BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada periode Mesolitik, manusia telah bercocok tanam secara sederhana
dan memilih gua atau ceruk sebagai tempat berlindung sementara (Heekeren,
1972: 150). Adapun manusia pada saat itu, juga mempertimbangkan faktor-faktor
kelayakan dalam menentukan lokasi hunian (Sidik, 1999: 3). Keberadaan sumber
makanan (Nurani, 2001: 15), ukuran yang luas, penerangan yang cukup, intensitas
sinar matahari yang baik, serta kondisi permukaan lantai gua yang kering, telah
menjadi bahan pertimbangan mereka (Sugianto, 2004: 5). Salah satu gua hunian
yang sudah lama dikenal di Indonesia adalah Situs Gua Lawa yang terletak di
Kecamatan Sampung Ponorogo. Situs tersebut dicirikan dengan industri tulang
yang beraneka ragam serta alat serpih (Forestier, 2007: 67).
Pada tahun 2000 Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian di
Kawasan Karst Sampung dan menemukan beberapa gua serta ceruk yang
memiliki potensi arkeologi. Secara keseluruhan terdapat 5 ceruk dan 11 gua,
tetapi hanya 3 gua dan 3 ceruk yang menunjukkan indikasi sebagai lokasi hunian
yaitu Gua Tutup, Gua Padepokan, Ceruk Layah, Ceruk Ngalen, Gua Nggowos
(LPA, 2000: 5) dan Ceruk Sulur (Nurani, 2003a: 8). Penelitian dilanjutkan dengan
melakukan ekskavasi yaitu di Ceruk Layah, Ceruk Ngalen, Ceruk Sulur dan Gua
Tutup. Hal itu dilakukan untuk mengetahui masing-masing pemanfaatan gua dan
Hasil penggalian di keempat lokasi tersebut menunjukkan bahwa temuan
arkeologi paling banyak ditemukan di Ceruk Layah yaitu berupa fragmen
tembikar, artefak batu, moluska, sisa fauna, alat tulang, dan biji tanaman.
Penggalian di Ceruk Layah telah membuka 13 kotak galian yaitu LU-1, B-5, C-2,
C-4, C-5, C-6, C-9, D-8, C-3, C-7, C-10, D-3, dan D-9 (Nurani, 2003b: 17-18 dan
LPA, 2000: 12). Dari keseluruhan temuan, fragmen tembikar dan artefak batu
lebih dominan dibandingkan temuan lain, masing-masing berjumlah 1821 buah
dan 1082 buah.
Artefak adalah sebuah data arkeologi yang telah dimodifikasi oleh
manusia baik itu sebagian ataupun seluruhnya (Sharer and Ashmore, 2002: 120).
Salah satu contohnya adalah artefak batu yang dapat mengindikasikan adanya
aktivitas manusia seperti pembuatan dan penggunaan alat batu. Hal ini dapat
dibuktikan dari sisa pembuatan alat batu berupa batu inti, tatal, dan serpih, serta
sisa penggunaan alat batu berupa mata panah, serut, bilah, bor, kapak penetak dan
kapak perimpas. Dalam kaitannya dengan artefak batu dari Ceruk Layah, pada
tahun 2003 Balai Arkeologi Yogyakarta telah melakukan identifikasi secara
makroskopis guna mengetahui jenis artefak batu apa saja yang terdapat di ceruk
tersebut. Seluruh artefak batu yang ditemukan memiliki ukuran yang relatif kecil.
Hasil identifikasi secara makroskopis menunjukkan terdapat beberapa
variasi artefak batu yaitu berupa calon mata panah dan alat-alat serpih lainnya
seperti bilah, serut, bor, serta mata panah. Berdasarkan penaaman-penamaan itu,
penelitian ini ingin memastikan apakah artefak batu tersebut telah digunakan.
pemakaian pada alat batu. Menurut Tringham., dkk (1974) penelitian mengenai
analisis mikrosopis jejak pemakaian alat batu tidak hanya memberikan informasi
mengenai variasi jejak pemakaian saja, tetapi juga berkaitan dengan aktivitas
penggunaan serta resistansi material pengerjaannya.
