• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2008,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2008,"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2008,

sekitar 7,6 juta orang meninggal karena kanker dari 58 juta kematian di dunia.

Lebih dari 70% kasus kematian kanker terjadi di negara berkembang dan negara

miskin, yang sumber daya pencegahan (preventif), diagnosa dan terapi kanker

sangat terbatas atau bahkan tidak tersedia. Menurut perkiraan, kematian yang

disebabkan oleh kanker akan terus meningkat dengan asumsi 9 juta orang pada

tahun 2015 dan 11,4 juta orang pada tahun 2030 (Anonim, 2008b).

Di Indonesia, khusus pada wanita terdapat lima jenis kanker tertinggi,

yakni kanker leher rahim, payudara, indung telur, dan rektum dimana kanker

payudara merupakan penyebab utama kematian akibat kanker (Anonim, 2008a). Kanker payudara merupakan salah satu tumor solid yang responsif

terhadap kemoterapi, sehingga kemoterapi menjadi salah satu terapi utama dalam

pengobatan kanker payudara (Anonim, 2003). Mual muntah merupakan efek

samping dari kemoterapi yang paling sering dilaporkan, menakutkan dan

memberikan pengaruh yang bermakna pada pasien terutama dalam kehidupan

sehari- hari, kualitas hidup pasien dan kepatuhan pada kemoterapi. Untuk

mengatasi hal tersebut, pasien kanker yang menjalani kemoterapi umumnya

(2)

Mual dan muntah yang ditimbulkan kemoterapi, Chemotherapy-Induced

Nausea and Vomiting (CINV) adalah salah satu efek samping kemoterapi yang

paling mencemaskan bagi pasien kanker, karena dapat menyebabkan

ketidaknyamanan parah dan mempengaruhi kualitas hidup.

Probabilitas menderita CINV bergantung pada beberapa faktor, beberapa

terkait langsung dengan obat yang digunakan dan yang lain bergantung pada

pasien. Dalam faktor bergantung pasien, jenis kelamin, usia, motion sickness,

hipermual muntah gravidarum dan asupan alkohol telah diidentifikasikan sebagai

determinan utama (Hawkin, 2009).

Suatu pedoman untuk mengukur potensi emetogenik dari obat dan

kombinasi diterbitkan pada 1997. Sitostatik dibagi menjadi lima kategori menurut

persentase pasien dengan mual muntah yang ditimbulkan obat. Suatu model untuk

menghitung potensi emetogeneik dari kombinasi obat kemoterapetik juga

diberikan. Pada 2004, satu panel ahli memodifikasi klasifikasi. Empat kategori

dimasukkan: obat dengan potensi emetogenik tinggi, sedang, rendah dan minimal.

Harus dicatat bahwa ada jumlah pasien yang signifikan yang menerima terapi

yang menggabungkan beberapa obat sitostatik bukannya monoterapi. Salah satu

persoalan yang harus dipecahkan adalah penilaian potensi emetogenik dari

kombinasi ini.

Sebelum menentukan obat antiemetik yang digunakan, penting untuk

mengetahui obat kemoterapi yang digunakan termasuk dalam kelompok yang

mana menurut kemampuannya dalam menimbulkan muntah (bersifat

(3)

sedang, emetogenik rendah dan emetogenik minimal. Disebut sangat emetogenik

bila lebih dari 90% pasien mengalami muntah, sedang bila 30-90% pasien yang

mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami muntah, rendah bila 10-30%

pasien mengalami muntah, dan minimal bila kurang dari 10% pasien mengalami

muntah.(Hawkin, 2009)

Pada tahun-tahun terakhir, molekul baru yang telah memperbaiki kontrol

mual muntah yang ditimbulkan oleh kemoterapi telah diperkenalkan. Untuk

alasan ini, American Society of Clinical Oncology (ASCO), National

Comprehensive Cancer Network (NCCN) dan Europian Society for Medical Oncology (ESMO). mempertimbangkan penting untuk mengkaji dan memperbaharui Pedoman Klinis sebelumnya yang diterbitkan pada tahun

sebelumnya untuk memasukkan perkembangan baru.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di salah satu rumah sakit

Yogyakarta periode 2010-2011, dari 36 kasus efek samping yang ditemukan pasca

kemoterapi terdapat 50%, 57% dan 100% berupa kasus mual dan muntah baik

kasus ringan, sedang, tinggi, maupun sangat tinggi. Kejadian mual saja terjadi

sebanyak 11 kasus (31%), muntah saja 0 kasus, serta mual dan muntah 10 kasus

(28%). Total kejadian mual dan muntah 50% pada kemoterapi risiko sedang, 57%

pada risiko tinggi, dan 100% pada risiko sangat tinggi. Melihat tingginya angka

kejadian mual muntah tersebut, maka diperlukan penatalaksanaan mual dan

muntah yang tepat sesuai dengan evaluasi permasalahan yang mendasar, yaitu :

(4)

golongan serta jenis obat anti mual dan muntah, kerasionalan terapi yang

diberikan, dan outcome terapi yang didapatkan.

Penatalaksanaan mual dan muntah yang tidak tepat dapat menghambat

proses kemoterapi ini, menurunkan tingkat kesembuhan kanker, serta

menimbulkan mual dan muntah tipe antisipatori yang berat (Tehuteru, 2007).

Kenyataan yang terjadi menggambarkan bahwa evaluasi tersebut masih banyak

diabaikan sehingga menghasilkan penatalaksanaan yang kurang tepat dan

pelayanan farmasi yang kurang maksimal.

Berdasarkan masalah tersebut peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang evaluasi pola penggunaan antiemetik pada penatalaksanaan

mual muntah pasca kemoterapi untuk penyakit kanker payudara pada pasien rawat

inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode taun 2012.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pola penggunaan kemoterapi berdasarkan tingkat emetogenik

yang diberikan terhadap pasien kanker payudara rawat inap yang menjalani

kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta perioe tahun 2012?

2. Bagaimanakah pola penggunaan antiemetik yang diberikan untuk mengatasi

mual dan muntah setelah menjalani kemoterapi kanker payudara berdasarkan

tingkat emetogenisitas kemoterapi yang diberikan.?

