• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTAI POLITIK & DEMOKRASI PROSEDURAL PARTAI POLITIK & DEMOKRASI PROSEDURAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARTAI POLITIK & DEMOKRASI PROSEDURAL PARTAI POLITIK & DEMOKRASI PROSEDURAL"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PARTAI POLITIK &

DEMOKRASI PROSEDURAL

(3)
(4)

PARTAI POLITIK &

DEMOKRASI PROSEDURAL

Penerbit Taman Karya Pekanbaru

2020

Dr. Ali Yusri, MS

Dr. Syafri Harto, M.Si

Adlin, S.Sos, M.Si

Wazni, S.IP, M.Si

Ramlan Darmansyah

Pola Rekrutmen Calon Legislatif Tingkat Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau pada Pemilu Legislatif 2009

(5)

PARTAI POLITIK & DEMOKRASI PROSEDURAL

Penulis: Dr. Ali Yusri, MS Dr. Syafri Harto, M.Si

Adlin, S.Sos, M.Si Wazni, S.IP, M.Si Ramlan Darmansyah Editor: Zulkarnaini Sampul: syam_witra Layout: arnain '99 Cetakan I: Februari 2020 Penerbit TAMAN KARYA

(6)

PRAKATA PENULIS

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan kepada tim penulis untuk dapat menerbitkan buku ini. Shalawat beriring salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, sosok teladan dan panutan ummat yang tidak akan pernah tergantikan.

Buku ini mengungkap pola-pola rekrutmen calon anggota legislatif berikut kriteria-kriteria serta tipe-tipe utama yang menjadi pilihan partai politik dalam menetapkan calon anggota legislatif di tingkat kabupaten dan kota di Provinsi Riau. Badan legislatif kabupaten dan kota di Riau hasil pemilu legislatif tahun 2009 seharusnya mampu menjalankan fungsi yakni legislasi, anggaran, pengawasan dalam rangka memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam pembuatan kebijakan bersama pe-merintah daerah. Namun faktanya, mereka belum mampu memper-juangkan kepentingan masyarakat sesuai dengan harapan pemilihnya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kekecewaan berbagai kalangan masyarakat terhadap kinerja DPRD kabupaten dan kota yang dirilis berbagai media lokal di tahun 2010, 2011 dan awal 2012.

Salah satu faktor penting yang diduga menjadi penyebab lemah-nya kinerja anggota DPRD adalah pola rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik dalam menjaring calon legislatif yang selama ini di-praktekkan belum berhasil menghadirkan calon legislatif yang setelah terpilih benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat. Pola rekrutmen tersebut membuat sebagian besar calon anggota DPRD dan selanjutnya

(7)

terpilih menjadi anggota DPRD bertipe loyalis partai, wakil kelompok dan Tipe Pengusaha yang dalam menjalankan tugas lebih berpihak kepada kepentingan pribadi, kelompok maupun partai. Kondisi ini membuat masyarakat kecewa dengan kinerja anggota DPRD tidak kunjung berpihak kepada rakyat dalam menjalankan tugasnya.

Atas terbitnya buku ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah benyak membantu, baik materil maupun sprituil. Kami menyadari, tentu terdapat kekurangan dan kesalahan, karena itu masukan dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Pekanbaru, Februari 2020

(8)

DAFTAR ISI

PRAKATA PENULIS ... 5

DAFTAR ISI ... 7

BAB I PENDAHULUAN ... 11

BAB II PARTAI POLITIK DAN POLA REKRUTMEN ... 17

A. Partai Politik ... 17

B. Rekrutmen Calon Anggota Legislatif ... 18

C. Adopsi Teori Rekrutmen Calon Anggota Legislatif... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

A. Teknik Sampling... 29

B. Teknik Pengumpulan Data ... 31

C. Teknik Analisa Data ... 32

BAB IV KRITERIA UMUM DAN MODEL SELEKSI ... 37

A. Kriteria Umum Kandidat Calon Anggota Legislatif .. 37

B. Pihak Penentu Seleksi Calon Anggota Legislatif... 45

BAB VTIPE KANDIDAT YANG DIPILIH DAN POTENSI PERILAKU SETELAH TERPILIH ... 49

A. Tipe Kandidat yang Dipilih... 49

(9)

BAB VI PENUTUP ... 55 DAFTAR PUSTAKA ... 57

(10)

PENDAHULUAN

(11)
(12)

BAB I

PENDAHULUAN

Konstruksi demokrasi di dalam sistem politik Indonesia, sebagai-mana di negara-negara modern lainnya adalah menggunakan sistem perwakilan (representative democracy) yang dipilih melalui Pemilu (Marijan, 2010). Gelombang demokrasi di Indonesia dimulai setelah kejatuhan Soeharto, ditandai dengan adanya pelaksanaan pemilihan umum yang benar-benar bebas untuk memilih anggota legislatif di tahun 1999 (Elson, 2009). Namun masalah utama pemilu di Indonesia pada era reformasi tidak terletak pada kualitas pelaksanaan Pemilu, melain-kan pada lemahnya akuntabilitas politik dari institusi politik yang ada. Pemilu legislatif telah dilaksanakan cukup demokratis, namun anggota legislatif terpilih yang merupakan wakil partai politik akuntabilitasnya lemah terhadap pemilih dan pendukungnya (Sulistiyo, 2002). Padahal akuntabilitas politik yang berhubungan dengan adanya rasa tanggung jawab anggota legislatif terpilih setinggi mungkin terhadap para pe-milihnya adalah sangat penting, bahkan perwakilan yang terpilih dinilai tidak ada artinya tanpa akuntabilitas (Reynold, 2001).

Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Kompas terhadap responden pemilih 7 partai politik yang lolos electoral threshold pada Pemilu 1999, yakni: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Na-sional dan Partai Bulan Bintang, ditemukan indikasi bahwa sebagian pemilih Partai Golongan Karya dan Partai Bulan Bintang merasa ke-cewa terhadap kinerja wakil partai politik yang telah mereka pilih di

(13)

legislatif nasional (Kusumah, 2001). Polling Media Indonesia tentang persepsi masyarakat terhadap kinerja partai politik ditemukan lebih dari 90% responden menganggap kinerja partai politik buruk, penilaian ini tidak bisa dilepaskan dari kinerja badan legislatif yang anggotanya merupakan kader-kader partai politik (Sjahrir, 2004). Banyak pe-ngamat mengatakan bahwa anggota legislatif lebih cenderung me-mentingkan kepentingan pribadi dan partai-partai politik yang di-wakilinya dibandingkan kepentingan rakyat dan kepentingan nasional secara luas. Kuatnya orientasi kekuasaan dan kekayaan para anggota legislatif telah membuat lembaga ini tidak peka terhadap kebutuhan dan tuntutan rakyat (Winarno, 2007).

Setelah beberapa kali Pemilu tingkat akuntabilitas anggota le-gislatif dimata masyarakat Indonesia tetap rendah yang ditunjukkan dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPR periode 2004-2009 tidak lebih baik dari sebelumnya (Marijan, 2010). Dalam jajak pendapat Kompas di awal tahun 2006 kembali ditemukan rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja partai politik dalam merekrut dan mengendalikan anggota-anggotanya yang terpilih di parlemen agar mau menangkap aspirasi masyarakat. Selanjutnya hasil survey Charta Politika tahun 2010, ditemukan sebanyak 63,7 persen responden menilai bahwa performa kinerja DPR 2009-2014 tidak lebih baik dibanding DPR periode sebelumnya.

Kekecewaan para pemilih partai tertentu terhadap kinerja wakil partai politik di legislatif lokal (Dewan Perwakilan Daerah) lebih tinggi dibandingkan kekecewaan terhadap kinerja anggota legislatif di tingkat nasional. Hal ini ditemukan dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas terhadap responden pemilih 7 partai politik pada pemilu 1999 ( Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional dan Partai Bulan Bintang) ditemukan indikasi bahwa mayoritas pemilih 7 partai politik tersebut merasa kecewa terhadap kinerja wakil partai politik

(14)

oleh partai politik. Meskipun partai politik di Indonesia telah menetap-kan kriteria dalam menyeleksi calon, namun kriteria ini sering diabaimenetap-kan bahkan dimanipulasi dengan tetap mengutamakan penetapan calon berdasarkan hubungan pribadi dan jaringan patronage, sehingga kader partai yang berkualitas namun tidak punya uang dan koneksi tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan karir politiknya (Fealy, 2001). Oleh karena itu, perlu perubahan dalam sistem rekrutmen ang-gota DPR dengan cara mengubah peran partai politik tidak hanya sebagai fasilitator bagi mobilitas anggotanya tetapi juga sebagai pe-milihara kualitas peforma anggota DPR dalam menampilkan gagasan dan citra partai (Legowo, 2006).