Manusia prasejarah pada saat itu menggunakan alat batu untuk membantu
mereka beraktivitas seperti menguliti daging, memotong kayu, dan menyerut
tanduk. Persinggungan yang terjadi antara alat batu dan objek material (kayu,
daging, kulit, dan tanaman) akan menghasilkan suatu “bekas” yang tertinggal
pada bagian alat batu, terutama jika dilakukan secara terus-menerus. Indikasi
adanya jejak pemakaian pada alat batu dapat diketahui dalam empat hal yaitu luka
(fracture), striasi (striasion), kilapan (polish), dan pembundaran (rounding) (Kononenko, 2011: 7). Dalam satu spesimen alat batu dapat memiliki satu atau
lebih jenis jejak pemakaian sehingga menghasilkan suatu variasi.
Lain halnya dengan resistansi material pengerjaan, yaitu daya tahan dari
benda yang dikerjakan atau bersinggungan dengan alat batu. Beberapa peneliti
membagi resistansi objek material pengerjaan menjadi beberapa tingkatan.
Contohnya resistansi material lunak antara lain daging, kulit, dan lemak; resistansi
material sedang misalnya kayu dan tanaman; resistansi material keras seperti
tanduk, gading, dan tulang (Tringham dkk., 1974: 189-191)
Di Indonesia sendiri, penelitian seperti ini masih jarang dilakukan. Kajian
alat batu lebih sering dilakukan secara makroskopis daripada mikroskopis.
penggunaan alat batu dan resistansi material pengerjaan melalui variasi jejak
pemakaian.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, khususnya terkait dengan adanya
dugaan penggunaan alat batu, muncul tiga permasalahan yang akan dijawab dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Seperti apakah variasi jejak pemakaian pada alat serpih di Ceruk Layah,
Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur?
2. Apa saja aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan alat serpih di
Ceruk Layah Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur?
3. Bagaimana resistansi objek material yang pernah bersinggungan dengan
alat serpih di Ceruk Layah, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo,
Jawa Timur?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memastikan adanya penggunaan alat serpih di Ceruk Layah secara
mikroskopis terhadap variasi jejak pemakaiannya.
2. Memberikan informasi terkait dengan aktivitas penggunaan alat serpih di
Ceruk Layah.
3. Mengetahui resistansi objek material yang telah bersinggungan dengan alat
1.4 Keaslian Penelitian dan Tinjauan Pustaka
Beberapa karya tulis mengenai Ceruk Layah, Situs Kawasan Sampung,
dan alat serpih pernah dilakukan oleh beberapa peneliti berikut ini. Pada tahun
2004 dalam artikel berjudul Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup manusia prasejarah pada masa Holosen di Gua-gua Situs Sampung, Provinsi Jawa Timur, Vita melakukan analisis polen yang diperoleh dari sedimen tanah hasil penggalian Gua Lawa. Tujuannya yaitu untuk
mengetahui keberagaman flora yang terdapat di Situs Sampung. Selain itu, ia juga
mendeskripsikan secara singkat mengenai gua dan ceruk yang berada di daerah
tersebut beserta masing-masing temuan hasil penggalian. Pada tahun 2000 dalam
laporan penelitian arkeologi berjudul Pola Pemanfaatan Lahan Gua-gua di
Kabupaten Ponorogo tahap 1, Balai Arkeologi Yogyakarta menjelaskan hasil survei di seluruh gua hunian di Sampung dan hasil penggalian lubang uji (test pit)
di Gua Tutup dan Ceruk Layah.
Indah Asikin Nurani menulis beberapa artikel diantaranya mengenai
Pola-pola Komunitas Situs Gua Kawasan di Jawa Timur tahun 2001 yang menjelaskan mengenai fungsi gua di Jawa Timur berdasarkan hasil temuannya yaitu
gua-gua di Gunung Sewu, Gunung Watangan, Sampung, dan Bojonegoro. Nurani juga
melakukan analisis settlement semi mikro untuk melihat pola komunitas gua-gua
hunian di kawasan timur Jawa tersebut. Pada tahun 2003 ia menulis artikel
berjudul Pola Komunitas Gua-gua di Sampung, Ponorogo, Jawa Timur ,yang
berisikin uraian hasil penggalian di tiga ceruk di sekitar Gua Lawa yaitu Ceruk
keberadaan Gua Lawa. Berdasarkan temuannya, Nurani berpendapat bahwa
fungsi Ceruk Layah dan Ngalen dalam skala mikro adalah sebagai situs
perbengkelan. Pada tahun yang sama, Nurani melakukan identifikasi artefak litik
Ceruk Layah secara makroskopis dan kajian teknoekonomi dalam artikel berjudul
Artefak Batu Ceruk Layah, Sampung: Kajian Teknoekonomi. Pada tahun 2004, ia mengkaji mengenai Perkembangan Industri Litik Penghuni Gua-Gua di Jawa
Timur. Artikel tersebut mencoba membandingkan teknologi serta bahan batuan pada artefak batu di gua-gua Jawa Timur yaitu Gunung Sewu, Gunung Watangan,
dan Sampung.
