• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS PEMBOHONGAN PUBLIK DALAM IKLAN ROKOK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS PEMBOHONGAN PUBLIK DALAM IKLAN ROKOK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI OLEH :"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH : DEWI RISTYANINGRUM NPM : 12120028

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA

SURABAYA

(2)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya

OLEH :

DEWI RISTYANINGRUM NPM : 12120028

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA

SURABAYA

(3)
(4)
(5)

iv Hajar Dewantara

”Ilmu itu diperoleh dari lidah yang gemar bertanya serta akal yang suka berpikir”, -Abdullah bin Abbas

(6)

v

Segala puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahNya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan lancar dan tepat waktu. Dan kepada Rasulullah SAW yang menjadi tauladan dalam kehidupan di dunia dan juga kehidupan di akhirat nanti.

Kepada kedua orang tuaku tercinta Maryono dan Maria Riatiningsih yang selalu memberikan dukungan sehingga membangkitkan semangat untuk menempuh jenjang pendidikan Strata-1 meskipun pernah terhenti selama satu tahun. Semoga saya selalu menjadi anak yang mampu membanggakan kalian. Terima kasih selalu mendoakan yang terbaik untukku selama ini.

Kepada dosen pembimbing yang sangat luar biasa, Dr. H. Taufiqurrahman, S.H., M.Hum karena beliau yang telah memberikan banyak inspirasi dalam proses penulisan skripsi. Terima kasih juga karena beliau yang menjadi awal mula untuk mendapatkan ide dalam menentukan tema skripsi ini.

Kepada seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra yang berhasil membuat saya jatuh cinta pada ilmu hukum.

Kepada kakakku satu-satunya Wahyu Agung Pratama yang selama ini membantu saya dalam hal pekerjaan dan perkuliahan meskipun terkadang lebih mementingkan organisasinya daripada saya. Adik-adikku Anggun Puspitasari, Dimas Adji Permana, Surya Adi Kusuma, dan Rindu Dewi Kinanti yang selalu berisik dan menganggu disaat saya sedang mengerjakan skripsi tetapi selalu menjadi alasan bagiku untuk sukses dalam hidup ini.

(7)

vi

bahwa saya bukan orang yang pandai tetapi selalu bisa membangkitkan lagi semangat saya ketika saya merasa putus asa. Terima kasih untuk setiap dukungannya selama ini.

Kepada teman-teman terbaikku di PT Simojoyo Engineering, Virinda Luista, Ryan Ami, Andri Wijaksono, dan Teguh Riyanto yang selalu memahami saya yang sering izin pulang lebih awal dalam proses pengerjaan skripsi dan telah menjadi rekan kerja terbaik selama ini.

Kepada teman terbaikku di Universitas Wijaya Putra Surabaya, Syahriatur Rahmah yang sebenarnya tidak membantu tetapi karena dia menuliskan nama saya di halaman persembahan skripsi sehingga saya juga harus melakukan hal yang sama.

Kepada teman-teman seperjuanganku, mahasiswa fakultas hukum angkatan 2012 yang selama ini menjadi teman berbagi, terima kasih menjadi teman terbaik selama empat tahun ini. Saya pasti akan sangat merindukan kalian dan semoga kita semua lulus di tahun ini dan dapat sukses sesuai dengan harapan kita masing-masing.

(8)

vii

hidayahNya, skripsi “Tinjauan Yuridis Pembohongan Publik Dalam Iklan Rokok Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen” dapat selesai dengan tepat waktu. Shalawat serta salam yang selalu terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi tauladan bagi seluruh umat muslim di dunia.

Terima kasih untuk kedua orang tua yang selalu medukung dan menjadi semangat untuk segera menyelesaikan skripsi. Tidak lupa ucapan terima kasih yang sangat spesial untuk dosen pembimbing yang sangat luar biasa, Dr. H. Taufiqurrahman, S.H., M.Hum. karena beliau yang telah memberikan banyak inspirasi dalam proses penulisan skripsi.

Awal mula ide untuk menulis skripsi ini setelah membaca buku Dari

Dissenting Opinion Menuju Living Constitution (Pemikiran Hukum Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H Hakim Konstitusi Periode 2008-2013) karya dari Prof. Dr.

Achmad Sodiki, S.H. Buku ini diberikan oleh Dr. H. Taufiqurrahman, SH., M.Hum. pada saat beliau menjadi dosen pengajar pada mata kuliah Hukum Acara Peradilan Mahkamah Konstitusi.

Ketertarikan pada dissenting opinion dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran membuat semakin yakin untuk menulis skripsi tentang polemik iklan rokok berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia. Pemikiran pada dissenting opinion tersebut memberikan

(9)

viii

Skripsi ini merupakan karya yang dihasilkan dari usaha yang sangat maksimal yang dapat diberikan, akan tetapi tentunya masih ada kekurangan sehingga kritik dan saran diperlukan untuk penyempurnaan agar skripsi ini menjadi lebih baik dan bermanfaat.

Surabaya, 11 Agustus 2016

(10)

ix

Halaman Judul i

Halaman Persetujuan Pembimbing ii

Halaman Pengesahan iii

Motto iv

Halaman Persembahan v

Kata Pengantar vii

Daftar Isi ix

Bab I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 11

1.3 Penjelasan Judul 11

1.4 Alasan Pemilihan Judul 12

1.5 Tujuan Penelitian 13

1.6 Manfaat Penelitian 13

1.7 Metode Penelitian 13

1.8 Sistematika Pertanggungjawaban 16

(11)

x

2.3 Bentuk-bentuk Informasi Iklan yang Menyesatkan 22

2.4 Pengaturan Hukum Tentang Iklan di Indonesia 24

2.5 Pengaturan Perundang-undangan yang Mengatur Tentang Iklan Rokok 30

2.6 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia 32

Bab III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBOHONGAN PUBLIK DALAM IKLAN ROKOK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 38

3.1 Pembohongan Publik Dalam Iklan Rokok Dalam Prespektif Hukum Pidana dan Hukum Perdata 38

3.2 Pembohongan Publik Dalam Iklan Rokok Ditinjau dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 44

3.3 Penegakan Hukum Terhadap Pembohongan Publik Dalam Iklan Rokok Ditinjau dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 47

Bab IV PENUTUP 55

4.1 Kesimpulan 55

4.2 Saran 57

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Iklan merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk mempromosikan barang atau jasa kepada masyarakat umum. Iklan dapat terdapat pada media cetak, media elektronik maupun media luar ruang. Siaran iklan menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2002 adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Periklanan diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Adapun mengenai iklan yang diatur terdapat iklan yang dilarang. Dalam hal ini kedua Undang-undang tersebut memiliki persamaan tentang iklan yang dilarang, yaitu promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain; promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif; promosi rokok yang memperagakan wujud rokok; hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun (hanya ada dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran).

