2.1. Kerangka Teori 2.1.1. Masyarakat Pesisir
Menurut Saad dan Basuki (2004), masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan ekonomi penduduk bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.
Untuk lebih operasional, Nikijuluw (2002) berpendapat, bahwa definisi masyarakat pesisir yang luas ini tidak secara keseluruhan diambil, tetapi hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar dan kecil seantero nusantara. Sebagian besar masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang sangat pendek.
Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin di antaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor, dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka
dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak. Menurut Mubyarto et. al. (1984) masyarakat pesisir, khususnya nelayan secara umum, dikategorikan lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Kemiskinan ini dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, unit kelembagaan yang tersedia belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, serta akses terhadap permodalan rendah.
Kusnadi (2006) mengemukakan berdasarkan aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang dikawasan pesisir. Mereka menggantungkan kelangsungan hidupnya dari upaya mengelola sumber daya alam yang tersedia dilingkungannya, yakni di kawasan pesisir, perairan (laut). Secara umum, sumberdaya perikanan (tangkap dan budidaya) merupakan salah satu sumberdaya yang sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup masyarakat pesisir.
2.1.2. Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan atau empowerment merupakan istilah yang akhir-akhir ini banyak didengar. Ini terkait dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap model pembangunan yang bersifat top down dan centralized, sebagaimana yang telah dipraktekkan pada jaman Orde Baru. Dengan pendekatan tersebut, maka yang diuntungkan dalam pembangunan hanya sekelompok kecil masyarakat, diharapkan dari kelompok kecil tersebut akan muncul efek menetes ke bawah (trickle down effect). Akan tetapi, sampai dengan runtuhnya rezim Orde Baru,ternyata trickle down effect itu tidak pernah terjadi, bahkan yang muncul adalah kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara sekelompok elit masyarakat dengan masyarakat kebanyakan. Selain itu, dengan kebijakan pembangunan yang bersifat terpusat, maka roda ekonomi hanya cenderung bergerak di pusat, sementara daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetap saja miskin.
Nikijuluw (2002), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses untuk berdaya, memiliki kekuatan, kemampuan dan tenaga untuk menguasai sesuatu. Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan itu tidak habis-habisnya. Selagi ada masyarakat, maka pemberdayaan masyarakat tetap dilakukan. Bisa saja masyarakat sudah memiliki kekuatan atau sudah berdaya dalam suatu hal tertentu tapi kemudian disadari bahwa masih ada aspek-aspek lain yang melekat dengan masyarakat yang perlu diberdayakan.
Sebagai suatu proses, maka pemberdayaan juga menyangkut kualitas. Kegiatan pemberdayaan, semula hanya mencapai tataran kualitas tertentu. namun tahap selanjutnya ingin dicapai kualitas kehidupan atau status sosial ekonomi yang lebih baik. Masyarakat biasanya tidak puas dengan status ekonomi yang sudah diraihnya, oleh karena itu pemberdayaan perlu terus dilaksanakan. Menurut Haque et al. (1996) , seorang ahli pembangunan desa dari Bangladesh, proses memberdayakan masyarakat adalah membangun mereka. Selanjutnya Haque mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat itu adalah collective action yang berdampak pada individual welfare, sehingga arti membangun adalah memberdayakan individu dalam masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang yang menyangkut kesejahteraan lahir dan batin masyarakat, ditingkatkan. Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan perombakan total, yaitu berusaha menggunakan pendekatan berkelanjutan, holistik dan berbasis pada masyarakat (Dahuri 2002). Pendekatan ini berusaha untuk semakin menyadari bahwa tanpa keberlanjutan suatu ekosistem, maka sesungguhnya tidak akan memakmurkan pada kehidupan saat ini maupun saat mendatang. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses untuk membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan itu diperlukan terutama karena didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat sedang dalam kondisi tidak berdaya atau kurang berdaya. Adapun secara sosiologis keadaan kurang berdaya itu diidentikkan dengan keadaan keterbelakangan.