Berkaitan dengan subjek penelitian yang sama yaitu alat serpih, telah
dilakukan penelitian oleh beberapa peneliti dalam skripsi sarjana antara lain
Widhi Cahya Prasmita berjudul Cakupan Situs Sangiran: Kajian Berdasarkan
Alat Serpih pada tahun 1999. Skripsi tersebut mencoba untuk merekonstruksi indikasi adanya berbagai macam aktivitas di Formasi Kabuh, Sangiran dengan
menggunakan metode interpretasi teoritis. Skripsi A.Rizal Perwira.N berjudul
Keseragaman Perbandingan Ukuran Pada Kelompok Alat Serpih Gua Braholo pada tahun 2003, menjelaskan mengenai pengelompokan alat serpih Gua Braholo
berdasarkan atribut bentuk dan teknologi. Proses pengelompokan alat sepih
menggunakan analisis klaster.
Selanjunya Rusmulia Tjiptadi Hidayat juga menulis skripsi tentang alat
serpih yang berjudul Alat Serpih Sangiran Koleksi Museum Nasional Jakarta:
Tipologi, Teknologi, & Posisi Stratigrafi. Skripsi tersebut menjelaskan mengenai tipologi yang dibuat kembali terhadap alat serpih Sangiran temuan Von
Koenigswald. Tipologi dibuat secara statistik dengan program SPSS dengan
menghitung besarnya derajat kesamaan atribut-atribut pada setiap artefak batu.
Selain itu tulisan ini juga membahas tentang teknologi dan posisi stratigrafi alat
serpih Sangiran.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa penelitian
mengenai Ceruk Layah telah dilakukan beberapa kali oleh Balai Arkeologi
Yogyakarta termasuk identifikasi teknologis artefak batu secara makroskopis pada
tahun 2003. Namun penelitian mengenai jejak pemakaian, aktivitas penggunaan,
serta resistansi material yang pernah bersinggungan dengan alat serpih di Ceruk
Layah secara mikroskopis belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, dalam
menjawab beberapa masalah tersebut dibutuhkan beberapa literatur yang
berkaitan dengan teknologi artefak batu serta jejak pemakaiannya.
Artikel yang ditulis oleh Tringham, Cooper, Odell, Viytek, and Whitman
berjudul Experimentation in the Formation of The Edge Damage: A New
Approach to Lithic Analysis, berisi tentang hasil eksperimen pembuatan dan penggunaan alat batu berbahan dasar flint dengan memberlakukan beberapa
variabel (experiment control). Kemudian seluruh alat batu yang telah digunakan
diidentifikasi jejak pemakaiannya dengan menggunakan mikroskop perbesaran
rendah. William Andrefsky, Jr. pada tahun 1998 dalam buku berjudul Lithics
Macroscophic Approaces menjelaskan mengenai cara melakukan analisis makroskopis terhadap artefak batu yang meliputi bahan batuan, atribut, teknologi,
Karya George Hamley Odell, Frieda Odell-Vereecken pada tahun 1980
dalam artikel berjudul Verifying the Reliability of Lithic Use-Wear Assessments by “Blind Test”: The Low-Power Approach, menjelaskan mengenai eksperimen penggunaan alat batu dan identifikasi jejak pemakaiannya secara mikroskopis.
Berbeda dengan Tringham dkk., (1974) eksperimen ini menggunakan metode “Blind Test”, yaitu peneliti yang melakukan eksperimen penggunaan alat batu
dengan peneliti yang akan menguji jejak pemakaiannya tidak dilakukan oleh
peneliti yang sama. Sehingga kegiatan tersebut disebut dinilai lebih objektif.