Pada umumnya iklan bersifat persuasif, yang artinya membujuk secara halus untuk meyakinkan konsumen agar tertarik untuk membeli produk yang

(13)

dipromosikan. Tidak jarang pelaku usaha yang mengelabuhi konsumen dengan kiat promosi yang digunakan untuk mengelabuhi konsumen. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung telah menunjukkan itikad tidak baik ketika menjalankan usahanya maka sangat diperlukan upaya hukum untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang seharusnya diterima oleh konsumen agar konsumen tidak selalu menjadi korban dan dirugikan oleh pengusaha yang menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan yang besar.

Menurut Prof. Hans W. Micklitz, seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26-30 Oktober 1998, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu konsumen yang terinformasi (well-informed) dan konsumen yang tidak terinformasi.1 Ciri-ciri tipe konsumen yang terinformasi (well-informed), antara lain (1) memiliki tingkat pendidikan tertentu, (2) mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar, dan (3) bertanggung jawab. Dengan memiliki tiga potensi tersebut, maka konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan. Tipe konsumen yang kedua memiliki ciri-ciri, antara lain (1) kurang berpendidikan, (2) termasuk kategori kelas menengah ke bawah, dan (3) tidak lancar berkomunikasi. Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab Negara untuk memberikan perlindungan. Selain itu, anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib

1

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 20, dikutip dari “RUUPK di Mata Pakar Jerman”, Warta Konsumen Tahun XXIV No.12, Desember 1998.

(14)

dilindungi oleh Negara karena semakin besar resikonya untuk menjadi korban dalam penyesatan iklan.

Perlindungan Negara terhadap konsumen diwujudkan dengan adanya suatu hukum perlindungan konsumen. Menurut Prof. Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan.2 Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak katas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan). Perlindungan konsumen di Indonesia masih tertinggal, tidak hanya dibandingkan dengan Negara-negara maju bahkan juga dengan Negara sekitar Indonesia seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura. Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru benar-benar dipopulerkan sekitar 20 tahun yang lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).3 Perkembangan baru di bidang perlindungan konsumen yaitu ketika diundangkannya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK). Peran terbesar dalam lahirnya UUPK adalah cukup kuatnya tekanan dari dunia Internasional. Setelah Pemerintah RI mengesahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), maka ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti standar-standar hukum yang berlaku

2

Ibid., hal. 49.

3

(15)

dan diterima luas oleh Negara-negara anggota WTO. Salah satu diantaranya adalah perlunya eksistensi UUPK.4

Menurut Az. Nasution hukum perlindungan konsumen merupakan aturan yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Hukum perlindungan konsumen juga diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.5 Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Az. Nasution, hukum perlindungan konsumen mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen, artinya tujuan dari hukum perlindungan konsumen diperuntukkan bagi kepentingan konsumen. Tujuan perlindungan konsumen menurut pasal 3 UUPK, yaitu meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Membahas mengenai hukum perlindungan konsumen maka berikut ini terdapat

4

Ibid., hal. 43.

5

(16)

beberapa pengaturan perlindungan konsumen, yang dilakukan dengan cara, yaitu menciptakan sIstem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum bagi konsumen; melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya; meningkatkan kualitas produk barang dan pelayanan jasa kepada konsumen; memberikan perlindungan hukum kepada konsumen dari berbagai macam praktik usaha yang menipu dan menyesatkan; serta memadukan penyelenggaran, pengembangan, dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.6

Salah satu bidang yang sangat erat kaitannya dengan perlindungan konsumen adalah industri periklanan. Iklan-iklan pada media massa memberikan pengaruh besar bagi penonton yang semula merupakan calon konsumen berpindah menjadi konsumen. Permasalahannya muncul ketika informasi dalam iklan tidak sesuai dengan kenyataan produk barang atau jasa yang dikonsumsi sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konsumen karena adanya iklan yang menyesatkan. Dari permasalahan tersebut terlihat sangat pentingnya peran dari hukum perlindungan konsumen untuk melindungi hak-hak konsumen. Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); hak untuk memilih (the right to choose); dan hak untuk didengar (the right to be heard). Empat hak tersebut diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU)

6

Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2015 hal. 9, dikutip dari Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, 2008.

(17)

menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.7 Sedangkan YLKI memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen.8 Hak konsumen juga disebutkan dalam Pasal 4 UUPK, yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang digunakan; hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; serta hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam perlindungan konsumen mengenai iklan yang beredar di Indonesia adalah mengenai iklan rokok. Iklan rokok dapat tersebar secara bebas pada televisi, media cetak bahkan pada

7

Shidarta, op.cit., hal. 16.

8 Ibid., dikutip dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Panca Hak Konsumen,

(18)

baliho-baliho jalan raya yang dapat dilihat oleh semua golongan dan semua usia. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, iklan rokok merupakan iklan paling menipu di antara iklan-iklan produk lainnya. Sebab menurutnya, apa yang diiklankan dalam rokok tak sesuai dengan yang sebenarnya.9 Pada umumnya memang apa yang digambarkan pada iklan rokok tidak sesuai fakta. Menurut Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, dalam iklan rokok dilarang memuat materi untuk merangsang atau menyarankan orang untuk merokok. Akan tetapi sesuai dengan tujuan awal dari suatu iklan niaga adalah untuk mempromosikan suatu produk. Disadari atau tidak didalam iklan rokok terdapat unsur fiktif yang justru cenderung menyesatkan dan telah melanggar hak konsumen. Iklan rokok banyak memberikan kesan maskulin tergolong "subliminal

messages in advertising". Subliminal Messages adalah sebuah pesan

tersembunyi yang disisipkan pada objek-objek atau media-media tertentu, pesan ini bertujuan untuk mempengaruhi pikiran bawah sadar konsumen. Dengan kata lain, sebenarnya iklan rokok sudah memberikan suatu rangsangan dan dorongan untuk merokok sehingga perlindungan konsumen oleh Negara harus diwujudkan secara nyata agar konsumen tidak menjadi korban dalam penyesatan iklan.