2.1.3. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan salah satu program pemerintah yang diluncurkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan di daerah pesisir melalui pemberdayaan masyarakat. Secara umum, PEMP mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan (DKP 2003).
Secara khusus, program PEMP mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat yang didampingi dengan pengembangan kegiatan sosial, pelestarian lingkungan dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong kemandirian masyarakat pesisir.
2. Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha utnuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan.
3. Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan.
4. Memperkuat kelembagaan sosial ekonomi masyarakat dan kemitraan dalam mendukung perkembangan wilayahnya.
5. Mendorong terwujudnya mekanisme manajemen pembangunan yang
partisipasif dan transparan dalam kegiatan masyarakat.
Sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan kelautan, yang kurang berdaya dalam peningkatan/ penguatan usahanya. PEMP bukan bersifat hadiah, melainkan pemberdayaan sehingga diharapkan dapat terus berkembang dan menyentuh sebagian besar masyarakat pesisir yang menjalankan jenis usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut serta usaha lain yang terkait.
2.1.4. Pertumbuhan Ekonomi
Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil produk domestik bruto (PDB) mengalami peningkatan (Dornbusch et al, 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi.
Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian ekonomi makro adalah penambahan nilai PDB riil, yang berarti peningkatan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi ada dua bentuk: ekstensif yaitu dengan penggunaan lebih banyak sumber daya atau intensif yaitu dengan penggunaan sejumlah sumber daya yang lebih efisien (lebih produktif). Ketika pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal tersebut tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita, karena pertumbuhan ekonomi yang dicapai harus dibagi juga dengan pertambahan penduduk (dalam hal ini tenaga kerja). Namun ketika pertumbuhan ekonomi dicapai melalui penggunaan sumberdaya yang lebih produktif, termasuk tenaga kerja, hal tersebut menghasilkan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat.
Nafziger (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan produksi suatu negara atau pendapatan per kapita. Produksi tersebut dihitung dengan GNP (Gross National Product – Produk Nasional Bruto) atau GNI (Gross National Income – Pendapatan Nasional Bruto) yang merupakan total output dari negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti juga peningkatan kapasitas perekonomian suatu wilayah dalam suatu waktu tertentu.
Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep produk domestik regional bruto (PDRB). PDB atau PDRB dapat diukur dengan 3 macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2003). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD).
PDRB adalah jumlah nilai output dari semua sektor ekonomi atau lapangan usaha jika dilihat dari pendekatan produksi. Penghitungan PDRB dapat dikelompokkan menjadi 9 sektor lapangan usaha, yaitu:
1. pertanian
2. pertambangan dan penggalian 3. industri pengolahan
4. listik, gas dan air bersih 5. bangunan
6. perdagangan, hotel dan restoran 7. pengangkutan dan komunikasi
8. keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9. jasa-jasa
Sehingga PDRB dapat dirumuskan sebagai:
∑
= = 9 1 i i NO PDRB (2.1) dimana: i = 1,2,3, ..., 9NOi = nilai output sektor ke – i
Penghitungan PDRB dengan pendekatan pendapatan dirumuskan sebagai jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di masing-masing sektor. Pendapatan itu berupa upah/gaji bagi tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik modal, sewa tanah bagi pemilik lahan dan keuntungan bagi pengusaha.
Sehingga PDRB dapat dirumuskan sebagai
∑
= = 9 1 i i NTB PDRB (2.2) dimana: i = 1,2,3, ..., 9NTBi = nilai tambah bruto sektor ke – i
PDRB menurut pendekatan pengeluaran adalah jmlah dari semua komponen dari permintaan akhir, yaitu: konsumsi rumahtangga (C), pembentukan modal tetap
bruto (I), konsumsi pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Sehingga PDRB dirumuskan sebagai : M X G I C PDRB = + + + − (2.3)
Pertumbuhan PDRB atau biasa disebut pertumbuhan ekonomi dirumuskan sebagai: 1 1 − − − = ∆ = t t t PDRB PDRB PDRB PDRB y (2.4) Dimana: y = ∆PDRB = pertumbuhan ekonomi PDRB = PDRB tahun ke - t t PDRBt−1= PDRB tahun sebelumnya (t-1)
PDRB per kapita dirumuskan sebagai:
penduduk jumlah
PDRB
yperkapita = (2.5)
Pertumbuhan PDRB per kapita dirumuskan sebagai:
1 1 − − − = ∆ t t t perkapita y y y y (2.6)
Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara.