Kekecewaan pemilih terhadap kinerja anggota DPRD juga ter-jadi dibeberapa kabupaten dan kota di Provinsi Riau. Warga Keca-matan Rumbai kecewa terhadap kinerja anggota DPRD Kota Pe-kanbaru yang tidak memproses pengaduan mereka. Padahal mereka telah memasukan pengaduan ke DPRD Kota Pekanbaru sejak 2 bulan yang lalu ( www.menitriau.com, 11/05/2010). Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) kecewa dengan kinerja anggota DPRD kota Pekanbaru yang tidak sebanding dengan dana yang dihabiskan para anggota DPRD Pekanbaru yakni 85 Milyar (www. Metroriau. com, 22/10/2010). Demikian juga kinerja DPRD kabupaten Meranti juga dinilai masyarakat kurang berhasil menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik (www. Dumai Pos.com, 10/02/2011). Kekece-waan masyarakat terhadap kinerja anggota DPRD juga terjadi di Indragiri Hilir ( www.Riaumandiri.net, 17/7/2010).

Sebagian masyarakat juga kecewa dengan kinerja DPRD Siak yang tak kunjung menyelidiki kasus 13 item proyek multi years di Siak (www.menitriau.com, 22/12/2010). Kekecewaan masyarakat juga tertuju pada lemahnya disiplin anggota DPRD Bengkalis, sehingga dua rancangan peraturan daerah batal diparipurnakan (http:/ riauterkini. com, 13/01/2011). Demikian juga masyarakat di kabupaten Pelalawan juga kecewa dengan kinerja anggota DPRD Pelalawan (http:/ kapu-news.com, 11/03/2012).

Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber, diketahui bahwa seluruh anggota DPRD di 12 kabupaten dan kota hasil pemilu

(15)

legislatif di Riau berjumlah 440 orang. Sebanyak 284 kursi (64,5%) adalah milik 6 Partai politik, yakni : Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Ke-adilan Sejahtera (PKS). Berikut digambarkan jumlah kursi legislatif hasil pemilu 2009 untuk tingkat kabupaten dan kota se-Riau:

Tabel 1. Jumlah Anggota DPRD Tingkat Kabupaten dan Kota Se-Riau Pemilu Legislatif Tahun 2009 menurut Partai Politik

Data dalam Tabel 1 di atas menunjukan mayoritas kursi anggota legislatif untuk tingkat kabupaten dan kota se- Riau didapatkan partai Golkar dan 5 Partai politik lainnya. Artinya 6 partai tersebutlah yang paling banyak mengantarkan kadernya menduduki kursi legislatif, yang pada akhirnya kinerja para kader partai yang merupakan anggota legistif tersebut menimbulkan kekecewaan masyarakat. Salah satu hal yang menentukan buruknya kinerja legislatif adalah pola rekrutmen kandidat calon legislatif. Menurut De luca De (2000), metode seleksi kandidat akan menentukan kualitas kandidat yang akan terpilih dan bagaimana kandidat-kandidat itu menjalankan tugasnya (Gjerde, 2006). Berdasarkan pendapat tersebut diduga pola rekrutmen oleh partai politik yang banyak menjadikan kadernya duduk di legislatif menjadi penyebab kekecewaan masyarakat terhadap kinerja anggota legislatif tingkat kabupaten kota se-Riau.

No PartaiPolitik

Jumlah Perolehan Kursi Legislatif di Kabupaten/ Kota

Total/ Persentase Pekanbaru KuantanSingingi Inhil Inhu Rohul Rohil Siak Bengkalis Dumai Meranti Kampar Pelalawan

1 Golkar 9 9 8 11 7 12 4 5 5 3 11 7 91 2 Demokrat 9 3 7 4 3 5 4 5 3 2 6 3 54 3 PDIP 2 2 2 4 3 5 5 4 3 2 2 4 38 4 PAN 5 2 2 3 3 5 2 3 3 5 3 36 5 PPP 4 4 2 6 1 3 3 3 2 2 3 2 35 6 PKS 5 1 2 3 1 3 6 2 1 5 1 30

Total Kursi 6 Partai Politik

284 (64,5%) Total Kursi Partai Politik Lainnya (45,5%)156 Total Kursi legislatif tingkat kabupaten kota Se-Riau (100%)440

(16)

PARTAI POLITIK

DAN POLA REKRUTMEN

(17)
(18)

BAB II

PARTAI POLITIK

DAN POLA REKRUTMEN

A. Partai Politik

Definisi partai politik diantaranya dikemukakan oleh Friedrich sebagaimana dikutip Surbakti (1999) yang memberikan batasan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pe-merintahan bagi pimpinan partainya, dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idiil kepada anggota partainya. Dalam definisi tersebut masih bersifat umum dan terdapat kelemahan yaitu belum ditegaskannya apa sarana resmi yang wajib diikuti oleh partai politik dalam meraih kekuasaan yakni Pemilihan Umum (Pemilu). Sejalan dengan itu, Hague dan Harrop (2001), secara lebih tegas men-definisikan bahwa partai politik adalah organisasi permanen yang mengikuti pemilu, bertujuan mendapatkan kewenangan menentukan dalam sebuah negara.

Beberapa ilmuwan politik lainnya memberikan definisi dengan memberikan tekanan pada aspek keterlibatan partai politik dalam pemilu. Diantaranya Ranney dan Kendal dalam Firmanzah (2008) mendefinisikan partai politik sebagai sebuah grup atau kelompok masyarakat yang memiliki otonomi tingkat tinggi untuk mencalonkan dan terlibat dalam pemilu dengan harapan mendapatkan serta men-jalankan kontrol atas birokrasi dan kebijakan publik. Sejalan dengan itu, Sartori dalam Budiardjo (2008) juga mengemukakan bahwa partai

(19)

politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum, dan melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.

B. Rekrutmen Calon Anggota Legislatif

Budiardjo (1998) menyatakan bahwa salah satu fungsi partai politik adalah rekrutmen politik, dalam proses ini partai mencari anggota baru dan mengajak orang-orang berbakat berpartisipasi dalam proses politik untuk menjaga kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus me-rupakan salah satu cara menyeleksi calon-calon pemimpin. Kartawijaya & Kusumah (2003) mengutip pendapat Morlino (1995) menyebutkan bahwa salah satu fungsi partai politik adalah melakukan rekruitmen orang-orang untuk menduduki pos-pos jabatan penting di pemerinta-han nasional, parlemen dan pemerintapemerinta-han lokal. Berdasarkan dua perdapat ini dapat disimpulkan bahwa partai politik memang berperan dalam menyeleksi orang-orang untuk untuk menduduki kursi parlemen/ legislatif.

Rekrutmen legislatif menurut Hague & Harrop (2001) adalah sebuah proses yang dilakukan oleh partai politik dengan cara mengu-rangi sekian banyak orang berpotensi untuk duduk sebagai anggota parlemen menjadi hanya sejumlah kecil orang dari mereka yang nantinya berhak mengikuti pemilihan umum. Putnam seperti dikutip Wessels (1997) berpendapat bahwa rekrutmen legislatif merujuk pada meka-nisme dan proses seleksi terhadap jutaan rakyat yang memiliki motivasi politik menjadi beberapa ribu orang yang berhasil menjadi anggota parlemen baik di tingkat lokal dan nasional. Norris (1997) menyatakan bahwa rekrutmen legislatif merujuk pada tahapan yang menentukan seorang individu bergerak naik dari level bawah menjadi anggota parlemen.

(20)

mem-2. Proses rekrutmen (recruitment process) di internal partai, terutama sekali tingkat demokratitasi di internal partai dalam pembuatan dan pelaksanaan aturan seleksi kandidat legislatif. 3. Kandidat yang menawarkan diri untuk mengikuti pemilihan (supply), berhubungan dengan tingkat motivasi dan modal politik yang mereka miliki.

4. Permintaan kelompok penentu kebijakan partai (demands of

gatekeepers)—misalnya pemilih, anggota partai, donatur partai

dan pimpinan partai yang berhak menyeleksi dan menentukan hasil seleksi para calon legislatif.

Selanjutnya dari empat hal tersebut, jadi atau tidaknya seseorang menjadi calon legislatif tetap ditentukan oleh para penentu kebijakan partai (party gatekeepers), sebagaimana dikemukakan oleh Hague dan Harrop (2001) bahwa seleksi oleh partai politik yang ditujukan mengurangi jumlah calon sesuai yang dibutuhkan tergantung pada kemampuan calon meyakinkan bahwa mereka layak menjadi calon legislatif kepada penentu kebijakan partai.

1. Penetapan Kriteria Calon Legislatif oleh Internal Partai Politik

Norris (1997) mengemukakan bahwa para penyeleksi calon legislatif di internal partai biasanya menentukan kriteria yang dianggap paling tepat, berdasarkan kriteria itulah dilakukan seleksi untuk menentukan pimpinan politik, termasuk calon legislatif. Adapun kriteria yang ditetapkan partai politik dalam menentukan calon legislatifnya diberbagai negara cukup bervariasi. Fukui (1997) menjelaskan bahwa partai politik di Jepang dalam menentukan calon legislatifnya men-syaratkan tiga indikator yang harus dimiliki setiap kandidat :

1. Ada rekomendasi dukungan dari cabang partai politik di tingkat lokal ataupun rekomendasi dari organisasi pendukung partai; 2. Tingginya peluang menang kandidat tersebut dalam Pemilu; 3. Calon incumbent lebih diutamakan dari pendatang baru.