3. Apakah penggunaan antiemetik yang digunakan pada pasien kanker payudara

yang menjalani kemoterapi di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito

(5)

National Comprehensive Cancer Network (NCCN) 2012 dan dari Europian Society for Medical Oncology (ESMO) 2010?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pola penggunaan kemoteapi yang diberikan berdasarkan tingkat

emetogenik terhadap pasien kanker payudara rawat inap yang menjalani

kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2012.

2. Mengetahui pola penggunaan obat antiemetik yang diberikan untuk mengatasi

mual dan muntah setelah menjalani kemoterapi kanker payudara berdasarkan

tingkat emetogenisitas kemoterapi yang diberikan.

3. Mengetahui kesesuaian pemilihan antiemetik yang digunakan pada pasien

kanker payudara berdasarkan standar dari National Comprehensive Cancer

Network (NCCN) 2012 dan dari Europian Society for Medical Oncology

(ESMO) 2010.

D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. Salah satu sumber informasi yang dapat digunakan untuk pengobatan dalam

kasus mual dan muntah pada pasien kanker payudara yang menjalani

kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito.

2. Salah satu bahan pertimbangan ataupun acuan dalam pemberian dan

(6)

penatalaksanaan kasus mual muntah pada pasien kanker payudara yang

menjalani kemoterapi.

E. Tinjauan Pustaka 1. Kanker Payudara

a. Definisi

Kanker Payudara merupakan tumor ganas yang berada di sel-sel

payudara, tumor ganas ini dapat tumbuh dan berkembang di sekitar jaringan

dan juga dapat bermetastasis. Penyakit ini sering terjadi pada wanita, namun

tidak jarang juga ditemukan pada pria. Payudara wanita terdiri dari lobulus

(kelenjar penghasil susu), ducts (tabung kecil yang membawa susu dari

lobulus ke puting), dan stroma (jaringan lemak dan jaringan ikat yang

mengelilingi ducts dan lobulus, pembuluh darah dan pembuluh limfatik).

Kebanyakan kanker payudara mulai muncul pada sel-sel yang melapisi ducts

(ductal cancers), beberapa pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular

cancers), dan sejumlah kecil pada jaringan lainnya. b. Jenis-jenis kanker payudara

Ada beberapa jenis kanker payudara, namun ada beberapa yang

jarang ditemukan kasusnya. Pada beberapa kasus tumor payudara salah

satunya dapat merupakan suatu kombinasi dari jenis-jenis kanker payudara

atau campuran dari invasif dan kanker in situ.

1). Duktal karsinoma in situ (ductal carcinoma in situ)

Karsinoma duktal in situ (DCIS, juga dikenal sebagai intraduktal

(7)

payudara. DCIS berarti sel-sel kanker berada didalam duktus tetapi belum

menyebar melalui dinding duktus ke jaringan payudara di sekitarnya.

Sekitar 1 dari 5 kasus baru, merupakan kanker payudara yang disebabkan

karena DCIS. Mammogram merupakan cara yang terbaik untuk

mendeteksi terdapatnya DCIS pada stage awal.

2). Lobular karsinoma in situ (lobular carsinoma in situ), bukan merupakan

kanker, biasa disebut dengan pre-cancer.

3). Invasif duktal karsinoma (invasive ductal carcinoma)

Jenis ini adalah jenis yang paling umum dari kanker payudara. Invasif

(infiltrating) duktal karsinoma (IDC) muncul awal pada saluran air susu

(milk duct) menerobos dinding duktus dan tumbuh kedalam jaringan

lemak payudara. Pada titik ini memungkinkan terjadinya penyebaran

(metastasis) ke bagian lain dari tub uh melalui sistem limfatik dan aliran

darah. Sekitar 8 dari 10 kanker payudara invasif adalah infiltrasi

karsinoma duktal.

4). Invasif lobular karsinoma (invasive lobular carcinoma)

Lobular karsinoma invasif (ILC) awal mulai terlihat dalam kelenjar

penghasil air susu (lobules). Seperti halnya IDC, ILC juga dapat

menyebar (metastasis) ke bagian lain dari tubuh. Invasif lobular

karsinoma lebih sulit untuk dideteksi oleh mammogram.

5). Jenis kanker payudara yang kurang umum

Kanker payudara inflamasi (Inflammatory breast cancer), biasanya tidak

(8)

merah dan terasa hangat. Hal ini juga dapat memberikan kulit pada

payudara terlihat tebal seperti kulit jeruk. Para dokter tahu bahwa

perubahan ini bukan disebabkan oleh peradangan atau infeksi, tetapi di

karenakan oleh sel-sel kanker yang memblokir pembuluh getah bening di

kulit. Payudara yang terkena bisa menjadi lebih besar atau lebih kencang,

lemb ut, atau gatal. Pada tahap awal, IBC sering disalahartikan dengan

infeksi pada payudara atau mastitis karena di anggap sebagai infeksi yang

kemudian diberikan antibiotik. Karena tidak terdapatnya benjolan, sulit

terdeteksi oleh mammogram, hal tersebut yang menyebabkan sulit untuk

dideteksi sedini mungkin. Jenis kanker payudara ini cenderung memiliki

risiko yang tinggi untuk menyebar dan merupakan prognosis dari kanker

duktal invasif.

c. Epidemiologi dan Etiologi

Insiden kanker payudara meningkat dengan bertambahnya umur.

Sebuah statistik menunjukan bahwa 1 dari 8 wanita akan mengalami kanker

payudara selama masa hidup mereka. Hal tersebut sering disalahartikan oleh

wanita yang menganggap bahwa 1 dalam 8 wanita itu didiagnosa menderita

kanker payudara setiap tahun. Risiko seorang wanita terkena kanker

payudara sebelum usia 40 tahun adalah sekitar 1 dari 233, dan lebih dari

setengah risiko terjadi setelah usia 60 tahun. Hubungan antara usia dan

kejadian kanker payudara sangat relevan ketika membahas faktor risiko atau

faktor selain usia yang dapat meningkatkan seorang wanita kemungkinan

terjangkit kanker payudara. Risiko relatif (RR) terkena kanker payudara

(9)

kemungkinan seorang wanita terkena kanker payudara selama hidupnya,

angka ini didefinisikan sebagai risiko seumur hidup kumulatif, namun risiko

terkena kanker payudara tergantung pada usia.

d. Faktor risiko

Kebanyakan wanita memiliki satu atau lebih faktor risiko kanker

payudara, namun pada penyakit ini, banyak wanita dengan kanker payudara

tidak memiliki faktor risiko yang jelas. Bahkan seorang wanita dengan

faktor risiko kanker payudara, sulit untuk tahu persis berapa banyak

faktor-faktor yang mungkin telah berkontribusi.