Dampak dari penyesatan iklan rokok yang memprihatinkan adalah semakin banyaknya konsumen rokok. Kajian iklan rokok di televisi tahun 2012 menemukan iklan rokok memengaruhi persepsi remaja tentang rokok dan perilaku merokok. Di Indonesia 92 persen remaja putri pernah melihat iklan rokok, dan memiliki kemungkinan dua kali lipat untuk merokok dibanding mereka

9

“YLKI: Iklan Rokok Paling Menyesatkan Konsumen”

<news.metrotvnews.com/read/2015/06/03/401702/ylki-iklan-rokok-paling-menyesatkan-konsumen>, diunduh pada 25 Juni 2015 pukul 13:41 WIB.

(19)

yang kurang paparan pesan rokok. Fakta menunjukkan, rokok tidak hanya membahayakan kesehatan anak, tetapi juga meningkatkan prevalensi perokok anak. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2010 menyebutkan perokok usia di bawah lima tahun (balita) ditemukan hampir di seluruh Indonesia. Survei Sosial Ekonomi Nasional menunjukkan 70 persen perokok di Indonesia mulai merokok sebelum usia 19 tahun.10 Menurut Menteri Kesehatan RI, konsumsi rokok merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, stroke, kanker, penyakit paru kronik dan diabetes mellitus dan merupakan penyebab penyakit utama di dunia, termasuk di Negara Indonesia. Konsumsi rokok membunuh satu orang setiap detik. Penelitian epidemiologi tembakau di dunia menunjukkan tembakau membunuh lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini berlanjut, diperkirakan terjadi 10 juta kematian di tahun 2020.11 Upaya pemerintah untuk menyadarkan masyarakat bahwa betapa bahaya dikonsumsinya rokok sudah cukup jelas. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, maka ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) tentang Tata Laksana Pengawasan Produk Rokok yang Beredar dan Iklan. Hal ini guna melindungi masyarakat dari informasi pada lebel/kemasan produk termasuk iklan dan promosi yang tidak benar, merugikan dan menyesatkan.12 Namun upaya tersebut

10

“Anak Indonesia Di Bawah Ancaman Iklan Rokok”

<www.antaranews.com/berita/440680/anak-indonesia-di-bawah-ancaman-iklan-rokok>, diunduh pada 2 Juli 2015 pukul 14:46 WIB.

11

Novia Musdalifah, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Rokok Filter Yang Tidak

Tercantum Nomor Registrasi BPOM Pada Kemasannya”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, Makassar, 2013, hal. 1, dikutip dari “Merokok Membahayakan Kesehatan dan

Merugikan Perekonomian Masyarakat” <www.depkes.go.id>.

12

(20)

terlihat sebagai “tong kosong” yang tidak ada artinya mengingat bahwa iklan rokok yang menyesatkan masih menjadi hal yang legal di Indonesia sehingga dampak dari penyesatan iklan masih berlangsung secara terus-menerus.

Menurut dissenting opinion pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 46 ayat (3) huruf c Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang memperbolehkan siaran iklan niaga rokok selama tidak memperagakan wujud rokok bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan 28F UUD 1945 karena cukup beralasan dan berimbang antara perlindungan kepentingan produsen rokok masa kini dan kebutuhan masyarakat untuk hidup sehat. Dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan adanya iklan rokok yang masih tersebar di media dan tempat yang dapat dijangkau oleh khalayak umum dan informasi yang tidak sesuai dengan yang diamanatkan dalam konstitusi dan telah mendorong dan bepengaruh bagi remaja bahkan anak-anak yang merupakan generasi bangsa agar menjadi perokok dan akan terkena dampak merokok yang melanggar hak-hak konstitusional remaja dan anak-anak tersebut berupa hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian tentunya bertentangan pula dengan pasal Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Memperbolehkan siaran niaga iklan rokok juga bertentangan dengan konsep negara kesejahteraan. Negara berkewajiban untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia baik generasi sekarang maupun generasi di masa yang kan datang dari ancaman bahaya merokok yang tidak hanya berdampak pada perokok aktif

(21)

tetapi juga pada perokok pasif. Dengan melegalkan iklan rokok sama halnya negara tidak sepenuhnya berkehidupan berlandaskan pada konstitusi karena negara telah melalaikan kewajibannya dalam melindungi, menjamin, dan memenuhi hak-hak konstitusional masyarakat dalam hal ini hak untuk hidup sesuai pasal 28A UUD 1945.

Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terdapat suatu ketidaksinambungan antara pasal mengenai promosi rokok dengan pasal lain yang saling berhubungan yang menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Disebutkan pada Pasal 46 ayat (3) huruf b bahwa dilarang untuk mempromosikan minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif sedangkan pada Pasal 46 ayat (3) huruf c memperbolehkan promosi rokok selama tanpa memperagakan wujud rokok. Padahal menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, didalam rokok terdapat kandungan nikotin dan tar. Menurut peraturan Pemerintah tersebut nikotin termasuk dalam zat yang bersifat adiktif dapat menyebabkan ketergantungan dan tar adalah senyawa yang bersifat karsinogenik. Sehingga dapat disimpulkan rokok merupakan zat adiktif dan seharusnya mempromosikan rokok merupakan hal yang dilarang sesuai dengan Pasal 46 ayat (3) huruf b. Akan tetapi larangannya dalam Pasal 46 ayat (3) huruf c hanya sebatas menampilkan wujud rokoknya sementara iklan rokoknya tetap dilegalkan. Padahal hanya dengan larangan untuk menampilkan wujud rokok tidak mengurangi penyesatan terhadap iklan rokok. Pelaku usaha justru berbondong-bondong untuk menampilkan iklan rokok yang kreatif sehingga tetap dapat menarik minat konsumen untuk mengkonsumsi rokok yang jelas berbahaya dan mengadung zat adiktif. Menimbulkan suatu kesimpulan bahwa percuma terdapat