Selain itu, Fukui (1997) menambahkan mengingat besarnya biaya kampanye, beberapa partai politik di Jepang juga mensyaratkan pe-nyediaan dana kampanye oleh kandidat. Amm (2003) menyatakan bahwa beberapa partai politik di Indonesia juga mensyaratkan

(21)

penye-diaan dana politik ( financial Politics ) oleh kandidat, misalnya Partai Amanat Nasional (PAN) mensyaratkan dana politik dari kandidat le-gislatif untuk kas partai dan untuk dana kampanye yang nantinya digunakan membeli bendera, membeli kaos. Asfar (2002) mengatakan bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) secara transparan juga menentukan jumlah besaran uang sumbangan yang harus dibayar oleh kandidat legislatif kepada PPP.

Sejalan dengan Fukui, Leijenaar dan Niemoller (1997) me-ngemukakan bahwa partai politik di Belanda juga mempertimbangkan beberapa hal dalam menentukan kandidat legislatif:

1. Karakteristik kemampuan (acquired characteristics) meliputi: pembicara yang baik (orator), punya keahlian khusus, memiliki semangat dan antusiasme tinggi serta mempunyai pengetahuan yang dalam terhadap isu-isu politik.

2. Karakteristik yang melekat (inherited characteristic) meliputi: jenis kelamin, usia, etnis dan penampilan.

3. Tingkat orientasi lokal (local orientation) meliputi: komitmen pada daerah pemilihan, popularitas di tingkat lokal, dukungan massa partai politik dan organisasi kemasyarakatan.

4. Agama, norma dan nilai (religion, norms, values) meliputi ketaatan beragama dan kestabilan dalam kehidupan rumah tangga.

5. Pengalaman politik (political experience) meliputi pengalaman politik dan pengalaman sebagai pekerja partai.

6. Syarat lain-lain (miscellaneous) meliputi mendukung idiologi partai dan dikenal di tingkat nasional.

Kemudian Catt (1997) juga mengemukakan bahwa pengurus partai politik di Selandia Baru juga menetapkan calon legislatif meng-gunakan kriteria antara lain; tingkat komitmen kandidat terhadap pe-milihnya, kemampuan memimpin rapat, dikenal baik (populer) di daerah,

(22)

Selain itu, di negara tertentu syarat utama yang digunakan oleh elit partai politik dalam menentukan calon legislatif adalah ciri politik dinasti dan prinsip patron-client. Kerkvliet (1996) misalnya, melihat bahwa rekrutmen kandidat legislatif oleh partai politik di Filipina bercirikan rekrutmen politik dinasti dan jaringan patron-client, dimana anggota keluarga (saudara, paman, sepupu, anak dan keponakan) serta orang-orang yang memiliki hubungan patron-client dengan elit partai politik lebih diutamakan untuk direkrut menjadi kandidat legislatif dibandingkan kriteria lainnya. Sejalan dengan itu, Gaffar (1999) juga mengemukakan bahwa kadangkala rekrutmen calon legislatif oleh partai politik di Indonesia lebih mengutamakan pertimbangan patronage (orang-orang dekat dan loyal) bahkan tidak jarang diantaranya diambil dari kalangan AMPI (Anak, Menantu, Ponakan dan Istri) pejabat ataupun elit partai politik dibandingkan kriteria kualitas individu.

2. Model Pengambilan Keputusan Akhir dalam Seleksi Calon Legislatif

Norris (1996) membuat klasifikasi pengambilan kebijakan akhir dalam internal partai berdasarkan dua indikator, yakni:

1. Ketat atau longgarnya elit penentu kebijakan partai dalam menetapkan calon legislatif berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan partai. Klasifikasinya adalah : a) Bureaucratic, para elit partai politik menerapkan kriteria dengan ketat dalam menyeleksi calon; b) Patronage, para elit partai melakukan seleksi para calon secara longgar (tidak terlalu kaku) dalam menerap-kan kriteria yang telah diterapmenerap-kan partai.

2. Tingkat pengambilan keputusan akhir apakah terpusat pada pengurus partai ditingkat nasional atau terdesentralisasi pada pengurus di tingkat lokal: Klasifikasinya adalah : a) centralized

decision making, penentu kebijakan rekrutmen calon adalah

elit partai di tingkat nasional (pusat) dan tingkat regional (daerah); b) localized decision making, penentu kebijakan adalah kon-stituen, pengurus partai ditingkat lokal, bahkan para pemilih. Berdasarkan dua indikator di atas, Norris (1996) menjelaskan empat tipologi rekrutmen legislatif oleh partai politik, yaitu :

(23)

1. Central patronage, penentu kebijakan adalah para elit partai di tingkat nasional dan daerah dengan cara mengimplementasi kriteria calon legislatif yang telah ditetapkan partai secara longgar.

2. Local patronage, penentu kebijakan adalah pengurus partai di tingkat lokal dengan cara mengimplementasi kriteria calon legislatif yang telah ditetapkan pengurus partai di tingkat lokal dan bahkan konstituen partai secara longgar.

3. Local bureaucratic, penentu kebijakan adalah para pengurus partai di tingkat lokal dengan cara mengimplementasi kriteria calon legislatif yang telah ditetapkan partai secara ketat. 4. Central bureaucratic, penentu kebijakan adalah para elit partai

di tingkat nasional dengan cara mengimplementasi kriteria calon legislatif yang telah ditetapkan partai secara ketat.

3. Tipe Calon Legislatif dan Orientasi Perilakunya Setelah Terpilih Menjadi Anggota Legislatif

Selain kriteria yang disebutkan beberapa ahli di atas, Siavelis dan Morgenstern (2008) menjelaskan empat tipe calon legislatif yang dipertimbangkan partai politik di negara-negara Amerika Latin, yaitu: 1. Loyalis partai (party loyalis). Kandidat dengan tipe ini memiliki loyalitas yang tinggi kepada pribadi pimpinan partai politik maupun kepada organisasi partai politik tempatnya bernaung. Loyalis partai selalu menjadi pertimbangan partai politik ketika model seleksi calon legislatif sangat ditentukan secara terpusat dan ketat oleh elit politik. Kandidat dengan tipe loyalis partai ketika terpilih akan lebih mementingkan kepentingan partai politik tersebut dibandingkan kepentingan konstituen pemilihnya. 2. Pelayan konstituen (constituens servant). Kandidat memiliki

(24)

Kandidat dengan tipe ini akan dipertimbangkan menjadi calon legislatif jika keputusan penentuan kandidat legislatif dilakukan oleh partai politik secara terdesentralisasi kepada elit partai di tingkat lokal.

3. Pengusaha (entreprenuer). Kandidat ini memiliki rasa setia yang sangat lemah terhadap konstituen maupun terhadap partai politik, hanya mencari dukungan konstituen pada masa-masa tertentu saja, tanpa ingin memelihara loyalitas konsituen dalam jangka waktu lama. Kandidat tipe ini jika terpilih akan lebih mementingkan kepentingan pribadinya dibandingkan konstituen maupun partai politik. Kandidat dengan tipe ini dapat terpilih menjadi calon legislatif, jika keputusan menentukan kandidat dilakukan secara terdesentralisasi ditingkat lokal, mekanis perekrutan yang tidak jelas, sangat informal bahkan ditetapkan jadi calon legislatif secara tidak transparan dan dana kampanye diusahakan sendiri oleh kandidat yang bersangkutan.

4. Wakil kelompok (group delegate). Kandidat ini memiliki loya-litas yang lebih kepada kelompok sosial yang bersifat non partai politik, misalnya wakil kelompok petani, etnik, daerah tertentu dan lain sebagainya. Kandidat dengan tipe ini masih memiliki loyalitas yang moderat terhadap partai, namun dalam kondisi tertentu jika terpilih menjadi calon legislatif, biasanya lebih setia kepada kelompoknya dibandingkan partai politik.

C. Adopsi Teori Rekrutmen Calon Anggota Legislatif

Penelitian mengenai mengenai model rekrutmen calon legislatif oleh partai politik dan pengaruhnya terhadap perilaku anggota legislatif setelah terpilih di Indonesia, memang jarang ditemukan. Oleh karena itu penulis mencoba meramu berbagai teori dan asumsi utama yang dikemukakan oleh para ahli di atas agar model rekrutmen calon legislatif yang digunakan oleh partai politik sehubungan dengan perilaku anggota legislatif setelah terpilih di kabupaten dan kota di Provinsi Riau dapat lebih mudah dipahami. Beberapa kesimpulan teori para ahli yang men-dasari pembentukan model :

(25)

legislatif yang akan diusungnya dalam pemilu mensyaratkan kandidat memenuhi kriteria umum cukup banyak dan beragam. Pada tahap ini masih banyak kandidat yang berpeluang menjadi calon legislatif di setiap partai politik.