Ada berbagai jenis faktor risiko. Beberapa faktor, seperti usia

seseorang atau ras merupakan faktor usia yang tidak dapat diubah. Faktor

risiko yang terkait dengan perilaku pribadi, seperti merokok, konsumsi

alkohol dan diet merupakan faktor resiko yang bisa dapat diubah atau

dimodifikasi. Beberapa faktor dapat mempengaruhi risiko lebih dari yang

lain, dan risiko untuk kanker payudara dapat berubah seiring waktu, karena

faktor- faktor seperti penuaan atau gaya hidup. Faktor risiko yang tidak dapat

di ubah antara lain :

a). Jenis kelamin (Gender)

Wanita merupakan faktor risiko utama terkenanya kanker

payudara. Pria dapat terkena kanker payudara, tetapi sekitar 100 kali lebih

sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Hal ini mungkin karena pria

memiliki sedikit hormon estrogen dan progesteron yang dapat

(10)

b). Penuaan (Aging)

Risiko terkenanya kanker payudara meningkat seiring

bertambahnya usia. Sekitar 1 dari 8 kanker payudara invasif ditemukan

pada wanita berusia kurang dari 45 tahun, sementara sekita 2 dari 3

kanker payudara invasif ditemukan pada wanita usia 55 tahun atau lebih.

c). Faktor genetik

Sekitar 5% sampai 10% dari kasus kanker payudara dianggap turun

menurun dari kecacatan gen (mutasi) yang diwarisi dari orang tua atau

keluarga.

Penyebab paling umum dari kanker payudara herediter adalah

mutasi yang diwariskan dalam gen BRCA1 dan BRCA2. Dalam sel

normal, gen ini membantu mencegah kanker dengan membuat protein

yang menjaga agar sel-sel tumbuh abnormal. Jika telah mewarisi salinan

mutasi gen dari orang tua, risiko terkena kanker payudara tinggi. Risiko

mungkin sampai 80% untuk anggota dari beberapa keluarga dengan

mutasi BRCA. Kanker ini cenderung terjadi pada wanita yang lebih muda

dan lebih sering mempengaruhi kedua payudara dibandingkan kanker

pada wanita yang tidak lahir dengan salah satu mutasi gen. Wanita

dengan mutasi ini diwariskan juga memiliki peningkatan risiko untuk

terjangkit kanker lainnya, terutama kanker ovarium.

Mutasi gen lain juga dapat menyebabkan kanker payudara yang

diwariskan, namun jarang meningkatkan risiko kanker payudara sebanyak

(11)

d). Ras dan etnis

Perempuan kulit putih sedikit lebih mungkin terkena kanker

payudara daripada wanita Afrika-Amerika, dan wanita Afrika-Amerika

lebih mungkin meninggal karena kanker ini. Pada wanita di bawah 45

tahun, kanker payudara lebih sering terjadi pada wanita Afrika-Amerika.

Asia, perempuan Hispanik, dan penduduk asli Amerik a memiliki risiko

lebih rendah menderita dan meninggal akibat kanker payudara.

e). Dense breast tissue

Payudara terdiri dari jaringan lemak, jaringan fibrosa, dan jaringan

kelenjar (glandular tissue). Seseorang dikatakan memiliki jaringan

payudara yang padat apabila memiliki lebih banyak jaringan kelenjar dan

jaringan kurang berserat dan lemak. Wanita dengan payudara padat

memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara dibandingkan wanita

dengan payudara yang tidak padat. Jaringan payudara yang padat juga

bisa membuat mammogram menjadi kurang akurat. Sejumlah faktor

dapat mempengaruhi kepadatan payudara, seperti usia, status menopause,

penggunaan obat-obatan (seperti terapi hormon menopause), kehamilan,

dan genetika.

e. Diagnosis

Kanker payudara kadang baru ditemukan setelah gejala muncul,

namun banyak wanita dengan kanker payudara dini tidak memiliki gejala.

Inilah sebabnya mengapa melakukan tes skrining dianjurkan, sebelum

timbul gejala sangat berat. Jika memiliki salah satu dari gejala kanker

(12)

menggunakan satu atau lebih metode untuk mengetahui apakah penyakit itu

hadir. Jika kanker ditemukan, tes lain akan dilakukan untuk menentukan

stadium (tingkat) dari kanker.

Meluasnya penggunaan screening mammogram telah

meningkatkan jumlah kanker payudara yang dapat ditemukan sebelum

kanker tersebut menimbulkan gejala apapun. Beberapa kasus kanker

payudara yang tidak ditemukan oleh mammogram, baik itu karena tes

tersebut tidak dilakukan atau karena mammogram tidak dalam kondisi ideal.

Gejala yang paling umum dari kanker payudara adalah benjolan

baru atau massa. Sebuah massa, tanpa adanya rasa yang begitu sakit dan

memiliki tepi yang tidak teratur lebih memungkinkan untuk menjadi kanker.

Kemungkinan tanda-tanda lain dari kanker payudara meliputi

pembengkakan seluruh atau sebagian dari payudara, iritasi kulit atau

dimpling, payudara atau puting terasa nyeri, retraksi puting, kemerahan, scaliness, atau terjadi penebalan puting susu atau kulit payudara, nipple discharge.

Kadang kanker payudara dapat menyebar ke kelenjar getah bening

di bawah lengan atau di sekitar tulang selangka dan menyebabkan benjolan

atau pembengkakan, bahkan sebelum tumor asli berada dalam jaringan

(13)

2. Kemoterapi

a. Definisi Kemoterapi

Kata kemoterapi mengandung arti yaitu penggunaan obat untuk

menangani suatu penyakit, tetapi kebanyakan orang sekarang menyebut

bahwa kemoterapi merupakan penggunaan suatu obat untuk menangani

kanker. Ada 2 terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan

kemoterapi pada penyakit kanker, yaitu terapi antineoplastik (yang berarti

suatu senyawa anti kanker) dan terapi sitotoksik (yang berarti memiliki sifat

untuk membunuh sel) (ACS, 2013).