(22)

peringatan berbahaya mengenai iklan rokok tetapi promosi iklan rokok masih tersebar secara luas di media dan tempat yang dijangkau oleh khalayak umum baik tipe konsumen yang terinformasi (well-informed) maupun tipe konsumen yang tidak terinformasi. Perlindungan terhadap konsumen akibat dari adanya penyesatan di dalam iklan rokok merupakan tanggung jawab Negara karena Negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya sebagaiman yang diamanatkan dalam konstitusi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan diatas, maka permasalahan pokok yang dibahas dalam skripsi “Tinjauan Yuridis Pembohongan Publik Dalam Iklan Rokok Apabila Dikaitkan Dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan hukum tentang iklan rokok di Indonesia?

b. Bagaimana penegakan hukum terhadap pembohongan publik dalam iklan rokok ditinjau dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

1.3 Penjelasan Judul

Judul dalam skripsi ini adalah “Tinjauan Yuridis Pembohongan Publik Dalam Iklan Rokok Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Penjelasan mengenai judul tersebut, yaitu:

a. Tinjauan adalah cara, sudut pandang dari penyelesaian permasalahan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press).

(23)

c. Pembohongan publik merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya diungkapkan pada khalayak umum sehingga informasi yang diterima dapat menyesatkan khalayak umum.

d. Iklan rokok merupakan segala sarana yang digunakan untuk mempromosikan rokok kepada masyarakat umum, termasuk media cetak, media elektronik atau media luar ruang. Kegiatan mempromosikan rokok merupakan suatu kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi tentang rokok untuk menarik minat beli konsumen.

e. Konsumen menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

f. Perlindungan konsumen menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 1.4 Alasan Pemilihan Judul

Alasan pemilihan judul skripsi “Tinjauan Yuridis Pembohongan Publik Dalam Iklan Rokok Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen” karena topik permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini sangat penting. Permasalahan-permasalahan yang erat hubungannya dengan hampir seluruh masyarakat Indonesia mengingat iklan dan rokok sendiri merupakan suatu hal yang dikenal oleh hampir seluruh khalayak umum. Permasalahan tersebut sangat menarik untuk dibahas karena tidak hanya berkaitan dengan beberapa kalangan saja akan tetapi merata hampir di semua kalangan masyarakat Indonesia juga karena adanya dissenting opinion dalam

(24)

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sepanjang pengetahuan, belum ada yang pernah meneliti permasalahan tersebut sehingga penelitian ini tentunya sangat layak untuk dilakukan dan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1.5 Tujuan Penelitian

a. Memahami pengaturan hukum tentang iklan rokok di Indonesia.

b. Memahami penegakan hukum terhadap pembohongan publik dalam iklan rokok ditinjau dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

1.6 Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya suatu penelitian hukum ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi orang lain yang membacanya. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian hukum ini, antara lain:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengentahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan perlindungan konsumen pada khususnya yang berkaitan dengan permasalahan pada iklan rokok serta dapat dijadikan sebagai suatu referensi untuk penelitian yang sejenis.

b. Manfaat Praktis

Keseluruhan informasi yang sudah dituangkan dalam hasil penelitian ini, diharapkan dapat digunakan oleh pihak-pihak yang terkait untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam iklan rokok apabila dikaitkan dengan hukum perlindungan konsumen.

(25)

1.7 Metode Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah Pendekatan-pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).13

a. Tipe penelitian adalah penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkaji norma-norma yang berlaku meliputi Undang-Undang yang mempunyai relevansi dengan permasalahan sebagai bahan hukum sumbernya.14 Penelitian hukum ini juga memerlukan bahan huku, yang berupa tulisan dari para ahli atau pihak yang berwenang serta sumber-sumber lain yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang diteliti.15

b. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan

(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.16 Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam penelitian ini, dilakukan dengan

13

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum , Edisi Revisi,Kencana, Jakarta, 2005, hal. 133.

14

Nur Ikhsan Fiandy, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Penipuan”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012, hal. 44-45, dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

15

Ibid., hal 45.

16

(26)

mengkaji seluruh peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang dihadapi dalam hal ini pembohongan publik dalam iklan rokok. Pemilihan pendekatan perundang-undangan (statute

approach) sangat sesuai dengan isu hukum yang dihadapi karena adanya

pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur mengenai iklan rokok dan perlindungan terhadap konsumen. Pendekatan konseptual

(conceptual approach) dilakukan dengan mengidentifikasi konsep hukum

dalam perundang-undangan dan putusan pengadilan. Untuk dapat mengindetifikasi suatu konsep hukum dalam perundang-undangan dan putusan pengadilan maka diperlukan pemahaman terhadap doktrin-doktrin dan pandangan-pandangan yang berkembang dalam ilmu hukum. c. Langkah Penelitian

1. Mengumpulkan bahan hukum berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan suatu badan, lembaga, atau komisi sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun tingkat daerah, Perda dan keputusan kepala daerah.17 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No.

17

(27)

32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-undang No, 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Bahan hukum sekunder yaitu buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum, dan jurnal-jurnal hukum. Disamping itu juga, kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.18 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran serta buku-buku yang berkaitan dengan isu hukum yang dibahas dalam skripsi ini. Dari bahan hukum yang sudah dikumpulkan tersebut, dianalisa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah dirumuskan pada rumusan masalah dan dituangkan dalam bab pembahasan.

2. Menganalisa bahan hukum secara sistematis yang dideskripsikan sehingga diperoleh pemahaman dan pendapat yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang kemudian disimpulkan sehingga dapat diperoleh suatu hasil untuk mengkaji isu hukum yang dihadapi.

