• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KUALITATIF DAN PENDOKUMENTASIAN;

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KUALITATIF DAN PENDOKUMENTASIAN;"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KUALITATIF DAN PENDOKUMENTASIAN;

KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN HIV&AIDS 

DI 8 PROVINSI 

DKI JAKARTA, BANTEN, JAWA BARAT, SUMATERA UTARA, DIY, 

JAWA TIMUR, BALI DAN NTB

Latar Belakang 

• Temuan dalam Training SRHR :

‐ banyak sekali kasus kekerasan yang dialami oleh

anggota IPPI

‐ peserta pelatihan mengakui bahwa IPPI 

berkepentingan untuk melakukan

pendokumentasian kasus‐kasus kekerasan yang 

telah dialami oleh para anggotanya

‐ adanya kepentingan untuk mengembangkan

analisis yang memadai guna mendukung pilihan

advokasi bagi para anggota

(2)

Tujuan Studi dan Pendokumentasian

• Mencatat secara sistematis kasus kekerasan terhadap 

perempuan dengan HIV termasuk menggali alternatif baik 

litigasi maupun nonlitigasi.

• Mengidentifikasi sejauh mana perempuan dengan HIV 

memahami dan mendefinisikan kekerasan terhadap 

perempuan di Indonesia

• Menggali faktor‐faktor penyebab terjadinya kekerasan, 

termasuk pelaku kekerasan dan tanggapan orang terdekat 

terkait kekerasan yang dialami perempuan dengan HIV

• Mengetahui sejauh mana perempuan dengan HIV 

mengalami kekerasan berdasarkan status HIV, termasuk 

kerugian, karakteristik sosial dan upaya pemecahan 

masalah yang dilakukan

(3)

Hasil dan Temuan

Data Demografi

(4)

Sumber: hasil pengolahan data

(5)

Apa yang bisa kita lakukan bersama menghadapi FAKTA bahwa, 

Perempuan Positif:

• Mendapatkan Kekerasan secara Fisik, Psikis, Sexual, 

dan Ekonomi??

“...dijidat, ditendangin ke jidatku, maksude ya diadu gitu kalo gak gitu  dijambak, dan dia tu mengancam, ngancemnya tu pakai pisau, pakai pistol,  pakai samurai dan seperti itu terus...” (Wawancara DIY)

• Pelaku kekerasan adalah pasangan/ pengguna 

napza??

“Saya gak habis pikir apa orang‐orang narkoba itu seperti itu ya?....setiap dia  mabok saya pasti dikerjain sampai pagi, disodomilah… saya cape…saya  ingin derita saya hilang semuanya…( terisak‐isak ) setiap saya disodomi  saya menangis…batin saya sakit…apakah harus begini melayani  suami…sudah mencari uang sendiri...” (Wawancara NTB)

• Status HIV menjadi alasan tidak melapor??

“dah tau penyakitan gitu kamu harusnya insyaf, kadang di depan orang  ngomongnya, padahal saya kan tertular dari dia juga..” (Wawancara Jabar)

• Anak menjadi bahan pertimbangan??

“...pada waktu dia umur 3 tahun, pelampiasannya keanakku, anakku tuh dipukul,  dimasukin kekamar mandi, tangannya diiket lakban, dicelupin ke bak,  lampunya dimatikan, dikunciin,aku itu gatau...” (Wawancara Jawa Timur) “karena status dia orang terdekat kita sebagai suami. Gw kasihan ama dia, kalau  dia masuk penjara yah kasihan sama anak gw juga” (Wawancara Jakarta)

• Anggapan bahwa ini urusan domestik??

“saya diikat mau diarak‐arakan ke masyarakat, diikat ketiang listrik, “ tolong” minta tolong, pas say sudah minta tolong sama warga, warga jg ga bisa ngomong apa‐apa,  karena maslah rumah tangga orang mungkin ya...” (Wawancara Sumatera Utara) Apa yang bisa kita lakukan bersama menghadapi FAKTA bahwa, Perempuan  Positif:

(6)

Integrasi Layanan HIV/AIDS dan 

Kekerasan terhadap Perempuan 

yang hidup dengan HIV di DKI 

Jakarta dan Sumatera Utara

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Result in Health (RiH) Pusat Penelitian HIV dan AIDS – Unika Atma Jaya (PPH) Didukung pendanaanya oleh UN Trust Fund