Kemoterapi pada kanker sendiri merupakan penggunaan obat

anti-kanker, baik itu dengan obat tunggal maupun dengan kombinasi beberapa

obat, secara intra vena atau lewat mulut, menangani kanker dengan tujuan

untuk menghambat pertumbuhan tumor maupun untuk menghancurkan sel

kanker melalui berbagai macam mekanisme aksi.

b. Penggunaan Kemoterapi

Meskipun memiliki berbagai efek samping, kemoterapi yang

digunakan untuk terapi definitif maupun sebagai terapi adjuvan pada kanker

banyak direkomendasikan, terutama untuk penyakit kanker stadium lanjut.

Pada banyak pasien kanker, penggunaan obat sitotoksik untuk kemoterapi

bertujuan untuk mengurangi gejala kanker, serta meningkatkan kualitas

hidup dengan tingkat survival yang lebih panjang, meskipun dengan

outcome klinik yang tidak bermakna (Morgan et al., 2004).

Terdapat 3 tujuan yang dari pengobatan kanker dengan

(14)

1. Cure

Apabila memungkinkan, kemoterapi digunakan untuk

menyembuhkan kanker, yang berarti bahwa kanker menghilang dan tidak

timbul lagi meskipun tanpa pengobatan. Pengobatan kemoterapi dengan

tujuan ini biasanya jarang tercapai dikarenakan butuh waktu lama bagi

pasien untuk benar-benar sembuh dari penyakit kankernya.

2. Control

Apabila tidak memungkinkan, tujuan dari kemoterapi yang

dilakukan adalah untuk mengontrol penyakit, yang berarti bahwa

pengobatan kemoterapi adalah untuk memperkecil ukuran dari sel tumor

dan/atau hanya untuk menghentikan pertumbuhan dan penyebaran sel

kanker saja. Dalam berbagai kasus, sel kanker tidak dapat sepenuhnya

hilang, sehingga perlu untuk dikontrol sebagaimana penyakit kronik,

seperti diabetes atau gangguan jantung. Dan di beberapa kasus lainnya,

sel kanker dapat menghilang untuk beberapa waktu, tetapi dapat timbul

lagi.

3. Palliation

Apabila sel kanker sudah mencapai stadium lanjut, kemoterapi

dapat digunakan untuk mengurangi gejala yang diakibatkan oleh kanker.

Terapi dengan tujuan ini digunakan bukan untuk mengobati penyakit

(15)

Selain itu, kemoterapi juga seringkali digunakan bersamaan

dengan terapi lainnya. Hal ini juga membuat kemoterapi dapat digunakan

sebagai terapi adjuvant atau neoadjuvant.

1. Adjuvant chemotherapy

Terapi kemoterapi ini digunakan biasanya setelah proses

operasi untuk menghilangkan sel kanker. Kemoterapi yang digunakan

untuk menghilangkan sel kanker yang mungkin masih tersisa dan tidak

terlihat setelah proses pengambilan sel kanker dengan operasi. Selain

itu juga kemoterapi juga dilakukan setelah terapi radiasi pada penyakit

kanker. Sebagai contoh adalah adjuvant hormone therapy yang

dilakukan setelah terapi radiasi untuk kanker prostat.

2. Neoadjuvant Chemoterapy

Kemoterapi dilakukan sebelum dilakukan terapi operasi atau

radiasi untuk menghilangkan sel kanker. Kemoterapi dilakukan untuk

memperkecil ukuran dari sel tumor, sehingga lebih mudah dihilangkan

dan dibuang dengan dengan operasi. Selain itu, memperkecil ukuran

dari sel tumor dengan terapi neoadjuvan ini juga dapat mempermudah

proses terapi dengan radiasi. Neoadjuvant chemoterapy dapat

membunuh sebagian kecil dari sel kanker yang tidak dapat dilihat pada

hasil scan atau x-rays (ACS, 2013).

c. Kemoterapi pada Kanker Payudara

Pada kasus kanker payudara, kemoterapi seringkali digunakan

sebagai adjuvan maupun neoadjuvan, yang pada banyak kasus memberikan

(16)

seperti terapi hormon dan operasi, terutama pada kasus kanker payudara

stadium dini, tergantung pada stadium dan karakteristik kanker payudara

yang diderita oleh pasien. Kemoterapi juga digunakan untuk menangani

kanker payudara yang sudah mengalami metastase ke daerah lain, seperti

lymph node, serta kanker payudara kambuhan (NCCN, 2006).

Tabel I. Agen Kemoterapi yang sering digunakan pada kasus kanker payudara berdasarkan American Cancer Society (ACS) dan National Cancer Comprehensive Network (NCCN) 2006

Kemoterapi Adjuvant

Kemoterapi Adjuvant untuk Tumor HER-2 Negatif

FAC/CAF FEC/CEF AC EC TAC A? CMF E? CMF CMF AC x 4 A? T? C FEC? T fluorouracil/doxorubicin/cyclophosphamide cyclophosphamide/epirubicin/fluorouracil

doxorubicin/cyclophosphamide dengan atau tanpa paclitaxel epirubicin/cyclophosphamide

docetaxel/doxorubicin/cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil doxorubisin dilanjutkan dengan

cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil

epirubicin dilanjutkan dengan cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil cyclophosphamide/methotrexate/fluorouracil

doxorubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan paclitaxel 4x, setiap 2 minggu ditambah dengan filgrastim

doxorubicin dilanjutkan dengan paclitaxel dan dilanjutkan kembali dengan cyclophosphamide, setiap 2 minggu ditambah dengan filgrastim

fluorouracil/epirubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan docetaxel

Kemoterapi Adjuvant untuk Tumor HER-2 Positif

Adjuvant : AC? T + Trastuzumab

Doxorubicin/cyclophosphamide dilanjutkan dengan paclitaxel dengan trastuzumab

Neoadjuvant : T + Trastuzumab ? CEF + Trastuzumab

Paclitaxel ditambahkan dengn trastuzumab dan dilanjutkan cyclophosphamide/epirubicin/fluorouracil ditambah trastuzumab

Pada beberapa kasus, kemoterapi bekerja dengan baik apabila

diberikan dalam bentuk kombinasi lebih dari 1 jenis agen kemoterapi.