1.8 Sistematika Pertanggungjawaban

18

(28)

Dalam skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Pembohongan Publik Dalam Iklan Rokok Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen” terdapat empat bab, yaitu:

a. Bab I yang merupakan bab pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pertanggung jawaban.

b. Bab II yang merupakan bab pembahasan, berisi uraian atas rumusan masalah yang pertama, yaitu pengaturan hukum tentang iklan rokok di Indonesia.

c. Bab III yang merupakan bab pembahasan, berisi uraian atas rumusan masalah yang kedua, yaitu penegakan hukum terhadap pembohongan publik dalam iklan rokok ditinjau dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

(29)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG IKLAN ROKOK DI

INDONESIA

2.1 Hak dan Kewajiban Konsumen a. Hak Konsumen

Perlindungan konsumen identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu:1

a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau rohani.

b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).

c. Hak untuk memilih (the right to choose)

(30)

Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Hak untuk membeli erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan yang lain.

d. Hak untuk didengar (the right to be heard)

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

Empat hak tersebut diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sedangkan YKLI memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen.2 Hak konsumen juga disebutkan dalam Pasal 4 UUPK, yaitu:

2 Ibid., dikutip dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Panca Hak Konsumen,

(31)

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; g. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

h. serta hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Kewajiban Konsumen

Dalam UUPK, selain disebutkan hak-hak konsumen juga diatur kewajiban konsumen. Kewajiban konsumen wajib dipenuhi agar tercipta keseimbangan antara hubungan konsumen dan pelaku usaha. Kewajiban konsumen diatur menurut pasal 5 UUPK, yaitu:

(32)

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukaryang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara patut. 2.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan dasar hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum untuk melindungi kepentingan konsumen, selain mengatur tentang hak dan kewajiban konsumen, juga mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha karena pelaku usaha juga memiliki kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum. Hak yang melekat pada pelaku usaha menimbulkan suatu kewajiban bagi konsumen begitu juga sebaliknya. Hak pelaku usaha dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 6 UUPK, yaitu:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

(33)

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK, yaitu:

a. beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunanaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

(34)

Dalam bisnis yang sehat, praktik-praktik bisnis yang tidak jujur (unfair

trade practice) sangat dilarang. Praktik-praktik semacam ini misalnya:3

a. perbuatan yang bersifat bohong atau menyesatkan;

b. pernyataan menyesatkan mengenai sifat, ciri, standar, atau mutu suatu barang;

c. pernyataan bohong dalam pemberian hadiah atau potongan harga; d. iklan bohong;

e. penjualan produk yang tidak memenuhi standar keselamatan konsumen; f. penjualan produk yang tidak memenuhi standar informasi konsumen

Menurut Milton Handler, iklan yang menyesatkan (false advertising) adalah jika reprensentasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan.4

Penjelasan lebih rinci diberikan oleh Sri Handayani yang menjelaskan bahwa iklan yang menyesatkan tersebut meliputi:5

a. iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga, serta tarif, ketepatan waktu dan jaminan, garansi dari jasa;

3

Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang

Menyesatkan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010 hal. 107, dikutip dari Ari Purwadi, “Implikasi Iklan Yang Tidak Benar Dan Tidak Bertanggung Jawab Terhadap Timbulnya Sengketa Konsumen”,

Jurnal Yustika, Vol. 7 No. 1 Juli 2004, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya, 2004.

4 Ibid., hal. 109, dikutip dari Milton Handler, Business Tort, Case and Materials,

Foundation Press, New York, 1972.

5

Ibid., dikutip dari Sri Handayani, “Pokok-pokok Pikiran Diskusi”, Program Pascasarjana

(35)

b. iklan yang memuat informasi secara keliru, salah, dan tidak tepat tentang barang atau jasa;

c. iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian barang; d. iklan yang mengeksploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian atau

kegiatan seseorang;

e. iklan yang melanggar etika periklanan; f. iklan yang melanggar peraturan periklanan;

g. iklan yang melanggar etika dan peraturan (tehnis) periklanan. 2.4 Pengaturan Hukum Tentang Iklan di Indonesia

Lebih dari US$ 270 miliar dollar Amerika telah dikeluarkan oleh pelaku usaha diseluruh penjuru dunia untuk beriklan, 40% dilakukan di Amerika Serikat dan 25% dikeluarkan di Eropa.6 Di Indonesia, pada periode pada periode 2002-2003 pendapatan iklan nasional naik 24 persen dari Rp 13,4 triliun menjadi Rp 16,7 triliun maka pada tahun 2004, melonjak menjadi Rp 20 triliun.7. Data tersebut menunjukkan bahwa iklan sangat berpengaruh di berbagai belahan dunia. Menurut William Wells, Jhon Burnet, dan Sandra Moriarty, dalam definisi iklan yang sederhana, sedikitnya terdapat enam unsur dari iklan, yaitu sebagai berikut:8

a. Iklan merupakan suatu bentuk komunikasi dengan pembayaran, walaupun dalam beberapa bentuk iklan tertentu dipergunakan sebagai iklan layanan masyarakat untuk kepentingan social;

6 Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang

Menyesatkan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hal. 3, dikutip dari Terence A. Shimp, Periklanan Promosi Dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Ahli Bahasa Revyani Sjahrial dan

Dyah Anikasi, Erlangga, Jakarta, 2003.

7

Ibid., hal. 3-4.

8

Ibid., hal. 100, dikutip dari William Wells, John Burnet, Sandra Moriarty, Advertising Principle and Pratice, Fifth Edition, Prentice Hall, New Jersey, 2000.

(36)

b. Sponsor yang menjadi pemrakarsa iklan tersebut dapat diidentifikasi; c. Kebanyakan iklan berupaya untuk membujukdan mempengaruhi

konsumen untu melakukan sesuatu, atau meningkatkan perhatian konsumen terhadap suatu produk atau perusahaan;

d. Pesan pesan dalam iklan disampaikan dengan mempergunakan berbagai media massa yang berbeda.

e. Dapat menjangkau konsumen potensial cukup luas.

f. Iklan dapat bersifat non personal karena mempergunakan bentuk komunikasi massal dalam penyampaian pesan.