2. Kemudian partai politik mengerucutkan calon legislatif sesuai kuota yang bisa diusulkan sesuai aturan perundangan dengan cara menyeleksi kandidat yang memenuhi persyaratan umum tersebut kepada kriteria khusus yang paling dipertimbangkan oleh setiap partai politik dalam menentukan calon legislatifnya. Penentuan kandidat dengan kriteria khusus tersebut dapat diwakili oleh 4 kategori berikut:

a. Loyalis Partai. Partai politik dengan sengaja menetapkan kandidat legislatif yang telah memenuhi beberapa kriteria umum dan memenuhi kriteria utama yakni loyal sebagai anggota maupun sebagai pengurus partai politik tersebut. b. Pelayan konstituen. Partai Partai politik dengan sengaja menetapkan kandidat legislatif yang telah memenuhi be-berapa kriteria umum dan memenuhi kriteria utama yakni mempunyai basis massa yang luas sehingga akan menambah perolehan suara partai.

c. Pengusaha. Partai Partai politik dengan sengaja menetap-kan menetap-kandidat legislatif yang telah memenuhi sedikit kriteria umum tetapi memenuhi kriteria utama yakni memiliki ke-dekatan secara pribadi dengan pengambil kebijakan yang menentukan di dalam partai ataupun bisa memberikan sum-bangan berupa uang, barang dan materi lainnya yang dianggap bermanfaat bagi partai politik.

d. Wakil kelompok. Partai Partai politik dengan sengaja me-netapkan kandidat legislatif yang telah memenuhi beberapa kriteria umum dan memenuhi kriteria utama, yakni me-rupakan tokoh yang berpengaruh dalam sebuah

(26)

organi-a. Jika keputusan menentukan calon legislatif terpusat di tangan segelintir elit partai di pusat maupun di daerah melalui mekanisme yang jelas dengan kriteria ketat dan kaku, maka akan terpilih kandidat loyalis partai yang akan ditetapkan menjadi calon legislatif.

b. Jika keputusan menentukan calon legislatif terdesentralisasi pada elit partai di daerah melalui mekanisme yang jelas dengan kriteria tidak terlalu ketat dengan harapan dukungan konstituen semakin tinggi, maka akan terpilih kandidat pelayan konstituen yang akan ditetapkan menjadi calon legislatif.

c. Jika keputusan menentukan calon legislatif terdesentralisasi pada elit partai di daerah melalui mekanisme tidak jelas dengan kriteria yang sangat longgar, maka akan terpilih kandidat pengusaha yang akan ditetapkan menjadi calon legislatif.

d. Jika keputusan menentukan calon legislatif terdesentralisasi pada elit partai di daerah melalui mekanisme yang jelas dengan kriteria tidak terlalu ketat dengan harapan men-dapat dukungan dari kelompok tertentu, maka akan terpilih kandidat pelayan konstituen yang akan ditetapkan menjadi calon legislatif.

4. Tahap selanjutnya model hubungan tipe kandidat legislatif dan perilakunya setelah terpilih :

a. Kandidat yang ditetapkan dengan pertimbangan utama karena loyalis partai maka setelah terpilih ia akan lebih cenderung mendahulukan kepentingan partai politik di-bandingkan kepentingan konstituen pemilihnya.

b. Kandidat yang ditetapkan dengan pertimbangan utama karena pelayan konstituen, maka setelah terpilih ia akan lebih cenderung mendahulukan kepentingan konstituen pemilihnya dibandingkan kepentingan partai politiknya. c. Kandidat yang ditetapkan dengan pertimbangan utama

karena pengusaha, maka setelah terpilih ia akan lebih cen-derung mendahulukan kepentingan pribadinya dibanding-kan kepentingan konstituen maupun partai politiknya.

(27)

d. Kandidat yang ditetapkan dengan pertimbangan utama karena dianggap sebagai wakil kelompok tertentu dengan harapan partai mendapat dukungan dari anggota organisasi tersebut maka setelah terpilih ia akan lebih cenderung men-dahulukan kepentingan organisasi dibandingkan kepen-tingan partai politiknya.

(28)

METODE PENELITIAN

(29)
(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk mengungkap permasalahan dalam penelitian ini secara holistik dan akurat, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif. Creswell (2002) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar alamiah. Selanjutnya Creswell (2002) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memang ditujukan untuk mengembangkan pemahaman akurat dan terandalkan melalui verifikasi/ pembuktian. Namun menurut Kirk dan Mill sebagaimana dikutip Maleong (2002), penelitian kualitatif secara fundamental sangat bergantung pada bagaimana peneliti mengamati berhubungan dengan orang-orang yang menjadi objek penelitian dengan bahasa dan peristilahan yang mereka pahami.

A. Teknik Sampling

Disebabkan penelitian ini ingin mengungkap faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan 6 partai politik dalam menentukan kandidat yang berhak menjadi calon legislatif di kabupaten/kota di Provinsi Riau secara akurat dan holistik, maka disusun proses penen-tuan Informan dan key informan sebagai berikut:

(31)

1. Informan dan Key Informan

Informan dan key informan dipilih dengan teknik purposive sampling. Malo & Trisnoningtias menjelaskan bahwa penarikan sampel jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan cara menentukan sendiri informan penelitiannya yang dianggap benar-benar mengetahui dan bisa mem-berikan informasi yang dibutuhkan sesuai masalah penelitian. Se-lanjutnya untuk menentukan jumlah dan karakteristik informan pe-nelitian digunakan teknik triangulasi. Neuman (2003) mengutarakan bahwa triangulasi dapat dilakukan dengan cara menarik sumberdata dari berbagai narasumber yang mempunyai perspektif, latar belakang dan karakteristik sosial yang berbeda.

Kemudian, untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang proses rekrutmen legislatif oleh partai politik, peneliti akan melakukan penelitian di 3 kabupaten atau kota yang dianggap mewakili kondisi kabupaten dan kota di Povinsi Riau selama 2 tahun. Adapun tiga daerah yang dipilih berdasarkan masyarakat provinsi Riau yang secara budaya terbagi dua yakni wilayah pesisir yang dihuni oleh masyarakat etnis melayu dan wilayah daratan yang dihuni etnis melayu Kampar, Kuantan Singingi dan etnis lainnya. Selain itu wilayah Provinsi Riau juga terdiri dari dua kota, yakni Pekanbaru dan Dumai dan 10 kabupaten yakni Bengkalis, Kepulauan Meranti, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Siak dan Pelalawan. Berdasarkan pertimbangan di atas ditarik tiga daerah yang me-wakili kabupaten dan kota di Riau:

1. Kota Pekanbaru, mewakili daerah kota dan sekaligus ibukota Provinsi Riau yang dihuni oleh masyarakat yang multietnis. 2. Kabupaten Bengkalis mewakili daerah kabupaten wilayah

pesisir beretnis Melayu.

3. Kabupaten Kampar mewakili daerah kabupaten di wilayah Riau daratan beretnis Melayu Kampar.

(32)

Tabel 2. Informan dan Key Informan Penelitian

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni : 1) Untuk mendapatkan data primer, peneliti akan melakukan wawancara mendalam dengan key informan penelitian sebagaimana tertulis dalam tabel di atas; 2) untuk mendapatkan data sekunder penelitian, penulis akan mengumpulkan dokumen berkas pencalonan anggota legislatif, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Peraturan teknis

pe-No Informan Key Informan Jumlah

1 Pengurus 6 partai politik (Partai Golkar, Partai Demokrat, PDIP,PPP, PAN dan PKS) di Tingkat Provinsi :

o Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Riau.

o Ketua DPD Partai Demokrat Propinsi Riau.

o Ketua DPD PDIP Provinsi Riau.

o Ketua DPD PPP Propinsi Riau.

o Ketua DPD PAN Provinsi Riau.

o Ketua DPW PKS Propinsi Riau.

6 Orang

2 Pengurus 6 partai politik (Partai Golkar, Partai Demokrat, PDIP,PPP, PAN dan PKS) di 3 kabupaten dan kota se-propinsi Riau :

o Ketua DPC Partai Golkar di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

o Ketua DPC Partai Demokrat di kabupaten Bengkalis , Kampar dan Kota Pekanbaru.

o Ketua DPC PDIP di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

o Ketua DPC PPP di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

o Ketua DPC PAN di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

o Ketua DPC PKS di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

18 orang

3 Pengurus 6 partai politik di 3 kabupaten kota yang gagal dalam seleksi menjadi calon legislatif dari partainya.

o 2 orang pengurus partai Golkar yang gagal menjadi calon legislatif yang tersebar di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

o 2 orang pengurus partai Demokrat yang gagal menjadi calon legislatif yang tersebar di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

o 2 orang pengurus PDIP yang gagal menjadi calon legislatif yang tersebar di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

o 2 orang pengurus PPP yang gagal menjadi calon legislatif yang tersebar di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

o 2 orang pengurus PAN yang gagal menjadi calon legislatif yang tersebar di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

o 2 orang pengurus PKS yang gagal menjadi calon legislatif yang tersebar di kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

36 orang

4 Pengurus 1 Partai politik lainnya di tingkat propinsi dan 2 pengurus partai politik lainnya di tingkat kabupaten dan kota. Partai yang dipilih adalah Partai Bulan Bintang

o Ketua DPD PBB provinsi Riau

o Ketua DPC PBB Bulan Bintang Bengkalis.

o Ketua DPC PBB Bulan Bintang Kampar

o Ketua DPC Bulan Bintang Kota Pekanbaru

4 orang

5 1 orang akademisi yang memahami pola rekrutmen Politik di Riau

o DR. Alimin Siregar 1 orang

(33)

rekrutan calon legislatif dan dokumen-dokumen lainnya yang berhubungan dengan rekrutmen calon legislatif oleh 6 partai politik yang diteliti di Kabupaten Bengkalis, Kampar dan Kota Pekanbaru.

