PENGAWASAN HAKIM SEBELUM DAN PASCA KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2011 PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
Deka Putra1, Nurbeti1, Suparman Khan1,
Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta. Email : [email protected]
ABSTRACT
Judicial Commission as State institutions that are independent who has authority and duty to supervise the conduct of judges in order to uphold the honor and dignity and behavior of judges. So the authors raised issues about How the supervision of judges before and after the release of Act No. 18 of 2011 amendments to the Act No. 22 of 2004 on the Judicial Commission. What are the constraints faced by the Judicial Commission in order to carry out the supervision of the judge. The method used in this study is that normative legal research done by examining library materials or secondary data. The results of this study it can be concluded that the supervision of the judge before the release of Act No. 18 of 2011 amendments to the Act No. 22 of 2004 are still limiting the authority of the Judicial Commission, when there are several recommendations of the Judicial Commission to the Supreme Court that is not fully responded. Post-discharge surveillance against judges Act No. 18 of 2011 amendments to the Law No. 22 Year 2004 on the Judicial Commission after a change of this Act provide reinforcement to the Judicial Commission both in terms of institutional, authority, and in terms of adding new tasks. Judicial Commission granted new authority that establishes a code of ethics and code of conduct of judges along with the Supreme Court as well as maintaining and enforcing its implementation. Constraints faced by the Judicial Commission in order to supervise the Judicial Commission judges that the authority is still limited, resulting in an arbitrary stage recommendation without a judge can impose sanctions on those convicted.
Keywords: Judicial Commission, Supreme Court, surveillance and judges
Pendahuluan
Negara Indonesia adalah negara hukum. yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan. Persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum
adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten, transparan, akuntabel, dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga dijelaskan bahwa salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara, dan hakim sebagai aktor utama atau figure sentral dalam proses peradilan dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak.
Semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim itu harus dilaksanakan dalam rangka menegakan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, dimana setiap orang sama kedudukanya di depan hukum dan
hakim. Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan: “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia,
dan secara vertikal
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam menjalankan tugasnya, profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya. Kode etik dan pedoman perilaku hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan diluar kedinasan. Untuk itulah perlu adanya lembaga khusus yang mengawasi perilaku hakim. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang ketentuan-ketentuan pokok
Kekuasaan Kehakiman tahun 1968, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terahir mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Namun ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-undang.
Ketika proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan, gagasan mewujudkan lembaga khusus sebagai pengawasan eksternal badan peradilan demi untuk menegakkan wibawa peradilan semakin mendapat perhatian yang serius dari para wakil rakyat di DPR. Melalui amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Tahun 2001, disepakati tentang pembentukan Komisi Yudisial. Ketentuan mengenai Komisi Yudisial
diatur dalam Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945.
Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Tegasnya Komisi Yudisial bukanlah lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaaan negara secara langsung, bukan lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Komisi Yudisial hanya menunjang tegaknya kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagai pejabat penegak hukum dan lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman (judiciary).
Wakil ketua Komisi Yudisial Anshori Shaleh mengatakan “lahirnya Komisi Yudisial diharapkan sebagai solusi kegelisahan masyarakat atas penegakkan hukum dan keadilan.” Komisi Yudisial juga bertujuan untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia serta mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman
yang mandiri untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Sebagai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. yang dalam perkembangannya Undang-undang tersebut diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengawasan terhadap hakim sebelum dan pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. 2. Apa saja kendala yang dihadapi
oleh Komisi Yudisial dalam rangka melakukan pengawasan terhadap hakim.
