganti oleh penyanyi; yang mula ‘di rumah’ (u-a) agar berpola a-o, maka bisa diganti ‘kata tempat’ yang lain, misalnya, -di kantor (a-o).

Dalam menciptakan dan memanfaatkan formula, penyanyi sering melakukan penyesuaian. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk membuat atau membangun jenis-keragaman pola dan ritme ekspresi. Penyesuaian ini berkaitan dengan melodi, sintaksis, matra, ritme, suku kata, pola penekanan dramatik untuk menghasilkan pola yang teratur. Penyesuan ini sering kali menggunakan kata-kata yang tak memiliki makna. Penyanyi melakukan penyesuaian ini dengan cara mengingat dan menciptakan -dalam pengertian ‘pembuatan’ bukan ‘peng-asli-an’.

Berdasarkan uraian di atas, penganalisisan terhadap teks harus dimulai dengan pengamatan yang cermat terhadap frasa-frasa yang mengalami

(25)

perulangan. Hal ini dilakukan untuk menentukan formula dengan berbagai variasi polanya (Lord, 1981:45. Dengan pola formula sebagai dasar, pencerita dapat menyusun larik-larik dengan rapi dan cepat pada posisi tertentu.

Penyusunan baris dengan pola formula akan mengakibatkan proses penggantian, kombinasi, pembentukan model, dan penambahan kata-kata atau ungkapan baru pada pola formula sesuai dengan kebutuhan penceritaan atau penggubahan. Pencerita dapat membangun larik terus-menerus, sesuai dengan keinginan dan kreatifitasnya. Ekspresi formulaik dapat juga membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat, dan tepat serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan (Lord, 1981:30.

Ketiga, tema atau kelompok gagasan. Formula sangat dekat hubungannya dengan tema. Yang dimaksud tema adalah ‘the repeated incidents and descriptive passages in the songs’ (peristiwa-peristiwa yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam nyanyian) (Lord, 1981:4); atau ‘the groups ideas regularly used to telling used in telling a tale in the formulaic style of songs’(kelompok ide yang secara teratur digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam ekspresi formulaik) (Lord, 1981:68). Tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam cerita. Tema tersusun dari adegan-adegan yang telah ada dalam pikiran pencerita dan digunakan untuk merakit ceritaitu.

Dalam pikiran pencerita yang telah mapan, tema mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh sifat lentur formula yang dipakai dan juga disebabkan oleh pencerita yang tidak memakai formula yang sama pada setiap

(26)

saat penceritaan. Tema bukanlah kreasi seni yang sungguh-sungguh statis, melainkan kreasi seni yang hidup dan berubah sesuai dengan situasi (Lord, 1981:94. Tema dapat diekspresikan dengan sekumpulan kata-kata. Pencerita tidak pernah memproduksi tema dengan kata-kata yang persis sama. Ini merupakan suatu keharusan dan bersifat normal. Tema bukan sekumpulan kata yang tetap, melainkan merupakan pengelompokan ide-ide (Lord, 1981:61.

Lord (1981:68-71) menguraikan, bahwa ada dua macam tema, yaitu tema mayor dan tema minor. Adapun yang dimaksud tema mayor adalah tema besar, sedangkan tema minor adalah bagian kecil dari tema mayor. Misalnya, adegan persidangan raja dengan para punggawanya merupakan tema mayor dan di dalam adegan ini ada adegan-adegan kecil, misalnya, adegan raja menerima surat, raja memerintahkan mengirimkan bala tentara, dan sebagainya.

1.6 Metode Penelitian

Dalam penelitian sastra lisan dibutuhkan pemahaman terhadap tempat dan bentuk pertunjukannya. Pemahaman terhadap tempat berkait erat seberapa jauh tradisi lisan tumbuh kembang dalam suatu masyarakat penikmatnya, sementara bentuk-bentuk pertunjukan (performance) akan memberikan gambaran kekhasan antara satu pertunjukan sastra lisan dan pertunjukan sastra lisan lainnya.

Untuk itu, penelitian “Tegghesan Macapat Layang Jatiswara pada Upacara Nyadhâr Ketiga” ini menggunakan metode etnografi dengan teknik terlibat langsung dan wawancara dengan informan.

(27)

Metode etnografi bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang khas penciptaan suatu sastra lisan dalam masyarakat penikmatnya. Spradley (2007:5) mengungkapkan bahwa etnografi merupakan upaya untuk memperhatikan makna-makna berbagai informasi yang diberikan oleh informan. Dalam hal ini, etnografi dimaksudkan untuk mendeskripsikan dan membangun suatu pengertian yang sistemik tentang cara melakukan tegghesan terhadap pembacaan Layang Jatiswara yang berbahasa Jawa di tengah masyarakat Madura.

Dalam metode etnografi digunakan teknik wawancara. Wawancara dalam metode etnografi merupakan wawancara yang bersifat peristiwa percakapan (Spradley, 2007:85). Artinya, seorang peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak-banyaknya melalui pengamatan terlibat langsung dan berbagai macam percakapan dengan informan.

Penggalian informasi kepada informan, dilakukan peneliti dengan membangun serangkaian percakapan yang bersahabat sambil perlahan memasukkan beberapa unsur baru guna membantu informan memberikan jawaban sebagai seorang informan.