Masalah yang belum banyak digali 

dalam keterkaitan kekerasan dan HIV

• Kekerasan yang disebabkan karena status HIV:

– Prevalensi kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan 

HIV (PDHA) lebih tinggi dari pada perempuan pada 

umumnya (Bogart et al, 2005; )*

– Saat didiagnosis HIV perempuan lebih banyak mengalami 

kekerasan dari pasangan atau dari pihak lain (Gielen et al, 

2000)

– Jenis kekerasan yang dialami oleh PDHA sangat beragam 

(fisik, seksual, psikis, ekonomi, diskriminasi status HIV, 

sterelisasi yang dipaksakan) (IPPI, 2012)

• Kebutuhan layanan bagi PDHA yang mengalami 

kekerasan sesuai dengan tahapan hidupnya (Williams, 

2003)

(7)

Karakteristik Informan

PHDA

• Usia: 19 – 41 tahun • Pendidikan:  – SD: 3 orang – SMP: 5 orang – SMA: 10 orang – PT: 2 orang • Status pernikahan  saat ini: – Menikah: 12 orang – Janda: 5 orang – Lajang: 3 orang • Pekerjaan: – Karyawan: 6 – Dagang:  3 – Pekerja Seks: 3 – Ibu Rumah tangga: 7 – Tidak bekerja: 1 • Jumlah Anak:  – Menikah: 0‐5 anak – Janda: 0‐2 anak

Penyedia Layanan

• Lembaga: – RS: 2 – Polisi: 2 – PKM: 4 – SKPD: 3 – LSM 6 – Stakeholder: 3 • Jabatan: – Direktur: 3 – Konselor: 3 – Manajer Kasus: 3 – PP HIV: 5 – Kasi: 2 – Admin 1 – Koordinator: 1 – Kabid Monev: 2 • Fokus Layanan/Bidang Kerja: – Kekerasan: 10 – HIV: 7 – Stakeholder HIV: 3

Penyebab terjadinya kekerasan

Masa Kecil • Ketidakpatuhan terhadap orang tua • Situasi ekonomi keluarga memburuk • Keluarga pecah • Penggunaan alkohol Dalam Rumah  Tangga • Tidak mau bertanggungjawab terhadap  keluarga (pasangan tidak memiliki pekerjaan) • Minta uang • Ingin pisah • Hubungan dengan orang ketiga • Penggunaan alkohol atau napza • Penerimaan keluarga Status HIV • Mengakses layanan

(8)

Masa Kecil

• Bandel jadi wajar jika dipukul

Rumah 

Tangga

• Pasangan sedang capek

• Spontan

• Pasangan sudah memberikan nafkah

• Dosa kalau tidak melayani suami

• Melayani seks adalah kewajiban istri

Publik

• Kalau pakai kondom yang jangan 

dipaksa kan namanya dibayar

Status HIV 

(Layanan)

• Kesalahan diri karena tidak membuka 

status

Respon terhadap kekerasan 

(dalam rumah tangga)

• ‘Menerima’ ketika terjadi kekerasan

• Tidak berani mengeluh karena lebih 

baik memikirkan keluarga (anak)

• Santai saja, tidak daianggap serius

• Menghindar agar tidak menjadi lebih 

buruk

• Melawan ketika terjadi kekerasan

• Melakukan kekerasan terlebih dahulu 

sebelum pasangan melakukannya

• Melarikan diri untuk menghindari 

kejadian berulang

Ada variasi respon  terhadap kekerasan  ini berdasarkan  karakteristik PDHA: ‐ Ibu Rumah Tangga ‐ Pekerja Seks ‐ Pecandu/Pecandu  yang sudah pulih

(9)

Tindakan setelah kekerasan terjadi

• Lapor polisi

– Dicabut laporannya karena anak‐anak masih kecil

– Tidak diteruskan karena dianggap masalah keluarga

– Tidak diteruskan karena perlu biaya untuk visum

• Tidak melakukan apa‐apa

– Karena masih masih cinta dengan pasangan

– Tidak melaporkan karena takut statusnya diketahui

• Tidak mencari bantuan medis atau psikologis

– Tidak tahu informasi

– Bisa diobati sendiri

Hambatan untuk Memanfaatkan 

Layanan

• Tidak tahu kebutuhan layanan: tidak merasa bahwa yang 

dialami adalah salah satu bentuk kekerasan (hal yang 

dianggap biasa) sehingga mencoba untuk mencari layanan

• Tidak memperoleh informasi tentang layanan yang ada 

(layanan kekerasan)

• Tidak diijinkan pasangan untuk mengakses layanan

• Khawatir tidak memperoleh perawatan yang semestinya 

karena statusnya (berdasarkan pengalaman sendiri atau 

mendengar cerita dari teman)

• Status HIV membuat enggan mengakses layanan kekerasan 

karena takut ketahuan statusnya. 