Berdasarkan latar belakang perumusan dan batasan masalah di atas, maka tujuan dilakukan penelitan adalah:
1. Untuk mengetahui pengawasan terhadap hakim sebelum dan pasca keluarnya Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2011 perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. 2. Untuk mengetahui apa saja
kendala yang dihadapi oleh Komisi Yudisial dalam rangka melakukan pengawasan terhadap hakim. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
Data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri atas Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu sebagai berikut: a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan penelitian hukum yang didasarkan kepada sumber hukum formal. Dimana bahan hukum ini mempunyai kekuatan mengikat dan berlaku dalam waktu tertentu. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini yaitu:
1) Undang-Undang Dasar 1945. 2) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
5) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengawasan Hakim. 6) Putusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009/ dan/
Nomor 02/ SKB/
P.KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur serta buku-buku yang berkaitan dengan masalah pengawasan terhadap hakim.
Analisa data atau analisa bahan hukum dilakukan dengan analisa kualitatif, yaitu dengan cara
menafsirkan gejala yang terjadi, tidak dalam paparan perilaku, tetapi dalam sebuah kecendrungan, juga dilakukan dengan cara mengumpulkan semua bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti
Hasil Dan Pembahasan
Sejak berdirinya Komisi Yudisial pada tanggal 2 Agustus 2005 ibarat tunas muda yang tumbuh di tanah yang gersang. Di tengah maraknya praktek mafia peradilan dan tidak efektifnya pengawasan internal oleh Mahkamah Agung, maka pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial sebagai sistem
check and balances pada lembaga
yudikatif memberikan harapan besar akan adanya perubahan.
Komisi Yudisial dibentuk sebagai konsekuansi politik hukum untuk membangun sistem checks and
balances didalam struktur kehakiman.
Sesuai fungsinya, Komisi Yudisial dimaksud untuk meningkatkan akuntabilitas kekuasaan kehakiman yang independen dan diharapkan berperan penting dalam mewujudkan demokrasi dan negara hukum dengan modal dasar sebagai lembaga konstitusi. Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut dan untuk
mendukung keabsahan Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugasnya, dibentuk dan diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Komisi ini merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dijelaskan bahwa dalam rangka melaksanakan pengawasan Komisi Yudisial:
a. Menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim;
b. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim;
e. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Berdasarkan penjelasan di atas, Komisi Yudisial berwenang malaporkan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR sekaligus mengusulkan penjatuhan saksi terhadap hakim yang terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim tersebut. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas pengawasan hakim diatur dalam Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengawasaan Hakim.
Untuk menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana diatur dalam perundang-undangan harus diiplementasikan secara konkrit dan konsisten. Konkrit dalam arti Komisi Yudisial dalam pengawasannya harus fokus terhadap beberapa hal yaitu, teknik yudisial, yang berkaitan dengan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh hakim, serta sikap dan perilaku
hakim. Hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakkan hukum, kebenaran dan keadilan. Dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, diharapkan para hakim sadar akan betapa pentingnya menjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku mereka. Tujuan utama dari fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah agar seluruh hakim dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman selalu didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku, kebenaran, rasa keadilan masyarakat, menjunjung tinggi moral dan kode etik. Apabila seluruh hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar, maka bukan hanya kepastian hukum dan keadilan yang dapat diwujudkan, tetapi juga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakimpun akan terpelihara.
Agar pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial bisa terlaksana, masyarakat diharapkan turut andil dengan cara mau melaporkan langsung kepada Komisi Yudisial jika menemukan hakim yang melanggar ketentuan
peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksud agar warga di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Harus diakui Komisi Yudisial memiliki tugas yang sangat berat, namun sejak awalnya Komisi Yudisial tidak diberikan instrumen hukum yang kuat sehingga hasil dari pembersihan korps pengadilan masih jauh dari harapan. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 yang mengatur pengawasan posisinya lemah, dan banyak membatasi kewenangan Komisi Yudisial, akibatnya langkah Komisi Yudisial selalu diabaikan atau justru mendapat pertentangan yang kuat dari Mahkamah Agung selaku pemegang kekuasaan tertinggi
Menurut Sjaiful, sejak Komisi Yudisial melaksanakan tugasnya dirasakan adanya berbagai hal yang belum terakomodir pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 khususnya Pasal yang mengatur dibidang pengawasan. Sebagaimana diketahui, kewenangan Komisi Yudisial yang tercantum didalam
Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Namun fungsi pengawasan dirasa mandul ketika ada beberapa rekomendasi dari Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung yang tidak sepenuhnya direspon.