Pengaruh program PEMP dalam penelitian ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi seperti yang dijelaskan oleh Sukirno (2004) tersebut, merupakan indikator yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini, yang dapat diukur melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja pembangunan ekonomi (Sen, 1988).
PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007). Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
2.1.5. Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property rights (Glaeser,2006).
Alesina dan Rodrik (1994) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan akan menghambat pertumbuhan dan tentunya menyebabkan kebijakan redistribusi pendapatan akan menjadi mahal.
Sumber: Bourguignon (2004)
Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle
Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan
“Strategi Pembangunan”
Distribusi dan Perubahan Distribusi pendapatan
Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan
Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi sehingga membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the poverty-growth-inequality triangle untuk melihat hubungan ketiga variabel ini (Gambar 2.1).
Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu:
1. Terjadinya inefisiensi ekonomi. Hal ini dikarenakan semakin banyak penduduk yang kesulitan mengakses kredit terutama penduduk miskin, sedangkan penduduk kaya cenderung lebih konsumtif untuk barang mewah. 2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.
Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan, sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur ketimpangan pendapatan.
Penghitungan indeks gini menggunakan data pengeluaran rumahtangga yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Data nilai besarnya pengeluaran digunakan sebagai
pendekatan untuk menghitung pendapatan rumahtangga. Pendekatan ini dianggap lebih mencerminkan keadaan sebenarnya, meskipun ada juga kelemahan-kelemahan dari pendekatan ini.
Hidayat dan Patunru (2007) mengungkapkan bahwa penghitungan indeks gini dengan menggunakan data pengeluaran cenderung lebih rendah daripada indeks gini yang dihitung dengan data pendapatan. Hal ini karena data pengeluaran kemungkinan hanya dapat menggambarkan besarnya pendapatan pada penduduk berpendapatan rendah dan menengah, tetapi tidak untuk penduduk berpendapatan tinggi.
Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara nol dan satu. Nilai indeks gini 0 (nol) artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan sempurna) sedangkan nilai 1 (satu) artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah, sedang atau tinggi. Pengelompokkan ini sesuai dengan ukuran ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35 (Todaro dan Smith, 2006).
Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada (luas bidang BCD). Rumusan ini di ilustrasikan pada Gambar 2.2. di bawah ini. . (2.7) Indeks Gini = Luas bidang A Luas bidang BCD
Sumber: Todaro dan Smith (2006) Gambar 2.2. Kurva Lorenz
Cara lain untuk menghitung Indeks Gini adalah dengan menggunakan formula berikut (Wodon dan Yitzhaki, 2002):
y F y Cov Gini = 2 ( , ) (2.8) dimana:
y = pendapatan individu atau rumahtangga
F = rank individu atau rumahtangga dalam distribusi pendapatan (nilainya antara 0 = paling miskin dan 1 = paling kaya) y = pendapatan rata-rata
Indeks Gini relatif mudah untuk diinterpretasikan. Misalkan diketahui Indeks Gini dalam suatu masyarakat adalah 0,4. Artinya, jika rata-rata pendapatan per kapita masyarakat tersebut sebesar Rp 1 juta, maka ekspektasi perbedaan pendapatan per kapita antara dua individu yang diambil secara acak akan sebesar Rp 0,4 juta (0,4 x Rp 1 juta).
Interpretasi melalui kurva Lorenz juga relatif mudah. Jika kurva Lorenz terletak relatif jauh dari garis 450 , berarti ketimpangan besar. Semakin mendekati garis 450, maka ketimpangan semakin kecil (semakin merata).