Dengan metode etnografi ini, peneliti dapat mengetahui beberapa hal yang berkaitan dengan tegghesan. (a) Tokang tegghes dan tokang tembhâng memadukan pembacaannya yang bersahutan. (b) Tokang tegghes merespon tokang tembhâng, semisal ketika tokang tembhâng melantunkan tembang dengan suara yang bagus. (c) Tokang tegghes mengawali dan mengakhiri tegghesannya. (d) Sikap tokang tegghes ketika tokang tembang melakukan kesalahan pembacaan

(28)

larik, semisal mengulang atau melompati larik. (e) Tokang tegghes melakukan tegghesan dengan narasi yang lemma’.

Informan dalam penelitian ini terdiri atas beberapa tokang tegghes dan tokang tembhâng. Pemilihan tokang tegghes dan tokang tembhâng¸ sebagai narasumber atau responden berdasarkan pertimbangan bahwa keduanya memiliki tanggung jawap penuh terhadap pelaksanaan macapat pada upacara nyadhâr ketiga. Tokang tegghes dan tokang tembhâng termasuk dua pelaku yang terlibat langsung dalam pelaksanaan dan penerjemahan tembang yang dibacakan pada acara macapat. Sedangkan tetua adat dan masyarakat berperan untuk menjaga keberlangsungan macapat pada upacara nyadhâr ketiga.

Dalam penelitian ini, peneliti juga memanfaatkan alat bantu berupa buku catatan dan tape recorder. Pembacaan Layang Jatiswara yang dimulai sekitar pukul 20:00 hingga pukul 02:00 dengan jeda istirahat direkam seluruhnya. Hasil rekaman macapat itu, kemudian ditrankripsikan. Hasil transkripsi (teks) inilah yang menjadi fokus analisis dengan menggunakan teori Albert B. Lord yang dikemukakan di atas.

Penulisan transkripsi tegghesan menggunakan panduan fonetis buku “Èjhâân Bhâsa Madhurâ 2004 dan Carakan Madhurâ” yang disusun oleh Drs. H. Muakmam dan Kamus Bahasa Madura yang disusun oleh Andrian Pawitra (2008).

(29)

Tesis ini terdiri atas lima bab. Bab I memaparkan latar belakang, yaitu deskripsi tentang peran-fungsi sastra lisan bagi masyarakatnya, sekaligus hilangnya minat masyarakat pada pagelaran atau pun pelestarian sastra lisan. Macapat yang dilaksanakan pada upacara nyadhâr ketiga di Desa Pinggir Papas, merupakan bentuk sastra lisan yang mengalami hal tersebut. Selain latar belakang, bab ini juga berisi rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian.

Bab II mendeskripsikan sekilas masyarakat Pinggir Papas sebagai masyarakat penikmat macapat nyadhâr ketiga, upacara nyadhâr ketiga sebagai pengikat berlangsungnya macapat, dan macapat itu sendiri, terutama hadirnya tokang tegghes yang membedakan macapat Jawa dan Macapat Madura.

Bab III mendeskripsikan pola pewarisan tokang tegghes dan beberapa tema pokok yang terkandung dalam Layang Jatiswara yang ditembangkan dalam macapat nyadhâr ketiga. Pola pewarisan tokang tegghes berkaitan erat dengan syarat-syarat seseorang dapat melakukan tegghesan di acara macapat nyadhâr ketiga yang disakralkan oleh masyarakat Pinggir Papas. Tema-tema yang dibacakan dalam macapat nyadhâr ketiga adalah fragmen perjalanan Jatiswara dalam mencari arti kehidupan.

Bab IV mendeskripsikan analisis terhadap teks tegghesan. Dalam analisis ini diuraikan beberapa kecenderungan tokang tegghes dalam memilih kata. Selain persoalan kecermatan pemilihan kata, juga diuraikan pola dan karakter tokang tegghes membangun formula tegghesan. Sehingga dalam melakukan tegghesan,

Referensi

Dokumen terkait

Faktor pendukung dalam pemanfaatan permainan tradisional untuk kegiatan kelompok B2 di TK Bumi Warta Yogyakarta, yaitu: halaman sekolah yang luas, antusiasme dari

Dalam hal ini pengaruh yang menonjol terlihat pada pemberian sungkup sedangkan pengaruh sterilisasi tidak nya terbukti dengan rendahnya kecepatan berkecambah pada

Teknik penyambungan jaring selain digunakan untuk membuat alat tangakap, teknik ini juga digunakan untuk memperbaiki jaring. Yang perlu kita perhatikan.. dalam perbaikan pada jaring

Diharapkan dengan adanya penelitian tentang minat siswa dalam mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan ini, siswa dapat mengikuti mata pelajaran

MSWG berpendapat, Pengerusi mesyuarat bertanggungjawab mengemukakan setiap Resolusi yang Dicadangkan seperti yang disenaraikan dalam Notis mesyuarat untuk undian, dengan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terkait hubungan motivasi kerja terhadap kinerja pengurus pada lembaga keuangan mikro agribisnis di kota

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

Penelitian ini akan mencoba membandingkan hasil klasifikasi dari dua input RoI yaitu titik (piksel) dan area (kumpulan piksel) pada suatu citra hyperspektral dengan objek