Pengawasan Hakim Pasca Keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dengan lahirnya Undang –Undang Nomor 18 Tahun 20011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Undang-Undang ini memberikan penguatan kepada Komisi Yudisial baik dari sisi kelembagaan, kewenangan, maupun dari sisi penambahan tugas-tugas baru.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Sebagaimana dijelaskan dalam Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Komisi
Yudisial Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan diluar kedinasan. Degan adanya Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim ini, diharapkan akan memperkuat Komisi Yudisial dan mempermudah Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penindakan terhadap hakim yang melakukan penyimpangan dan pelanggaran terhadap profesinya.
Selain panduan keutamaan moral bagi hakim, Kode Etik dan/atau Pedoman Prilaku Hakim ini juga merupakan pegangan utama bagi Komisi Yudisil dalam melaksanakan tugasnya. Meskipun demikian, elemen masyarakat tetap harus mencermati apakah putusan hakim sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan atau tidak, apabila terdapat putusan hakim yang menyimpang dan
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka masyarakat dapat melaporkannya kepada Komisi Yudisil untuk ditindak lanjuti.
Komisi Yudisial menilai kewenangannya untuk mengawasi para hakim nakal masih terbatas. kewenangannya hanya berujung pada pemeriksaan atau sebatas pemberian rekomendasi sanksi atas hakim yang dianggap melanggar Kode Etik. Sedangkan, penjatuhan sanksi terhadap hakim yang terbukti melanggar, hanya bisa dilakukan dan diputuskan oleh Mahkamah Agung.
Ketua bidang hubungan antara lembaga dan layanan informasi Komisi Yudisial Imam Ansori menerapkan adanya batas kewenangan lembaganya yang berujung pada tingkat rekomendasi saja, telah melemahkan institusi yang menaunginya sebagai pengawas hakim. Kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim yang berujung rekomendasi masih lemah, tidak kuat. Kenyataanya dilapangan tidak jarang rekomendasi yang masuk ranah Komisi Yudisial, justru dilaksanakan Mahkamah Agung karena alasan masuk wilayah teknis yudisial yang merupakan wilayah independensi
hakim. Sehingga, ini telah nyata mengurangi fungsi institusinya sebagai lembaga pengawas dan tidak bisa berbuat banyak. Kewenangan Komisi Yudisial merupakan upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan. Hal itu dapat dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar para hakim menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Harapanya, agar dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
A. Simpulan
1. Pengawasan terhadap hakim sebelum dan pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
a. Pengawasan hakim sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bertujuan agar seluruh hakim dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman selalu didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku, kebenaran, rasa keadilan masyarakat, menjunjung tinggi moral dan kode etik. wewenang dan tugas
pengawasan yang
dilaksanakan oleh Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
masih membatasi
kewenangan Komisi Yudisial, ketika ada beberapa rekomendasi dari Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung yang tidak sepenuhnya direspon. akibatnya, langkah Komisi Yudisial diabaikan atau
justru mendapat
pertentangan yang kuat dari Mahkamah Agung selaku
pemegang kekuasaan tertinggi.
b. Pengawasan hakim pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pasca perubahan Undang-undang ini memberikan penguatan kepada Komisi Yudisial baik dari sisi kelembagaan, kewenangan, maupun dari sisi penambahan tugas-tugas baru. Dalam hal pengawasa, KomisiYudisial diberi wewenang baru yaitu menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung serta menjaga dan menegakkan pelaksanaanya. Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Dalam hal adanya dugaan atau laporan dari masyarakat tentang pelanggaran Kode etik
dan/atau Pedoman Perilaku Hakim, Komisi Yudisial
berhak untuk
menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perndang-undang yang berlaku.