(10)

Layanan HIV

• Fokus hanya pada layanan HIV  (pencegahan atau perawatan  dan pengobatan) • Tidak tersedia layanan  kekerasan sebagai layanan  lterkait dengan layanan HIV • Belum pernah memberikan  layanan terkait kekerasan yang  dialami oleh PDHA • Melakukan rujukan informal  (personal) ke layanan  kekerasan (P2TP2A)

Layanan Kekerasan

• Fokus pada layanan hukum dan  psikologis dari kasus kekerasan  pada perempuan dan anak • Kasus terbanyak yang ditangani  adalah KDRT • Belum pernah menangani kasus  kekerasan pada PDHA • Tidak fokus pada HIV karena ada  dinas kesehatan atau belum jadi  fokus lembaga • Belum memasukkan kekerasan  pada PDHA dalam materi sosialisasi  anti kekerasan • Pernah melakukan rujukan informal  (personal)

Penyediaan Layanan Terintegrasi

Belum tampak ada layanan yang terintegrasi bagi PDHA yang  mengalami kekerasan • Kekerasan atau HIV belum menjadi agenda dalam kebijakan AIDS  atau anti kekerasan di daerah (belum mengidentifikasikan secara  rinci keterkaitan kekerasan dengan penularan HIV atau sebaliknya) • Fokus pada masing‐masing mandat lembaga sesuai dengan  ketersediaan dana untuk kegiatan pendukungnya • Belum ada prosedur di tingkat layanan untuk menilai pengalaman  kekerasan dalam layanan HIV demikian pula sebaliknya • Keterbukaan klien dinilai sebagai dasar untuk memberikan  pelayanan • Meski secara pemahaman merupakan hal yang penting untuk  memberikan layanan kekerasan dan HIV secara terintegrasi tetapi  keterbatasan kapasitas dan staf tidak memungkinkan itu dilakukan • Ada layanan yang ada ditutup karena tidak ada yang ditugaskan lagi

(11)

Kesimpulan

• Kekerasan (seksual, fisik, psikis dan ekonomi) pada PHDA terjadi dari  waktu ke waktu mulai dari masa kecil, masa pacaran, menikah, memiliki  anak, menjanda dengan pelaku utamanya adalah pasangan dekatnya • Perubahan situasi kekerasan pada PHDA ketika mereka mengalami  kejadian penting (pisah, menikah, memiliki pekerjaan, pindah) • Kekerasan yang dialami oleh PHDA belum menjadi perhatian penting bagi  mereka karena kutuhan keluarga, hubungan emosional, kepentingan anak  dan kepentingan ekonomi masih menjadi perhatian yang lebih penting  bagi PHDA • Layanan anti kekerasan terhadap perempuan yang tersedia masih belum  mampu dimanfaatkan oleh PHDA: – persepsi terhadap kekerasan yang dialami,  – kurangnya informasi,  – ketakutan untuk mengungkap pengalaman yang dialami karena terancam  terungkapnya status HIV atau pekerjaan.  – Hambatan dari pasangan atau keluarganya

Kesimpulan

• Layanan yang terintegrasi bagi PHDA yang mengalami kekerasan  belum bisa dilihat ujudnya karena: – Isu keterkaitan kekerasan dan AIDS belum menjadi agenda kebijakan di  daerah itu – Fokus pada mandat karena terkait dengan penganggaran yang  mendukung layanan tersebut – Belum ada prosedur formal yang menilai pengalaman kekerasan pada  layanan HIV atau risiko penularan HIV akibat kekerasan pada layanan  kekerasan – Ketersediaan tenaga menjadi kendala klasik yang mendukung tidak  tersedianya layanan yang terintegrasi • Ada potensi dan keinginan dari  penyedia layanan untuk  menyediakan layanan terintegrasi bagi PHDA yang mengalami  kekerasan dengan bentuk integrasi struktural dan integrasi  fungsional yang masing‐masing memiliki konsekuensi kebijakan dan  administratif