Laporan penelitian oleh Anggraeni, Mahirta, dan D.S Nugrahani pada
tahun 2002 berjudul Eksploitasi Sumberdaya Hayati Pegunungan Seribu Pada
Awal Holosen Dan Implikasinya: Studi Kasus di Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, menjelaskan mengenai penyebab perubahan lingkungan di Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul berdasarkan data artefaktual, ekofaktual, dan lingkungan.
Salah satu analisis artefaktual adalah melakukan pengamatan terhadap jejak
pemakaian alat batu dari Situs Song Bentar.
Agustina Dyah Pramudika pada tahun 2015 dalam skripsi berjudul
Identifikasi Luka Alat Serpih Di Sektor Dayu Sangiran, Kajian Berdasarkan Pembentukan Luka dan Pola Luka, menjelaskan mengenai faktor luka dan pola luka yang timbul pada artefak batu yang ditemukan di Sektor Dayu Sangiran.
Artikel John J. Shea dan Joel D. Klenk pada tahun 1993 berjudul An Experimental
Investigation of The Effects of Trampling on The Results of Lithic Microwear Analysis, berisikan tentang hasil eksperimen penggunaan alat batu dengan
memberlakukan beberapa variabel. Selain itu, mereka mencoba membedakan
antara luka yang diakibatkan oleh penggunaan dengan luka akibat trampling.
1.5 Metode Penelitian
Pada penelitin ini terdapat beberapa tahapan yang akan dilakukan. Berikut ini
penjabaran masing-masing tahapan:
1.5.1 Tahapan Pengumpulan Data
Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa artefak batu
Ceruk Layah yang saat ini berada di kantor Balai Arkeologi Yogyakarta. Data
sekunder berupa laporan perekaman (recording) seluruh hasil ekskavasi,
rekapitulasi temuan, dan peta gua.
1.5.2 Tahapan Klasifikasi Data
Keseluruhan artefak batu yang telah ditemukan oleh Balai Arkeologi
Yogyakarta, tidak akan dijadikan sebagai data. Dengan menggunakan Purposive
random sampling, data yang digunakan akan diambil secara acak berdasarkan tujuan penelitian. Klasifikasi memiliki peran penting sebagai cara untuk
mengelompokan artefak (Kleijn 1982; Dunnell 1986; Wylie 2002 dalam Read,
2007: 19). Berkaitan dengan penelitian ini, artefak batu Ceruk Layah akan
diklasifikasikan menjadi alat dan non alat batu yang ditentukan berdasarkan pada
keberadaan atribut primping. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan di ruang
penanganan temuan kantor Balai Arkeologi Yogyakarta. Berikut ini perbedaan
a. Alat batu adalah salah satu artefak batu yang siap atau sudah digunakan oleh
manusia prasejarah. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan atribut berupa
perimping atau retus.
b. Non alat batu adalah berbagai jenis artefak batu yang menjadi bagian dari
proses pembentukan alat batu seperti limbah (debris), serpih, batu inti (core),
perkutor, dan bahan.
1.5.3 Tahapan Analisis Data
Tahapan analisis data dibagi menjadi dua yaitu analisis secara makroskopis
dan mikroskopis. Berikut ini penjelasannya:
1.5.3.1 Analisis Makroskopis
Analisis makroskopis artefak batu adalah melakukan pengamatan terhadap
alat batu secara langsung. Tujuannya yaitu memberikan informasi terkait dengan
ciri-ciri fisik spesimen alat batu. Ciri tersebut mencakup ukuran, bahan, bentuk,
dan profil tepian (edge profile). Berikut penjelasannya:
1.5.3.1.1 Ukuran
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran panjang maksimum, lebar
maksimum, dan tebal maksimum. Sehingga didapatkan dimensi alat batu.
Mengukur panjang dimulai dari titik proksimal yang ditarik garis lurus ke titik
distal. Pada lebar alat batu dimulai dari sisi lateral yang memiliki lebar maksimum
kemudian ditarik garis lurus. Mengukur tebal dimulai dari sisi ventral yang
memiliki ketebalan maksimum lalu ditarik garis lurus ke arah dorsal sisi dorsal
(lihat Gambar 1.1) (Andrefsky, 1998: 98). Kegiatan ini menggunakan alat
Gambar 1.1 a. Pengukuran panjang maksimum b. Pengukuran lebar maksimum dan c. Pengukuran tebal maksimum
(Sumber: Andrefsky, 1998: 98)
Gambar 1.2 Jangka sorong untuk mengukur dimensi alat batu (Dokumentasi oleh Katrynada Jauharatna)
1.5.3.1.2 Bahan
Menentukan jenis batuan pada tiap alat batu. Sehingga dapat mengetahui
variasi bahan yang digunakan sebagai alat batu. Misalnya jenis batuan rijang
1.5.3.1.3 Bentuk
Melakukan pengamatan terhadap bentuk berdasarkan lekungan garis (curve)
pada tepian alat batu. Penamaan bentuk menggunakan nama-nama bangun datar
seperti segitiga, persegi, persegi panjang, dan trapesium.