2. Kendala yang dihadapi oleh Komisi Yudisial dalam rangka melakukan pengawasan terhadap hakim yaitu masih terbatasnya kewenangan Komisi Yudisial, Yang kewenangan lembaganya berujung pada tingkat rekomendasi saja, tanpa dapat menjatuhkan sanksi bagi hakim yang terbukti melanggar kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ucapan Terimakasih
Penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada Ibu Nurbeti, S.H, M.H, selaku pembimbing I sekaligus Wakil Dekan Fakultas Hukum dan Bapak Drs. Suparman Khan, M.Hum selaku pembimbing II yang telah memberikan arahan, bimbingan, motivasi dan petunjuk. Selain itu, penyelesaian penulisan skiripsi ini juga tidak terlepas dari bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Dwi Astuti Palupi, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta.
2. Bapak Suamperi, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara.
3. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Bung hatta serta Karyawan dan Karyawati Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta. 4. Buat Ayahanda Warman dan
Ibunda Darwalis yang selalu mendo’akan dan memberikan dukungan baik moril maupun materil.
5. Buat adik-adik dan kakak-kakak terima kasih atas dukungannya selama ini. 6. Seluruh mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Bung Hatta angkatan 2010.
7. Buat semua rekan-rekan seperjuangan yang telah berpartisipasi dalam
memberikan masukan dan do’a dalam penyelesaian skiripsi ini.
8. Teristimewa buat seseorang yang selalu sabar membantu dan memberikan dorongan dari awal hingga skiripsi ini selesai.
Daftar Putaka
Abdul Azis Albone, 2009, Panduan
Penyusunan Proposal
Penelitian Dengan
Mudah, Padang; Yayasan
Khair Center.
Ahmad Kamil, 2012, filsafat kebebasan hakim, Jakarta; Kencana.
Ahsin Thohari, 2004, Komisi Yudisial
dan Reformasi Peradila,
Jakarta; ELSAM.
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara
Pidana Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika.
Imam Anshori Saleh, 2014, Konsep
Pengawasan Kehakiman,
malang; SetaraPress
Josef M. Monteiro, 2014,
Lembaga-Lembaga Negara Setelah
Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945, Yogyakarta; Pustaka Yustisia
Komisi Yudisial, 2012, Hakim Dan
Penerapan Keadilan Restoratif,
Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia.
_______, 2011, Kewenangan Baru
Harapan Baru, Jakarta; Komisi
Yudisial Republik Indonesia. _______, 2011, mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab, Jakarta; Komisi Yudisial
Republik Indonesia.
_______, 2014, Wewenang Baru Komisi Yudisial, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia.
_______, 2012, Menjaga
Keseimbangan Meneguhkan
Kehormatan, Jakarta; Komisi
Yudisial Republik Indonesia. Nimatul Huda,2006, Hukum Tata
Negara Indonesia, Jakarta, PT.
Raja Grafindo.
Nurbeti, 2010, Hukum Lembaga
Negar, Padang; Bung Hatta
University Press.
Ridman, 2012, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta; Kencana
Rusli Muhammad, 2013, Lembaga
Pengadilan Indonesia,
Yogyakarata; UII Press. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat,
Jakarta; PT Rajagrafindo Persada.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun2004 Tentang Komisi Yudisial.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pengawasan Hakim.
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisal nomor: 047/KMA/skb/IV/2009 dan nomor:02/SKB/P.KY/IV/2009 , tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah
Agung dan Ketua Komisi
Yudisial nomor:
02/PB/MA/IX/2012 Dan nomor 02/PB/P.KY/09/2012. Tentang panduan penegakkan Kode Etik dan Pedoma Perilaku Hakim. http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_ Yudisial http://illinree.wordpress.com/2008/11 /06/revisi-uu-komisi-yudisial-di persimpangan-jalan http://www.komisiyudisial.go.id/berit a-462-revisi-uu-ky-untuk- memperkuat-fungsi-pengawasan.html http://www.komisiyudisial.go.id/statis -14-sejarah-pembentukan