(12)

• Tidak membebankan perubahan atas situasi kekerasan hanya pada  PHDA, perlu dukungan untuk menyikapi konteks terjadinya  kekerasan – Membangun keyakinan dan modal sosial PHDA agar memiliki kapasitas  untuk memanfaatkan layanan – Memperkuat perluasan, keterjangkuan dan kualitas layanan anti  kekerasan khususnya bagi kelompok yang terstigma (PHDA, pekerja  seks, pecandu) – Memperkuat jaminan sosial (dalam bebagai bentuk) bagi kelompok  miskin sebagai strategi untuk mengurangi kekerasan terhadap  perempuan • Perlunya untuk mendengar pengalaman PDHA untuk merumuskan  kebijakan pengembangan layanan yang terintegrasi • Upaya untuk mendorong integrasi layanan bagi PDHA perlu  dibarengi dengan peruban kerangka pikir secara programatik  (sektoral  multisektoral)

Rekomendasi

Untuk membangun integrasi layanan bagi PHDA yang 

mengalami kekerasan maka beberapa hal yang perlu 

dilakukan:

• Kemeneg PPA

– Program anti kekerasan terhadap perempuan harus 

mempertimbangkan HIV sebagai sebab dan akibat dari 

kekerasan. Bukti bahwa prevalensi kekerasan lebih banyak 

dialami oleh PHDA dari pada perempuan pada umumnya

• Kementerian Kesehatan

– Penerapan strategi Layanan Komprehensif dan 

Berkesinambungan seharusnya memasukkan komponen 

layanan kekerasan bagi PHDA atau populasi perempuan 

lain yang dinilai rentan terhadap penularan HIV 

(13)

Rekomendasi

• Organisasi Masyarakat Sipil atau Organisasi Berbasis Masyarakat – Program dan pendaan yang mendukung kegiatan program selama ini  seharusnya tidak bisa dikompromikan dengan upaya untuk memenuhi  kebutuhan konstituennya terhadap pencarian upaya kesehatan atau  perlindungan hukum. • Pemerintah Daerah – Sesuai dengan UU 23 tahun 2014, kesejahteraan dan kesehatan  merupakan urusan wajib bagi pemerintah daerah sehingga perlu  untuk memberikan komitmen politik dan anggaran yang lebih besar  untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan terhadap perempuan  termasuk PHDA.  – Fungsi BPPM/BPMKB/Badan PPA sebagai koordinator untuk  penanganan kekerasan perempuan perlu diperkuat agar mampu  mendorong peran SKPD dan masyarakat dalam upaya mengurangi  kekerasan terhadap perempuan secara lebih terpadu

TERIMA KASIH

Jangan ada lagi perempuan HIV Positif yang harus meneteskan air mata dan darah karena dianggap tidak ada dan HAK nya diabaikan. HARUS !!

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015, kecenderungan jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan pegawai negeri sipil (PNS)

Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2012, rate kasus baru HIV/AIDS di Kota Binjai. adalah 6 per

Berita dalam Media Online Berbasis Media Cetak (Studi Kasus Tempo Newsroom).Jakarta: Universitas Indonesia.. Universitas

JAWA TIMUR JAWA TENGAH JAWA BARAT LAMPUNG BALI NUSA TENGGARA BARAT DKI JAKARTA SULAWESI UTARA BANTEN SUMATERA SELATAN NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT SUMATERA UTARA

Jawa Timur DKI Jakarta Sulawesi Selatan Jawa Tengah Jawa Barat Kalimantan Selatan Sumatera Utara Sumatera Selatan Bali Papua Sulawesi Utara Nusa Tenggara Barat Banten Kalimantan

Jawa Timur DKI Jakarta Sulawesi Selatan Jawa Tengah Jawa Barat Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Sumatera Utara Bali Papua Sulawesi Utara Nusa Tenggara Barat Banten Kalimantan

Prakiraan SPBK untuk tanggal26 Juni 2016, menunjukkan sebagian besar wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, Banten, DKI

Prakiraan SPBK untuk tanggal25 Juni 2016, menunjukkan sebagian besar wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, Banten, DKI