2.1.6. Tingkat Pengangguran Terbuka
Salah satu persoalan mendasar dalam aspek ketenagakerjaan adalah pengangguran. Mulai tahun 2001 definisi pengangguran terbuka mengikuti rekomendasi International Labour Organization (ILO). Pengangguran Terbuka (Open Unemployment) adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless). Penghitungan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menggunakan data ketenagakerjaan yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional). TPT dihitung dengan rumus:
(2.9) Selain pengangguran terbuka, juga dikenal istilah Setengah Pengangguran (Under Unemployment) yaitu tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu. Permasalahan pengangguran dan setengah pengangguran ini merupakan persoalan serius karena dapat menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal.
Pengangguran dapat dibedakan beberapa jenis berdasarkan penyebabnya antara lain :
a. Pengangguran Struktural adalah pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dari struktur perekonomian. Penduduk yang tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memasuki sektor baru sehingga mereka menganggur. Contoh : Para petani kehilangan pekerjaan karena daerahnya berubah fungsi dari daerah agraris menjadi daerah industri.
b. Pengangguran Siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya kegiatan perekonomian (seperti resesi) sehingga menyebabkan berkurangnya permintaan masyarakat.
c. Pengangguran Musiman adalah pengangguran yang muncul akibat adanya pergantian musim misalnya pergantian musim panen ke musim tanam.
d. Pengangguran friksional adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
e. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi karena adanya penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern sebagai subtitusi tenaga kerja manusia.
2.1.7. Konsep Kemiskinan
Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan non pendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.
Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, gini rasio merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif.
Bank Dunia (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang dilakukan oleh Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar
PPP dari International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis kemiskinan internasional sebesar US$ 1 per hari tidak lagi sesuai dengan nilai PPP tahun 2005, untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis kemiskinan internasional yang lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun 2005 dari ICP adalah sebesar US$ 1,25 per hari.
Badan Pusat Statistik (2007) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebesar Rp 204,896 untuk daerah perkotaan dan Rp 161,831 untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah. Penghitungan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga menghitung rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) dengan menggunakan metode Foster-Greer-Thorbecke (FGT), yang dirumuskan sebagai:
∑
= − = q 1 i i z y z N 1 P αααα αααα (2.10) dimana:z = besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan. N = jumlah penduduk.
q = banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan.
yi = rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, ...q), yi < q.
α = 0,1 dan 2.
Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P0); jika α = 1
adalah Indeks kedalaman kemiskinan (P1); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan
kemiskinan (P2). Indeks kedalaman kemiskinan P1 merupakan ukuran rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin tinggi nilai P1 berarti semakin besar kesenjangan
kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Sedangkan P2 sampai
batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar.
Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran kemiskinan tidak hanya berdasarkan P1 dan P2 saja, namun berdasarkan tipe
kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty. Kemiskinan kronis (chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu individu yang tergolong miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara (transient poverty) adalah kondisi kemiskinan yang terjadi pada suatu waktu hanya bersifat sementara (tidak permanen), yang dikarenakan penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan ini. Investasi jangka panjang untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kemiskinan chronic poverty, sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi rumahtangga dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan yang penting ketika tipe kemiskinan yang terjadi adalah transient poverty.
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.2.1. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
Penelitian mengenai program PEMP pernah dilakukan oleh Subagio (2007) dengan tujuan untuk menganalisis dampak PEMP terhadap pendapatan sasaran program dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan sasaran program. Hasilnya menunjukkan bahwa program PEMP di Subang dan Cirebon memberikan dampak nyata pada peningkatan pendapatan masyarakat.
Bandjar (2009) meneliti tentang program PEMP dari sisi strategi peningkatan mutu program PEMP di Kabupaten Maluku Tenggara. Dalam penelitiannya, Bandjar menggunakan 5 elemen kinerja program antara lain kelembagaan PEMP, pengelolaan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir (LEPP), kapasitas pemanfaat, kemitraan dan pemangku kepentingan. Analisis yang digunakan adalah
Multi Dimentional Scalling (MDS) yang hasilnya menunjukkan bahwa kinerja
program PEMP secara menyuluruh tergolong cukup.