1.5.3.1.4 Profil Tepian (Edge Profile)
Pada penelitian ini, terminologi edge mengacu pada bagian tepian alat batu
yang digunakan (edge wear). Di antara bagian alat batu yang lain, bagian tersebut
yang paling sering bersinggungan dengan material pengerjaan. Oleh karena itu,
diperlukan kajian lebih mendalam yaitu meliputi morfologi tepian (edge
morphology), distribusi serta letak jejak pemakaian. 1.5.3.1.4.1 Morfologi tepian (Edge Morphology)
Penelitian mengenai morfologi tepian (Edge Morphology) pernah dilakukan
oleh beberapa peneliti salah satunya oleh Tringham dkk, (1974: 180) yang
membaginya menjadi tiga bagian yaitu datar/lurus, cembung, dan cekung (lihat
Gambar 1.3).
Gambar 1. 3 a.Tepi alat batu berbentuk datar b.tepi alat batu berbentuk cembung c.tepi alat batu berbentuk cekung
1.5.3.1.4.2 Distribusi dan Letak Jejak Pemakaian pada Alat Batu
Tujuan identifikasi distribusi dan letak jejak pemakaian yaitu ingin
mengetahui sebaran serta lokasi jejak pemakaian alat batu. Inizan dkk (1999) telah
melakukan penelitian mengenai distribusi dan membaginya menjadi tiga yaitu
putus-putus, seluruhnya/total, dan sebagian (lihat Gambar 1.4). Lain halnya
dengan distribusi jejak pemakaian, letak jejak pemakaian akan dibagi menjadi dua
yaitu sisi dan permukaan. Sisi terdiri dari lateral kanan, lateral kiri, proksimal, dan
distal, sedangkan permukaan terdiri dari ventral dan dorsal.
Gambar 1.4 a.putus-putus. b.total. c. sebagian (Sumber: Inizan dkk, 1999: 140)
1.5.3.2 Prosedur Persiapan (Treatment) Sebelum Analisis Mikroskopis
Sebelum analisis mikroskopis dilakukan, seluruh alat serpih akan menjalani
beberapa tahapan seperti pembersihan, pengeringan, dan peninjauan secara cepat
terhadap setiap alat serpih (scanning).
1.5.3.2.1 Pembersihan dan Pengeringan
Seluruh temuan alat serpih dari Ceruk Layah berasal dari hasil penggalian.
Jika dibiarkan, hal ini dapat menghalangi pengamatan terhadap jejak pemakaian
pada alat serpih, sehingga dibutuhkan beberapa prosedur penanganan untuk
membersihkannya. Saat ini, terdapat beberapa cara pembersihan alat batu yaitu
menggunakan air mengalir kemudian penggosokan lembut (gentle rubbing)
dengan jari atau direndam di dalam ultrasonic tank dengan cairan tepol (sejenis
detergent) dan alkohol 70% selama lima menit (Irdiansyah, 2008: 79).
Meskipun sisa sedimen (residu) dapat menghalangi pengamatan, namun
apabila dibersihkan dengan cairan kimia dapat menghilangkan residu secara
keseluruhan. Padahal pada beberapa penelitian alat batu, residu menjadi hal
penting dalam melakukan interpretasi terkait dengan fungsi.
Agar residu atau sisa sedimen yang menempel tidak hilang secara
keseluruhan, maka temuan alat serpih dari Ceruk Layah hanya dibersihkan dengan
air bersih saja. Langkah pertama, satu per satu alat serpih dibasuh secara perlahan
dengan menggunakan air bersih yang mengalir. Jika kotoran sulit dihilangkan,
maka digosok secara perlahan dengan menggunakan jari. Seluruh alat serpih yang
telah dibersihkan, kemudian diletakkan di atas alas berupa bahan yang mudah
menyerap air seperti kertas koran ataupun kain. Tahap selanjutnya yaitu
pengeringan dengan cara diangin-anginkan.