Ada beberapa unsur dalam kegiatan periklanan, yaitu sebagai berikut:9

a. Produsen, yaitu pemimpin perusahaan atau pengusaha yang memproduksi suatu produk;

b. Konsumen, yaitu pemakai/pembeli suatu produk;

c. Produk (barang dan/atau jasa) yang diproduksi dan dianjurkan pada konsumen agar mau membelinya;

d. Message, yaitu pesan-pesan anjuran tentang suatu produk kepada konsumen;

e. Media iklan, yaitu tempat atau waktu yang disewa untuk mempromosikan suatu produk kepada konsumen. Media merupakan saluran dari pesan dimana produsen bekerja sama dengan biro iklan untuk memilih media yang sesuai untuk menempatan iklan;

f. Efek, yaitu perubahan tingkah laku konsumen, dimana ia menerima anjuran pesan-pesan iklan yang mengakibatkan ia membeli produk.

(37)

Informasi pada iklan sangat berpengaruh bagi penonton yang awalnya merupakan calon konsumen agar tertarik tertarik terhadap barang dan atau jasa yang diiklankan sehingga menjadi konsumen. Iklan seharusnya memuat informasi yang materiil tidak hanya menonjolkan sisi keunggulan suatu barang dan atau jasa tetapi juga memperlihatkan sisi kelemahannya. Disamping tujuan iklan sebagai sarana pemberi dan penyebar informasi, maka iklan juga mempunyai tujuan lain, yaitu sebagai berikut:10

a. Untuk menumbuhkan kesadaran

Iklan membantu agar sesuatu dapat dikenal, sebab orang tidak akan berhubungan dengan hal-hal yang belum pernah mereka dengar, atau lebih suka berhubungan dengan hal-hal yang sudah mereka kenal.

b. Menumbuhkan/membangun sikap-sikap yang diinginkan

Iklan mendorong timbulnya pandangan yang positif mengenai suatu produk.

c. Membangun identitas merek

Iklan membantu menanamkan citra atau ciri-ciri tertentu terhadap suatu produk yang diluncurkan.

d. Memposisikan produk di pasar

Iklan membantu memposisikan suatu produk dalam sebuah segmen dan mengidentifikasi produk dengan segmen tersebut.

e. Membujuk

Iklan membuat konsumen tertarik terhadap produk yang ditawarkan. f. Menumbuhkan keinginan membeli

10

Ibid., hal. 101-102, dikutip dari A.D Farbey, How to Produce Succesful Advertising,

(38)

Apabila produk yang diiklankan ternyata memikat hati konsumen , maka konsumen akan memenuhi keinginannya untuk memiliki produk tersebut. g. Meluncurkan produk baru

Iklan merupakan sarana yang ampuh bagi peluncuran produk ke pasar. h. Membantu menonjolkan perbedaan

Iklan dapat menonjolkan perbedaan, kelebihan-kelebihan dari suatu produk, dari pada produk yang sudah ada. Konsumen biasanya hanya akan tertarik pada suatu produk apabila produk tersebut mempunyai ciri khas, keunikan tersendiri, yang membedakannya dengan produk yang sudah ada.

Menurut Yusuf Shofie, iklan termasuk salah satu dari enam sebab potensial yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, yaitu:11

a. ketidaksesuaian iklan/informasi produk dengan kenyataan;

b. produk tidak sesuai dengan standar ketentuan/peraturan perundang-undangan;

c. produk cacat meskipun dalam garansi atau belum kadaluarsa; d. tingkat keamanan produk diinformasikan tidak secara proposional; e. sikap komsutif konsumen;

f. ketidaktahuan konsumen tentang penggunaan produk.

Sehingga sangat penting adanya pengaturan kegiatan periklanan untuk melindungi kepentingan konsumen agar informasi yang disampaikan melalui berbagai media massa merupakan suatu informasi yang sesuai dan tidak

(39)

menyesatkan konsumen. Berkaitan dengan pengaturan kegiatan periklanan, setidaknya terdapat tiga manfaat yang akan diperoleh oleh konsumen, yaitu:12

a. pilihan konsumen atas alternatif yang ada akan lebih baik jika konsumen mendapatkan informasi yang lebih banyak dari pasar;

b. jika konsumen mendapatkan informasi yang lebih baik, maka kualitas produk cenderung akan mengalami perbaikan, sebagai respon atas perubahan kebutuhan dan preferensi konsumen;

c. penurunan harga akibat berkurangnya kekuatan informasi pasar penjual.

Pengaturan mengenai kegiatan periklanan di Indonesia tidak diatur secara khusus di dalam suatu undang-undang periklanan. Menurut Sudaryatmo, hambatan untuk mewujudkan undang-undang periklanan salah satunya disebabkan karena adanya penolakan dari perusahaan periklanan yang khawatir dengan adanya undang-undang periklanan ini akan menghambat daya kreatifitas dalam membuat iklan, dan memandang cukup untuk memberlakukan kode etik periklanan sebagai panduan dalam beriklan.13 Padahal menurut AZ Nasution kekhawatiran perusahaan periklanan merupakan suatu kekhawatiran yang tidak beralasan, karena undang-undang periklanan tetap akan memberikan ruang kepada perusahaan periklanan untuk berkreasi menyampaikan informasi produk kepada konsumen, tetapi hendaknya kebebasan berkreasi tersebut adalah kebebasan berkreasi yang bertanggung jawab dan sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang berlaku.14

12

Ibid., hal. 30.

13

Ibid., hal. 72.

(40)

Pengaturan mengenai kegiatan periklanan di Indonesia antara lain terdapat pada undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada umumnya kegiatan periklanan yang diatur dalam kedua Undang-undang tersebut tidak berbeda, hanya saja pada Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran kegiatan periklanan yang dimaksud adalah kegiatan periklanan yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi. Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, kegiatan periklanan diatur dalam Pasal 46. Pada Pasal 46 ayat 3 Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran diatur secara tegas kepada perusahaan periklanan agar siaran iklan niaga yang ditayangkan tidak memuat:

a. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain; b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif; c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;

d. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama dan/atau;

e. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.