Pemberian kemoterapi dilakukan dalam beberapa siklus, dimana di tiap

(17)

kemoterapi dilakukan biasanya tiap 2-3 minggu, tetapi dapat juga pada tiap

pasien, tergantung pada kombinasi obat yang diberikan. Untuk kanker

payudara stadium dini, pengobatan kemoterapi dilakukan biasanya hingga

3-6 bulan, sedangkan untuk kanker payudara stadium lanjut, lama terapi dapat

berjalan lebih lama (ACS, 2012).

d. Bahaya dan Efek Samping Obat Kemoterapi

Kebanyakan obat kemoterapi berbahaya bagi orang sehat. Hal ini

membuat penggunaan obat kemoterapi perlu untuk diperhatikan dan

diperketat, baik itu dalam hal penggunaannya maupun penyimpanannya

dikarenakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya gangguan akibat

kontak seseorang dengan senyawa sitotoksik tersebut, termasuk juga bagi

para praktisi kesehatan. Obat kemoterapi sendiri berbahaya karena dapat

menyebabkan berbagai hal, antara lain dapat mengakibatkan perubahan

DNA secara abnormal (efek mutagenik), mengakibat gangguan pada janin

dan embrio yang menyebabkan kelahiran yang abnormal (efek teratogenik),

mengakibatkan terjadinya suatu kanker (efek karsinogenik), serta

mengakibatkan terjadinya iritasi dan gangguan pada kulit. Penggunaan

kemoterapi untuk pengobatan pada pasien sendiri baru dapat ditegakkan

apabila sudah ada kepastian bahwa seseorang positif menderita kanker

melalui suatu proses diagnosis yang mendalam (ACS, 2013).

Beberapa efek samping yang terjadi, yang efeknya tergantung dari

tipe obat yang digunakan, dosis obat, serta lama terapi yang dilakukan,

(18)

1. Efek pada sel darah

Kemoterapi mengakibatkan gangguan pembentukan sel darah di

bone marrow, yang mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah sel

darah yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai

gangguan, seperti risiko terjadinya infeksi (akibat gangguan pembentukan

sel darah putih), anemia (akibat gangguan pembentukan sel darah merah),

serta kerentanan terjadinya luka dan pendarahan (akibat gangguan

pembentukan platelet) (ACS, 2012).

2. Efek pada pertumbuhan rambut

Kemoterapi dapat mengakibatkan kerontokan rambut (alopecia).

Tidak semua obat dapat mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut,

dan lainnya dapat mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut hingga

terjadi kebotakan. Efek kerontokan rambut ini seringkali terjadi pada 2-3

minggu setelah terapi dimulai, meskipun dalam beberapa kasus hal ini

dapat terjadi hanya dalam beberapa hari setelah terapi dimulai. Rambut

tersebut dapat kembali tumbuh setelah terapi selesai, namun seringkali

tumbuh dengan tekstur dan warna rambut yang berbeda dari sebelumnya

(ACS, 2012).

3. Efek pada Sistem Pencernaan

Beberapa agen kemoterapi dapat mempengaruhi sistem

pencernaan dan mengakibatkan beberapa gangguan seperti mulut kering

dan terasa pahit, perubahan pada nafsu makan, mual muntah, serta diare

(19)

efek samping yang sering terjadi pada penggunaan kemoterapi. Mual dan

muntah termasuk ke dalam early side-effects, dimana efek samping ini

seringkali terjadi dalam rentang waktu 1 -24 jam setelah pemberian agen

kemoterapi, meskipun juga kadang terjadi pada waktu lebih dari 24 jam

setelah pemberian agen kemoterapi. Agen sitotoksik ini mengakibatkan

terjadinya efek mual dan muntah karena mengakibatkan terjadinya

stimulasi pada reseptor mual- muntah yaitu chemoreceptor trigger zone

(CTZ). Tingkat risiko terjadinya efek samping mual muntah pada pasien

dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti emetic risk dari agen

kemoterapi dan regimen yang digunakan, faktor spesifik dari pasien, serta

pola mual muntah setelah pemberian agen kemoterapi yang spesifik dan

regimennya (Dipiro et al, 2009).

4. Efek pada kulit dan jari

Pada penggunaan beberapa agen kemoterapi juga dapat

mengakibatkan terjadinya efek pada kulit seperti kulit kemerahan, gatal,

mengelupas, kering, dan timbulnya jerawat. Selain itu pada beberapa

agen kemoterapi juga dapat mengakibatkan kulit menjadi lebih sensitif,

terutama terhadadap sinar matahari.

Beberapa obat kemoterapi, seperti capecitabine dan doxorubicin,

dapat mengakibatkan iritasi pada telapak tangan dan kaki, yang disebut

dengan hand-foot syndrome. Sindrom ini ditandai dengan beberapa gejala

(20)

dapat timbul antara lain tangan dan kaki menjadi bengkak dan terasa

nyeri.

5. Efek pada siklus menstruasi dan fertilitas

Pada beberapa wanita, terutama pada wanita yang masih muda,

perubahan waktu menstruasi merupakan salah satu efek samping dari

kemoterapi yang seringkali terjadi. Menopause yang prematur serta

infertilitas dapat terjadi bahkan bersifat permanen. Sedangkan pada

wanita yang berusia lanjut dapat mengakibatkan terjadinya menopause

yang lebih dini, serta meningkatkan risiko terjadinya kerapuhan tulang

dan osteoporosis.

Sedangkan pada pria, agen kemoterapi juga dapat

mengakibatkan gangguan pada testis yang jua dapat mengakibatkan

terjadinya infertilitas. Hal ini dikarenakan agen kemoterapi tersebut dapat

menurunkan jumlah sperma yang dihasilkan serta motilitas sperma

tersebut.

6. Neuropathy

Beberapa obat kemoterapi, seperti paclitaxel yang digunakan

untuk mengobati kanker payudara, dapat mengakibatkan terjadinya

gangguan pada sistem saraf. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya

gejala seperti rasa nyeri, rasa terbakar dan geli, dan sensitif terhadap

(21)

7. Gangguan pada Jantung

Obat-obat seperti doxorubicin dapat mengakibatkan gangguan

pada jantung. Hal ini terutama apabila penggunaan agen kemoterapi

tersebut dengan dosis tinggi dan durasi yang panjang.