Penelitian Astuti (2004) mengenai Manfaat PEMP terhadap Pendapatan Masyarakat Nelayan Tradisional di Kabupaten Lamongan memberikan hasil bahwa selisih pendapatan sesudah dan sebelum mengikuti program PEMP terdapat perbedaan peningkatan pendapatan nelayan dengan taraf signifikansi sebesar 0,037.
Penelitian mengenai adanya program PEMP tidak selalu memberikan hasil yang positif, terutama dari sisi mekanisme pengelolaan program pelaksanaannya. Kajian yang dilakukan oleh Aisyah et. al. (2010) mengenai Prestasi Program PEMP di Jakarta Utara diperoleh temuan sebagai berikut: 1)Pelaksanaan program di tingkat kabupaten dan kecamatan tidak sesuai prosedur yang sudah ditentukan. 2) Hasil evaluasi menunjukkan bahwa Dana Ekonomi Produktif banyak dimanfaatkan oleh pedagang yang tidak miskin. 3) Masyarakat pesisir tidak mampu untuk mengajukan pinjaman, jika meminjam umumnya tidak mampu untuk melunasi pinjaman.
2.2.2. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan
Penelitian mengenai hubungan korelasi yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan dilakukan dengan fokus negara tunggal. Ravallion dan Datt (1996) menggunakan data time series (1951-1991), melakukan penelitian di India mengenai dampak pertumbuhan ekonomi sektoral dan migrasi dari desa ke kota terhadap kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan. Sebagai pendekatan pendapatan per kapita, digunakan jumlah produk domestik (GDP) riil per kapita, sedangkan indikator ketimpangan pendapatan menggunakan indeks gini yang dihitung berdasarkan konsumsi per kapita. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa selama periode tersebut, rata-rata pendapatan per kapita meningkat. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan tingkat ketimpangan pendapatan terjadi kecenderungan penurunan.
Wodon (1999) dengan menggunakan spesifikasi model data panel dalam bentuk log-log dan melibatkan 70 observasi secara nasional (30 observasi untuk daerah perkotaan dan 40 observasi untuk daerah perdesaan) selama periode tahun 1983-1996, juga melakukan penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan baik secara nasional maupun menurut daerah perkotaan dan daerah perdesaan di Bangladesh. Untuk menggambarkan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan, Wodon mengajukan model:
Log Gkt = αk + β Log Rkt + ξkt (2.11)
dimana:
Gk t : indeks Gini untuk area ke k-periode ke t,
Rkt : pertumbuhan ekonomi untuk area ke k periode ke t,
αk : common/fixed/random effect untuk area ke k,
ξkt : disturbance term
Berdasarkan hasil penelitiannya, Wodon menyimpulkan bahwa terdapat hubungan korelasi yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan baik secara nasional maupun di daerah perkotaan, dimana nilai estimasi parameternya untuk daerah perkotaan lebih besar daripada secara
nasional. Sedangkan untuk daerah perdesaan tidak terdapat hubungan yang sistematik antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan.
Ketimpangan pendapatan yang telah diterima oleh berbagai kelompok masyarakat (kondisi awal), dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam distribusi kekayaan. Ketimpangan ini mendorong terjadinya perbedaan baik dalam kepemilikan aset dan tabungan masyarakat (investasi) serta status sosial-politik, bahkan dapat mendorong terjadinya ketidakstabilan politik. Penelitian yang telah dilakukan peneliti-peneliti berikut ini telah menunjukkan adanya pengaruh dari ketimpangan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Alesina dan Rodrik (1994), melakukan penelitian mengenai pengaruh dari ketidakmerataan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui ekonomi politik, yaitu dengan menggunakan indeks Gini pendapatan dan kepemilikan tanah sebagai dua indikator ketidakmerataan. Hasilnya ketidakmerataan pendapatan dan kepemilikan tanah mempunyai korelasi negatif dengan laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmerataan pendapatan dan kepemilikan tanah yang semakin membesar akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
Alesina dan Perotti (1996), meneliti pengaruh ketidakmerataan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui ketidakstabilan politik dan investasi. Hasilnya ketidakmerataan pendapatan meningkatkan ketidakstabilan politik dan pada gilirannya menurunkan investasi. Konskwensinya, ketidakmerataan pendapatan dengan investasi mempunyai mempunyai hubungan korelasi yang negatif. Karena investasi adalah pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi, maka peningkatan ketidakmerataan pendapatan akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi .
Chambers (2003), meneliti hubungan antara ketidakmerataan pendapatan, investasi dan pengeluaran pemerintah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah tanpa investasi dan atau pengeluaran pemerintah yang cukup, ketidakmerataan pendapatan yang lebih tinggi justru meningkatkan pertumbuhan ekonomi selanjutnya. Akan tetapi, jika investasi dan atau pengeluaran pemerintah adalah hal yang substansil, ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi boleh jadi mengurangi pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
2.2.3. Hubungan antara Tingkat Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan
Dalam penelitiannya mengenai kemiskinan di daerah pedesaan di Republik Rakyat China (RRC), Lin (2003) menggunakan data time series yang terdiri dari data pendapatan bersih per kapita, indeks gini, dan berbagai ukuran kemiskinan, serta dengan mengasumsikan bahwa distribusi pendapatan mengikuti suatu pola distribusi log normal dan dengan melakukan dekomposisi indeks pengurangan kemiskinan menurut pendapatan per kapita dan ketimpangan pendapatan. Lin (2003) menemukan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di RRC antara tahun 1985 dan 2001 selain mengurangi kemiskinan juga meningkatkan ketimpangan yang pada akhirnya mengurangi efektifitas pengurangan kemiskinan.
Telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang positif terhadap pengurangan kemiskinan, yang berarti terdapat hubungan korelasi negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi juga diasosiasikan dengan ketidakmerataan pendapatan, dimana meningkatnya ketidakmerataan pendapatan akan mengurangi efektifitas pengurangan kemiskinan, terdapat trade-off antara ketidakmerataan pendapatan dengan pengurangan kemiskinan. Untuk itu telah banyak dilakukan penelitian dengan tujuan melakukan dekomposisi terhadap pengurangan kemiskinan, yaitu yang berasal dari pertumbuhan ekonomi dan dari ketimpangan pendapatan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lin (2003) di daerah perdesaan (RRC) menunjukkan adanya konsistensi terhadap komposisi penyebab terjadi penurunan kemiskinan, dimana pertumbuhan ekonomi selalu mengurangi kemiskinan sedangkan ketidakmerataan pendapatan juga selalu mengurangi efektifitas pengurangan kemiskinan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi.
Adam (2004) melakukan penelitian mengenai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (komponen pengurangan kemiskinan yang berasal dari pertumbuhan ekonomi), yaitu dengan menggunakan panel data 60 negara berkembang (tidak termasuk negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah), garis kemiskinan sebesar 1 Dollar/ kapita/ hari, dan dengan model first
difference log-log. Penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa elastisitas
kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi mempunyai nilai berbeda tergantung proxy terhadap data pertumbuhan ekonomi yang digunakannya. Jika menggunakan data konsumsi, elastisitasnya adalah -2,79, yang berarti bahwa kenaikan 10 persen dari konsumsi akan menurunkan kemiskinan sebesar 27,9 persen. Sedangkan bila pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan data perubahan GDP per kapita akan menghasilkan elastisitas sebesar -2,27 (tidak signifikan).