Sedangkan dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, beberapa larangan muatan iklan bagi perusahaan periklanan diatur dalam Pasal 13. Perusahaan iklan dilarang memuat iklan:

(41)

a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;

b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

2.5 Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Tentang Iklan Rokok a. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pengaturan tentang iklan rokok terdapat pada Pasal 46 ayat 3 huruf d, yaitu larangan secara tegas kepada perusahaan periklanan untuk menayangkan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok dalam siaran iklan niaga.

b. Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pengaturan tentang iklan rokok terdapat pada Pasal 13 huruf c, yaitu larangan secara tegas kepada perusahaan periklanan untuk memuat iklan yang memperagakan wujud rokok dan atau peragaan wujud rokok baik dalam media cetak, media elektronik, maupun media luar ruangan.

Kedua peraturan perundang-undangan tersebut hanya memberikan suatu larangan sebatas “memperagakan wujud rokok” sehingga promosi rokok melalui media cetak maupun media elektronik merupakan suatu hal yang sah secara hukum selama tidak melanggar peraturan tersebut. Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terdapat Pasal 46 ayat (3) huruf b bahwa dilarang untuk mempromosikan minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau

(42)

zat adiktif dan menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, didalam rokok terdapat kandungan nikotin dan tar. Menurut peraturan Pemerintah tersebut nikotin termasuk dalam zat yang bersifat adiktif dapat menyebabkan ketergantungan dan tar adalah senyawa yang bersifat karsinogenik. Sehingga dapat disimpulkan rokok merupakan zat adiktif. Kedua pasal dalam Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yakni Pasal 46 ayat (3) huruf b dan huruf d terdapat pertentangan karena adanya suatu makna yang berbeda dalam pengaturan hukum tentang iklan rokok di Indonesia sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Apabila mengacu pada Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terdapat Pasal 46 ayat (3) huruf d dan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 13 huruf c maka promosi rokok tidak dilarang dengan suatu pembatasan yakni tidak memperagakan wujud rokok. Akan tetapi apabila mengacu padaUndang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terdapat Pasal 46 ayat (3) huruf b maka promosi rokok merupakan hal yang dilarang karena rokok merupakan suatu produk yang mengandung zat adiktif.

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bahwa rokok adalah produk yang legal, terbukti dengan dikenakannya cukai terhadap rokok dan tembakau (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008). Kegiatan beriklan dan mempromosikan produk melalui media penyiaran hanyalah mata rantai terakhir dari seluruh investasi yang dikeluarkan oleh pengusaha industri rokok, sehingga kegiatan mengkomunikasikan dan meyampaikan informasi dalam bentuk iklan promosi rokok dijamin oleh konstitusi

(43)

sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945. Rokok masih dipandang sebagai komoditi yang legal,sehingga promosi rokok juga harus tetap dipandang sebagai tindakan yang legal pula.15 Akan tetapi hanya karena rokok merupakan produk yang legal bukan berarti promosi rokok juga dilegalkan. Alkohol, pistol, dan kembang api juga produk legal namun promosinya dilarang karena kepemilikan barang-barang tersebut diatur secara ketat dan membahayakan tidak hanya pemiliknya tapi orang lain yang bisa menghilangkan nyawa dan melanggar hak asasi. Tidak berbeda dengan rokok yang dapat merusak kesehatan karena itu membahayakan nyawa manusia dan menganggu hak orang lain yang tetap ingin hidup sehat dengan tidak menjadi perokok pasif.16

2.6 Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

Terjadi suatu perkembangan baru dalam pengaturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia dengan diundangkannya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) sebagai payung bagi pengaturan perlindungan konsumen yang telah ada sebelumnya. UUPK disahkan pada tanggal 20 April 1999 tetapi baru diberlakukan satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 20 April 2000. Penundaan tersebut dianggap penting untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang diberlakukan.17 Norma-norma perlindungan konsumen lainnya diluar UUPK, dapat dijadikan sebagai acuan dengan menempatkan UUPK sebagai suatu sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa UUPK merupakan ketentuan khusus (lex

15

Achmad Sodiki, Dari Dissenting Opinion Menuju Living Constitution (Pemikiran Hukum

Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H Hakim Konstitusi Periode 2008-2013), Universitas Brawijaya Press

(UB Press), Malang, 2014, hal. 2.

16

“Larangan Iklan Rokok Dan Promosi Rokok”

<www.kompak.co/larangan-iklan-dan-promosi-rokok/>, diunduh pada 22 Juli 2016 pukul 23:07 WIB.

(44)

specialis) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada

sebelumnya (lex generalis).18

Perlindungan konsumen di Indonesia berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan mengenai asas-asas perlindungan konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1), yaitu:19

a. Asas Manfaat

Dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen dan menyelesaikan permasalahan perlindungan konsumen, harus memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya konsumen dan pelaku usaha tanpa ada diskriminasi. Sehingga di dalam pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak hanya menempatkan satu pihak di atas pihak yang lain tetapi bermanfaat bagi masing-masing pihak.

b. Asas Keadilan

Dalam pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen, antara konsumen dan pelaku usaha diberikan suatu kesempatan untuk memperoleh keadilan sebagaimana mestinya sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Keadilan yang diberikan oleh UUPK, antara lain dengan diaturnya mengenai hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha yang mempunyai keterikatan antara yang satu dengan yang lain.

18

Dedi Harianto, op.cit.,hal. 13, dikutip dari Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa

Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori Dan Penegakan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

19

Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2015 hal. 10-12.

(45)

c. Asas Keseimbangan

Keseimbangan antara kepentingan konsumen dan pelaku usaha merupakan hal yang sangat penting. Perlindungan hak dan kewajiban masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang seimbang sehingga tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan hukum atas kepentingannya lebih besar dari pada pihak yang lain.

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Di dalam penggunaan, pemakaian, pemanfaatan, serta mengkonsumsi barang dan/atau jasa, konsumen harus mendapatkan jaminan atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan. UUPK mengatur perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dan tanggung jawab pelaku usaha untuk melindungi kepentingan konsumen sehingga dalam penggunaan atau pemanfaatan barang dan/atau jasa tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa konsumen maupun harta bendanya.

e. Asas Kepastian Hukum

Dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, Negara memberikan jaminan kepastian hukum. Konsumen maupun pelaku usaha harus menaati aturan hukum yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, khususnya UUPK.