8. Efek samping lain

Efek samping lain yang mungkin terjadi antara lain peningkatan

terjadinya risiko leukemia, gangguan memori dan konstentrasi, reaksi

alergi, gangguan penglihatan dan pendengaran, kerusakan jaringan

(ekstravasasi), serta gangguan ginjal dan liver.

e. Chemoterapy-Induced Nausea Vomiting

Nausea atau mual muntah mungkin merupakan manifestasi dari

berbagai keadaan, termasuk kehamilan, mabuk perjalanan. obstruksi saluran

pencernaan, ulkus peptikum, toksisitas obat, infark miokard, gagal ginjal,

dan hepatitis.

Pada kemoterapi kanker, mual dan muntah yang diinduksi oleh

obat dapat terjadi secara teratur sehingga antisipasi muntah terjadi jika

penderita kembali untuk berobat sebelum penderita diberi obat kemoterapi.

Bila muntah tidak dapat dikontrol, perasaan tidak enak yang menyertai

muntah yang diinduksikan oleh obat dapat menyebabkan penderita menolak

untuk melalkukan kemoterapi.

Mekanisme fisiologik yang menyebabkan terjadinya mual dan

muntah ini belum seluruhnya diketahui. Koordinasi aktivitas gerakan yang

kompleks dari lambung dan otot-otot abdomen terletak di “pusat muntah”,

(22)

menerima masukan dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang berlokasi di

lantai ventrikel keempat, apparatus vestribular, dan daerah-daerah lain. CTZ

memberikan respon terhadap ransangan kima, seperti obat kemoterapi

kanker, yang jelas terbukti melalui aktivitas reseptor dopamine atau

serotonin (Tehuteru, 2007).

Sumber yang dapat menjadi input ke pusat muntah antara lain :

a) Chemtherapy trigger zone yang mengandung reseptor dopamine D2,

reseptor serotonin 5-HT3, reseptor opioid, reseptor asetilkolin, dan

reseptor substansi P. Stimulasi dari reseptor yang berbeda tersebut dapat

merangsang pusat muntah melalui jalan yang berbeda.

b) Sistem vestibular yang memberikan sinyal ke otak melalui saraf otak

ke-VIII (vestibulocochlearis). Sistem ini berperan pada gejala muntah yang

disebabkan oleh mabuk perjalanan (motion sickness) dan berkaitan

denagn reseptor muskarinik dan reseptor histamine H1.

c) Saraf otak ke-X(vagus) diaktivasi bila daerah faring terangsang sehingga

menimbulkan reflex muntah.

d) Sistem saraf usus dan vagus merupakan input dari sistem

gastrointestinal. Iritasi dari mukosa gastrointestinal karena kemoterapi,

radiasi, distensi usus, dan gastroenteritis dapat mengaktivasi reseptor

5-HT, melalui jalur ini.

e) Susunan saraf pusat mempunyai peran pada muntah yang berkaitan

(23)

Selain itu, mual juga didefinisikan sebagai perasaan tidak enak

berhubungan dengan saluran makan bagian atas dan biasanya diikuti dengan

rasa ingin muntah dan pucat, berkeringat, salivasi, dan takikardi. Muntah

adalah keluarnya isi lambung melalui mulut, banyak ditemukan pada

40-70% penderita kanker stadium lanjut.

Penyebabnya antara lain :

a) Iritasi faring dan obstruksi parsial atau komplet saluran cerna (akibat

kanker usus/di luar usus seperti asite, hepatomegali, tumor pancreas,

konstipasi, peregangan kapsul organ visera).

b) Metabolik : hiperkalsemia, gagal ginjal, hati, dan hiponatremia.

c) Infeksi berat (infeksi candida, herpes, lesimukosal infeksi

cytomegalovirus dan infeksi sistemik yang lain).

d) Obat : kemoterapi, opioid, digoxin, antibiotik, radioterapi, dan

seterusnya.

e) Gangguan sistem vestribuler : infiltrasi keganasan, obat (aspirin,

platinum).

f) Pusat kortikal : faktor psikologis (kecemasan), bau, rasa kecap,

peningkatan tekanan intrkarnial, iritasi meningal.

Kategori utama obat-obat antiemetik termasuk anti- histamin H1,

fenotiazin, metoklopramid, dan ondansetron.

Antihistamin dengan aktivitas antiemetik yang baik (seperti

difenhidramin, hidrosizin) mempunyai efek anti muskarinik dan sedative

(24)

yang menambah efektivitas antiemetik. Obat-obat ini terutama efektif untuk

mual dan muntah yang berkaitan dengan mabuk perjalanan, mungkin karena

depresi spesifik konduksi jalur vestibuloserebelar. Obat-obat antikolinergik,

khususnya skopolamin, juga digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan.

Fenotiazin menghambat reseptor dopamine dalam CTZ juga pada

daerah lain di otak. Prokloperazin dan prometazin sering digunakan sebagai

antiemetik. Walaupun hampir semua fenotiazin mempunyai beberapa

aktivitas antiemetik, penggunaannya dibatasi oleh derajat sedasi yang

berhubungan dengan kerja antiemetik.Gejala ekstrapiramidal, khususnya

distonia, dapat menjadi berat bila dosis besar digunakan untuk

menghentikan mual dan muntah yang berhubungan dengan kemoterapi.

Distonia biasanya dapat dipulihkan dengan pemberian 50 mg difenhidramin

intravena.

Metoklopramid juga bekerja sebagai anatagonis dopamin dan telah

digunakan untuk mencegah serta mengobati mual dan muntah. Ondansetron,

penghambat 5-HT3 juga diakui penggunaannya dalam pencegahan mual dan

muntah yang disebabkan oleh kemoterapi dan yang terjadi pasca operasi.