C. Teknik Analisa Data

Proses pengumpulan data dan analisa data dalam penelitian kua-litatif menurut Meriam dalam Creswell (2002) merupakan sebuah proses yang dilakukan secara bersamaan. Oleh karena itu, semua data yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber yang majemuk berupa wawancara yang dilakukan secara berkesinambungan maupun berupa dokumen. Pada saat yang sama akan selalu berusaha diperdalam di-analisa selanjutnya akan digambarkan untuk menghasilkan interprestasi data secara tepat dan akurat. Adapun analisa data kualitatif yang akan digunakan adalah analisa data narative sebagaimana diungkapkan Neuman (2003) yang meliputi lima tahap, yakni : 1) sort and classify; 2) open coding; 3) axial coding; 4) selective coding; dan 5) interpret

& elaborate.

Sejalan dengan pendapat Neuman tersebut maka peneliti akan melakukan langkah-langkah: Pertama, melakukan pemilahan dan klasifikasi data terhadap data-data yang diperoleh dari key informan dari unsur pengurus 6 partai politik yang diteliti baik ditingkat propinsi maupun kabupaten dan kota tentang kriteria tertulis maupun tidak tertulis apa saja yang digunakan oleh partai politik dalam menentukan kandidat yang berhak menjadi calon legislatif dari partainya. Selanjutnya pada kesempatan yang sama akan digali informasi tentang ditingkat mana yang berhak menentukan dan menetapkan seseorang menjadi calon anggota legislatif dari masing-masing partai tersebut.

Kedua, peneliti akan membuat pengkodean data secara terbuka

tentang sesuai jawaban informan tentang kriteria tertulis dan tidak tertulis yang digunakan sebagai kriteria/ indikator yang digunakan partai

(34)

6 partai politik terhadap dampak penggunaan kriteria tersebut terhadap kemampuan anggota legislatif menjalankan tugasnya, maupun ke-mampuan eksistensi partai tersebut ditingkat lokal. Keempat, me-lakukan seleksi data yang telah dikodekan dengan memilih data-data yang sesuai tema dan kerangka pemikiran sehingga diperoleh se-kumpulan data yang utuh untuk diinterprestasikan. Kelima, melakukan interprestasi dan elaborasi terhadap kumpulan data sehingga dapat ditarik kesimpulan yang akurat.

(35)
(36)

KRITERIA UMUM

DAN MODEL SELEKSI

(37)
(38)

BAB IV

KRITERIA UMUM

DAN MODEL SELEKSI

A. Kriteria Umum Calon Anggota Lesgislatif

Tiga partai politik yang diteliti ditemukan memang menetapkan kriteria tertentu bagi pelamar, yaitu individu yang ingin mencalonkan diri menjadi calon legislatif melalui partai politik mereka di tingkat kabupaten/kota di Riau. Pada dasarnya kriteria umum yang disyarat-kan oleh 3 partai politik bagi orang yang ingin menjadi caleg relatif hampir sama. Namun demikian ada pula beberapa kriteria yang di-syaratkan secara berbeda oleh masing-masing partai yang diteliti. Kriteria-kriteria yang disyaratkan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kriteria yang sama-sama disyaratkan oleh 3 Partai Politik sehingga dipertimbangkan menjadi Calon Legislatif

Secara normatif baik partai Golkar, Partai Demokrat dan PDIP menyatakan bahwa mereka melakukan seleksi terhadap orang-orang yang berminat menjadi Caleg dari partai mereka. Para pelamar yang memenuhi kriteria, tampaknya telah diprioritaskan untuk ditetapkan menjadi Caleg kabupaten/kota dan berkompetisi dalam pemilu legislatif tahun 2009, yaitu:

a. Pelamar yang mendapat dukungan dari pengurus cabang partai Palamar yang mendapatkan dukungan dari pengurus cabang partai lebih diprioritaskan menjadi caleg. Ini artinya setiap pelamar perlu mendapat rekomendasi dari pengurus partai, baik ditingkat

(39)

kabupaten kota itu sendiri, rekomendasi dari pengurus tingkat lebih tinggi, misalnya pengurus partai tingkat propinsi ataupun tingkat nasional, ataupun rekomendasi pengurus yang lebih rendah misalnya tingkat kelurahan atau desa. Tanpa adanya rekomendasi dari pengurus cabang partai, bisa dipastikan pelamar tersebut tidak akan berhasil menjadi Caleg pada pemilu legislatif tahun 2009.

b. Pelamar yang mempunyai peluang menang lebih besar juga diprioritaskan

Pelamar yang diyakini memiliki massa yang luas akan diprioritas-kan menjadi caleg, sebab pelamar yang demikian adiprioritas-kan mampu men-dongkrak suara partai sehingga partai berpeluang mendapatkan lebih banyak kursi pada pemilu tahun 2009. Walaupun demikian pelamar yang bukan kader partai namun memiliki peluang mengalahkan perolehan suara kader internal partai, tidak diprioritaskan untuk menjadi Caleg. Sebab prioritas utama 3 partai tersebut tetap mengutamakan kader partainya menjadi caleg, jika ditetapkan orang luar partai yang mempunyai massa yang luas kemudian dia berhasil menjadi anggota DPRD maka loyalitasnya kepada partai diragukan oleh kalangan elit partai, yang selama ini telah merasa berjuang dan bersusah payah mem-besarkan partai. Seleksi yang dilakukan diusahakan tidak menimbulkan perpecahan di internal partai, sebab dalam menghadapi pemilu setiap partai dituntut untuk solid guna memenangkan pemilu legislatif tahun 2009.

c. Pelamar yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang politik; Individu yang mempunyai pengetahuan mendalam diprioritaskan menjadi Caleg oleh 3 partai politik tersebut. Namun kendalanya adalah 3 partai tersebut tidak memilih jumlah pelamar yang memiliki pe-ngalaman mendalam di bidang politik. Oleh karena itu, para elit partai yang menyeleksi menyadari kondisi tersebut dengan berusaha menjaring pelamar yang setidaknya mengerti tentang kondisi politik di tingkat

(40)

menjadi Caleg. Sebab biasanya pelamar yang demikian mempunyai banyak massa dan peluang terpilihnya cukup besar dalam pemilu. Namun yang menjadi masalah adalah setelah yang bersangkutan terpilih, sikapnya berubah yang tadinya peduli dengan konstituen dan daerah pemilihannya menjadi tidak peduli dengan dua hal dimaksud. Hal ini dikaitkan dengan kepribadian individu tersebut yang kurang baik dan tidak memahami tugasnya untuk memperjuangkan aspirasi konstituen di daerah pemilihannya.

e. Pelamar yang taat beragama.

Walaupun partai sekuler, 3 partai politik ini tetap diprioritaskan pelamar yang menjadi Caleg adalah individu yang taat menjalankan agama. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Caleg partai yang taat beragama mempunyai citra positif dan dapat menarik dukungan mas-yarakat. Selain itu caleg yang demikian akan dapat menarik pendukung dari kalangan umat Islam, sebab yang dipilih saat ini adalah figur atau kandidat, sehingga masyarakat Riau yang mayoritas muslim tetap tertarik memilih kandidat dari partai nasionalis. Banyaknya Caleg partai nasionalis yang taat beragama tampaknya mulai menghilangkan sekat pemisah antara partai Islam dan partai sekuler sebab karakteristik ketaatan calegnya dalam menjalankan ajaran agama hampir sama. Demikian juga sebaliknya banyak juga anggota legislatif dari partai-partai yang tidak mencermin seseorang taat beragama, ditandai dengan keterlibatan mereka dalam kasus-kasus hukum.

f. Pelamar yang memiliki kehidupan berumah tangga yang stabil. Caleg dituntut untuk mempunyai citra positif ditengah masyarakat, sebab modal tersebut sangat penting menarik massa pemilih. Pelamar yang rumah tangganya tidak stabil, banyak ditimpa isu-isu perseling-kuhan dan lain sebagainya hampir dipastikan mempunyai citra negatif ditengah masyarakat sehingga tidak dapat diandalkan mendongkrak suara partai. Pelamar yang terbukti tidak stabil kehidupan rumah ta-ngganya, tidak akan diberi kesempatan menjadi Caleg oleh 3 partai tersebut.