Selain asas-asas perlindungan konsumen, di dalam UUPK juga mencantumkan tujuan dari perlindungan konsumen. Tujuan perlindungan konsumen sebagaimana diatur pada Pasal 3 UUPK, yaitu:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

(46)

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menurut UUPK, yaitu:

a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;

b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;

c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;

d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

(47)

e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen; f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;

g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

Apabila dihubungkan dengan kegiatan periklanan, BPKN memang tidak secara langsung menangani kegiatan periklanan, akan tetapi badan ini sangat penting peran sertanya dalam upaya melahirkan Undang-undang Periklanan yang selama ini terhenti serta tidak jelas bagaimana kelanjutannya. Dengan tugasnya untuk memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen, sangat relevan apabila BPKN mendorong pemerintah untuk kembali membuat Rancangan Undang-undang Periklanan (RUU Periklanan).20

Selain Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), UUPK juga menyebutkan tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Menurut Pasal 1 angka 9 UUPK, LPKSM merupakan lembaga

nonpemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai

kegiatan menangani perlindungan konsumen. Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) menurut UUPK meliputi kegiatan:

a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

(48)

b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;

d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

Fungsi strategis bagi upaya perlindungan konsumen, yaitu melakukan pengawasan bersama pemerintah terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen, meningkatkan kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya, memberikan advokasi konsumen, serta menerima pengaduan konsumen dan membantu konsumen dalam mempejuangkan hak-haknya.21 Dalam kegiatan periklanan, peran LPKSM cukup besar dalam mengawasi berbagai bentuk periklanan yang berpotensi dapat menyesatkan konsumen. Pengawasan iklan dilakukan dengan mengamati secara langsung tayangan-tayangan iklan di media elektronik, seperti radio dan televisi serta iklan-iklan di media cetak seperti surat kabar, majalah, tabloid, bahkan iklan di media luar ruangan, seperti papan reklame.22 Apabila terdapat kecurigaan adanya iklan yang mengandung informasi menyesatkan, maka Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai salah satu LPKSM yang cukup aktif memperjuangkan kepentingan konsumen, akan meminta konfirmasi kepada perusahaan pengiklan mengenai informasi dalam iklan perusahaan tersebut.23

21 Ibid.,hal. 171. 22

Ibid.,hal. 172.

23

Ibid.,dikutip dari wawancara dengan Sudaryatmo, Pengurus Harian Yayasan Lembaga

(49)

BAB III

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBOHONGAN PUBLIK DALAM

IKLAN ROKOK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

3.1 Pembohongan Publik Dalam Iklan Rokok Dalam Prespektif Hukum Pidana dan Hukum Perdata

Periklanan termasuk dalam bentuk kegiatan yang melibatkan beberapa ketentuan hukum dalam upaya penegakannya. Keterlibatan aturan-aturan hukum tersebut, dapat dipahami dengan adanya aspek perlindungan konsumen di dalamnya, misalnya berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak dan cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan dari pihak lain.1 Selain itu, ketentuan hukum lain diluar UUPK dapat berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UUPK sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUPK.

a. Pernyataan-pernyataan dalam Iklan Sebagai Janji Pelaku Usaha Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Diantara ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata yang dapat dipergunakan untuk mengatur kegiatan periklanan adalah ketentuan tentang perbuatan melanggar atau melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata), serta ketentuan tentang ingkar janji (wanprestasi) apabila iklan tertentu menyebabkan kerugian pada pihak lain.2 Ketentuan tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) bermanfaat bagi

1 Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang

Menyesatkan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hal. 32.

2

Ibid., hal.33, dikutip dari A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Diadit Media, Yogyakarta, 2001.

(50)

konsumen dalam rangka meminta pertanggungjawaban para pihak dalam kegiatan periklanan tanpa dilandasi adanya hubungan kontraktual. Sedangkan ketentuan tentang ingkar janji (wanprestasi) dapat dipergunakan oleh semua pihak dalam kegiatan periklanan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi terhadap hal-hal yang disepakati dalam perjanjian.3

Pada umumnya hubungan antara konsumen periklanandan pelaku usaha tidak didasari dengan kontrak secara tertulis. Konsumen menerima informasi terhadap suatu produk melalui media elektronik tanpa ada bukti tertulis dan media cetak atau luar ruang. A.Z. Nasution berpendapat bahwa iklan sangat erat kaitannya dengan kegiatan penawaran barang dan/atau jasa untuk dijual atau digunakan oleh konsumen.4 Pernyataan-pernyataan dalam iklan memiliki maksud dan tujuan tertentu untuk menarik minat konsumen. Apabila pernyataan tersebut ditanggapi dan disepakati oleh konsumen yang berminat, maka dapat disimpulkan akan terjadi persetujuan atau perjanjian. Perbuatan-perbuatan penawaran untuk menjual barang dan/atau jasa yang merupakan pernyataan kehendak, dan syarat yang ditujukan pada penawaran tersebut, termasuk kegiatan perdata yang diatur dalam buku ketiga KUH Perdata tentang Perikatan, khususnya perikatan yang timbul dari perjanjian atau persetujuan.5

3

Ibid., hal. 33-34.

4

Ibid., hal. 34, dikutip dari A.Z. Nasution, “Iklan Dan Konsumen: Tinjauan Dari Sudut Hukum Perlindungan Konsumen”, Makalah Fakultas Hukum Universitas Taruma Negara, Jakarta,

1994.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Pintrich, 2003, Santrock, 2007, Brophy 2004). mahasiswa yang memiliki

C. PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL 1. Petunjuk Bagi Siswa/Peserta Didik  Untuk memperoleh hasil belajar yang maximal, dalam menggunakan modul ini maka langkah–langkah yang dilaksanakan antara

Di Indonesia hasil Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) 2012 mengungkapkan beberapa perilaku berpacaran remaja yang belum menikah, antara lain: remaja

Suatu desa wisata memiliki daya tarik yang khas (dapat berupa keunikan fisik lingkungan alam perdesaan, maupun kehidupan sosial budaya masyarakatnya) yang dikemas secara

Dengan adanya Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang PU Cipta Karya diharapkan Kabupaten dapat menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk

Menyadari bahwa energi menjadi isu utama dalam industri maka PT EONIX menyadari opportunity atau peluang pasar dari kebutuhan tersebut dengan menyediakan kabel yang