Turunan mariyuana, level neutropenia dalam tubuh nilainya dapat bervariasi

termasuk tetrahidrokanabinol (THC, dronabinol) sendiri adalah antiemetik

yang efektif pada beberapa penderita, termasuk beberapa di antara mereka

yang tidak efektif terhadap antiemetik lain. Dronabinol disetujui untuk

indikasi ini. Mekanisme kerja obat ini tidak diketahui tetapi tampaknya

(25)

bersifat antiemetik, tetapi mekanisme kerjanya tidak diketahui. Akhirnya,

sedatif- hipnotik, seperti benzodiazepin, sering digunakan untuk mengontrol

antisipasi mual dan muntah.

Berikut ini adalah potensi emetogenik dari sitoplastik dan

kombinasinya (SEOM, 2010) :

a) Kemoterapi sangat emetogenik (>90% pasien muntah). Level 4.

a. Cisplatin, metchlorethamine, streptozotocin, cyclophosphamide

>1500 mg/m2

b. Carmusin, dacarbazine

c. Cytostatic oral : Hexamethylmelamine, procarbazine

b) Kemoterapi emetogenik sedang (30-90% pasien muntah) Level 3.

a. Oxaliplatin, Cytarabine (>1 g/m2) b. Antracyclines, ronotecan

c. Cytostatic oral:

Cylophosphamide, etoposide, temozolomide, vinoelbine, imatinib

c) Kemoterapi emetogenik rendah (10-30% pasien muntah) level 2.

a. Taxanes, mitoxantrone, topotecan, etoposide, pemetrexed,

methotrexate, mitomycin C, gemcitabine, cytarabine, 5-Fu,

bortezomib, cetuximab, trastuzumab

b. Cytostatic oral:

(26)

d) Kemoterapi emtogenik minimal (<10% pasien muntah). Level 1.

a. Bleomycin, busulfan, 2-clorodeoxiadenosi- na, fluradarabine, vinca

alkaloids, bevacizumab

b. Cytostatic oral:

Chlorambuci, hydroxyurea, methotrecate, gefitinib

Potensi dari emetogenik kombinasi ditentukan oleh obat

dengan potensi emetogenik paling tinggi. Penggunaan obat pada level 3

meningkatkan level emetogenik dari kombinasi (FAC, FEC, AC, TAC),

sedangkan untuk penggunaan obat pada leve l 1 dan 2 tidak mengubah

level emetogenik dari kombinasi (SEOM, 2010)

3. Golongan obat antiemetik

Penanganan mual muntah yang terkait dengan obat kemoterapi

didasarkan pada penggunaan obat yang menghambat atau pengantagonis sinyal

dari beberapa neurotransmitter yang terlibat dalam proses tersebut.

Obat yang digunakan sebagai antiemetik dapat didefinisikan sebagai

berikut (Paul, 2008) :

a. Antagonis reseptor serotonin (5-HT3-reseptor antagonis)

Saat ini 5-HT3-reseptor anatagonis yang secara luas sudah digunakan

antara lain ondansetron, granisetron, dolasetron, tropisetron, dan agen terbaru

yaitu palonosetron. Obat-obatan ini digunakan sebagai terapi untuk pencegahan

potensial emetik dari agen kemoterapi menengah sampai tinggi.

Dalam penelitian terbaru, telah ditunjukkan ekuivalensi terapeutik

pada ke-empat 5-HT3-reseptor anatgonis lama yang didukung dengan metode

(27)

klinis pada 5-HT3-reseptor antagonis lama (missal : granisetron, ondansetron),

menunjukkan efikasi yang rendah untuk muntah tipe tertunda pada mual dan

muntah akibat kemoterapi dibandingkan dengan muntah tipe akut.

Agen ini menunjukkan sedikit aktivitas bila digunakan untuk

pencegahan muntah tipe tertunda yang diinduksi oleh cisplatin.

Tahun 2003, 5-HT3-reseptor antagonis baru, palonosetron, ditemukan.

Berbeda dengan golongan 5-HT3-reseptor antagonis lain, obat ini memiliki

waktu paruh yang lebih lama (kira-kira 40 jam) dan secara substansial

afinitasnya dalam meningkat 5-HT3-reseptor lebih besar.

a) Generasi pertama : ondanstron, granisetron, dolasetron, tropisetron.

b) Generasi kedua : palonosetron.

Tabel II. Antagonis reseptor serotonin (SEOM, 2010)

obat pemberian Dosis

Ondansetron

Intravena 8 mg atau 0,15 mg/kg

Oral 24 mg HEC, 16 mg MEC

Granisetron

Intravena 1 mg atau 0,01 mg /kg

Oral 2 mg

Dolasetron Intravena 100 mg atau 1,8 mg/kg

Oral 100 mg

Tropisetron Intravena 5 mg

Oral 5 mg

Palonosetron Intravena 0,25 mg

Pengenalan antagonis reseptor serotonin pada CINV memperbaiki

angka kontrol mual muntah akut pada kemoterapi emetogenik tinggi dan

(28)

ketika digunakan pada dosis yang direkomendasikan. Namun demikian, obat

ini tidak menunjukkan manfaat yang serupa dalam mengendalikan mual

muntah yang bersifat lambat.

b. Penghambat Neurokinin-1

Aprepitan adalah antagonis-1 reseptor neurokinin (NK1) yang

menghambat pengikatan reseptor ini dengan subtansi P, dan terkait mengurangi

mual muntah. Beberapa percobaan klinis telah menunjukkan superioritas

kombinasi yang mencakup aprepitan, antagonis reseptor serotonin dan steroid

untuk mengendalikan mual muntah akut dan lambat yang terkait dengan

kemoterapi yang sangat emetogenik.