g. Pelamar yang berpengalaman di bidang politik dan pemerintahan Pelamar yang merupakan incumbent atau pernah menjadi anggota DPRD pada periode sebelumnya telah diprioritaskan menjadi Caleg

(41)

oleh 3 partai politik. Hal ini dikaitkan dengan anggapan mereka mem-punyai basis massa dan merupakan kader partai yang telah memmem-punyai pengalaman dibidang politik sehingga layak diberikan kesempatan untuk berkompetisi kembali pada pemilu 2009. Selain itu individu yang merupakan mantan pejabat pegawai negeri sipil juga diprioritaskan sebab dinilai telah memiliki pengalaman dibidang pemerintahan sekaligus dianggap sudah dikenal oleh masyarakat luas selama mereka menjabat, sehingga yang bersangkutan diharapkan mampu mendongkrak pe-rolehan suara partai.

h. Pelamar yang dianggap mendukung ideologi partai

Syarat mendukung ideologi partai hampir merupakan syarat mutlak bagi pelamar yang ingin menjadi Caleg di 3 partai tersebut. Sebab mereka mengutamakan kader partai yang loyal pada kebijakan partai maupun ideologi partainya. Mengetahui sejarah partai, bersusah payah dalam memperjuangkan partai merupakan bentuk loyalitas terhadap partai dan ideologinya. Dengan demikian kader yang tidak mendukung ideologi partai tentunya langsung digugur pada seleksi caleg menghadapi pemilu legislatif pada tahun 2009.

i. Pelamar yang populer di tingkat lokal atau tingkat nasional Individu yang populer di tingkat lokal dan nasional di prioritaskan dengan harapan dapat menambah perolehan suara partai. Namun demikian pada faktanya sangat jarang pelamar yang populer di tingkat lokal ataupun nasional yang mendaftar untuk caleg kabupaten kota, biasanya mereka di rekrut untuk caleg ditingkat nasional. Selain itu minat para tokoh yang populer untuk bergabung di partai juga minim termasuk untuk menjadi Caleg bahkan diantara mereka menganggap bergabung di partai akan membuat penggemar mereka menjadi berkurang. Kriteria populer disini dikerucutkan oleh para penyeleksi di 3 partai politik pada sosok kader partai yang cukup populer di daerah pemilihannya, itulah yang akan direkrut menjadi caleg partai

(42)

pada pemilu 2009. Berikut ini dirinci beberapa kriteria yang lebih diprioritaskan oleh partai Golkar dan Partai Demokrat, namun hal tersebut tidak menjadi syarat yang diprioritaskan oleh PDIP dalam menjaring Calegnya, yaitu :

a. Pelamar yang masih menjabat sebagai anggota DPRD kabu-paten/kota (calon incumbent).

Partai Golkar dan Partai Demokrat memprioritaskan pelamar yang merupakan anggota DPRD yang sedang menjabat untuk di calonkan kembali sebagai Caleg Partai pada Pemilu 2009. Hal ini salah satunya dimaksudkan sebagai penghargaan dari partai, bahwa selama yang bersangkutan menjabat sebagai anggota DPRD telah memberikan sumbangan yang berarti bagi partai baik berupa materi maupun non materi. Sumbangan dalam bentuk materi selalu diusahakan oleh incumbent di setiap helat partai bahkan sebagian gaji incumbent disisihkan untuk uang kas partai. Selanjutnya yang sifatnya non materi adalah kinerja incumbent yang cukup baik dalam memperjuangkan rakyat, membuat nama partai dikenal baik dalam penilaian pemilih. Namun demikian bagi incumbent yang selama menjabat kurang peduli dengan perjuangan partai atau berseberangan dengan elit berkuasa, peluangnya untuk maju kembali menjadi Caleg agak dibatasi.

b. Pelamar yang dinilai sanggup membiayai kampanye politik untuk kemenangan dirinya

Individu yang memiliki sumber daya yang memadai untuk meng-kampanyekan dirinya diprioritaskan menjadi Caleg oleh 2 partai ter-sebut. Hal ini berhubungan dengan perjuangan menjadi anggota legislatif membutuhkan dana yang tidak sedikit, mulai dari biaya sosialisasi diri, biaya kampanye, biaya tim sukses, biaya saksi dan lain sebagainya. Jika kegiatan-kegiatan tersebut tidak dilakukan tentunya perolehan suara partai akan sedikit, hal ini tentu akan merugikan partai tersebut. Oleh karena itu pelamar yang mempunyai biaya kampanye yang optimal untuk mengkampanyekan dirinya lebih diprioritaskan untuk direkrut menjadi Caleg oleh partai Golkar dan Partai Demokrat dibanding pelamar yang kurang mampu membiayai kampanye politiknya.

3) Pelamar yang mampu menjadi orator atau pembicara di depan umum.

(43)

Informan dari Partai Golkar dan partai Demokrat menyatakan kemampuan menjadi pembicara didepan umum diprioritaskan oleh mereka menjadi caleg di partainya. Kemampuan ini dianggap penting dalam rangka tuntutan bagi seorang yang terpilih menjadi anggota DPRD seharusnya mampu berpidato menyampaikan padangan umum fraksi dan menyampaikan aspirasi konstituen dalam rapat-rapat resmi DPRD kabupaten kota. Kemampuan yang demikian juga dapat di-manfaatkan guna membela kepentingan partai dalam arena pembuatan kebijakan di tingkat lokal. Selain itu masyarakat akan menilai kemampuan kader partai yang duduk di DPRD melalui kemampuannya berorasi pada forum-forum resmi yang masyarakat dilibatkan di-dalamnya, hal ini tentunya akan membuat citra partai positif dimata masyarakat.

4) Pelamar yang dinilai mampu memimpin

Partai demokrat dan partai Golkar juga memprioritaskan caleg yang mampu memimpin menjadi Calegnya. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak Caleg partai yang punya pengalaman memimpin organisasi baik sifatnya organisasi kemahasiswaan, kepemudaan dan organisasi underbow partai dan berbagai organisasi lainnya. Jika kader tersebut terpilih, maka harus siap dengan tugas-tugas jabatan yang sudah menunggu di DPRD, sebab dengan banyaknya jumlah anggota DPRD dari masing-masing partai tersebut di level kabupaten/ kota pada pemilu sebelumnya maka hampir dipastikan harus ada kader mereka yang siap duduk menjadi salah satu pimpinan DPRD di kabupaten/ kotanya. Oleh karena itu individu yang mempunyai kemampuan memimpin di prioritaskan oleh dua partai tersebut menjadi Caleg dari partainya.

5) Pelamar yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi juga lebih diprioritaskan dibandingkan calon dengan pendidikan rendah. Partai Golkar dan Partai Demokrat memperioritaskan Caleg yang berpendidikan tinggi, salah satu alasannya adalah seorang Caleg jika

(44)

atas. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas, menyusun anggaran dan membuat rancangan peraturan daerah, dibutuhkan pengetahuan tinggi, jika DPRD tidak memiliki pengetahuan yang tinggi maka akan sangat mudah bagi mitra kerja untuk mengelabui DPRD dalam penyusunan anggaran, pembuatan ranperda sampai pada pe-ngawasan DPRD yang tidak mungkin optimal disebabkan keterbatasan kemampuan yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat.

6) Pelamar yang memiliki kepribadian baik

Figur caleg yang memiliki kepribadian yang baik telah terbukti menjadi magnet bagi pemilih dalam menjatuhkan pilihan pada setiap pemilu. Pemilih tentunya akan mengevaluasi dan menilai Caleg yang akan dipilihnya, dengan melihat kepribadian dan kemampuan Caleg yang tersedia. Hal ini dipahami oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar bahwa figur caleg yang berkepribadian baik akan mampu mendorong pemilih untuk memilih partai mereka.

3. Kriteria tambahan yang disyaratkan

Kemudian dalam penelitian ini, ditemukan juga bahwa ada beberapa kriteria tambahan bagi individu yang ingin menjadi Caleg di Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Namun sebaliknya kriteria ter-sebut tidak dipertimbangkan oleh Partai Golkar dan PDIP, yakni :

a. Pelamar yang bersedia menyumbangkan uangnya untuk uang kas partai.

Partai Demokrat menyadari bahwa persiapan menghadapi pemilu Legislatif tahun 2009 membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut partai demokrat perlu memo-bilisasi dana dari para kader partai. Sejalan dengan itu pelamar yang bersedia menyumbangkan uangnya untuk kas partai dalam rangka membesarkan partai menghadapi Pemilu legislatif 2009, akan diper-timbangkan untuk menjadi Caleg dari partai Demokrat. Pertimbangan kesediaan menyumbang uang kepada partai, tidaklah menghilangkan kriteria yang lainnya, sebab yang diprioritaskan partai ini tetap kader yang mau menyumbangkan dana dan tenaga serta fikiran untuk mem-besarkan partai.