1.5.3.2.2 Peninjauan Secara Cepat Terhadap Alat Serpih (Scanning)
Peninjauan secara cepat terhadap setiap alat serpih (Scanning) dilakukan
untuk memperkirakan bagian bagian alat serpih yang memiliki jejak pemakaian.
tanda letak jejak pemakaian dapat diketahui, maka pengamatan akan difokuskan
pada bagian tersebut.
1.5.3.3 Analisis Mikroskopis
Analisis mikroskopis pada penelitian ini merupakan tahapan dalam
mengamati variasi jejak pemakaian. Menurut Olausson (1980) terdapat tiga hal
yang harus diperhatikan dalam analisis ini yaitu perbesaran mikroskop
(magnification), penghitungan (quantification), dan foto (photography). Ketiganya diaplikasikan pada penelitian ini, dengan penjelasan sebagai berikut.
1.5.3.3.1 Perbesaran mikroskop (Magnification)
Perbesaran mikroskop dibagi menjadi dua yaitu perbesaran rendah dan
besar. Menurut Odell (2001) perbesaran tersebut bukan sebagai teknik bersaing,
melainkan strategi penggunaannya tergantung pada masalah penelitian. Dalam
menjawab rumusan permasalahan pada penelitian ini cukup menggunakan
perbesaran mikroskop dengan perbesaran rendah yaitu 50 X.
Penelitian ini menggunakan mikroskop Cooling Tech tipe CS01-200.
Spesifikasimya antara lain perbesaran 50 X – 500 X, memiliki 8 internal LED,
menggunakan kabel USB sebagai penghubung antara komputer dengan
mikroskop, image capture resolution 640x480, CD driver dan digital zoom 5X
(lihat Gambar 1.5). Berdasarkan hal tersebut, terlihat adanya perbedaan antara
Gambar 1.5 Mikroskop
(Dokumentasi oleh Katrynada Jauharatna)
1.5.3.3.2 Penghitungan (Quantification)
Penghitungan akan dilakukan pada jejak pakai alat batu berupa luka
(fracture) meliputi panjang dan kedalaman. Faktor timbulnya luka pada alat batu dibagi menjadi dua yaitu akibat penyerpihaan dan penggunaan. Apabila luka
memiliki ukuran yang tidak jauh berbeda, berorientasi, serta jarak antar luka
berdekatan, maka dapat menunjukkan jika luka timbul akibat penggunaan. Selain
itu, dengan melakukan tahapan ini, dapat mengetahui variasi ukuran luka pada
setiap alat batu. Melalui hasil foto mikroskop, luka akan diukur dengan dengan
Gambar 1.6 Software ImageJ untuk mengukur panjang dan kedalaman luka (fracture)
(Dokumentasi oleh Katrynada Jauharatna)
1.5.3.3.3 Foto (Photography)
Lampiran foto atau gambar bertujuan untuk memberikan ilustrasi
mengenai variasi jejak pemakaian alat serpih Ceruk Layah.
1.5.4 Penarikan Kesimpulan
Memberikan infromasi terkait variasi jejak pemakaian, aktivitas penggunaan
serta resistansi objek material pengerjaan alat serpih dari Ceruk Layah,
Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Informasi tersebut
didapat berdasarkan sintesis hasil identifikasi jejak pemakaian serta identifikasi
1.6 Bagan Alir Penelitian
Pengumpulan Data
Artefak batu Ceruk Layah saat ini
Sekunder
Pemilahan artefak batu menjadi dua bagian yaitu:
Alat batu Non alat batu
Analisis alat batu:
Makroskopis meliputi ukuran, bahan, bentuk, dan profil tepian (edge profile)
Mikroskopis meliputi variasi jejak pakai {luka (luka), striasi (striation), kilapan (polish), dan pembundaran (rounding)} Mengukur panjang dan kedalaman luka melalui hasil foto
mikroskopis. Panduan proses analisis makroskopis dan mikroskopis alat batu
Hasil eksperimen pembuatan hingga penggunaan alat batu
Teknologi alat batu
Hasil analisis
data Sintesis
Kesimpulan Primer