Tabel III. Penghambat Neurokinin-1 dan steroid pada terapi mual dan muntah yang ditimbulkan oleh kemoterapi (SEOM, 2010)

Obat Dosis

Aprepitant (mual muntah akut) Hari 1: 125 mg/oral Aprepitan (mual muntah lambat) Hari 2 & 3: 80 mg/oral Dexamethasone :

HEC (mual muntah akut)

Hari 1: 12 mg

Jika tidak dihubungkan dengan aprepitant 20 mg

HEC (mual muntah lambat)

Hari 2-4: 8 mg/24h atau 4 mg/12 h Jika tidak dihubungkan dengan aprepitant 8 mg/12 h

MEC (mual muntah akut) Hari 1: 8 mg

MEC (mual muntah lambat) Hari 2-3: 8 atau 4 mg/12 mg/24 hg HEC, (highly emetogenic chemotherapy) kemoterapi sangat emetogenik; MEC, (moderately emetogenic chemotherapy ) kemoterapi emetogenik sedang.

c. Kortikosteroid

Dexamethasone, meskipun mekanisme aktivitasnya sebagai

antiemetik tidak diketahui dengan pasti, memiliki peranan penting dalam mual

(29)

Beberapa percobaan telah menunjukkan kemanjuran yang lebih tinggi

dari obat ini dalam kombinasi dengan agen lain dibanding sebagai monoterapi

pada mual muntah akut dan lambat dan ini dapat diterapkan pada kemoterapi

emetogenik tinggi dan sedang. Dosis yang diberikan untuk pencegahan mual

muntah akut berkisar dari 12 mg, ketika digabungkan dngan aprepitan sebelum

kemoterapi emetogenik tinggi, sampai 8 mg sebelum kemoterapi emetogenik

sedang. Untuk terapi mual muntah lambat, dosis dexamethasone yang

digunakan pada hari 2 dan 3 adalah 8 mg.

d. Obat antiemetik dengan potensi antiemetik rendah a) Metoklopramid, fenothiazine, butyrofenon

Karena penghambatan reseptor dopaminnya, obat ini memiliki

properti antiemetik. Fenothiazin dan butyrofenon memiliki indeks

terapeutik yang sempit sebagai antiemetik karena efek samping seperti

sedasi dan efek ekstrapiramidal.

Metokloropramid pada dosis rendah memiliki efek seperti

antagonis reseptor dopamin dan pada dosis yang lebih tinggi bertindak

sebagai antagonis dari reseptor serotonin. Ini tidak menyebabkan sedasi,

tetapi kegunaannya sebagai antiemetik terbatas dengan adanya akthisia,

reaksi ekstrapiramidal dan ketergantungan dosis.

b) Benzodiazepin

Kegunaan benzodiazepin sebagai antiemetik dibatasi pada mual

(30)

oleh pemberian kemoterapi memberi kontribusi pada penurunan kejadian

emetik. Obat yang umum digunakan adalah lorazepam.

Manajemen mual muntah yang ditimbulkan oleh

kemoterapi sesuai dengan tingkatan dari emetogenisitasnya, antara lain

(ESMO, 2010) :

1. Antiemetik untuk terapi dengan potensi emetogenik yang tinggi

(>90%)

a. Dengan aprepitant

a) Aprepitant PO atau Fosaprepitant IV

b) Ondansetron 8-16 mg IV atau 8-24 mg PO

c) Deksametason 12 mg IV atau PO

b. Tanpa aprepitant

a) Salah satu antagonis serotonin (diutamakan Ondansetron 8-24

mg IV atau 16-24 mg PO dan deksametason 20 mg IV atau PO

2. Antiemetik pada terapi dengan potensi emetogenik sedang (30-90%)

a. Dengan aprepitant

a) Aprepitant PO atau Fosaprepitant IV

b) Ondansetron 8-16 mg IV atau 8-24 mg PO

c) Deksametason 12 mg IV atau PO

b. Tanpa aprepitant

Salah satu antagonis serotonin (diutamakan Ondansetron 8-24 mg

(31)

3. Antiemetik untuk terapi dengan potensi emetogenik rendah (10-30%), dapat

diberikan deksametason 4-20 mg iv/po, atau fenotiazin, atau metoklopramid

10-40 mg iv/po, atau ondansetron PO

4. Antiemetik pada terapi dengan potensi emetogenik minimal (<10%), tidak

direkomendasikan untuk terapi utama

Dapat dicatat bahwa nilai yang mendasari dari obat antiemetik adalah

pencegahan. Bila kejadian emetik terjadi, hasil terapeutik dari obat yang sama ini

adalah paling ringan. Bukti dalam situasi ini tidak dibuat dari studi pasien secara

acak.

F. Keterangan Empirik

Dengan dilakukannya penelitian ini dapat diketahui gambaran

karakteristik pasien, pola penggunaan kemoterapi, dan pola penggunaan

antiemetik sebagai terapi pada pasien kanker payudara yang menjalani

kemoterapi, dengan mengetahui hal- hal tersebut dapat mengetahui kesesuaian

penggunaan antiemetik baik keseuaian indikasi, kesesuaian obat, kesesuaian dosis,

dan outcome pasien pasca kemoterapi yang telah diberikan antiemetik dalam

premedikasinya berdasarkan guideline dari National Comprehensive Cancer

Network (NCCN) 2012 dan dari Europian Society for Medical Oncology (ESMO)

2010. pada pasien kemoterapi kanker payudara rawat inap yang menjalani

Gambar

Tabel I. Agen Kemoterapi yang sering digunakan pada kasus kanker payudara  berdasarkan  American Cancer Society  (ACS)  dan  National Cancer Comprehensive  Network (NCCN) 2006
Tabel II. Antagonis reseptor serotonin (SEOM, 2010)
Tabel III. Penghambat Neurokinin-1 dan steroid pada terapi mual dan muntah yang  ditimbulkan oleh kemoterapi (SEOM, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

1) Penelitian ini memperoleh hasil bahwa semakin tinggi tahun sukses pendidikan pekerja migran nonpermanen asal luar Bali semakin tinggi jumlah pendapatan yang diperoleh

pengelolaan keuangan ini dapat diketa- hui oleh masyarakat sehingga pemerin- tah desa harus menyiapkan sebuah lapo- ran keuangan tertulis yang dapat diakses dengan mudah

Dari lembar observasi siswa saat pembelajaran IPS siklus I, diperoleh hasil bahwa siswa sudah mengikuti pembelajaran dengan baik, namun siswa masih belum

Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik.. Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa

a) Kebersihan mulut dan gigi, kebersihan gigi dan mulut harus tetap dijaga dengan menyikat gigi dan berkumur secara teratur meskipun sudah ompong. Bagi yang masih aktif dan

Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa Isolat n-heksana relative murni diduga termasuk senyawa flavonoid golongan isoflavon dengan panjang

Jika dibandingkan rumusan perdagangan orang dalam KUHP tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka perdagangan orang dalam KUHP sudah merupakan perbuatan pidana

Keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak di luar persidangan yang menekankan pada perbaikan akibat yang terjadi yang disebabkan tindak pidana