(45)

b. Pelamar yang berjenis kelamin laki-laki pada Pemilu 2009 Lelaki di Indonesia masih dianggap memiliki berbagai kelebihan dibidang politik dibandingkan perempuan. Selain itu, minat laki-laki menjadi Caleg terlihat lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sebagian besar partai, termasuk partai Demokrat kesulitan memenuhi syarat 30% kuota perempuan dalam Calegnya. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah perempuan yang layak dan berminat ikut terjun ke dunia politik di tingkat kabupaten kota. Jika kuota perempuan dipaksakan maka perempuan yang direkrut tidak dapat dijamin kepiawaiannya dibidang politik, sehingga perempuan di daftar Caleg terkesan sebagai pajangan atau tidak serius dan hanya sekedar upaya memenuhi syarat sesuai aturan kuota perempuan 30%.

c.Pelamar yang memiliki loyalitas tinggi terhadap elit partai Loyalitas terhadap elit partai sangat penting bagi partai demokrat, sebab sebagai partai berkuasa, demokrat tidak ingin ada anggota legislatif yang tidak loyal pada keputusan elit partai yang lebih tinggi. Jika ada anggota legislatif yang tidak loyal bahkan terkesan mengkritik pemerintah, maka hal ini akan sangat merugikan partai demokrat, sebab bisa menjadi pemicu terjadinya konflik internal di dalam partai.

Namun demikian semua kriteria tersebut di atas diterapkan secara longgar oleh 3 partai politik tersebut, baik oleh partai Golkar, Partai Demokrat maupun PDIP. Ini artinya semua kriteria yang tersebut tetap dipertimbangkan, namun ada kriteria yang lebih khusus dan paling penting yang dipertimbangkan oleh masing-masing partai tersebut. Hal ini sejalan dengan dibatasinya jumlah kuota Calon Legislatif yang boleh diajukan oleh setiap partai politik untuk tiap daerah pemilihan oleh peraturan perundangan, sementara pelamar yang mengajukan diri melebihi kuota yang tersedia. Untuk itu partai politik biasanya me-netapkan kriteria khusus untuk menyaring individu yang berminat ter-sebut dan selanjutnya menetapkan individu terter-sebut sebagai Caleg

(46)

B. Pihak Penentu Seleksi Calon Anggota Legislatif

Model seleksi Caleg menentukan siapa yang ditetapkan oleh partai politik sebagai Calegnya pada Pemilu Legislatif tahun 2009. Model seleksi disini akan memperlihat elit partai di tingkat mana yang paling menentukan bisa tidaknya seseorang terpilih menjadi Caleg di partai tersebut. Model seleksi oleh 3 Partai Politik untuk tingkat kabu-paten/kota di Provinsi Riau digambarkan pada Grafik 1 di bawah ini:

Grafik 1. Pihak Penentu Seleksi Caleg oleh 3 Partai Politik

Berdasarkan Grafik 1 tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar (hampir 90%) pihak yang menentukan penetapan seorang individu menjadi Caleg adalah pengurus kabupaten atau kota, sebaliknya sangat sedikit keterlibatan pengurus kecamatan atau tingkat propinsi dalam rekrutmen tersebut. Ini artinya model rekrutmen yang digunakan sangat terdesentralisasi, rekrutmen model ini memiliki kelebihan yakni elit partai ditingkat kabupaten kota dapat melakukan kreatifitas seleksi guna mendapatkan Caleg yang nantinya berkualitas dan mampu memper-juangkan aspirasi rakyat dan aspirasi partai. Namun demikian rekrutmen model ini memiliki kelemahan yaitu kurangnya pengawasan dan supervisi dari pengurus partai di tingkat yang lebih tinggi tentu akan memberi ruang bagi penyimpangan rekrutmen Caleg di tingkat kabu-paten dan kota.

Rekrutmen Caleg oleh partai Golkar tergambar pada keterangan Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Bengkalis, Indra Gunawan

(47)

sebagai berikut:

“Rekrutmen Caleg untuk Kabupaten Bengkalis ditentukan

oleh pengurus tingkat kabupaten. Dalam rekrutmen ini usulan dari pengurus tingkat kecamatan dipertimbangkan, serta DPD Golkar Propinsi Riau juga memberikan pandangan terhadap

rekrutmen Caleg yang kami lakukan”.

Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa penentuan/ penetapan seorang pelamar menjadi Caleg sangat terdesentralisasi pada elit partai di kabupaten/kota. Namun demikian pandangan pe-ngurus tingkat propinsi dan usulan pihak kecamatan tetap menjadi pertimbangan dalam rekrutmen Caleg Partai Golkar di Kabupaten Bengkalis.

Hal senada juga diungkapkan oleh Nur Muzammil, yang pada tahun 2009 menjabat sebagai Wakil Sekretaris PDIP DPC Kabupaten Bengkalis:

“Rekrutmen Caleg PDIP untuk kota Bengkalis dilakukan

berdasarkan usul pengurus kecamatan/desa/kelurahan namun penetapannya tetap dilakukan oleh pengurus PDIP tingkat

kabu-paten”.

Kemudian hal yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Suratiny Sulesdianingrum, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPC Demokrat Kota Pekanbaru:

“Penetapan seseorang menjadi Caleg Demokrat dilakukan

oleh pengurus Demokrat kota Pekanbaru, dengan tetap memper-timbangkan saran dan usulan dari pengurus provinsi, pengurus

kecamatan dan kelurahan”.

Berdasarkan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa pe-netapan seorang pelamar yang ingin menjadi Caleg di 3 partai Politik dimaksud pada Pemilu legislatif tahun 2009 di Riau ditentukan oleh pengurus kabupaten/kota. Hal ini menunjukan model rekrutmen yang

(48)

TIPE KANDIDAT YANG

DIPILIH DAN POTENSI

PERILAKU SETELAH

TERPILIH

(49)
(50)

BAB IV

TIPE KANDIDAT YANG DIPILIH

DAN POTENSI PERILAKU SETELAH

TERPILIH

A. Tipe Kandidat yang Dipilih

Setelah melakukan penyaringan pelamar dengan menggunakan kriteria yang umum, pada akhirnya pihak yang paling menentukan seseorang ditetapkan menjadi Caleg atau tidak pada partai tertentu akan melakukan penyaringan dengan kriteria yang lebih khusus. Pe-nyaringan akhir dengan menggunakan kriteria khusus ini pada akhirnya akan menghasilkan tipe kandidat tertentu yang dijadikan Caleg. Selanjutnya tipe kandidat yang ditetapkan akan menentukan kinerja individu tersebut setelah terpilih menjadi anggota legislatif nantinya.

Ada empat tipe kandidat yang biasanya paling diprioritaskan oleh partai untuk dijadikan Caleg dari oleh sebuah partai politik, yaitu: loyalis partai, pelayan konstituen (tokoh masyarakat yang mempunyai basis massa), pengusaha (individu yang mempunyai kedekatan dengan elit partai) dan tokoh organisasi kemasyarakatan yang berpengaruh.

Gambaran tipe kandidat yang ditetapkan oleh 3 partai politik yang dijadikan Caleg oleh 3 partai politik pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 dapat dilihat pada Grafik 2 berikut:

(51)

Grafik 2. Tipe Kandidat yang Ditetapkan 3 Partai Politik

Data dalam Grafik 2 menunjukkan bahwa sebagian besar tipe kandidat yang direkrut oleh 3 partai politik adalah tipe loyalis partai (hampir 64%), kemudian diikuti oleh tipe pengusaha (16,67%) dan tipe tokoh masyarakat yang juga (16,67%). Baik tipe loyalis partai maupun tipe pengusaha menurut Morgenstern adalah tipe kandidat yang kurang berpihak kepada rakyat, adapun tipe kandidat loyalis partai cenderung mementingkan kepentingan partai politik dibandingkan kepentingan konstituen dan tipe kandidat pengusaha juga cenderung mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan partai maupun konstituen. Dominannya tipe kandidat loyalis partai dan tipe pengusaha yang direkrut oleh partai politik sebagai Calegnya menjawab pertanyaan masyarakat tentang apa yang menyebabkan Caleg yang terpilih cenderungan kurang berpihak atau kurang peduli dengan ke-pentingan rakyat sebagai konstituennya di Riau.

B. Potensi Perilaku Setelah Terpilih

Dalam penelitian ini ditemukan pola umum rekrutmen legislatif untuk tingkat kabupaten dan kota di Riau pada Pemilu legislatif tahun

(52)

Bagan 1 : Pola Umum Rekrutmen Legislatif oleh 3 Partai Politik

Bagan 1 di atas menunjukkan bahwa proses rekrutmen legislatif sangat ditentukan oleh elit partai d itingkat kabupaten/kota. Proses seleksi dimulai ketika para penentu kebijakan dipartai menetapkan 13 kriteria umum yang perlu dimiliki oleh individu sehingga mereka dapat diprioritaskan menjadi Caleg pada 3 partai politik dimaksud. Kemudian para elit melakukan seleksi dengan ketat dengan satu kriteria kunci yakni Caleg harus kader partai maka dihasilkan Caleg dengan

Pola Umum Rekrutmen Legislatif oleh 3 Partai Politik

Kriteria Umum Individu Yang Model Seleksi Tipe Kandidat Orientasi Perilaku Dipertimbangkan Partai Politik Kandidat Setelah Menjadi Calon Legislatif Terpilih

1. Mendapat dukungan dari pengurus cabang atau organisasi pendukung partai.

2. Paling berpeluang menang dalam

Pemilu.