Wodon (1999) juga melakukan dekomposisi terhadap pengurangan kemiskinan, yaitu dengan mengukur elastisitas (gross) dari kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (J),elastisitas dari ketidakmerataan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi (E), elastisitas dari kemiskinan terhadap ketidakmerataan pendapatan (G ) dan elastisitas (net) dari kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (O ). Untuk mengukur elastisitas-elastisitas tersebut diatas, Wodon menggunakan model sebagai berikut:
Log Pkt = ϖ k + γ LogRkt + δ LogGkt + vkt (2.12)
dimana:
kt
P : angka kemiskinan (Head Count Index) untuk area ke k, periode ke t, Rkt : Pertumbuhan ekonomi untuk area ke k, periode ke t,
Gkt : Indeks Gini untuk area ke k, periode ke t,
k
ϖ : common/fixed/random effect untuk area ke k, vkt : disturbance term
Hasil penelitian Wodon untuk angka kemiskinan (HCI) dengan menggunakan batas bawah dari garis kemiskinan dan model fixed effect, terlihat adanya konsistensi arah (positif/negatif) untuk setiap estimasi parameter elastisitas baik secara nasional, daerah perkotaan maupun untuk daerah perdesaan. Namun ada parameter yang tidak signifikan untuk daerah perdesaan, yaitu parameter antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan. Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan lebih terasa didaerah perdesaan daripada secara nasional maupun daerah perkotaan.
2.2.4. Hubungan antara Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengangguran
Model regresi yang dipakai untuk menjelaskan hubungan antara kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran mengacu kepada model yang dikembangkan oleh Xin Meng dkk pada tahun 2005 dalam penelitiannya yang berjudul “Poverty, Inequality, and Growth in
Urban China, 1986-2000”. Dalam penelitiannya, Xin Meng et. al. (2005)
mengembangkan suatu model kemiskinan, dalam modelnya tersebut kemiskinan merupakan fungsi dari pendapatan, tingkat ketimpangan, tingkat tabungan, tingkat kenaikan harga, persentase pengeluaran untuk pendidikan, perumahan dan kesehatan terhadap total pengeluaran serta fungsi dari suatu variabel kontrol dalam hal ini pengangguran.
Mengacu kepada model Xin Meng, model persamaan regresi yang dibentuk yaitu untuk peubah tidak bebas (dependent variable) digunakan persentase penduduk miskin sedangkan peubah bebasnya (independent variable) adalah PDRB harga konstan, gini rasio, tingkat pengangguran terbuka (TPT). Data yang digunakan adalah data kabupaten/kota (cross section).
Model selengkapnya adalah sebagai berikut:
P0it = β 0 + β 1 * (PDRBit ) + β2 * (Giniit) + β 3* (TPTit ) + eit (2.13)
dimana:
P0 = % penduduk miskin (Head Count Index) PDRBHK = Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan Gini = Gini rasio
TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka i = Kabupaten/kota ke-i
t = Tahun pengamatan eit = disturbance term
2.3. Kerangka Pemikiran
Untuk mendapatkan keterkaitan antara program PEMP dengan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan, berikut dalam penelitian ini disampaikan kerangka penelitian yang dibangun (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian IMPLEMENTASI
PROGRAM PEMP
ANALISIS DATA PANEL
ANALISIS PRO POOR GROWTH /GIC
ANALISIS KUADRAN
Hasil Penelitian dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran Dinamika Kabupaten/Kota Pesisir (ANALISIS DESKRIPTIF) Perekonomian Penyerapan Tenaga Kerja Peningkatan Pendapatan Riil/Konsumsi Maasyarakat Peningkatan Pertumbuhan Penurunan Pengangguran Penurunan Ketimpangan Pendapatan PROGRAM PEMP DI KABUPATEN PESISIR KEBIJAKAN KKP (3 PILAR PEMBANGUNAN KKP) Penurunan Kemiskinan
2.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Program PEMP dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi tingkat regional di kabupaten/kota pesisir.
2. Program PEMP mampu menurunkan ketimpangan pendapatan masyarakat di kabupaten/kota pesisir.
3. Program PEMP dapat menurunkan pengangguran melalui penciptaan lapangan pekerjaan masyarakat di kabupaten/kota pesisir.
4. Program PEMP dapat menurunkan kemiskinan di kabupaten/kota pesisir. 5. Terdapat pola hubungan antara program PEMP, pertumbuhan ekonomi,
ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan di kabupaten/kota pesisir.