3. Memiliki pengetahuan mendalam

terhadap isu-isu politik.

4. Memiliki komitmen tinggi pada

daerah pemilihan.

5. Memiliki komitmen tinggi pada

konstituen pemilihnya.

6. Memiliki basis massa yang cukup

banyak.

7. Taat beragama.

8. Stabil dalam kehidupan rumah tangga. 9. Berpengalaman di bidang politik. 10. Aktif sebagai pengurus partai 11. Mendukung ideologi partai 12. Populer di tingkat local 13. Populer di tingkat nasional

Loyalis Partai Pengusaha Pelayan Konstituen Cenderung mementingkan kepentingan partai politik dibandingkan kepentingan konstituen Terdesentralisasi

ditangan elit partai ditingkat lokal dengan mekanisme jelas namun longgar dan dengan pertimbangan utama aktif di dalam partai.

Terdesentralisasi ditangan elit lokal, mekanisme tidak jelas & tidak transparan, kriteria longgar

Pengusaha Terdesentralisasi di elit lokal dengan mekanisme jelas dan transparan, dengan kriteria longgar mengutamakan hubungan yang erat dan luas dengan konstituen Cenderung mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan partai maupun konstituen Mendahulukan kepentingan konstituen (rakyat) dibandingkan kepentingan pribadi ataupun partai politik

PROSES REKRUTMEN CALON ANGGOTA LEGISLATIF YANG BERLANGSUNG DALAM INTERNAL PARTAI POLITIK; SANGAT DITENTUKAN OLEH ELIT PENENTU KEBIJAKAN DI DALAM PARTAI POLITIK ITU KANDIDAT TERPILIH MELALUI PEMILU ; DITENTUKAN OLEH PEMILIH ANGGOTA LEGISLATIF AKAN BEKERJA SESUAI DENGAN TIPE MASING-MASING INDIVIDU

(53)

tipe loyalis partai yang nanti setelah terpilih akan lebih mementingkan kepentingan partai dibandingkan kepentingan konstituen. Selanjutnya ada juga para elit partai di tingkat lokal yang melakukan seleksi dengan kriteria longgar dengan mekanisme tidak jelas maka dihasilkan Caleg dengan tipe pengusaha yang cenderung mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan partai maupun konstituen. Terakhir sebagian para elit partai di tingkat lokal yang melakukan seleksi dengan kriteria longgar dengan mekanisme jelas dengan kriteria longgar dengan pertimbangan kedekatan hubungan calon dengan masyarakat maka dihasilkan caleg dengan tipe pelayan Konstituen yang nanti setelah terpilih cenderung mendahulukan kepen-tingan konstituen (rakyat) dibandingkan kepentingan pribadi ataupun partai politik.

(54)

PENUTUP

(55)
(56)

BAB V

PENUTUP

Pola rekrutmen calon legislatif yang diterapkan oleh tiga partai politik di Riau untuk merekrut Caleg tingkat kabupaten/kota merupakan pola rekrutmen yang sangat terdesentralisasi dengan pihak penentu adalah pengurus partai politik tingkat kabupaten/kota yang kemudian menggunakan kriteria-kriteria yang longgar sehingga dihasilkan caleg yang mayoritas bertipe loyalis partai dan tipe pengusaha. Hal ini menjadi salah satu penyebab sehingga anggota legislatif yang terpilih lebih cende-rung mementingkan kepentingan partai dan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan rakyat konstituen pemilihnya.

Dalam rekrutmen legislatif tingkat kabupaten/kota, pengurus partai yang lebih tinggi baik pusat maupun provinsi perlu melakukan supervisi bagi pengurus partai di tingkat kabupaten/kota agar Caleg yang direkrut memiliki kualitas yang baik dan sebagian besar bertipe pelayan konstituen. Pengurus partai ditingkat harus terbuka dengan supervisi dari pengurus di atasnya agar hasil akhir rekrutmen caleg di hasilkan Caleg yang berkualitas dan pro rakyat. Partai di tingkat kabu-paten/kota perlu memberikan pelatihan maupun pendidikan bagi kader partai agar mampu menjalin kedekatan secara luas dengan massa pemilih. Partai politik perlu memberi ruang kepada tokoh-tokoh masyarakat yang ingin menjadi caleg dari partai mereka agar anggota legislatif yang terpilih nantinya dapat berpihak kepada rakyat.

(57)
(58)

DAFTAR PUSTAKA

Amm, Saifullah. 2003. Quo Vadis Pemilu 2004? Ciputat: Logos Wacana Ilmu.

Asfar, Muhammad dkk. 2002. Model-Model Sistem Pemilihan di

Indonesia. Surabaya: Pusat Studi Demokrasi dan HAM.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia.

———————.1998. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah

Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Creswell, John W. 2002. Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif

& Kuantitatif. Jakarta: KIK Press.

Croissant, Aurel et al (ed). 2002. Electoral Politics in Southeast &

East Asia. Singapore: Fredrich Ebert Stiftung.

Elson, R.E. 2009. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan

Gagasan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Firmanzah. 2008.Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning

Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor

(59)

Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hague, Rod & Martin Harrop. 2001. Comparative Government

and Politics: an Introduction (5 ed). New York: Plagrave.

Gjerde, Camilla. 2006. Selection of Presidential Candidates in

Africa, Asia, and Latin America. Centre for the Study of Civil

War (CSCW)-International Peace Research Institute, Oslo (PRIO)

Johannen, Uwe & James Gomez (ed). 2001. Democratic Transition

in Asia. Singapore: Select Publishing Pte Ltd.

Kartawidjaja, Pipit R & Mulyana W Kusumah. 2003. Kisah Mini

Sistem Kepartaian. Jakarta: Closs.

LeDuc, Lawrence et al (ed). 1996. Comparing Democracies:

Elections and Voting in Global Prespective. California: SAGE

Publications.

Liddle, William R (ed), 1997. Crafting Indonesian Democracy. Bandung: Mizan.

Lloyd, Grayson & Shannon Smith. 2001. Indonesia Today: Challanges

of History. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Malo,Manasse & Sri Trisnoningtias. 2009. Metode Penelitian

Masyarakat. Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial

Universitas Indonesia.

Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi

Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media

(60)

Norris, Pippa (ed). 1997. Passage to Power: Legislative Recruitment

in Advanced Democracies. Cambridge: Cambridge University

Press.

Piliang, Indra J. & T.A Legowo. 2006. Desain Baru Sistem Politik

Indonesia. Jakarta: CSIS.

Siavelis M Pieter & Morgenstern Scott. 2008. Pathways to Power:

Political Recruitment and Candidat Selection in Latin America. USA: The Pennsylvania State University Press.

Sjahrir. 2004. Transisi Indonesia Menuju Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo.

Taylor, RH. 1996. The Politics of Election in Southeast Asia. Cambridge: Woodrow Wilson Center Prees and Cambridge.

(61)
(62)

Gambar

Tabel 1. Jumlah Anggota DPRD Tingkat Kabupaten dan Kota Se- Se-Riau Pemilu Legislatif Tahun 2009 menurut Partai Politik
Tabel 2. Informan dan Key Informan Penelitian
Grafik 1. Pihak Penentu Seleksi Caleg oleh 3 Partai Politik
Grafik 2. Tipe Kandidat yang Ditetapkan 3 Partai Politik

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan pasangan usaha yang termasuk dalam kategori bermasalah atau wanprestasi, maka dilakukan tindakan penyehatan atau penyelamatan dan penyelesaian

• Menyedari kepentingan dan manfaat dari kajian seperti ini, topik ini diutarakan bagi mengaitkan P&P dan teknologi, iaitu; aplikasi atas talian khas untuk P&P bahasa yang

    Dalam melihat perkaitan antara salah laku pelajar dengan gaya keibubapaan yang diamalkan hasil kajian menunjukkan bahawa faktor gaya keibubapaan yang diamalkan oleh para ibu

Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan pemuatan nilai-nilai karakter dalam semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan dalam

Konfirmasi hasil penandaan dilakukan dengan metode kromatografi kertas menaik dengan fase diam Whatman 3MM dan fase gerak aseton serta NaCl fisiologis Hasil

Organisme yang digolongkan ke dalam perekayasa kimia meliputi bakteri, jamur dan protozoa yang bertanggung jawab terhadap proses dekomposisi bahan organik menjadi unsur-unsur hara

Posisi penolong pada tindakan piat antung na'as buatan (*P4) adalah tersebut di bawah ini- kecuali.. "aris bahu penolong seaar dengan sumbu tulang dada

Seperti halnya model Kemp, model lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan produk terkait dengan pembelajaran adalah model Pengembangan Dick &